Vous êtes sur la page 1sur 8

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menurut Peraturan Pemerintah RI No. 82 Tahun 2001 tentang

Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, pada ayat 14

disebutkan bahwa air limbah adalah sisa dari suatu usaha dan atau kegiatan

yang berwujud cair.


Limbah adalah zat atau bahan buangan yang dihasilkan dari proses

kegiatan manusia (Suharto, 2010). Limbah dapat berupa tumpukan barang

bekas, sisa kotoran hewan, tanaman atau sayuran. Keseimbangan lingkungan

menjadi terganggu jika jumlah hasil buangan tersebut melebihi ambang

batas, keberadaan limbah dapat berdampak negatif terhadap lingkungan

terutama bagi kesehatan manusia sehingga perlu dilakukan penanganan

terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh limbah

bergantung pada jenis dan karakteristik limbah (Said, 2011).


Berdasarkan karakteristiknya limbah dibagi menjadi beberapa

diantaranya: karakteristik fisik yaitu, zat padat, bau, suhu, warna dan

kekeruhan, karakteristik kimia yaitu, bahan organik, BOD (Biologycal

Oxygen Demand), DO (Dissolved Oxygen), COD (Chemical Oxygen

Demand), pH (Puissance dHydrogen Scale), logam berat dan karakteristik

biologi digunakan untuk mengukur kualitas air terutama air yang dikonsumsi

sebagai air minum dan air bersih.


Dewasa ini banyak muncul industri-industri kecil laundry. Akan

tetapi pertumbuhan industri laundry ini memiliki efek samping yang kurang
2

baik, limbah cair laundry mengandung bahan kimia dengan konsentrasi

yang tinggi antara lain fosfat, surfaktan, ammonia dan nitrogen serta

kadar padatan terlarut, kekeruhan, BOD dan COD tinggi. Bahan kimia

yang menjadi masalah pencemaran pada badan air tersebut disebabkan

pemakaian diterjen sebagai bahan pencuci (Yusuf, 2015).


Limbah laundry menegandung kandungan surfaktan dan bahan

organik yang cukup tinggi. Limbah laundry yang dihasilkan sebagian besar

langsung dibuang keselokan atau badan air tanpa pengolahan terlebih

dahulu. Air limbah laundry mengandung diterjen yang merupakan derivatik

zat organik sehingga akumulasinya dilingkungan dapat menyebabkan

kandungan organik dilingkungan menjadi tinggi yang berakibat toxic pada

kehidupan di air. Kandungan utama pada diterjen adalah natrium tripoly

fosfat yang berperan sebagai surfaktan (surface avtive agent). Fosfat yang

berlebih di air akan mengakibatkan eutrofikasi sehingga menyebabkan

tertutupnya permukaan air. Permukaan air yang tertutup akan menyebabkan

oksigen di udara sulit masuk kedalam air (Hudori, 2009).


Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 Tahun 2014

tentang Baku Mutu Air Limbah lampiran X tentang Baku Mutu Air Limbah

bagi usaha dan/atau Kegiatan Industri Sabun, Diterjen dan Produk-produk

Minyak Nabati, menyatakan bahwa kadar maksimum fosfat (PO 4) adalah 2

mg/l. Dan Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor:19-7188.2.1-

2006, total kandungan fosfat dalam Diterjen (diukur sebagai STPP/sodium

Tri Polyfosfat) adalah < 18 gr per 100 gr produk Diterjen (18% berat

produk).
3

Berdasarkan survei pendahuluan yang telah dilakukan pada 18

Februari 2016, pada industri laundry didapat informasi sebagai berikut :

beban orderan laundry 40 70 kg/hari, diterjen 2-3 kg/hari, limbah cair yang

dihasilkan 75 m3/hari. Hasil analisis terhadap limbah cair antara lain COD

284,8 mg/l, fosfat 15,2 mg/l. Konsentrasi COD dan fosfat yang tinggi

melebihi Baku Mutu Air Limbah Usaha. Objek penelitian ini yaitu salah satu

laundry didaerah Tanah Patah dan semua laundry yang berada di wilayah

tersebut tidak menggunakan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).


Fosfat (PO4) yang berlebih dalam badan air akan mengakibatkan

terjadinya eutrofikasi. Pencemaran air yang disebabkan munculnya nutrient

yang berlebihan ke dalam ekosistem air. Air dikatakan eutrofik jika

konsentrasi total phosphorus (TP) dalam air berada pada rentang 35-100 g/l.

Masalah ini disinyalir akibat langsung dari aliran limbah yang mengandung

fosfat tinggi. Fosfor merupakan elemen kunci diantara nutrient utama

lainnya seperti: Carbon (C), Nitrogen (N), dan Fosfor (P) didalam proses

eutrofikasi. Fosfatlah yang menjadi penyebab terjadinya eutrofikasi, kondisi

eutrofik sangat memungkinkan algae tumbuh berkembang biak dengan pesat

(blooming) akibat dari ketersediaan fosfat berlebihan serta kondisi lain yang

memadai. Hal tersebut dapat dikenali dengan warna air menjadi kehijauan,

berbau tidak sedap dan kekeruhan menjadi sangat meningkat (Pharmawati,

dkk, 2013).
Chemical Oxygen Demand (COD) merupakan jumlah oksigen yang

dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat senyawa kimia yang ada dalam

sampel air atau banyaknya oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-
4

zat organik menjadi CO2 dan H2O. Angka COD merupakan ukuran bagi

pencemaran air oleh zat organik yang secara alamiah dapat dioksidasi dan

mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut dalam air. Maka konsentrasi

COD dalam air harus memenuhi standar baku mutu yang telah ditetapkan

agar tidak mencemari lingkungan. Tes COD digunakan untuk menghitung

kadar bahan organik yang dapat dioksidasi dengan cara menggunakan bahan

kimia oksidator kuat dalam media asam (Hidayah, 2010).


Alternatif sistem pengolahan limbah secara biologis dapat dijadikan

pilihan utama. Dengan konsentrasi bahan pencemar yang tidak terlalu besar,

maka sistem pengolahan dapat dilaksanakan dengan teknologi yang

sederhana dan praktis dalam pemeliharaannya. Atas dasar pertimbangan

tersebut, maka diperlukan sistem pengolahan air limbah (IPAL) yang

sederhana, mudah dioperasionalkan & murah untuk biaya pembuatan dan

operasionalnya. Salah satu alternatif sistem pengolahan air limbah tersebut

adalah sistem constructed wetland (Supradata, 2005).


Pengolahan air limbah dengan constructed wetland adalah sistem

yang memanfaatkan tumbuhan air dan mikroorganisme sebagai mesin

pengolah limbah serta matahari sebagai sumber energinya. Oleh sebab itu

sistem constructed wetland adalah sistem lingkungan (ekosistem) yang

bekelanjutan (environmental sustainable). Pada prinsipnya sistem ini

memanfaatkan aktifitas mikroorganisme yang menempel pada akar

tumbuhan air dalam menguraikan zat pencemar dimana akar tumbuhan air

menghasilkan oksigen sehingga tercipta kondisi aerobik yang mendukung

proses penguraian tersebut (Sutrisno, 2009).


5

Pada penelitian ini mencoba untuk mengembangkan metode alternatif

tersebut dengan melakukan pengolahan air limbah laundry menggunakan

Constructed wetland.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yakni pencemaran pada sumber air

(sumur gali dan sumur bor) diakibatkan limbah cair laundry kurang dikelola

dan belum dapat tertangani dengan baik khususnya di Kota Bengkulu, maka

rumusan masalah penelitian adalah : Apakah ada perbedaan penurunan kadar

COD dan fosfat dengan menggunakan constructed wetland dalam mengelola

limbah cair laundry.


C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui penurunan kadar COD dan fosfat pada proses

pengolahan limbah cair laundry menggunakan constructed wetland.

2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui kadar COD dan fosfat pada limbah cair laundry

sebelum menggunakan constructed wetland dengan jenis variasi

vegetasi dan jenis medium.


b. Untuk mengetahui kadar COD dan fosfat pada pengolahan limbah

cair laundry setelah menggunakan constructed wetland dengan

jenis vegetasi melati air, cyperus papyrus dan jenis medium pasir

dan kerikil.
c. Untuk mengetahui hasil dari penelitian ini peneliti membuat

produk sebagai media sosialisasi kepada masyarakat umum

terutama kepada industri laundry rumahan yang belum

menggunakan instalasi pengolahan air limbah (IPAL).


D. Manfaat Penelitian
6

1. Bagi mahasiswa
Sebagai referensi untuk menambah ilmu pengetahuan khususnya

mahasiswa Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan

Kementerian Kesehatan Bengkulu tentang limbah cair laundry

menggunakan constructed wetland dalam mata kuliah penyehatan air dan

pengolahan limbah cair (PAPLC).


2. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai sumbangan referensi dalam penelitian-penelitian sejenis dimasa

yang akan datang.

3. Bagi Peneliti
Penelitian ini merupakan pengalaman yang baru, sekaligus untuk

menambah wawasan, ilmu penegetahuan dalam pengolahan limbah cair,

serta peneliti mampu menerapkan ilmu pengetahuan tentang kemapuan

constructed wetland dalam menurunkan kadar COD dan fosfat pada

limbah cair laundry.


E. Keaslian Penelitian
Penelitian yang berjudul Pengolahn Limbah Cair Laundry

Menggunakan Sistem Constructed Wetland Untuk Menurunkan COD Dan

Fosfat ini belum pernah dilakukan namun, penelitian hampir sama pernah

dilakukan oleh :
1. Supradata, 2005. Pengolahan Limbah Domestik Menggunakan

Tanaman Hias Cyperus Alternifolius, L. Dalam Sistem Lahan Basah

Buatan Aliran Bawah Permukaan (Ssf-Wetland), Semarang. Hasil

penelitian tanaman hias jenis Cyperus alternifolius memiliki kinerja

yang cukup baik dalam pengolahan air limbah rumah tangga dengan

sistem Lahan basah Buatan Aliran Bawah Permukaan (SSF-Wetland).

Perbedaan dari penelitian ini yaitu penggunaan limbah berbeda dan


7

tanaman yang berbeda. Persamaan dari penelitian ini sama-sama

menggunakan constructed wetland dalam mengolah limbah.


2. Sutyasmi, S dan Susanto, H.B, 2013. Penggunaan Tanaman Air

(Bambu Air Dan Melati Air) Pada Pengolahan Air Limbah

Penyamakan Kulit Untuk Menurunkan Beban Pencemar Dengan

Sistem Wetland Dan Adsorpsi, Yogyakarta. Hasil penelitian penggunaan

tanaman air untuk pengolahan air limbah dengan sistem wetland dan

adsorpsi dapat menurunkan beban pencemar BOD, COD dan TSS

berturut-turut sebesar 98,92%, 73,74% dan 69,34% dengan hasil uji

BOD, COD dan TSS berturut-turut sebesar 10,32 mg/l; 409 mg/l dan

145 mg/l. Vol. 29 No.2. Perbedaan dari penelitian ini yaitu penggunaan

limbah berbeda dan tanaman yang berbeda. Persamaan dari penelitian

ini sama-sama menggunakan constructed wetland dan melati air dalam

mengolah limbah.
3. Sasono, E dan Pungut, 2013. Penurunan Kadar Bod Dan Cod Air

Limbah Upt Puskesmas Janti Kota Malang Dengan Metode Contructed

Wetland, Malang. Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan

bahwa karakteristik air limbah UPT Puskesmas Janti Kota Malang yaitu

BOD kisaran 39 71 mg/l dan COD kisaran 79,73 161 mg/l , jadi

karakteristiknya rendah dan melati air efisiensi penurunan kandungan

COD air limbah puskesmas rata-rata 92 %, sedangkan bambu air

efisiensi penurunannya rata-rata sebesar 84 %. Vol. 11 No.01. Perbedaan

dari penelitian ini yaitu penggunaan limbah berbeda dan penelian ini
8

tidak menggunakan tanaman. Persamaan dari penelitian ini sama-sama

menggunakan constructed wetland dalam mengolah limbah.

Vous aimerez peut-être aussi