Vous êtes sur la page 1sur 17

SURAT TERAKHIR AYAH

Aku bukan terlahir dari orang kaya dan berpendidikan. Hidup dengan sederhana dan
tidak kemewah-mewahan. Kini usiaku 17 tahun. Aku bersekolah di SMK N 1 Karanganyar.
Mungkin ayahku mencari uang untuk membayar sekolahku pun dengan susah payah. Namaku
Niar. Hehe hampir lupa. Sekolah jauh dari tempat tinggal menuntutku harus ngekos. Aku harus
mandiri, aku harus bisa mengatur segalanya. Bulan maret tiba. Tandanya satu bulan lagi ujian
dimulai. Aku dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit. Aku ingin melanjutkan ke perguruan
tinggi tapi aku sadar ayahku hanya seorang petani yang sudah mulai tua. Jalan satu-satunya yang
harus aku jalani adalah bekerja. Aku ingin membahagiakanmu ayah. Aku ingin ayah duduk
manis di rumah dan aku yang menggantikan posisi ayah mencari nafkah. Ade aku masih duduk
di bangku kelas VI.

Saat ini aku sudah bekerja di sebuah perusahaan yang cukup terkenal namanya. Bukan hal
mudah mencari Aku membiayai adikku hingga kuliah. Senang bisa membuatnya sukses menjadi
dokter. Ayah tinggal duduk manis di rumah. Aku sudah punya suami dan anak. Aku menikah 3
tahun yang lalu. Sekarang aku punya satu putri cantik yang aku dan suamiku beri nama Jelita
Putri Rahmattulloh. Suamiku seorang polisi. Kini Jelita tepat 7 tahun. Aku, suamiku, dan putriku
pergi ke puncak untuk merayakan ulang tahunnya. Tapi sungguh kejadian yang tak pernah ku
duga. Mobil kami bertabrakan dengan bus besar yang melaju kencang. Suamiku meninggal di
tempat.

Ayahh.. Jangan tinggalkan kami aku menangis histeris di rumah sakit ketika aku sudah
sadar.

Setelah itu proses pemakaman langsung dimulai. Sepulang dari pemakaman aku menemukan
sepucuk surat dari suamiku, dan ternyata itu untuk putriku.

Nak, ini ada surat dari Ayah, kamu baca ya Nak. ucapku pada jelita dan langsung dibacanya
surat itu.

Untuk putriku. Happy birthday sayang. Di hari spesialmu ini kamu tidak perlu menangis
sayang. Kamu harus bisa belajar bersikap dewasa. Maaf, Ayah tidak akan bisa menemani kamu
sampai kamu sukses nanti. Yang pasti kamu harus bisa jaga diri kamu, jaga Ibu kamu. Satu
permintaan Ayah yang mungkin Ayah bisa terima ketika Ayah sudah tidak di sisimu lagi Nak.
Jadilah seseorang yang berguna bagi orang-orang terdekatmu dan jadilah orang yang minimal
sukses agama dan sukses pekerjaanmu nanti. Maafkan Ayah sayang. Ayah sayang kamu dan
Bunda. Love Ayahmu, Adi Rahmattulloh.

Tangis ini pecah ketika aku baca surat terakhir dari ayah. hari ini hari spesialku. Tapi hari ini hari
berdukaku.

Ayah.. selamat jalan.


Cerpen Karangan: Nani Susanti
DIAM BUKAN BERARTI TAK MERASAKAN

3 tahun bersama kini saatnya aku harus meninggalkan mereka. Putih biru yang ku banggakan
dulu kini berganti menjadi putih abu-abu. Hari ini adalah hari pertama aku masuk SMK. Tidak
begitu menyenangkan bagiku! bahkan aku tidak banyak bicara di sini. Aku hanya mau berbicara
pada seseorang yang menurutku baik. Kelas ini tidak begitu menyenangkan, bahkan cenderung
membosankan. Wajah-wajah kritikus banyak terlihat di kelas ini. Sepertinya aku salah masuk
kelas? Sesampainya di rumah aku tidak berhenti menyalahkan ibuku yang memasukkan aku di
sekolah ini. Aku tahu jika aku tidak boleh berbicara seperti itu. Sangat tidak pantas sekali. Aku
sama sekali tak punya niat untuk masuk apalagi belajar di sekolah ini. Mungkin ini yang
dimaksud kakakku: Orangtua kita lebih tahu mana yang terbaik untuk anaknya. padahal kata-
kata itu tidak selamanya benar. Banyak anak-anak yang frustasi bahkan gila gara-gara hal itu.
Dan mereka mempunyai nasib yang sama sepertiku.

Pagi hari. Krkrk.. Seseorang membuka pintu kamarku, dia membuka jendela dan menarik
selimutku. Aku bergegas bangun sebelum ibu mencubit pahaku lagi. Selesai mandi dan bersiap-
siap. Saat ke luar kamar rupanya ibuku sudah menyiapkan sarapan untukku. Aku harus segera
menghabiskan sarapanku karena waktu sudah pukul 06.15. Aku segera mengambil helmku dan
berangkat ke sekolah. Tak lupa aku mencium tangan kedua orangtuaku dan mengucapkan salam
pada kedua orangtuaku. Setelah 15 menit perjalanan. Sampailah aku di gerbang sekolah. Sekolah
ini mempunyai banyak aturan. Setiap siswa yang akan memasuki sekolah diwajibkan untuk
mematikan sepeda motor, melepas jaket, dan bersalaman dengan minimal satu guru.

Saat aku mulai memasuki kelas, wajah-wajah sinis mulai menyapaku. Senyum untuk mereka
mungkin sedikit membantu. Aku duduk di meja nomer dua dari depan maklum saja mataku ini
sedikit rabun. Aku duduk dengan seorang anak perempuan dia memakai jilbab. Wajahnya kalem
tidak seperti yang lain, dia juga memiliki paras yang cantik. Aku mulai mengajaknya ngobrol.
Ternyata anak yang duduk di sampingku ini namanya Intan. Orangnya baik, ramah, dan tidak
banyak bicara. Dia juga lebih banyak diam sepertiku. Saat aku mengenalnya lebih jauh, Intan
bukan pendiam. Dia sama seperti yang lain. Hanya saja, dia tidak bisa terbuka dengan sembarang
orang. Sebab dia diam selama ini adalah karena dia mempunyai nasib yang sama sepertiku.
Dia tidak merasa nyaman dengan kelas ini apalagi orang-orangnya. Hal ini yang membuat Intan
tak pernah bergaul. Aku sudah cukup lama duduk di kursi ini. Aku mulai merasa tidak nyaman
dengan tempat dudukku terutama meja ini. Kejengkelanku mulai terasa saat aku menyeret
mejaku dan menukar mejaku dengan meja lain, tiba-tiba saja teman sekelasku menertawakanku.
Aku tidak tahu apa yang salah denganku? sementara aku menyeret meja yang berat ini tidak
orang satu pun yang berniat untuk membantuku. Dengan wajah flat mereka hanya melihatku. Itu
mengesalkan sekali bukan? aku hanya bisa memendam kekesalan ini dalam hati. Entahlah siapa
yang aneh? mereka atau aku? dan itu bukan yang terakhir kalinya.

Tet.. Tet.. Bel jelek itu berbunyi dua kali, ini artinya waktu belajar sudah selesai. Ketika aku
mendengar suara bel jelek itu rasa bosanku tiba-tiba hilang. Mungkin ini yang dinamakan
refleks. Kalian juga begitu kan? kita samaan? Pulang sekolah aku tak langsung pulang ke rumah
aku malas sekali jika harus bertemu dengan orang-orang rumah. Mereka selalu ribut di depanku
dan aku harus mendengarkan ocehan mereka yang tidak layak didengarkan anak seusiaku. Jika
aku dewasa nanti aku tidak mau menjadi seperti mereka. Sungguh tidak pantas sekali untuk
dijadikan panutan. Lapangan dekat rel kereta, inilah tempat di mana aku bisa menenangkan
pikiranku. Di sini aku selalu berangan-angan untuk menjadi photographer. Itu cita-citaku sejak
masih kecil. Suatu saat nanti aku ingin kembali ke tempat ini dengan membawa kamera DSLR
memakai bawahan jeans belel, kemeja kotak-kotak, dan memakai topi. Keren bukan? selain suka
memotret aku juga memiliki cita-cita lain yakni menjadi desainer.

Ketika aku mencoba bilang pada ibu tentang 2 hal itu. Ibu tertawa dan berkata, Cita-cita kok
jadi tukang photo.

Sepupuku mencoba untuk membelaku. Gajinya besar kok Bu, ibuku menyahutinya, Iya kalau
ada job kalau tidak bagaimana? mau makan apa kita. lalu kami berdua diam saja agar suasana
tidak semakin keruh.

Tak terasa lebih dari satu jam aku di sini. Lebih baik aku pulang sekarang daripada nanti
diinterogasi. Sesampainya di rumah aku langsung membersihkan wajahku dari debu-debu yang
menempel. Yah.. begitulah kebiasaanku sepulang sekolah. Aku takut wajahku ditumbuhi jerawat.
Kalian tahu sendiri kan semenjak pohon-pohon di tepi jalan ditebang untuk perluasan jalan.
Cuacanya semakin panas karena tidak ada lagi penghalang bagi matahari untuk menyorot wajah
kita. Kalaupun harus ditanam lagi pasti prosesnya lama.

Selepas membersihkan wajahku aku berbaring di ranjangku untuk menghilangkan rasa lelahku.
Aku tidak bisa membayangkan jika selama 3 tahun ke depan aku harus hidup dengan orang-
orang yang seperti ini. Apakah Tuhan tidak tersentuh untuk membawaku pergi dari tempat ini.
Bahkan ini lebih buruk dari takdir yang digariskan Tuhan. Adakah seseorang yang bisa merubah
hidupku? ku mohon.. bawalah aku pergi. Tapi aku percaya bahwa Tuhan tak akan memberikan
cobaan melampaui batas umatnya. Hanya kata-kata itu yang selalu menguatkanku. Sekarang aku
menyadari, Tuhan tidak sedang menghukumku karena aku nakal. Tapi Tuhan memperlakukanku
begitu spesial di antara anak-anak lainnya. Ini tampak konyol sekali. Mereka merusak mentalku.
Oke baiklah. Kalian bisa berbuat apa yang kalian suka dan aku juga akan mencari kebahagiaanku
sendiri. Tempat ini dikelilingi banyak orang bodoh. Ya Tuhan.. apa ini memang yang terbaik
untuk hidupku?

Cerpen Karangan: Devi Anggelina


SAUDARA KEMBAR NAMUN BERBEDA

Terdapat sepasang saudara kembar di sebuah kota. Mereka bernama Jessica dan Herlina,
walaupun saudara kembar, namun ada yang berbeda dari mereka. Herlina dan Jessica baru saja
sampai ke sebuah kota. Mereka pindahan dari kota lain, itu semua disebabkan oleh ayah mereka
yang pindah tugas. Saat sampai di rumah baru, Herlina sibuk membantu ayah dan ibu, tapi
Jessica hanya sibuk menonton TV dan sesekali bermain handphone aktif di SOSMED sangat
lama.

Kak Jessica, ayo kita bereskan koper kita. Dengan semangat Herlina mengajak Jessica menata
kamar mereka. Namun, dengan malas-malasan Jessica menjawab, Nanti aja, kakak mau main
HP. Ia sibuk menatap layar handphone-nya. Herlina menghela napas, ia membereskan barang-
barangnya dengan kakaknya. Setelah selesai menata kamar, Jessica dengan tiba-tiba berbicara
kepada Herlina, Her, buatin kakak teh dan biskuit. Kali ini, Jessica sedang menonton TV. Iya
kak. Herlina segera berlalu menuju dengan dapur tanpa lelahnya, lalu ia menuruti kemauan
kakaknya.

Dari dalu, sering sekali Jessica menyuruh Herlina mengerjakan tugas darinya. Entah
membuatkan PR-nya, membuatkan teh, dan lain-lain. Maka tak jarang di sekolah, Jessica selalu
mengalahkan Herlina. Mereka berdua memang mirip, namun sifat mereka bertolak belakang.
Herlina baik dan sabar, sedangkan Jessica sebaliknya. Suara derap kaki terdengar bersama
Herlina dan Jessica, seketika kelas pun menjadi riuh.

Anak-anak kita punya murid baru. Silahkan perkenalkan diri kalian! Suara bu Yanti terdengar
lembut namun tegas.

Hai guys, nama gue Jessica Ratna panggil aja Jessica, gua pindah ke sini karena bokap gue
pindah tugas.

Hai teman-teman, nama saya Herlina Ratna, kalian bisa memanggil saya Herlina, saya pindah
ke sini karena Ayah saya pindah tugas.

Baiklah, Jessica kamu duduk di sebelah Tiyas, dan Herlian silahkan duduk di sebelah Rey.
Terdengar suara riuh rendah di kelas Herlina dan Jessica saat memperkenalkan diri.
Mereka saudara kembar namun sepertinya Jessica lebih gaul. Hanny berbisik dengan Harry.

Ya, tampaknya Jessica lugu sekali. Jawab Harry. Jessica berkacak pinggang dengan sombong
menuju tempat duduknya. Ia tersenyum kepada semua orang yang belum dikenalnya, rasa PD-
nya sudah keterlaluan. Sedangkan Herlina hanya tertunduk malu melihat sikap kakaknya.

Hei Jess, ayo ke kantin, hari ini gue yang teraktir. Saat istirahat, Tiyas sudah akrab dengan
Jessica, mereka sudah saling mengenal dan sama gaya mereka yaitu sombong.

Sip. Jessica tersenyum mengejek menatap Herlina. Sekali lagi, Herlina menghela napas. Ia
hanya diam dan memutuskan untuk membaca buku di dalam kelas. Saat di tengah asyiknya
membaca buku, ada seseorang yang menegurnya, Hai, namaku Chacha, apakah kamu mau
menjadi temanku.

Mau. Matanya tak lepas dari buku yang dibacanya. Herlina tampak cuek dengan orang yang
menyapanya.

Hei Bro Jessica keluyuran ke mana-mana di sekitar rumahnya, sedangkan Herlina sibuk
berolah raga di rumah mereka yang mewah. Entah kenapa, dengan cepat Jessica mempunyai
banyak teman, di SOSMED, maupun dunia nyata. Sebenarnya, Herlina mempunyai Handphone,
namun sama sekali ia tak pernah mempergunakannya. Hanya untuk tugas saja, ia
menggunakannya. Herlina memang cenderung orang yang tertutup tidak seperti Jessica yang
sifatnya bertolak belakang, terkadang semua heran, biasanya saudara kembar itu kompak, namun
tidak dengan mereka berdua.

Herlina, sebaiknya kamu orangnya terbuka seperti kak Jessica. Kak Winda berkata, kak Winda
adalah anak sulung di keluarga Jessica dan Herlina. Kamu akan mempunyai teman, daripada
kamu terus menerus diam seperti ini. Kakak tahu, kamu lebih sopan, namun dalam hidup kita
harus bergaul. Lanjutnya dengan tersenyum meyakinkan Herlina. Herlina memandang kakak
sulungnya. Kak Winda menggangguk meyakinkan seakan tahu yang ada di hati Herlina.
Herlina, kamu beda amat sama Jessica, kamu pendiam banget ya. Gary berucap kepada
Herlina.

Herlina tersenyum, ia berkata, Aku tidak pernah menyapa orang terlebih dahulu.
Kenapa?

Karena aku malu.

Ohh Gary manggut-manggut, ia menghampiri semua temannya dengan berbisik. Herlina


tidak tahu Gary bicara apa, namun ia tidak peduli.

Hari demi hari berlalu, Herlina sudah mempunyai teman. Namun, tetap saja ada perbedaan
dengan Jessica, dan sekarang Jessica sudah keterlaluan. Woi Herlina sini lo, buatin teh dan
biskuit buat gue dan kawan gue. Sekarang! Gaya bicara Jessica mulai kasar, dan ia sering
membentak Herlina. Dengan cepat, Herlina menjalankan tugasnya dengan baik. Ini tehnya
kak. Herlina tersenyum, tanpa mengucapkan terima kasih, Jessica melempar nampan tepat ke
wajah Herlina.

Herlina menahan malu, raut wajahnya mendung menunjukkan tetes air mata akan jatuh. Herlina
menahannya sambil mencuci nampan menuju ke kamarnya. Kini kamar mereka dipisah namun
bersebelahan. Herlina menangis sedih, kini sikap kakaknya semakin menjadi-jadi. Namun, ia
tetap sabar, bagaimanapun Jessica adalah kakaknya. Entah kenapa, dari dulu Herlina tidak bisa
marah kepada kakaknya. Ia semakin sadar, bahwa ia dan Jessica berbeda walaupun saudara
kembar.

Cerpen Karangan: Tita Larasati Tjoa


YANG KAU SEBUT, TEMAN

Bak sebuah langgam lama. Bukan hilang dan pudar termakan usia. Melainkan makin mempesona
klasiknya. Layaknya kenangan yang begitu indah terpatri, masa dahulu begitu indah terlewati.
Semakin dalam menggurat kesan dalam hati. Ah, tapi apalah dayaku ini, yang hanya dapat
mengenang kembali, tanpa pernah bisa datang pada saat itu lagi.

Fajar hari ini malu-malu berangkat dari naungannya. Dingin menusuk melambatkan tugas
wajibnya. Sang embun pun enggan meninggalkan pucuk daun yang tengah kembang. Hujan
semalam membuat riang para tumbuhan. Pagar besi tua belum juga terbuka, dan lampu bundar
yang bercokol pada puncak gapuranya juga masih menyala.

Suasana begitu hening saat kayuhan pedal sepedaku berhenti di depan pagar sekolah. Hari masih
begitu pagi. Bahkan Pak Nyoto, satpam sekolah, belum terlihat di pos-nya.

Aku menyandarkan sepeda pada salah satu tembok pagar. Duduk di kursi semen yang agak basah
terdampak hujan semalam, juga embun yang begitu bersemangat menebar sejuknya. Dari
kejauhan terlihat seorang bapak tua berseragam satpam. Berjalan dengan gagahnya, meski
setengah abad sudah usia memakan tegap tubuh mantan prajurit negara itu. Pak Nyoto. Begitu ia
biasa disapa oleh seluruh warga sekolah. Satpam tua yang nyentrik, juga begitu tegas
menegakkan peraturan. Mungkin karena itu jugalah ia ditakuti sekaligus paling dianggap
menjengkelkan, terutama oleh para siswa.

Assalamualaikum, Pak, sapaku saat beliau sudah cukup dekat.

Waalaikumsalam. Sudah lama ya Mbak, datangnya?

Lumayan, Pak. Dengan cekatan beliau membuka gembok pagar. Urat-urat tuanya menonjol
pada punggung tangan yang kurus dan sudah terlihat keriput.

Ah, Pak Nyoto. Dirimu adalah simbol ketegasan, juga derita pejuang pada hari tua.

Jalan kenangan. Begitulah jalan itu disebut. Jalan yang menghubungkan area halaman, menuju
berbagai tempat di area sekolah. Ya, jalan kenangan. Memang begitu banyak siswa, dan mantan
siswa yang mempunyai kenangan pada jalan itu. Entah kenangan indah maupun yang tidak
begitu indah. Kenangan saat bercakap-cakap sambil berjalan menyusuri jalan itu pun, sanggup
mengukir kenangan. Ah, ingatanku tentu saja pada saat tiap hari menuntun sepeda melewati jalan
ini menuju tempat parkir sepeda. Tahun ini, aku duduk di bangku kelas sepuluh di sebuah
madrasah aliyah negeri di kotaku. Madrasah tercinta, madrasah favorit, yang jadi impian setiap
siswa yang akan melanjutkan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah atas. Bisa
bersekolah di sini bukanlah perkara mudah. Bayangkan saja, bila di sekolah lain hanya akan
dilihat nilai akhirnya sebagai syarat penerimaan, di sekolah ini para calon siswa harus melewati
tes masuk yang cukup berat. 125 soal dengan model bilingual test siap menanti siapa saja yang
berani menguji kualitas dirinya dengan cara mendaftar di sekolah ini. Begitu indah dan manis
mengenang berbagai perjuangan berat yang telah terlalui.

Ezra! sebuah suara membuyarkan lamunanku.

Seorang pemuda tanggung datang dengan kuda besinya. Kuda besi yang terkena busung lapar
lebih tepatnya. Ia datang dengan menuntun sepedanya, menuju ke arahku. Hai, tumben dateng
pagi, kataku memulai percakapan. Ia hanya tersenyum simpul sambil meletakkan sepedanya di
samping sepedaku.

Hari ini ada piket kelas. Tumben nggak bareng Oni sama Nila?

Iya, hari ini aku duluan. Lagi pengen menikmati udara kota yang sejuk.

Jelal adalah teman sekelasku. Pribadinya menyenangkan, juga termasuk cerdas. Menurutku dia
teman yang baik, meski kami jarang melakukan komunikasi di kelas. Maklumlah, aku ini
termasuk pendiam di kelas. Meski begitu, kebiasaan diam itu sedikit demi sedikit mulai berubah
ke arah yang lebih baik sejak aku masuk sekolah menengah atas. Mungkin karena usia dan
kesadaran akan tanggung jawab jugalah yang mengubahku. Tapi, tak mengapa bila perubahan itu
mengarah pada hal yang lebih baik. Aku bahagia.

Ra, kamu udah ngerjain tugas kimia?

Aduh, aku lupa. Kan tadi berangkat pagi buat ngerjain tugas, dengan penuh sesal, aku
merutuki diriku sendiri. Dasar pikun. Untung kamu ingetin. Yuk buruan ke kelas! Aku
memberi isyarat pada Jelal untuk mempercepat langkah. Namun, entah mengapa dia hanya
mematung di tempatnya berdiri.
Duluan deh. Aku mau ke toilet bentar. Dengan nyengir ia berlari menuju toilet.

Aku hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan cowok satu ini.

Kegiatan di sekolah kami dimulai dengan doa dan kemudian mengaji bersama di masing-masing
kelas, dengan dipandu seorang siswa yang bertugas membaca Al Qur-an pakai pengeras suara.
Indah memang suasana pagi di sekolah kami. Tenang, tenteram, selalu ku rindu setiap waktu.
Rindu waktu berserah yang begitu lumrah. Waktu religius yang hampir tidak terdapat di sekolah
umum. Baru setelah lima belas menit mengaji, kami akan masuk jam pertama.

Yang juga menjadi adat kebiasaan, para guru yang memulai pelajaran dengan salam kemudian
dijawab dan ditambah bacaan basmallah sebagai tanda mulai belajar. Saat pelajaran berakhir,
setelah guru salam, kembali diteruskan dengan alhamdulillah. Pada jam istirahat, banyak siswa
yang berjalan beriring ke masjid untuk menunaikan salat dhuha. Kemudian pada waktu duhur,
kami shalat berjamaah dengan seluruh warga sekolah. Indah. Begitulah rutinitas itu terus
berjalan setiap hari, berputar dan menjadi adat yang selalu kami bawa hingga kapan pun juga.

Jam istirahat datang. Semua siswa dengan terburu-buru melenggang ke kantin. Anak-anak
manusia yang kelaparan, yang sejak pagi harus memeras otak demi setitik ilmu. Aku sedang
malas berdesak-desakkan dengan manusia kelaparan tersebut. Jadi ku putuskan untuk berdiam di
kelas dan menuliskan beberapa bait puisi. Di balkon agak ke kiri dari ruang kelasku ada sebuah
sudut yang begitu sejuk dan menjadi salah satu tempat favoritku saat menulis. Bila kalian berdiri
dan menghadap ke arah timur laut, kalian akan mendapat pemandangan sawah yang begitu hijau,
bila musim padi. Atau hamparan padang kuning bila tanaman padi siap panen.

Terkadang tanaman jagung, atau bahkan tebu yang akan kalian lihat. Entah mengapa dari hal-hal
itu aku merasakan ketenangan yang amat sangat, kemudian aku dapat menulis dengan begitu
bersemangat. Berdiam diri di tempat itu merupakan satu ritual yang tak boleh dilewatkan. Selain
memandang hamparan sawah, dari sini bila kalian memandang lurus ke depan, akan terlihat
langit biru dan awan berarak ditambah udara sejuk yang sepoi-sepoi menggoyang dedaunan. Ah,
indahnya dunia kecilku bernama sekolah.

Hayo, Ezra lagi ngapain? Bengong aja.

Ah, hehehe, nggak lagi ngapa-ngapain.


Duh, nggak jago deh buat bohong. Nulis lagi, ya?

Em,

Seperti yang telah diketahui khalayak ramai, menulis puisi dan cerpen adalah hobi yang juga
banyak disebut orang, sebagai bakatku. Entahlah. Semua mengalir begitu saja. Kata-kata bernada
indah, berima, berirama, penuh dengan diksi. Aku tidak perlu menjawab berbagai pertanyaan
yang muncul di kala aku menulis. Toh, kalian bisa melihat sendiri. Aku mungkin hanya dapat
menulis. Kadang, banyak yang berkomentar bahwa aku aneh dengan kebiasaan menyendiri,
berdiam, mengurung diri, serta lebih banyak menatap dan menghayati apa yang digelarkan oleh
alam, di hadapanku. Aku bahagia dengan semua itu. Tapi, kegelisahan menghampiriku pagi
menjelang siang ini. Sabtu ini aku harus mengikuti lomba menulis esai, artikel, juga karya tulis.
Oleh karenanya hari ini aku serius untuk belajar menulis, yang tidak dari khayalan. Sulit juga
ternyata.

Bukan puisi, Ra? Alma berkomentar saat dia menatap kertas yang sedari tadi masih kosong
dengan main tittle, yang sengaja ku tulis, esai.

Aku hanya menggeleng. Semangat, Ra. Ini new challenge buat kamu. Nggak usah dibuat
beban.

Maunya juga kayak gitu, tapi ini demi nama sekolah. Aku takut. Yah, beban berat sedang ku
pikul sekian hari belakangan. Berawal dari keisengan Jelal, si ketua kelas, yang mendaftarkan
namaku sebagai perwakilan kelas untuk lomba menulis esai. Yah, udah terlanjur kedaftar, Ra.
Udah, ikutin aja, ya. Lagian nggak ada salahnya juga. Oke!

Seleksi tingkat sekolah hanya sebatas uji kemampuan penggunaan kata baku dan kalimat efektif.
So, pada akhirnya akulah yang mewakili sekolah bersama dua orang kakak kelas. Rasanya aku
ingin mundur saja dari lomba ini. Aku nggak mau bikin malu sekolah. Ma, apa mundur aja, ya?
kan masih banyak yang lebih bisa.

Hush, jangan. Kamu juga belum pernah nyoba, kan? Selama ini kamu belum pernah sama
sekali nguji kemampuan menulis di area lain. Kamu masih di zona nyaman. Kapan kamu mau
berkembang kalau masih di zona nyaman?
Duh, habis beban banget sih, Ma. Kalau bawa namaku doang sih, aku cuek aja. Tapi ini
menyangkut harga diri sekolah kita, Ma.

Berat amat sih Neng omongannya.

Tiba-tiba Jelal sudah berdiri di ambang pintu. Kini dengan sempurna menghadap Ezra dan Alma.

Kenapa? tanyanya retoris. Ezra yakin sejak tadi Jelal telah mendengar segala yang ia bicarakan
dengan Alma.

Nih orang masih nanya, udah tahu semua ini terjadi gara-gara dia. Ezra hanya diam dan
memasang tatapan seakan hendak mencaci-maki Jelal.

Em, Ra. Aku ngantin dulu, ya. Dah. Alma ngacir dari hadapan dua manusia itu. Alarm-nya
mengatakan ia harus segera meninggalkan pra perang dunia. Ezra kembali mencoba
memfokuskan diri pada kertas yang nangkring di pangkuannya. Tanpa menghiraukan Jelal yang
telah berpindah duduk di sebelahnya. Dari sudut matanya, Ezra dapat melihat sekilas bahwa Jelal
sedang serius menatapnya.

Apa? tanyanya ketus. Jelal menghela napas dalam-dalam.

Niatku baik, Ra. Aku nggak asal aja waktu daftarin nama kamu. Aku nggak sekedar iseng. Aku
serius karena aku yakin kamu mampu. Jelal berbicara tanpa menatap Ezra.

Pandangannya lurus pada gugusan awan yang sedang berarak indah di langit.

Maafin aku, Ra. Kalau tindakanku bikin kamu marah. Bikin kamu menderita dengan kegiatan
tulis menulis itu.

Jelal diam lama. Kembali fokusnya beralih pada Ezra. Yang jadi bahan tatapan kini sedang serius
menggores pena. Sibuk dan bahkan tak mendengar tadi Jelal berkata apa. Saat itu juga Jelal ingin
tertawa lepas. Tak mengerti serta gemas pada sikap Ezra. Akhirnya, hanya senyumlah yang
berhasil tercetak pada wajah dan matanya.

Lal, tadi ngomong apa? tanyanya polos ketika selesai menulis satu folio penuh.

Yang ditanya hanya mengedikkan bahu. Nggak apa-apa. Udah selesai nulisnya?
Udah sih, tapi nanti mau dikoreksi dulu EYD-nya. Takut nanti kena semprot parah kalau
langsung dikasih pembina. Hehehe. Ezra memamerkan senyum manisnya. Ezra sendiri selalu
bingung dengan dirinya. Terkadang ia merasa begitu mampu melakukan sesuatu. Namun di sisi
lain ia lebih banyak ragu pada kemampuannya sendiri bahkan tidak percaya diri. Entahlah itu
penyakit datang dari mana.

Hari yang dtunggu tiba. Lomba menulis esai diadakan di gedung balai kota. Ratusan siswa SMA
sederajat sejak pagi telah memenuhi aula balai kota. Ada yang duduk santai, ada pula yang
tegang bukan main seperti Ezra. Heh, ngapain sih mondar-mandir kaya setrikaan? Lila yang
sejak tadi memperhatikan tingkah laku Ezra jadi gemas sendiri dibuatnya. Duh, nggak usah
tegang kali, Ra. Lomba biasa juga. Kayak nggak pernah ikut lomba ginian aja. Komentar Sinta.

Keduanya merupakan kakak tingkat Ezra. Yang terkenal nyablak dan selalu terang-terangan
mengomentari suatu hal. Mereka memang terkenal di sekolah karena prestasi dalam bidang tulis
menulis. Sedangkan Ezra. Iya, ini pengalaman pertamanya mengikuti lomba tulis menulis.
Khususnya lomba esai. Sebelumnya ia hanya pernah mengikuti lomba menulis cerpen dan puisi,
itu pun diadakan secara online.

Ini emang pengalaman pertama, Kak. Katanya polos.

What? Sumpah lo? keduanya serentak melongo.

Beneran. Suer dah. Keduanya geleng-geleng kepala.

Makanya kemarin gue ngerasa aneh sama lo. Ternyata lo baru pertama. Ya udah sih, bawa santai
aja. Anggep latihan. Jadi selama ini lo suka nulis yang kayak gimana? Yang santai gitu-gitu ya
pasti? tebak Sinta.

Ezra hanya mengangguk. Tak lama, terdengar pengumuman bahwa semua peserta harus
memasuki ruangan untuk mengambil nomor dan lomba akan segera dimulai. Ezra mendapat
nomor 15. Sinta dan Lila masing-masing mendapat nomor 35 dan 40. Sistem lomba tersebut
adalah sekolah mengirim esai dari siswanya untuk diseleksi. Kemudian bila dinyatakan lolos,
siswa harus datang ke balai kota. Di sini para peserta akan menulis esai 2000 kata secara
spontan, dengan tema yang akan diberikan panitia saat itu juga. Waktu yang diberikan untuk
menulis adalah 60 menit. Setelah sambutan dan sebagainya, lomba pun dimulai. Para peserta kini
telah sibuk dengan pena dan kertas di meja masing-masing. Di mejanya keringat dingin Ezra
mengucur deras. Ia mendapat tema, Kebhinekaan dan Kearifan Lokal sebagai Tonggak
Kemajuan Bangsa. Tema yang sejatinya sudah ia bahas beberapa hari yang lalu dengan Jelal,
sewaktu pelajaran Pendidikan Kewargnegaraan. Otaknya terasa buntu. Entah apa yang harus ia
tulis.

Aku mesti nulis apa? Otak kenapa tiba-tiba buntu gini sih? runtuknya dalam hati.

Waktu telah berjalan 10 menit. Berarti 10 menit yang begitu berarti telah ia buang percuma.

Ayo mikir. Ia mencoba kembali fokus. Perlahan ia goreskan pena. Tapi sia-sia saja. Yang
terbentuk hanyalah sebuah titik kecil. Di sebelahnya, seorang gadis berambut pendek sedang
serius dengan kertasnya yang kini sudah sampai lembar kedua. Gadis itu menulis seperti tanpa
beban dan sesekali menggerakkan kepala ke kanan dan kiri. Lama Ezra menatap gadis itu.
Kamu mah suka gitu, Ra. Nggak yakin sama diri sendiri. Pede aja kenapa sih? Apa-apa dibawa
beban. Dikit-dikit mikir sampe baper. Kapan kamu mau maju, he? Santai aja kenapa sih? Cepet
tua tau kebanyakan serius.

Deg. Gadis itu seketika mengingatkannya dengan kata-kata Jelal. Dia selalu protes jika Ezra
terlalu serius menghadapi suatu hal. Tidak bisa diajak santai. Dan beginilah dirinya saat ini.
Terlalu merasa lomba ini adalah beban. Pelan-pelan senyum tipis terbit dari bibirnya. Dengan
semangat yang pelan-pelan menyala, ia mulai menulis. Apa saja yang ia pikirkan. Ia tidak mau
menulis dengan kalimat-kalimat yang kaku. Sebaliknya, ia sedang membayangkan menulis
cerpen setengah serius. Jadilah 6 lembar penuh kini sudah bertengger manis di depannya. Tepat
satu menit sebelum bel tanda berakhirnya lomba.

Fiuh, lumayan pegel juga tangan gue. Lo gimana, Ra? Kayaknya cengar-cengir aja. Yakin juara
nih kayaknya? Sindir Lila. Hehe nggak tahu juga, Kak Lil. Tadi bener-bener aku anggep santai
nggak kayak lomba. Entahlah hasilnya. Aku bener-bener ngerasa puas banget tadi. Ezra begitu
ceria menceritakan pengalamannya di ruangan tadi.

Syukur deh. Gue tadi udah cemas kalau lo mau nyerah. Habis ini kan pengumuman, dapet
hadiah kan. Jadi, yang hari ini dapet juara harus teraktir bakso kantin gimana? Setuju? Sinta
dengan antusias mengajukan perjanjian.
Tahu deh yang yakin banget bisa menang. Protes Lila.

Berani nggak? Sinta melirik jail pada Ezra dan Lila.

Oke. Aku setuju. Ezra antusias.

Apaan sih lo, Ra. Nggak ah. Kalau gue menang duitnya mau gue pake sendiri.

Ah elo nggak asyik Lil. Sinta dengan sewot menimpali.

Pengumuman pemenang akan segera dimulai. Setelah ishoma, semua peserta berkumpul kembali
di aula. Semua harap-harap cemas. Satu per satu nama pemenang disebutkan. Mulai dari juara
harapan 3. Ezra berhasil menjadi juara harapan kedua. Rasa haru memenuhi dadanya. Sedangkan
Sinta harus puas hanya memperoleh juara 3, dan Lila hanya mendapat juara dalam kategori judul
paling menarik. Ya, akhirnya mereka bertiga sepakat untuk menyisihkan sebagian uang hadiah
untuk disumbangkan, dan tidak jadi melaksanakan acara traktir-mentraktir karena ketiganya
sama-sama mendapat juara.

Cie, yang dapet juara mengharap. Jelal menggoda Ezra yang sedang makan di kantin bersama
Amel.

Udah puas-puasin deh ngejeknya. Hari ini aku bakal dengan ikhlas diem dan dengerin.
Katanya mengacungkan jarinya hingga membentuk V sign.

Ahahaha Aku seneng kamu kemarin menang. Jelal berkata dengan tulus.

Ini juga berkat kamu yang udah dengan seenak semaunya daftarin. Makasih ya, Jelal. Udah
sekarang kamu pesen makanan gih. Aku yang bayarin. Anggep aja sebagai syukuran dan terima
kasih. Ezra berkata tulus. Jelal hanya tersenyum sekilas.

Nggak perlu. Aku ngelihat kamu seneng aja udah cukup. Nggak perlu pake nraktir segala.
Lagian aku nggak pernah ngarep apa-apa dari kamu. Udah, pokoknya kamu harus terus
semangat, pede, dan santai. Inget, santai. Serius boleh, tapi santai juga perlu. Udah anggep aja
dengan kamu selalu percaya diri dan yakin bisa, adalah balasan buat buat aku. Ok! Eh, udah ye
aku mau ke lapangan basket dulu. Bye. Baik-baik lo. Jelal beranjak pergi dan melambai pada
Amel dan Ezra.
Ezra dan Amel masih melongo. Terpaku dan terpukau oleh kata-kata Jelal.

Ra, temen dia itu nggak lagi kesambet, kan? Tumben omongannya bening kayak begitu. Wah,
bener-bener sahabat sejati itu orang. Gumam Amel.

Sahabat.. sejati? batin Ezra.

Cerpen Karangan: Ashfi Raihan

Vous aimerez peut-être aussi