Vous êtes sur la page 1sur 8

Apendisitis

1. Definisi
Apendiks terletak pada dinding abdomen di bawah titik McBurney. Titik
McBurney dicari dengan menarik garis dari spina iliaka superior kanan ke umbilikus.
Apendisitis adalah peradangan apendiks yang mengenai semua lapisan dinding
organ tersebut (Price & Wilson, 2006).
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis (Muttaqin & Sari,
2013).
Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis dan merupakan
penyebab akut yang paling sering. Penyakit ini dapat mengenai semua umur baik
laki-laki maupun perempuan, tetapi lebih sering menyerang laki-laki berusia 10-30
tahun (Mansjoer, 2010).
Apendisitis merupakan penyakit akibat dari peradangan pada apendiks
vermiformis. Penyakit ini dapat terjadi pada semua kalangan usia dan jenis kelamin.

2. Klasifikasi
Klasifikasi apendisitis terbagi menjadi 2 yaitu apendisitis akut dan apendisitis
kronik (Rukmono, 2011)
a. Apendisitis akut
Apendisitis akut sering terlihat dengan gejala khas yang didasari oleh radang
mendadak pada apendiks yang memberikan tanda setempat, disertai maupun tidak
disertai rangsang peritoneum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar dan
tumpul yang merupakan nyeri visceral didaerah epigastrium disekitar umbilicus.
Keluhan ini sering disertai mual, muntah, dan umumnya nafsu makan menurun.
Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik McBurney.
Apendisitis akut dibagi menjadi
1) Apendisitis akut sederhana
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan rasa nyeri di
daerah umbilicus, mual, muntah, anoreksia, malaise, dan demam ringan.
2) Apendisitis akut purulenta
Tekanan dalam lumen yang terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding apendiks dan menimbulkan trombosis.
Keadaan ini memperberat iskemia dan edema pada apendiks. Mikroorganisme yang
ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding apendiks menimbulkan infeksi serosa
sehingga serosa menjadi suram karena dilapisi eksudat dan fibrin. Apendiks dan
mesoappendiks terjadi edema, hiperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen. Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,
nyeri lepas di titik McBurney, defans muskuler dan nyeri pada gerak aktif dan pasif.
Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut disertai dengan tanda-
tanda peritonitis umum.
3) Apendisitis akut gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai terganggu
sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tanda-tanda supuratif,
apendiks mengalami gangren pada bagian tertentu. Dinding apendiks berwarna
ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman. Pada apendisitis akut gangrenosa
terdapat mikroperforasi dan kenaikan cairan peritoneal yang purulen.
4) Apendisitis infiltrat
Merupakan proses radang apendiks yang penyebarannya dibatasi oleh
omentum, usus halus, sekum, kolon, dan peritoneum sehingga membentuk
gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang lainnya.
5) Apendisitis abses
Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa
iliaka kanan, lateral dari sekum, retrosekal, subsekal, dan pelvikal.
6) Apendisitis perforasi
Apendisitis perforasi adalah pecahnya apendiks yang sudah gangren yang
menyebabkan pus masuk ke dalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum.
Pada dinding apendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
b. Apendisitis kronik
Diagnosis apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu, radang kronik apendiks secara
makroskopik dan mikroskopik. Kriteria mikroskopik apendisitis kronik adalah fibrosis
menyeluruh dinding apendiks, sumbatan parsial atau total lumen apendiks, adanya
jaringan parut dan ulkus lama di mukosa dan adanya sel inflamasi kronik.

3. Epidemiologi
Hasil penelitian di bagian rekam medik RSUP Prof. Dr. R.D Kandou Manado
selama periode Oktober 2012-September 2015 menunjukkan bahwa jumlah pasien
terbanyak ialah apendisitis akut yaitu sebanyak 412 pasien (63%) sedangkan
apendisitis kronik sebanyak 38 pasien (6%). Dari 650 pasien, yang mengalami
komplikasi sebanyak 200 pasien yang terdiri dari 193 pasien (30%) dengan
komplikasi apendisitis perforasi dan 7 pasien (1%) dengan periapendikuler infiltrat
(Thomas et al, 2016)
Distribusi pasien apendisitis berdasarkan kelompok umur menunjukkan bahwa
kelompok umur yang paling banyak menderita apendisitis ialah kelompok umur 20-
29 tahun yaitu sebanyak 224 pasien (34%). Jumlah pasien yang paling sedikit
ditemukan pada kelompok umur 0-9 tahun yaitu 43 pasien (7%) (Thomas et al,
2016).

4. Etiologi
Penyebab dari apendisitis adalah adanya obstruksi pada lumen apendikeal oleh
apendikolit, hyperplasia folikel limfoid sub mukosa, fekalit (material garam kalsium,
debris fekal) atau parasit (Katz, 2009 dalam Muttaqin, 2013).
Studi epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat
dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis (Syamsuhidajat, 2005
dalam Muttaqin, 2013).
Terjadinnya apendisitis akut umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri. Namun
terdapat banyak sekali faktor pencetus terjadinya penyakit ini (Syamsuhidajat, 2005
dalam Muttaqin, 2013).
5. Faktor resiko
a. Usia
Apendisitis dapat terjadi pada semua usia dan paling sering pada dewasa muda.
Hal ini berhubungan dengan hiperplasi jaringan limfoid karena jaringan limfoid
mencapai puncak pada usia pubertas.
b. Ras
Faktor ras berhubungan dengan pola makan terutama diet rendah serat dan
pencarian pengobatan.
c. Faktor agen
Proses radang akut apendiks disebabkan invasi mikroorganisme yang ada di
usus besar. Pada kultur ditemukan kombinasi antara bacteriodes fragililis, eschericia
coli, splanchicus sp, lactobacillus sp, pseudomonas sp, bacteriodes splanicus.
d. Faktor lingkungan
Urbanisasi mempengaruhi transisi demografi dan terjadi perubahan pola makan
dalam masyarakat seiring dengan peningkatan penghasilan yaitu konsumsi tinggi
lemak dan rendah serat. Kebiasaan konsumsi rendah serat mempengaruhi defekasi
dan fekalith menyebabkan obstruksi lumen sehingga memiliki resiko apendisitis
lebih tinggi.

6. Patofisiologi
(terlampir)

7. Manifestasi klinik
Menurut (Baughman & Hackley, 2000)
a. Nyeri kuadran bawah biasanya disertai dengan demam derajat rendah, mual, dan
seringkali muntah
b. Pada titik McBurney (terletak di pertengahan antara umbilicus dan spina anterior
dari ilium) nyeri tekan setempat karena tekanan dan sedikit kaku dari bagian bawah
otot rektus kanan
c. Nyeri alih mungkin saja ada, letak appendiks mengakibatkan sejumlah nyeri tekan,
spasme otot, dan konstipasi atau diare kambuhan
d. Tanda rovsing (dapat diketahui dengan palpasi kuadran kanan bawah, yang
menyebabkan nyeri pada kuadran kiri bawah)
e. Jika terjadi ruptur apendiks, maka nyeri akan menjadi lebih menyebar; terjadi
distensi abdomen akibat ileus paralitik dan kondisi memburuk

8. Pemeriksaan diagnostik
Menurut (Muttaqin & Sari, 2013)
a. Pemeriksaan fisik
- Inspeksi pada apendisitis akut tidak ditemukan gambaran yang spesifik dan
terlihat distensi perut
- Palpasi pada daerah perut kanan bawah, apabila ditekan akan terasa nyeri dan
bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosa apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah akan
dirasakan nyeri pada perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Apabila
tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan terasa nyeri pada perut kanan
bawah yang disebut tanda Blumberg.
- Pemeriksaan rectum, pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis untuk
menentukan letak apendiks apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat dilakukan
pemeriksaan ini terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang meradang
terletak di daerah pelvis.
- Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator, pemeriksaan ini dilakukan untuk
mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperekstensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila apendiks yang
meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi dan endotorasi
sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang meradang kontak
dengan obturator internus yang merupakan dinding panggul kecil, maka
tindakan ini akan menimbulkan nyeri.
b. Pemeriksaan laboratorium
1) Hitung sel darah komplet
Pada pemeriksaan sel darah lengkap ditemukan jumlah leukosit antara 10.000-
20.000/ml (leukositosis) dan neutrophil diatas 70%
2) C-Reactive Protein (CRP)
CRP adalah sintesis dari reaksi fase akut oleh hati sebagai respons dari infeksi
atau inflamasi. Pada apendisitis didapatkan peningkatan kadar CRP.
3) Analisa urin
Bertujuan untuk mendiagnosa batu ureter dan kemungkinan infeksi saluran
kemih sebagai akibat dari nyeri perut bawah.
c. Pemeriksaan USG
Dilakukan untuk menilai inflamasi dari apendiks
d. Pemeriksaan CT-Scan
Pemeriksaan CT-Scan pada abdomen untuk mendeteksi apendisitis dan adanya
kemungkinan perforasi.

9. Penatalaksanaan
Menurut (Syamsuhidajat, 2005 dalam Muttaqin & Sari, 2013)
a. Intervensi pada unit gawat darurat
- Tujuannya untuk memberikan cairan untuk mencegah dehidrasi dan septikemia
- Pasien dipuasakan dan tidak ada asupan apapun secara oral
- Pemberian analgetik dan antibiotic melalui intravena
b. Terapi farmakologis
Preoperatif antibiotik untuk menurunkan resiko infeksi pascabedah
c. Terapi bedah
Bila diagnosis klinis sudah jelas, maka tindakan paling tepat adalah apendektomi
dan merupakan satu-satunya pilihan yang baik. Penundaan tindak bedah sambil
pemberian antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Apendektomi bisa
dilakukan secara terbuka ataupun dengan cara laporoskopi. Pada apendisitis tanpa
komplikasi biasanya tidak perlu diberikan antibiotik, kecuali pada apendisitis
gangrenosa atau apendisitis perforata.
10. Komplikasi
a. Abses
Merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran
kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan
berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila apendisitis
gangren atau mikroperforasi ditutupi oleh omentum.
b. Perforasi
Pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut.
Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam
sesudah 24 jam.
c. Peritonitis
Merupakan peradangan peritoneum, merupakan komplikasi berbahaya yang dapat
terjadi dalam bentuk akut maupun kronis. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum menyebabkan timbulnya peritonitis umum. Aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik, usus meregang, dan hilangnya cairan elektrolit
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi, dan oligouria. Peritonitis disertai
rasa sakit perut yang semakin hebat,muntah, nyeri abdomen, demam, dan leukositosis.

11. Pencegahan
a. Pencegahan primer
1) Diet tinggi serat
Diet tinggi serat mempunyai efek proteksi untuk kejadian penyakit saluran
pencernaan. Serat dalam makanan memiliki kemampuan mengikat air, selulosa,
dan pektin yang membantu mempercepat sisa-sisa makanan untuk diekskresikan
keluar sehingga tidak terjadi konstipasi.
2) Defekasi teratur
Frekuensi defekasi yang jarang akan mempengaruhi konsistensi feses yang lebih
padat sehingga terjadi konstipasi. Konstipasi akan menaikkan tekanan intracaecal
sehingga terjadi sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan
flora normal kolon. Pengerasan feses memungkinkan adanya bagian yang terselip
masuk ke saluran apendiks dan menjadi media kuman/bakteri berkembangbiak
sebagai infeksi yang menimbulkan peradangan pada apendiks.

b. Pencegahan sekunder
1) Diagnosa apendisitis
Daftar Pustaka

Baughman, Diane C & Hackley, JoAnn C. 2000. Keperawatan medikal-bedah : buku


saku dari Brunner dan Suddarth. Jakarta : EGC

Thomas, Gloria A. et al. Angka kejadian apendisitis di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou
Manado periode Oktober 2012-September 2015. Jurnal e-Clinic (eCl). 2016. 4:1

Muttaqin, Arif & Sari, Kumala. 2013. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi asuhan
keperawatan medikal bedah. Jakarta : Salemba Medika

Price, Sylvia A & Wilson, Lorraine M. 2006. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses
penyakit. Jakarta : EGC

Mansjoer, Arief. 2010. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius

Rukmono. 2011. Patologi. Jakarta : Bagian Patologi Fakultas Kedokteran Universitas


Indonesia

Vous aimerez peut-être aussi