Vous êtes sur la page 1sur 30

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex, yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru-paru.1
Terdapat 8,6 juta kasus TB pada tahun 2012 dimana 1,1 juta orang (13%)
diantaranya adalah pasien TB dengan HIV positif. Sekitar 75% dari pasien
tersebut berada di wilayah Afrika. Terdapat 450.000 orang yang menderita
TBMDR dan 170.000 orang diantaranya meninggal dunia.2
Pada tahun 2015 Indonesia menempati urutan kedua jumlah kasus TB terbanyak
setelah India. Diperkirakan pada tahun 2015 terdapat 1 juta kasus TB baru di Indonesia
dengan kematian sekitar 100.000 orang. dan TB terjadi pada lebih dari 70% usia
produktif (15-50 tahun).3 Sebagai salah satu negara dengan beban TB yang tinggi,
Indonesia telah berupaya dan berkomitmen melakukan upaya penanggulangan TB
melalui strategi Direct Observed Treatment, Short Course (DOTS) yang direkomendasi
oleh WHO dan sejak tahun 2000 strategi DOTS telah dilaksanakan secara nasional. 4
Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah besar di Indonesia, walaupun
sudah dilakukan pengobatan selama berpuluh tahun tetapi kasus TB tidak ada
habisnya. Hal ini disebabkan antara lain dokter yang mengobati TB hanya
memfokuskan diri pada penderita dengan BTA (+), yang kemungkinan besar telah
menularkan penyakit ini pada orang lain sebelum dia mendapat pengobatan.1
Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia produktif secara ekonomis (15-
50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa akan kehilangan rata-rata
waktu kerja 3-4 bulan. Hal tersebut berkibat pada kehilangan pendapatan tahunan
rumah tangganya sekitar 20-30%. Besarnya masalah kesehatan lain juga dapat
berkontribusi terhadap tetap tingginya beban TB seperti gizi buruk, merokok,
diabetes dan HIV/AIDS. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB
terhadap OAT (TB MDR) semakin memperbesar masalah akibat kasus yang sulit
disembuhkan. Keadaaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya
epidemik TB yang sulit ditangani.2
2.1 Tuberkulosis
2.1.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis complex, yang dapat menyerang berbagai organ, terutama paru-paru.
Penyakit ini bila tidak diobati atau pengoabatannya tidak tuntas dapat
menimbulkan komplikasi berbahaya hingga kematian. TB diperkirakan sudah ada
di dunia sejak 5000 tahun sebelum masehi, namun kemajuan dalam penemuan dan
pengendalian penyakit TB paru terjadi dalam 2 abad terakhir.5
Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang diserang
kuman Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru dan tuberkulosis
ekstra paru.Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura (selaput paru). Sedangkan tuberkulosis ekstra paru adalah
tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru misalnya, pleura,
selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.5
Suspek TB adalah seseorang dengan gejala atau tanda TB. Kasus TB pasti
yaitu pasien TB dengan ditemukan Mycobacterium tuberculosis complex yang
diidentifikasi dari spesimen klinik (jaringan, cairan tubuh, usap tenggorok, dll)
dan kultur atau seorang pasien yang telah dilakukan pemeriksaan penunjang untuk
Tb sehingga didiagnosis TB oleh dokter maupun petugas kesehatan dan diobati
dengan panduan dan lama pengobatan yang lengkap.1

2.1.2 Kuman Tuberkulosis


Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung,
tidak berspora dan tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3 0,6 mm dan
panjang 1 4 mm. Dinding M. tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan
lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel M. tuberculosis ialah
asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang
disebut cord factor, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi.
Asam mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60 C90) yang
dihubungkan dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan
peptidoglikan oleh jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding
sel bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan.
Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M.
tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan
terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam alkohol.5
Komponen antigen ditemukan di dinding sel dan sitoplasma yaitu komponen
lipid, polisakarida dan protein. Karakteristik antigen M. tuberculosis dapat
diidentifikasi dengan menggunakan antibodi monoklonal . Saat ini telah
dikenal purified antigens dengan berat molekul 14 kDa (kiloDalton), 19 kDa, 38
kDa, 65 kDa yang memberikan sensitiviti dan spesifisiti yang bervariasi dalam
mendiagnosis TB. Ada juga yang menggolongkan antigen M. tuberculosis dalam
kelompok antigen yang disekresi dan yang tidak disekresi (somatik).Antigen yang
disekresi hanya dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000 a,
protein MTP 40 dan lain lain.5

2.1.3 Cara penularan1


Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif melalui percik renik dahak
yang dikeluarkannya. Namun, bukan berarti bahwa pasien TB dengan hasil
pemeriksaan BTA negatif tidak mengandung kuman dalam dahaknya. Hal tersebut
bisa saja terjadi oleh karena jumlah kuman yang terkandung dalam contoh uji
dari 5.000 kuman/cc dahak sehingga sulit dideteksi melalui pemeriksaan
mikroskopis langsung.Pasien TB dengan BTA negatif juga masih memiliki
kemungkinan menularkan penyakit TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif
adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan hasil kultur positif adalah 26%
sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto Toraks positif adalah
17%. Infeksi akan terjadi apabila orang lain menghirup udara yang mengandung
percik renik dahak yang infeksius tersebut. Pada waktu batuk atau bersin, pasien
menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei /
percik renik). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.
2.1.4 Patogenesis Tuberkulosis5
2.1.4.1 Tuberkulosis Primer
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di
jaringan paru sehingga akan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut
sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana
saja dalam paru, berbeda dengan sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan
kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus (limfangitis lokal).
Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di hilus
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional
dikenal sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu
nasib sebagai berikut :

1) Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad


integrum)
2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis
fibrotik, sarang perkapuran di hilus)
3) Menyebar dengan cara :
a) Perkontinuitatum, menyebar ke sekitarnya
Salah satu contoh adalah epituberkulosis, yaitu suatu kejadian penekanan
bronkus, biasanya bronkus lobus medius oleh kelenjar hilus yang membesar
sehingga menimbulkan obstruksi pada saluran napas bersangkutan, dengan
akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan menjalar sepanjang bronkus yang
tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan menimbulkan peradangan pada
lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai epituberkulosis.
b) Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan
c) Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan
daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang
ditimbulkan dapat sembuh secara spontan, akan tetetapi bila tidak terdapat
imuniti yang adekuat, penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup
gawat seperti tuberkulosis milier, meningitis tuberkulosis, typhobacillosis
Landouzy. Penyebaran ini juga dapat menimbulkan tuberkulosis pada organ
tubuh lainnya, misalnya tulang, ginjal, anak ginjal, genitalia dan
sebagainya. Komplikasi dan penyebaran ini mungkin berakhir dengan :
- Sembuh dengan meninggalkan sekuele (misalnya pertumbuhan terbelakang
pada anak setelah mendapat ensefalomeningitis, tuberkuloma) atau
- Meninggal. Semua kejadian di atas adalah perjalanan tuberkulosis primer.
2.1.4.2 Tuberkulosis Postprimer5
Tuberkulosis postprimer akan muncul bertahun-tahun kemudian setelah
tuberkulosis primer, biasanya terjadi pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis
postprimer mempunyai nama yang bermacam-macam yaitu tuberkulosis bentuk
dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis menahun, dan sebagainya. Bentuk
tuberkulosis inilah yang terutama menjadi masalah kesehatan masyarakat, karena
dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis postprimer dimulai dengan sarang
dini, yang umumnya terletak di segmen apikal lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumoni kecil. Sarang
pneumoni ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :

1) Diresopsi kembali dan sembuh tanpa meninggalkan cacat.


2) Sarang tersebut akan meluas dan segera terjadi proses penyembuhan dengan
penyebukan jaringan fibrosis. Selanjutnya akan terjadi pengapuran dan akan
sembuh dalam bentuk perkapuran. Sarang tersebut dapat menjadi aktif
kembali dengan membentuk jaringan keju dan menimbulkan kaviti bila
jaringan keju dibatukkan keluar.
3) Sarang pneumoni meluas, membentuk jaringan keju (jaringan
kaseosa). Kaviti akan muncul dengan dibatukkannya jaringan keju keluar.
Kaviti awalnya berdinding tipis, kemudian dindingnya akan menjadi tebal
(kaviti sklerotik). Kaviti tersebut akan menjadi:
a) meluas kembali dan menimbulkan sarang pneumoni baru. Sarang pneumoni
ini akan mengikuti pola perjalanan seperti yang disebutkan di atas
b) memadat dan membungkus diri (enkapsulasi), dan disebut tuberkuloma.
Tuberkuloma dapat mengapur dan menyembuh, tetapi mungkin pula aktif
kembali, mencair lagi dan menjadi kaviti lagi.
c) bersih dan menyembuh yang disebut open healed cavity, atau kaviti
menyembuh dengan membungkus diri dan akhirnya mengecil. Kemungkinan
berakhir sebagai kaviti yang terbungkus dan menciut sehingga kelihatan
seperti bintang (stellate shaped).

Gambar 2.1 Skema perkembangan sarang tuberkulosis post primer dan perjalanan
penyembuhannya5

2.1.5 Klasifikasi Tuberkulosis1


Kasus TB diklasifikasikan berdasarkan letak anatomi penyakit, hasil
pemeriksaan dahak atau bakteriologi (termasuk hasil resistensi), riwayat
pengobatan sebelumnya, dan status HIV pasien.

2.1.5.1 Berdasarkan Letak Anatomi Penyakit


Berdasarkan letaknya, TB dibedakan menjadi :
1. Tuberkulosis paru adalah kasus TB yang mengenai parenkim paru.
Tuberkulosis milier diklasifikasikan sebagai TB paru karena lesinya
yang terletak dalam paru.
2. TB ekstraparu adalah kasus TB yang mengenai organ lain selain paru
seperti pleura, kelenjar getah bening (termasuk mediastinum dan/atau
hilus), abdomen, traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang, dan
selaput otak.

2.1.5.2 Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Dahak atau Bakteriologi


Dinyatakan tuberkulosis paru BTA positif (+), apabila :
1. Minimal satu dari sekurang-sekurangnya dua kali pemeriksaan dahak
menunjukan hasil positif pada laboratorium yang memenuhi syarat
quality external assurance (EQA). Sebaiknya satu kali pemeriksaan
dahak tersebut berasal dari dahak pagi hari.
2. Pada negara atau daerah yang belum memiliki laboratorium dengan
syarat EQA, maka TB paru BTA positif adalah :
a. Dua atau lebih hasil pemeriksaan dahak BTA positif, atau
b. Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan didukung hasil
pemeriksaan foto toraks sesuai dengan gambaran TB yang
ditetapkan oleh klinisi, atau
c. Satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil kultur M.
Tuberculosis positif

Dinyatakan tuberkulosis paru BTA negatif (-), apabila :


1. Hasil pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur positif.
a. Sedikitnya dua hasil pemeriksaan dahak BTA negatif pada
laboratorium yang memenuhi syarat EQA
b. Dianjurkan pemeriksaan kultur pada hasil pemeriksaan dahak BTA
negatif untuk memastikan diagnosis terutama pada daerah dengan
prevalensi HIV > 1% atau pasien TB dengan kehamilan 5%

Atau

2. Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negatif di daerah yang
belum memiliki fasilitas kultur M. Tuberculosis
3. Memenuhi kriteria dimana hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB
aktif dan disertai salah satu dibawah ini :
a. Hasil pemeriksaan HIV positif atau secara laboratorium sesuai HIV,
atau
b. Jika HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui atau prevalensi
HIV rendah), tidak menunjukan perbaikan setelah pemberian
antibiotik spektrum luas (kecuali antibiotik yang mempunyai efek
anti TB seperti flurokuinolon dan aminoglikosida)
4. Kasus bekas TB
a. Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan
gambaran radiologi paru menunjukan lesi TB yang tidak aktif, atau
foto serial (dalam 2 bulan) menunjukan gambaran yang menetap.
Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung
b. Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah
mendapat pengobatan OAT 2 bulan tetapi pada foto toraks ulang
tidak ada perubahan gambaran radiologi

2.1.5.3 Berdasarkan Hasil Pengobatan Sebelumnya


Riwayat pengobatan sangat penting diketahui untuk melihat risiko resistensi
obat atau MDR.pada kelompok ini perlu dilakukan pemeriksaan kultur dan uji
kepekaan OAT. Tipe pasien berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu:

1. Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan pengobatan TB


sebelumnya atau sudah pernah mendapatkan OAT kurang dari satu bulan.
Pasien dengan hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi
penyakit dimanapun.
2. Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah pasien yang sudah pernah
mendapatkan pengobatan TB sebelumnya minimal selama satu bulan, dengan
hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit
dimanapun.

3. Kasus kambuh (relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah


mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan
perubahan pada gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali,
harus dipikirkan beberapa kemungkinan seperti infeksi sekunder, infeksi
jamur, dan TB paru kambuh
4. Kasus defaulted atau drop out adalah pasien yang telah mengalami pengobatan
1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut turut atau lebih sebelum
masa pengobatan selesai.
5. Kasus Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
6. Kasus kronik adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
7. Kasus bekas TB jika hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada
fasilitas) negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif,
terlebih gambaran radiologik serial menunjukkan gambaran yang menetap.
Riwayat pengobatan OAT yang adekuat akan lebih mendukung. Atau pada
kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun setelah
mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan
gambaran radiologik

2.1.5.4 Status HIV


Berdasarkan status HIV nya, pasien TB dibagi menjadi :
1. Kasus TB dengan HIV positif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis
atau klinis yang memiliki hasil positif untuk tes infeksi HIV yang
dilakukan pada saat ditegakkan diagnosis TB atau memiliki bukti
dokumentasi bahwa pasien telah terdaftar di register HIV atau obat
antiretroviral (ARV) atau praterapi ARV.
2. Kasus TB dengan HIV negatif adalah kasus TB konfirmasi bakteriologis
atau klinis yang memiliki hasil negatif untuk tes HIV yang dilakukan
pada saat ditegakkan diagnosis TB. Bila pasien ini diketahui HIV positif
di kemudian hari harus disesuaikan klasifikasinya.
3. Kasus TB dengan status HIV tidak diketahui adalah kasus TB konfirmasi
bakteriologis atau klinis yang tidak memiliki hasil tes HIV dan tidak
memiliki bukti dokumentasi telah terdaftar dalam register HIV. Bila
pasien ini diketahui HIV positif dikemudian hari harus disesuaikan
klasifikasinya.

2.1.6 Diagnosis Tuberkulosis


Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan gejala klinik, pemeriksaan fisik
atau jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan pemeriksaan penunjang
lainnya.

2.1.6.1 Gejala Klinik1


Gejala klinik tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
respiratorik dan gejala sistemik. Gejala respiratorik seperti batuk 2 minggu,
batuk darah, sesak napas, dan nyeri dada. Gejala respiratorik ini sangat bervariasi,
dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang cukup berat tergantung dari luas
lesi. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka penderita mungkin
tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
Gejala tuberkulosis ekstra paru tergantung dari organ yang terlibat, misalnya
pada limfadenitis tuberkulosa akan terjadi pembesaran yang lambat dan tidak
nyeri dari kelenjar getah bening, pada meningitis tuberkulosa akan terlihat gejala
meningitis, sementara pada pleuritis tuberkulosa terdapat gejala sesak napas dan
kadang nyeri dada pada sisi yang rongga pleuranya terdapat cairan. Gejala
sistemik berupa demam, malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan
menurun.

2.1.6.2 Pemeriksaan Fisik1


Pada pemeriksaan jasmani kelainan yang akan dijumpai tergantung dari organ
yang terlibat. Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru. Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan. Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1
dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari
banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada
auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang
terdapat cairan.
Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening,
tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-
kadang di daerah ketiak. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi cold
abscess.

2.1.6.3 Pemeriksaan Radiologis1


Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA dengan atau tanpa foto lateral.
Pemeriksaan lain atas indikasi: foto apiko-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada
pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam
bentuk (multiform). Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif
adalah bayangan berawan atau nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas
paru dan segmen superior lobus bawah, kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi
oleh bayangan opak berawan atau nodular, bayangan bercak milier, efusi pleura
unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif yaitu fibrotik, kalsifikasi
Schwarte atau penebalan pleura. Luluh Paru (Destroyed Lung) merupakan
gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat,
biasanya secara klinis disebut luluh paru .Gambaran radiologik luluh paru terdiri
dari atelektasis, multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai
aktiviti lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut. Perlu
dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit

2.1.6.4 Pemeriksaan Bakteriologis5


2.4.6.4.1 Sputum
Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai
keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak
untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 contoh uji dahak
yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak
Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS):

1. S (sewaktu): dahak ditampung pada saat terduga pasien TB datang


berkunjung pertama kali ke fasilitas pelayanan kesehatan. Pada saat
pulang, terduga pasien membawa sebuah pot dahak untuk menampung
dahak pagi pada hari kedua.
2. P (Pagi): dahak ditampung di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah
bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di fasilitas
pelayanan kesehatan.
3. S (sewaktu): dahak ditampung di fasilitas pelayanan kesehatan pada hari
kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih lanjut
yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. 1). Kalau hasil
rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis sebagai penderita
TB BTA positif. 2). Kalau hasil rontgen tidak mendukung TB, maka pemeriksaan
dahak SPS diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas
(misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu.Bila tidak ada
perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi pemeriksaan dahak SPS.
1). Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai penderita tuberkulosis BTA
positif. 2). Kalau hasil SPS tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada,
untuk mendukung diagnosis TB.
Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB BTA negatif
rontgen positif. Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan
TB.5
Berdasarkan WHO pada tahun 1991 memberikan kriteria pada pasien TB paru
menjadi : a). Pasien dengan sputum BTA positif adalah pasien yang pada
pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang kurangnya
pada 2 kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif disertai kelainan radiologis
yang sesuai dengan gambaran TB aktif /1 sediaan sputumnya positif disertai
biakan yang positif. b). Pasien dengan sputum BTA negatif adalah pasien yang
-

pada pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama


Bukan
TB BTA Negatif Rontgen
sekali, TBC, Penyakit
Positif
tetapi pada Lain
biakannya positif/ radiologi menunjukan lesi aktif .2

+
+

Gambar 2.2 Skema alur diagnosis TB paru pada orang dewasa1

Bukan T

21.7 Komplikasi Tuberkulosis


Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura,
empiema, laringitis, ususPoncets arthropathy.

Komplikasi lanjut dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan


parenkim paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal
napas (sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB).2

2.1.8 Pengobatan Tuberkulosis Paru


2.1.8.1 Pengobatan Tuberkulosis Paru
1. Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan
produktivitas
2. Mencegah kematian karena penyakit TB aktif atau efek lanjutannya
dampak buruk selanjutnya.
3. Mencegah kekambuhan
4. Mengurang transmisi atau penularan kepada yang lain
5. Mencegah terjadinya resistensi obat dan penularannya

2.1.8.2 Prinsip Pengobatan TB5


Obat anti tuberculosis (OAT) adalah komponen terpenting dalam pengobatan
TB. Pengobatan TB adalah merupakan salah satu upaya paling efisien untuk
mencegah penyebaran lebih lanjut dari kuman TB. Pengobatan yang adekuat
harus memenuhi prinsip:

1. Pengobatan diberikan dalam bentuk paduan OAT yang tepat mengandung


minimal 4 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi.
2. Diberikan dalam dosis yang tepat.
3. Ditelan secara teratur dan diawasi secara langsung oleh PMO
(Pengawasan minum obat) sampai selesai pengobatan.
4. Pengobatan diberikan dalam jangka waktu yang cukup terbagi dalam
tahap awal serta tahap lanjutan untuk mencegah kekambuhan.

2.1.8.3 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


1. Jenis obat lini pertama adalah INH, rifampisin, pirazinamid, etambutol,
dan streptomisin
2. Jenis obat lini kedua adalah kanamisin, kapreomisin, amikasin,
kuinolon, sikloserin, etionamid/protionamid, dan para-amino salisilat
(PAS).

2.1.8.4 Tahap Pengobatan TB6


Pengobatan TB harus selalu meliputi pengobatan tahap awal dan tahap lanjutan
dengan maksud:

1. Tahap awal: pengobatan diberikan setiap hari. Paduan pengobatan pada


tahap ini adalah dimaksudkan untuk secara efektif menurunkan jumlah
kuman yang ada dalam tubuh pasien dan meminimalisir pengaruh dari
sebagian kecil kuman yang mungkin sudah resisten sejak sebelum
pasien mendapat pengobatan.
Pengobatan tahap awal pada semua pasien baru, harus diberikan selama
2 bulan. Pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa
adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah
pengobatan selama 2 minggu.
2. Tahap lanjutan: pengobatan tahap lanjutan merupakan tahap yang
penting untuk membunuh sisa-sisa kuman yang masih ada dalam tubuh
khususnya kuman persisten sehingga pasien dapat sembuh dan
mencegah terjadinya kekambuhan.

Tabel 2.1 Jenis dan Sifat OAT


Jenis OAT Sifat Keterangan

Isoniazid (H) Bakterisid Obat ini sangat efektif terhadap kuman dalam
keadaan metabolik aktif, yaitu kuman yang sedang
Terkuat
berkembang. Mekanisme kerjanya adalah
menghambat cell-wall biosynthesis pathway

Rifampisin Bakterisid Rifampisin dapat membunuh kuman semi-dormant


(R) (persistent) yang tidak dapat dibunuh oleh Isoniazid.
Mekanisme kerjanya adalah menghambat
polimerase DNA-dependent ribonucleic acid (RNA)
M. Tuberculosis

Pirazinamid Bakterisid Pirazinamid dapat membunuh kuman yang berada


(Z) dalam sel dengan suasana asam. Obat ini hanya
diberikan dalam 2 bulan pertama pengobatan.

Streptomisin Bakterisid obat ini adalah suatu antibiotik golongan


(S) aminoglikosida dan bekerja mencegah pertumbuhan
organisme ekstraselular.

Etambutol (E) Bakteriostatik -

2.1.8.5 Panduan Obat Anti Tuberkulosis1


PengobatanTB standar dibagi menjadi

1. Pasien baru
Panduan obat yang dianjurkan 2HRZE/4HR dengan pemberian dosis
setiap hari. Bila menggunakan OAT program, maka pemberian dosis
setiap hari pada fase intensif dilanjutkan dengan pemberian dosis tiga
kali seminggu dengan DOT 2HRZE/4H3R3
2. Pada pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual.
Selama menunggu hasil uji kepekaan, diberikan panduan obat
2HRZES/HRZE/5HRE

2.1.8.6 Dosis Obat


Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia secara
harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien.

Tabel 2.2 Jenis dan dosis OAT1


Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis Dosis (mg)/ berat badan
(mg/Kg maks/hr (kg)/hr
Harian Intermitten <40 40-60 >60
BB/hari) (mg)
(mg/KgBB/ (mg/KgBB/
kali) kali)
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 300 300 300
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000

2.1.8.7 Kombinasi Obat


Kemasan OAT terdiri dari obat tunggal dan obat kombinasi dosis tetap/KDT
(Fixed Dose Combination/FDC). Pada obat tunggal, disajikan secara terpisah,
masing masing INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol. Pada KDT terdiri
dari 2 sampai 4 obat dalam 1 tablet. Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD
merekomendasikan pemakaian obat kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis
yang efektif dalam terapi TB untuk menggantikan paduan obat tunggal sebagai
bagian dari strategi DOTS.Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket dengan
tujuan memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan pengobatan
sampai selesai.Tersedia obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan
OAT kategori I dan II.

Tablet OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet.
Dosisnya (jumlah tablet yang diminum) disesuaikan dengan berat badan pasien,
paduan ini dikemas dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1 masa pengobatan.
Dosis paduan OAT-KDT untuk kategori I, II dan sisipan dapat dilihat pada tabel di
bawah ini.

Tabel 2.3 Dosis obat antituberkulosis kombinasi dosis tetap1


BB (Kg) Fase intensif Fase lanjutan
2-3 bulan 4 bulan
Harian Harian 3x/minggu
(RHZE) (RH) (RH)
150/75/400/275 150/75 150/150
30 37 2 2 2
38 54 3 3 3
55 70 4 4 4
> 71 5 5 5
Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3

Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan3x seminggu

Berat Badan RHZE (150/75/400/275) + S RH (150/150) + E (400)

Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 Minggu

30 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2


tab Etambutol
Streptomisin inj

38 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3


tab Etambutol
Streptomisin inj

55 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4


tab Etambutol
Streptomisin inj

> 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5


tab Etambutol
Streptomisin inj

Tabel 2.5 Dosis OAT untuk Sisipan

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari

RHZE (150/75/400/275)

30 37 kg 2 tablet 4KDT

38 54 kg 3 tablet 4KDT

55 70 kg 4 tablet 4KDT

71 kg 5 tablet 4KDT
2.1.8.8 Efek Samping Pengobatan
Tabel 2.6 Efek Samping Pengobatan2
Efek samping Kemungkinan Tatalaksana
Penyebab
Minor OAT diteruskan
Tidak nafsu makan, mual, Rifampisin Obat diminum malam sebelum
sakit perut tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar INH Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x
di kaki 100 mg perhari
Warna kemerahan pada air Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi
seni apa-apa
Mayor Hentikanobat

Gatal dan kemerahan pada Semua jenis OAT Beri antihistamin dan dievaluasi
kulit ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan keseimbangan Streptomisin Streptomisin dihentikan
(vertigo dan nistagmus)
Ikterik / Hepatitis Imbas Obat Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT sampai
(penyebab lain disingkirkan) ikterik menghilang dan boleh
diberikan hepatoprotektor
Muntah dan confusion Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT dan lakukan
(suspected drug-induced pre- uji fungsi hati
icteric hepatitis)
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan etambutol
Kelainan sistemik, termasuk Rifampisin Hentikan rifampisin
syok dan purpura

2.1.9. Evaluasi Pengobatan


Evaluasi meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturan berobat.2
Evaluasi klinik dilakukan pada penderita setiap 2 minggu pada 1 bulan
pertama pengobatan selanjutnya setiap 1 bulan. Evaluasi dilakukan untuk menilai
respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit. Evaluasi klinik meliputi keluhan, berat badan, dan
pemeriksaan fisik.2
Evaluasi bakteriologik bertujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi
dahak. Evaluasi dahak dilakukan pada saat sebelum pengobatan, setelah 2 bulan
pengobatan, setelah 5 bulan pengobatan dan pada akhir pengobatan.2
Evaluasi radiologik/ foto toraks sebaiknya dilakukan pada saat sebelum
pengobatan, setelah 2 bulan pengobatan, dan pada akhir pengobatan.2
Evaluasi efek samping obat bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi
hati, fungsi ginjal dan darah lengkap. Fungsi hati yang diperiksa antara lain
SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal antara lain ureum, kreatinin, dan gula darah,
asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan.
Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid. Pemeriksaan visus dan uji
buta warna bila menggunakan etambutol. Penderita yang mendapat streptomisin
harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri. Pada anak dan dewasa muda
umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut. Bila pada evaluasi klinik
dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk
memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman.2
Edukasi mengenai panduan obat yang digunakan; keteraturan berobat dan
diminum tidaknya obat tersebut sangat penting dalam menentukan keberhasilan
pengobatan. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistensi.2

2.1.10. Pengobatan TB pada keadaan khusus


2.1.10.1 Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk
kehamilan, kecuali golongan Aminoglikosida seperti streptomisin atau kanamisin
karena dapat menimbulkan ototoksik pada bayi (permanent ototoxic) dan dapat
menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya
gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan
dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya
sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang
akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB. Pemberian Piridoksin 50
mg/hari dianjurkan pada ibu hamil yang mendapatkan pengobatan TB, sedangkan
pemberian vitamin K 10mg/hari juga dianjurkan apabila Rifampisin digunakan
pada trimester 3 kehamilan menjelang partus.4

2.1.10.2. Ibu menyusui dan bayinya


Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan
pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang
ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat.
Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan
kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut
dapat terus diberikan ASI. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada
bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.2

2.1.10.3 Pasien TB pengguna kontrasepsi


Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB,
susuk KB) sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang
pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal.4

2.1.10.4 Pasien TB dengan Hepatitis akut


Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik,
ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Sebaiknya dirujuk ke
fasyankes rujukan untuk penatalaksanaan spesialistik.4
Pasien dengan kondisi berikut dapat diberikan paduan pengobatan OAT yang
biasa digunakan apabila tidak ada kondisi kronis antara lain pembawa virus
hepatitis, riwayat penyakit hepatitis akut, dan saat ini masih sebagai pecandu
alkohol Reaksi hepatotoksis terhadap OAT umumnya terjadi pada pasien dengan
kondisi tersebut diatas sehingga harus diwaspadai.4

2.1.10.5 Pasien TB dengan Hepatitis Kronis


Pada pasien dengan kecurigaan mempunyai penyakit hati kronis, pemeriksaan
fungsi hati harus dilakukan sebelum memulai pengobatan. Apabila hasil
pemeriksaan fungsi hati >3 x normal sebelum memulai pengobatan, paduan OAT
berikut ini dapat dipertimbangkan:4
a. 2 obat yang hepatotoksik
2 HRSE / 6 HR
9 HRE
b. 1 obat yang hepatotoksik
2 HES / 10 HE
c. Tanpa obat yang hepatotoksik
18-24 SE ditambah salah satu golongan fluorokuinolon (ciprofloxasin tidak
direkomendasikan karena potensinya sangat lemah).
Semakin berat atau tidak stabil penyakit hati yang diderita pasien TB, harus
menggunakan semakin sedikit OAT yang hepatotoksik. Konsultasi dengan
seorang dokter spesialis sangat dianjurkan, Pemantauan klinis dan LFT harus
selalu dilakukan dengan seksama, Pada panduan OAT dengan penggunaan
etambutol lebih dari 2 bulan diperlukan evaluasi gangguan penglihatan.4

2.1.10.6 Pasien TB dengan gangguan fungsi ginjal


Paduan OAT yang dianjurkan adalah pada pasien TB dengan gagal ginjal atau
gangguan fungsi ginjal yang berat: 2 HRZE/4 HR. H dan R diekskresi melalui
empedu sehingga tidak perlu dilakukan perubahan dosis. Dosis Z dan E harus
disesuaikan karena diekskresi melalui ginjal. Dosis pemberian 3 x /minggu bagi Z
: 25 mg/kg BB dan E : 15 mg/kg BB.
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau gagal ginjal, perlu diberikan
tambahan Piridoksin (vit. B6) untuk mencegah terjadinya neuropati perifer.
Hindari penggunaan Streptomisin dan apabila harus diberikan, dosis yang
digunakan: 15 mg/kgBB, 2 atau 3 x /minggu dengan maksimum dosis 1 gr untuk
setiap kali pemberian dan kadar dalam darah harus selalu dipantau. Pasien dengan
penyakit ginjal sangat berisiko untuk terkena TB khususnya pada pasien dengan
penyakit ginjal kronis. Secara umum, risiko untuk mengalami efek samping obat
pada pengobatan pasien TB dengan gagal kronis lebih besar
dibanding pada pasien TB dengan fungsi ginjal yang masih normal. Kerjasama
dengan dokter yang ahli dalam penatalaksanaan pasien dengan gangguan fungsi
ginjal sangat diperlukan.4
Sebagai acuan, tingkat kegagalan fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronis
dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 2.7. Acuan Fungsi Ginjal


Tingkat Hasil pemeriksaan klirens kreatinin
1 KK (normal) dan fungsi ginjal normal namun terdapat kelainan saluran
kencing, misalnya: ginjal polikistik, kelainan struktur
2 KK (60-90 ml/menit)
3 KK (30-60 ml/menit)
4 KK (15-30 ml/menit)
5 KK (<15 ml/menit) dengan atau tanpa dialysis

Tabel 2.8. Dosis OAT TB pada pasien dengan penyakit ginjal kronis
OAT Stadium 1-3 Stadium 4-5
Isoniazid 300 mg/hari Diberikan 3x/minggu
Dosis 300 mg/setiap
pemberian
Rifampisin <50 kg: 450 mg/hari <50 kg: 450 mg/hari
>50 kg: 600 mg/hari >50 kg: 600 mg/hari
Pirasinamid <50 kg: 1,5 g/hari 25-30 mg/kgBB/hari
>50 kg: 2 g/hari Diberikan 3x/minggu
Etambutol 15 mg/kgBB/hari 15-25 mg/kgBB/hari
Diberikan 3x/minggu
2.1.10.7. Pasien TB dengan Diabetes Melitus (DM)
TB merupakan salah satu faktor risiko tersering pada seseorang dengan
Diabetes mellitus. Anjuran pengobatan TB pada pasien dengan Diabetes mellitus
sebagai berikut:4
a) Paduan OAT yang diberikan pada prinsipnya sama dengan paduan OAT bagi
pasien TB tanpa DM dengan syarat kadar gula darah terkontrol
b) Apabila kadar gula darah tidak terkontrol, maka lama pengobatan dapat
dilanjutkan sampai 9 bulan
c) Hati hati efek samping dengan penggunaan Etambutol karena pasien DM
sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
d) Perlu diperhatikan penggunaan Rifampisin karena akan mengurangi efektifitas
obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
e) Perlu pengawasan sesudah pengobatan selesai untuk mendeteksi dini bila
terjadi kekambuhan

2.1.10.8 Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid


Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan
jiwa pasien seperti:4
a) Meningitis TB dengan gangguan kesadaran dan dampak neurologis
b) TB milier dengan atau tanpa meningitis
c) Efusi pleura dengan gangguan pernafasan berat atau efusi pericardial
d) Laringitis dengan obstruksi saluran nafas bagian atas, TB saluran kencing
(untuk mencegah penyempitan ureter), pembesaran kelenjar getah bening
dengan penekanan pada bronkus atau pembuluh darah.
e) Hipersensitivitas berat terhadap OAT.
f)IRIS ( Immune Response Inflammatory Syndrome)
Dosis dan lamanya pemberian kortikosteroid tergantung dari berat dan
ringannya keluhan serta respon klinis. Dosis predinisolon (per oral) dewasa yakni
30 60 mg, sekali sehari pada pagi hari. Apabila pengobatan diberikan sampai
atau lebih dari 4 minggu, dosis harus diturunkan secara bertahap (tappering off).4

2.1.10.9 Pasien TB dengan HIV/AIDS


Pada daerah dengan angka prevalens HIV yang tinggi di populasi dengan
kemungkinan koinfeksi TB-HIV, maka konseling dan pemeriksaan HIV
diindikasikan untuk seluruh TB pasien sebagai bagian dari penatalaksanaan rutin.
Pada daerah dengan prevalens HIV yang rendah, konseling dan pemeriksaan HIV
hanya diindikasi pada pasien TB dengan keluhan dan tanda tanda yang diduga
berhubungan dengan HIV dan pada pasien TB dengan riwayat risiko tinggi
terpajan HIV. Jadi tidak semua pasien TB paru perlu diuji HIV. Hanya pasien TB
paru tertentu saja yang memerlukan uji HIV, misalnya:8
a) Ada riwayat perilaku risiko tinggi tertular HIV
b) Hasil pengobatan OAT tidak memuaskan
c) MDR TB / TB kronik

Pemeriksaan minimal yang perlu dilakukan untuk memastikan diagnosis TB


paru adalah pemeriksaan BTA dahak, foto toraks dan jika memungkinkan
dilakukan pemeriksaan CD4. Gambaran penderita HIV-TB dapat dilihat pada
tabel berikut.1

Tabel 2.9. Gambaran TB-HIV


Infeksi dini Infeksi lanjut
(CD4>200/mm3) (CD4<200/mm3)
Sputum mikroskopis Sering positif Sering negative
TB Ekstra paru Jarang Umum/banyak
Mikobakterimia Tidak ada Ada
Tuberkulin Positif Negatif
Foto toraks Reaktivasi TB, kaviti di Tipikal primer TB
puncak milier/interstisial
Adenopati Tidak ada Ada
hilus/mediastinum
Efusi pleura Tidak ada Ada
Prinsip pengobatan OAT pada TB-HIV:1
a) Pada dasarnya pengobatannya sama dengan pengobatan TB tanpa HIV/AIDS.
b) Prinsip pengobatan adalah menggunakan kombinasi beberapa jenis obat dalam
jumlah cukup dan dosis serta jangka waktu yang tepat
c) Injeksi streptomisin hanya boleh diberikan jika tersedia alat suntik sekali pakai
yang steril.
d) Pada pasien TB dengan HIV/AIDS yang tidak memberi respons terhadap
pengobatan, selain dipikirkan terdapat resistensi terhadap obat atau terdapat
malabsorpsi obat. Pada pasien HIV/AIDS terdapat korelasi antara imunosupresi
yang berat dengan derajat penyerapan, karenanya dosis standar OAT yang
diterima suboptimal sehingga konsentrasi obat rendah dalam serum.
e) Pemberian ART pada pasien TB/HIV berdasarkan status HIV (klinis/kadar
CD4)

Jika pemeriksaan CD4 tersedia


Nilai CD4 ART
<200 Mulai ART saat pengobatan TB tanpa efek
samping (2-8 minggu)
200-350 Mulai ART setelah OAT fase intensif selesai
>350 Tunda ART sampai pengobatan TB selesai

Jika pemeriksaan CD4 tidak tersedia


Nilai CD4 ART
Adanya TB paru dan tanda HIV advanced , Mulai ART saat pengobatan TB tanpa efek
atau tidak ada perbaikan secara klinis; samping (2-8 minggu)
adanya TB ekstra paru
TB paru BTA negatif, berat badan Pertimbangkan mulai ART setelah OAT fase
bertambah dengan pengobatan, tanpa intensif selesai
tanda/gejala HIV advanced
TB paru BTA positif, berat badan Pertimbangkan mulai ART setelah OAT fase
bertambah dengan pengobatan, tanpa intensif selesai
tanda/gejala HIV advanced
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan:
1. Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi
Mycobacterium tuberculosis complex, yang dapat menyerang berbagai
organ, terutama paru-paru.
2. Pasien dengan batuk produktif selam 2-3 minggu atau lebih yang tidak
dapat dipastikan penyebabnya harus dievaluasi untuk tuberkulosis
3. Pasien yang diduga tenderita TB paru harus menjalani pemeriksaan
sputum secara mikroskopis sekurang-kurangnya 2 kali dan sebaiknya 3
kali.
4. Pasien dengan sputum BTA positif adalah pasien yang pada pemeriksaan
sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA, sekurang kurangnya pada
2 kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya positif disertai kelainan
radiologis yang sesuai dengan gambaran TB aktif /1 sediaan sputumnya
positif disertai biakan yang positif.
5. Pasien dengan sputum BTA negatif adalah pasien yang pada pemeriksaan
sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA sama sekali, tetapi
pada biakannya positif/ radiologi menunjukan lesi aktif.
6. Semua pasien yang belum pernah diobati harus diberikan paduan obat lini
pertama. Fase awal terdiri dari INH, rifampisin, pirazinamid dan etambutol
diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan yang dianjurkan adalah INH dan
rifampisin yang selama 4 bulan. Fixed dose combination sangat dianjurkan
untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
pengobatan.
7. Evaluasi pengobatan meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik,
dan efek samping obat, serta evaluasi keteraturan berobat. Pada pasien TB
paru penilaian terbaik adalah dengan pemeriksaan sputum ulang (2x)
paling kurang pada saat menyelesaikan fase awal (2 bulan), bulan ke lima
dan pada akhir pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: pedoman diagnosis


dan penatalaksanaan di indonesia. Jakarta. PDPI. 2011.
2. Kementerian kesehatan RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian
Tuberkulosis. Jakarta: Kemenkes RI.
3. Rastogi N, Sola C. Molecular Evolution of the Mycobacterium
tuberculosis Complex, In : Palomino, Leo, Ritacco, editors. Tuberculosis
2007 From Basic Science to Patient Care, 1st edition. Antwerp - Sao Paolo
- Buenos Aires : Emma Raderschadt, 2007 : 53-83.
4. Barrera L. The Basics of Clinical Bacteriology, In : Palomino, Leo,
Ritacco, editors. Tuberculosis 2007 From Basic Science to Patient Care,
1st edition. Antwerp - Sao Paolo - Buenos Aires : Emma Raderschadt,
2007 : 93-109.
5. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. PDPI. Jakarta.
6. Guidelines for intensified case finding and isoniazid preventative therapy
for people living with HIV in resource constrained settings, Geneva,
WHO, 2011.

Vous aimerez peut-être aussi