Vous êtes sur la page 1sur 8

TUGAS MIKROBIOLOGI PANGAN

Aspergillus flavus

KELOMPOK VII

Wiriya Manggala (1511105057)

Ida Ayu Agung Prawitasari (1511105058)

Desak Putu Ary Indrayani (1511105059)

Yohanna Mei Sarah Purba (1511105060)

I Made Askara Diputra (1511105061)

Dinda Tessa Lonika S. (1511105062)

I Gede Priyatna Putra (1511105063)

Novelita Olivea Herman (1511105065)

Samuel Septian Sitorus (1511105066)

PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

UNIVERSITAS UDAYANA

2016
1. Ciri-ciri mikroba Aspergillus flavus

a. Morfologi

Saprofit

Eukariotik

Hifa bersepta dan bercabang

Pada media SGA (Sabouraud Glukosa Agar) + antibiotik, Aspergillus


sp. dapat tumbuh cepat pada suhu ruang membentuk koloni granular,
berserabut dengan koloni berwarna putih atau kuning.

Konidiofora tidak berwarna, kasar bagian atas agak bulat sampai


kolumner.
Vesikel agak bulat sampai berbentuk batang pada kepala yang kecil.
Konidia kasar dengan macam-macam warna.

b. Fisiologi

Tumbuh pada suhu 6-60C dengan suhu optimum berkisar 35-38C.

Tumbuh pada Rh minimum 80% (aw minimum=0.80) dengan Rh


minimum untuk pembentukan aflatoksin sebesar 83% (aw minimum
pembentukan aflatoksin=0.83). Rh minimum untuk pertumbuhan dan
germinasi spora adalah 80% dan Rh mininum untuk sporulasi adalah
85%.

Tumbuh optimal pada aw 0.86 dan 0.96.

Secara umum kapang adalah organisme aerobik sehingga gas O2 dan N2


akan menurunkan kemampuan kapang untuk membentuk aflatoksin.
Efek penghambatan oleh CO2 dipertinggi dengan menaikkan suhu atau
menurunkan Rh dengan kadar O2 minimum 1% untuk pertumbuhan.
Pertumbuhan Aspergillus flavus ditentukan oleh jenis dan kadar
karbohidrat. Jenis karbohidrat yang paling baik untuk media fungi
antara lain: glukosa, galaktosa dan sukrosa. Kemampuan tumbuh fungi
pada media maltosa dan laktosa akan lebih rendah daripada glukosa,
galaktosa dan sukrosa.

Keberadaan garam NaCl antara 1 3% sangat mendukung pembentukan


aflatoksin. Pada NaCl 8% dengan suhu 24C pembentukan aflatoksin
akan dihambat, sedangkan pada suhu 28oC dan 35oC tetap terjadi
pembentukan aflatoksin. Pada NaCl berkadar 14% tidak terjadi
pembentukan aflatoksin

c. Tipe

Aspergillus flavus

d. Gambar

2. Toksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus

Aflatoksin adalah toksin yang dihasilkan Aspergillus flavus . Terdapat


beberapa jenis aflatoksin utama, yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Nama-nama ini
diberikan berdasarkan atas warna fluoresensi yang ditimbulkan pada medium agar
dilihat di bawah sinar ultraviolet, seperti biru (blue atau B), atau hijau (green atau G).
Aflatoksin B1 biasanya paling mendominasi dan bersifat paling toksik.
Aflatoksin B1 dan B2 dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus.
Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya dihasilkan oleh Aspergillus
parasiticus.

3. Mekanisme kerja toksin

Rute utama aflatoksin dalam tubuh adalah inhalasi, setelah terpapar melalui
pernapasan dan pencernaan. Setelah tertelan, usus menyerap aflatoksin B1 bersama
makanan, dan di dalam usus dua belas jari menjadi bagian utama penyerapan melalui
difusi pasif. Tempat metabolisme utama aflatoksin adalah organ hati, namun ada juga
yang dimetabolisme di dalam darah dan organ lainnya. Metabolisme aflatoksin terdiri
atas tiga tahap, yaitu bioaktivasi, konju- gasi, dan dekonjugasi. Pada ketiga tahap
tersebut, tubuh berusaha mengurangi efek racun dari aflatoksin. Aflatoksin akan
dikeluarkan oleh tubuh melalui cairan empedu, air seni. Bila aflatoksin tidak dapat
dikeluarkan dari tubuh maka akan terjadi perubahan patologis dan menimbulkan
beberapa gejala seperti keturunan lahir cacat (efek teratogenik) dan kanker (manusia
dan hewan). Pada hewan, aflatoksin menye- babkan bobot organ dalam bervariasi
(pembesaran hati, limpa, ginjal, fatty liver syndrome), pengurangan bursa fabricius
dan timus, perubahan tekstur dan warna organ (hati, tenggorokan), anemia, hemo-
ragi, imunosupresi, nefrosis, kerusakan kulit, dan penurunan efisiensi breeding.

4. Gejala intoksikasinya

Keracunan akibat mengkonsumsi pangan atau pakan yang tercemar aflatoksin


disebut aflatoksikosis. Gejala awal aflatoksikosis yang dapat dikenali pada
konsentrasi rendah antara lain berupa menurunnya efisiensi makanan, berkurangnya
intake makanan, menurunnya kecepatan pertumbuhan, rambut kasar dan kusam,
meningkatnya prevalensi, keparahan atau kegagalan terapi atau vaksinasi penyakit-
penyakit infeksi seperti: bloody dysentery, erisipelas, salmonellosis, pneumonia. Bila
aflatoksikosis ini berlanjut maka dapat muncul sindrom penyakit yang ditandai
dengan muntah, nyeri perut, edema paru, kejang, koma, dan kematian akibat edema
otak dan perlemakan hati, ginjal dan jantung
Efek berat aflatoksikosis pada hewan (yang diperkirakan bisa juga terjadi
pada manusia) dikategorikan ke dalam dua bentuk utama, yaitu aflatoksikosis akut
(jangka pendek) dan aflatoksikosis kronik (jangka panjang).
Aflatoksikosis akut dapat diakibatkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat
sedang hingga tinggi. Beberapa gejala umum aflatoksikosis adalah edema anggota
tubuh bagian bawah, nyeri perut, dan muntah. Secara spesifik, paparan akut aflatoksin
dapat menyebabkan perdarahan, kerusakan hati secara akut, edema, perubahan pada
pencernaan, dan kemungkinan kematian.
Aflatoksikosis kronik disebabkan oleh konsumsi aflatoksin dalam tingkat rendah
hingga sedang. Efek yang ditimbulkan biasanya bersifat subklinis dan sulit dikenali.
Beberapa pengamatan menunjukkan adanya karsinogenisitas, terutama terkait dengan
aflatoksin B1. Tampak jelas terjadinya kerusakan hati karena timbulnya warna kuning
yang menjadi karakteristik jaundice, serta timbul pembengkakan kandung empedu.

5. Cara pencegahan terjadinya intoksikasi

Pemprosesan yang dilakukan terhadap bahan pertanian yang akan


diperdagangkan dapat mengurangi konsentrasi aflatoksin. Tiga pendekatan yang
dilakukan antara lain: i) dilusi, ii) dekontaminasi, dan iii) separasi. Dilusi, dilakukan
dengan mencampur padi-padian kadar aflatoksin yang rendah dengan padipadian
yang kadar aflatoksinya diatas batas yang diperkenankan. Proses dilusi ini
mengakibatkan konsentrasi aflatoksin berkurang, konsumen masih terekspos dengan
aflatoksin. Dekontaminasi, adalah cara yang dilakukan untuk menghilangkan
aflatoksin dalam bahan makanan. Penggunaan ammonia, substansi alkali, dan ozone
dapat menghilangkan aflatoksin. Separasi, adalah upaya memisahkan padi yang
terkontaminasi dari tumpukan padi yang bersih. Padi yang terkontaminasi dapat
diketahui dari perubahan warna (memutih).
Di negara maju telah mengembangkan cara-cara alternatif, yaitu kemoproteksi
dan enterosorpsi, untuk membatasi paparan biologis terhadap toksin. Kemoproteksi
dilakukan dengan dasar mengolah aflatoksin secara biokimiawi dengan tujuan untuk
detoksifikasi toksin, bukan menghindarkan paparan. Enterosorpsi dilakukan dengan
menambahkan suatu bahan pengikat (binding agent) pada makanan untuk mencegah
absorpsi toksin pada saat makanan berada di saluran cerna; ikatan toksin-sorben ini
kemudian diekskresi di dalami tinja

6. Produk makanan/media yang sering ditemukan mikroba Aspergillus flavus

Aspergillus flavus tumbuh baik pada kondisi kering maupun panas. Suhu
optimum untuk pertumbuhannya adalah 37oC dan masih bisa tumbuh pada range suhu
12 48oC. Suhu yang tinggi tersebut turut berperan dalam patogenisitasnya pada
manusia.

Aspergillus flavus dapat tumbuh pada Rh minimum 80% (aw minimum=0.80)


dengan Rh minimum untuk pembentukan aflatoksin sebesar 83% (aw minimum
pembentukan aflatoksin=0,83). Rh minimum untuk pertumbuhan dan germinasi spora
adalah 80% dan Rh mininum untuk sporulasi adalah 85%.

Aspergillus flavus dapat menginfeksi benih jagung, kacang, dan kapas.


Pertumbuhan kapang ini pada bahan makanan dapat menyebabkan kontaminasi oleh
alfattoksin, suatu senyawa yang bersifat toksik dan karsinogenik. Kontaminasi ini
dapat terjadi pada beberapa produk pertanian seperti kacang, sereal, kentang, jagung,
dan padi.
DAFTAR PUSTAKA

W, Nirmaya. Esthi, Aprilia, Eka, dan Amalia, R. Farah. 2012. TUGAS


MIKROBIOLOGI PANGAN ASPERGILLUS FLAVUS. Tugas Mikrobiologi
Pangan Foodborne Disease Aspergillus Flavus. 24 November 2016.
Yenny, 2006. Aflatoksin dan Aflatoksikosis pada Manusia. Universa Medicina Vol.25
No 1. Fakultas Kedokteran, Universitas Trisakti.
Ahmad,Riza Zainuddin, 2009. Cemaran Kapang pada Pakan dan Pengendaliannya.
Jurnal Litbang Pertanian Vol 28 No 1. Balai Besar Penelitian Veteriner :
Bogor.

Vous aimerez peut-être aussi