Vous êtes sur la page 1sur 4

AKUAKULTUR VS PERUBAHAN IKLIM

Romi Novriadi
Balai Perikanan Budidaya Laut Batam
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia

E-mail: Romi_bbl@yahoo.co.id

Pertemuan para pengambil kebijakan di bidang kelautan dan perikanan melalui skema
OUR OCEAN conference 2016 yang dilaksanakan di Washington DC telah menghasilkan
beberapa komitmen untuk mengatasi beberapa permasalahan penting yang melanda laut kita,
diantaranya: (1) komitmen untuk meningkatkan potensi produksi perikanan lestari (maximum
sustainable yield/MSY), (2) meningkatkan area proteksi dan perlindungan sumberdaya laut
perikanan, (3) mengurangi jumlah polutan, dan (4) aksi nyata menghadapi perubahan iklim.
Komitmen ini diwujudkan dengan diumumkannya sekitar 136 wilayah konservasi baru dengan
dukungan dana inisiatif lebih dari US$ 5,24 milyar dan juga wilayah proteksi laut yang
meningkat hingga 4 juta km2.

Kesehatan laut saat ini telah menjadi isu global yang sangat penting karna selain meliputi
sekitar 75% permukaan bumi, laut juga menyimpan sekitar 97% air di muka bumi, memproduksi
lebih dari separuh oksigen di atmosfir dan menyerap sebahagian karbon dari atmosfer. Oleh
karena itu, bisa dibayangkan dampak perubahan iklim yang meliputi pemanasan global,
pengasaman air laut, peningkatan jumlah karbon dioksida, dan kenaikan permukaan laut
terhadap ketahanan pangan, utamanya sumber daya perikanan. Upaya untuk mempertahankan
kelestarian sumberdaya perikanan juga mendapat tantangan berupa meningkatnya jumlah limbah
plastik di lautan hingga diperkirakan pada tahun 2050, akan lebih banyak ditemukan plastik
dibandingkan ikan di lautan. Berbagai kondisi diatas mendorong kita untuk segera melakukan
adaptasi dan mitigasi agar perubahan iklim tidak menyebabkan penurunan produksi perikanan,
khususnya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi nasional.
Bagi sektor perikanan budidaya, perubahan iklim juga menimbulkan dampak tersendiri
utamanya yang diakibatkan oleh peningkatan suhu, perubahan pola curah hujan dan pengasaman
air laut. Menurut data National Geographic, perubahan iklim telah mengakibatkan peningkatan
rata-rata suhu global sekitar 10 F (0.60 C) selama satu dekade terakhir dan sekitar 0.180 F (0.10 C)
suhu air laut dari permukaan hingga kedalaman 2,300 kaki (700 m). Fisiologi dan ketahanan
tubuh ikan, sebagai organisme poikilotermik, sangat dipengaruhi oleh faktor abiotik dan biotik
termasuk suhu sebagai salah satu faktor abiotik. Merujuk pada beberapa hasil penelitian,
perubahan suhu sangat mempengaruhi pola perkembangan, distribusi, replikasi dan tingkat
virulensi organisme patogen. Bahkan di wilayah latitude yang tinggi, dimana pada umumnya
perkembangan patogen dibatasi oleh suhu yang dingin, peningkatan rata-rata suhu air
memberikan waktu tumbuh dan berkembang yang lebih lama. Kondisi ini menjadikan tingkat
prevalensi dan virulensi penyakit menjadi lebih tinggi seperti meningkatnya prevalensi penyakit
proliferative kidney disease pada industri salmon di Eropa timur hingga kepada meningkatnya
tingkat virulensi bakteri Flavobacterium columnare di jaringan insang ikan lele.

Sangat menarik bila kita kaitkan bahwa peningkatan suhu juga dapat meningkatkan laju
metabolisme yang pada akhirnya juga mendukung optimalisasi laju pertumbuhan ikan.
Peningkatan suhu sebesar 0.180 F (0.10 C) dalam satu dekade terakhir juga memiliki
kemungkinan yang sangat kecil untuk menjadikan suhu air sebagai salah satu faktor stress bagi
sebahagian besar organisme akuatik. Namun, paparan terhadap suhu yang lebih tinggi dalam
periode waktu yang cukup lama dapat memberikan pengaruh tersendiri terhadap sistem imun
ikan. Oleh karena itu, sistem manajemen kesehatan lingkungan dan aplikasi prophylactic seperti
vaksinasi, pemberian immunostimulan dan probiotik menjadi alternatif terbaik untuk mengatasi
dampak peningkatan suhu ini.

Dampak lain dari perubahan iklim juga meliputi peningkatan konsentrasi karbon dioksida
(CO2) di atmosfer yang pada akhirnya juga meningkatkan jumlah karbon yang diserap oleh air
laut. Sejak revolusi industri, konsentrasi CO2 di atmosfer telah meningkat dari 280 ppmv
menjadi 399 ppmv di tahun 2014. Air laut menyerap sekitar 1/3 dari emisi CO2 antropogenik yag
ada di atmosfer dan mengkonversinya menjadi asam karbonat. Semakin banyak CO2
antropogenik yang diserap akan semakin memperbanyak konsentrasi [H+] terdisosiasi di lautan
sehingga menjadikan air laut menjadi lebih asam akibat menurunnya level pH air. Untuk sektor
akuakultur, kelompok kekerangan menjadi organisme yang paling rentan terhadap proses
pengasaman air laut dikarenakan ketergantungan yang kuat terhadap kalsium karbonat (CaCO3)
untuk pembentukan cangkang. Selain kelompok kekerangan, kelompok ikan bersirip juga
terkena dampak yang cukup signifikan dari pengasaman air laut. Morfologi organ otolith (organ
untuk keseimbangan), laju pertumbuhan, dan laju konsumsi oksigen ikan dapat mengalami
gangguan pada kondisi lingkungan yang lebih asam. Solusi yang dapat dilakukan untuk
mengurangi dampak pengasaman air laut ini adalah dengan melakukan monitoring rutin harian
untuk deteksi dini atau dengan melakukan pemetaan untuk menentukan site-specific buffering.
Pada budidaya kekerangan, penempatan cangkang di sekitar lokasi budidaya dapat membantu
menyangga pH air dan meningkatkan ketersediaan karbonat di dalam air, selective breeding
hingga kepada penyediaan pakan dengan kualitas baik juga dapat dilakukan untuk mengurangi
dampak negatif dari pengasaman air laut.

Peningkatan level air laut dan kemungkinan terintroduksinya air dengan salinitas tinggi
ke kawasan dengan kadar garam yang lebih rendah juga terbuka sebagai bagian dari dampak
perubahan iklim. Kondisi ini tentu berdampak kepada perubahan fisiologi organisme akuatik
dengan tingkat toleransi terhadap perubahan kadar garam yang sangat rendah. Dalam konteks
akuakultur, tentu saja perubahan iklim juga berdampak kepada ketidakpastian ketersediaan
bahan baku untuk produksi tepung dan minyak ikan. Namun, berbagai alternatif untuk sumber
protein sudah banyak ditawarkan, seperti halnya penggunakaan tepung kedelai untuk subtitusi
parsial atau keseluruhan dari penggunaan tepung ikan. Beberapa asumsi yang mengatakan bahwa
tepung nabati memiliki banyak kekurangan seperti tidak lengkapnya komposisi asam amino
esensial (methionine dan lysine), hingga kepada isu palatability dan pencernaan sudah dapat
diatasi dengan sistem produksi pembuatan pakan yang lebih baik. Penambahan phytase, enzim
untuk meningkatkan daya cerna karbohidrat dan juga suplementasi methionine, lysine dan
taurine dalam formulasi pakan sudah diaplikasikan dan terbukti mampu memberikan laju
pertumbuhan yang tidak jauh berbeda dengan penggunaan tepung ikan. Hasil-hasil riset ini
selayaknya dapat dipergunakan selain untuk mendukung peningkatan potensi produksi perikanan
lestari serta untuk mengurangi biaya produksi budidaya hingga pada akhirnya produk yang
dihasilkan dari kegiatan akuakultur menjadi lebih ekonomis.
Selain perubahan iklim, berbagai pencemaran lingkungan, baik oleh industri hingga
kepada menumpuknya limbah plastik di kawasan pantai menjadi ancaman tersendiri bagi
keberlanjutan produksi perikanan budidaya. Perhatian kepada limbah plastik yang dapat
dikonsumsi oleh organisme filter feeder dan akhirnya terdeposit dalam tubuh manusia bahkan
menjadi isu penting yang dibahas dalam pertemuan OUR OCEAN dimaksud yang juga dihadiri
oleh puluhan pemimpin negara termasuk Indonesia melalui Kementerian kelautan dan Perikanan.
Saat ini, aksi nyata untuk menyelamatkan kesehatan lingkungan sangat diperlukan, termasuk
dengan tidak menggunakan lahan bakau untuk kegiatan budidaya, penerapan biosekuriti yang
optimal hingga kepada aplikasi manajemen lingkungan melalui skema Cara Budidaya Ikan yang
Baik. Melalui penerapan sistem manajemen yang baik, diharapkan industri akuakultur dapat
mengantisipasi berbagai dampak yang telah dan akan ditimbulkan oleh perubahan iklim.

Vous aimerez peut-être aussi