Vous êtes sur la page 1sur 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Asma adalah penyakit saluran nafas kronik yang penting dan menjadi
masalah kesehatan di berbagai negara. Asma dapat bersifat ringan dan tidak
mengganggu aktivitas tetapi dapat juga bersifat menetap dan menggangu aktivitas
bahkan kegiatan seharian. Pasien asma memiliki pola inflamasi saluran nafas yang
khas, ditandai oleh sel mast bergranulasi, infiltrasi eosinophil dan peningkatan
jumlah sel Thelper-2 yang teraktivasi. Pola inflamasi khas inilah yang mendasari
gambaran klinis pasien asma termasuk mengi intemiten, sesak nafas, batuk dan
rasa sesak di dada. Peningkatan berbagai mediator inflamasi diantaranya mediator
lipid, sitokin atau kemokin dan growth factor yang berasal dari struktur sel saluran
nafas antara lain sel otot polos saluran nafas, sel epitel, sel endotel dan fibroblast
ditemukan pada pasien asma.

Kortikosteroid adalah pengobatan jangka panjang yang paling efektif


untuk mengontrol asma. Kortikosteroid berperan menekan proses inflamasi dan
mencegah timbulnya berbagai gejala pada pasien asma. Penggunaan
kortikosteroid inhalasi dilaporkan menghasilkan perbaikan faal paru, menurunkan
hiperesponsif saluran nafas, mengurangi gejala, frekuensi dan berat sarangan serta
perbaikan kualitas hidup pasein asma.

BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Mekanisme Kerja Kortikosteroid

Kortikosteroid dikenal juga sebagai glukokortikosteroid, glukokortikoid


atau steroid merupakan obat paling banyak digunakan diseluruh dunia untuk
mengatasi gangguan imunitas atau inflamasi termasuk asma. Kortikosteroid oral
terbukti efektif tetapi penggunaanya kemudian dibatasi karena efek samping
sistemiknya. Perkembangan selanjutnya adalah penemuan kortikosteroid inhalasi
yang kemudian menjadi terapi lini pertama dalam penatalaksaan asma persisten.

Kortikosteroid mengurangi jumlah sel inflamasi saluran nafas pada


tingkat selular termasuk eosinophil, limfosit T, sel mast dan sel dendritic. Hal itu
terjadi dengan menghambat perekrutan sel infalamasi ke dalam saluran nafas
melalui penekanan produksi mediator kemotaktik dan molekul adhesi serta
menghambat keberadaan sel inflamasi dalam saluran misalnya eosinophil, sel
mast, sel target selular utama kortikosteroid inhalasi adalah sel epitel.
Kortikosteroid memiliki spectrum efek antiinflamasi luas pada asma dengan
menghambat berbagai mediator serta sel inflamasi. Beberapa hal yang perlu
diketahui untuk menjelaskan mekanisme molecular aksi kortikosteroid adalah
remodeling kromatin dan ekspresi gen, reseptor glukokortikoid, aktifasi gen
penyandi protein antiinflamasi serta inaktivasi gen inflamasi.

2.2 Resisten Kortikosteroid Pada Asma

Kortikosteroid secara umum menunjukan efektivitas yang baik dalam


mengontrol asma maupun penyakit inflamasi kronik lain tetapi sejumlah kecil
pasien asma tidak menunjukan respon yang baik meskipun telah mendapat
kortikosteroid inhalasi maupun oral dosis tinggi. Pasien asma berat membutuhkan
dosis kortikosteroid inhalasi yang lebih besar dan kadang-kadang dosis rumatan
2
kortikosteroid oral untuk mengontrol gejala asma. Stress oksiodatif dilaporkan
meningkat pada pasien asma berat dan selama eksaserbasi. Penurunan HDAC
diduga menyebabkan penurunanan respon pasien tersebut terhadap kortikosteroid
serta relative tidak beresponya pasien asma terhadap kortikosteroid. Penurunan
aktivitas HDAC dalam sel mononuclear darah tepi lebih sering pada pasien asma
berat dibandingkan asma ringan.

Asma resisten kortikosteroid di defisinikan sebagai peningkatan FEV1


kurang dari 15% dari nilai dasar setelah pemberian prednisolon dosis tinggi
(40mg perhari) selama 2 minggu pada pasien asma yang memperlihatkan
peningkatan FEV1 lebih dari 15% dengan terapi salbutamol. Pasien asma yang
menunjukkan peningkatan FEV1 lebih dari 30% dinyatakan sebagai pasien asma
yang sensitive terhadap kortikosteroid. Resisten kortikosteroid komplit pada asma
jarang ditemukan, prevalensinya kurang dari 1:1000 sementara itu yang lebih
sering ditemukan adalah berkurangnya respon terhadap kortikosteroid (asma
tergantung kortikosteroid) yang membutuhkan kortikosteroid inhalasi atau oral
dosis tinggi untuk mengatur asma secara adekuat.

2.3 Perubahan Patologi Saluran Nafas Pasien Asma Resisten Kortikosteroid

Epitel dan membran basal saluran napas pasien asma resisten


kortikosteroid lebih tebal dibandingkan pasien asma yang sensitif kortikosteroid.
Perbedaan itu dihubungkan dengan perubahan ekspresi penanda proliferasi epitel
misalnya peningkatan ekspresi Ki-67, penurunan ekspresi retinoblastoma dan
penurunan ekspresi protein Bcl-2.Peningkatan remodeling saluran napas diduga
berkaitan dengan kegagalan terapi kortikosteroid inhalasi untuk menginduksi
ekspresi penghambat jaringan metalloproteinase-1 pada pasien asma resisten
kortikosteroid. Beberapa penelitian melaporkan ekspresi sitokin utama
diantaranya IL-2 dan IL-4 berhubungan dengan berkurangnya respons reseptor
glukokortikoid pada pasien asma resistens kortikosteroid.

3
2.4 Faktor Lain Yang Mempengaruhi Resisten Kortikosteroid

Beberapa hal yang dapat mempengaruhi resistens kortikosteroid


diantaranya imunomodulasi, pajanan asap rokok, predisposisi genetik, infeksi
virus, pajanan alergen, super antigen mikrobial dan netrofilia. Faktor-faktor
tersebut dapat ditemukan bersamaan maupun tidak pada seorang pasien asma
tetapi perlu diketahui dengan cermat karena dapat berperan dalam terjadinya
resistens kortikosteroid pada pasien asma. Identifikasi factor-faktor itu diharapkan
dapat membantu mengetahui prognosis serta penatalaksanaan pasien asma
resistens kortikosteroid.

1. Imunomodulasi

Interleukin-2, IL-4 dan IL-13 yang menunjukkan peningkatan ekspresi pada


biopsi bronkial pasien asma resistens kortikosteroid akan menginduksi
penurunan afinitas GR dalam sel inflamasi misalnya sel limfosit-T dan
monosit yang mengakibatkan resistens local terhadap anti-inflamasi
kortikosteroid. Kombinasi IL-2 dan IL-4 menginduksi resistens kortikosteroid
in vitro melalui aktivasi p38 MAP kinase yang akan menimbulkan
fosforilasi GR dan menurunkan afiniti peningkatan kortikosteroiddan
translokasi inti yang diinduksi kortikosteroid pada GR. Inhibitor p38 MAP-
kinase diduga dapat mengurangi resistens kortikosteroid.

Perangkat imunosupresi poten yang dimiliki kortikosteroid dimodulasi oleh


kondisi yang mempengaruhi situasi imun lokal misalnya kemampuan
kortikosteroid untuk mempengaruhi ekspresi CD38 pada sel otot polos
saluran napas manusia. Induksi CD38 yang dirangsang oleh TNF-a, IL-1b
dan IL-13 bersifat sensitif untuk supresi oleh deksametason, budenosid dan
flutikason tetapi TNF-a dan kostimulasi IFN-g atau ekspresi CD38 yang

4
diinduksi hanya oleh stimulasi IFN-g bersifat tidak sensitif terhadap aksi
kortikosteroid. Hal itu mungkin disebabkan oleh peningkatan GR beta pada
rasio GR alfa atau beta menjadi 1:3.

2. Asap Rokok

Pasien asma yang merokok memperlihatkan efek resisten terhadap aksi anti-
inflamasi kortikosteroid dan hal itu juga terjadi pada bekas perokok. Asap
rokok merupakan stres oksidatif dan dapat mempengaruhi berbagai aspek
fungsi kortikosteroid termasuk translokasi inti GR dan kofaktor inti sel.
Peningkatan penanda stres oksidatif misalnya 8-isoprostane menunjukkan
respons resistens terhadap terapi kortikosteroid. Faktor HDAC2 yang
berperan penting dalam fungsi kortikosteroid dilaporkan mengalami
penurunan aktivitas dan ekspresi dalam spesimen biopsi bronkus perokok tua
yang dianggap sehat.

Kombinasi efek asma dan asap rokok ini mirip dengan yang terjadi pada
pasien PPOK yang menunjukkan penurunan ekspresi dan aktivitas HDAC2
yang berkorelasi dengan beratnya kelainan dalam paru, saluran napas dan
makrofag cairan BAL. Asap rokok dan inflamasi pada paru pasien asma yang
merokok ataupun PPOK akan membentuk anion superoksida dan nitrit
monoksida yang berkombinasi membentuk peroksinitrit kemudian
meninggalkan residu tirosin (Tyr) yang akan menginaktifkan peran katalitik
HDAC2 serta menjadi penanda enzim untuk ubiquitination(Ub) yang
mengakibatkan destruksi oleh proteasom. Menurunnya HDAC2
menyebabkan peningkatan asetilasi histon, amplifikasi inflamasi dan
mencegah efek anti-inflamasi kortikosteroid.

3. Infeksi Virus

5
Eksaserbasi berulang merupakan penyebab utama kesakitan pada pasien
asma.Virus penyebab gangguan respirasi merupakan pemicu eksaserbasi yang
penting. Penelitian terkini menunjukkan infeksi rinovirus dapat mengurangi
translokasi inti GR dan menurunkan fungsi kortikosteroid. Eksaserbasi
berulang pada serangan asma berat berkaitan juga dengan faktor komorbid
yang mudah dideteksi dan diobati.Intervensi terapeutik bertujuan untuk
memperbaiki kondisi pasien sehingga diharapkan dapat menurunkan
kesakitan dan pengeluaran medis.

4. Pajanan Alergen

Pasien dengan asma alergi berat biasanya menunjukkan perburukan selama


musim semi dan membutuhkan kortikosteroid dalam jumlah lebih besar untuk
mengontrol penyakitnya. Kelompok peneliti Denver telah menyelidiki efek
pajanan alergen terhadap fungsi GR dan GR binding afiniti dalam sel
mononuklear darah tepi pasien asma alergi. Penurunan GR ligand-binding
dalam sel mononuklear darah tepi mirip dengan pajanan sel terhadap alergen
kucing secara in vitro selama 48 jam. Efek terhadap ikatan GR itu
berhubungan dengan penurunan poriferasi sel T dan dapat dihambat oleh
antibody terhadap IL-2 dan IL-4.

2.5 Penatalaksanaan Resisten Kortikosteroid

Penatalaksanaan pasien asma resistens kortikosteroid menjadi tantangan


tersendiri bagi para klinisi. Prinsip penatalaksanaan pasien asma resistens
kortikosteroi ditunjukkan dalam tabel 2. Pasien-pasien tersebut dikhawatirkan
mengalami efek samping yang tidak diharapkan akibat pemberian terapi
kortikosteroid sistemik jangka panjang meskipun belum dilaporkan bukti kuat
tentang hal tersebut. Pada masa mendatang diperlukan informasi lebih banyak

6
tentang patologi asma persisten berat untuk menentukan apakah terdapat
abnormalitas ultrastruktur yang mungkin ireversibel, apakah terapi kortikosteroid
dapat mempengaruhin inflamasi remodeling saluran napas atau keduanya dan
seterusnya.

Tabel 2. Penatalaksanaan asma resistens kortikosteroid

7
2.6 Implikasi Terapi

Kortikosteroid inhalasi merupakan terapi lini pertama dalam


penatalaksanaan pasien asma persisten pada dewasa dan anak di banyak negara
karena efektivitasnya yang tinggi tetapi absorpsi sistemik kortikosteroid inhalasi
dosis tinggi dapat menimbulkan efek merugikan. Penggunaan hidrofluoroalkan
atau HFA sebagai zat pembawa dalam sediaan pressurized metered-dose inhalers
(pMDIs) telah memungkinkan produksi obat dengan ukuran partikel lebih kecil
yang menyebabkan deposisi obat di dalam paru meningkat 4-5 kali lipat dan obat
yang mencapai saluran napas lebih kecil mengalami peningkatan juga. Pemberian
kortikosteroid inhalasi dengan HFA-based pMDIs dianggap lebih efektif karena
memungkinkan pengendalian gejala asma dengan dosis lebih kecil dibandingkan
dengan pemberian menggunakan alat non-HFA pMDIs.

8
Beberapa pasien asma resistens kortikosteroid bukan sepenuhnya tidak
berespons terhadap kortikosteroid tetapi baru berespons terhadap pemberian
kortikosteroid dosis yang lebih tinggi dari pada normal dengan kemungkinan
risiko meningkatnya efek samping. Pemberian kortikosteroid inhalasi dengan
profil keamanan yang lebih baik misalnya siklesonid memungkinkan pemberian
dosis topikal lebih tinggi dengan efek samping yang lebih sedikit.

Pasien asma resistens kortikosteroid juga sering menunjukkan respons


yang baik dengan pemberian bronkodilator agonis beta 2 hingga pemberian agonis
beta 2 inhalasi kerja lama direkomendasikan pada pasien tersebut. Kortikosteroid
meningkatkan ekspresi reseptor beta 2 adenergic dalam paru dan mencegah
terjadinya down regulation sebagai respons terhadap agonis beta 2. Interaksi
molekuler antara kortikosteroid dan agonis beta 2 dapat meningkatkan efek anti
inflamasi kortikosteroid dengan meningkatkan translokasi inti GR secara in vitro
dan meningkatkan supresi gen inflamasi. Hal itu diduga melibatkan fosforilasi GR
atau efek terhadap protein transport inti.

Teofilin merupakan obat pertama yang menunjukkan kemampuan


mengaktivasi HDAC sehingga potensi antiinflamasi kortikosteroid dapat
ditingkatkan.Peran teofilin ini tidak diperantarai oleh penghambatan
fosfodiesterase maupun antagonis reseptor adenosine sehingga menjadi
mekanisme baru kerja obat yang cukup menjanjikan.Mekanisme kerja teofilin
pada pasien PPOK mirip dengan yang terjadi pada pasien asma resistens
kortikosteroid, khusus yang merokok. Pemberian teofilin berkonsentrasi rendah
pada makrofag pasien PPOK dilaporkan dapat memperbaiki aktivitas HDAC dan
memperbaiki respons sel terhadap kortikosteroid in vitro.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

1. Pasien asma resistens kortikosteroid jumlahnya tidak banyak tetapi dapat


menimbulkan kesulitan dalam penatalaksanaan.

2. Efek utama kortikosteroid diantaranya mengurangi proses inflamasi pada


dinding saluran napas, menekan ekspresi berbagai gen inflamasi pada saluran
nafas dan memperbaiki hiperesponsif bronkus.

3. Mekanisme dasar farmakologi kortikosteroid terutama konsep transaktivasi,


transrepresi serta perekrutan kofaktor akan memberikan pemahaman yang baik
tentang mekanisme molekuler supresi inflamasi oleh kortikosteroid.

4. Mekanisme molekular resistens kortikosteroid diantaranya kelainan pada


ikatan ligan dan translokasi inti, menurunnya ekspresi dan atau aktivitasprotein
korepresor atau meningkatnya ekspresi factor transkripsi inflamasi.

5. Respons kortikosteroid dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya


imunomodulasi, asap rokok, predisposisi genetik, infeksi virus, pajanan alergen
atau mikroba.

6. Mekanisme molekular resistens kortikosteroid pada asma perlu diketahui


dengan baik untuk mengoptimalkan penatalaksanaannya

10
RUJUKAN

1. Addock IM, Barnes PJ. Molecular mechanism of corticokortikosteroid


resistance. Chest

2008;134;394-401.

2. Barnes PJ, Addock IM. How do corticokortikosteroids work in asthma?


Ann Intern Med 2003;139:359-70.
3. Barnes PJ, Addock IM, Ito K. Histone acetylation lung diseases. Eur
Respir J 2005;25:552-63.
4. Barnes PJ. How corticokortikosteroids control British J Pharmacol
2006;148:245-54.
5. Barnes PJ. Corticokortikosteroids: the drug to beat. Eur J Pharmacol
2006;533:2-14.
6. Glucocorticoids new mechanisms for old drugs. New Engl J Med
2005;353:171123.
7. Ito K, Chung KF, Addock IM. Update on glucocorticoid action and
resistance. J Allergy

Clin Immunol 2006;117:522-43.

8. Mangunnegoro H, Widjaja A, Sutoyo DK, Yunus F, Prajnaparamita,


Suryanto E, editor. Asma pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia;2004.p.1-92.
9. Wu B, Li P, Liu Y, Lou Z, Ding Y, Shu C, et al. 3D structure of human
FK506-binding protein 52: implications for the assembly of the
glucocorticoid receptor/Hsp90/ immunophilin heterocomplex. Proc Natl
Acad Sci 2004;101:8348-83.

11

Vous aimerez peut-être aussi