Vous êtes sur la page 1sur 12

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Judul Penelitian


Penelitian yang dilakukan mengambil topik tentang gempabumi dengan judul
: Studi Mikrotremor untuk Zonasi Bahaya Gempabumi Daerah Surakarta
Provinsi Jawa Tengah.

I.2. Latar Belakang


Gempabumi merupakan salah satu bencana alam yang paling sering terjadi di
Indonesia. Gempabumi dapat menyebabkan kerusakan struktur bangunan, sarana
infrastruktur seperti jalan, pemukiman penduduk, gedung gedung kepemerintahan
dan kerugian lainnya bagi masyarakat di wilayah yang terkena dampak gempabumi.
Dampak lain dari gempabumi dapat mengakibatkan adanya bencana ikutan seperti
terjadinya longsor, adanya likuifaksi dan juga tsunami di daerah pantai.
Pulau Jawa merupakan daerah pertemuan antara dua lempeng yaitu Lempeng
Samudera Hindia menunjam di bawah Lempeng Benua Eurasia. Dampak yang
dihasilkan dari pertemuan kedua lempeng tersebut ialah Pulau Jawa berpotensi
terjadinya Gempabumi Tektonik. Gempabumi terjadi sebagai hasil pelepasan
energi dari pertemuan kedua lempeng tersebut. Selain diakibatkan tumbukan dua
lempeng, gempabumi juga dapat berasal dari patahan patahan besar di daratan
seperti patahan yang terkenal di Rembang yaitu Patahan Lasem dan Yogyakarta
yaitu Patahan Opak atau Sesar Opak. Berdasarkan rekaman sejarah yang pernah
ada, Gempa Yogyakarta yang terjadi pada 27 Mei 2006 pusat gempa berada di 8,03
LS dan 110,32 BT pada kedalaman 11,3 Km dan kekuatan 5.9 SR Mb (Magnitude
Body) atau setara 6.3 SR Mw (Magnitude Moment) menurut BMG. Sementara itu
data dari USGS memberikan koordinat 7,977 LS dan 110,318 BT pada
kedalaman 35 km (sebelah timur Kali Opak). Hasil yang berbeda tersebut
dikarenakan metode dan peralatan yang digunakan berbeda-beda. Gempa
Yogyakarta 2006 ini dipercaya disebabkan oleh pergerakan Sesar Opak, sesar
sinistral yang memanjang dari kawasan Pantai Parangtritis sampai ke sebelah timur

1
kota Yogyakarta (Gambar I.1.). Pada gempa tersebut belum banyak diketahui
tentang kontribusi pergerakan Sesar Dengkeng yang terletak di ujung timur laut
Sesar Opak. Pergerakan sesar-sesar tersebut dipengaruhi oleh subduksi Lempeng
Australia ke bawah Lempeng Eurasia di bawah Pulau Jawa (Abidin et al., 2009).
Patahan ini diperkirakan memanjang hingga kota Kota Surakarta dengan melihat
persebaran titik gempa yang masih searah dengan patahan opak.

A B

Surakarta

Gambar I.1. (A). Sesar Opak dan Sesar Dengkeng. (B). Titik pusat gempa berdasarkan
beberapa sumber yang di fasilitasi oleh Patahan Opak. (menurut Danny H. Natawidjaya,
2004 dalam Abidin et al., 2009).

Gempa Yogyakarta pada tahun 2006 membuktikan bahwa, kerusakan yang


diakibatkan gempabumi di suatu wilayah dan berdampak merusak bangunan tidak
hanya disebabkan oleh jarak terhadap sumber gempabumi. sebagai contoh Desa
Ngajaran, Desa Sidomulyo, Desa Bambanglipuro, Bantul, Parangtritis memilki
jarak terhadap sumber gempabumi sekitar 10 KM tingkat kerusakan yang dialami
tidak begitu berarti tetapi daerah di Kecamatan Cawas, Kecamatan Bayat, dan
Kecamatan Trucuk dimana jarak terhadap sumber gempa sekitar 50 KM terjadi
kerusakan yang tinggi. (DINAS P3BA & NZAID, 2008).
Kerusakan yang terjadi tersebar secara tidak merata, tetapi memiliki pola
persebaran yang tidak teratur dan membentuk blok blok tertentu di daerah
Yogyakarta dan sekitarnya. Ketidakteraturan pola penyebaran kerusakan
infrastruktur diduga terjadi sebagai akibat pengaruh kondisi fisik lahan, karakter
geologi, dan geoteknik disetiap wilayah yang berbeda beda. Perlu diketahui
bahwa setiap area walaupun dalam satu wilayah akan memiliki karakter litologi

2
yang berbeda beda dalam merespon getaran gelombang gempabumi yang
nantinya akan berpengaruh terhadap tingkat kerusakan infrastruktur akibat
gempabumi. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan peta Mikrozonasi tingkat
Kabupaten yang memberikan gambaran tingkat kerentanan terhadap bahaya
gempabumi di masing masing wilayah (Karnawati et al., 2007). Oleh sebab itu
perlunya dilakukan penelitian secara sistematis dan mendetail untuk tingkat
kerentanan terhadap bahaya gempabumi di Surakarta.
Pembuatan peta zonasi bahaya gempabumi baik dalam bentuk makrozonasi
maupun mikrozonasi dianggap sebagai solusi yang tepat untuk dilakukan karena
dalam pengerjaannya mulai dari pengumpulan data hingga proses penyajian data
harus dilakukan secara sistematis, teliti, dan menggabungkan aspek geologi dengan
parameter seismik. Mikrozonasi merupakan suatu mekanisme yang dapat
menjelaskan gejala amplifikasi disuatu area yaitu terjebaknya gelombang
gempabumi di dalam lapisan sedimen. Gelombang gempabumi yang melewati
suatu bagian sedimen terjebak dalam tubuh sedimen tersebut mengikuti pola
resonansi-nya (Ratdomopurbo, 2006). Frekuensi resonansi memiliki korelasi
positif dengan tingkat ketebalan dan kekompakan sedimen. Sehingga tingkat
ketebalan dan kekompakan sedimen berpengaruh dalam meningkatkan intensitas
gelombang gempa (Rosset et al., 2003). Pemetaan zonasi bahaya gempabumi
dilakukan melalui pendekatan studi mikrotremor. Studi mikrotremor ini
menggunakan alat Seismometer 1,0 Hz 3 komponen (L4-3C) dimana mekanisme
pengukurannya memanfaatkan derau atau gelombang alamiah sebagai sumber
getaran sehingga tidak perlu menunggu kejadian gempa untuk memperoleh data.
Secara geografis Kota Surakarta terletak antara 110O 45' 15'' 110O 45' 35''
Bujur Timur dan antara 7O 36' 00''- 7O 56' 00'' Lintang Selatan, dengan luas wilayah
kurang lebih 4.404,06 Ha. Kota Surakarta berada pada cekungan di antara dua
gunung, yaitu Gunung Lawu dan Gunung Merapi dan di bagian timur dan selatan
dibatasi oleh Sungai Bengawan Solo. Dipilihnya daerah Surakarta sebagai lokasi
penelitian adalah sebagai berikut :
1. Daerah ini diambil sebagai bahan penelitian karena berdasarkan kajian peneliti
terdahulu di daerah Surakarta, bahwa penelitian mikrotremor daerah Surakarta
untuk zonasi kerawanan bahaya gempabumi belum pernah dilakukan. Padahal

3
untuk daerah dengan tingkat perekonomian yang sangat maju dan tingkat
kepadatan penduduk yang tinggi seperti Surakarta dibutuhkan peta zonasi
bahaya gempabumi untuk mitigasi bencana dan pengembangan wilayah
Surakarta yang lebih terencana.
2. Menurut sejarah kejadian gempabumi, lokasi penelitian pernah ikut merasakan
adanya guncangan gempabumi, sebagai contoh gempabumi Yogyakarta pada 27
Mei 2006 dan yang terbaru gempabumi Banyumas pada 25 Januari 2014.
3. Terdapat kemiripan jenis litologi yang ada di daerah Klaten (daerah yang terkena
dampak gempabumi Yogyakarta 2006 dan yang membuat bangunan atau
infrastruktur mengalami kerusakan cukup parah) dengan daerah Surakarta
dimana sebagian besar daerahnya tersusun oleh endapan kuarter.
4. Kondisi fisik batuan yang umumnya disusun oleh endapan kuarter yang belum
mengalami kompaksi yang solid, sangat berisiko mengalami guncangan kuat
bila terjadi gempabumi, karena akan terjadi penguatan pada lapisan tidak
kompak tersebut (Lacave et al, 2000). Walaupun jauh dari patahan yang
berpotensi menghasilkan gempabumi tetapi perlu diketahui penjalaran
gelombang gempabumi dimungkinkan sampai daerah ini.
5. Faktor ini tidak kalah pentingnya dalam pertimbangan pemilihan lokasi
penelitian yaitu tingkat kepadatan penduduk. Kota Surakarta atau Solo
menempati peringkat satu dalam hal kepadatan penduduk di Jawa Tengah, yaitu
503.421 jiwa dan kepadatan penduduk 13.636/km2 (BPS Surakarta, 2010).
Berkaitan dengan hal tersebut maka perlu dibuat peta zonasi bahaya gempabumi
sebagai antisipasi awal untuk mengurangi kerugian dalam hal korban jiwa
maupun harta benda akibat gempabumi.

Penelitian dilakukan untuk mengetahui nilai amplifikasi tanah daerah


setempat, nilai frekuensi dominan, nilai periode yang kemudian dihubungkan
dengan kondisi geologi setempat. Sehubungan dengan uraian di atas maka hasil dari
penelitian studi mikrotremor akan disajikan dalam bentuk zonasi bahaya
gempabumi berdasarkan kondisi geologi dan aktivitas seismik.

4
I.3. Maksud Dan Tujuan
Maksud dari penelitian ini adalah mengidentifikasi faktor faktor bahaya
gempabumi dan mengetahui pola penyebarannya di Kota Surakarta dengan
melakukan survey dan studi mikrotremor, analisa pengaruh jarak terhadap sesar,
serta identifikasi nilai Peak Ground Acceleration (PGA) berdasarkan sebaran titik
gempa yang pernah terjadi di sekitar daerah Surakarta.
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah mengetahui dan menentukan zonasi
daerah yang rentan terhadap bahaya gempabumi berdasarkan hasil studi
mikrotremor. Zonasi tersebut memberikan informasi pembagian tingkat kerentanan
dari yang rendah tinggi terhadap bahaya gempabumi di daerah Surakarta,
berdasarkan beberapa parameter yaitu :
1. Nilai Amplifikasi,
2. Nilai Frekuensi,
3. Nilai Periode Dominan atau Ketebalan Sedimen,
4. Nilai Indeks Kerentanan Seismik
5. Pengaruh Jarak Terhadap Sesar Aktif,
6. Nilai Peak Ground Acceleration (PGA).

Berdasarkan nilai dari masing masing parameter maka dihasilkan peta


zonasi bahaya gempabumi harapannya dapat menjadi pertimbangan dalam
pengembangan wilayah untuk kedepannya meliputi kualitas bangunan dan tindakan
mitigasi bencana sebagai langkah antisipasi apabila gempa memang terjadi di
daerah Surakarta.

I.4. Manfaat Penelitian


Zonasi bahaya gempabumi daerah Surakarta merupakan suatu usaha dalam
menyediakan data dasar dan informasi mengenai zonasi wilayah yang rentan
terhadap bahaya gempabumi. Harapannya data hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai acuan dalam penataan ruang dan menentukan lokasi bangunan atau
infrastruktur penting (critical facility) di daerah Surakarta. Selain hal tersebut,
penelitian ini dilakukan sebagai upaya tindakan mitigasi bencana tahap awal daerah
Surakarta untuk mengurangi tingkat resiko terhadap bencana gempabumi.

5
I.5. Ruang Lingkup Penelitian
I.5.1. Batasan Masalah
Studi mikrotremor pada penelitian ini dijadikan sebagai dasar dalam
pembutan peta zonasi potensi bahaya gempa bumi di daerah Surakarta.
Terdapat beberapa parameter yang dijadikan sebagai acuan dan menjadi
batasan dalam penelitian.
1. Pengukuran Mikrotremor di daerah penelitian menggunakan Seismometer
1,0 Hz 3 komponen (L4-3C). Hasil pengukuran mikrotremor kemudian
diolah menggunakan software dan analisa HVSR untuk menghasilkan
nilai amplifikasi dan nilai frekuensi daerah penelitian.
2. Nilai periode dominan dan nilai ketebalan sedimen diperoleh dari
perhitungan menggunakan formula atau rumus empiris berdasarkan nilai
frekuensi dominan di setiap lokasi pengukuran.
3. Pengaruh jarak sesar terhadap daerah penelitian dari data struktur geologi
regional.
4. Perhitungan Nilai Peak Ground Acceleration (PGA) berdasarkan besaran
magnitude dan jarak terhadap hiposenter dengan menggunakan data
terbesar gempa yang pernah terjadi baik di daerah penelitian maupun di
sekitar daerah penelitian yang akan berpengaruh terhadap percepatan
tanah di lokasi penelitian kemudian dihubungkan dengan respon tanah di
setiap lokasi berdasarkan nilai periode dari titik pengukuran mikrotremor.

I.5.2. Ruang Lingkup Lokasi Penelitian


Lokasi penelitian yaitu Kota Surakarta. Surakarta atau Solo merupakan
salah satu Kabupaten kota yang berada di Propinsi Jawa Tengah. Kota
Surakarta terletak sekitar 65 km timur laut dari Yogyakarta yang berada di
dataran rendah ( 100 m diatas permukaan laut) yang dapat di lihat pada
Gambar I.2. Secara geografis Surakarta diapit oleh dua gunung yaitu Gunung
Merapi di sebelah barat dan Gunung Lawu di sebelah timur. Terdapat dua
sungai besar yang mengalir melalui Kota Surakarta yaitu Sungai Bengawan
Solo yang mengalir di bagian timur dan Sungai Pepe yang mengalir di bagian
utara, masih merupakan bagian dari daerah aliran Sungai Bengawan Solo.

6
Secara administrasi Kota Surakarta berbatasan secara langsung oleh beberapa
kabupaten yaitu :
Utara : Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Karanganyar.
Selatan : Kabupaten Sukoharjo.
Barat : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo.
Timur : Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo.

Lokasi penelitian mencakup wilayah Kecamatan Laweyan, Kecamatan


Serengan, Kecamatan Pasar Kliwon, Kecamatan Jebres, dan Kecmatan
Banjarsari, Kabupaten Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah. Data diperoleh
dari pengukuran mikrotremor di 90 titik yang tersebar secara merata di daerah
Surakarta meliputi lima Kecamatan dengan jarak antara titik 1 km (Gambar
I.3).
Secara geografis Kota Surakarta terletak antara 110O 45' 15'' 110O 45'
35'' E dan antara 7O 36' 00''- 7O 56' 00'' S atau pada koordinat 474000 486000
UTM dan 9160000 9169000 UTM, dengan luas wilayah Kota Surakarta
kurang lebih 4.404,06 Ha atau 44,03 km2.

Gambar I.2. Peta lokasi kesampaian daerah penelitian

7
Gambar I.3. Peta lokasi daerah penelitian dan lokasi titik pengambilan data mikrotremor 8
I.5.3. Ruang Lingkup Waktu
Penelitian diawali dengan tahap kajian pustaka, penentuan titik
pengukuran mikrotremor, dan tahap pengambilan data primer yang dilakukan
pada bulan september oktober 2013, kemudian tahap pengolahan serta
analisa data dan tahap pembuatan laporan akhir. Setiap tahapan memiliki
jangka waktu tertentu yang dapat dilihat pada Tabel I.1. mengenai jadwal
penelitian dari masing masing tahap penelitian.

Tabel I.1. Jadwal Penelitian

I.5. Peneliti Terdahulu


Geologi daerah penelitian telah diteliti oleh beberapa ahli geologi seperti Van
Bemmelen (1949) dan Surono, dkk (1992). Van Bemmelen telah membuat
penelitian mengenai kondisi geologi Indonesia sedangkan Surono, dkk (1992) telah
membuat peta geologi lembar Surakarta skala 1 : 100.000.
Terbatasnya informasi mengenai penelitian yang pernah dilakukan di daerah
Surakarta, maka hanya sedikit yang dapat dijadikan sebagai referensi umum
mengenai daerah tersebut. Berdasarkan pencarian sumber penelitian yang pernah
dilakukan sebelumnya, khusus mengenai zonasi bahaya gempabumi daerah
Surakarta belum pernah dilakukan.
Berikut merupakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya di daerah
Surakarta yaitu :
1. Menurut Van Bemmelen (1949), Kota Surakarta termasuk dalam Sub Zona
Solo, yang membatasi sisi selatan Pegunungan Kendeng. Di sebelah timur -

9
merupakan dataran Surakarta yang berbatasan dengan kaki Gunung Lawu, di
sebelah barat dibatasi oleh Gunung Merapi.
2. Surono, dkk. (1992) hasil penelitian berupa Peta Geologi Lembar Surakarta
Giritintro, Jawa. Skala 1 : 100.000. Berdasarkan peta geologi tersebut Kota
Surakarta tersusun dari tiga formasi batuan dari yang paling tua hingga paling
muda yaitu Formasi Batuan Gunungapi Merapi, Aluvium Tua, dan Aluvium.
3. Ekklessia (2003) melakukan penelitian dengan judul Penentuan Zona
Perlindungan Sumber Air Baku pada Sumur Bor Mojosongo, Kadipiro,
Ngadisono dan Jebres, Kota Solo, Propinsi Jawa Tengah. Mengenai peta
geologi Kota Surakarta Skala 1 : 50.000 (Geohidrologi Map SKA Surakarta
Water Project 1978), litologi daerah Surakarta (Tabel I.2.) dijelaskan sebagai
berikut :
1. Di bagian utara terdiri dari Formasi Notopuro dan sedikit Formasi Kabuh,
dengan jenis batuan Tufa dan Breksi Tufa, serta beberapa batupasir fluvial
dan konglomerat. Ketebalan lapisan ini diperkirakan kurang lebih 50 meter.
2. Di bagian barat merupakan endapan batuan gunungapi berumur Holosen,
terdiri dari material klastik gunungapi, endapan perselingan pasir, gravel,
tuff, dan lempung.
3. Di bagian selatan merupakan dataran alluvial yang berasal dari material
gunungapi muda, dengan perlapisan yang berselang seling pasir, gravel,
dan tuff.
Tabel I.2. Formasi batuan dan jenis litologi yang ada di Surakarta.
Formasi Batuan (Geologi) Litologi
Aluvium Lempung, lempung pasiran, kerikil,
kerakal, dan berangkal.
Formasi Vulkanik Muda Tufa, tufa pasiran, batupasir tufaan, breksi
dan lava
Formasi Notopuro Tufa breksi, tufa pasiran, batupasir tufaan,
konglomerat
Formasi Kabuh Lempung, lanau, pasir, batupasir tuf,
breksi dan konglomerat
(Sumber : PDAM Kota Surakarta, 1998 dalam Ekklessia, 2003)

Selain keadaan geologi permukaan penelitian tersebut juga disertai dengan


enam data bor yang berada di Mojosongo, Kadipiro, Ngadisono Jebres, dan
Kota Solo.

10
4. Kertapati (2006) pada bukunya yang berjudul AKTIVITAS GEMPA BUMI DI
INDONESIA Prespektif Regional Pada Gempabumi Merusak. Di bagian Bab
IV, menyebutkan bahwa pembagian Wilayah Gempabumi berdasarkan nilai
percepatan puncak batuan dasar dengan perioda ulang 500 tahun di Kota
Surakarta adalah 0,20 g. Nilai PGA tersebut setara dengan V- VII MMI pada
skala intensitas gempabumi dan memiliki tingkat resiko rendah menengah.
Walaupun memiliki resiko rendah tetapi tidak menutup kemungkinan dampak
yang dihasilkan akibat gempabumi dapat merusak daerah tersebut apabila tidak
di dukung dengan perencanaan pengembangan wilayah yang terencana dan
kualitas bangunan yang sesuai standar.
5. Devy (2010) melakukan penelitian dengan judul Zonasi Kerentanan Airtanah
Dangkal Terhadap Kontaminasi Krom, Timbal dan Nitrat Menggunakan
Metode SVV (Simple Vertical Vunerability) Dikecamatan Laweyan Surakarta
Jawa Tengah. Mengenai Peta Formasi Batuan (Baquini, 1988) dengan skala 1 :
50.000 dan informasi mengenai geologi daerah Surakarta. Dalam penelitian ini
disebutkan bahwa terdapat empat formasi batuan yang menyusun daerah
Surakarta, susunan stratigrafinya dari formasi yang paling muda hingga formasi
yang paling tua yaitu sebagai berikut : Endapan Aluvium, Formasi Vulkanik
Muda, Formasi Notopuro, dan Formasi Kabuh.
6. Nugroho (2010) melakukan penelitian Mikrozonasi Bahaya Gempabumi
Daerah Cawas Kabupaten Klaten dan Daerah Tawangsari Kabupaten
Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah. Menyimpulkan bahwa daerah penelitian
dibagi menjadi 3 tingkatan bahaya gempabumi yaitu :
1. Zona Bahaya Menengah, daerah ini ditunjukkan dengan kondisi setiap
parameter memiliki nilai zona amplifikasi menengah tinggi, zona
kedalaman muka airtanah dangkal sangat dangkal, zona jauh dari sesar
dan zona PGA menengah hingga tinggi.
2. Zona Bahaya Tinggi, daerah ini ditunjukkan dengan kondisi setiap
parameter memiliki zona amplifikasi menengah sangat tinggi, zona
kedalaman muka airtanah dangkal sangat dangkal, zona jauh sangat
dekat dari sesar, dan zona PGA menengah - sangat tinggi.

11
3. Zona Bahaya Sangat Tinggi, daerah ini ditunjukkan dengan kondisi setiap
parameter memiliki zona amplifikasi menengah sangat tinggi, zona
kedalaman muka airtanah dangkal sangat dangkal, zona jauh sangat
dekat dari sesar, dan zona PGA tinggi - sangat tinggi.
7. Armada (2010) melakukan penelitian Hubungan Kekerasan dan Kekompakan
Batuan dengan Nilai Frekuensi dan Amplifikasi Mikrotremor Studi Kasus
Daerah Cawas Kabupaten Klaten dan Daerah Tawangsari Kabupaten
Sukoharjo Propinsi Jawa Tengah. Menyimpulkan bahwa tingkat kekerasan dan
kekompakan batuan mempengaruhi nilai frekuensi dan amplifikasi batuan,
dimana semakin keras suatu batuan nilai frekuensi akan semakin besar dan nilai
amplifikasi semakin kecil, kemudian semakin kompak batuan nilai frekuensi
semakin akan semakin besar dan nilai amplifikasi akan semakin kecil. Memiliki
makna bahwa suatu daerah akan lebih berpotensi mengalami kerusakan
terhadap infrastruktur diatasnya jika komposisi batuan belum mengalami
kompaksi secara solid yang berdampak pada tinggnya nilai amplifikasi.
Keberadaan sesar pada daerah penelitian mempengaruhi pembacaan nilai
frekuensi dan amplifikasi pada titik yang berada di dekat zona sesar tersebut.

12

Vous aimerez peut-être aussi