Vous êtes sur la page 1sur 18

TUGAS MAKALAH INDIVIDU

ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI

HUKUM KELUARGA

Topik: Hukum Perdata


Makalah Ini Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Aspek Hukum
Dalam Ekonomi Program Studi Aspek Ekonomi Pembangunan STIE
MUHAMMADIYAH JAMBI

Oleh :

Kgs Firli Audillah


1310061570635
Makro II Malam
Dosen pembimbing: Eko Budi S S.H, M.H
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................

DAFTAR ISI.............................................................................................................

PENDAHULUAN.....................................................................................................

PEMBAHASAN...
a.Pengertian Hukum Negara..
b.Kekuasaan orang Tua..
c.Perwalian...
d.Pengampunan...
e.Adopsi.
F.Keadaan tidak hadir.

KESIMPULAN.

PENUTUP.

DAFTAR PUSTAKA...

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan
Rahmat, Taufiq, dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul Hukum Keluarga dengan lancar.
Penyusunan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu tugas
mata kuliah Aspek Hukum Dalam Ekonomi STIE MUHAMMADIYAH jambi.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan dalam penyusunan laporan praktek
lapang ini tentu tidak lepas dari bantuan berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Untuk itu
penulis mengharap saran dan kritik yang membangun. Penulis berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada
umumnya.

Jambi Agustus 2015

Penyusun

I. PENDAHULUAN
Hukum Keluarga adalah bagian dari hukum perorangan, adapun hukum
keluarga diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan
hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan kekeluargaan karena
perkawinan [perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan
tak hadir].
Oleh karena itu pemakalah ingin sedikit menguraikan masalah tentang
Hukum Keluarga yang dia ketahui.

II. RUMUSAN MASALAH


Makalah ini akan membahas tentang:
A. Pengertian hukum keluarga
B. Kekuasaan orang tua
C. Perwalian
D. Pengampuan
E. Adopsi
F. Keadaan tidak hadir
III. PEMBAHASAN

A. Pengertian hukum keluarga


Istilah hukumkeluarga berasal dari terjemahan Familierecht ( Belanda )
atau law of familie (Inggris). Dalam konsep Ali Afandi,[1] hukum keluarga
diartikan sebagaikeseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang
bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargan karena perkawinan
(perkawinan, kekuasaan orang tua,perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).
Ada dua hal penting dari konsep Ali Afandi tersebut, bahwa hukum
keluarga mengatur hubungan yang berkaitan dengan kekeluargaan sedarah dan
kekeluargaan karena perkawinan. Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga
yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai keluhuran yang sama.
Sedangkan kekeluargaan karena perkawinan adalah pertalian keluarga yang
terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah dengan istri
(suaminya).[2]
Tahir Mahmud, mengartikan hukum keluarga sebagai prinsip-
prinsip hukum yang diterangkan berdasarkan ketaatan beragama berkaitan dengan
hal-hal yang secara umum diyakini memiliki aspek religius menyangkut peraturan
keluarga, perkawinan, perceraian, hubungan dalam keluarga, kewajiban dalam
rumah tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain.[3]

[1] Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga dan Hukum


Pembuktian Menurut KUHPerdata, Jakarta: Bina Aksara, hlm. 93.

[2] Titik Triwulan Tutik, S.H., M.H. Hukum Perdata Dalam Sistem
Hukum Nasional, Jakarta: Kencana, hlm. 73.

[3] Salim H. S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta: Sinar


Grafika, hlm. 55.
Definisi Tahir Mahmud tersebut, pada dasarnya mengkaji dua sisi,
yaitu tentang prinsip hukum dan ruang lingkup hukum. Sedangkan ruang lingkup
kajian hukum keluarga meliputi peraturan keluarga, kewajiban dalam rumah
tangga, warisan, pemberian mas kawin, perwalian, dan lain-lain. Apabila
diperhatikan, definisi ini terlalu luas, karena menyangkut warisan, yang dalam
hukum perdata BW merupakan bagian dari hukum benda.
Dalam definisi ini setidaknya memuat dua hal penting yaitu,
kaidah hukum dan substansi (ruang lingkup) hukum. Kaidah hukum meliputi
hukum keluarga tertulis dan hukum keluarga tidak tertulis. Hukum keluarga
tertulis adalah kaidah-kaidah hukum yang bersumber daru undang-undang,
traktat, dan yurisprudensi. Hukum keluarga tidak tertulis merupakan kaidah-
kaidah hukum keluarga yang timbul, tumbuh, dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat. Misalnya, mamari dalam masyarakat sasak. Adapun ruang lingkup
yang menjadi kajian hukum keluarga meliputi perkawinan, perceraian, harta
benda dalam perkawinan, kekuasaan orang tua, pengampuan, dan perwalian.
Berdasarkan definisi tersebut diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
hukum keluarga pada dasarnya merupakan keseluruhan kaidah hukum baik

tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan hukum yang timbul dari ikatan
keluarga yang meliputi:
a) Peraturan perkawinan dengan segala hal yang lahir dari perkawinan
b) Peraturan perceraian
c) Peraturan kekuasaan orang tua
d) Peraturan kedudukan anak
e) Peraturan pengampuan (curatele) dan
f) Peraturan perwlian (voogdij).
Hukum perdata barat mengandung prinsip bahwa hukum keluarga pada
berbagai ketentuannya pada hakikatnya erat hubungannya dengan tata tertib
umum. Dengan demikian maka segala tindakan yang bertentangan dengan
ketentuan itu adalah batal demi hukum.
Dalam konsepsi hukum pedata Indonesia telah diadakan pernyataan bahwa
Hukum Perdata Barat (BW) tidak lagi dianggap sebagai undang-undang yang
mutlak berlaku. Ada beberapa pertimbangan yang melandasi ketentuan tersebut
antara lain:
1) Ada tendensi bahwa BW mengaju pada alam liberalisme, sehingga perlu
ditinggalkan dan menuju alam sosialisme Indonesia.
2) Maklumat Mahkamah Agung tentang tidak berlakunya sementara ketentuan
karena tidak sesuai lagi dengan perubahan zaman dan bersifat diskriminatif.
3) Menjadikan jati diri bangsa Indonesia yang pliralitis, sehingga berbeda jauh
dengan kondisi alam barat. Misalnya, dengan keberlakuan hukum islam dan
hukum adat.[4]
Pada dasanya sumber hukum keluarga dapar dibedakan menjadi dua
macam, yaitu sumber hukum keluarga tertulis dan sumber hukum perdata tidak
tertulis. Sumber hukum keluarga tidak tertulis merupakan norma-norma hukum
yang tumbuh dan berkembang serta ditaati oleh sebagian besar masyarakat atau
suku bangsa yang hidup di wilayah Indonesia. Sedangkan sumber hukum keluarga
tertulis berasal dari berbagai peraturan perundang-udangan, yurisprudensi, dan
perjanjian (traktat).
Sumber hukum keluarga tertulis yang menjadi rujukan di Indonesia
meliputi: (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek); (2)
Peraturan Perkawinan Campuran (Regelijk op de Gemengdebuwelijk), Stb. 1898
158; (3) Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen Jawa, Minahasa, dan Ambon
(Huwelijke Ordonnnantie Christen Indonesiers), Stb. 1933 -74; (4) Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak,dan Rujuk
(beragama Islam); (5) Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (6)
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Perturan Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; (7) Peraturan
Pemeritah Nomor 10 Tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990
tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil; dan (8)
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia yang berlaku bagi orang-orang yang beragama Islam.[5]

[
B. Kekuasaan orang tua
Seorang anak sah sampai ia mencapai usia dewasa dewasa atau kawin,
berada di bawah kekuasaan orang tuanya selama kedua orang tua itu terikat
dalam hubungan perkawinan.Dengan demikian kekuasaan orang tua itu mulai
berlaku sejak lahirnya anak atau [dalam halnya anak luar kawin yang disahkan].
Oleh karena itu kekuasaan orang tua adalah kekuasaan yang dilakukan oleh ayah
dan ibu selama mereka itu terikat dalam perkawinan terhadap anak-anaknya yang
belum dewasa. Demikian isi dari pasal 299. Menurut pasal 300 kekuasaan orang
tua itu biasanya dilakukan oleh si ayah.
Jika bapak berada di laur kemungkinan melakukan kekuasaan itu yang
melakukan kekuasaan adalah si ibu.[6]
Selanjutnya pasal 240 memuat ketentuan bahwa setelah adanya keputusan
perpisahan meja dan ranjang. Hakim harus memutuskan siapa diantara orang tua
harus melekukan kekuasaan orang tua terhadap anak.
di dalam hal ini bisa juga kekuasaan orang tua dilakukan si ibu. Mengenai
pengertian Jadi belum dewasa perlu duperhatikan pasal-ppasal seperti berikut :
Pasal 330 : Orang yang belum dewasa adalah orang yang belum mencapai
umur 21 tahun dan belum pernah kawin. jka ia pernah kawin, dan ia masih belum
mencapai umur 21 tahun ia tidak kembali dalam kedudukannya sebagai orang
belum dewasa.
Jadi inti dari uraian di atas adalah :
1. Belum mencapai umur 21 tahun
2. Belum kawin.
Kembali berbica tentang kekuasaan orang tua, dari kekuasaan itu diatur dalam
pasal 298-310. Isi dari kekuasaan orang tua itu dibagi menjadi 2 bagian.
1. Kekusaan terhadap pribadi seorang anak,
2. Kekuasaan terhadap kekayaan anak
Tentang kekuasaan tentang peribadi seorang anak terdapat ketentuan sebagai
berikut:
[
Pasal 298 dan 301:
Tiap anak berapa pun umurnya, wajib menghormat dan menyegani orang tuanya.
Orang tua wajib memelihara dan mendidik srmua anak yang belum dewasa.
Dan kekuasaan terhadap harta kekayaan anak terdapat ketentuan-ketentuan sebagai
berikut:
Ini dimuat dalam pasal 307-318, yang perlu diperhatikan ialah pada pasal 307:
Orang yang memegang kekuasaan orang tua harus mengurus harta kekayaan si
anak.[7]

C. Perwalian
Anak yang belum mencapai umur 18 [delapan belas] tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan
orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Pewalian itu mengenai pribadi anak
yang bersangkutan maupun harta bendanya [pasal 30 UU perkawinan].[8]
Yang dimaksud perwalian adalah pengawasan terhadap pribadi dan
pengurusan harta kekayaan seorang anak yang belum dewasa jika anak itu tidak
berada di tanah kekuasaan orang tua.Jadi dengan demikian anak yang orang
tuanya telah bercerai ataun jika salah satu dari mereka atau semua meninggal
dunia, berada dibawah perwalian. Terhadap anak di luar kawin, maka kaerena
tidak ada kekuasaan orang tua anak itu selalu di bawah perwalian.
Anak yang berada di bawah perwalian disebut pupil, dan disini ada 3 jenis
perwalian :
1. Perwalian menurut undang-undang, yaitu yang disebut dalam pasal 345.
Jika salah satu orang tua meninggal maka perwalian demi hukum dilakukan
oleh orang tua yang masih hidup terhadap anak kawin yang belum dewasa.
Pasal 351. Jika yang jadi wali itu si ibu dan ibu ini kawin lagi maka
suaminya menjadi kawan wali.
2. Perwalian dengan wasiat.

[7] Ibid. Hlm.155

[8] Prof. R. Subekti, S.H. Hukum Keluarga dan Hukum


Waris,Jakarta:PT Intermasa,1990, hlm.18.
Menurut pasal 355 ditentukan bahwa tiap orang tua yang melakukan
kekuasaan orang tua, atau perwalian, berhak mengangkat seorang wali bagi
anaknya, jika perwalian itu berakhir pada waktu ia meninggal dunia atau berakhir
dengan penetapan hakim. Perwalian seperti ini dapat dilakukan dengan surat
wasiat atau dengan akta notaris.
3. Perwalian datif, yaitu apabila tiada ada wali menurut undang-undang atau wali
dengan wasiat, oleh hakim ditetapkan seorang wali [pasal 359].
Jika seandainya telah diputuskan suatu perceraian, maka dengan demikian
tiada ada lagi kekuasaan orang tua, dan salah seorang dari orang tua harus di
tetapkan sebagai wali.
Jika kedua orang tua semuanya dipecat dari kekuasaan orang tua, maka
Hakim juga harus menetapkan seorang wali. Menurut ketentuan dalam pasal 365
maka jika Hakim harus menetapkan seorang wali, maka ia dapat juga menetapkan
sebagai wali, suatu perkumpulan yang berbadan hukum, suatu yayasan atau
lembaga yang bertujuan memelihara anak-anak belum dewasa.
Menurut pasal 306 harus ada wali pengawas dan ini dilakukan oleh Balai
Harta Peninggalan. Selain dari Balai Harta Peninggalan masih ada juga suatu
badan, yang disebut Dewan Perwakilan, yang anggotanya sebagian besar terdiri
dari anggota Balai Harta Peninggalan, yang tudasnya mengurusi anak yang di
percayakan kepadanya [416a].
Ketentuan-ketentuan itu sudah diatur dalam stbld no. 166. Tentang siapa yang
dapat ditetapkan sebagai wali ada ketentuan ketentuan sebagai berikut :
Pasal 332 : Tiap orang wajib menerima penetapan sebagai wali, kecuali beberapa
orang yang boleh mengajukan keberatan yaitu :

Pasal 332 a : seorang yang diangkat sebagai wali oleh salah satu dari kedua orang
tua; seorang perempuan yang bersuami. Keberatan ini harus dinyatakan di
kepaniteraan pegadilan negeri.
Pasal 347 : orang-orang yang berada di luar negeri dengan tugas pemerintah,
anggota-anggota ketentaraan dan angkatan laut; Orang-arang yang bertugas
Pemerintah di luar Karesidenan mereka.

Pasal 379 : Ini mengenai orang yang sama sekali tidak boleh menjadi wali,
diantaranya:
- Pejabat-pejabat pengadilan,
- Orang yang sakit ingatan,
- Orang yang belum dewasa,
- Orang yang di bawah pengampuan,
- Orang yang di pecat yang kekuasaan orang tua atau perwalian,
- Para anggota pimpinan Balai Harta Peninggalan.[9]
Isi dari suatu perwalian ialah : sebagaimana juga di dalam hal kekuasaan orang
tua, ada 2 rupa:
Tugas yang mengenai pribadi anak yang di bawah perwalian, dan pengurusan
harta kekayaan si anak.
Tentang tugas mengenai pribadi seorang anak menurut pasal 383, maka itu terdiri
dari perawatan dan pendidikan anak itu dan juga perwalian di muka Pengadilan.
Pengurusan harta kekayaan si anak, terdapat ketentuan-ketentuan seperti berikut :
Pasal 335 : Tiap wali sebagai jaminan atas pengurusan, harta kekayaan si anak, di
dalam waktu 1 bulan setelah perwaliannya mulai barjalan, harus mengadakan
tanggungan yang berupa ikatan tanggungan (borg), hipotik atau gadai.
Pasal 386 : Wali harus mengadakan daftar perincian dari barang kekayaan si
anak, di dalam waktu 10 hari setelah mulai perwaliannya berjalan yang harus
dihadiri oleh wali pengawas (Balai Harta Peninggalan). Hal-hal tersebut di atas
adalah merupakan jaminan, bahwa harta kekayaan si anak dapat pengurusan yang
baik.
Selanjutnya hal-hal yang dapat dan tidak dapat dilakukan adalah seperti berikut :
Pasal 389 : Wali harus menjual semua perabotan rumah tangga, dan barang
bergerak lainnya yang tidak memberikan hasil, yang jatuh kepada si anak.
Pasal 390 : keharusan menjual tadi tidak berlaku jika perwalian itu dilakukan si
ayah atau si ibu yang berhak atas hak petik hasil harta kekayaan si anak, untuk
kemudian memberikan barang itu kepada si anak.
Pasal 396 : wali untuk kepentingan si anak tidak boleh meminjam uang, menjual
atau menggadaikan barang tak bergerak dari si anak, dan tidak boleh juga ia
menjual surat berharga dan piutang, kalau tidak dengan izin Pengadilan.
Pasal 395 : Di dalam hal penjualan barang tak bergerak itu di izinkan oleh
pengadilan maka penjual itu harus dilakukan di muka umum.

[
Pasal 400 : Wali tidak boleh menyewa atau mengambil dalam hak usaha (pacht)
barang-barang si anak untuk kepentingan diri sendiri tanpa izin Pengadilan.
Pasal 401 : Wali tidak boleh menerima wrisan yang jatuh pada si anak, kecuali
dengan hak istimewa akan pendaftaran harta peninggalan

Dalam berakhirnya perwalian dapat ditinjau dari dua segi, yaitu: ( dalam
hubungan terhadap dengan keadaan anak; dan (2) dalam hubungan dengan tugas
wali.[10]
1) Dalam hubungan terhadap dengan keadaan anak
Dalam hubungan ini, perwalian akan berakhir karena:
- Si anak yang di bawah perwalian telah dewasa (meenderjarig)
- si anak (meenderjarig) meninggal dunia
- timbulnya kembali kekuasaan orang tuanya (ouderlijkkemacth) dan
- pengesahan seorang anak luar kawin.
2) Dalam hubungan dengan tugas wali
Berkaitan dengan tugas wali, maka perwalian akan berakhir karena:
- Wali meninggal dunia
- Dibebaskan atau dipecat dari perwalian (ontzettng of ontheffing) dan
- Ada alasan pembebasan dan pemecatan dari perwalian (Pasal 380 B.W).
Sedangkan syarat utama untuk dipecat (otzet) sebagai wali, ialah karena
disandarkan pada kepentingan minderjarige itu sendiri.
Pada setiap perwaliannya, seorang wali wajib mengadakan perhitungan
tanggumg jawab penutup. Perhitungan ini dilakukan dalam hal:
1. Perwalian yang sama sekali dihentikan yaitu kepada minderjarige atau kepada
ahli warisnya
2. Perwalian yang dihentikan karena diri (persoon) wali, yaitu kepada yang
menggantinya dan
3. Minderjarige yang sudah berada di bawah perwalian, kembali lagi berada di
bawah kekuasaan orang tua, yaitu kepada bapak atau ibu minderjarige itu (Pasal
409 B.W).

D. Pengampuan

[
Dalam KUH Perdata [BW] ada ketentuan-ketentuan tentang apa yang
dinamakan pengampuan [curatele] yang tentunya hanya berlaku bagi
mereka yang tunduk pada KUH Perdata [BW].
Orang yang sudah dewasa tetapi dungu, sakit otak atau mata gelap
harus ditaruh di bawah pengampuan, sekalipun kadang-kadang ia cakap
menggunakan pikirannya. Seorang dewasa juga boleh ditaruh di bawah
pengampuan karena keborosannya. Setiap keluarga sedarah berhak meminta
pengampuan seorang keluarga sedarahnya berdasarkan atas keadaannya: dungu,
sakit otak atau mata gelap. Namun berdasarkan keborosannya, pengampuan itu
hannya boleh diminta ole para keluarga sedarahnya.
Akibat ditaruhnya seseorang di bawah pengampuan, perbuatan-perbuatan
hukum yang dilakukannya setelah itu semuanya batal demi hukum. Pengadilan
akan mengangkat seorang pengampu, sedangkan pengampu pengawas adalah
Balai Harta Peninggalan.
Pengampuan berakhir apabila sebab-sebab yang mengakibatkannya
telah hilang.
Acara pembebasan dari pengampuan adalah sama dengan cara
yang haru ditempuh sewaktu mengajukan permohonan untuk menaruh orang itu di
bawah pengampuan. Pembebasan dari pengampuan itu juga harus dimuat dalam
Berita Negara.[11]

E. Adopsi
Adopsi adalah pengangkatan anak oleh seoarang dengan maksud untuk
menganggapnya anak itu sebagai anaknya sendiri. Didalam. BW hal yang
demikian itu tidak mungkin, karena BW memandang suatu perkawinan sebagai
bentuk hidup bersama bukan untuk mengadakan keturunan. Karena adopsi itu di
kalangan bangsa Tionghoa suatu perbuatan hukum yang lazim dilakukan, maka
soal adopsi ini mendapat pengaturan sendiri yaitu dalam Stbld. 1917-129 Bab II.
Adapun hal-hal yang penting untuk diperhatikan ialah seperti berikut:
Adopsi dapat dilakukan oleh suami-istri bersama-sama [pasal ayat 2]. Kalau

[
adopsi dilakukan oleh seorang duda, maka ia harus tidak mempunyai keturunan di
dalam garis laki-laki [pasal 5 ayat 1]. Seorang janda yang tidak kawin lagi dapat
mengadakan adopsi. Jika dari suaminya yang telah meninggal dunia ia tidak
mempunyai keturunan laki-laki [pasal 5 ayat 3].
Orang yang diadopsi harus berumur paling sedikit 18 tahun lebih muda
dari lelaki dan 15 tahun lebih muda dari perempuan bersuami atau janda yang
melakukan adopsi [pasal 7 ayat 1]. Jika yang diadopsi itu seorang keluarga
sedarah maka dengan diadakannya adopsi itu, anak itu harus menduduki derajat
keturunan yang sama terhadap leluhurnya yang sama [pasal 7 ayat 2] seperti
belum diadopsi. Syarat-syarat untuk mengadakan adopsi adalah seperti berikut
[pasal 8] :
1) Persetujuan yang melakukan adopsi
2) Persetujuan orang tua atau ayah atau ibu dari orang yang diadopsi
3) Persetujuan dari orang yang diadopsikan sendiri jika ia telah berusia 15 tahun
4) Jika adopsi dilakukan oleh seorang janda maka perlu juga persetujuan dari
saudara lelaki yang dewasa dan ayah dari suami yang telah meninggal dunia, dan
jika orang-orang ini telah meninggal dunia atau tidak berada di Indonesia, maka
harus ada persetujuan dari keluarga laki-laki yang telah dewasa dari pancer ayah
suami yang telah meninggal dunia hingga derjat ke-4.
Adapun akibat dari adopsi adalah sebagai berikut : Dengan adopsi, orang
yang diadopsi itu, jika ia mempunyai nama keluarga lain dari pada orang yang
melakukan adopsi, ia harus memakai nama keluarga [syeh] yang melakukan
adopsi itu [pasal II].[12]
Jika adopsi itu dilakukan oleh suami-istri maka anak yang diadopsi itu dianggap
lahir di dalam perkawinan mereka, jika yang melakukan adopsi itu seorang duda,
maka yang diadopsi itu dianggap lahir di dalam perkawinan dengan istri yang
telah meninggal.
Jika yang melakukan adopsi itu seorang janda, maka orang yang
diadopsi itu dianggap lahir di dalam perkawinan dengan suami yang telah
meninggal dunia (pasal 12).

[
Dengan adopsi, maka hubungan keperdataan yang berdasarkan epada
keturunan darah antara orang yang diadopsi dengan orang tuanya atau
keluarganya sedarah dan semenda terputus kecuali di dalam hal :
1. Perderajatan di dalam hubungan kekeluargaan sedarah atau semenda sebagai
larangan untuk kawin.
2. Ketentuan-ketentuan di dalam bidang hukum pidana yang berdasarkan keturunan
sedarah; (tidak berlakunya pasal-pasal KUHP jika yang melakukan kejahatan itu
keluar sendiri. Juga di dalam hal persaksian.
3. Kompensasin ongkos perkara dan penggelan.
4. Pembuktian dengan saksi; (ketentuan-ketentun yang mengenai persaksian
keluarga).
5. Persaksian di dalam membuat akta otentik (pasal 14).

F. Keadaan tidak hadir


Keadan tidak hadirnya seorang adalah keadaan dimana seorang
meninggalkan tempat tinggalnya dan tidak diketahui dimana orang itu berada. Di
dalam keadaan seperti ini terdapat ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a) Tindakan sementara
Pasal 413. Jika tidak ditinggalkan suatu kuasa kepada seorang wakil untuk
mewakilinya atau mengurusi kepentingannya, dan jika ada alasan yang mendesak,
maka atas permintaan yang berkepentingan, atas tindakan jaksa, Pengadilan harus
mamarintahkan kepada Balai Harta Peninggalan untuk mewakilinya atau
mengurusi kepentingan orang yang tidak hadir itu.
b) Peryataan tentang dugaan seorang telah meninggal dunia.
Jika seorang telah sekian lamanya tidak hadir maka harus diperhatikan
apakah ia meninggalkan surat kuasa atau tidak. Kalau ia tidak meninggalkan surat
kuasa, maka berlaku ketentuan dalam pasal 467 yan menentukan bahwa, jika
keadaan itu telah berlangsung 5 tahun maka atas permintaan yang berkepentingan
ia dengan izin pengadilan dipanggil untuk menghadap di muka pengadlan. Kalau
orang itu tidak menghadap maka pengadilan diulangi sampai 3 kali dengan antar
waktu 3 bulan.
Pasal 468 : Jika atas panggilan yang terakhir itu ia tidak menghadap, maka
pengadilan boleh menyatakan orang itu diduga telah meninggal dunia, sejak
waktu ia meninggakan tempat tinggalnya, atau kabar terakhir tentang
keselamatanya.
Jika ada surat kuasa, maka menurut pasal 470 waktu tidak hadir itu harus
genap 10 tahun, agar supaya pengadilan dapat mengadakan pernyataan dugaan
telah meninggalnya seseorang.
Akibat dari pada pernyataan itu adalah bahwa para ahli waris dapat
tampilkemuka untuk menuntut haknya, tapi dengan disertai jaminan agar supaya
harta kekayaan berada di dalam pengutusan yang baik.
Demikian ini untuk menghadapi kemungkinan bahwa yang tidak hadir itu
datang kemali.
Harta warisan dapat dibagi-bagi. Terhadap ini semua harus diadakan
jamianan atau tanggungan yang harus disahkan oleh pengadilan. Surat-surat
wasiat dapat juga dibuka. Demikian isi pasal 472.
Pasal 473 : Jika tanggungan tiak dapat diberikan, maka harta-harta
peninggalan harus duurus oleh pihak ke 3.
Pasal474 : Terhadap harta peninggalan itu para waris mempunyai hak petik hasil.
Pasal 476 : Jika yang tak hadir pulang kembali, maka mereka yang
telah menerima barang kekayaannya dalam penguasaan atau pengurusan harus
melakukan perhitungan, pertanggungan jawab dan penyerahan kepada orang yang
pulang kembali tadi.
IV. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahawa hukum keluarga itu
diartikan sebagai keseluruhan ketentuan yang mengenai hubungan hukum yang
bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah, dan kekeluargaan karena perkawinan
(perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian, pengampuan, keadaan tak hadir).

V. PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat saya sampaikan, saya sadar makalah ini
masih kurang dari kesempurnaan, jika ada kesalahan dan kekurangan, itu
dikarenakan keterbatasan pengetahuan saya. Maka dari itu, kritik dan saran sangat
saya butuhkan demi kesempurnaan isi makalah ini, semoga bermanfaat bagi kita
semua Amin.
DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Ali, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1997.
Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis, Jakarta: Sinar Grafika,
Subekti R., Hukum Keluarga dan Hukum Waris, Jakarta: PT Intermasa, 1990.
Tutik, Titik Triwulan, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana,
2008.

Vous aimerez peut-être aussi