Vous êtes sur la page 1sur 22

Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

16 February 2009 | Hukum

Sebelumnya telah disebutkan bahwa tujuan dari UU PK adalah


melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi
pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal
3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:

1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian


konsumen untuk melindungi diri

2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara


menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang
dan/atau jasa

3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,


menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen

4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung


unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi

5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya


perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha

6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin


kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen

Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan


konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:

1. Asas manfaat
Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus
memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua
pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu
pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya.
Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.

2. Asas keadilan
Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 7 UU PK yang
mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku
usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha
dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya
secara seimbang.

3. Asas keseimbangan
Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen,
pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang,
tidak ada pihak yang lebih dilindungi.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen


Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas
keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum


Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati
hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian
hukum

makalah perlindungan konsumen

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya


didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan
yang dibeli dari produsen atau pelaku usaha. Saat ini ada saja para
produsen yang tidak mementingkan kesehatan dan keselamatan
konsumennya karena sering kita jumpai pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan oleh pihak produsen kepada pihak konsumen.

Undang undang tentang perlindungan konsumen ini memang


telah di terbitkan namun dalam proses pelaksanaan atau aplikasi dari
undang undang itu sendiri belum maksimal atau dengan kata lain
peraturan yang ada dalam undang undang tidak sesuai dengan
kenyataan. Dalam beberapa kasus banyak ditemukan pelanggaran-
pelanggaran yang merugikan para konsumen yang tentunya berkaitan
dengan tanggung jawab produsen (pelaku usaha) dalam tingkatan
yang dianggap membahayakan kesehatan bahkan jiwa dari para
konsumen.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud konsumen ?


2. Apa Hak dan Kewajiban konsumen ?
3. Apa Azas dan Tujuan Prlindungan Konsumen ?
4. Apa sajakah Perbuatan yang dilarang bagi Pelaku Usaha ?
5. Apa sajakah Prinsip Konsumsi dalam Islam ?
6. Apa sajakah Gerakan Konsumen ?

C. Tujuan Penulisan

1. Mengetahui pengertian konsumen dan perlindungan konsumen.


2. Mengetahui aplikasi hukum perlindungan konsumen.
3. Mengetahui karakteristik dari hokum perlindungan konsumen.
4. Mengetahui perbuatan yang dilarang pada produsen.
5. Mengetahui Prinsip Konsumsi dalam Islam.
6. Mengetahuin maksud pada Gerakan Konsumen.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Konsumen

Pengertian konsumen menurut aphilip kotler (2000) dalam


bukunya principles of marketing adalah semua individu dan rumah
tangga yang membeli atau memperoleh barang atau jasa untuk
dikonsumsi pribadi. 1[1]

Konsumen itu sendiri dibedakan menjadi dua :

1
a. Konsumen Akhir adalah Konsumen yang mengkonsumsi secara
langsung produk yang diperolehnya.
Menurut BPHN (Badan Pembinaan Hukum Nasional) :Pemakai
akhir dari barang, digunakan untuk keperluan diri sendiri atau orang
lain dan tidak diperjualbelikan.
Menurut YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia): Pemakai
Barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi keperluan diri
sendiri atau keluarganya atau orang lain dan tidak untuk
diperdagangkan kembali.
Menurut KUH Perdata Baru Belanda : orang alamiah yang
mengadakan perjanjian tidak bertindak selaku orang yang
menjalankan profesi atau perusahaan.
b. Konsumen Antara adalah konsumen yang memperoleh produk untuk
memproduksi produk lainnya. Contoh: distributor, agen dan pengecer.
2
[2]

Ada dua cara untuk memperoleh barang, yakni :

Membeli. Bagi orang yang memperoleh suatu barang dengan cara


membeli, tentu ia terlibat dengan suatu perjanjian dengan pelaku
usaha, dan konsumen memperoleh perlindungan hukum melalui
perjanjian tersebut.
Cara lain selain membeli, yakni hadiah, hibah dan warisan. Untuk
cara yang kedua ini, konsumen tidak terlibat dalam suatu hubungan
kontraktual dengan pelaku usaha. Sehingga konsumen tidak
mendapatkan perlindungan hukum dari suatu perjanjian. Untuk itu
diperlukan perlindungan dari negara dalam bentuk peraturan yang
melindungi keberadaan konsumen, dalam hal ini UU PK. 3[3]

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 8 Tahun 1999


tentang Perlindungan Konsumen, Konsumen didefinisikan sebagai

3
Setiap orang pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
maupun makhluk yang lain dan tidak untuk diperdagangkan.
Tampaknya definisi ini mengandung kelemahan karena banyak hal
yang tidak tercakup sebagai konsumen, padahal seharusnya ia juga
dilindungi, seperti baan hukum, badan usaha, barang yang tidak
ditawarkan dalam masyarakat dan adanya batasan-batasan yang
samar. Jika sekiranya badan usaha yang memperdagangkan sebuah
produk tidak masuk ke dalam kategori pengertian konsumen rasanya
kurang tepat, karena bagaimananapun badan ini adalah konsumen
antara yang menjembatani antara produsen dengan masyarakat
selaku konsumen akhir. Justru karena itu agar badan usaha tidak
terjebak dari perilaku produsen yang melawan hokum,
seyogianyadimasukkan pula ke dalam lingkup pengertian konsumen,
sehingga mereka juga patut mendapat perlindungan hukum.
Pendapat lain merumuskan, bahwa konsumen adalah setiap
individu atau kelompok yang menjadi pembeli atau pemakai akhir dari
kepemilikan khusus, produk, atau pelayanan dan kegiatan, tanpa
memperhatikan apabila ia berasal dari pedagang, pemasok, produsen
pribadi atau public, atau apakah ia berbuat sendiri ataukah secara
kolektif.
Dalam Islam tampaknya belum di konkretkan secara definitive,
siapakah sebenarnya konsumen itu? Mengutip pendapat M. Abdul
Mannan secara sempit menyinggung bahwa konsumen dalam suatu
masyarakat Islam hanya dituntun secara ketat dengan sederatan
larangan (yakni: makan daging babi, minum minuman keras,
mengenakan pakaian sutera dan cincin emas untuk pria, dan
seterusnya).
Apa yang dikemukakan Mannan di atas jelas bukanlah sebuah
rumusan pengertian dari sebuah difinisi konsumen. Tetapi hanya
menggambarkan secara sederhana mengenai perilaku yang harus
dipatuhi oleh seorang Konsumen Muslim. Oleh karena itu sebagian
gambaran, yang dimaksud Konsumen menurut penulis adalah setiap
orang atau badan pengguna produk, baik berupa barang maupun jasa
dengan berpegang teguh pada ketentuan-ketentuan yang berlaku.
Bagi Konsumen Muslim dalam mengkonsumsi sebuah produk
bagaimanapun harus yang halal, baik, dan aman. Karena itu disinilah
arti pentingnya produsen melindungi kepentingan konsumen sesuai
dengan ketentuan yang bersumber dari ajaran agama yang mereka
anut tanpa mengabaikan aturan perundangan Negara yang berlaku.
2. Hak dan Kewajiban Konsumen
Pada era globalisasi dan perdagangan bebas dewasa ini, sebagai
dampak kemajuan teknologi dan informasi, memberdayakan konsumen
semakin penting. Untuk pemberdayaan itu di Negara kita telah dibuat
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen.
Dalam hal ini ada dua pasal yang perlu diperhatikan, yaitu yang
mengatur hak-hak konsumen, disamping kewajiban yang harus
dilakukan.
a. Hak Konsumen (Pasal 4)
Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam
mengonsumsi barang, atau jasa
Hak untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan
jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar kondisi serta jaminan yang
dijanjikan
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi
dan jamina barang atau jasa

Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang atau


jasa yang digunakan

Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya


penyelasain sengketa perlindungan konsumen secara patut

Hak untuk pembinaan dan pendidikan konsumen


Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta
tidak diskriminatif

Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi atau penggantian,


apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian
atau tidak sebagaimana mestinya
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan lainnya.
b. Kewajiban Konsumen (Pasal 5)
Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur
pemakain atau pemanfaatan barang atau jasa demi keamanan dan
keselamatan
Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang atau
jasa
Membayar sesuia dengan nilai tukar yang disepakati
Mengikuti upaya penyelesaian hokum sengketa perlindungan
konsumen.

Dengan terbitnya undang-undang tersebut maka diharapkan


kepada para pelaku bisnis untuk melakukan peningkatan dan
pelayanan sehingga konsumen tidak merasa dirugikan. Yang penting
dalam hal ini adalah bagaimana sikap produsen agar memberikan hak-
hak konsumen yang seyogianya pantas diperoleh. Di samping agar
juga konsumen juga menyadari apa yang menjadi kewajibannya. Di
sini dimaksudkan agar kedua belah pihak saling memperhatikan hak
dan kewajibannya masing-masing. Apa yang menjadi hak konsumen
merupakan kewajiban bagi produsen. Sebaliknya apa yang menjadi
kewajiban konsumen merupakan hak bagi produsen. Dengan saling
menghormati apa yang menjadi hak maupun kewajiban masing-
masing, maka akan terjadilah keseimbangan (tawazun) sebagaimana
yang di ajarkan dalam ekonomi islam. Dengan prinsip keseimbangan
akan menyadarkan kepada setiap pelaku bisnis agar segala
aktivitasnya tidak hanya mementingkan dirinya sendiri, namun juga
harus memperhatikan kepentingan orang lain.
Salah satu wujud perlindungan pada orang lain, kepada produsen
dituntut agar setiap produk yang akan dihasilkan aman bahan
bakunya, benar prosesnya dan halal zatnya sehingga dengan demikian
bisa menjawab pertanyaan Mannan sebagaimana dikutip sebelum ini,
yakni untuk siapakah barang dan jasa dihasilkan, barang dan jasa apa
yang akan dihasilkan, dan bagaimana cara menghasilkannya ?. Mampu
menjawab dan mempraktikkan pertyaan-pertayaan ini maka berarti
para pelaku bisnis (produsen) telah melindungi kepentingan konsumen
sesuai yang di inginkan dalam syariat Islam.

Hak untuk memilih barang yang didalam Islam dikenal dengan


istilah khiyar, disini dimaksudkan agar konsumen diberi kebebesan
mendapatkan barang atau jasa sesuai dengan selera (keinginannya).
Selain itu juga perlu mendapat kualitas barang sesuai dengan harga
yang ditetapkan dan disepakati. Perlu dihindari adanya penipuan oleh
pelaku bisnis terhadap konsumen Karena bisa jadi barang yang telah
diperoleh tidak sesuai dengan harga yang dibayar. Contoh misalnya
dalam hal timbangan (ukuran), Islam melarang dengan ancaman keras
sebagaimana firman Allah swt:

1. kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, 2. (yaitu)


orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka
minta dipenuhi, 3. dan apabila mereka menakar atau menimbang
untuk orang lain, mereka mengurangi.4[4]

3. Azas dan Tujuan Perlindungan Konsumen


Perlindungan konsumen ini adalah jaminan yang seharusnya
didapatkan oleh para konsumen atas setiap produk bahan makanan
yang dibeli dari produsen atau pelaku usaha.
a. Azas Perlindungan Konsumen
Dalam Pasal 2 UU No. 8/ 1999, tentang Asas Perlindungan
Konsumen : Perlindungan konsumen berdasarkan manfaat, keadilan,
keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian
hukum.
Azas Perlindungan Konsumen:
Asas Manfaat
mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan
perlindungan ini harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan,
Asas Keadilan
partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan
memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk
memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil,
Asas Keseimbangan
memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku
usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual,
Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen
memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada
konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang
dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan,
Asas Kepastian Hukum
baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan
memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan
konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
b. Tujuan Perlindungan Konsumen

4
Sedangkan Pasal 3 UU No. 8/ 1999, tentang Tujuan Perlindungan
Konsumen :

meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen


untuk melindungi diri;
mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari akses negatif pemakai barang dan/ atau jasa;
meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,
menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung
unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi;
menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha;
meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa yang menjamin
kelangsungan usaha produksi barang dan/ atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. 5[5]
4. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha
Pasal 8

Adapun perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha yaitu :

a. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa


yang :
Tidak sesuai dengan :
standar yang dipersyaratkan;
peraturan yang berlaku;
ukuran, takaran, timbangan dan jumlah yang sebenarnya
Tidak sesuai dengan pernyataan dalam label, etiket dan keterangan
lain mengenai barang dan/atau jasa yang menyangkut :
berat bersih;
isi bersih dan jumlah dalam hitungan;
kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran;
mutu, tingkatan, komposisi;
proses pengolahan;
gaya, mode atau penggunaan tertentu;

5
janji yang diberikan;
Tidak mencantumkan :
tanggal kadaluarsa/jangka waktu penggunaan/ pemanfaatan paling
baik atas barang tertentu;
informasi dan petunjuk penggunaan dalam bahasa indonesia
sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana
pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label.
Tidak memasang label/membuat penjelasan yang memuat:
Nama barang;
Ukuran, berat/isi bersih, komposisi;
Tanggal pembuatan;
Aturan pakai;
Akibat sampingan;
Nama dan alamat pelaku usaha;
Keterangan penggunaan lain yang menurut ketentuan harus
dipasang atau dibuat
Rusak, cacat atau bekas dan tercemar (terutama sediaan Farmasi dan
Pangan), tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.
b. Dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan barang
dan/atau jasa :
Secara tidak benar dan/atau seolah-olah barang tersebut :
Telah memenuhi standar mutu tertentu, potongan harga/harga
khusus, gaya/mode tertentu, sejarah atau guna tertentu.
Dalam keadaan baik/baru, tidak mengandung cacat, berasal dari
daerah tertentu, merupakan kelengkapan dari barang tertentu.
Secara tidak benar dan selah-olah barang dan/atau jasa tersebut :
Telah mendapatkan/memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan
tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesoris tertentu.
Dibuat perusahaan yangmempunyai sponsor, persetujuan/afiliasi.
Telah tersedia bagi konsumen.
Langsung/tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain.
Menggunakan kata-kata berlebihan, secara aman, tidak berbahaya,
tidak mengandung resiko/efek samping tanpa keterangan lengkap.
Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti.
Dengan harga/tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika
bermaksud tidak dilaksanakan.
Dengan menjanjikan hadiah cuma-cuma, dengan maksud tidak
memberikannya atau memberikan tetapi tidak sesuai dengan janji.
Dengan menjanjikan hadiah barang dan/atau jasa lain, untuk obat-obat
tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan dan jasa pelayanan
kesehatan.
c. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan
dilarang mempromosikan,mengiklankan atau membuat pernyataan
tidak benar atau menyesatkan mengenai :
Harga/tarifdan potongan harga atau hadiah menarik yang
ditawarkan.
Kondisi, tanggungan, jaminan, hak/ganti rugi atas barang dan/atau
jasa.
Kegunaan dan bahaya penggunaan barang dan/aatau jasa.
d. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa untuk diperdagangkan
dengan memberikan hadiah dengan cara undian dilarang :
Tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu dijanjikan.
Mengumumkan hasilnya tidak melalui media massa.
Memberikan hadiah tidak sesuai janji dan/atau menggantikannya
dengan hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan.
e. Dalam menawarkan barang dan/atau jasa, dilarang melakukan cara
pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan kepada
konsumen baik secara fisik maupun psikis.
f. Dalam hal penjualan melalui obral atau lelang, dilarang
menyesatkan dan mengelabui konsumen dengan :
Menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah memenuhi
standar mutu tertentu dan tidak mengandung cacat tersembunyi.
Tidak berniat menjual barang yang ditawarkan,melainkan untuk
menjual barang lain.
Tidak menyediaakan barang dan/atau jasa dalam jumlah
tertentu/cukup dengan maksud menjual barang lain.
Menaikkan harga sebelum melakukan obral. 6[6]

Di samping itu, pelaku usaha bisa saja mempermainkan harga


dengan jalan menaikkannya (mark up) dari harga normal yang
kadangkala tidak ketahui oleh calon pembeli, berapakah harga yang
sebenarnya. Permainan harga semacam ini pada prinsipnya
merupakan bagian dari permainan penjual yang memanfaatkan
6
keawaman calon pembeli tentang harga barang yang akan dibeli.
justru krena itu Nabi saw dalam sebuah haditsnya secara umum telah
melarang mempermainkan harga:

Barang siapa yang melakukan sesuatu untuk mempengaruhi


harga-harga barang kaum Muslimin dengan tujuan untuk menikkan
harga tersebut, maka sudah menjai hak Allah untuk menempatkannya
di Uzm (tempat besar) dalam neraka pada hari kiamat (HR. Ahmad
dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah) .

Factor yang mempengaruhi terjadinya harga yang tidak normal


di masyarakat, diantaranya:

a. permainan harga yang disebabkan oleh praktik monopoli dan


persaingan tidak sehat (al ikhtikar),
b. penyalahgunaan kelemahan konsumen seperti karena keluguannya-
istirsalkarena tidak terpelajar, atau karena keadaan konsumen yang
sedang terdesak untuk memenuhi kebutuhannya-dharurah,
c. karena penipuan dan informasi yang tidak akurat/informative-
ghurur.

Untuk mengantisipasi permainan harga yang tidak wajar dalam


pasar, fikih Islam telah menawarkan beberapa solusi, antara lain
larangan praktik ribawi, larangan monopoli dan persaingan tidak sehat,
pemberlakuan al-tasir (fixing price), pemberlakuan khiyar al-ghubn al-
fahisy (perbedaan nilai tukar menyolok), pemberlakuan khiyar al-
mustarsil (karena tidak tau harga sehingga ia membeli atas
kepercayaan pada pedagang), larangan jual beli an-najasy. Larangan
jual beli talaqi rukban dan jual beli al-hadhir li bad.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, sanksi yang


dikenakan pada pelaku usaha secara garis besar dapat dibagi dua,
yaitu administrative dan pidana.

1. Sanksi Administratif (pasal 60)


1) Badan Penyelesain Sengketa Konsumen berwenang menjatuhkan
sanksi administrative terhadap pelaku usaha yang melanggar Pasal 19
ayat (2) dan ayat (3), Pasal 20, Pasal 25, dan Pasal 26;
2) Sanksi administrative berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah);
3) Tata cara penetapan sanksi administrative sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-
undangan.
2. Sanksi Pidana
Pasal 61, berkaitan dengan sanksi pidana menegaskan bahwa
penuntututan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau
pengurusnya. Selanjutnya dalam pasal 62 secara eksplisit dipertegas
apa saja bentuk sanksi pidana tersebut.
1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17
ayat (1) huruf a, huruf b, hruf c, huruf e, ayat (2), Pasal 18dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling
banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)
2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 (1), Pasal 14, Pasal 16, Pasal 17,
ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling
lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat,
cacat tetap, atau kematian, diberlakukan ketentuan pidana yang
berlaku.

Berikut pasal 63, dikatakan :

Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62,


dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa :

a. Perampasan barang tertentu


b. Pengumuman keputusan hakim
c. Pembayaran ganti rugi
d. Perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan
timbulnya kerugian konsumen
e. Kewajiban penarikan barang dari peredaran
f. Pencabutan izin usaha

Demikianlah sanksi yang dijatuhkan oleh kedua hukum, baik


hokum syariah maupun hokum positif (perundangan nasional), pada
dasarnya sama-sama berkomitmen untuk melindungi hak atau
kepentingan konsumen. Perlakuan perlindungan terhadap konsumen
tidaklah berarti untuk merugikan pelaku usaha, namun yang menjadi
tujuan poko adalah ingin menciptakan keadilan antara kedua belah
pihak dengan prinsip saling menguntungkan. Itulah idealitas setiap
peraturan perundangan yang ingin mewujudkan keadilan, kearifan,
kenyamanan, keamanan, dan lain sebagainya. Bahkan yang lebih
penting lagi adalah menciptakan kepastian hokum bagi masyarakat
dalam kehidupan.

5. Prinsip Konsumsi dalam Islam

Ada lima prinsip konsumsi dalam Islam sebagaimana yang


dikemukakan M. Abdul Mannan sebagai berikut:

a. Prinsip Keadilan
Prinsip ini mengandung arti yang mendasar sekali yang maksudnya,
dalam mencari rezeki seseorang harus dengan cara yang halal dan
tidak dilarang hokum, sebagaimana ditegaskan dalam al-Quran:

168. Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu.
Kata Halal dimaksudkan bahwa cara perolehannya harus sah secara
hukum, memperhatikan prinsip keadilan, dalam arti tidak menipu dan
merampas hak orang lain, karena apabila tidak, maka harta yang
diperoleh dan dimakan tidak lebih dari bangkai yang diharamkan.
b. Prinsip Kebersihan
Kata bersih disini dimaksudkan dalam arti lahir (fisik). Factor
kebersihan memang sangat di utamakan dalam ajaran Islam.
Sedemikian pentingnya, sampai-sampai kita di ingatkan bahwa
memperhatikan kebersihan itu merupakan cermin kualitas keimanan
seorang hamba. Oleh karena itu arahan al-Quran dan Sunnah yang
berkaitan dengan makanan, hendaknya makanan itu harus yang baik
dan layak untuk dimakan, tidak kotor ataupun menjijikkan sehingga
merusak selera. Secara tegas Nabi saw menyatakan bahwa kebersihan
dalam segala hal adalah sebagian dari iman. Selain itu Rasullah saw
mengatakan makanan diberkahi jika kita mencuci tangan sebelum
dan sudah memakannya (HR. Tirmizi). Namun demikian sisi lain yang
perlu disadari bahwa memelihara kebersihan merupakan sebuah
keniscayaan sebagai prakondisi yang harus diciptakan menuju tubuh
yang sehat yang sangat dianjurkan dalam ilmu medis.
c. Prinsip kesederhanaan
Menekankan agar dalam mengkonsumsi makanan dan minuman tidak
berlebih-lebihan, sesuai dengan firman-Nya:

31. Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap


(memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-
lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
berlebih-lebihan.
Israf yang berarti berlebihan, merupakan symbol keserakahan
dalam segala hal di dunia ini. Berlebihan dalam hal apapun, berarti
seseorang berada dalam titik ekstrem yang seringkali menimbulkan
kesenjangan di tengah kehidupan.
d. Prinsip Kemurahan hati
Dengan mentaati perintah Islam, maka tidak aka nada bahaya maupun
dosa dalam mengonsumsi makanan dan minuman halal yang
dikaruniakan Tuhan karena kemurahan-Nya. Tetapi jika dalam keadaan
terpaksa diluar batas kemampuan manusia (darurat-emergency)
ketentuan itu bisa saja disimpangi sesuai dengan firman-Nya:

173. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai,


darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah. Tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa
(memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

e. Prinsip moralitas
Berakhlak dalam Islam tidak hanya di alamatkan pada sesama
manusia, tetapi juga kepada diri sendiri, lingkungan (alam) sekitar, dan
bahkan terhadap Tuhan sekalipun.
Bagi para pelaku bisnis yang berpegang teguh pada prinsip
moralitas merupakan prakondisi ketaatan mereka pada hukum yang
berlaku. Sebagai konsekuensinya, mereka akan selalu melisendungi
segala hak konsumen sebagai bagian dari ajaran hukum apapun
secara universal.

6. Gerakan Konsumen

Latar belakang lahirnya gerakan konsumen sebagaimana dikemukakan


A. Sonny Keraf sebagai berikut :
a. Banyaknya produsen berhati emas dan punya kesadaran moral
yang tinggi, namun hati dan kesadaran moralnya itu sering dibungkam
oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan atau uang dalam
waktu singkat dari pada mempedulikan hak konsumen.
b. Di banyak Negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, para
produsen lebih dilindungi oleh pemerintah karena mereka di anggap
punya jasa besar dalam menopang perekonomian Negara tersebut.
Akibatnya, kepentingan mereka lebih diamankan pemerintah dari pada
kepentingan konsumen.
c. Dalam system social politik dimana kepastian hokum tidak jalan,
pihak produsen akan dengan mudah membeli kekuasaan untuk
melindungi kepentingannya terhadap tuntutan konsumen. Kalaupun
konsumen menuntut, pihak prosusen selalu merasa diri di atas angin.
d. Konsumen, (individual khususnya) merasa rugi kalau harus
menuntut produsen dank arena itu ia selalu berada dalam posisi yang
lemah. Masih beruntung bahwa kini media massa benar-benar
digunakan sebagai kekuatan konsumen dimana keluhan mereka
melalui rubric surat pembaca punya dampak efektif mempengaruhi
produsen.

Menurut Keraf, salah satu syarat bagi terpenuhi dan terjaminnya hak-
hak konsumen adalah perlunya pasar dibuka dan dibebaskan bagi
semua pelaku ekonomi, termasuk produsen dan konsumen.

Selanjutnya, gerakan konsumen di Barat lahir karena berbagai


tertimbang, yaitu:

a. Kebutuhan akan informasi dan pedoman yang akurat tentang


berbagai produk yang beredar di masyarakat.
b. Kebutuhan akan informasi dari produk jasa yang semakin
terspesialisasi untuk membantu konsumen agar bisa mengambil
keputusan mana yang benar-benar dibutuhkan oleh mereka.
c. Adanya pengaruh iklan yang seringkali membuat konsumen
kebingungan dan tidak jarang menipu atau merugikan mereka.
d. Kurang perhatiannya keamanan produk secara serius oleh produsen.
e. Kebutuhan konsumen akan wadah konsultasi, advokasi, dan
perlindungan untuk menuntut hak dan kepentingannya sesuai dengan
prinsip kontrak jual beli yang adil.

Dari kenyataan di atas dapat dipahami bagaimanapun kehadiran


sebuah institusi semacam lembaga konsumen ini tetap dibutuhkan
guna melindungi pihak yang selalu diposisikan ditempat marjinal.
Kehadiran institusi ini antara lain untuk menyeimbangkan antara hak
dan kewajiban produsen dan konsumen. Jika sekiranya keseimbangan
itu mulai terwujud maka dapat dikatakan bahwa supremasi hukum
sudah mulai terbangun ditengah maraknya distorsi hukum yang
semakin memprihatinkan di era globalisasi seperti sekarang ini. 7[7]

Contoh kasusnya : Prita Mulyasari, Hak Konsumen Di


Perlakukan Tidak Adil

Berbagai kasus tentang perlindungan konsumen selalu menjadi


perhatian, dalam kasus ini biasanya pemenangnya dari pihak
produsen. Contohnya kasus prita, prita dari sekian banyaknya korban
yang memperjuangkan haknya sebagai konsumen yang menuntut
pertanggungjawabannya dari penyedia jasa. Sebagai konsumen yang
merasakan ketidakpuasan atas pelayanan Rumah Sakit Omni
Internasional. Seharusnya Prita wajar untuk mengajukan keluhan. Prita
bukan tanpa hak untuk menyampaikan keluhannya. Prita
menyampaikankeluh kesahnya pada jejaring sosial di internet, justru
malah mendapatkan tuntutan penghinaan dan atau pencemaran nama
baik.

7
Muasalnya adalah tulisan Prita dalam e-mail pribadi kepada rekan-
rekannya yang berisi keluhan terhadap pelayanan RS yang berlokasi di
Serpong, Tangerang tersebut. Prita awalnya memeriksakan diri pada 7
Agustus 2008 dengan keluhan panas tinggi dan sakit kepala. Ia
ditangani dr. Hengky dan dr. Indah, diagnosanya adalah Demam
Berdarah (DB) dan disarankan rawat-inap. Semasa rawat inap, Prita
merasakan berbagai kejanggalan seperti terus diberikan berbagai
suntikan tanpa penjelasan apa pun. Bahkan, tangan, leher dan daerah
sekitar mata mengalami pembengkakan. Ketika Prita memutuskan
untuk pindah rumah sakit, ia kesulitan mendapatkan data medis
dirinya. Yang dipermasalahkannya adalah mengapa diagnosa awal
27.000 trombosit bisa berubah mendadak menjadi 181.000 trombosit.
Prita mempertanyakan perbedaan yang signifikan itu.

Analisis kasus :

Dalam kasus di atas prita menyampaikan keluhan pelayanan RS yang


berlokasi di Serpong, Tangerang tersebut melalui email pribadinya,
dengantindakan itu prita malah mendapatkan tuntutan penghinaan
dan atau pencemaran nama baik, pasal 27 ayat 3 Undang-Undang
nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU
ITE), yang berbunyi: Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat
diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama
baik. Karena ancaman hukuman maksimalnya disebutkan dalam pasal
45 ayat 1 UU yang sama lebih dari 5 tahun penjara atau tepatnya 6
tahun penjara, maka tersangka bisa ditahan.

Padahal prita hanya menyampaikan keluhan yang dikemukakan Prita


pada internet atas layanan rumah sakit Omni Internasional yang tidak
memuaskan konsumen dan itupun dijamin oleh undang-undang.
Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,
yang berlaku sejak 20 April 2000.

Dari kasus di atas akan membuat konsumen lainnya takut untuk


menyuarakan keluhannya yang pada akhirnya akan selalu menjadi
obyek semena-mena pelaku usaha produk barang atau jasa. keputusan
yang kurang berpihak pada keadilan seperti itu tidak bisa
diterima,karna merugikan konsumen. 8[8]

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas maka kami menyimpulkan
bahwa hingga saat ini perlindungan konsumen masih menjadi hal yang

8
harus diperhatikan. Konsumen sering kali dirugikan dengan
pelanggaran-pelanggaran oleh produsen atau penjual. Pelanggaran-
pelanggaran yang terjadi saat ini bukan hanya pelanggaran dalam
skala kecil, namun sudah tergolong kedalam skala besar. Dalam hal ini
seharusnya pemerintah lebih siap dalam mengambil tindakan.
Pemerintah harus segera menangani masalah ini sebelum akhirnya
semua konsumen harus menanggung kerugian yang lebih berat akibat
efek samping dari tidak adanya perlindungan konsumen atau jaminan
terhadap konsumen.

Vous aimerez peut-être aussi