Vous êtes sur la page 1sur 13

PERADABAD DAN AGAMA MESIR KUNO

Makalah ini adalah sebagai tugas mata kuliah

Agama-agama Dunia
DosenPengampu:

Hermawati, MA

DisusunOleh:
M.Khidzmatul Hadi (11150321000041)
Ikhwatun Muamalah (11150321000046)

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA

2015
BAB 1

PENDAHULUAN

1. LATAR BELAKANG
Dengan menyebut nama Allah SWT kita akan membahas Peradaban dan Agama Mesir
Kuno. Dimulai dari Sejarah Asal, Bidang Politik, Bidang Ekonomi,
2. RUMUSAN MASALAH
A. Pengertian Taqlid dan Tingkatan Muqallid
B. Pengertian dan Syarat-syarat Ijtihad
C. Macam-macam Tingkatan Mujtahid
D. Ijtihad dan Dinamisasi Hukum Islam

BAB 2
PEMBAHASAN

A. Pengertian Taqlid dan Tingkatan Muqallid


1. Taqlid
Taqlid berasal dari kata qalada, yuqalidu,taqlidan, yang memiliki bermacam-macam arti

antara lain: mengalungi, seperti ( Ia mengalungi dirinya dengan kalung), dapat


pula meniru seperti ( Ia menirunya dari yang demikian), dapat bermakna
mengikuti, seperti: ( penerimaan perkataan
seseorang sedang engkau tidak mengetahui darimana perkataan itu).
Taqlid merupakan suatu istilah yang berarti ramalan. Pengertiannya berkembang
berkenaan dengan seokor binatang qurban yang pada lehernya dihantungkan sebuah tanda
dengan demikian binatang tersebut tidak akan digunakan untuk kepentingan lain. Menurut
ulama ushul fiqih ada dua hal yang terdapat dalam taqlid, yaitu:
1. Menerima atau mengikutinperkataan orang lain
2. Perkataan atau pendapat yang diikuti atau yang diterima itu tidak diketahui dasar
atau alasannya apakah ada dalam Al-quran dan Hadist atau tidak.
2.Tingkatan Muqallid
Sebagaimana halnya ijtihad/mujtahid yang bertingkat-tingkat,
demikian juga taqlid/muqallid yang terdiri dari beberapa tingkatan,
yaitu:

1. Taqlid secara total/murni (taqlid al-mahdli), seperti taqlid yang


dilakukan oleh kebanyakan orang awam, dimana dalam keseluruhan
hukum Islam, mereka mengikuti pendapat imam mujtahid.

2. Taqlid dalam bidang-bidang hukum tertentu saja, seperti yang


dilakukan para ulama yang mampu berijtihad dalam bidang madzhab,
bidang tarjih, dan bidang fatwa. Dengan demikian dilihat dari satu segi,
mereka dianggap sebagai mujtahid, tetapi dilihat dari sisi lain, mereka
termasuk muqallid.

3. Taqlid dalam hal kaidah-kaidah istinbath, seperti yang dilakukan oleh


mujtahid muntasib.

MASALAH TALFIQ

Berbicara masalah taqlid, rasanya tidak lengkap kalau kita tidak


menyinggung masalah talfiq. Menurut definisinya, talfiq ialah beramal
dalam suatu masalah/qadliyah atas dasar hukum yang terdiri dari
kumpulan/gabungan dua mazhab atau lebih. Ushuliyyin berbeda
pendapat mengenai boleh dan tidaknya seseorang ber-talfiq.
Perbedaan ini bersumber dari masalah boleh dan tidaknya seseorang
pindah mazhab. Artinya, apabila seseorang telah mengikuti/bertaqlid
dengan salah satu mazhab, apakah ia harus terikat dengan madzhab
tersebut yang berarti ia tidak dibenarkan mengikuti atau pindah ke
madzhab lain, ataukah ia tidak terikat dengan arti boleh baginya
mengikuti atau pindah ke madzhab lain? Dalam hal ini ada tiga
pendapat:
1. Apabila seseorang telah mengikuti salah satu mazhab maka ia
harus terikat dengan madzhab tersebut. Baginya tidak boleh pindah ke
madzhab lain baik secara keseluruhan maupun sebagian (talfiq).
Pendapat ini tidak membenarkan talfiq. Pendapat pertama ini dipelopori
oleh Imam Qaffal. Pendapat ini rupanya yang banyak memasyarakat di
Indonesia, yang di zaman partai-partai Islam masih ada, sempat
dipolitisir dan eksploitir.

2. Seorang yang telah memilih salah satu madzhab boleh saja pindah
ke madzhab lain, walaupun dengan motivasi mencari kemudahan,
selama tidak terjadi dalam kasus hukum (dalam kesatuan qadliyah)
dimana imam yang pertama dan imam yang kedua atau imam yang
sekarang diikuti sama-sama menganggap batal. Pendapat kedua ini
membenarkan talfiq sekalipun dimaksudkan untuk mencari kemudahan,
dengan ketentuan tidak terjadi dalam kesatuan qadliyah yang menurut
imam pertama dan imam kedua sama-sama dianggap batal. Golongan ini
dipelopori olah al-Qarafi.

3. Tidak ada larangan bagi seseorang untuk berpindah madzhab,


sekalipun dimaksudkan untuk mencari keringanan. Pendapat ini
memperbolehkan talfiq sekalipun dimaksudkan untuk tujuan mencari
keringanan tersebut. Pendapat ketiga ini dipelopori oleh Al-Kamal Ibnu
Hammam. Dari segi dalil maupun kemaslahatan diantara ketiga
pendapat di atas menurut hemat saya yang paling kuat adalah pendapat
Al-Kamal Ibnu Hammam dengan alasan antara lain:

1. Tidak ada nash agama baik dari al-Qur'an maupun Sunnah yang
mewajibkan seseorang harus terikat dengan salah satu mazhab saja.
Yang ada adalah perintah untuk bertanya kepada ulama tanpa ditentukan
ulama yang mana dan siapa orangnya (QS. al-Nahl: 43).
2. Hadits Nabi yang menyatakan bahwa Rasulullah tidak pernah disuruh
memilih sesuatu kecuali akan memilih yang paling mudah, selama tidak
membawa ke dosa.

3. Kaidah yang berbunyi, "al-ami la madzhaba lahu" -orang awam tidak


punya mazhab. Tidak punya mazhab artinya tidak terikat. Hanya saja
dalam hal-hal yang menyangkut kemasyarakatan maka yang berlaku
adalah mazhab pemerintah atau pendapat yang diundangkan
pemerintah lewat perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan untuk
keseragaman dan menghindarkan adanya kesimpang-siuran. Hal ini
sejalan dengan kaidah, "Keputusan pemerintah mengikat atau wajib
dipatuhi dan akan menyelesaikan persengketaan." Contoh Talfiq

a. Dalam Ibadat.

1. Seseorang berwudlu menurut madzhab Syafi'i yang menyapu kurang


dari seperempat kepala, kemudian ia bersentuhan kulit dengan
ajnabiyah; ia terus bershalat dengan mengikuti madzhab Hanafi yang
mengatakan bahwa sentuhan tersebut tidak membatalkan wudlu.

2. Seseorang berwudlu mengikuti tata cara Syafi'i, kemudian ia bershalat


dengan menghadap kiblat dengan posisi sebagaimana ditentukan oleh
madzhab Hanafi.

b. Masalah Kemasyarakatan

1. Membuat undang-undang perkawinan dimana akad nikahnya harus


dengan wali dan saksi karena mengikuti madzhab Syafi'i; mengenai sah
jatuhnya thalaq raj'i mengikuti madzhab Hanafi yang memandang sah
ruju' bi 'l-fi'li (langsung bersetubuh).

2. Terjadi ru'yah yang mu'tabarah pada suatu tempat,kemudian Qadli


Syafi'i menetapkan bahwa ru'yah tersebut berlaku pada seluruh wilayah
kekuasaannya, sebab Qadli tadi berpegang dengan pendapat madzhab
Maliki dan Hanafi yangtidak memandang persoalan mathla'.

B. Pengertian dan Syarat-syarat Ijtihad


1. Pengertian Ijtihad

Menurut bahasa, ijtihad berarti "pengerahan segala kemampuan


untuk mengerjakan sesuatu yang sulit." Atas dasar ini maka tidak tepat
apabila kata "ijtihad" dipergunakan untuk melakukan sesuatu yang
mudah/ringan. Pengertian ijtihad menurut bahasa ini ada
relevansinya dengan pengertian ijtihad menurut istilah, dimana untuk
melakukannya diperlukan beberapa persyaratan yang karenanya tidak
mungkin pekerjaan itu (ijtihad) dilakukan sembarang orang. Dan di sisi
lain ada pengertian ijthad yang telah digunakan para sahabat Nabi.
Mereka memberikan batasan bahwa ijtihad adalah "penelitian dan
pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada Kitab-u 'l-Lah
dan Sunnah Rasul, baik yang terdekat itu diperoleh dari nash -yang
terkenal dengan (ma'qul nash), atau yang terdekat itu diperoleh dari
maksud dan tujuan umum dari hikmah syari'ah- yang terkenal dengan
"mashlahat."Dalam kaitan pengertan ijtihad menurut istilah, ada dua
kelompok ahli ushul flqh (ushuliyyin) -kelompok mayoritas dan
kelompok minoritas- yang mengemukakan rumusan definisi. Dalam
tulisan ini hanya akan diungkapkan pengertian ijtihad menurut rumusan
ushuliyyin dari kelompok mayoritas. Menurut mereka, ijtihad adalah
pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau
mujtahid untuk memperoleh pengertian tingkat dhann terhadap sesuatu
hokum syara' (hukum Islam).Dari definisi tersebut dapat ditarik
beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Pelaku utihad adalah seorang ahli fiqih/hukum Islam (faqih), bukan


yang lain.
2. Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syar'i, yaitu hukum Islam
yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang
dewasa, bukan hukum i'tiqadi atau hukum khuluqi,

3. Status hukum syar'i yang dihasilkan oleh ijtihad adalah dhanni. Atas
dasar itu ada kekeliruan pendapat sementara pihak yang mengatakan
bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat yang nyeleneh
atau syadz ini dipelopori al-Jahidh, salah seorang tokoh mu'tazilah. Dia
mengatakan bahwa ijtihad juga berlaku di bidang aqidah. Pendapat ini
bukan saja menunjukkan inkonsistensi terhadap suatu disiplin ilmu
(ushul fiqh), tetapi juga akan membawa konsekuensi pembenaran
terhadap aqidah non Islam yang dlalal. Lantaran itulah Jumhur 'ulama'
telah bersepakat bahwa ijtihad hanya berlaku di bidang hukum
(hukum Islam) dengan ketentuan-ketentuan tertentu.

2. Syarat-syarat Ijtihad
Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahidharus
memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekian persyaratan itu
yang terpenting ialah:

1. Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an


yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia
mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.

2. Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang


berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk
membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum.

3. Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan


oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan
ijma'.

4. Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat


mempergunakannya untuk menggali hukum.

5. Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan


Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab
yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan
kemu'jizatan al-Qur'an.

6. Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-


Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an
atau Hadits Nabi yang telah dinasakh (mansukh) untuk menggali hukum.

7. Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u 'l-nuzul) dan


latar belakang suatu Hadits (asbab-u'l-wurud), agar ia mampu melakukan
istinbath hukum secara tepat.

8. Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia dapat


menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak.
Sebab untuk menentukan derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung
dengan ihwal perawi yang lazim disebut dengan istilah sanad Hadits.
Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan
melakukan ta'dil tajrih (screening).

9. Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan


deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hokum dan
sanggup mempertahankannya.

10. Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar


dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil
hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan
diketahuinya.

C. Macam-macam Tingkatan Mujtahid


Mujtahid terbagi kepada beberapa tingkat, yaitu mujtahid mustaqil,
mujtahid muntasib, mujtahid fi al-mazhab, dan mujtahid fi at-tarjih .

1. Mujtahid Mustaqil (independen) adalah tingkat tertinggi,

disebut juga sebagai al-mujtahid fi al-Syari, atau Mujtahid Mutlaq. Untuk

sampai ke tingkat ini seseorang harus memenuhi syarat-syarat tersebut.

Mereka disebut mujtahid mustaqil, yang berarti independen, karena


mereka terbebas dari bertaqlid kepada mujtahid lain, baik dalam metode

istinbat (ushul fiqh) maupun dalam furu (fikih hasil ijtihad). Mereka

sendiri mempunyai metode istinbat, dan mereka sendirilah yang

menerapkan metode instinbat itu dalam berijtihad untuk membentuk

hukum fikig. Contohnya, para imam mujtahid yang empat orang, yaitu

Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam SyafiI, dan Imam Ahmad bin

Hanbal.

2. Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam masalah ushul

fiqh, meskipun dari segi kemampuannya ia mampu merumuskannya,

namun tetap berpegang kepada Ushul Fiqh Abu Hanifah. Akan tetapi,

mereka bebas dalam berijtihad, tanpa terikat dengan seorang mustaqil.

Menurut Ibn Abidin (w. 1252 H), seorang pakar fikih mashab Hanafi,

seperti dikutip Satria Efendi, termasuk dalam kelompok ini murid-murid

Abu Hanifah, seperti Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani dan Qadhi Abu

Yusuf. Dari kalangan Syafiiyah antara lain adalah al-Muzanni, dan dari

kalangan Malikiyah antara lain Abdurrahman bin al-Qasim, dan Abdullah

bin wahhab. Mujtahid seperti ini dinisbahkan kepada salah seorang

mujtahid mustaqil karena memakai metode istinbatnya.

3. Mujtahid fi al-Mazhab, yaitu tingkat mujtahd yang dalam Ushul

Fiqh dan furu bertaklid kepada imam mujahid tertentu. Mereka disebut

mujtahid karena mereka berijtihad mengistibatkan hukum pada


permasalahan-permasalahan yang tidak ditemukan dalam buku-buku

mazhab imam mujtahid yang menjadi panutannya. Mereka tidak lagi

melakukan ijtihad pada masalah-masalah yang sudah ditegaskan

hukumnya dalam buku-buku fikhih mazhabnya. Misalnya, Abu Al-Hasan

karkhi (260 H-340H), Abu jafar at Thahawi (230 -321 H) dan al-Hasan

bin Ziyad (w.204 H) dari kalangan hanafiyah, Muhammad bin Abdullah al-

Abhari (289 H-375 H) dari kalangan Malikiyah, dan Ibnu Abi Hamid al-

Asfrini (344 H-406 H) dari kalangan syafiiyah.

4. Mujtahid fi at-Tarjih, yaitu mujtahid yang kegiatannya bukan

mengistinbatkan hukum tetapi terbatas memperbandingkan berbagai

mazhab atau pendapat, dan mempunyai kemampuan untuk mentarjih

atau memilih salah satu pendapat terkuat dari pendapat-pendapat yang

ada, dengan memakai metode tarjih yang telah dirumuskan oleh ulama-

ulama mujtahid sebelumnya. Dengan metode ini, ia sanggup

mengemukakan di mana kelemahan dalil yang dipakai dan dimana

keunggulannya.

D. Ijtihad dan Dinamisasi Hukum Islam

Dinamisasi hukum Islam merupakan bagian dari upaya memahami


hukum Islam agar berjalan sesuai dengan konteks zamannya. Banyak
metode dan pendekatan yang digunakan ketika melakukan kajian intens
terhadap permasalahan ini, khususnya mengenai pemahaman relasi teks
dengan konteks. Sebagai salah seorang pembaharu yang senantiasa
mengobarkan semangat ijtihad, Mahmud Syaltut memiliki metode sendiri
ketika mengkaji permasalahan kontemporer terkait dengan hukum Islam.

Menurut Syaltut sumber hukum Islam adalah al-Quran, Sunnah, dan


rayu. Pemahaman terhadap al-Quran dan Sunnah dimaksudkannya
sebagai pendekatan langsung terhadap teks kedua sumber tersebut,
sedangkan rayu merupakan ijtihad terhadap berbagai persoalan yang
tidak dijumpai nash (al-Quran dan Sunnah) yang dipraktekkan melalui
metode ijma, qiyas, dan maslahah mursalah. Melalui metode tersebut,
persoalan-persoalan kontemporer coba dipahami dengan sumber-sumber
hukum yang ia gunakan. Dengan pemahaman demikian hukum Islam
ditangan Syaltut tampil lebih dinamis sesuai dengan konteks zamannya.
Kata Kunci: ijtihad, hokum Islam, Mahmud Syaltut Mahmud Syaltut yang
hidup antara tahun 1893-1963 M adalah salah seorang ulama Mesir yang
berpandangan luas dan berpengetahuan mendalam dalam bidang
keagamaan.

Latar belakang Syaltut adalah seorang yang berpendidikan agama


tradisional namun memiliki wawasan dan pembaharuan yang
monumental pada masanya.[1] Meskipun dalam literatur kesarjanaan
Barat kurang dikenal, Syaltut merupakan Syaikh al-Azhar yang populer
dan hingga kini namanya masih dikenal oleh kaum terpelajar muslim di
segenap penjuru dunia. Sebagai seorang ulama dan pemikir, Syaltut
memiliki pemikiran yang relevan untuk perkembangan kehidupan umat
pada zamannya. Ia seorang ahli fikih dan berwawasan luas, kedalaman
ilmunya dan keluasan pandangannya menyebabkannya mampu
mengemukakan hukum Islam yang relevan dengan kebutuhan
zamannya. Di samping memiliki pandangan yang luas dalam hukum
Islam, ia juga seorang ahli tafsir yang melakukan penafsiran langsung
kepada al-Quran dengan mengumpulkan ayat-ayat tentang suatu
masalah, lalu ayat tersebut dijadikan jawaban atas permasalahan
tersebut.
Dalam hal ini ia dipandang sebagai pelopor metode tafsir maudhui,
metode tafsir yang dianggap paling banyak sumbangannya dalam
menangkap pesan al-Quran untuk menjawab problem kemanusiaan
modern.[2] Syaltut selalu berusaha memberantas kekakuan atau
kebekuan dalam berfikir dan fanatisme mazhab yang menjadi
perpecahan umat Islam. Dengan membuka kembali pintu ijtihad, ia
menganjurkan para ulama untuk ijtihad langsung pada al-Quran, karena
menurutnya ada ayat al-Quran yang menunjukkan hukum secara tidak
tegas (zanni ad-dalalah) sehingga dapat dipahami dengan berbagai
macam penafsiran.

BAB III
PENUTUP

Ijtihad dan taqlid menjadi bukti bahwa khazanah inteletual islam sangat luas beberapa
diantaranya, di singgungkan pada makalah ini. Dari makalah tersebut dapat disimpulkan bahwa
dalam menentukan suatu hukum kita harus melewati beberapa tahapan agar hukum yang digali
dapat dipertanggung jawabkan.

Hukum islam juga mengalami beberapa fase perkembangan, guna untuk memberi
pemahaman secara mendalam kepada umat islam tentang tantangan tantangan di setiap
zamannya. Agar umat islam dalam menjalankan kehidupan sehari-hari tetap dalam koridor islam.
Sebenarnya dibuat oleh pembaca, penulis tidak akan memberikan kesimpulan karena kesimpulan
mempersempit makna

DAFTAR PUSTAKA
Jumantoro, Drs. Totok dan Drs. Samsul Munir Amin M.Ag. 2005. kamus ilmu
ushul fiqh.
Jakarta: AMZAH

Budhy Munawar-Rachman,Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah

Kate Zabiri, Syaikh Mahmud Syaltut Antara Tradisi dan Modernitas

Vous aimerez peut-être aussi