menjadi isu yang hangat dibicarakan. Di Amerika Serikat sendiri isu ini telah terpolarisasi menjadi dua kubu, yaitu kubu pro-life yang melarang aborsi demi kehidupan janin dan pro-choice yang cenderung menyerahkan pada pilihan perempuan, antara menggugurkan dan meneruskan kehamilan. Polarisasi yang sama juga terjadi di Indonesia. Meskipun tidak seekstrim pertentangan antar kubu seperti di Amerika, wacana tentang hak sangatlah kuat. Hal itu terjadi karena undang-undang yang mengatur aborsi menimbulkan efek-efek yang dilematis. Karena itulah, muncul inisiatif untuk mengamandemen UU No. 23/1992 dengan RUU kesehatan tahun 2005. Usulan amandemen ini tentu saja menimbulkan kemarahan pihak-pihak yang anti aborsi.
Aborsi selalu menuai kontroversi. Salah satu kontroversi
mengenai aborsi adalah dikedepankannya wacana Hak Asasi Manusia sebagai alasan pro maupun kontra aborsi. Bagi yang pro-aborsi berpandangan bahwa perempuan mempunyai hak penuh atas tubuhnya. Ia berhak untuk menentukan sendiri mau hamil atau tidak, mau meneruskan kehamilannya atau menghentikannya. Bagi yang kontra aborsi, wacana hak ini dikaitkan dengan janin. Bagi mereka aborsi adalah pembunuhan kejam terhadap janin. Padahal ia juga manusia yang punya hak hidup. Namun akhir-akhir ini, wacana mengenai hak ibu semakin menguat bersamaan dengan isu-isu kesehatan reproduksi. Dikatakan pula bahwa pelayanan aborsi yang aman adalah hak atas kesehatan reproduksi.
Pengertian aborsi adalah tindakan penghentian kehamilan
sebelum janin dapat hidup di luar kandungan (sebelum usia 20 minggu kehamilan), bukan semata untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil dalam keadaan darurat tapi juga bisa karena sang ibu tidak menghendaki kehamilan itu.
Ada dua macam aborsi, yaitu aborsi spontan dimana
aborsi terjadi secara alami, tanpa intervensi tindakan medis, dan aborsi yang direncanakan dimana melalui tindakan medis dengan obat-obatan saja (jamu, dsb) atau tindakan bedah, atau tindakan lain yang menyebabkan pendarahan lewat vagina. Penghentian kehamilan pada usia dimana janin sudah mampu hidup mandiri di luar rahim ibu (lebih dari 21 minggu usia kehamilan), bukan lagi tindakan aborsi tetapi pembunuhan janin atau infantisida.
Frekuensi aborsi di Indonesia agak sulit dihitung secara
akurat karena memang sangat jarang pada akhirnya dilaporkan. Berdasarkan perkiraan BKKBN, kejadian aborsi di Indonesia mencapai angka yang amat fantastis yakni sekitar 2 juta kasus aborsi per tahun. Fakta aborsi di Indonesia akibat kehamilan yang tidak direncanakan 1.000.000 janin dibunuh pertahun. Agustus 1998 penelitian Jawa Post 1.750.000 janin dibunuh pertahun. April 2000, Makasar Post menulis 2.300.000 janin dibunuh pertahun. Mei 2000, Manado Post memperkirakan 2.600.000 janin dibunuh pertahun. Media Indonesia 2 Oktober 2002 melaporkan saat itu 3.000.000 janin dibunuh pertahun.
Memang yang ada hanya angka-angka yang berupa data
statistik, namun kita seharusnya dapat menganalisa secara lebih mendalam bahwa dari angka yang teramat besar itulah nyawa bayi-bayi mungil yang dipaksa untuk mati dengan dibunuh secara keji. Sungguh tingkat pembunuhan yang sangat terlalu tinggi apabila dibandingkan dengan peristiwa peperangan ataupun peristiwa kematian akibat penyakit di suatu negara yang bahkan tidak sampai setengahnya dibandingkan dengan tingkat aborsi. Secara total dalam sejarah dunia pun, jumlah kematian karena aborsi jauh melebihi jumlah orang yang meninggal dalam semua perang jika digabung sekaligus.
Apapun alasannya tindakan aborsi adalah tindakan yang
ilegal dan kriminal. Menurut KUHP, aborsi merupakan:
Pengeluaran hasil konsepsi pada setiap stadium
perkembangannya sebelum masa kehamilan yang lengkap tercapai (38-40 minggu).
Pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat
hidup diluar kandungan (berat kurang dari 500 gram atau kurang dari 20 minggu).Dari segi medikolegal maka istilah abortus, keguguran, dan kelahiran prematur mempunyai arti yang sama dan menunjukkan pengeluaran janin sebelum usia kehamilan yang cukup.
Aborsi memiliki resiko yang tinggi terhadap kesehatan
maupun keselamatan seorang wanita. Tidak benar jika dikatakan bahwa jika seseorang melakukan aborsi ia tidak merasakan apa-apa dan langsung boleh pulang.
Ini adalah informasi yang sangat menyesatkan bagi setiap
wanita, terutama mereka yang sedang kebingungan karena tidak menginginkan kehamilan yang sudah terjadi.
Ada 2 macam resiko kesehatan terhadap wanita yang
melakukan aborsi yaitu Resiko kesehatan dan keselamatan secara fisik dan resiko gangguan psikologis
Resiko kesehatan dan keselamatan fisik: Pada saat
melakukan aborsi dan setelah melakukan aborsi ada beberapa resiko yang akan dihadapi seorang wanita, seperti yang dijelaskan dalam buku Facts of Life yang ditulis oleh Brian Clowes, Phd yaitu:
1. Kematian mendadak karena pendarahan hebat
2. Kematian mendadak karena pembiusan yang gagal
3. Kematian secara lambat akibat infeksi serius disekitar
kandungan
4. Rahim yang sobek (Uterine Perforation)
5. Kerusakan leher rahim (Cervical Lacerations) yang akan
10. Kelainan pada placenta/ari-ari (Placenta Previa) yang
akan menyebabkan cacat pada anak berikutnya dan pendarahan hebat pada saat kehamilan berikutnya
11. Menjadi mandul/tidak mampu memiliki keturunan lagi
(Ectopic Pregnancy)
12. Infeksi rongga panggul (Pelvic Inflammatory
Disease)
13. Infeksi pada lapisan rahim (Endometriosis)
Resiko kesehatan mental: Proses aborsi bukan saja
suatu proses yang memiliki resiko tinggi dari segi kesehatan dan keselamatan seorang wanita secara fisik, tetapi juga memiliki dampak yang sangat hebat terhadap keadaan mental seorang wanita.
Gejala ini dikenal dalam dunia psikologi sebagai Post-
Abortion Syndrome (Sindrom Paska-Aborsi) atau PAS. Gejala-gejala ini dicatat dalam Psychological Reactions Reported After Abortion di dalam penerbitan The Post- Abortion Review (1994). Pada dasarnya seorang wanita yang melakukan aborsi akan mengalami hal-hal seperti berikut ini: 1. Kehilangan harga diri
2. Berteriak-teriak histeris
3. Mimpi buruk berkali-kali mengenai bayi
4. Ingin melakukan bunuh diri
5. Mulai mencoba menggunakan obat-obat terlarang
6. Tidak bisa menikmati lagi hubungan seksual
Contoh lain adalah data aborsi, Para ahli memperkirakan
(tidak ada angka resmi karena aborsi adalah ilegal di Indonesia) bahwa kasus aborsi di Indonesia adalah sekitar 2,4 juta jiwa per tahun dan sekitar 700 ribu di antaranya dilakukan oleh para remaja.
Kasus-kasus di atas nampaknya hanyalah gunung es, di
mana jumlah kasus sesungguhnya jauh lebih banyak dari kasus yang tampak. Jika di satu sisi kecenderungan remaja untuk melakukan berbagai tindakan yang membahayakan kesehatan mereka sendiri semakin meningkat, namun di sisi lain ternyata pengetahuan para remaja itu sendiri mengenai aspek kesehatan reproduksi yang harus mereka miliki sangatlah rendah. Berbagai informasi yang mereka peroleh kebanyakan bukan berasal dari mereka yang memang ahli di bidangnya namun justru dari sumber informasi yang kadang-kadang malah menyesatkan.
Masalah kultur, pola komunikasi serta kurangnya
pengetahuan menyebabkan para remaja sulit berkomunikasi dengan orang di sekitarnya bahkan dengan orang tuanya sendiri; yang seharusnya dapat membantu para remaja tersebut. Kondisi kurangnya pengetahuan yang dimiliki remaja maupun orang di sekitar yang berpengaruh pada kehidupan mereka tidak seimbang dengan gencarnya pemberitaan atau pesan yang bersifat menonjolkan seks atau dalam bahasa inggris biasa disebut dengan "sexually explicit message (SEM)", yang dapat mengilhami para remaja untuk mencoba meniru isi pesan yang mereka terima.