Vous êtes sur la page 1sur 5

Sumber Sumber Akhlak Dalam

Islam

Akhlak yang benar akan terbentuk bila sumbernya benar.


Sumber akhlak bagi seorang muslim adalah al-Quran dan as-
Sunnah. Sehingga ukuran baik atau buruk, patut atau tidak
secara utuh diukur dengan al-Quran dan as-Sunnah. Sedangkan
tradisi merupakan pelengkap selama hal itu tidak bertentangan
dengan apa yang telah digariskan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber akhlak
merupakan suatu kewajaran bahkan keharusan. Sebab keduanya
berasal dari Allah dan oleh-Nya manusia diciptakan. Pasti ada
kesesuaian antara manusia sebagai makhluk dengan sistem
norma yang datang dari Allah SWT

Sumber akhlak adalah wahyu (al-Quran dan al-Hadits).


Sebagai sumber akhlak wahyu menjelaskan bagaimana berbuat
baik. al-Quran bukanlah hasil renungan manusia, melainkan
firman Allah SWT yang Maha pandai dam Maha bijaksana. Oleh
sebab itu, setiap muslim berkeyakinan bahwa isi al-Quran tidak
dapat dibuat dan ditandingi oleh bikinan manusia. Sumber
akhlak yang kedua yaitu al-Hadits meliputi perkataan, ketetapan
dan tingkah laku Rasulullah SAW.

1.1Sumber dari Al-Quran

Dalam al-Quran kata yang berkaitan dengan akhlak diantaranya


adalah surat as-Syuara ayat 137, yang berbunyi:







Artinya:(Agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan
orang-orang dahulu.
Lalu dalam surat al-Qalam ayat 4 berbunyi:







Artinya:Sesungguhnya engkau (Muhammad) adalah orang yang
berakhlak sangat mulia.
Dua ayat ini, baik dilihat dari asal kata dan muatan kata,
dapat dijadikan dasar untuk mengatakan bahwa istilah akhlak
memang terdapat dalam al-Quran. Hanya saja bila dilihat dari
konteks ayat, terdapat perbedaan muatan akhlak di dalamnya.
Dalam surat as-Syuara ayat 137 istilah akhlak diartikan sebagai
adat kebiasaan buruk dari seorang umat nabi Hud AS.,
sedangkan istilah akhlak yang termuat dalam surat al-Qalam
ayat 4 adalah dalam konteks budi pekerti yang agung atau
luhur dari sosok nabi Muhammad SAW. Berdasarkan keterangan
tersebut, maka akhlak dapat disebut akhlak yang baik dan juga
disebut akhlak yang buruk
Dasar akhlak yang dijelaskan dalam al-Quran yaitu:













Artinya :Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah. (Q.S.al-Ahzab : 21)

1.2 Sumber dari Hadis

Adapun hadis yang menjelaskan tentang akhlak antara lain:









( )


Aisyah semoga Allah meridhainya berkata, Aku mendengar
Nabi shallallaahu alaihi wassalaam berkata, sungguh orang-
orang yang beriman dengan akhlak baik mereka bisa mencapai
(menyamai) derajat mereka yang menghabiskan seluruh
malamnya dalam sholat dan seluruh siangnya dengan
berpuasa. [Musnad Imam Ahmad]
Kemudian dalam riwayat Tirmidzi juga rasulullah pernah
bersabda:




( )






Orang mukmin yang paling sempurna keimanannya adalah ia
yang memiliki akhlak terbaik. Yang terbaik di antara kalian
adalah yang terbaik akhlaknya kepada pasangannya. (Hadits
riwayat Tirmidzi)
Dasar akhlak dari hadits yang secara eksplisit
menyinggung akhlak tersebut yaitu sabda Nabi:







Artinya : Bahwasanya aku (Rasulullah) diutus untuk
menyempurnakan keluhuran akhlak.
Jika telah jelas bahwa al-Quran dan hadits rasul adalah
pedoman hidup yang menjadi asas bagi setiap muslim, maka
teranglah keduanya merupakan sumber akhlaqul karimah.

TOLAK UKUR DALAM BERAKHLAK

Ukuran berarti alat ukur atau standarisasi menyeluruh di


seluruh dunia.ukuran akhlak oleh sebagian ahli diletakkan
sebagai alat penimbang perbuatan baik-buruk pada faktor yang
ada dalam diri manusia. Kalau yang menjadi ukuran itu dari
faktor dalam diri manusia, maka tekanannya adalah akal pikiran
dan suara hati. Bagi umat islam, Al-Quran dan Hadis menjadi
alat pengukur akhlak.

Al-Quran menetapkan bahwa akhlak itu tidak terlepas dari aqidah dan
syariah, ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini
dapat dilihat dari surat al-Baqarah (2): 177, yang berarti: Bukanlah menghadapkan
wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan akan tetapi sesungguhnya
kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat,
kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan)
dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya,
mendirikan salat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya
apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan,
dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan
mereka itulah orang-orang yang bertakwa.

Ayat al-Quran tersebut menjelaskan bahwa iman kepada Allah Swt. adalah
merupakan dasar dari kebajikan. Kenyataan ini tidak akan pernah terbukti, kecuali
jika iman tersebut telah meresap di dalam jiwa dan ke seluruh pembuluh nadi
yang disertai dengan sikap khusyu, tenang, taat, patuh, dan hatinya tidak akan
meledak-ledak lantaran mendapatkan kenikmatan, dan tidak putus asa ketika
ditimpa musibah. Orang-orang yang benar-benar beriman kepada Allah Swt.
hanya mau tunduk dan taat kepada Allah Swt. dan syariat-syariat-Nya.

Selanjutnya iman kepada hari akhir mengingatkan manusia bahwa ternyata


terdapat alam lain yang gaib, kelak di akhirat yang akan dihuni. Oleh sebab itu,
hendaklah usahanya itu jangan hanya dipusatkan untuk memenuhi kepentingan
jasmani atau cita-cita meraih kelezatan duniawi saja atau memuaskan hawa nafsu.
Demikian juga iman kepada para Malaikat adalah titik tolak iman kepada wahyu,
kenabian, dan hari akhir. Siapapun yang menolak keimanan terhadap Malaikat,
berarti mengingkari seluruhnya. Hal ini disebabkan di antara para Malaikat itu ada
yang bertugas sebagai penyampai wahyu kepada para Nabi. Sedangkan iman
kepada kitab-kitab samawi yang dibawa oleh para Nabi mendorong seseorang
untuk mengamalkan kandungan kitab yang berupa perintah maupun larangan.
Sebab orang yang yakin bahwa sesuatu itu benar, maka hatinya akan terdorong
untuk mengamalkannya. Dan jika ia yakin bahwa sesuatu itu akan membahayakan
dirinya, tentu akan menjauhinya dan tidak mengamalkannya. Sedangkan Iman
kepada para nabi, akan mendorong untuk mengikuti ajarannya.

Ayat al-Quran tersebut, kemudian menentukan tentang syariah, yakni


memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-
orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang
meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya, mendirikan salat, dan
menunaikan zakat. Kemudian ayat ini mengatur tentang akhlak, yatu orang-orang
yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam
kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan.

Islam mengatur tolok ukur berakhlak adalah berdasarkan ketentuan Allah


dan Rasul-Nya. Oleh karena itu, apa yang dipandang baik oleh Allah dan Rasul-
Nya, pasti baik dalam esensinya. Begitu pula sebaliknya, tidak mungkin Dia
menilai kepalsuan sebagai kelakuan baik, karena kepalsuan esensinya pasti buruk.
Selain itu Allah selalu memperagakan kebaikan, bahkan Dia memiliki sifat yang
terpuji, seperti al-Quran surat Thaha (20): 8 menjelaskan: (Dialah) Allah, tiada
Tuhan selain Dia, Dia mempunyai sifat-sifat yang terpuji (al-Asm al-Husn ).
Demikian juga Sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad meriwayatkan
Aisyah ketika ditanya tentang akhlak Rasulullah Saw., beliau menjawab: Akhlak
Nabi Saw. adalah al-Quran.

Semua sifat Allah Swt. disebutkan dalam al-Quran yang jumlahnya


disebutkan di dalam hadits. Sifat-sifat Allah ini merupakan satu kesatuan. Dia Esa
di dalam zat, sifat, dan perbuatan-Nya. Oleh karena itu, tidak wajar jika sifat-sifat
itu dinilai saling bertentangan. Maksudnya semua sifat memiliki tempatnya
masing-masing. Ada tempat untuk keperkasaan dan keangkuhan Allah, ada tempat
untuk kasih sayang dan kelemahlembutan-Nya. Ketika seorang muslim
meneladani sifat al-Kibriy (Keangkuhan Allah), ia harus ingat bahwa sifat itu
tidak akan disandang oleh Allah Swt., kecuali dalam konteks ancaman terhadap
para pembangkang atau terhadap orang yang merasa dirinya superior. Ketika
Rasulullah Saw. melihat seseorang yang berjalan dengan angkuh di medan perang,
beliau bersabda: itu adalah cara berjalan yang dibenci Allah, kecuali dalam
kondisi semacam ini. Seseorang yang berusaha meneladani sifat al-Kibriy tidak
akan meneladaninya kecuali terhadap manusia-manusia yang angkuh. Berkaitan
dengan hal ini ada riwayat yang menyebutkan: Bersikap angkuh terhadap orang-
orang yang angkuh adalah sedekah.

Ketika seorang Muslim berusaha meneladani kekuatan dan kebesaran


Ilahi, harus diingat bahwa sebagai makhluk ia terdiri dari jasad dan ruh, sehingga
keduanya harus sama-sama kuat. Kekuatan dan kebesaran ini harus diarahkan
untuk membantu yang lemah, dan tidak boleh digunakan untuk mendukung
kejahatan atau kesewenang-wenangan. Karena ketika al-Quran mengulang-
ngulang kebesaran Allah, al-Quran juga menegaskan bahwa: Sesungguhnya
Allah tidak suka kepada orang yang angkuh lagi membanggakan diri (QS Luqman
[31]: 18)

Vous aimerez peut-être aussi