Vous êtes sur la page 1sur 28

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN DENGAN

CIDERA OTAK RINGAN (COR) DAN CEPALGIA

Oleh
Rima Dewi Asmarini, S.Kep
NIM 102311101015

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS (P3N)


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN
CIDERA OTAK RINGAN (COR) DAN CEPALGIA
Oleh: Rima Dewi Asmarini, S.Kep/NIM 102311101015

A. CIDERA OTAK RINGAN


1. Definisi
Trauma atatu cidera kepala dapat dikenal juga sebagai cidera otak adalah
gangguan fungs normal otak karea trauma baik trauma tumpul ataupun
trauma tajam (Batticaca, 2008). Cedera kepala adalah cedera yang dapat
mengakibatkan kerusakan otak akibat perdarahan dan pembengkakan otak
sebagai respon terhadap cedera dan penyebab peningkatan tekanan intra
kranial (TIK). (Smeltzer & Bare, 2002).
Cidera otak ringan merupakan suatu kondisi dimana terjadi kehilangan
fungsi neurologis sementara dan tanpa adanya kerusakan struktur
(Batticaca, 2008).

2. Klasifikasi
Reimer (dalam Barbara (1999)), mengklasifikasikan cidera kepala akut
sebagai berikut:
a) Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak:
1) Trauma kepala tertutup
Keadaan truma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi
komosio, kontusio, epidura hematoma, subdural hematoma,
intrakranial hematoma.
2) Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk dalam
jaringan otak dna melukai atau merobek dura mater dan
menyebabkan Cairan Serebro Spinal (CSS) merembes, serta terjadi
kerusakan syaraf otak dan jaringan otak.
b) Trauma pada jaringan otak:
1) Konkusio (ditandai dengan adanya kehilangan kesadaran sementara
tanpa adanya kerusakan jaringan otak, dan terjadi edema serebral).
2) Kontusio (ditandai leh adanya perlukaan pada permukaan jaringan
otak yang menyebabkan perdarahan pada area yang terluka,
perlukaan pada permukaan jaringan otak ini dapat terjadi pada sisi
yang terkena (coup) atau pada sisi yang berlawanan (contra coup)
3) Laserasi (ditandai oleh adanya perdarahan ke ruang sub arakhnoid,
ruang epidural atau sub dural).

Berdasarkan hasil pemeriksaan GCS atau berta ringannya cidera kepala,


Cidera kepala dibagi menjadi 3, yaitu:
a) Cidera kepala ringan, bila GCS: 13-15;
b) Cidera kepala sedang, bila GCS 9-12;
c) Cidera kepala berat, bila GCS kurang atau sama dengan 8.

Berdasarkan morfologinya cidera kepala dibagi menjadi:


a) Fraktura tengkorak
1) Kalvaria
Linear atau stelata
Depressed atau nondepressed
Terbuka atau tertutup
2) Dasar tengkorak
Dengan atau tanpa kebocoran CNS
Dengan atau tanpa paresis N VII
b) Lesi intrakranial
1) Fokal
Epidural
Subdural
Intraserebral
2) Difusa
Komosio ringan
Komosio klasik
Cedera aksonal difusa
3. Etiologi
Menurut Corwin (2001), penyebab dari cedera kepala adalah kecelakaan
lalu lintas, perkelahian, jatuh dan cedera olah raga. Cedera kepala terbuka
sering disebabkan oleh peluru atau pisau.
Kecelakaan,jatuh, kecelakaan kendaraan motor atau sepeda, dan mobil.
Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan, dan dapat
terjadi pada anak yang cedera akibat kekerasan, (Suriadi & Yuliani 2001).
Cidera kepala tumpul dapat terjadi karena adanya kecelakaan dengan
kecepatan tinggi misalnya kecelakaan bemotor, kecepatan rendah biasanya
terjadi akibat jatuh dari ketinggian, dipukul dengan benda tumpul. Cidera
kepala tembus dapat disebabkan oleh peluru, tusukan.
Adanya penetrasi selaput dura menentukan apakan suatu cedera termasuh
cidera tembus ataupun cidera tumpul.

4. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari trauma, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-
deselarasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996). Dalam mekanisme cedera
kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang
diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup (Perdosi, 2007).
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya
isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup)
(Hickey, 2003).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.

5. Tanda dan gejala


Konkusio otak setelah cidera kepala adalah kehilangan fungsi neurologis
sementara tanpa adanya kerusakan struktural, umumnya terjadi periode
ketidaksadaran yang bersangsung beberapa detik sampai beberapa menit.
Getaran otak mungkin sangat ringan sehingga hanya manyababakan
pusing dan mata berkunang-kunang. Jika mengenai lobus frontalis pasien
mungkin menunjukkan perilaku kacau (bizare) irasional. Jika terkena
lobus temporalis, pasien akan menunjukkan amnesia temporee atau
disorientasi (Baughman & Hackley, 2000).
Pada cidera kepala ringan terdapat tanda dan gejala yang mungkin muncul,
antara lain (Muttaqin, 2008) :
a) Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembal
b) Hilang kesadaran sementara, krang lebih 10-20 menit, beberapa
literatur menyebutkan sampai 30 menit
c) Nteri kepala
d) Pusing
e) Muntah
f) Disorientasi sementara
g) Tidak ada gejala sisa

6. Komplikasi
Komplikasi yang muncul dari CKR yaitu dapat menyebabkan kemunduran
pada kondisi pasien karena perluasan hematoma intrakranial, edema
serebral progressif dan herniasi otak. Edema serebral adalah penyebab
paling umum dari peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang
mendapat cedera kepala.
Komplikasi lain yaitu defisit neurologi dan psikologi (tidak dapat
mencium bau-bauan, abnormalitas gerakan mata, afasia, defek memori dan
epilepsi) (Brunner & Suddarth, 2002).

7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya,
berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Tidak semua pasien
cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara
lain:
a) Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b) Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c) Penurunan tingkat kesadaran
d) Nyeri kepala sedang hingga berat
e) Intoksikasi alkohol atau obat
f) Fraktura tengkorak
g) Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h) Cedera penyerta yang jelas
i) Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
j) CT scan abnormal
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer
dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang
diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan
exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita
cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah
homeostasis otak.
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh
kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi.
Secara umum digunakan panduan sebagai berikut :
a) volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
b) kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis,
serta gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat
c) terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
d) pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
e) terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
f) terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
g) terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
h) terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis
Kontusio ringan atau sedang biasanya diterapi dengan observasi dan tirah
baring. Mungkin diperlukan ligasi pembuluh darah yang pecah dan
evakuasi hematoma searah bedah.

8. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik tengkorak dengan sinar X dapat mengidentifikasi
lokasi fraktur atau hematoma. CT Scan atau MRI dapat dengan cermat
menentukan letak dan luas cedera. (Elizabeth, J. 2001).
Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah
rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan
lateral. Idealnya penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan,
terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup
bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat. Indikasi pemeriksaan CT Scan
pada kasus cedera kepala adalah :
a) bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala
sedang dan berat.
b) cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
c) adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
d) adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran
e) sakit kepala yang hebat
f) adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi
jaringan otak
g) kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.
Gambar 1. Glasgow Coma Scale

B. CEPALGIA
1. Definisi
Chefalgia atau sakit kepala adalah salah satu keluhan fisik paling utama
manusia. Sakit kepala pada kenyataannya adalah gejala bukan penyakit
dan dapat menunjukkan penyakit organik ( neurologi atau penyakit lain),
respon stress, vasodilatasi (migren), tegangan otot rangka (sakit kepala
tegang) atau kombinasi respon tersebut (Brunner & Suddart). Nyeri
Kepala (Headache/cephalgia) rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada
seluruh daerah kepala dengan batas bawah dari dagu sampai kedaerah
belakang kepala (daerah oksipital dan sebahagian daerah tengkuk) (Sjahrir,
2008).
Chepalgia atau sakit kepala adalah salah satu keluhan fisik paling utama
pada manusia. Sakit kepala pada kenyataannya adalah gejala bukan
penyakit dan dapat menunjukkan penyakit organik (neurologi atau
penyakit lain), respon stress, vasodilatasi (migren), tegangan otot rangka
(sakit kepala tegang) atau kombinasi respon tersebut. Karena nyeri kepala
sering menyertai pada penyakit-penyakit lainnya, terkadang pasien
mengobati sendiri nyeri kepalanya, padahal banyak nyeri kepala yang
disebabkan karena penyakit serius seperti infeksi dan tumor intracranial,
meningitis, infeksi akut, cedera kepala, hipoksia serebral, atau penyakit
kronis dan akut pada mata, hidung, dan tenggorokan. Nyeri kepala terjadi
ketika area sensitif pada kepala distimulus kemudian diproyeksikan ke
permukaan dan dirasakan di daerah distribusi syaraf yang bersangkutan.
Area-area tersebut diantaranya kulit kepala, periosteum, syaraf kranial V,
IX, X, daerah meningen(Tarwono, 2007)

2. Klasifikasi
Berdasarkan klassifikasi Internasional Nyeri Kepala dari Internasional
Headache Society (IHS), dibagi menadi:
a) Nyeri kepala primer:
1) Migraine
2) Tension-type headache
3) Cluster headache and other trigeminal autonomic cephalalgias
4) Other primary headaches
b) Nyeri kepala sekunder:
1) Nyeri kepala yang disebabkan trauma kepala atau leher
2) Headache attributed to cranial or cervical vascular disorder
3) Headache attributed to non-vascular intracranial disorder
4) Headache attributed to a substance or its withdrawal
5) Headache attributed to infection
6) Headache attributed to disorder of homeoeostasis
7) Headache or facial pain attributed to disorder of cranium, neck,
eyes, ears, nose, sinuses, teeth,mouth, or other facial or cranial
structures.
8) Headache attributed to psychiatric disorder
9) Cranial Neuralgias and facial pains
10) Cranial neuralgias and central causes of facial pain
11) Other headache, cranial neuralgia central, or primary facial pain.
3. Etiologi
a) Migren
Faktor-faktor pencetus yang dapat menyebabkan timbulnya migren:
1) Perubahan hormone. Estrogen dan progesterone merupakan
hormone utama yang berkaitan dengan serangan migren, baik pada
saat maupun di luar periode menstruasi. Penurunan konsentrasi
estrogen dan progesteron pada fase luteal siklus menstruasi
merupakan saat terjadinya serangan migren. Nyeri kepala migrain
dipicu oleh turunnya kadar 17-b estradiol plasma saat akan haid.
Serangan migrain berkurang selama kehamilan karena kadar
estrogen yang relatif tinggi dan konstan, sebaliknya minngu
pertama post partum, 40% pasien mengalami serangan yang hebat,
karena turunnya kadar estradiol. Pemakaian pil kontrasepsi juga
meningkatkan serangan migrain.
2) Makanan. Makanan yang sering menyebabkan nyeri kepala pada
beberapa orang antara lain: makanan yang bersifat vasodilator
(histamin, contoh: anggur merah, natrium nitrat), vasokonstriktor
(tiramin, contoh: keju; feniletilamin, contoh: coklat; kafein), dan
zat tambahan pada makanan (natrium nitrit, monosodiaum
glutamat/MSG, dan aspartam).
3) Stres
4) Rangsangan sensorik. Sinar yang terang dan sinar yang
menyilaukan. Bau menyengat, termasuk bau yang tidak
menyenangkan seperti tinner dan asap rokok.
5) Faktor fisik. Kegiatan fisi yang berlebihan termasuk aktivitas
seksual. Perubahan pola tidur, termasuk terlalu banyak tidur atau
terlalu sedikit tidur, dan gangguan saat tidur. Perubahan
lingkungan. Seperti: cuaca, musim, tingkat dataran tinggi, tekanan
barometer, atau zona waktu.
6) Alkohol.
7) Merokok.

b) Tension type headache (Nyeri kepala tegang)


1) Peristiwa stres tertentu. Stress dan depresi pada umumnya berperan
sebagai faktor pencetus sekitar 87%, exacerbasi maupun
mempertahankan lamanya nyeri kepala. Prevalensi life time
depresi pada penduduk adalah sekitar 17%. Pada penderita depresi
dijumpai adanya defisit kadar serotonin dan noradrenalin di
otaknya.
2) depresi
3) kecemasan
4) kurang tidur atau perubahan pola tidur rutin. Jadwal tidur yang
berubah juga bisa membuat sakit kepala, misalnya tidur terlambat.
Sebisa mungkin tidur teratur.
5) tidak makan. Hindari makan atau minum sesuatu yang sensitif,
khususnya sebelum melakukan kegiatan fisik. Rasa lapar juga bisa
membuat kita sakit kepala. Pasalnya, pembuluh darah akan
melebar setiap kali kadar gula darah turun. Jadi, sebisa mungkin
makan secara teratur.
6) Posisi tubuh yang salah saat tidur. Sakit kepala karena tegang.
Gejalanya diawali dengan ketegangan di otot leher, bahu, dan
tengkorak akibat tekanan emosional. Sakitnya selalu berawal dari
kepala belakang, merambat ke depan, lalu ke kedua sisi kepala.
7) Bekerja dalam posisi yang tidak enak. Leher tegang akibat bekerja
sambil duduk yang terlalu lama.
8) kurangnya aktifitas fisik. kegiatan fisik yang intens, termasuk
aktifitas seksual, perubahan hormonal yang berhubungan dengan
menstruasi, kehamilan, atau penggunaan hormon
9) penggunaan obat untuk sakit kepala yang berlebihan.
c) Cluster
Penyebab pasti sakit kepala cluster tidak diketahui, tetapi ketidak
normalan pada hypothalamus sepertinya berperan. Serangan cluster
terjadi seperti rutinitas harian, dan siklus periode cluster sering
mengikuti musim dalam setahun. Pola ini menunjukkan pola jam
biologis tubuh terlibat. Pada manusia, jam biologis tubuh terdapat pada
hypothalamus, yang berada di dalam pada tengah otak.
Ketidaknormalan hypothalamus menerangkan waktu dan siklus alami
sakit kepala cluster. Penelitian mendeteksi peningkatan aktifitas pada
hypothalamus menajdi sumber sakit kepala cluster. Faktor lain yang
mungkin juga terlibat adalah:
1) Hormon. Orang dengan sakit kepala cluster memiliki
ketidaknormalan tingkat hormon tertentu, seperti melatonin dan
cortisol, terjadi saat periode cluster.
2) Neurotransmitter. Berubahnya tingkat beberapa reaksi kimia yang
membawa impuls syaraf pada otak (neurotransmitter), seperti
serotonin, mungkin memiliki peran dalam tumbuhnya sakit kepala
cluster. Tidak seperti migrain atau sakit kepala karena ketegangan,
sakit kepala cluster umumnya tidak berkaitan dengan pemicu
seperti makanan, perubahan hormon atau stress. Tapi sekali periode
cluster mulai, mengkonsumsi alkohol dapat dengan cepat memicu
pecahnya sakit kepala karena alkohol adalah pemicu tercepat
terjadinya sakit kepala selama periode klaster dan juga dapat
memiliki efek bahkan sebelum minuman pertama selesai. Untuk
alasan ini, banyak orang dengan sakit kepala cluster menghindari
alkohol pada saat durasi periode cluster. Pemicu lain yang mungkin
juga termasuk adalah penggunaan obat medis, seperti nitroglycerin,
obat yang digunakan untuk penyakit jantung.
4. Patofisiologi
a) Migren
Migren headache merupakan gangguan nyeri kepala ditandai dengan
adanya serangan nyeri yang berkepanjangan dan tiba-tiba dengan
vasokonstriksi yang diikuti dengan vasodilatasi. Migren headache
dapat diawali dengan adanya aura atau berbagai sensasi prodromal
seperti silau, penglihatan ganda dsb dimana ini merupakan indikasi
adanya disfungsi serebral fokal. Berkenaan dengan migren ini
dikatakan bahwa kemungkinan disebabkan oleh ketegangan emosional
yang berkepanjangan. Ini akan menyebabkan reflek vasospasmus dari
beberapa arteri di kepala termasuk arteri yang mensuplai otak.
Vasospasmus akan menyebabkan sebagian otak menjadi iskemik dan
menyebabkan gejala prodromal. Iskemik yang berkepanjangan
menyebabkan dinding vaskular menjadi flasik dan tidak mampu
mempertahankan tonus vaskular. Desakan darah menyebabkan
pembuluh darah berdilatasi dan terjadi peregangan dinding arteri
sehingga menyebabkan nyeri atau migren.
b) Tension type headache (Nyeri kepala tegang)
Tension headache merupakan nyeri kepala yang pada umumnya
disebabkan oleh ketegangan dan kontraksi otot-otot leher dan kepala.
Ini akan menyebabkan tekanan pada serabut syaraf dan konstriksi
pembuluh darah pada dasar leher yang pada gilirannya akan makin
menambah tekanan dan menyebabkan buangan sisa (asam laktat)
menumpuk. Akumulasi ini menyebabkan timbulnya nyeri. Ketegangan
otot ini pada umumnya merupakan reaksi yang tidak disadari terhadap
stres. Akan tetapi, aktifitas-aktifitas yang membutuhkan kepala harus
bertahan pada satu posisis dapat menyebabkan nyeri kepala jenis ini,
ataupun tidur dengan letak leher yang tidak benar(tegang)dapat
merpakan penyebab tension headache.
c) Cluster
Focus patofisiologi di arteri karotis intrakavernosus yang merangsang
pleksus perikarotis. Pleksus ini mendapat rangsangan dari cabang 1
dan 2 nervus trigeminus, ganglia servikalis superior/SCG (simpatetik)
dan ganglia sfenopalatinum/SPG (parasimpatetik). Diperkirakan focus
iritatif di dan sekitar pleksus membawa impuls-impuls ke batang otak
dan mengakibatkan rasa nyeri di daerah periorbital, retroorbital dan
dahi.

5. Tanda dan gejala


a) Migren
Tanda dan gejala migren bervariasi di antara penderita. Terdapat 4 fase
yang umum terjadi pada penderita migren, tetapi semuanya tidak harus
selalu dialami oleh penderita. Fase-fase tersebut antara lain:
1) Fase Prodromal. Fase ini dialami 40-60% penderita migren.
Gejalanya berupa perubahan mood, iritabel, depresi atau euforia,
perasaan lemah, letih, lesu, tidur berlebihan, menginginkan jenis
makanan tertentu (coklat) dan gejala lainnya. Gejala ini muncul
beberapa jam atau hari sebelum fase nyeri kepala. Fase in memberi
pertanda kepada penderita atau keluarga bahwa akan terjadi
serangan migren.
2) Fase Aura. Aura adalah gejala neurologis fokal kompleks yang
mendahului atau menyertai serangan migren. Fase ini mucul
bertahap selama 5-20 menit, dan bertahan kurang dari 60 menit.
Aura ini dapat berupa sensasi visual, sensorik, motorik, atau
kombinasi dari aura-aura tersebut.
Aura visual muncul pada 64% kasus dan merupakan gejala neurologis
yang paling umum terjadi. Yang khas untuk migren adalah scintillating
scotoma: tampak bintik-bintik kecil yang banyak, gangguan visual
homonim, gangguan salah satu sisi lapangan pandang, persepsi adanya
cahaya berbagai warna yang bergerak pelan (fenomena positif).
Kelainan visual lainnya adalah adnya skotoma ( fenomena negatif)
yang bisa timbul pada salah satu mata atau kedua mata. Kedua
fenomena ini bisa timbul bersamaan dan berbentuk zig-zag. Aura pada
migren biasanya hilang dalam beberapa menit dan kemudian diikuti
dengan periode laten sebelum timbul nyeri kepala. Walaupun ada juga
yang melaporkan tanpa periode laten.
1) Fase Nyeri Kepala. Nyeri kepala migren biasanya berdenyut,
unilateral dan awalnya berlokasi di daerah frontotemporalis dan
okular, kemudian setelah 1-2 jam menyebar secara difus ke arah
posterior. Serangan berlangsung selama 4-72 jam pada orang
dewasa, sedangkan pada anak-anak berlangsung pada 1-48 jam.
Intensitas nyeri nerkisar dari sedang sampai berat dan dapat
mengganggu pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari.
2) Fase Postdromal. Pasien mungkin merasa lelah, iritabel,
konsentrasi terganggu, dan perubahan mood. Akan tetapi, beberapa
orang merasa segar atau euforia setelah serangan, sedangkan
yang lainnya merasa depresi dan lemas.
b) Tension type headache (Nyeri kepala tegang). Gejala klinis yang dapat
ditemukan pada tension-typeheadache adalah:
1) Tidak ada gejala prodnormal atupun aura;
2) Nyeri dapat ringan hingga sedang maupun berat;
3) Tumpul, seperti ditekan atau diikat. Tidak berdenyut,
4) Menyeluruh atau difus (tidak hanya pada satu titik atau satu sisi),
nyeri lebih hebat di daerah kulit kepala, oksipital, dan belakang
leher;
5) Terjadi secara spontan;
6) Memburuk atau dicetuskan oleh stres dan kelelahan;
7) Adanya insomnia;
8) Iritabilitas;
9) Gangguan konsentrasi;
10) Kadang-kadang disertai vertigo;
11) Beberapa orang mengeluh rasa tidak nyaman didaerah leher,
rahang, dan temporomandibular.

c) Cluster. Tanda dan gejala kususnya adalah:


1) Sakit yang mengerikan, biasanya terdapat pada atau sekitar mata,
tapi dapat merambat pada area lain di wajah, kepala, leher dan
pundak.
2) Sakit pada satu sisi
3) Kegelisahan
4) Keluar air mata secara berlebihan
5) Mata merah sebagai efek samping
6) Lendir atau basah pada lubang hidung sebagai efek samping pada
wajah
7) Berkeringat, kulit pucat pada wajah
8) Bengkak di sekitar mata sebagai efek samping pada wajah
9) Ukuran pupil yang mengecil
10) Kelopak mata yang layu

6. Pemeriksaan penunjang
CT Scan, menjadi mudah dijangkau sebagai cara yang mudah dan aman
untuk menemukan abnormalitas pada susunan saraf pusat. MRI Scan,
dengan tujuan mendeteksi kondisi patologi otak dan medula spinalis
dengan menggunakan tehnik scanning dengan kekuatan magnet untuk
membuat bayangan struktur tubuh.
Pungsi lumbal, dengan mengambil cairan serebrospinalis untuk
pemeriksaan. Hal ini tidak dilakukan bila diketahui terjadi peningkatan
tekanan intrakranial dan tumor otak, karena penurunan tekanan yang
mendadak akibat pengambilan CSF.

7. Penatalaksanaan
a) Migren, penatalaksanaannya terdiri dari 2 macam, yaitu:
1) Pengobatan akut/segera (abortif). Jenis obat yang dipakai adalah:
Aspirin dan NSAID dosis tinggi (900 mg) untuk serangan ringan
serta sedang.
Kombinasi analgesik dan antiemetik, contoh: aspirin dengan
metoklopramid atau parasetamol dengan domperidon untuk
serangan ringan sampai sedang.
Analgesik yang mengandung opiat, contoh: almotriptan,
eletriptan, frovatriptan, naratriptan, sumatriptan, rizatriptan,
zolmitriptan yang terdapat dalam bentuk sediaan oral, semprotan
hidung, subkutan, dan rektal supositoria. Sediaan oral sesuai
untuk intensitas nyeri kepala ringan sampai sedang untuk menjaga
absorbsinya. Obat ini harus diberikan dengan dosis optimal dan
sebaiknya diulang setiap 2 jam (untuk naratriptan setiap 4 jam),
sampai nyeri kepala hilang sepenuhnya atau telah mecapai dosis
maksimal. Golongan triptan sebaiknya tidak digunakan dalam 24
jam setelaj pemakaina triptan jenis lain.
Dihidroergotamin (DHE) untuk semua jenis serangan.
2) Pengobatan preventif (profilaksis). Macam-macam obat pilihan
pertama yang dianggap efektif dalam pengobatan preventif adalah:
bloker misalnya atenolol, bisoprolol, metoprolol, nadolol,
propanolol, dan timolol.
Pemakaian bloker dikontraindikasikan pada sinus bradikardi,
penyakit paru obstruktif (asma), dan DM.
Antagonis serotonin (5-HT2), misalnya: metisergid dan
siproheptadin.
Antidepresan trisiklik, misalnya amitriptilin.
Penyekat-Ca, misalnya: flunarisin dan verapramil.
Meningkatkan ambang rangsang nyeri
Antikomvulsan, misalnya: Na valproat dan topiramat.
b) Tension type headache (Nyeri kepala tegang). Terapi Non-farmakologi:
1) melakukan latihan peregangan leher atau otot bahu sedikitnya 20
sampai 30 menit
2) perubahan posisi tidur
3) pernafasan dengan diafragma atau metode relaksasi otot yang lain
4) Penyesuaian lingkungan kerja maupun rumah. Pencahayaan yang
tepat untuk membaca, bekerja, menggunakan komputer, atau saat
menonton televisi
5) Hindari eksposur terus-menerus pada suara keras dan bising
6) Hindari suhu rendah pada saat tidur pada malam hari
Terapi farmakologi:
1) Menggunakan analgesik atau analgesik plus ajuvan sesuai tingkat
nyeri. Contoh : Obat-obat OTC seperti aspirin, acetaminophen,
ibuprofen atau naproxen sodium. Produk kombinasi dengan kafein
dapat meningkatkan efek analgesik
2) Untuk sakit kepala kronis, perlu assesment yang lebih teliti
mengenai penyebabnya, misalnya karena anxietas atau depresi
pilihan obatnya adalah antidepresan, seperti amitriptilin atau
antidepresan lainnya. Hindari penggunaan analgesik secara kronis
memicu rebound headache
c) Cluster
Sasaran terapi: menghilangkan nyeri (terapi abortif), mencegah
serangan (profilaksis). Strategi terapi: menggunakan obat NSAID,
vasokonstriktor cerebral. Obat-obat terapi abortif:
1) Oksigen
2) Ergotamin
3) Dosis sama dengan dosis untuk migrain
4) Sumatriptan
Obat-obat untuk terapi profilaksis:
1) Verapamil
2) Litium
3) Ergotamin
4) Metisergid
5) Kortikosteroid
6) Topiramat
Terapi Nonfarmakologi headache:
1) Terapi Akupuntur. Penggunaan akupuntur dilakukan di titik-titik yang
direkomendasikan menggunakan 10 sampai 12 jarum, 30 menit per
minggu, selama 10 hingga 12 minggu.
2) Latihan fisik. Latihan fisik mengurangi intensitas dan bahkan
membebaskan sakit kepala sebagian pasien hingga enam bulan. Selain
itu juga bisa dilakukan latihan olahraga yang mengarah pada otot-otot
bahu dan leher, masing-masing selama 100 kali, dan ditambah pula
dengan mengayuh sepeda ergonomik serta peregangan.
3) Latihan relaksasi. Latihan relaksasi mencakup latihan pernapasan,
teknik mengendalikan stres, serta bagaimana bersikap rileks selama
beraktivitas dan dalam menjalani hidup sehari-hari.
PATHWAYS
Trauma langsung
(jatuh, kecelakaan)

Benturan pada kepala,


trauma tertutup

Cidera kepala

Perdarahan
intrakranial
hematoma

Perubahan sirkulasi Gangguan


autoregulasi
Peningkatan TIK
Aliran darah ke otak
Rangsangan saraf terganggu
simpatis ketegangan

Peningkatan seksresi
Suplai O2 menurun
asam lambung Kontraksi otot leher da
kepala

Iritasi lambung Asam laktat


Tekanan pada serabut meningkat

Mual /nausea saraf


Oedem otak

Konstriksi pada
muntah pembuluh dash dasar
leher Ketidakefektifan
perfusi jaringan:
Kehilangan cairan serebral
Pusing
secara masiv

Girus medialis lobus


Kekurangan volume Nyeri akut temporalis tergeser
cairan

Herniasi ulkus

Mesensefalon
terktekan

- Ketidakefektifan pola Gangguan kesadaran


napas
ASUHAN KEPERAWATAN
1. Data yang perlu dikaji
a) Breathing (B1)
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan irama
jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas, kedalaman,
frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne Stokes atau Ataxia
breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi, wheezing ( kemungkinana
karena aspirasi), cenderung terjadi peningkatan produksi sputum pada
jalan napas.
b) Blood (B2)
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia, disritmia)
c) Brain (B3)
otak akibat cidera kepala. Kehilangan kesadaran sementara, amnesia
seputar kejadian, vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran,
baal pada ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai
batang otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat
terjadi :
1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah laku dan
memori).
2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya, diplopia,
kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi pada
mata.
4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada nervus
vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah jatuh
kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan menelan.
d) Blader (B4)
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi, inkontinensia
uri, ketidakmampuan menahan miksi.
e) Bowel (B5)
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual, muntah
(mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan selera.
Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi alvi.
f) Bone
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese, paraplegi.
Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena imobilisasi dan
dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan antara otot-otot
antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya hubungan antara
pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula
terjadi penurunan tonus otot.

2. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan: serebral berhubungan dengan
penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma)
b. Nyeri akut berhubungan dengan adanya laserasi pada kepala
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan output yang
berlebihan
d. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler akibat cedera kepala.
3. Rencana Asuhan Keperawatan
Ketidakefektifan perfusi jaringan: serebral berhubungan dengan
penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma)
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 324 jam pasien akan dapat
Mempertahankan tingkat kesadarannya, kognisi, dan fungsi
motorik/sensoriknya.
Kriteria Hasil:
Tanda-tanda vital stabil
Tidak ada tanda peningkatan TIK
Intervensi Rasional
Tentukan faktor-faktor yg Penurunan tanda/gejala neurologis atau
menyebabkan koma/penurunan perfusi kegagalan dalam pemulihannya setelah
jaringan otak dan potensial peningkatan serangan awal, menunjukkan perlunya
TIK. pasien dirawat di perawatan intensif.

Pantau /catat status neurologis secara Mengkaji tingkat kesadaran dan


teratur dan bandingkan dengan nilai potensial peningkatan TIK dan
standar GCS. bermanfaat dalam menentukan lokasi,
perluasan dan perkembangan kerusakan
SSP.

Evaluasi keadaan pupil, ukuran, Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial
kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi okulomotor (III) berguna untuk
terhadap cahaya. menentukan apakah batang otak masih
baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan
oleh keseimbangan antara persarafan
simpatis dan parasimpatis. Respon
terhadap cahaya mencerminkan fungsi
yang terkombinasi dari saraf kranial
optikus (II) dan okulomotor (III).

Pantau tanda-tanda vital: TD, nadi, Peningkatan TD sistemik yang diikuti


frekuensi nafas, suhu. oleh penurunan TD diastolik (nadi yang
membesar) merupakan tanda terjadinya
peningkatan TIK, jika diikuti oleh
penurunan kesadaran.

Pantau intake dan out put, turgor kulit Hipovolemia/hipertensi dapat


dan membran mukosa. mengakibatkan kerusakan/iskhemia
cerebral. Demam dapat mencerminkan
kerusakan pada hipotalamus.

Turunkan stimulasi eksternal dan Peningkatan kebutuhan metabolisme


berikan kenyamanan, seperti dan konsumsi oksigen terjadi (terutama
lingkungan yang tenang. saat demam dan menggigil) yang
selanjutnya menyebabkan peningkatan
TIK.

Bantu pasien untuk menghindari Bermanfaat sebagai indikator dari


/membatasi batuk, muntah, mengejan. cairan total tubuh yang terintegrasi
dengan perfusi jaringan.

Tinggikan kepala pasien 15-45 derajad Iskemia/trauma serebral dapat


sesuai indikasi/yang dapat ditoleransi. mengakibatkan diabetes insipidus.

Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. Gangguan ini dapat mengarahkan pada
Berikan oksigen tambahan sesuai masalah hipotermia atau pelebaran
indikasi. pembuluh darah yang akhirnya akan
berpengaruh negatif terhadap tekanan
serebral.

Berikan obat sesuai indikasi, misal: Memberikan efek ketenangan,


diuretik, steroid, antikonvulsan, menurunkan reaksi fisiologis tubuh dan
analgetik, sedatif, antipiretik. meningkatkan istirahat untuk
mempertahankan atau menurunkan
TIK.
Aktivitas ini akan meningkatkan
tekanan intrathorak dan intraabdomen
yang dapat meningkatkan TIK.
Meningkatkan aliran balik vena dari
kepala sehingga akan mengurangi
kongesti dan oedema atau resiko
terjadinya peningkatan TIK.
Pembatasan cairan diperlukan untuk
menurunkan edema serebral,
meminimalkan fluktuasi aliran vaskuler
TD dan TIK.
Menurunkan hipoksemia, yang mana
dapat meningkatkan vasodilatasi dan
volume darah serebral yang
meningkatkan TIK.
Diuretik digunakan pada fase akut
untuk menurunkan air dari sel otak,
menurunkan edema otak dan TIK,.
Steroid menurunkan inflamasi, yang
selanjutnya menurunkan edema
jaringan. Antikonvulsan untuk
mengatasi dan mencegah terjadinya
aktifitas kejang. Analgesik untuk
menghilangkan nyeri . Sedatif
digunakan untuk mengendalikan
kegelisahan, agitasi. Antipiretik
menurunkan atau mengendalikan
demam yang mempunyai pengaruh
meningkatkan metabolisme serebral
atau peningkatan kebutuhan terhadap
oksigen.
Nyeri akut berhubungan dengan adanya laserasi pada kepala
Tujuan:
setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien akan dapat
mengurangai penyebab nyeri yang dirasakan
Kriteria Hasil:
Penurunan skala nyeri
Mengetahui penyebab nyeri
Mengetahi teknik pengalihan nyeri
Intervensi Rasional
Kaji skala nyeri pasien Menentukan penurunan atau
peningkatan pada evaluasi tindakan
selanjutnya

Kaji penyebab, lokasi, lama timbulnya Mengetahui penyebab nyeri yang


nyeri dialami pasien

Jelaskan penyebab nyeri yang dialami Memberikan informasi pada pasien


pasien terkait kondisinya saat ini

Ajarkan teknik pengalihan nyeri sesuai Mengatasi nyeri dengan terapi non
dengan kebutuhan farmakologi.

Kolaborasikan dengan dokter untuk Nyeri kepala ada beberapa macam


pemberian terapi farmakologi sesuai jenis, dan mempunyai penangan
dengan gejala yang timbul farmakaologi yang berbeda-beda.

Kekurangan volume cairan berhubungan dengan output yang berlebihan


Tujuan:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan kebutuhan
cairan terpenuhi
Kriteria hasil:
kebutuhan cairan pasien tepenuhi dan asupan cairan pasien terpenuhi.
Intervensi Rasional
Jelaskan tindakan yang akan dilakukan Agar pasien mengerti semua tindakan
yang akan dilakukan

kaji out put dan in put cairan untuk mengetahui keseimbangan cairan
pasien, dan mengetahui intake yang
diperlukan
Anjurkan pada pasien untuk minum pengganti cairan yang hilang, dan
setiap setelah muntah memenuhi kebutuhan cairan pasien

Observasi TTV mengetahui kondisi umum pasien

Kolaborasi dengan dokter untuk kolaborasi tentang pemberian cairan


pemberian terapi farmakologi intravena yang tepat

Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler akibat


cedera kepala.

Tujuan:
Setelah dilakukantindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien akan dapat
mempertahankan pola napasnya secara efektif.
Kritera Hasil:
Sianosis (-)
RR dalam batas normal
Retraksi dada (-)
Pernapasan cuping hidung (-)
Intervensi Kriteria Hasil
Pantau frekuensi, irama, kedalaman Perubahan dapat menandakan awitan
pernapasan. Catat ketidakteraturan komplikasi pulmonal atau menandakan
pernapasan. lokasi/luasnya keterlibatan otak.
Pernapasan lambat, periode apnea dapat
menandakan perlunya ventilasi
mekanis.

Pantau dan catat kompetensi reflek Kemampuan memobilisasi atau


gag/menelan dan kemampuan pasien membersihkan sekresi penting untuk
untuk melindungi jalan napas sendiri. pemeliharaan jalan napas. Kehilangan
Pasang jalan napas sesuai indikasi. refleks menelan atau batuk menandakan
perlunaya jalan napas buatan atau
intubasi.

Angkat kepala tempat tidur sesuai Untuk memudahkan ekspansi


aturannya, posisi miirng sesuai indikasi. paru/ventilasi paru dan menurunkan
adanya kemungkinan lidah jatuh yang
menyumbat jalan napas.

Anjurkan pasien untuk melakukan Mencegah/menurunkan atelektasis.


napas dalam yang efektif bila pasien
sadar.
Lakukan penghisapan dengan ekstra
hati-hati, jangan lebih dari 10-15 detik.
Catat karakter, warna dan kekeruhan Penghisapan biasanya dibutuhkan jika
dari sekret. pasien koma atau dalam keadaan
imobilisasi dan tidak dapat
membersihkan jalan napasnya sendiri.
Penghisapan pada trakhea yang lebih
dalam harus dilakukan dengan ekstra
hati-hati karena hal tersebut dapat
menyebabkan atau meningkatkan
hipoksia yang menimbulkan
vasokonstriksi yang pada akhirnya akan
berpengaruh cukup besar pada perfusi
Auskultasi suara napas, perhatikan jaringan.
daerah hipoventilasi dan adanya suara
tambahan yang tidak normal misal: Untuk mengidentifikasi adanya masalah
ronkhi, wheezing, krekel. paru seperti atelektasis, kongesti, atau
obstruksi jalan napas yang
membahayakan oksigenasi cerebral
dan/atau menandakan terjadinya infeksi
Pantau analisa gas darah, tekanan paru.
oksimetri
Menentukan kecukupan pernapasan,
Lakukan ronsen thoraks ulang. keseimbangan asam basa dan
kebutuhan akan terapi.

Melihat kembali keadaan ventilasi dan


tanda-tandakomplikasi yang
berkembang misal: atelektasi atau
Berikan oksigen. bronkopneumoni.

Memaksimalkan oksigen pada darah


arteri dan membantu dalam pencegahan
hipoksia. Jika pusat pernapasan
tertekan, mungkin diperlukan ventilasi
Lakukan fisioterapi dada jika ada mekanik.
indikasi.
Walaupun merupakan kontraindikasi
pada pasien dengan peningkatan TIK
fase akut tetapi tindakan ini seringkali
berguna pada fase akut rehabilitasi
untuk memobilisasi dan membersihkan
jalan napas dan menurunkan resiko
atelektasis/komplikasi paru lainnya.
DAFTAR PUSTAKA

Barbara, Engram. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Alih


bahasa suharyati samba. Jakarta: EGC

Baticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klian Dengan


Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Bauhgman, Diane C., & Hackley. Joann C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah,
Buku Saku Untuk Brunner Dan Suddarth. Jakarta: EGC.

Brunner & Suddarth, 2002. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:EGC.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salmeba Medika.

Gennarelli TA, Meaney DF. 1996. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam:
Neurosurgery 2nd edition. New York : McGraw Hill.

PERDOSSI cabang Pekanbaru. 2007. Simposium trauma kranio-serebral tanggal


3 November. Pekanbaru.

Hickey JV. 2003. Craniocerebral Trauma. Dalam: The Clinical Practice of


Neurological and Neurosurgical Nursing 5th edition. Philadelphia : lippincot
William & Wilkins.

Tarwono, Wartonah. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan


SistemPersyarafan. Jakarta: Sagung Seto

Vous aimerez peut-être aussi