Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Oleh
Rima Dewi Asmarini, S.Kep
NIM 102311101015
2. Klasifikasi
Reimer (dalam Barbara (1999)), mengklasifikasikan cidera kepala akut
sebagai berikut:
a) Keadaan kulit kepala dan tulang tengkorak:
1) Trauma kepala tertutup
Keadaan truma kepala tertutup dapat mengakibatkan kondisi
komosio, kontusio, epidura hematoma, subdural hematoma,
intrakranial hematoma.
2) Trauma kepala terbuka
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk dalam
jaringan otak dna melukai atau merobek dura mater dan
menyebabkan Cairan Serebro Spinal (CSS) merembes, serta terjadi
kerusakan syaraf otak dan jaringan otak.
b) Trauma pada jaringan otak:
1) Konkusio (ditandai dengan adanya kehilangan kesadaran sementara
tanpa adanya kerusakan jaringan otak, dan terjadi edema serebral).
2) Kontusio (ditandai leh adanya perlukaan pada permukaan jaringan
otak yang menyebabkan perdarahan pada area yang terluka,
perlukaan pada permukaan jaringan otak ini dapat terjadi pada sisi
yang terkena (coup) atau pada sisi yang berlawanan (contra coup)
3) Laserasi (ditandai oleh adanya perdarahan ke ruang sub arakhnoid,
ruang epidural atau sub dural).
4. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari trauma, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-
deselarasi gerakan kepala (Gennarelli, 1996). Dalam mekanisme cedera
kepala dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang
diakibatkan oleh adanya benturan pada tulang tengkorak dan daerah
sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang berlawanan dengan tempat
benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup (Perdosi, 2007).
Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya
isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam
tengkorak pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup)
(Hickey, 2003).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses
patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer,
berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia,
peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
6. Komplikasi
Komplikasi yang muncul dari CKR yaitu dapat menyebabkan kemunduran
pada kondisi pasien karena perluasan hematoma intrakranial, edema
serebral progressif dan herniasi otak. Edema serebral adalah penyebab
paling umum dari peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang
mendapat cedera kepala.
Komplikasi lain yaitu defisit neurologi dan psikologi (tidak dapat
mencium bau-bauan, abnormalitas gerakan mata, afasia, defek memori dan
epilepsi) (Brunner & Suddarth, 2002).
7. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan cedera kepala sesuai dengan tingkat keparahannya,
berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Tidak semua pasien
cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara
lain:
a) Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam)
b) Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
c) Penurunan tingkat kesadaran
d) Nyeri kepala sedang hingga berat
e) Intoksikasi alkohol atau obat
f) Fraktura tengkorak
g) Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
h) Cedera penyerta yang jelas
i) Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
j) CT scan abnormal
Prinsip penanganan awal pada pasien cedera kepala meliputi survei primer
dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang
diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan
exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita
cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer
sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah
homeostasis otak.
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh
kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi.
Secara umum digunakan panduan sebagai berikut :
a) volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah
supratentorial atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
b) kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis,
serta gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat
c) terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
d) pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
e) terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmHg.
f) terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang CT scan
g) terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
h) terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis
Kontusio ringan atau sedang biasanya diterapi dengan observasi dan tirah
baring. Mungkin diperlukan ligasi pembuluh darah yang pecah dan
evakuasi hematoma searah bedah.
8. Pemeriksaan diagnostik
Pemeriksaan diagnostik tengkorak dengan sinar X dapat mengidentifikasi
lokasi fraktur atau hematoma. CT Scan atau MRI dapat dengan cermat
menentukan letak dan luas cedera. (Elizabeth, J. 2001).
Pemeriksaan radiologis yang paling sering dan mudah dilakukan adalah
rontgen kepala yang dilakukan dalam dua posisi, yaitu anteroposterior dan
lateral. Idealnya penderita cedera kepala diperiksa dengan CT Scan,
terutama bila dijumpai adanya kehilangan kesadaran yang cukup
bermakna, amnesia, atau sakit kepala hebat. Indikasi pemeriksaan CT Scan
pada kasus cedera kepala adalah :
a) bila secara klinis (penilaian GCS) didapatkan klasifikasi cedera kepala
sedang dan berat.
b) cedera kepala ringan yang disertai fraktur tengkorak
c) adanya kecurigaan dan tanda terjadinya fraktur basis kranii
d) adanya defisit neurologi, seperti kejang dan penurunan gangguan
kesadaran
e) sakit kepala yang hebat
f) adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial atau herniasi
jaringan otak
g) kesulitan dalam mengeliminasi kemungkinan perdarahan intraserebral.
Gambar 1. Glasgow Coma Scale
B. CEPALGIA
1. Definisi
Chefalgia atau sakit kepala adalah salah satu keluhan fisik paling utama
manusia. Sakit kepala pada kenyataannya adalah gejala bukan penyakit
dan dapat menunjukkan penyakit organik ( neurologi atau penyakit lain),
respon stress, vasodilatasi (migren), tegangan otot rangka (sakit kepala
tegang) atau kombinasi respon tersebut (Brunner & Suddart). Nyeri
Kepala (Headache/cephalgia) rasa nyeri atau rasa tidak mengenakkan pada
seluruh daerah kepala dengan batas bawah dari dagu sampai kedaerah
belakang kepala (daerah oksipital dan sebahagian daerah tengkuk) (Sjahrir,
2008).
Chepalgia atau sakit kepala adalah salah satu keluhan fisik paling utama
pada manusia. Sakit kepala pada kenyataannya adalah gejala bukan
penyakit dan dapat menunjukkan penyakit organik (neurologi atau
penyakit lain), respon stress, vasodilatasi (migren), tegangan otot rangka
(sakit kepala tegang) atau kombinasi respon tersebut. Karena nyeri kepala
sering menyertai pada penyakit-penyakit lainnya, terkadang pasien
mengobati sendiri nyeri kepalanya, padahal banyak nyeri kepala yang
disebabkan karena penyakit serius seperti infeksi dan tumor intracranial,
meningitis, infeksi akut, cedera kepala, hipoksia serebral, atau penyakit
kronis dan akut pada mata, hidung, dan tenggorokan. Nyeri kepala terjadi
ketika area sensitif pada kepala distimulus kemudian diproyeksikan ke
permukaan dan dirasakan di daerah distribusi syaraf yang bersangkutan.
Area-area tersebut diantaranya kulit kepala, periosteum, syaraf kranial V,
IX, X, daerah meningen(Tarwono, 2007)
2. Klasifikasi
Berdasarkan klassifikasi Internasional Nyeri Kepala dari Internasional
Headache Society (IHS), dibagi menadi:
a) Nyeri kepala primer:
1) Migraine
2) Tension-type headache
3) Cluster headache and other trigeminal autonomic cephalalgias
4) Other primary headaches
b) Nyeri kepala sekunder:
1) Nyeri kepala yang disebabkan trauma kepala atau leher
2) Headache attributed to cranial or cervical vascular disorder
3) Headache attributed to non-vascular intracranial disorder
4) Headache attributed to a substance or its withdrawal
5) Headache attributed to infection
6) Headache attributed to disorder of homeoeostasis
7) Headache or facial pain attributed to disorder of cranium, neck,
eyes, ears, nose, sinuses, teeth,mouth, or other facial or cranial
structures.
8) Headache attributed to psychiatric disorder
9) Cranial Neuralgias and facial pains
10) Cranial neuralgias and central causes of facial pain
11) Other headache, cranial neuralgia central, or primary facial pain.
3. Etiologi
a) Migren
Faktor-faktor pencetus yang dapat menyebabkan timbulnya migren:
1) Perubahan hormone. Estrogen dan progesterone merupakan
hormone utama yang berkaitan dengan serangan migren, baik pada
saat maupun di luar periode menstruasi. Penurunan konsentrasi
estrogen dan progesteron pada fase luteal siklus menstruasi
merupakan saat terjadinya serangan migren. Nyeri kepala migrain
dipicu oleh turunnya kadar 17-b estradiol plasma saat akan haid.
Serangan migrain berkurang selama kehamilan karena kadar
estrogen yang relatif tinggi dan konstan, sebaliknya minngu
pertama post partum, 40% pasien mengalami serangan yang hebat,
karena turunnya kadar estradiol. Pemakaian pil kontrasepsi juga
meningkatkan serangan migrain.
2) Makanan. Makanan yang sering menyebabkan nyeri kepala pada
beberapa orang antara lain: makanan yang bersifat vasodilator
(histamin, contoh: anggur merah, natrium nitrat), vasokonstriktor
(tiramin, contoh: keju; feniletilamin, contoh: coklat; kafein), dan
zat tambahan pada makanan (natrium nitrit, monosodiaum
glutamat/MSG, dan aspartam).
3) Stres
4) Rangsangan sensorik. Sinar yang terang dan sinar yang
menyilaukan. Bau menyengat, termasuk bau yang tidak
menyenangkan seperti tinner dan asap rokok.
5) Faktor fisik. Kegiatan fisi yang berlebihan termasuk aktivitas
seksual. Perubahan pola tidur, termasuk terlalu banyak tidur atau
terlalu sedikit tidur, dan gangguan saat tidur. Perubahan
lingkungan. Seperti: cuaca, musim, tingkat dataran tinggi, tekanan
barometer, atau zona waktu.
6) Alkohol.
7) Merokok.
6. Pemeriksaan penunjang
CT Scan, menjadi mudah dijangkau sebagai cara yang mudah dan aman
untuk menemukan abnormalitas pada susunan saraf pusat. MRI Scan,
dengan tujuan mendeteksi kondisi patologi otak dan medula spinalis
dengan menggunakan tehnik scanning dengan kekuatan magnet untuk
membuat bayangan struktur tubuh.
Pungsi lumbal, dengan mengambil cairan serebrospinalis untuk
pemeriksaan. Hal ini tidak dilakukan bila diketahui terjadi peningkatan
tekanan intrakranial dan tumor otak, karena penurunan tekanan yang
mendadak akibat pengambilan CSF.
7. Penatalaksanaan
a) Migren, penatalaksanaannya terdiri dari 2 macam, yaitu:
1) Pengobatan akut/segera (abortif). Jenis obat yang dipakai adalah:
Aspirin dan NSAID dosis tinggi (900 mg) untuk serangan ringan
serta sedang.
Kombinasi analgesik dan antiemetik, contoh: aspirin dengan
metoklopramid atau parasetamol dengan domperidon untuk
serangan ringan sampai sedang.
Analgesik yang mengandung opiat, contoh: almotriptan,
eletriptan, frovatriptan, naratriptan, sumatriptan, rizatriptan,
zolmitriptan yang terdapat dalam bentuk sediaan oral, semprotan
hidung, subkutan, dan rektal supositoria. Sediaan oral sesuai
untuk intensitas nyeri kepala ringan sampai sedang untuk menjaga
absorbsinya. Obat ini harus diberikan dengan dosis optimal dan
sebaiknya diulang setiap 2 jam (untuk naratriptan setiap 4 jam),
sampai nyeri kepala hilang sepenuhnya atau telah mecapai dosis
maksimal. Golongan triptan sebaiknya tidak digunakan dalam 24
jam setelaj pemakaina triptan jenis lain.
Dihidroergotamin (DHE) untuk semua jenis serangan.
2) Pengobatan preventif (profilaksis). Macam-macam obat pilihan
pertama yang dianggap efektif dalam pengobatan preventif adalah:
bloker misalnya atenolol, bisoprolol, metoprolol, nadolol,
propanolol, dan timolol.
Pemakaian bloker dikontraindikasikan pada sinus bradikardi,
penyakit paru obstruktif (asma), dan DM.
Antagonis serotonin (5-HT2), misalnya: metisergid dan
siproheptadin.
Antidepresan trisiklik, misalnya amitriptilin.
Penyekat-Ca, misalnya: flunarisin dan verapramil.
Meningkatkan ambang rangsang nyeri
Antikomvulsan, misalnya: Na valproat dan topiramat.
b) Tension type headache (Nyeri kepala tegang). Terapi Non-farmakologi:
1) melakukan latihan peregangan leher atau otot bahu sedikitnya 20
sampai 30 menit
2) perubahan posisi tidur
3) pernafasan dengan diafragma atau metode relaksasi otot yang lain
4) Penyesuaian lingkungan kerja maupun rumah. Pencahayaan yang
tepat untuk membaca, bekerja, menggunakan komputer, atau saat
menonton televisi
5) Hindari eksposur terus-menerus pada suara keras dan bising
6) Hindari suhu rendah pada saat tidur pada malam hari
Terapi farmakologi:
1) Menggunakan analgesik atau analgesik plus ajuvan sesuai tingkat
nyeri. Contoh : Obat-obat OTC seperti aspirin, acetaminophen,
ibuprofen atau naproxen sodium. Produk kombinasi dengan kafein
dapat meningkatkan efek analgesik
2) Untuk sakit kepala kronis, perlu assesment yang lebih teliti
mengenai penyebabnya, misalnya karena anxietas atau depresi
pilihan obatnya adalah antidepresan, seperti amitriptilin atau
antidepresan lainnya. Hindari penggunaan analgesik secara kronis
memicu rebound headache
c) Cluster
Sasaran terapi: menghilangkan nyeri (terapi abortif), mencegah
serangan (profilaksis). Strategi terapi: menggunakan obat NSAID,
vasokonstriktor cerebral. Obat-obat terapi abortif:
1) Oksigen
2) Ergotamin
3) Dosis sama dengan dosis untuk migrain
4) Sumatriptan
Obat-obat untuk terapi profilaksis:
1) Verapamil
2) Litium
3) Ergotamin
4) Metisergid
5) Kortikosteroid
6) Topiramat
Terapi Nonfarmakologi headache:
1) Terapi Akupuntur. Penggunaan akupuntur dilakukan di titik-titik yang
direkomendasikan menggunakan 10 sampai 12 jarum, 30 menit per
minggu, selama 10 hingga 12 minggu.
2) Latihan fisik. Latihan fisik mengurangi intensitas dan bahkan
membebaskan sakit kepala sebagian pasien hingga enam bulan. Selain
itu juga bisa dilakukan latihan olahraga yang mengarah pada otot-otot
bahu dan leher, masing-masing selama 100 kali, dan ditambah pula
dengan mengayuh sepeda ergonomik serta peregangan.
3) Latihan relaksasi. Latihan relaksasi mencakup latihan pernapasan,
teknik mengendalikan stres, serta bagaimana bersikap rileks selama
beraktivitas dan dalam menjalani hidup sehari-hari.
PATHWAYS
Trauma langsung
(jatuh, kecelakaan)
Cidera kepala
Perdarahan
intrakranial
hematoma
Peningkatan seksresi
Suplai O2 menurun
asam lambung Kontraksi otot leher da
kepala
Konstriksi pada
muntah pembuluh dash dasar
leher Ketidakefektifan
perfusi jaringan:
Kehilangan cairan serebral
Pusing
secara masiv
Herniasi ulkus
Mesensefalon
terktekan
2. Diagnosa keperawatan
a. Ketidakefektifan perfusi jaringan: serebral berhubungan dengan
penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma)
b. Nyeri akut berhubungan dengan adanya laserasi pada kepala
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan output yang
berlebihan
d. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler akibat cedera kepala.
3. Rencana Asuhan Keperawatan
Ketidakefektifan perfusi jaringan: serebral berhubungan dengan
penghentian aliran darah (hemoragi, hematoma)
Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 324 jam pasien akan dapat
Mempertahankan tingkat kesadarannya, kognisi, dan fungsi
motorik/sensoriknya.
Kriteria Hasil:
Tanda-tanda vital stabil
Tidak ada tanda peningkatan TIK
Intervensi Rasional
Tentukan faktor-faktor yg Penurunan tanda/gejala neurologis atau
menyebabkan koma/penurunan perfusi kegagalan dalam pemulihannya setelah
jaringan otak dan potensial peningkatan serangan awal, menunjukkan perlunya
TIK. pasien dirawat di perawatan intensif.
Evaluasi keadaan pupil, ukuran, Reaksi pupil diatur oleh saraf cranial
kesamaan antara kiri dan kanan, reaksi okulomotor (III) berguna untuk
terhadap cahaya. menentukan apakah batang otak masih
baik. Ukuran/ kesamaan ditentukan
oleh keseimbangan antara persarafan
simpatis dan parasimpatis. Respon
terhadap cahaya mencerminkan fungsi
yang terkombinasi dari saraf kranial
optikus (II) dan okulomotor (III).
Batasi pemberian cairan sesuai indikasi. Gangguan ini dapat mengarahkan pada
Berikan oksigen tambahan sesuai masalah hipotermia atau pelebaran
indikasi. pembuluh darah yang akhirnya akan
berpengaruh negatif terhadap tekanan
serebral.
Ajarkan teknik pengalihan nyeri sesuai Mengatasi nyeri dengan terapi non
dengan kebutuhan farmakologi.
kaji out put dan in put cairan untuk mengetahui keseimbangan cairan
pasien, dan mengetahui intake yang
diperlukan
Anjurkan pada pasien untuk minum pengganti cairan yang hilang, dan
setiap setelah muntah memenuhi kebutuhan cairan pasien
Tujuan:
Setelah dilakukantindakan keperawatan selama 3x24 jam pasien akan dapat
mempertahankan pola napasnya secara efektif.
Kritera Hasil:
Sianosis (-)
RR dalam batas normal
Retraksi dada (-)
Pernapasan cuping hidung (-)
Intervensi Kriteria Hasil
Pantau frekuensi, irama, kedalaman Perubahan dapat menandakan awitan
pernapasan. Catat ketidakteraturan komplikasi pulmonal atau menandakan
pernapasan. lokasi/luasnya keterlibatan otak.
Pernapasan lambat, periode apnea dapat
menandakan perlunya ventilasi
mekanis.
Bauhgman, Diane C., & Hackley. Joann C. 2000. Keperawatan Medikal Bedah,
Buku Saku Untuk Brunner Dan Suddarth. Jakarta: EGC.
Brunner & Suddarth, 2002. Buku Ajar keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:EGC.
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Persarafan. Jakarta: Salmeba Medika.
Gennarelli TA, Meaney DF. 1996. Mechanism of Primary Head Injury. Dalam:
Neurosurgery 2nd edition. New York : McGraw Hill.