Vous êtes sur la page 1sur 12

ALGORITMA DOSIS OBAT GLIBENKLAMID PADA DIABETES

MELLITUS GESTASIONAL

1. PENDAHULUAN
Pada wanita hamil terjadi perubahan- perubahan fisiologis yang
berpengaruh terhadap metabolisme karbohidrat karena adanya hormon plasenta
yang bersifat resistensi terhadap insulin, sehingga kehamilan tersebut bersifat
diabetogenik. Dengan meningkatnya umur kehamilan, berbagai faktor dapat
mengganggu keseimbangan metabolisme karbohidrat sehingga terjadi gangguan
toleransi glukosa.
Adanya suatu bentuk diabetes melitus (DM) yang hanya ditemukan saat
kehamilan dan kemudian menghilang setelah persalinan telah disinggung oleh
Duncan (dikutip oleh Adam) sejak satu abad yang lalu. Walaupun demikian
barulah pada tahun 1980 WHO mengakui diabetes melitus gestasi (DMG) sebagai
suatu bentuk diabetes tersendiri.
Diabetes melitus gestasional (DMG) didefinisikan sebagai suatu keadaan
intoleransi glukosa atau karbohidrat dengan derajat yang bervariasi yang terjadi
atau pertama kali ditemukan pada saat kehamilan berlangsung. Dengan definisi ini
tidak lagi dipersoalkan apakah penderita mendapat pengobatan insulin atau
dengan diet saja, demikian pula apakah gangguan toleransi glukosa kembali
normal atau tidak setelah persalinan.

2. INSIDENS
Insidens DMG bervariasi antara 1,2 12%. Kepustakaan lain mengatakan
1 14%. Di Indonesia insidens DMG berkisar 1,9 -2,6%. Perbedaan insidens
DMG ini terutama disebabkan oleh karena perbedaan kriteria diagnosis materi
penyaringan yang diperiksa. Di Amerika Serikat insidens kira-kira 4%.
Kejadian DMG juga sangat erat hubungannya dengan ras dan budaya
seseorang. Contoh yang khas adalah DMG pada orang kulit putih yang berasal
dari Amerika bagian barat hanya 1,5-2% sedangkan penduduk asli Amerika yang
berasal dari barat daya Amerika mempunyai angka kejadian sampai 15%. Pada ras
Asia, Afrika Amerika dan Spanyol insidens DMG sekitar 5-8%, sedangkan pada
ras Kaukasia sekitar 1,5%.

3. PATOFISIOLOGI.
Dalam kehamilan terjadi perubahan metabolisme endokrin dan KH yang
menunjang pemasokan makan bagi janin serta persiapan untuk menyusui. Glukosa
dapar berdifusi secara tetap melalui plasenta kepada janin sehingga kadarnya
dalam darah janin hampir menyerupai kadar darah ibu. Insulin ibu tidak dapat
mencapai janin, sehingga kadar gula ibu yang mempengaruhi kadar pada janin.
Pengendalian kadar gula terutama dipengaruhi oleh insulin. Akibat lambatnya
reabsorpsi makanan maka terjadi hiperglikemia yang relatif lama dan ini menuntut
kebutuhan insulin. Menjelang aterm kebutuhan insulin meningkat sehingga
mencapai 3 kali dari keadaan normal. Hal ini disebut tekanan deabetogenik dalam
kehamilan. Secara fisiologis telah terjadi resistensi insulin yaitu bila ia ditambah
dengan insulin eksogen ia tidak mudah menjadi hipoglikemia yang menjadi
masalah ialah bila seorang ibu tidak mampu meningkatkan produksi insulin
sehingga ia relatif hipoinsulin yang mengakibatkan hiperglikemia atau diabetes
kehamilan. Resistensi insulin juga disebabkan adanya hormon estrogen,
progesteron, kortisol, prolaktin dan plasenta laktogen. Kadar kortisol plasma
wanita hamil meningkat dan mencapai 3 kali dari keadaan normal hal ini
mengakibatkan kebutuhan insulin menjadi lebih tinggi, demikian juga dengan
human plasenta laktogen (HPL) yang dihasilkan oleh plasenta yang mempunyai
sifat kerja mirip pada hormon tubuh yang bersifat diabetogenik. Pembentukan
HPL meningkat sesuai dengan umur kehamilan. Hormon tersebut mempengaruhi
reseptor insulin pada sel sehingga mempengaruhi afinitas insulin. Hal ini patut
diperhitungkan dalam pengendalian diabetes.
Mekanisme resistensi insulin pada wanita hamil normal adalah sangat
kompleks. Kitzmiller, 1980 (dikutip oleh Moore) telah mempublikasikan suatu
pengamatan menyeluruh mekanisme endokrin pada pankreas dan metabolisme
maternal selama kehamilan yakni plasenta mempunyai peranan yang khas dengan
mensintesis dan mensekresi peptida dan hormon steroid yang menurunkan
sensitivitas maternal pada insulin. Puavilai dkk (dikutip oleh Williams)
melaporkan bahwa resistensi insulin selama kehamilan terjadi karena rusaknya
reseptor insulin bagian distal yakni post reseptor. Hornes dkk (dikutip oleh
Moore) melaporkan terdapat penurunan respon Gastric Inhibitory Polipeptida
(GIP) pada tes glukosa oral dengan tes glukosa oral pada kehamilan normal
dan DMG. Mereka meyakini bahwa kerusakan respon GIP ini yang mungkin
berperanan menjadi sebab terjadinya DMG.
Faktor-faktor di atas dan mungkin berbagai faktor lain menunjukkan
bahwa kehamilan merupakan suatu keadaan yang mengakibatkan resistensi
terhadap insulin meningkat. Pada sebagian besar wanita hamil keadaan resistensi
terhadap insulin dapat diatasi dengan meninggikan kemampuan sekresi insulin
oleh sel beta. Pada sebagian kecil wanita hamil, kesanggupan sekresi insulin tidak
mencukupi untuk melawan resistensi insulin, dengan demikian terjadilah
intoleransi terhadap glukosa atau DM gestasi.

4. KLASIFIKASI
Perkembangan ilmu kedokteran makin meningkat dalam berbagai aspek
yaitu etiologi, patogenesis diagnosis, pengobatan dan pencegahan. Sejalan dengan
perkembangan tersebut berbagai kriteria diagnosis dan klasifikasi DM
bermunculan. Oleh WHO expert committee on diabetes mellitus tahun 1980
telah dibuat suatu klasifikasi DM berdasarkan etiopatologi, yang kemudian
diperluas pada tahun 1985 9,10
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) pada konsensus diabetes
melitus di Indonesia
Tahun 2002 membuat klasifikasi etiologis DM sebagai berikut:

Tipe 1 (Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin


absolut)
Autoimun
Idiopatik
Tipe 2 (Bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek
sekresi insulin disertai resistensi insulin)
Tipe Lain Defek genetik fungsi sel beta
Defek genetik kerja insulin
Penyakit eksokrin pankreas
Endokrinopati
Karena obat atau zat kimia
Infeksi
Sebab imunologi yang jarang
Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
Catatan : Diabetes melitus pada sirosis hati belum bisa di kelompokkan ke dalam
klasifikasi diatas karena mekanismenya belum dapat ditentukan dengan
pasti.
Keadaan ibu dan anak pada wanita DM hamil tergantung pada berat dan
lamanya perlangsungan penyakit. Priscilla White pada tahun 1959
memperkenalkan klasifikasi White yang sangat terkenal sampai saat ini.
Klasifikasi ini terutama menitikberatkan pada umur saat diketahuinya DM,
lamanya mengidap DM dan adanya komplikasi vaskuler khususnya retino-renal.
Klasifikasi ini awalnya digunakan untuk meramalkan prognosis perinatal
dan untuk menentukan penanganan obstetrinya. Karena mortalitas perinatal
menurun secara tajam pada semua klasifikasi, maka sistem ini digunakan sampai
sekarang terutama untuk menggambarkan dan membandingkan populasi DM
hamil.
Klasifikasi White menekankan bahwa kerusakan target organ khususnya
mata, ginjal, jantung mempunyai akibat yang sangat berarti pada anak. Klasifikasi
DMG yang direkomendasikan oleh American College of Obstetricians and
Gynecologists pada tahun 1994 adalah klasifikasi sebagai berikut :

Klasifikasi DM hamil menurut White (perubahan)

Class Onset Fasting Plasma 2-hour postprandial Therapy


Glucose Glucose
A1 Gestational < 105 mg/dL < 120 mg/dL Diet
A2 Gestational > 105 mg/dL > 120 mg/dL Insullin
Class Age of Onset Duration (yr) Vascular Disease Therapy
(yr)
B Over 20 < 10 None Insulin
C 10 -19 None Insulin
10 - 19
D > 20 Benign Retinopathy Insulin
Before 10
F Any Nephropathy* Insulin
Any
R Any Proliperative Insulin
Any
retinopathy
H Any Insulin
Any Heart
Selanjutnya Pyke dari Kings College Hospital London membuat
klasifikasi yang sederhana dimana DM hamil hanya dibagi atas tiga kelompok,
yaitu :
1. Mereka yang DM diketahui saat hamill yang identik dengan DM gestasi.
2. DM pragestasi yang tanpa komplikasi atau dengan komplikasi ringan.
3. DM pragestasi yang disertai denngan komplikasi berat seperti nefropati,
retiopati dan
penyakit jantung koroner.

5. KRITERIA DIAGNOSIS
Secara klinis diagnosis DM dapat dilakukan oleh adanya gejala yang khas,
yaitu : rasa haus berlebihan, sering kencing, sering mengalami infeksi berulang,
berat badan turun tanpa sebab yang jelas. Dengan adanya hiperglikemia pada satu
kali pemeriksaan glukosa plasma sewaktu sesuai dengan study group WHO
1985. Tes toleransi glukosa oral (TTGO) diperlukan apabila glukosa sewaktu
tidak jelas menunjukkan diagnosis DM.
A. Kriteria diagnosis ADA 1997
Sampai akhir tahun 1997 kriteria diagnosis yang dipakai adalah kriteria
WHO tahun 1980/1985.Mulai akhir tahun 1997 American Diabetes Association
(ADA) memperkenalkan kriteria diagnosis DM yang baru. Perbedaan utama
dengan kriteria diagnosis WHO 1985 hanya pada kadar glukosa plasma puasa
saja. WHO 1985 memberikan batasan glukosa plasma puasa untuk DM adalah >
140 mg/dl, pada kriteria ADA kadar glukosa plasma puasa >126 mg/dl.
Perubahan kriteria ini didasarkan pada alasan bahwa :
1. Pengukuran glukosa plasma puasa lebih mudah dilakukan.
2. Melakukan TTGO tidak praktis dan perlu waktu untuk menguji.
3. Komplikasi kronik pada mata berupa retinopati lebih banyak berhubungan
dengan
kadar glukosa plasma puasa
B. Kriteria diagnosis WHO 1999
Tahun 1999 WHO melakukan perubahan kriteria diagnosis DM yang
merupakan perbaikan dari kriteria yang dibuat oleh NDDG (National Diabetes
Data Group) dan WHO tahun 1985 yang pada dasarnya mengikuti ADA 1997
dengan menurunkan kadar glukosa plasma puasa.
Setelah pertemuan expert committee on the diagnosis and classification
of diabetes mellitus yang melaporkan bahwa diagnosis DM dapat dilakukan
dengan 3 cara yaitu ;
1. Glukosa plasma sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/L )
2. Glukosa plasma puasa > 126 mg/dl (7,0 mmol/L)
3. Kadar glukosa plasma 2 jam setelah beban glukosa 75 gram yaitu > 200 mg/dl
(11,1 mmol/L)

Kriteria baru diagnosis diabetes menurut ADA 1997 dan WHO1999

Glukosa plasma dalam mg/dl

Puasa TTGO Sewaktu Gejala

ADA 1997

Normal < 110 - - -

DM > 126 - - -

IFG/GDPT 110 - 126 - - -

WHO 1999

Normal < 110 - - -

DM

1 > 126 - - -

2 - > 200 - -

3 - - > 200 3P,


BB trn

TGT - 140 - < 200 - -

Keterangan : IFG = Impaired Fasting Glucose


GDPT = Glukosa darah puasa terganggu
TGT = Toleransi glukosa terganggu

6. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan DMG sebaiknya dilaksanakan secara terpadu antara
seorang ahli penyakit dalam, ahli obstetri, ahli gizi dan dokter spesialis anak.
Tujuan pengobatan adalah untuk menurunkan angka kesakitan maternal, kesakitan
dan kematian perinatal dan hanya dapat tercapai apabila keadaan normoglikemia
dicapai dan dipertahankan selama kehamilan sampai persalinan.
Sasaran normoglikemia pada DMG adalah kadar glukosa plasma
vena puasa < 105 mg% dan dua jam sesudah makan < 120 mg%. Untuk
mencapainya dapat dilakukan dengan :
a. Pengaturan diet yang sesuai dengan kebutuhan yang diatur oleh ahli gizi.
b. Memantau glukosa darah sendiri di rumah dan edukasi
c. Pemberian insulin bila belum tercapai normoglikemia dengan diet

Pengaturan diet
Diet merupakan tahap awal penting pada penatalaksanaan DMG dan
bertujuan
a) mencapai normoglikemia dan
b) untuk menghasilkan pertumbuhan dan perkembangan janin yang optimal.
Perlu selalu diingat bahwa menyusun diet pada DMG tidak semata-mata
untuk mencapai normoglikemia, tetapi pengaturan diet baik jumlah kalori maupun
komposisi makanan harus diperhitungkan untuk pertumbuhan janin agar
menghasilkan bayi yang sehat.
1. Jumlah kalori dan komposisi makanan
Jumlah kalori yang dibutuhkann antara 30-35 kcal/kg berat badan ideal
yang diperhitungkan dengan menggunakan indeks Broca (1800 2500 kcal/hari).
Jumlah kalori ini terdiri atas 60-70% hidrat arang, 10-15% protein dan sisanya
lemak 20-25%. Jumlah kalori tersebut diberikan dalam enam kali makan .
2. Memantau diabetes terkendali
Di klinik yang maju, semua pasien DMG diajar untuk memantau glukosa
darah sendiri di rumah. Pemantauan glukosa darah mandiri (PGDM) tampaknya
lebih unggul dibandingkan pemantauan intermiten di rumah sakit. PGDM
dianjurkan bagi pasien dengan pengobatan insulin atau pemicu sekresi insulin.
Hal ini mempermudah mencapai normoglikemia dan bagi mereka yang mendapat
tambahan insulin akan memberikan keuntungan untuk mencegah reaksi
hipoglikemia berat. Waktu pemeriksaan PGDM bervariasi tergantung pada terapi.
Waktu yang bermanfaat untuk pemantauan adalah saat sebelum makan dan waktu
tidur (untuk menilai risiko hipoglikemia), 2 jam setelah makan (menilai ekskursi
maksimal glukosa selama sehari), diantara siklus tidur (untuk menilai adanya
hipoglikemia nokturnal yang kadang tanpa gejala), dan ketika mengalami gejala
seperti hypoglicemic spells. Disamping itu dilakukan juga pemeriksaan HbA1c
secara berkala setiap 8 - 12 minggu untuk menilai efek terapi sebelumnya. Kriteria
pengendalian DM baik bila HbA1c < 6,5%, sedang bila 6,5 8% dan buruk bila >
8%. Pemeriksaan dianjurkan sedikitnya 2 kali setahun.
3. Insulin
Jika dengan pengaturan makan selama dua minggu tidak mencapai sasaran
normoglikemia maka insulin harus segera dimulai. Pasien DMG yang ditemukan
setelah umur kehamilan 28 minggu dengan kadar glukosa darah puasa. > 130 mg
% dianjurkan agar segera dimulai dengan insulin oleh karena pengobatan setelah
30 minggu sulit untuk mencegah hiperplasia sel beta dan hiperinsulinemia janin.
Umumnya insulin dimulai dengan dosis kecil, dan meningkat dengan
meningkatnya usia kehamilan. Insulin yang dipakai adalah human insulin. DMG
dengan hiperglikemia hanya pada pagi hari, cukup diberikan suntikan insulin kerja
menengah sebelum tidur malam. Pasien dengan hiperglikemia pada keadaan puasa
maupun sesudah makan diberikan insulin kombinasi kerja menengah dan kerja
cepat, pagi dan sore hari. Dosis insulin diperkirakan antara 0,5-1,5 U/kg berat
badan, 2/3 diberikan pagi hari dan 1/3 pada sore hari. Hanya pada keadaan
tertentu dimana belum terkendali dengan pemberian 2 kali perlu diberikan 4 kali
sehari yaitu 3 kali insulin kerja cepat jam sebelum makan dan insulin kerja
menengah pada malam hari sebelum tidur
Cara Pemberian Insulin Berdasarkan Kadar Glukosa Darah Setelah Gagal
Dengan Diet

Kadar Pemberian Insulin


Glukosa
7.00 13.00 19.00 22.00
Darah
GDP tinggi, 2
jam sesudah - - - M
makan normal
GDP dan 2
C-M C-M
jam sesudah
C C C M
makan tinggi
Catatan : C = Insulin kerja cepat
M = Insulin kerja menengah
Kombinasi insulin kerja cepat dan menengah biasanya diberikan 2/3
dosis pagi dan 1/3 dosis sore hari.

7. OBAT ANTIDIABETES ORAL PADA KEHAMILAN


Obat oral merupakan alternatif pragmatis untuk terapi insulin pada
kehamilan karena obat oral mudah untuk dikelola dan non-invasif dan karena itu
mudah digunakan. Penelitian pada tahun 2000, banyak ahli dan organisasi di
Amerika Serikat (misalnya, Workshop Internasional Kelima Gestational Diabetes
dan Diabetes Amerika Utara di Grup Studi Kehamilan) telah mendukung
penggunaan glibenklamid (sulfonilurea) sebagai alternatif terapi farmakologi
terhadap insulin selama kehamilan.
Pengenalan obat baru pada kehamilan akan meningkatkan kekhawatiran
tentang keselamatan janin dan ibu. Bukti utama bahwa obat tidak dapat
mempengaruhi janin selama kehamilan didasarkan pada ketidakmampuan untuk
melewati plasenta. Mayoritas obat yang digunakan dalam kehamilan melewati
plasenta. Jadi, bahkan jika obat baru melintasi plasenta, masih harus dibuktikan
bahwa hal itu akan menimbulkan efek teratogenik pada janin dalam rahim. Jika
tidak ada efek buruk pada janin, obat dapat digunakan.
Glibenklamid tidak menembus plasenta. Glibenklamid telah digunakan
dengan aman pada kehamilan tanpa efek yang merugikan pada janin. Sebaliknya,
metformin, rosiglitazone, pioglitazone dan bebas menyeberangi placenta. Dalam
kasus metformin dengan pasien yang memiliki sindrom ovarium polikistik.
Glibenklamid merupakan obat antidiabetika golongan sulfonylurea yang bekerja
dengan cara menstimulasi sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang
tersimpan, dan karena itu obat golongan ini hanya bermanfaat pada pasien yang
masih mempunyai kemampuan untuk mensekresi insulin.
Dosis awal adalah 2,5 mg oral di pagi hari. Jika tingkat target glikemia
tidak tercapai, tambahkan 2,5 mg dengan dosis pagi. Jika diindikasikan (setelah 3-
7 hari), tambahkan 5 mg di malam hari. Setelah itu, meningkatkan dosis secara
bertahap 5-mg sampai maksimal 20 mg / hari. Jika pasien tidak mencapai tingkat
target kontrol glikemik, tambahkan insulin long-acting untuk rejimen atau
menetapkan pasien untuk terapi insulin saja.
Kebanyakan obat antidiabetes oral dimetabolisme dengan partisipasi
enzim sitokrom P450 dari kelas 2C, yang secara genetik polimorfik. Sedangkan
sulfonilurea sebagian besar adalah substrat CYP2C9. Untuk glibenklamid,
kontribusi polimorfisme genetik CYP2C9 untuk farmakokinetik dan efek
menurunkan glukosa darah sangat baik diteliti. Akibatnya, pemantauan secara
seksama dampak hipoglikemik pada pemberian tolbutamid pada pasien
heterozigot dan homozigot terutama orang-orang untuk CYP2C9 * 3, yang
merupakan alel dengan penurunan aktivitas enzim, direkomendasikan. Selain itu,
penyesuaian dosis untuk pembawa polimorfisme CYP2C9 * 3 diusulkan menjadi
setengah dan 20% dari dosis standar glibenklamide, masing-masing, untuk
operator heterozigot dan homozigot dari CYP2C9 * 3. Pada heterozigot untuk alel
CYP2C9 * 3 glibenclamide menunjukkan AUC 280% lebih tinggi dan homozigot
CYP2C9 * 3 menunjukkan AUC 267% lebih tinggi.
Dosis pada heterozigot, dosis dikurangi menjadi 50-80%. Dengan
demikian, telah dianggap bahwa masing CYP2C9 penyesuaian dosis berdasarkan
genotipe dapat mengurangi kejadian efek samping mungkin. Pada saat yang sama,
kehadiran lain yang umum CYP2C9 varian alel yaitu CYP2C9 * 2 tampaknya
tanpa relevansi klinis untuk terapi dengan sulfonilurea karena telah dianggap
mengurangi aktivitas enzim CYP2C9 untuk sebagian kecil saja.
DAFTAR PUSTAKA

Langer, Oded. 2007. Oral Antidiabetic Drugs in Pregnancy : The Other


Alternative. Available online at
spectrum.diabetesjournals.org/content/20/2/101.full (Diakses pada tanggal
15 Mei 2013).
Scharte, Dorota Tomalik. 2008. Application of Pharmacogenetics in Dose
Individualization in Diabetes, Psychiatry, Cancer, and Cardiology.
Available online at www.ifcc.org/ifcc-communications-publications-
division-(cpd)/ifcc-publications/ejifcc-(journal)/e-journal-volumes/vol-19-
n-1/application-of-pharmacogenetics-in-dose-individualization-in-
diabetes-psychiatry-cancer-and-card/ (Diakses pada tanggal 15 Mei
2013).
Schwartz, U. I. 2003. Clinical Relevance of Genetics Polymorphisms in The
Human CYP2C9 Gene. Available online at
faculty.ksu.edu.sa/hisham/Documents/Research%20Docs/Clinical
%20relevance%20of%20genetic%20polymorphisms.pdf (Diakses pada
tanggal 15 Mei 2013).
Swen, J. J., Wessels, J. A. M., Krabben, A., Assendelft, W. J. J and Guchelaar, H.
J. 2010. Time-to-stable Dose of Sulfonylureas in Primary Care Patients
with Type 2 Diabetes Mellitus. Available online at
https://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/18263/07.pdf?
sequence=10 (Diakses pada tanggal 15 Mei 2013).

Vous aimerez peut-être aussi