Vous êtes sur la page 1sur 16

ASPEK BARU DALAM PENANGANAN PNEUMONIA

Elena Prina, Adrian Ceccato, Antoni Torres


Terjemahan jurnal: New Aspect in The Management of Pneumonia. Prina et al. Critical
care (2016) 20:267 page 1-9

Abstrak

Meskipun perbaikan dalam penanganan pneumonia community-acquired (CAP),

morbiditas dan angka kematian masih tinggi, terutama pada pasien dengan penyakit yang lebih

berat. Kebutuhan antibiotik awal dan ketepatan tetap menjadi landasan dalam pengobatan CAP.

Namun, dua aspek tampaknya berkontribusi pada hasil yang lebih buruk: sebuah reaksi inflamasi

yang tidak terkontrol dan respon imun yang tidak memadai. Perawatan anjuran, seperti

kortikosteroid dan imunoglobulin intravena, diusulkan untuk mengimbangi efek ini. Penggunaan

kortikosteroid pada pasien dengan CAP berat serta reaksi inflamasi yang kuat dapat mengurangi

waktu stabilitas klinis, risiko kegagalan pengobatan, dan risiko berkembangnya respiratory

distress syndrome. Penggunaan imunoglobulin intravena tampaknya memperkuat respon imun

terhadap infeksi khususnya pada pasien dengan kadar antibodi yang tidak cukup dan diperkaya

oleh IgM kini telah digunakan; Namun, studi lebih lanjut diperlukan untuk melihat dampaknya

terhadap hasil dan untuk menentukan populasi yang akan menerima manfaat lebih.

Latar Belakang

Meskipun penggunaan awal pengobatan antibiotik yang tepat, mortalitas terkait dengan

pneumonia community-aquired (CAP) masih tinggi, terutama pada pasien dengan penyakit yang

berat. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa sekitar 18% dari pasien rawat inap untuk

CAP cocok dengan kriteria CAP berat. Pasien-pasien ini lebih sering dijumpai dengan syok

septik dan membutuhkan ventilasi mekanis, dengan angka kematian sekitar 29%. Selain infeksi,

1
syok septik umumnya diduga disebabkan oleh respon pro-imflamasi berlebihan atau tidak

terkontrol

Pneumonia adalah penyakit kompleks yang disebabkan oleh aksi patogen lokal dan

respon inflamasi sistemik dari pasien. Sebuah respon inflamasi kuat telah terbukti berhubungan

dengan kegagalan pengobatan dan mortalitas. Secara khusus, interleukin (IL) -6, IL-8, dan IL-10

telah terdeteksi pada pasien dengan pneumonia berat dan kelebihan IL-6 dan IL-10 dikaitkan

dengan peningkatan mortalitas (dari 4,8 hingga 11,4%).

Selain itu, pada beberapa pasien dengan CAP, sitokin berlebihan dapat dilepaskan

(disebut Reaksi Jarisch-Herxheimerlike) setelah inisiasi antibiotik, menyebabkan kerusakan yang

mirip dengan infeksi lain ditandai dengan loading bakteri (misalnya, meningokokus meningitis)

Aspek lain mengenai respon imun terhadap Infeksi adalah bahwa rendahnya tingkat

imunoglobulin yang ditemukan, terutama pada pasien dengan episode pneumonia berulang, dan

mungkin bertanggung jawab pada kecenderungan infeksi berulang dan hasil yang lebih buruk.

Pertimbangan bahwa patogen resisten terhadap pengobatan antibiotik empiris

umumnya tidak menyebabkan CAP, dua aspek tampaknya berkontribusi hasil yang lebih buruk:

sebuah reaksi inflamasi yang tidak terkontrol dan respon imun yang tidak memadai. perawatan

ajuvan, seperti kortikosteroid dan imunoglobulin intravena, telah diusulkan untuk mengimbangi

efek ini.

Kortikosteroid pada CAP

Kortikosteroid: Mekanisme aksi

2
Selama infeksi, kortikosteroid endogen dihasilkan oleh aktivasi hipotalamus-hipofisis

axis adrenal dengan tujuan mengendalikan peradangan yang berlebihan. Kortisol bebas, yang

merupakan bentuk aktif dari hormon, menginduksi ekspresi protein anti-inflamasi dan

menghambatan protein pro-inflamasi.

Glucocorticosteroid mereproduksi efek yang mirip dengan endogen kortisol: memiliki

aktivitas anti-inflamasi dengan merubah gen dan menghentikan mekanisme yang menghasilkan

penurunan sitokin inflamasi dan kemokin. Kortikosteroid memiliki efek pada struktur sel-sel

saluran pernafasan: mereka bertindak pada sel epitel dengan menghambat faktor transkripsi

seperti NF-kB, pada kelenjar lendir dengan cara mengurangi sekresi lendir, dan pada sel-sel otot

polos dengan meningkatkan reseptor 2.

Aspek lain yang dapat berkontribusi pada efek pengobatan kortikosteroid adalah terkait

dengan kaitan insufisiensi adrenal atau fungsi adrenal yang tidak memadai dalam beberapa kasus

CAP berat. Dalam model hewan menggunakan ventilasi mekanik dengan pneumonia akibat

Pseudomonas aeruginosa, kami menunjukkan adanya bakteri mengendap di bagian bawah

jaringan paru-paru yang berat dan ditemukan hasil histologis peneumonia yang tidak berat pada

kelompok diobati dengan antibiotik ditambah kortikosteroid di dibandingkan dengan kelompok

diobati dengan antibiotik ditambah plasebo, menunjukkan potensi efek kortikosteroid yang

menguntungkan pada pengisian bakteri dan tingkat keparahan jaringan paru-paru, selain respon

inflamasi sistemik. Dalam acute respiratory distress syndrome (ARDS), munculnya sitokin

dengan kadar tinggi terkait dengan risiko tinggi infeksi nosokomial karena biomarker inflamasi

muncul untuk mendukung pertumbuhan bakteri. Meduri et al., dalam sebuah penelitian in vitro,

menunjukkan bahwa selain methylprednisone, monosit yang dirangsang oleh lipopolisakarida

dapat meningkatkan kemampuan untuk menekan replikasi bakteri.

3
Penelitian Evaluasi Efek Kortikostreoid Pada CAP

Penelitian utama pada kortikosteroid pneumonia telah diringkas dalam Tabel 1 [15-26].

Beberapa penelitian telah mengevaluasi efek kortikosteroid dalam pengobatan CAP. Kajian

pertama temasuk kajian meta-analisis populasi heterogen mengevaluasi hasil yang berbeda,

sehingga data menjadi kontroversial.

Sebuah meta-analisis Cochrane dipilih enam randomized cotroled trails (RCT) dalam

penggunaan kortikosteroid pada pneumonia termasuk dalam jumlah total 437 peserta.

Penggunaan kortikosteroid mempercepat resolusi gejala dan waktu stabilitas klinis (didefinisikan

sebagai peningkatan normalisasi X-ray dada dan normalisasi suhu, rata-rata pernafasan, serta

marker inflamasi). Kortikosteroid tidak memberikan manfaat dalam hal mortalitas dan penulis

menyimpulkan bahwa hal itu tidak mungkin untuk membuat rekomendasi definitif karena

penelitian dianalisis dalam cara meta-analisis tidak memberikan bukti yang kuat. Penelitian

meta-analisis lainya termasuk sembilan RCT pada pasien sebanyak 1.001 menunjukkan bahwa

penggunaan kortikosteroid tidak berhubungan dengan mortalitas secara signifikan dan lebih

rendah mengingat semua rasio pasien (odds (OR) 0,62, 95% confidence interval (CI) 0,37-1,04;

p = 0,07). Namun, manfaat kelangsungan hidup terdeteksi dalam subkelompok pasien dengan

CAP berat (OR 0,26, 95% CI 0,11-0,64; p = 0,003) dan di antara pasien yang menerima

kortikosteroid lebih lama pengobatan (OR 0,51, 95% CI 0,26-0,97; p = 0,04). Memperpanjang

pengobatan kortikosteroid didefinisikan sebagai lebih dari 5 hari pengobatan kortikosteroid dan

maksimum 9 hari. Dalam hal efek samping, kortikosteroid meningkatkan risiko hiperglikemia

(OR 2,64, 95% CI 1,68-4,15; p < 0,001) tetapi tidak meningkatkan risiko superinfeksi (OR 1,36,

95% CI 0,65-2,84; p = 0,41) atau perdarahan saluran cerna (OR 1,67, 95% CI 0.41- 6.80; p =

0,47).

4
Kesimpulannya, penelitian ini tidak mampu memberikan hasil yang pasti mengenai

penggunaan kortikosteroid pada CAP. Keterbatasan utama mengacu pada dimasukkannya

populasi heterogen dalam tingkat keparahan (dari ringan sampai parah) dan tingkat respon

inflamasi (misalnya, didefinisikan oleh tingkat C-reactive protein (CRP)) yang digunakan,

dalam beberapa kasus, dosis kortikostreoid yang tidak memadai (Rendah atau terlalu tinggi).

Percobaan Kontrol Acak

Dua RCT multicenter baru-baru ini telah dipublikasikan mengenai penggunaan

kortikosteroid di CAP.

Multicenter menggunakan percobaan double-blind, randomized, placebo controled-trial,

total 785 pasien dengan CAP randomized menerima kortikosteroid oral (50 mg prednisone

selama 7 hari) atau plasebo sebagai terapi tambahan. Pada kelompok tersebut dilaporkan bahwa

kortikosteroid dengan waktu yang lebih singkat dalam mencapai stabilitas klinis dibandingkan

dengan kelompok plasebo (3 hari dibandingkan dengan 4,4 hari). Dalam studi tersebut, waktu

untuk stabilitas klinis didefinisikan sebagai hari sampai mencapai tanda-tanda vital stabil hingga

24 jam atau lebih lama (termasuk normalisasi suhu, denyut jantung, laju pernapasan spontan,

tekanan darah sistolik, status mental, kemampuan asupan oral, dan oksigenasi diruang yang

memadai). Komplikasi pneumonia tidak berbeda secara signifikan dalam kelompok sedangkan

kelompok prednison lebih sering memperlihatkan hiperglikemia membutuhkan pengobatan

insulin (19 vs 11%; OR 1,96; 95% CI 1,31-2,93; p = 0,001). Namun, Efek samping lain yang

biasanya terkait dengan Penggunaan kortikosteroid (seperti perdarahan gastrointestinal,

nosokomial infeksi) jarang ditemukan dan terjadi sama pada kedua kelompok. Angka kematian,

dianggap sebagai hasil sekunder penelitian, tidak berbeda pada kedua kelompok (n = 16 (4%)

5
pada kelompok prednison vs n = 13 (3%) kelompok plasebo; p = 0.57). Penelitian ini menyajikan

beberapa keterbatasan, khususnya seperti hasil rendah stabilitas klinis, termasuk beberapa item

seperti temperatur yang dapat dipengaruhi oleh penggunaan kortikosteroid. Selain itu, sebagian

besar pasien memiliki presentasi penyakit ringan, sehingga mengurangi hasil validasi untuk

penyakit yang paling parah.

Kami baru-baru ini menerbitkan sebuah RCT multisenter di mana kami membandingkan

pasien dengan CAP berat dan respon inflamasi yang kuat (didefinisikan oleh CRP> 150 mg / L)

diobati dengan kortikosteroid ditambah antibiotik dibandingkan dengan plasebo ditambah

dengan antibiotik. Kami menggunakan methylprednisolone intravena pada dosis 0,5 /mg/kg

setiap jam 12 selama 5 hari. Kami hanya memasukkan pasien CAP berat, didefinisikan menurut

kriteria American Thoracic Society yang dimodifikasi atau dengan kelas risiko Pneumonia

Severity Index V

Pasien yang menerima kortikosteroid memiliki kegagalan pengobatan yang lebih rendah

dibandingkan dengan kelompok plasebo (13 vs 31%, masing-masing; p = 0,02). perbedaan ini

karena kegagalan pengobatan akhir (berkembang antara 72 dan 120 jam setelah mulai

pengobatan) dan pada pasien dalam kelompok kortikosteroid tertentu menunjukkan efek yang

lebih jelas pada reduksi radiologi (2 vs 15%; p = 0,007). Memang, penggunaan kortikosteroid

mengurangi risiko kegagalan pengobatan sebesar 18% (95% CI 3-32%) analisis dimaksudkan

untuk mengobati. Hubungan antara kegagalan pengobatan, dengan radiografi sebagai kriteria,

dan mortalitas telah ditunjukkan oleh Menendez et al. Efek protektif kortikosteroid pada

perkembangan radiografi bisa diartikan sebagai efek mencegah dalam perkembangan ARDS atau

memblokir reaksi Jarisch-Herxheimer. Tidak ada perbedaan signifikan yang diamati dalam

mortalitas antara kedua kelompok (10% di methylprednisolone dibandingkan 15% pada

6
kelompok plasebo; p = 0,37); namun, penelitian ini tidak didukung pada mortalitas karena ini

adalah bukan hasil primer. Yang penting, kami mendeteksi ada efek samping signifikan pada

pasien yang menerima kortikosteroid. Kekuatan penelitian ini adalah populasi homogen dengan

CAP berat dan respon inflamasi yang kuat dan penggunaan hasil (kegagalan pengobatan) terkait

erat dengan mortalitas. Keterbatasan penelitian ini adalah periode perekrutan yang panjang.

Meta-analisis Terbaru

Sebuah meta-analisis terkini termasuk sembilan RCT (1667 pasien) dan enam studi

kohort (4095 pasien) menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid tidak terkait dengan

penurunan yang signifikan dalam angka kematian pada pasien dengan CAP (Risiko rasio (RR)

0,72; 95% CI 0,43-1,21; bukti rendah) atau dalam subkelompok pasien dengan CAP berat (RCT

RR 0,72, 95% CI 0,43-1,21, bukti rendah; kohort studi RR 1,00, 95% CI 0,86-1,17). Namun,

kortikosteroid memproduksi manfaat dalam hal pengurangan ARDS (RR 0,21, 95% CI 0,08-

0,59), lama rawat inap dan perawatan ICU, durasi antibiotik IV, dan waktu untuk stabilitas klinis

tanpa peningkatan yang signifikan dalam sisi efek.

Sebaliknya, penelitian meta-analisis lain menunjukkan pengurangan semua penyebab

mortalitas pada pasien yang menerima kortikosteroid (12 percobaan, 1974 pasien, RR 0,67 [95%

CI 0,45-1,01], perbedaan risiko [RD] 2,8%, bukti sedang). Selain itu, analisis mengkonfirmasi

penurunan risiko ARDS (RR 0,24 [95% CI 0,10-0,56]), kebutuhan ventilasi mekanik, penurunan

waktu stabilitas klinis dan lama perawatan di rumah sakit, serta episode peningkatan

hiperglikemia memerlukan pengobatan tetapi tidak ada peningkatan dalam frekuensi perdarahan

gastrointestinal.

7
Kesimpulannya, semua studi ini mengkonfirmasi bahwa penggunaan kortikosteroid pada

CAP dikaitkan dengan beberapa hal bermanfaat berikut ini: mengurangi lama perawatan di

rumah sakit, mengurangi waktu stabilitas klinis, dan pencegahan ARDS.

Jawaban pasti belum tersedia mengenai efek kortikosteroid pada pengurangan mortalitas

dan penelitian lebih besat diperlukan untuk menentukan efek mortalitas. Secara khusus, beberapa

meta-analisis menunjukkan bahwa kortikosteroid dapat menurunkan angka kematian pada

subkelompok pasien dengan CAP berat; Namun, data ini belum telah dikonfirmasi dalam studi

lain

Penggunaan Kortikosteroid Pada Pneumonia Disebabkan Influenza Atau Patogen Lainya

Efek kortikosteroid dalam beberapa infeksi tertentu menjadi subyek perdebatan. Sebagai

contoh, sebuah meta-analisis menunjukkan manfaat dalam pneumonia Pneumocystic jiroveci

meskipun hasil ini berasal dari penelitian RCT kecil.

Pada pasien dengan CAP karena infeksi virus, efek dari kortikosteroid masih belum jelas.

Pada infeksi H1N1, penggunaan kortikosteroid dikaitkan dengan insiden pneumonia dan

kematian yang lebih tinggi. Dalam penelitian deskriptif di Cina pneumonia viral influenza A

(H7N9), pada subkelompok pasien yang menerima dosis kortikosteroid yang sangat tinggi (>

150 mg /d methylprednisolone atau setara) mortalitas meningkat tapi tidak ada hasil signifikan

yang lebih buruk terdeteksi untuk dosis kortikosteroid rendah (25-150 mg / d methylprednisolone

atau setara).

Sebuah meta-analisis terbaru Cochrane kortikosteroid sebagai terapi tambahan pada

influenza ditemukan bahwa tidak cukup bukti untuk menentukan kemanjuran kortikosteroid pada

pasien ini. Delaney et al. baru-baru ini menerbitkan sebuah studi multicenter observasional

8
pasien dengan influenza A (H1N1pdm09) terkait penyakit kritis. Mortalitas rumah sakit lebih

tinggi pada pasien yang menerima kortikosteroid dibandingkan dengan pasien tanpa pengobatan

kortikosteroid (25,5 vs 16,4%, p = 0,007). Namun, setelah disesuaikan, para penulis tidak

menemukan hubungan yang signifikan antara kortikosteroid dan mortalitas pada populasi ini.

Tampaknya bahwa penggunaan kortikosteroid dikaitkan dengan angka kematian lebih

tinggi tetapi hasil ini harus hati-hati ditafsirkan karena hanya studi observasional kualitas rendah

dan tidak diidentifikasi untuk analisis RTCs. Studi lebih lanjut diperlukan untuk memperjelas

bagian ini

Efek Samping Kortikostreoid

Efek samping utama yang terkait dengan kortikosteroid, terutama penggunaan jangka

panjang, adalah hiperglikemia, miopati, berat badan naik, gigi berdarah, dan osteopenia. Serta

pada efek samping ini, kortikosteroid memiliki efek imunosupresif kuat, meningkatkan

kekhawatiran pada penggunaannya dalam infeksi akut, meskipun efek potensial mereka dalam

mengontrol respon inflamasi berlebihan. Efek immunosuppressant kortikosteroid berkaitan

dengan dosis dan durasi pengobatan. Misalnya, penggunaan 40 mg prednisolon per hari selama

lebih dari 1 minggu atau 20 mg prednisolon atau setara per hari selama satu bulan dapat

menghasilkan imunosupresi. Pada infeksi akut, pengginaan dosis rendah untuk waktu yang

singkat (beberapa hari) mungkin berguna untuk mengurangi peradangan dan mungkin tidak

menyebabkan begitu banyak bahaya dalam penyebab imunosupresi. Selain itu, waktu singkat

pengobatan kortikosteroid dapat mengurangi risiko efek samping.

Hiperglikemia merupakan efek yang sering dikaitkan dengan pengunaan kortikosteroid.

Hal ini terjadi pada sekitar 50% pasien rumah sakit yang menerima dosis tinggi kortikosteroid

9
dan pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (COPD) menerima pengobatan kortikosteroid

oral yang diberikan lebih dari lima kali lipat berisiko berkemabangnya hiperglikemia.

Hiperglikemia dikaitkan dengan mortalitas yang lebih tinggi dan, khususnya, untuk

hiperglikemia sekunder kortikosteroid meningkatkan risiko kematian sebesar 10% untuk setiap

peningkatan 18 mg / dL glukosa darah setelah disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, dan

diabetes mellitus. Deteksi hiperglikemia dalam 24 jam pertama pada pasien dengan reaktivasi

PPOK dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk. Di sisi lain, manajemen yang ketat dari kadar

glukosa pada morbiditas dan mortalitas pada pasien kritis dirawat di ICU bedah menurun. Untuk

pasien di ICU, manfaat ditunjukkan dalam hal morbiditas tapi tidak mortalitas.

Miopati adalah efek samping akut lainnya yang berhubungan dengan pengobatan

kortikosteroid kronis, terutama pada pasien tua, pasien dengan kanker dan penyakit otot

pernafasan, dan pasien tidak aktif secara fisik. Kortikosteroid menginduksi miopati dengan

mengurangi sintesis protein dan meningkatkan pemecahan protein. Mekanisme ini menyebabkan

atrofi otot dengan pengurangan kadungan protein myofibrillar pada daerah serat cross-sectional.

Perkembangan miopati menghasilkan kelemahan otot perifer dengan durasi yang lebih lama dari

ventilasi mekanis serta peningkatan risiko infeksi nosokomial.

Kortikosteroid Dan Makrolide

Ada kesenjangan pengetahuan mengenai apakah efek anti-inflamasi kortikosteroid

yang menguntungkan dapat diperkuat oleh penggunaan suatu makrolide, yang memiliki efek

imunomodulator.

Strategi antibiotik terbaik untuk pengobatan CAP saat ini menjadi subyek perdebatan.

Untuk CAP berat, guidline internasional menyarankan penggunaan dua antibiotik seperti -

10
laktam plus makrolida atau -laktam ditambah kuinolon respiratori (levofloxacin atau

moksifloksasin). Namun, banyak studi observasional dan meta-analisis ini menunjukkan bahwa

penggunaan -laktam ditambah makrolida adalah pilihan terbaik karena terkait dengan hasil

yang lebih memuaskan dan mortalitas yang lebih rendah pada pasien dengan CAP berat,

terutama di CAP pneumokokus bakteremik. Mekanisme yang bertanggung jawab untuk efek

menguntungkan terkait dengan penggunaan makrolida masih tidak jelas dan telah dikaitkan pada

bagian efek imunomodulator, seperti yang diamati di beberapa penelitian. Model penelitian In

vitro dan in vivo telah menunjukkan bahwa makrolid menghambat imflamasi sekresi sitokin dan

struktural sel dari saluran pernapasan.

Pada pasien yang dirawat dengan CAP tidak berat, monoterapi -laktam tidak kalah

memuaskan dengan penggunaan -laktam plus makrolida atau fluorokuinolon dalam hal 90-hari

kematian.

Dalam percobaan lain, penulis tidak menemukan non-inferioritas dari monoterapi -

laktam dibandingkan dengan -laktam plus macrolide pada pasien dengan CAP sedang-berat,

dan dipertimbangkan sebagai hasil proporsi pasien yang tidak mencapai stabilitas klinis dalam 7

hari.

Dalam model tikus percobaan infeksi saluran pernapasan akibat bakteri Mycoplasma

pneumoniae, penggunaan klaritromisin dan deksametason lebih efektif daripada klaritromisin

tunggal dalam menurunnya kadar sitokin dan tanda-tanda histologis peradangan paru-paru. Studi

lain pada pasien dengan pneumonia non-respone menunjukkan pengurangan pada biomarker

inflamasi seperti IL-6 dan IL-8 pada pengambilan sampel lavage bronchoalveolar pada pasien

yang menerima pengobatan kortikosteroid ditambah macrolide [46].

11
Kombinasi dari makrolida plus kortikosteroid saat ini digunakan tanpa evaluasi ilmiah,

meskipun apa kita lakukan tidak tahu apakah kombinasi ini dapat menurunkan respon inflamasi

tingkat yang sangat rendah, sehingga meningkatkan risiko efek samping. Oleh karena itu kita

perlu terlebih dahulu menyelidiki efek kortikosteroid dan makrolida bersama-sama serta

menyediakan data yang dapat digunakan untuk mendukung indikasi klinis untuk kombinasi ini

pada CAP berat.

Kortikosteroid Pada Pasien COPD Dan Pneumonia

Kortikosteroid telah membuktikan manfaat dalam pengobatan eksaserbasi akut PPOK

dan adanya penyakit pernapasan kronis adalah alasan utama untuk menambahkan kortikosteroid

untuk pengobatan antimikroba pada pneumonia [47].

Pasien dengan PPOK dengan CAP disajikan berbeda dengan pola inflamasi awal

dibandingkan dengan pasien dengan CAP saja. Secara khusus, pada hari masuk ke rumah sakit,

pasien dengan PPOK memiliki tingkat lebih rendah pada Tumorb Necrosis Factor (TNF), IL-1,

dan IL-6 namun tidak ada perbedaan di tingkat CRP, prokalsitonin, IL-8, dan IL-10. Perbedaan

yang sebagian dimediasi oleh kortikosteroid. Bahkan, tingkat dari TNF- yang lebih rendah

bertahan setelah pasien menerima kortikosteroid inhalasi dan oral. Berbeda dengan hasil ini,

studi lain menunjukkan bahwa pasien PPOK dengan CAP yang telah menerima pengobatan

sebelumnya dengan kortikosteroid inhalasi memiliki tingkat TNF- lebih rendah setelah

disesuaikan untuk pembaur lainnya pada perbandingan populasi keseluruhan.

Selain itu, penelitian lain menemukan bahwa pada hari-hari 1 dan 3, pasien dengan

CAP dan riwayat COPD memiliki kadar tinggi CRP, prokalsitonin, TNF-, dan IL-6 yang lebih

12
signifikan dari pasien yang dirawat dengan COPD eksaserbasi akut. Hasil ini dipertahankan

setelah menyesuaikan farmakoterapi dihirup.

Kesimpulannya, pasien dengan CAP dan riwayat COPD mewakili populasi tertentu

dengan pola inflamasi yang berbeda dan selanjutnya penelitian diperlukan untuk memperjelas

penggunaan kortikosteroid pada pasien ini selama episode CAP, terutama pada mereka yang

menerima kortikosteroid inhalasi.

Efek Imunomodulator Quinolone

Fluoroquinolones juga telah menunjukkan efek imunomodulator.

In vitro, fluoroquinolones mendukung sintesis IL-2 tetapi hanya mengurangi produksi IL-

1 dan TNF.

Pada In vivo, mempengaruhi imunitas seluler dan humoral oleh respon halus sitokin. Selain itu,

fluoroquinolones tertentu meningkatkan hematopoiesis dengan meningkatkan konsentrasi

colony-stimulating faktor (CSF) di paru-paru dan di sumsum tulang. CSF memiliki peran dalam

respon terhadap infeksi. Bahkan, tikus CSF infeksi paru-paru berkembang dan penggunaan CSF

pada tikus neutropenia dengan candida mengurangi risiko kematian dan cedera paru-paru.

Studi lebih diperlukan, terutama di pengaturan klinis, untuk menilai efek

imunomodulator dari fluoroquinolones.

Kortikosteroid pada CAP Serta Kebutuhan Percobaan Baru

Meskipun RCT baru-baru ini memberikan data yang telah meningkatkan pengetahuan

kita mengenai kegunaan kortikosteroid di CAP berat, studi lebih lanjut diperlukan untuk

memperjelas efek kortikosteroid pada mortalitas. Bahkan, kita perlu mengklarifikasi

13
kortikosteroid dan dosis serta durasi terapi apa yang paling direkomendasikan dan untuk

menentukan populasi tertentu yang dapat diambil manfaat dari terapi tambahan ini, seperti CAP

berat dengan respon inflamasi yang kuat atau infeksi dengan spesifik patogen. Topik lain yang

menarik adalah efek dari terapi kombinasi dengan makrolida dan kortikosteroid dalam modulasi

respon imun. Kita punya beberapa data yang menjanjikan dari model eksperimental tapi lebih

banyak data yang diperlukan

Imunoglobulin Sebagai Terapi Anjuran Pada CAP

Pada pasien dengan sepsis dan syok septik, rendahnya tingkat imunoglobulin (Igs) yang

terdeteksi, dengan pengurangan di IgG antara 25 dan 61% dan penurunan IgM antara 19 dan

33% . Namun, meta-analisis baru-baru ini menunjukkan keterbatasan topik studi ini tentang cara

heterogen untuk mendefinisikan tingkat normal IgG.

Hypogammaglobulinemia dan tingkat subclass IgG rendah yang terlihat pada pasien

dengan episode pneumonia berulang dan mungkin bertanggung jawab untuk kecenderungan

infeksi berulang.

Sebuah studi kasus-kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan CAP memiliki tingkat

dari IgG lebih rendah (terutama IgG2 subclass) dan IgA pada diagnosis yang dibandingkan

dengan kelompok kontrol pasien sehat tanpa pneumonia. Rendahnya tingkat Igs bertahan di fase

penyembuhan sekitar 25% pasien. Hypogammaglobulinemia lebih sering ditemukan pada pasien

yang membutuhkan rawat inap dari pada pasien rawat jalan dan pada pasien dengan pneumonia

karena bakteri selain Streptococcus pneumoniae atau virus atau tanpa patogen isolasi.

Studi lain menegaskan bahwa infeksi virus yang berat karena H1N1 dikaitkan dengan

tingkat IgG2 subclass yang lebih rendah. Memang, tingkat yang lebih rendah dari Igs tampaknya

14
terkait dengan penyakit yang lebih berat, infeksi virus, atau infeksi bakteri selain Streptococcus

pneumoniae.

Alasan mengapa pasien dengan pneumonia dan sepsis dapat memiliki tingkat Igs

rendah masih belum jelas. Dua mekanisme yang berbeda mungkin terlibat: infeksi mungkin

bertanggung jawab pada hypogammaglobulinemia dengan menurunkan Igs atau munculnya

hypogammaglobulinemia mungkin menjadi penyebab infeksi karena memberikan kontribusi

sebagai respon pertahanan yang tidak memadai. Untuk alasan ini, baru-baru ini, telah

merekomendasikan bahwa Igs IV mungkin sebagai terapi tambahan yang efektif untuk

memodulasi respon imun pada pasien ini.

Beberapa percobaan telah mengevaluasi efek eksogen Igs sebagai perawatan tambahan

pada pasien dengan sepsis dan pada pasien dengan CAP tertentu. Namun, hasil studi ini masih

merupakan subyek perdebatan.

Sebuah meta-analisis melaporkan penurunan dalam mortalitas umum (sekitar 21%)

pada pasien dewasa dengan sepsis dan syok septik yang menerima poliklonal Igs dan efek yang

lebih jelas pada kematian dalam subkelompok yang menerima IgM-diperkaya imunoglobulin

menunjukkan penurunan mortalitas pada pasien yang menerima poliklonal intravena Igs,

meskipun efek positif ini menghilang hanya pada analisis uji coba dengan bias rendah. Sebuah

penelitian retrospektif besar di Jepang mengevaluasi efek imunoglobulin intravena sebagai

pengobatan tambahan pada pasien dengan syok septik karena pneumonia. Sebanyak 8264 pasien

dipelajari, di antaranya 1324 diobati dengan Igs intraven, dibandingkan dengan 6940 pasien yang

tidak menerima Igs. Tidak ada manfaat ditemukan dalam hal mortalitas pada kelompok pasien

menerima Igs

15
Percobaan tahap II multicenter randomized plasebo-terkontrol multisenter sedang

berlangsung dengan tujuan mengevaluasi khasiat dan keamanan persiapan immunoglobulin

diperkaya IgM (Pentaglobin , 12% IgM, IgA 12%, dan 76% IgG) sebagai pengobatan

tambahan pada pasien dengan mekanik ventilasi untuk CAP. Hasil primer adalah nomor hari

bebas ventilator.

Kesimpulan

Penggunaan kortikosteroid pada pasien dengan CAP berat dan reaksi inflamasi yang

kuat dapat mengurangi waktu stabilitas klinis dan risiko kegagalan pengobatan, terutama

perkembangan radiologi. Penggunaan imunoglobulin intravena dapat memperkuat kekebalan

respon tubuh terhadap infeksi, terutama pada pasien dengan tingkat antibodi yang memadai dan

ketika preparasi IgM digunakan. Namun, studi lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi efek

pada pasien dengan CAP.

16

Vous aimerez peut-être aussi