Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Abstrak
morbiditas dan angka kematian masih tinggi, terutama pada pasien dengan penyakit yang lebih
berat. Kebutuhan antibiotik awal dan ketepatan tetap menjadi landasan dalam pengobatan CAP.
Namun, dua aspek tampaknya berkontribusi pada hasil yang lebih buruk: sebuah reaksi inflamasi
yang tidak terkontrol dan respon imun yang tidak memadai. Perawatan anjuran, seperti
kortikosteroid dan imunoglobulin intravena, diusulkan untuk mengimbangi efek ini. Penggunaan
kortikosteroid pada pasien dengan CAP berat serta reaksi inflamasi yang kuat dapat mengurangi
waktu stabilitas klinis, risiko kegagalan pengobatan, dan risiko berkembangnya respiratory
terhadap infeksi khususnya pada pasien dengan kadar antibodi yang tidak cukup dan diperkaya
oleh IgM kini telah digunakan; Namun, studi lebih lanjut diperlukan untuk melihat dampaknya
terhadap hasil dan untuk menentukan populasi yang akan menerima manfaat lebih.
Latar Belakang
Meskipun penggunaan awal pengobatan antibiotik yang tepat, mortalitas terkait dengan
pneumonia community-aquired (CAP) masih tinggi, terutama pada pasien dengan penyakit yang
berat. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa sekitar 18% dari pasien rawat inap untuk
CAP cocok dengan kriteria CAP berat. Pasien-pasien ini lebih sering dijumpai dengan syok
septik dan membutuhkan ventilasi mekanis, dengan angka kematian sekitar 29%. Selain infeksi,
1
syok septik umumnya diduga disebabkan oleh respon pro-imflamasi berlebihan atau tidak
terkontrol
Pneumonia adalah penyakit kompleks yang disebabkan oleh aksi patogen lokal dan
respon inflamasi sistemik dari pasien. Sebuah respon inflamasi kuat telah terbukti berhubungan
dengan kegagalan pengobatan dan mortalitas. Secara khusus, interleukin (IL) -6, IL-8, dan IL-10
telah terdeteksi pada pasien dengan pneumonia berat dan kelebihan IL-6 dan IL-10 dikaitkan
Selain itu, pada beberapa pasien dengan CAP, sitokin berlebihan dapat dilepaskan
mirip dengan infeksi lain ditandai dengan loading bakteri (misalnya, meningokokus meningitis)
Aspek lain mengenai respon imun terhadap Infeksi adalah bahwa rendahnya tingkat
imunoglobulin yang ditemukan, terutama pada pasien dengan episode pneumonia berulang, dan
mungkin bertanggung jawab pada kecenderungan infeksi berulang dan hasil yang lebih buruk.
umumnya tidak menyebabkan CAP, dua aspek tampaknya berkontribusi hasil yang lebih buruk:
sebuah reaksi inflamasi yang tidak terkontrol dan respon imun yang tidak memadai. perawatan
ajuvan, seperti kortikosteroid dan imunoglobulin intravena, telah diusulkan untuk mengimbangi
efek ini.
2
Selama infeksi, kortikosteroid endogen dihasilkan oleh aktivasi hipotalamus-hipofisis
axis adrenal dengan tujuan mengendalikan peradangan yang berlebihan. Kortisol bebas, yang
merupakan bentuk aktif dari hormon, menginduksi ekspresi protein anti-inflamasi dan
aktivitas anti-inflamasi dengan merubah gen dan menghentikan mekanisme yang menghasilkan
penurunan sitokin inflamasi dan kemokin. Kortikosteroid memiliki efek pada struktur sel-sel
saluran pernafasan: mereka bertindak pada sel epitel dengan menghambat faktor transkripsi
seperti NF-kB, pada kelenjar lendir dengan cara mengurangi sekresi lendir, dan pada sel-sel otot
Aspek lain yang dapat berkontribusi pada efek pengobatan kortikosteroid adalah terkait
dengan kaitan insufisiensi adrenal atau fungsi adrenal yang tidak memadai dalam beberapa kasus
CAP berat. Dalam model hewan menggunakan ventilasi mekanik dengan pneumonia akibat
jaringan paru-paru yang berat dan ditemukan hasil histologis peneumonia yang tidak berat pada
diobati dengan antibiotik ditambah plasebo, menunjukkan potensi efek kortikosteroid yang
menguntungkan pada pengisian bakteri dan tingkat keparahan jaringan paru-paru, selain respon
inflamasi sistemik. Dalam acute respiratory distress syndrome (ARDS), munculnya sitokin
dengan kadar tinggi terkait dengan risiko tinggi infeksi nosokomial karena biomarker inflamasi
muncul untuk mendukung pertumbuhan bakteri. Meduri et al., dalam sebuah penelitian in vitro,
3
Penelitian Evaluasi Efek Kortikostreoid Pada CAP
Penelitian utama pada kortikosteroid pneumonia telah diringkas dalam Tabel 1 [15-26].
Beberapa penelitian telah mengevaluasi efek kortikosteroid dalam pengobatan CAP. Kajian
pertama temasuk kajian meta-analisis populasi heterogen mengevaluasi hasil yang berbeda,
Sebuah meta-analisis Cochrane dipilih enam randomized cotroled trails (RCT) dalam
penggunaan kortikosteroid pada pneumonia termasuk dalam jumlah total 437 peserta.
Penggunaan kortikosteroid mempercepat resolusi gejala dan waktu stabilitas klinis (didefinisikan
sebagai peningkatan normalisasi X-ray dada dan normalisasi suhu, rata-rata pernafasan, serta
marker inflamasi). Kortikosteroid tidak memberikan manfaat dalam hal mortalitas dan penulis
menyimpulkan bahwa hal itu tidak mungkin untuk membuat rekomendasi definitif karena
penelitian dianalisis dalam cara meta-analisis tidak memberikan bukti yang kuat. Penelitian
meta-analisis lainya termasuk sembilan RCT pada pasien sebanyak 1.001 menunjukkan bahwa
penggunaan kortikosteroid tidak berhubungan dengan mortalitas secara signifikan dan lebih
rendah mengingat semua rasio pasien (odds (OR) 0,62, 95% confidence interval (CI) 0,37-1,04;
p = 0,07). Namun, manfaat kelangsungan hidup terdeteksi dalam subkelompok pasien dengan
CAP berat (OR 0,26, 95% CI 0,11-0,64; p = 0,003) dan di antara pasien yang menerima
kortikosteroid lebih lama pengobatan (OR 0,51, 95% CI 0,26-0,97; p = 0,04). Memperpanjang
pengobatan kortikosteroid didefinisikan sebagai lebih dari 5 hari pengobatan kortikosteroid dan
maksimum 9 hari. Dalam hal efek samping, kortikosteroid meningkatkan risiko hiperglikemia
(OR 2,64, 95% CI 1,68-4,15; p < 0,001) tetapi tidak meningkatkan risiko superinfeksi (OR 1,36,
95% CI 0,65-2,84; p = 0,41) atau perdarahan saluran cerna (OR 1,67, 95% CI 0.41- 6.80; p =
0,47).
4
Kesimpulannya, penelitian ini tidak mampu memberikan hasil yang pasti mengenai
populasi heterogen dalam tingkat keparahan (dari ringan sampai parah) dan tingkat respon
inflamasi (misalnya, didefinisikan oleh tingkat C-reactive protein (CRP)) yang digunakan,
dalam beberapa kasus, dosis kortikostreoid yang tidak memadai (Rendah atau terlalu tinggi).
kortikosteroid di CAP.
total 785 pasien dengan CAP randomized menerima kortikosteroid oral (50 mg prednisone
selama 7 hari) atau plasebo sebagai terapi tambahan. Pada kelompok tersebut dilaporkan bahwa
kortikosteroid dengan waktu yang lebih singkat dalam mencapai stabilitas klinis dibandingkan
dengan kelompok plasebo (3 hari dibandingkan dengan 4,4 hari). Dalam studi tersebut, waktu
untuk stabilitas klinis didefinisikan sebagai hari sampai mencapai tanda-tanda vital stabil hingga
24 jam atau lebih lama (termasuk normalisasi suhu, denyut jantung, laju pernapasan spontan,
tekanan darah sistolik, status mental, kemampuan asupan oral, dan oksigenasi diruang yang
memadai). Komplikasi pneumonia tidak berbeda secara signifikan dalam kelompok sedangkan
insulin (19 vs 11%; OR 1,96; 95% CI 1,31-2,93; p = 0,001). Namun, Efek samping lain yang
nosokomial infeksi) jarang ditemukan dan terjadi sama pada kedua kelompok. Angka kematian,
dianggap sebagai hasil sekunder penelitian, tidak berbeda pada kedua kelompok (n = 16 (4%)
5
pada kelompok prednison vs n = 13 (3%) kelompok plasebo; p = 0.57). Penelitian ini menyajikan
beberapa keterbatasan, khususnya seperti hasil rendah stabilitas klinis, termasuk beberapa item
seperti temperatur yang dapat dipengaruhi oleh penggunaan kortikosteroid. Selain itu, sebagian
besar pasien memiliki presentasi penyakit ringan, sehingga mengurangi hasil validasi untuk
Kami baru-baru ini menerbitkan sebuah RCT multisenter di mana kami membandingkan
pasien dengan CAP berat dan respon inflamasi yang kuat (didefinisikan oleh CRP> 150 mg / L)
dengan antibiotik. Kami menggunakan methylprednisolone intravena pada dosis 0,5 /mg/kg
setiap jam 12 selama 5 hari. Kami hanya memasukkan pasien CAP berat, didefinisikan menurut
kriteria American Thoracic Society yang dimodifikasi atau dengan kelas risiko Pneumonia
Severity Index V
Pasien yang menerima kortikosteroid memiliki kegagalan pengobatan yang lebih rendah
dibandingkan dengan kelompok plasebo (13 vs 31%, masing-masing; p = 0,02). perbedaan ini
karena kegagalan pengobatan akhir (berkembang antara 72 dan 120 jam setelah mulai
pengobatan) dan pada pasien dalam kelompok kortikosteroid tertentu menunjukkan efek yang
lebih jelas pada reduksi radiologi (2 vs 15%; p = 0,007). Memang, penggunaan kortikosteroid
mengurangi risiko kegagalan pengobatan sebesar 18% (95% CI 3-32%) analisis dimaksudkan
untuk mengobati. Hubungan antara kegagalan pengobatan, dengan radiografi sebagai kriteria,
dan mortalitas telah ditunjukkan oleh Menendez et al. Efek protektif kortikosteroid pada
perkembangan radiografi bisa diartikan sebagai efek mencegah dalam perkembangan ARDS atau
memblokir reaksi Jarisch-Herxheimer. Tidak ada perbedaan signifikan yang diamati dalam
6
kelompok plasebo; p = 0,37); namun, penelitian ini tidak didukung pada mortalitas karena ini
adalah bukan hasil primer. Yang penting, kami mendeteksi ada efek samping signifikan pada
pasien yang menerima kortikosteroid. Kekuatan penelitian ini adalah populasi homogen dengan
CAP berat dan respon inflamasi yang kuat dan penggunaan hasil (kegagalan pengobatan) terkait
erat dengan mortalitas. Keterbatasan penelitian ini adalah periode perekrutan yang panjang.
Meta-analisis Terbaru
Sebuah meta-analisis terkini termasuk sembilan RCT (1667 pasien) dan enam studi
kohort (4095 pasien) menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid tidak terkait dengan
penurunan yang signifikan dalam angka kematian pada pasien dengan CAP (Risiko rasio (RR)
0,72; 95% CI 0,43-1,21; bukti rendah) atau dalam subkelompok pasien dengan CAP berat (RCT
RR 0,72, 95% CI 0,43-1,21, bukti rendah; kohort studi RR 1,00, 95% CI 0,86-1,17). Namun,
kortikosteroid memproduksi manfaat dalam hal pengurangan ARDS (RR 0,21, 95% CI 0,08-
0,59), lama rawat inap dan perawatan ICU, durasi antibiotik IV, dan waktu untuk stabilitas klinis
mortalitas pada pasien yang menerima kortikosteroid (12 percobaan, 1974 pasien, RR 0,67 [95%
CI 0,45-1,01], perbedaan risiko [RD] 2,8%, bukti sedang). Selain itu, analisis mengkonfirmasi
penurunan risiko ARDS (RR 0,24 [95% CI 0,10-0,56]), kebutuhan ventilasi mekanik, penurunan
waktu stabilitas klinis dan lama perawatan di rumah sakit, serta episode peningkatan
hiperglikemia memerlukan pengobatan tetapi tidak ada peningkatan dalam frekuensi perdarahan
gastrointestinal.
7
Kesimpulannya, semua studi ini mengkonfirmasi bahwa penggunaan kortikosteroid pada
CAP dikaitkan dengan beberapa hal bermanfaat berikut ini: mengurangi lama perawatan di
Jawaban pasti belum tersedia mengenai efek kortikosteroid pada pengurangan mortalitas
dan penelitian lebih besat diperlukan untuk menentukan efek mortalitas. Secara khusus, beberapa
subkelompok pasien dengan CAP berat; Namun, data ini belum telah dikonfirmasi dalam studi
lain
Efek kortikosteroid dalam beberapa infeksi tertentu menjadi subyek perdebatan. Sebagai
Pada pasien dengan CAP karena infeksi virus, efek dari kortikosteroid masih belum jelas.
Pada infeksi H1N1, penggunaan kortikosteroid dikaitkan dengan insiden pneumonia dan
kematian yang lebih tinggi. Dalam penelitian deskriptif di Cina pneumonia viral influenza A
(H7N9), pada subkelompok pasien yang menerima dosis kortikosteroid yang sangat tinggi (>
150 mg /d methylprednisolone atau setara) mortalitas meningkat tapi tidak ada hasil signifikan
yang lebih buruk terdeteksi untuk dosis kortikosteroid rendah (25-150 mg / d methylprednisolone
atau setara).
influenza ditemukan bahwa tidak cukup bukti untuk menentukan kemanjuran kortikosteroid pada
pasien ini. Delaney et al. baru-baru ini menerbitkan sebuah studi multicenter observasional
8
pasien dengan influenza A (H1N1pdm09) terkait penyakit kritis. Mortalitas rumah sakit lebih
tinggi pada pasien yang menerima kortikosteroid dibandingkan dengan pasien tanpa pengobatan
kortikosteroid (25,5 vs 16,4%, p = 0,007). Namun, setelah disesuaikan, para penulis tidak
menemukan hubungan yang signifikan antara kortikosteroid dan mortalitas pada populasi ini.
tinggi tetapi hasil ini harus hati-hati ditafsirkan karena hanya studi observasional kualitas rendah
dan tidak diidentifikasi untuk analisis RTCs. Studi lebih lanjut diperlukan untuk memperjelas
bagian ini
Efek samping utama yang terkait dengan kortikosteroid, terutama penggunaan jangka
panjang, adalah hiperglikemia, miopati, berat badan naik, gigi berdarah, dan osteopenia. Serta
pada efek samping ini, kortikosteroid memiliki efek imunosupresif kuat, meningkatkan
kekhawatiran pada penggunaannya dalam infeksi akut, meskipun efek potensial mereka dalam
dengan dosis dan durasi pengobatan. Misalnya, penggunaan 40 mg prednisolon per hari selama
lebih dari 1 minggu atau 20 mg prednisolon atau setara per hari selama satu bulan dapat
menghasilkan imunosupresi. Pada infeksi akut, pengginaan dosis rendah untuk waktu yang
singkat (beberapa hari) mungkin berguna untuk mengurangi peradangan dan mungkin tidak
menyebabkan begitu banyak bahaya dalam penyebab imunosupresi. Selain itu, waktu singkat
Hal ini terjadi pada sekitar 50% pasien rumah sakit yang menerima dosis tinggi kortikosteroid
9
dan pasien dengan penyakit paru obstruktif kronik (COPD) menerima pengobatan kortikosteroid
oral yang diberikan lebih dari lima kali lipat berisiko berkemabangnya hiperglikemia.
Hiperglikemia dikaitkan dengan mortalitas yang lebih tinggi dan, khususnya, untuk
hiperglikemia sekunder kortikosteroid meningkatkan risiko kematian sebesar 10% untuk setiap
peningkatan 18 mg / dL glukosa darah setelah disesuaikan dengan usia, jenis kelamin, dan
diabetes mellitus. Deteksi hiperglikemia dalam 24 jam pertama pada pasien dengan reaktivasi
PPOK dikaitkan dengan hasil yang lebih buruk. Di sisi lain, manajemen yang ketat dari kadar
glukosa pada morbiditas dan mortalitas pada pasien kritis dirawat di ICU bedah menurun. Untuk
pasien di ICU, manfaat ditunjukkan dalam hal morbiditas tapi tidak mortalitas.
Miopati adalah efek samping akut lainnya yang berhubungan dengan pengobatan
kortikosteroid kronis, terutama pada pasien tua, pasien dengan kanker dan penyakit otot
pernafasan, dan pasien tidak aktif secara fisik. Kortikosteroid menginduksi miopati dengan
mengurangi sintesis protein dan meningkatkan pemecahan protein. Mekanisme ini menyebabkan
atrofi otot dengan pengurangan kadungan protein myofibrillar pada daerah serat cross-sectional.
Perkembangan miopati menghasilkan kelemahan otot perifer dengan durasi yang lebih lama dari
yang menguntungkan dapat diperkuat oleh penggunaan suatu makrolide, yang memiliki efek
imunomodulator.
Strategi antibiotik terbaik untuk pengobatan CAP saat ini menjadi subyek perdebatan.
Untuk CAP berat, guidline internasional menyarankan penggunaan dua antibiotik seperti -
10
laktam plus makrolida atau -laktam ditambah kuinolon respiratori (levofloxacin atau
moksifloksasin). Namun, banyak studi observasional dan meta-analisis ini menunjukkan bahwa
penggunaan -laktam ditambah makrolida adalah pilihan terbaik karena terkait dengan hasil
yang lebih memuaskan dan mortalitas yang lebih rendah pada pasien dengan CAP berat,
terutama di CAP pneumokokus bakteremik. Mekanisme yang bertanggung jawab untuk efek
menguntungkan terkait dengan penggunaan makrolida masih tidak jelas dan telah dikaitkan pada
bagian efek imunomodulator, seperti yang diamati di beberapa penelitian. Model penelitian In
vitro dan in vivo telah menunjukkan bahwa makrolid menghambat imflamasi sekresi sitokin dan
Pada pasien yang dirawat dengan CAP tidak berat, monoterapi -laktam tidak kalah
memuaskan dengan penggunaan -laktam plus makrolida atau fluorokuinolon dalam hal 90-hari
kematian.
laktam dibandingkan dengan -laktam plus macrolide pada pasien dengan CAP sedang-berat,
dan dipertimbangkan sebagai hasil proporsi pasien yang tidak mencapai stabilitas klinis dalam 7
hari.
Dalam model tikus percobaan infeksi saluran pernapasan akibat bakteri Mycoplasma
tunggal dalam menurunnya kadar sitokin dan tanda-tanda histologis peradangan paru-paru. Studi
lain pada pasien dengan pneumonia non-respone menunjukkan pengurangan pada biomarker
inflamasi seperti IL-6 dan IL-8 pada pengambilan sampel lavage bronchoalveolar pada pasien
11
Kombinasi dari makrolida plus kortikosteroid saat ini digunakan tanpa evaluasi ilmiah,
meskipun apa kita lakukan tidak tahu apakah kombinasi ini dapat menurunkan respon inflamasi
tingkat yang sangat rendah, sehingga meningkatkan risiko efek samping. Oleh karena itu kita
perlu terlebih dahulu menyelidiki efek kortikosteroid dan makrolida bersama-sama serta
menyediakan data yang dapat digunakan untuk mendukung indikasi klinis untuk kombinasi ini
dan adanya penyakit pernapasan kronis adalah alasan utama untuk menambahkan kortikosteroid
Pasien dengan PPOK dengan CAP disajikan berbeda dengan pola inflamasi awal
dibandingkan dengan pasien dengan CAP saja. Secara khusus, pada hari masuk ke rumah sakit,
pasien dengan PPOK memiliki tingkat lebih rendah pada Tumorb Necrosis Factor (TNF), IL-1,
dan IL-6 namun tidak ada perbedaan di tingkat CRP, prokalsitonin, IL-8, dan IL-10. Perbedaan
yang sebagian dimediasi oleh kortikosteroid. Bahkan, tingkat dari TNF- yang lebih rendah
bertahan setelah pasien menerima kortikosteroid inhalasi dan oral. Berbeda dengan hasil ini,
studi lain menunjukkan bahwa pasien PPOK dengan CAP yang telah menerima pengobatan
sebelumnya dengan kortikosteroid inhalasi memiliki tingkat TNF- lebih rendah setelah
Selain itu, penelitian lain menemukan bahwa pada hari-hari 1 dan 3, pasien dengan
CAP dan riwayat COPD memiliki kadar tinggi CRP, prokalsitonin, TNF-, dan IL-6 yang lebih
12
signifikan dari pasien yang dirawat dengan COPD eksaserbasi akut. Hasil ini dipertahankan
Kesimpulannya, pasien dengan CAP dan riwayat COPD mewakili populasi tertentu
dengan pola inflamasi yang berbeda dan selanjutnya penelitian diperlukan untuk memperjelas
penggunaan kortikosteroid pada pasien ini selama episode CAP, terutama pada mereka yang
In vitro, fluoroquinolones mendukung sintesis IL-2 tetapi hanya mengurangi produksi IL-
1 dan TNF.
Pada In vivo, mempengaruhi imunitas seluler dan humoral oleh respon halus sitokin. Selain itu,
colony-stimulating faktor (CSF) di paru-paru dan di sumsum tulang. CSF memiliki peran dalam
respon terhadap infeksi. Bahkan, tikus CSF infeksi paru-paru berkembang dan penggunaan CSF
pada tikus neutropenia dengan candida mengurangi risiko kematian dan cedera paru-paru.
Meskipun RCT baru-baru ini memberikan data yang telah meningkatkan pengetahuan
kita mengenai kegunaan kortikosteroid di CAP berat, studi lebih lanjut diperlukan untuk
13
kortikosteroid dan dosis serta durasi terapi apa yang paling direkomendasikan dan untuk
menentukan populasi tertentu yang dapat diambil manfaat dari terapi tambahan ini, seperti CAP
berat dengan respon inflamasi yang kuat atau infeksi dengan spesifik patogen. Topik lain yang
menarik adalah efek dari terapi kombinasi dengan makrolida dan kortikosteroid dalam modulasi
respon imun. Kita punya beberapa data yang menjanjikan dari model eksperimental tapi lebih
Pada pasien dengan sepsis dan syok septik, rendahnya tingkat imunoglobulin (Igs) yang
terdeteksi, dengan pengurangan di IgG antara 25 dan 61% dan penurunan IgM antara 19 dan
33% . Namun, meta-analisis baru-baru ini menunjukkan keterbatasan topik studi ini tentang cara
Hypogammaglobulinemia dan tingkat subclass IgG rendah yang terlihat pada pasien
dengan episode pneumonia berulang dan mungkin bertanggung jawab untuk kecenderungan
infeksi berulang.
Sebuah studi kasus-kontrol menunjukkan bahwa pasien dengan CAP memiliki tingkat
dari IgG lebih rendah (terutama IgG2 subclass) dan IgA pada diagnosis yang dibandingkan
dengan kelompok kontrol pasien sehat tanpa pneumonia. Rendahnya tingkat Igs bertahan di fase
penyembuhan sekitar 25% pasien. Hypogammaglobulinemia lebih sering ditemukan pada pasien
yang membutuhkan rawat inap dari pada pasien rawat jalan dan pada pasien dengan pneumonia
karena bakteri selain Streptococcus pneumoniae atau virus atau tanpa patogen isolasi.
Studi lain menegaskan bahwa infeksi virus yang berat karena H1N1 dikaitkan dengan
tingkat IgG2 subclass yang lebih rendah. Memang, tingkat yang lebih rendah dari Igs tampaknya
14
terkait dengan penyakit yang lebih berat, infeksi virus, atau infeksi bakteri selain Streptococcus
pneumoniae.
Alasan mengapa pasien dengan pneumonia dan sepsis dapat memiliki tingkat Igs
rendah masih belum jelas. Dua mekanisme yang berbeda mungkin terlibat: infeksi mungkin
sebagai respon pertahanan yang tidak memadai. Untuk alasan ini, baru-baru ini, telah
merekomendasikan bahwa Igs IV mungkin sebagai terapi tambahan yang efektif untuk
Beberapa percobaan telah mengevaluasi efek eksogen Igs sebagai perawatan tambahan
pada pasien dengan sepsis dan pada pasien dengan CAP tertentu. Namun, hasil studi ini masih
pada pasien dewasa dengan sepsis dan syok septik yang menerima poliklonal Igs dan efek yang
lebih jelas pada kematian dalam subkelompok yang menerima IgM-diperkaya imunoglobulin
menunjukkan penurunan mortalitas pada pasien yang menerima poliklonal intravena Igs,
meskipun efek positif ini menghilang hanya pada analisis uji coba dengan bias rendah. Sebuah
pengobatan tambahan pada pasien dengan syok septik karena pneumonia. Sebanyak 8264 pasien
dipelajari, di antaranya 1324 diobati dengan Igs intraven, dibandingkan dengan 6940 pasien yang
tidak menerima Igs. Tidak ada manfaat ditemukan dalam hal mortalitas pada kelompok pasien
menerima Igs
15
Percobaan tahap II multicenter randomized plasebo-terkontrol multisenter sedang
diperkaya IgM (Pentaglobin , 12% IgM, IgA 12%, dan 76% IgG) sebagai pengobatan
tambahan pada pasien dengan mekanik ventilasi untuk CAP. Hasil primer adalah nomor hari
bebas ventilator.
Kesimpulan
Penggunaan kortikosteroid pada pasien dengan CAP berat dan reaksi inflamasi yang
kuat dapat mengurangi waktu stabilitas klinis dan risiko kegagalan pengobatan, terutama
respon tubuh terhadap infeksi, terutama pada pasien dengan tingkat antibodi yang memadai dan
ketika preparasi IgM digunakan. Namun, studi lebih lanjut diperlukan untuk mengevaluasi efek
16