Vous êtes sur la page 1sur 27

Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerukunan beragama di tengah keanekaragaman budaya merupakan aset dalam


kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Dalam perjalanan sejarah bangsa,
Pancasila telah teruji sebagai alternatif yang paling tepat untuk mempersatukan
masyarakat Indonesia yang sangat majemuk di bawah suatu tatanan yang inklusif dan
demokratis. Sayangnya wacana mengenai Pancasila seolah lenyap seiring dengan
berlangsungnya reformasi.

Berbagai macam kendala yang sering kita hadapi dalam mensukseskan kerukunan antar
umat beragama di Indonesia, dari luar maupun dalam negeri kita sendiri. Namun dengan
kendala tersebut warga Indonesia selalu optimis, bahwa dengan banyaknya agama yang
ada di Indonesia, maka banyak pula solusi untuk menghadapi kendala-kendala tersebut.
Dari berbagai pihak telah sepakat untuk mencapai tujuan kerukunan antar umat beragama
di Indonesia seperti masyarakat dari berbagai golongan, pemerintah, dan organisasi-
organisasi agama yang banyak berperan aktif dalam masyarakat.

Keharmonisan dalam komunikasi antar sesama penganut agama adalah tujuan dari
kerukunan beragama, agar terciptakan masyarakat yang bebas dari ancaman, kekerasan
hingga konflik agama.

B. Rumusan Masalah

a. Kendala apa yang menjadi permasalahan dalam mencapai kerukunan umat


beragama di Indonesia?

b. Bagaimana masyarakat menghadapi permasalahan/kendala dalam mencapai


kerukunan antar umat beragama di Indonesia?

C. Tujuan

Penulisan makalah ini bermaksud untuk memenuhi tugas mata kuliah Perbandingan
Agama dan untuk menambah wawasan para pembaca tentang kerukunan umat beragama
di Indonesia serta permasalahan yang di hadapi. Semoga Bermanfaat.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia

Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di Tengah


perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan
berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan
hidup umat beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar dapat
ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, kerukunan tersebut
tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan atas/orang kaya saja.[1]

Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat memecahkan semua
masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia. Mungkin faktor yang
paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan tujuan hidup. Tetapi
sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam tentang agama perlu segi-
segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat. Yang paling mungkin adalah
mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-agama. Jadi, keterbukaan satu agama
terhadap agama lain sangat penting. Kalau kita masih mempunyai pandangan yang
fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri saja yang paling benar, maka itu menjadi
penghalang yang paling berat dalam usaha memberikan sesuatu pandangan yang optimis.
Namun ketika kontak-kontak antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka
muncul paradigma dan arah baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap
negatif dan apriori terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas
kebenaran agama lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian. Di
masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap agama
selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap berbagai
aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap keterbukaan dan
saling menghargai satu sama lain.[2]

B. Kendala-Kendala

B. 1. Rendahnya Sikap Toleransi

Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama
sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-
malasan (lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul
sebagai akibat dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama,
khususnya menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat
beragama merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja,
dialog yang lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda
keyakinan/agama sama-sama menjaga jarak satu sama lain. Masing-masing agama
mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan satu sama lain
bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang terjadi hanyalah
perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga dapat
menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama, maka
akan timbullah yang dinamakan konflik.

B. 2. Kepentingan Politik

Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam
mncapai tujuan sebuah kerukunan anta umat beragama khususnya di Indonesia, jika
bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan
antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau
mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik
buahnya. Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi
hubungan antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar
yang dengan mudahnya merontokkan bangunan dialog yang sedang kita selesaikan.
Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat
political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air
mata, tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-
Nya. Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu
membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali
menunggangi agama dan memanfaatkannya.

B. 3. SikapFanatisme

Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang.
Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman
keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni
pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat
bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi
masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama
yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia
harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif
aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.

Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte


atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para
pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu
pemimpin. Ada banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang
antara satu sama lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan
terkadang bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif
seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja
adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka
yang berada di luar untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka
yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan
abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama
teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.[3]

Dari uraian diatas, sangat jelas sekali bahwa ketiga faktor tersebut adalah akar dari
permasalahan yang menyebabkan konflik sekejap maupun berkepanjangan.

C. Solusi

C. 1. Dialog Antar Pemeluk Agama

Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal


hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah
dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang
berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai sejarah konvensional
dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya,
sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai sejarah baru (new history). Sejarah
model mutakhir ini lazim disebut sebagai sejarah sosial (social history) sebagai
bandingan dari sejarah politik (political history). Penerapan sejarah sosial dalam
perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan dapat
mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di luar bidang
politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian,
yang pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-
existence) di antara para pemeluk agama yang berbeda.

Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain)
akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi,
revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang
perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi
sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama
yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat beragama
lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck
(2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai
sebuah negara Kristen, telah berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling
beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu, juga mengalami kecenderungan
yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian besar perjumpaan di antara agama-
agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai. Dalam waktu-
waktu tertentu?ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang
memunculkan krisis? pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat
intensitasnya. Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa
kedamaian lebih sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu,
hemat saya, banyak bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-
kultural atau bidang-bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai non-agama.
Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan
keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat
domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat
perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi
penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara
damai.[4]

C. 2. Bersikap Optimis

Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka,
saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu
bersikap pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme
dalam menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.

Paling tidak ada tiga hal yang dapat membuat kita bersikap optimis. Pertama, pada
beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog antaragama,
semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam maupun di
luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari misalnya,
di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan Pusat Studi
Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu bisa
menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan yang
lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan lembaga-lembaga
kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang memberikan
sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan
antarpenganutnya.

Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif
baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan
pertemuan, baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang
lebih erat dan memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi
bangsa kita dewasa ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh
para pemimpin agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput
sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau
jemaatnya. Kita seringkali prihatin melihat orang-orang awam yang pemahaman
keagamaannya bahkan bertentangan dengan ajaran agamanya sendiri. Inilah kesalahan
kita bersama. Kita lebih mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan
menambah kuantitas pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity)
keberagamaan serta kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran
agama.

Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau
provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta
dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik
tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji
bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana
wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan
penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama,
dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak
memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk
mengadu domba antarpenganut agama.

Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi
selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan
untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan
lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.[5]

BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan dalam makalah ini, dapat kami simpulkan berbagai macam bahasan
mengenai kerukunan antar umat beragama, yaitu : Kendala-kendala yang dihadapi dalam
mencapai kerukunan umat beragama di Indonesia ada beberapa sebab, antara lain;

Rendahnya Sikap Toleransi

Kepentingan Politik dan ;

SikapFanatisme

Adapun solusi untuk menghadapinya, adalah dengan melakukan Dialog Antar Pemeluk
Agama dan menanamkan Sikap Optimis terhadap tujuan untuk mencapai kerukunan antar
umat beragama.

DAFTAR PUSTAKA

http://cippad.usc.edu/ai/themes/cfm/culture_b

Dr. Ali Masrur, M.Ag.,2004,Problem dan Prospek Dialog Antaragama.


Artikel..cfm

Koran bali post cetak 29/12/2003.

Ansari, Zafar Ishaq & John L. Esposito, eds., 2001, Muslims and the West:
Encounter and Dialogue, Islamabad & Washington DC., Islamic Research
Institute, International Islamic University & Center for Muslim-Christian
Understanding, Georgetown University
FUNSI DAN PERANAN AGAMA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
FUNGSI DAN PERANAN AGAMA
DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT
peranan-agama-dalam-kehidupan (2009)

Tidak mudah mendefinisikan agama, apalagi di dunia ini kita menemukan kenyataan
bahwa agama amat beragam. Pandangan seseorang terhadap agama, ditentukan oleh
pemahamannya terhadap ajaran agama itu sendiri. Ketika pengaruh gereja di Eropa
menindas para ilmuwan akibat penemuan mereka yang dianggap bertentangan dengan
kitab suci, para ilmuwan pada akhirnya menjauh dari agama bahkan meninggalkannya.

Persoalan yang menjadi topik pembicaraan kita mau tak mau harus muncul, "Apakah
agama masih relevan dengan kehidupan masa kini yang cerminannya seperti digambarkan
di atas?" Sebelum menjawab, perlu terlebih dahulu dijawab: Apakah manusia dapat
melepaskan diri dari agama?" Atau, "Adakah alternatif lain yang dapat menggantikannya?

Dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fithrah (sesuatu yang melekat pada diri
manusia dan terbawa sejak kelahirannya):


Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, (QS
Ar-Rum [30]: 30)

Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Tuhan menciptakan demikian,
karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Memang manusia dapat menangguhkannya
sekian lama -- boleh jadi sampai dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya,
sebelum ruh rmeninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu. Memang, desakan
pemenuhan kebutuhan bertingkat-tingkat. Kebutuhan manusia terhadap air dapat
ditangguhkan lebih lama dibandingkan kebutuhan udara. Begitu juga kebutuhan manusia
makanan, jauh lebih singkat dibandingkan dengan kebutuhan manusia untuk menyalurkan
naluri seksual. Demikian juga kebutuhan manusia terhadap agama dapat ditangguhkan,
tetapi tidak untuk selamanya.
Ketika terjadi konfrontasi antara ilmuwan di Eropa dengan Gereja, ilmuwan meninggalkan
agama, tetapi tidak lama kemudian mereka sadar akan kebutuhan kepada pegangan yang pasti,
dan ketika itu, mereka menjadikan "hati nurani" sebagai alternatif pengganti agama. Namun
tidak lama kemudian mereka menyadari bahwa alternatif ini, sangat labil, karena yang dinamai
"nurani" terbentuk oleh lingkungan dan latar belakang pendidikan, sehingga nurani Si A dapat
berbeda dengan Si B, dan dengan demikian tolok ukur yang pasti menjadi sangat rancu.

Setelah itu lahir filsafat eksistensialisme, yang mempersilakan manusia melakukan apa saja yang
dianggapnya baik, atau menyenangkan tanpa mempedulikan nilai-nilai.

Namun, itu semua tidak dapat menjadikan agama tergusur, karena seperti dikemukakan di atas ia
tetap ada dalam diri manusia, walaupun keberadaannya kemudian tidak diakui oleh kebanyakan
manusia itu sendiri.

William James menegaskan bahwa, "Selama manusia masih memiliki naluri cemas dan
mengharap, selama itu pula ia beragama (berhubungan dengan Tuhan)." Itulah sebabnya
mengapa perasaan takut merupakan salah satu dorongan yang terbesar untuk beragama.

Ilmu mempercepat Anda sampai ke tujuan,


dan agama menentukan arah yang dituju.

I1mu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan agama menyesuaikan dengan jati
dirinya.

I1mu hiasan 1ahir,


dan agama hiasan batin.

I1mu memberikan kekuatan dan menerangi jalan,


dan agama memberi harapan dan dorongan bagi jiwa.

I1mu menjawab pertanyaan yang dimulai dengan "bagaimana",


dan agama menjawab yang dimulai dengan "mengapa."

Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya,


sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.

Demikian Murtadha Muthahhari menjelaskan sebagian fungsi dan peranan agama dalam
kehidupan ini, yang tidak mampu diperankan oleh ilmu dan teknologi. Bukankah kenyataan
hidup masyarakat Barat membuktikan hal tersebut?

Manusia terdiri dari akal, jiwa, dan jasmani. Akal atau rasio ada wilayahnya. Tidak semua
persoalan bisa diselesaikan atau bahkan dihadapi oleh akal. Karya seni tidak dapat dinilai
semata-mata oleh akal, karena yang lebih berperan di sini adalah kalbu. Kalau demikian, keliru
apabila seseorang hanya mengandalkan akal semata-mata.

Akal bagaikan kemampuan berenang. Akal berguna saat berenang di sungai atau di laut yang
tenang, tetapi bila ombak dan gelombang telah membahana, maka yang pandai berenang dan
yang tidak bisa berenang sama-sama membutuhkan pelampung.

Dalam hubungannya dengan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, agama


sesungguhnya sangat berperan, terutama jika manusia tetap ingin jadi manusia. Ambillah sebagai
contoh bidang bio-teknologi. Ilmu manusia sudah sampai kepada batas yang menjadikannya
dapat berhasil melakukan rekayasa genetika. Apakah keberhasilan ini akan dilanjutkan sehingga
menghasilkan makhluk-makhluk hidup yang dapat menjadi tuan bagi penciptanya sendiri?
Apakah ini baik atau buruk? Yang dapat menjawabnya adalah nilai-nilai agama, dan bukan seni,
bukan pula filsafat.

Jika demikian, maka tidak ada alternatif lain yang dapat menggantikan agama. Mereka yang
mengabaikannya, terpaksa menciptakan "agama baru" demi memuaskan jiwanya.

Dalam pandangan sementara pakar Islam, agama yang diwahyukan Tuhan, benihnya muncul dari
pengenalan dan pengalaman manusia pertama di pentas bumi. Di sini ia memerlukan tiga hal,
yaitu keindahan, kebenaran, dan kebaikan. Gabungan ketiganya dinamai suci. Manusia ingin
mengetahui siapa atau apa Yang Mahasuci, dan ketika itulah dia menemukan Tuhan, dan sejak
itu pula ia berusaha berhubungan dengan-Nya bahkan berusaha untuk meneladani sifat-sifat-
Nya. Usaha itulah yang dinamai beragama, atau dengan kata lain, keberagamaan adalah
terpatrinya rasa kesucian dalam jiwa beseorang. Karena itu seorang yang beragama akan selalu
berusaha untuk mencari dan mendapatkan yang benar, yang baik, lagi yang indah.

Mencari yang benar menghasilkan ilmu, mencari yang baik menghasi1kan akhlak, dan mencari
yang indah menghasilkan seni.

Jika demikian, agama bukan saja merupakan kebutuhan manusia, tetapi juga selalu relevan
dengan kehidupannya. Adakah manusia yang tidak mendambakan kebenaran, keindahan dan
kebaikan?

Ide Dasar Perdamaian

Agaknya, cukup dengan memahami makna nama agama ini yakni Islam, seseorang telah dapat
mengetahui bahwa ia adalah agama yang mendambakan perdamaian. Cukup juga dengan
mendengarkan ucapan yang dianjurkan untuk disampaikan pada setiap pertemuan. "Assalamu
'alaikum" (Damai untuk Anda), seseorang dapat menghayati bahwa kedamaian yang didambakan
bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi juga untuk pihak lain. Kalau demikian, tidak heran jika
salah satu ciri seorang Muslim, adalah seperti sabda Nabi Muhammad Saw.


Seseorang telah bertanya kepada Rasulullah s.a.w: Apakah sifat orang Islam yang paling
baik? Rasulullah s.a.w bersabda: Seseorang yang menyelamatkan orang-orang Islam
dengan lidah dan tangannya (Hadis Riwayat al-Bukhari-Muslim dari Abdullah ibn Amr ibn
al-Ash)

Siapa yang menyelamatkan orang lain (yang mendambakan kedamaian) dari gangguan
lidahnya dan tangannya.

Perdamaian merupakan salah satu ciri utama agama Islam. Ia lahir dari pandangan
ajarannya tentang Allah, Tuhan Yang Mahakuasa, alam, dan manusia.

Allah, Tuhan Yang Maha Esa, adalah Maha Esa, Dia yang menciptakan segala sesuatu
berdasarkan kehendak-Nya semata. Semua ciptaan-Nya adalah baik dan serasi, sehingga
tidak mungkin kebaikan dan keserasian itu mengantar kepada kekacauan dan
pertentangan. Dari sini bermula kedamaian antara seluruh ciptaan-Nya.

Makhluk hidup diciptakan dari satu sumber: "Kami menciptakan semua yang hidup dan air"
(QS al-Anbiya' [21]: 22). Manusia, yang merupakan salah satu unsur yang hidup itu, juga di
ciptakan dari satu sumber yakni thn (tanah yang bercampur air) melalui seorang ayah dan
seorang ibu, sehingga manusia, bukan saja harus hidup berdampingan dan harmonis
bersama manusia lain, tetapi juga dengan makhluk hidup lain, bahkan dengan alam raya,
apalagi yang berada di bumi ini. Bukankah eksistensinya lahir dari tanah, bumi tempat dia
berpijak, dan kelak ia akan kembali ke sana?

Demikian ide dasar ajaran Islam, yang melahirkan keharusan adanya kedamaian bagi
seluruh makhluk.

Benar bahwa agama ini memerintahkan untuk mempersiapkan kekuatan guna menghadapi
musuh. Namun persiapan itu tidak lain kecuali -- menurut istilah al-Quran -- adalah untuk
menakut-nakuti mereka (yang bermaksud melahirkan kekacauan dan disintegrasi) (QS al-
Anfal [8]: 60). Peperangan -- kalau terjadi -- tidak dibenarkan kecuali untuk
menyingkirkan penganiayaan, itu pun dalam batas-batas tertentu. Anak-anak, orang tua,
kaum lemah, bahkan pepohonan harus dilindungi, dan atas dasar ini, datang petunjuk
Tuhan yang menyatakan:


Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (QS al-Anfal [8]: 61).
Kerukunan dan Demokrasi

Biasanya yang paling berharga bagi sesuatu adalah dirinya sendiri. Ini berarti yang paling
berharga buat agama adalah agama itu sendiri. Karenanya setiap agama menuntut
pengorbanan apa pun dari pemeluknya demi mempertahankan kelestariannya. Namun
demikian, Islam datang tidak hanya bertujuan mempertahankan eksistensinya sebagai
agama, tetapi juga mengakui eksistensi agama-agama lain, dan memberinya hak untuk
hidup berdampingan sambil menghormati pemeluk-pemeluk agama lain.

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa
yang dahulu mereka kerjakan. (QS al-An'am [6): 108).

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang
amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS
al-Baqarah [2]: 256).


Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS al-Kafirun [109]: 6)

Surat Al-Hajj (22): 40 menyatakan:




(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang
benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah
tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah
dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan
masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti
menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat
lagi Maha Perkasa.

Ayat ini dijadikan oleh sebagian ulama, seperti al-Qurthubi (w. 671 H), sebagai
argumentasi keharusan umat Islam memelihara tempat-tempat ibadah umat non-Muslim.
Memang, al-Quran sendiri amat tegas menyatakan bahwa,



Dan kalau Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat (saja), tetapi Allah
menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan sesungguhnya kamu akan ditanya tentang apa yang telah kamu
kerjakan. (QS al-Nahl [16]: 93).

Tetapi Allah tidak menghendaki yang demikian, karena itu Dia memberikan kebebasan
kepada manusia untuk memilih sendiri jalan yang dianggapnya baik, mengemukakan
pendapatnya secara jelas dan bertanggung jawab. Di sini dapat ditarik kesimpulan bahwa
kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan memilih agama, adalah hak yang
dianugerahkan Tuhan kepada setiap insan.

Yang dikemukakan ayat al-Quran tersebut merupakan salah satu benih dari ajaran
demokrasi, hal mana kemudian akan nampak dengan jelas dalam petunjuk-petunjuk Kitab
Suci. Salah satu yang dapat dikemukakan di sini adalah pengalaman Nabi Saw. dalam
peperangan Uhud serta kaitannya dengan ayat yang memerintahkan musyawarah. Sejarah
menginformasikan bahwa ketika terdengar berita rencana serangan musuh-musuh Nabi
Saw. dari Makkah ke Madinah, Nabi Saw. berpendapat bahwa lebih baik menunggu mereka
hingga sampai ke kota Madinah. Namun mayoritas sahabat-sahabatnya dengan penuh
semangat mendesak beliau agar menghadapi mereka di luar kota, yakni di Uhud. Karena
desakan itu, akhirnya Nabi menyetujui. Tetapi, ternyata, puluhan sahabat Nabi gugur
dalam peperangan tersebut sehingga menimbulkan penyesalan. Setelah pengalaman pahit
mengikuti pendapat mayoritas ini, justeru al-Quran turun memberi petunjuk kepada Nabi
Muhammad Saw., agar tetap melakukan musyawarah dan selalu bertukar pikiran dengan
sahabat-sahabatnya, sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya QS Ali 'Imran [3]: 159):




Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah-lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Demikian terlihat kebebasan beragama, mengemukakan pendapat, dan demokrasi


(dalam perspektif Islam; baca: ayat-ayat al-Quran, hadis-hadis tentang konsep Syura
dan fakta sejarah tentang implementasi Syura), dan merupakan prinsip-prinsip ajaran
Islam tentang hubungan sosial.
Atas dasar itu pula, kitab suci umat Islam mengakui kenyataan tentang banyaknya jalan
yang dapat ditempuh umat manusia. Mereka diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam
kebaikan (QS al-Baqarah [2]: 148):


Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka
berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti
Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu.

Dan kesemuanya demi kedamaian dan kerukunan:




Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya ke jalan
keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap
gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka
ke jalan yang lurus. (QS Al-Maidah [5]: 16).

Sekali lagi ditemukan bahwa kebhinekaan diakui atau ditampung selama bercirikan
kedamaian. Bahkan dalam rangka mewujudkan kedamaian dengan pihak lain, Islam
menganjurkan dialog yang baik (QS al-Nahl [16]: 125). Dan dalam dialog itu, seorang
Muslim tidak dianjurkan untuk mengklaim kepada mitra dialognya bahwa kebenaran hanya
menjadi miliknya:




Katakanlah: "Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan dari bumi?"
Katakanlah: "Allah", dan sesungguhnya kami atau kamu (orang-orang musyrik), pasti
berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata. (QS Saba' [34]: 24).

Bahkan lebih jauh dari itu Kitab Suci umat Islam mengajarkan kata atau kalimat-kalimat
dialog yang pada lahirnya dapat dinilai "merugikan". Perhatikan kandungan ayat berikut:

Katakanlah: "Kamu tidak akan ditanya (bertanggung jawab) tentang dosa yang kami
perbuat dan kami tidak akan ditanya (pula) tentang apa yang kamu perbuat". (QS Saba'
[34]: 25) .

Kita menamai perbuatan kita dosa, dan tidak menamakan perbuatan mitra dialog non-
Muslim sebagai dosa, tetapi menyebutnya sebagai "perbuatan".

Perdamaian dan kerukunan yang didambakan Islam, bukankah yang bersifat semu, tetapi
yang memberi rasa aman pada jiwa setiap insan. Karena itu, langkah pertama yang
dilakukannya adalah mewujudkannya dalam jiwa setiap pribadi. Setelah itu ia melangkah
kepada unit terkecil dalam masyarakat yakni keluarga. Dari sini ia beralih ke masyarakat
luas, seterusnya kepada seluruh bangsa di permukaan bumi ini, dan dengan demikian
dapat tercipta perdamaian dunia, dan dapat terwujud hubungan harmonis serta toleransi
dengan semua pihak.

Demikian, sekelumit ajaran Islam. Kalau kenyataan di dunia Islam berbeda dengan apa
yang tersurat dalam petunjuk agama ini, maka yang keliru adalah pelaku ajaran dan
bukan ajarannya itu sendiri. Sungguh tepat pernyataan Syaikh Muhammad Abduh, "Al-
Islm mahjbun bi al-muslimn" (Kebenaran ajaran Islam tertutup oleh perilaku sebagian
umat Islam sendiri).

Agama Islam Dalam Kehidupan Modern

Berbicara tentang agama Islam dalam kehidupan modern, terlebih dahulu perlu
digarisbawahi keharusan pemisahan antara agama dan pemeluk agama seperti ucapan
Syaikh Muhammad Abduh di atas: kebenaran ajaran Islam tertutup oleh perilaku umat
Islam sendiri.

Islam memiliki prinsip-prinsip dasar yang harus mewarnai sikap dan aktivitas pemeluknya.
Puncak dari prinsip itu adalah
tauhid. Di sekelilingnya beredar unit-unit bagaikan planet-planet tata surya yang beredar
di sekeliling matahari, yang tidak dapat melepaskan diri dari orbitnya. Unit-unit tersebut
antara lain:

a. Kesatuan alam semesta. Dalam arti, Allah menciptakannya dalam keadaan amat serasi,
seimbang, dan berada di bawah pengaturan dan pengendalian Allah Swt. melalui hukum-
hukum yang ditetapkan-Nya.
b. Kesatuan kehidupan. Bagi manusia ini berarti bahwa kehidupan duniawinya menyatu
dengan kehidupan akhirnya. Sukses atau kegagalan ukhrawi, ditentukan oleh amal
duniawinya.
c. Kesatuan ilmu. Tidak ada pemisahan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum, karena
semuanya bersumber dari satu sumber yaitu Allah Swt.
d. Kesatuan iman dan rasio. Karena masing-masing dibutuhkan dan masing-masing
mempunyai wilayahnya sehingga harus saling melengkapi.
e. Kesatuan agama. Agama yang dibawa oleh para Nabi kesemuanya bersumber dari Allah
Swt., prinsip-prinsip pokoknya menyangkut akidah, syariah, dan akhlak tetap sama dari
zaman dahulu sampai sekarang.
f. Kesatuan kepribadian manusia. Mereka semua diciptakan dari tanah dan Ruh Ilahi.
g. Kesatuan individu dan masyarakat. Masing-masing harus saling menunjang.

Islam -- dalam hal urusan hidup duniawi -- tidak memberi rincian petunjuk, sebagaimana
sabdaRasulullah saw.:

Kamu lebih mengetahui tentang urusan duniamu (daripada aku).

Demikian sabda Nabi Muhammad Saw. sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Anas bin Malik.

Dari prinsip-prinsip semacam di atas, seorang Muslim dapat menyesuaikan diri dengan
perkembangan positif masyarakatnya, dan karena itu pula Islam memperkenalkan dirinya
sebagai "Agama yang selalu sesuai dengan setiap waktu dan tempat."

Kitab suci al-Quran mempersilakan umat Islam untuk mengembangkan ilmu, menggunakan
akalnya menyangkut segala sesuatu yang berada dalam wilayah nalar, yaitu alam fisika
ini. Namun harus disadari oleh manusia, bahwa jangankan alam raya yang sedemikian
luas, dirinya sendiri sebagai manusia belum sepenuhnya ia kenal.

Islam tidak menghalangi umatnya untuk memperoleh kekayaan sebanyak mungkin. Bahkan
harta yang banyak dinamainya khair (baik) dalam arti perolehan dan penggunaannya harus
dengan baik. Islam juga tidak melarang umatnya bersenang-senang di dunia, hanya
digarisbawahinya bahwa kesenangan duniawi bersifat sementara, dan karena itu jangan
sampai ia melengahkan dari kesenangan abadi, atau melengahan dari kewajiban kepada
Allah dan masyarakat.

Umat Islam diperkenalkan oleh al-Quran sebagai ummattan wasathan (umat pertengahan)
yang tidak larut dalam spiritualme, tetapi tidak juga hanyut dalam alam materialisme.

Seorang Muslim, adalah memenuhi kebutuhannya dan mewarnai kehidupannya bukan ala
malaikat, tetapi tidak juga ala binatang.

Hubungan seks dibenarkannya, tetapi karena manusia adalah makhluk terhormat, yang
terdiri dari ruhani dan jasmani maka hubungan tersebut harus terjadi hubungan lahir dan
batin, dan karena itu ia harus dikukuhkan atas nama Tuhan, melalui perkawinan yang sah
menurut agama. Nabi Muhammad saw. bersabda:


Kamu mengawini mereka (istri-istrimu) berdasarkan amanat Allah dan berhak
menggaulinya karena kalimat (izin) Allah. (Hadis Riwayat Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah
dan ad-Darimi dari Jabir bin Abdullah serta hadis riwayat Ahmad dari Paman Abu Hurrah
ar-Riqasyi)

Manusia diakui sebagai makhluk yang amat mulia, dan jagat raya ditundukkan Tuhan
kepadanya. Ia diberi kelebihan atas banyak makhluk-makhluk yang lain, tetapi sebagian
kelebihan dan keistimewaannya -- material dan material -- diperoleh melalui bantuan
masyarakat.

Bahasa dan istiadat adalah produk masyarakatnya. Keuntungan mterial, tidak dapat
diraihnya tanpa partisipasi masyarakat dalam membeli bagi pedagang, dan adanya irigasi
walau sederhana bagi petani, serta stabilitas keamanan bagi semua pihak, yang tidak
diwujudkan oleh seorang saja.

Kalau demikian, wajar jika hak asasinya harus dikaitkan dengan kepentingan
masyarakatnya serta ketenangan orang banvak. Pandangan Barat yang menyatakan: "Anda
boleh melakukan apa saja selama tidak melanggar hak orang lain", tidak sejalan dengan
tuntutan moral al-Quran yang menyatakan: "Hendaklah Anda mengorbankan sebagian
kepentingan Anda guna kepentingcan orang lain."



Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum
(kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada
mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang
diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang
Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka
berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang
yang beruntung. (QS a-Hasyr [59]: 9).

Demikian sekelumit pembahasan tentang fungsi dan peranan agama dalam kehidupan
masyarakat
Agama islam merupakan rahmat bagi seluruh alam
Memahami Rahmat IslamDan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam. (QS 21: 107). Ayat di atas sering dijadikan hujjah bahwa Islam
adalah agama rahmat. Itu benar. Rahmat Islam itu luas, seluas dan seluwes ajaran Islam itu
sendiri. Itu pun juga pemahaman yang benar. Sebagian orang secara sengaja (karena ada maksud
buruk) ataupun tidak sengaja (karena pemahaman Islamnya yang tidak dalam), sering memaknai
ayat tersebut diatas secara menyimpang. Mereka ini mengartikan rahmat Islam harus tercermin
dalam suasana sosial yang sejuk, damai dan toleransi dimana saja Islam berada, apalagi sebagai
mayoritas. Sementara dibaliknya sebenarnya ada tujuan lain atau kebodohan lain yang justru
bertentangan dengan Islam itu sendiri, misalnya memboleh-bolehkan ucapan natal dari seorang
Muslim terhadap umat Nasrani atau bersifat permisive terhadap ajaran sesat yang tetap mengaku
Islam.
Islam sebagai rahmat bagi alam semesta adalah tujuan bukan proses. Artinya untuk menjadi
rahmat bagi alam semesta bisa jadi umat Islam harus melalui beberapa ujian, kesulitan atau
peperangan seperti di zaman Rasulullah. Walau tidak selalu harus melalui langkah sulit apalagi
perang, namun sejarah manapun selalu mengatakan kedamaian dan kesejukan selalu didapatkan
dengan perjuangan. Misalnya, untuk menjadikan sebuah kota menjadi aman diperlukan
kerjakeras polisi dan aparat hukum untuk memberi pelajaran bagi pelanggar hukum. Jadi
logikanya, agar tercipta kesejukan, kedamaian dan toleransi yang baik maka hukum Islam harus
diupayakan dapat dijalankan secara kaffah.
Sebaliknya, jangan dikatakan bahwa umat Islam harus bersifat sejuk, damai dan toleransi kepada
pelanggar hukum dengan alasan Islam adalah agama rahmat.Mencari Rahmat IslamAllah SWT
berfirman, Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara
keseluruhannya. Dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu
musuh yang nyata bagimu, (QS al-Baqarah: 208) Ada banyak dimensi dari universalitas ajaran
Islam. Di antaranya adalah, dimensi rahmat. Rahmat Allah yang bernama Islam meliputi seluruh
dimensi kehidupan manusia. Allah telah mengutus Rasul-Nya sebagai rahmat bagi seluruh
manusia agar mereka mengambil petunjuk Allah. Dan tidak akan mendapatkan petunjuk-Nya,
kecuali mereka yang bersungguh-sungguh mencari keridhaan-Nya. Dan orang-orang yang
berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka
jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik, (QS
al-Ankabuut: 69).Bentuk-bentuk Rahmat IslamKetika seseorang telah mendapat petunjuk Allah,
maka ia benar-benar mendapat rahmat dengan arti yang seluas-luasnya. Dalam tataran praktis, ia
mempunyai banyak bentuk. Pertama, manhaj (ajaran). Di antara rahmat Allah yang luas adalah
manhaj atau ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saw berupa manhaj yang menjawab
kebahagiaan seluruh umat manusia, jauh dari kesusahan dan menuntunnya ke puncak
kesempurnaan yang hakiki. Allah SWT berfirman, Kami tidak menurunkan al-Qur'an ini
kepadamu agar kamu menjadi susah; tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada
Allah), (QS. Thahaa: 2-3). Di ayat lain, Dia berfirman, Pada hari ini telah Kusempurnakan
untuk kamu agamamu, (QS Al-Maidah: 3). Kedua, al-Qur'an. Al-Qur'an telah meletakkan
dasar-dasar atau pokok-pokok ajaran yang abadi dan permanen bagi kehidupan manusia yang
selalu dinamis. Kitab suci terakhir ini memberikan kesempatan bagi manusia untuk beristimbath
(mengambil kesimpulan) terhadap hukum-hukum yang bersifat furuiyah.
Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari tuntutan dinamika kehidupannya. Begitu juga
kesempatan untuk menemukan inovasi dalam hal sarana pelaksanaannya sesuai dengan tuntutan
zaman dan kondisi kehidupan, yang semuanya itu tidak boleh bertentangan dengan ushul atau
pokok-pokok ajaran yang permanen. Dari sini bisa kita pahami bahwa al-Qur'an itu benar-benar
sempurna dalam ajarannya. Tidak ada satu pun masalah dalam kehidupan ini kecuali al-Qur'an
telah memberikan petunjuk dan solusi. Allah berfirman, Tiadalah Kami alpakan sesuatu pun di
dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan, (QS al-Anaam: 38). Dalam
ayat lain berbunyi, Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Quran) untuk menjelaskan segala
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri, (QS
an-Nahl: 89). Ketiga, penyempurna kehidupan manusia Di antara rahmat Islam adalah
keberadaannya sebagai penyempurna kebutuhan manusia dalam tugasnya sebagai khalifah di
muka bumi ini.
Rahmat Islam adalah meningkatkan dan melengkapi kebutuhan manusia agar menjadi lebih
sempurna, bukan membatasi potensi manusia. Islam tidak pernah mematikan potensi manusia,
Islam juga tidak pernah mengharamkan manusia untuk menikmati hasil karyanya dalam bentuk
kebaikan-kebaikan dunia. Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah
yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hambaNya dan (siapa pulakah yang mengharamkan)
rezki yang baik? (QS al-A`raf: 32). Islam memberi petunjuk mana yang baik dan mana yang
buruk, sedang manusia sering tidak mengetahuinya.
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu
menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak
mengetahui, (QS al-Baqarah: 216).Keempat, jalan untuk kebaikan. Rahmat dalam Islam juga
bisa berupa ajarannya yang berisi jalan / cara mencapai kehidupan yang lebih baik, dunia dan
akhirat. Hanya kebanyakan manusia memandang jalan Islam tersebut memiliki beban yang berat,
seperti kewajiban sholat dan zakat, kewajiban amar maruf nahi munkar, kewajiban memakai
jilbab bagi wanita dewasa, dan sebagainya. Padahal Allah SWT telah berfirman, Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, (QS al-Baqarah: 286). Pada
dasarnya, kewajiban tersebut hanyalah untuk kebaikan manusia itu sendiri. Jika kamu berbuat
baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, (QS al-Isra: 7).
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa ajaran Islam itu adalah rahmat dalam artian
yang luas, bukan rahmat yang dipahami oleh sebagian orang menurut seleranya sendiri. Rahmat
dalam Islam adalah rahmat yang sesuai dengan kehendak Allah dan ajaran-Nya, baik berupa
perintah atau larangan. Memerangi kemaksiatan itu adalah rahmat, sekalipun sebagian orang
tidak setuju dengan tindakan tersebut. Jihad melawan orang kafir yang zalim adalah rahmat,
meskipun sekelompok manusia tidak suka jihad dan menganggapnya sebagai tindakan kekerasan
atau terorisme. Allah berfirman, Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah
sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan
boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui,
sedang kamu tidak mengetahui, (QS al-Baqarah: 216).Hendaknya kita jujur dalam
mengungkapkan sebuah istilah. Jangan sampai kita menggunakan ungkapan seperti sejuk, damai,
toleransi, rahmat, dan sebagainya, kemudian dikaitkan dengan kata Islam. Sementara ada
tujuan lain yang justru bertentangan dengan Islam itu sendiri. Wallahu alam bish shawab.
D. Manfaat Kerukunan Antar Umat Beragama
Umat Beragama Diharapkan Perkuat Kerukunan Jika agama dapat dikembangkan
sebagai faktor pemersatu maka ia akan memberikan stabilitas dan kemajuan Negara.

Menteri Agama Muhammad Maftuh Basyuni berharap dialog antar-umat beragama


dapat memperkuat kerukunan beragama dan menjadikan agama sebagai faktor
pemersatu dalam kehidupan berbangsa.

"Sebab jika agama dapat dikembangkan sebagai faktor pemersatu maka ia akan
memberikan sumbangan bagi stabilitas dan kemajuan suatu negara," katanya dalam
Pertemuan Besar Umat Beragama Indonesia untuk Mengantar NKRI di Jakarta, Rabu.

Pada pertemuan yang dihadiri tokoh-tokoh agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, dan Konghucu itu Maftuh menjelaskan, kerukunan umat beragama di
Indonesia pada dasarnya telah mengalami banyak kemajuan dalam beberapa dekade
terakhir namun beberapa persoalan, baik yang bersifat internal maupun antar-umat
beragama, hingga kini masih sering muncul.

Menurut dia, kondisi yang demikian menunjukkan bahwa kerukunan umat beragama
tidak bersifat imun melainkan terkait dan terpengaruh dinamika sosial yang terus
berkembang. "Karena itu upaya memelihara kerukunan harus dilakukan secara
komprehensif, terus-menerus, tidak boleh berhenti," katanya.

Dalam hal ini, Maftuh menjelaskan, tokoh dan umat beragama dapat memberikan
kontribusi dengan berdialog secara jujur, berkolaborasi dan bersinergi untuk
menggalang kekuatan bersama guna mengatasi berbagai masalah sosial termasuk
kemiskinan dan kebodohan. Ia juga mengutip perspektif pemikiran Pendeta Viktor Tanja
yang menyatakan bahwa misi agama atau dakwah yang kini harus digalakkan adalah
misi dengan tujuan meningkatkan sumber daya insani bangsa, baik secara ilmu
maupun karakter. "Hal itu kemudian perlu dijadikan sebagai titik temu agenda bersama
lintas agama," katanya.

Mengelola kemajemukan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin


mengatakan masyarakat Indonesia memang majemuk dan kemajemukan itu bisa
menjadi ancaman serius bagi integrasi bangsa jika tidak dikelola secara baik dan benar.

"Kemajemukan adalah realita yang tak dapat dihindari namun itu bukan untuk
dihapuskan. Supaya bisa menjadi pemersatu, kemajemukan harus dikelola dengan
baik dan benar," katanya. Ia menambahkan, untuk mengelola kemajemukan secara
baik dan benar diperlukan dialog berkejujuran guna mengurai permasalahan yang
selama ini mengganjal di masing-masing kelompok masyarakat.

"Karena mungkin masalah yang selama ini terjadi di antara pemeluk agama terjadi
karena tidak sampainya informasi yang benar dari satu pihak ke pihak lain. Terputusnya
jalinan informasi antar pemeluk agama dapat menimbulkan prasangka- prasangka yang
mengarah pada terbentuknya penilaian negatif," katanya.
Senada dengan Ma'ruf, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia Mgr.M.D Situmorang,
OFM. Cap mengatakan dialog berkejujuran antar umat beragama merupakan salah
satu cara untuk membangun persaudaraan antar- umat beragama.

Menurut dia, tema dialog antar-umat beragama sebaiknya bukan mengarah pada
masalah theologis, ritus dan cara peribadatan setiap agama melainkan lebih ke
masalah- masalah kemanusiaan. "Dalam hal kebangsaan, sebaiknya dialog difokuskan
ke moralitas, etika dan nilai spiritual," katanya. Ia juga menambahkan, supaya efektif
dialog antar-umat beragama mesti "sepi" dari latar belakang agama yang eksklusif dan
kehendak untuk mendominasi pihak lain. "Sebab untuk itu butuh relasi harmonis tanpa
apriori, ketakutan dan penilaian yang dimutlakkan. Yang harus dibangun adalah
persaudaraan yang saling menghargai tanpa kehendak untuk mendominasi dan
eksklusif," katanya.

Menurut Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Budi S Tanuwibowo, agenda
agama-agama ke depan sebaiknya difokuskan untuk menjawab tiga persoalan besar
yang selama ini menjadi pangkal masalah internal dan eksternal umat beragama yakni
rasa saling percaya, kesejahteraan bersama dan penciptaan rasa aman bagi
masyarakat. "Energi dan militansi agama seyogyanya diarahkan untuk mewujudkan tiga
hal mulia itu," demikian Budi S Tanuwibowo.

BAB II
PEMBAHASAN
KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA
A. Kerukunan Antar Umat Beragama di Indonesia
Kerukunan merupakan kebutuhan bersama yang tidak dapat dihindarkan di Tengah
perbedaan. Perbedaan yang ada bukan merupakan penghalang untuk hidup rukun dan
berdampingan dalam bingkai persaudaraan dan persatuan. Kesadaran akan kerukunan
hidup umat beragama yang harus bersifat Dinamis, Humanis dan Demokratis, agar
dapat ditransformasikan kepada masyarakat dikalangan bawah sehingga, kerukunan
tersebut tidak hanya dapat dirasakan/dinikmati oleh kalangan-kalangan atas/orang kaya
saja. Karena, Agama tidak bisa dengan dirinya sendiri dan dianggap dapat
memecahkan semua masalah. Agama hanya salah satu faktor dari kehidupan manusia.

Mungkin faktor yang paling penting dan mendasar karena memberikan sebuah arti dan
tujuan hidup. Tetapi sekarang kita mengetahui bahwa untuk mengerti lebih dalam
tentang agama perlu segi-segi lainnya, termasuk ilmu pengetahuan dan juga filsafat.
Yang paling mungkin adalah mendapatkan pengertian yang mendasar dari agama-
agama. Jadi, keterbukaan satu agama terhadap agama lain sangat penting.

Kalau kita masih mempunyai pandangan yang fanatik, bahwa hanya agama kita sendiri
saja yang paling benar, maka itu menjadi penghalang yang paling berat dalam usaha
memberikan sesuatu pandangan yang optimis. Namun ketika kontak-kontak
antaragama sering kali terjadi sejak tahun 1950-an, maka muncul paradigma dan arah
baru dalam pemikiran keagamaan. Orang tidak lagi bersikap negatif dan apriori
terhadap agama lain. Bahkan mulai muncul pengakuan positif atas kebenaran agama
lain yang pada gilirannya mendorong terjadinya saling pengertian.

Di masa lampau, kita berusaha menutup diri dari tradisi agama lain dan menganggap
agama selain agama kita sebagai lawan yang sesat serta penuh kecurigaan terhadap
berbagai aktivitas agama lain, maka sekarang kita lebih mengedepankan sikap
keterbukaan dan saling menghargai satu sama lain.

B. Kendala-Kendala
1. Rendahnya Sikap Toleransi
Menurut Dr. Ali Masrur, M.Ag, salah satu masalah dalam komunikasi antar agama
sekarang ini, khususnya di Indonesia, adalah munculnya sikap toleransi malas-malasan
(lazy tolerance) sebagaimana diungkapkan P. Knitter. Sikap ini muncul sebagai akibat
dari pola perjumpaan tak langsung (indirect encounter) antar agama, khususnya
menyangkut persoalan teologi yang sensitif. Sehingga kalangan umat beragama
merasa enggan mendiskusikan masalah-masalah keimanan. Tentu saja, dialog yang
lebih mendalam tidak terjadi, karena baik pihak yang berbeda keyakinan/agama sama-
sama menjaga jarak satu sama lain.

Masing-masing agama mengakui kebenaran agama lain, tetapi kemudian membiarkan


satu sama lain bertindak dengan cara yang memuaskan masing-masing pihak. Yang
terjadi hanyalah perjumpaan tak langsung, bukan perjumpaan sesungguhnya. Sehingga
dapat menimbulkan sikap kecurigaan diantara beberapa pihak yang berbeda agama,
maka akan timbullah yang dinamakan konflik.

2. Kepentingan Politik
Faktor Politik, Faktor ini terkadang menjadi faktor penting sebagai kendala dalam
mncapai tujuan sebuah kerukunan antar umat beragama khususnya di Indonesia, jika
bukan yang paling penting di antara faktor-faktor lainnya. Bisa saja sebuah kerukunan
antar agama telah dibangun dengan bersusah payah selama bertahun-tahun atau
mungkin berpuluh-puluh tahun, dan dengan demikian kita pun hampir memetik
buahnya.

Namun tiba-tiba saja muncul kekacauan politik yang ikut memengaruhi hubungan
antaragama dan bahkan memorak-porandakannya seolah petir menyambar yang
dengan mudahnya merontokkan bangunan dialog yang sedang kita selesaikan.
Seperti yang sedang terjadi di negeri kita saat ini, kita tidak hanya menangis melihat
political upheavels di negeri ini, tetapi lebih dari itu yang mengalir bukan lagi air mata,
tetapi darah; darah saudara-saudara kita, yang mudah-mudahan diterima di sisi-Nya.
Tanpa politik kita tidak bisa hidup secara tertib teratur dan bahkan tidak mampu
membangun sebuah negara, tetapi dengan alasan politik juga kita seringkali
menunggangi agama dan memanfaatkannya.

3. Sikap Fanatisme
Di kalangan Islam, pemahaman agama secara eksklusif juga ada dan berkembang.
Bahkan akhir-akhir ini, di Indonesia telah tumbuh dan berkembang pemahaman
keagamaan yang dapat dikategorikan sebagai Islam radikal dan fundamentalis, yakni
pemahaman keagamaan yang menekankan praktik keagamaan tanpa melihat
bagaimana sebuah ajaran agama seharusnya diadaptasikan dengan situasi dan kondisi
masyarakat. Mereka masih berpandangan bahwa Islam adalah satu-satunya agama
yang benar dan dapat menjamin keselamatan menusia. Jika orang ingin selamat, ia
harus memeluk Islam. Segala perbuatan orang-orang non-Muslim, menurut perspektif
aliran ini, tidak dapat diterima di sisi Allah.

Pandangan-pandangan semacam ini tidak mudah dikikis karena masing-masing sekte


atau aliran dalam agama tertentu, Islam misalnya, juga memiliki agen-agen dan para
pemimpinnya sendiri-sendiri. Islam tidak bergerak dari satu komando dan satu
pemimpin. Ada banyak aliran dan ada banyak pemimpin agama dalam Islam yang
antara satu sama lain memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang agamanya dan
terkadang bertentangan. Tentu saja, dalam agama Kristen juga ada kelompok eksklusif
seperti ini. Kelompok Evangelis, misalnya, berpendapat bahwa tujuan utama gereja
adalah mengajak mereka yang percaya untuk meningkatkan keimanan dan mereka
yang berada di luar untuk masuk dan bergabung. Bagi kelompok ini, hanya mereka
yang bergabung dengan gereja yang akan dianugerahi salvation atau keselamatan
abadi. Dengan saling mengandalkan pandangan-pandangan setiap sekte dalam agama
teersebut, maka timbullah sikap fanatisme yang berlebihan.

Dari uraian diatas, sangat jelas sekali bahwa ketiga faktor tersebut adalah akar dari
permasalahan yang menyebabkan konflik sekejap maupun berkepanjangan.

C. Solusi
1. Dialog Antar Pemeluk Agama
Sejarah perjumpaan agama-agama yang menggunakan kerangka politik secara tipikal
hampir keseluruhannya dipenuhi pergumulan, konflik dan pertarungan. Karena itulah
dalam perkembangan ilmu sejarah dalam beberapa dasawarsa terakhir, sejarah yang
berpusat pada politik yang kemudian disebut sebagai sejarah konvensional
dikembangkan dengan mencakup bidang-bidang kehidupan sosial-budaya lainnya,
sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai sejarah baru (new history). Sejarah
model mutakhir ini lazim disebut sebagai sejarah sosial (social history) sebagai
bandingan dari sejarah politik (political history). Penerapan sejarah sosial dalam
perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia akan sangat relevan, karena ia akan dapat
mengungkapkan sisi-sisi lain hubungan para penganut kedua agama ini di luar bidang
politik, yang sangat boleh jadi berlangsung dalam saling pengertian dan kedamaian,
yang pada gilirannya mewujudkan kehidupan bersama secara damai (peaceful co-
existence) di antara para pemeluk agama yang berbeda.

Hampir bisa dipastikan, perjumpaan Kristen dan Islam (dan juga agama-agama lain)
akan terus meningkat di masa-masa datang. Sejalan dengan peningkatan globalisasi,
revolusi teknologi komunikasi dan transportasi, kita akan menyaksikan gelombang
perjumpaan agama-agama dalam skala intensitas yang tidak pernah terjadi
sebelumnya. Dengan begitu, hampir tidak ada lagi suatu komunitas umat beragama
yang bisa hidup eksklusif, terpisah dari lingkungan komunitas umat-umat beragama
lainnya. Satu contoh kasus dapat diambil: seperti dengan meyakinkan dibuktikan Eck
(2002), Amerika Serikat, yang mungkin oleh sebagian orang dipandang sebagai sebuah
negara Kristen, telah berubah menjadi negara yang secara keagamaan paling
beragam. Saya kira, Indonesia, dalam batas tertentu, juga mengalami kecenderungan
yang sama. Dalam pandangan saya, sebagian besar perjumpaan di antara agama-
agama itu, khususnya agama yang mengalami konflik, bersifat damai. Dalam waktu-
waktu tertentu ketika terjadi perubahan-perubahan politik dan sosial yang cepat, yang
memunculkan krisis pertikaian dan konflik sangat boleh jadi meningkat intensitasnya.
Tetapi hal ini seyogyanya tidak mengaburkan perspektif kita, bahwa kedamaian lebih
sering menjadi feature utama. Kedamaian dalam perjumpaan itu, hemat saya, banyak
bersumber dari pertukaran (exchanges) dalam lapangan sosio-kultural atau bidang-
bidang yang secara longgar dapat disebut sebagai non-agama.

Bahkan terjadi juga pertukaran yang semakin intensif menyangkut gagasan-gagasan


keagamaan melalui dialog-dialog antaragama dan kemanusiaan baik pada tingkat
domestik di Indonesia maupun pada tingkat internasional; ini jelas memperkuat
perjumpaan secara damai tersebut. Melalui berbagai pertukaran semacam ini terjadi
penguatan saling pengertian dan, pada gilirannya, kehidupan berdampingan secara
damai.

2. Bersikap Optimis
Walaupun berbagai hambatan menghadang jalan kita untuk menuju sikap terbuka,
saling pengertian dan saling menghargai antaragama, saya kira kita tidak perlu bersikap
pesimis. Sebaliknya, kita perlu dan seharusnya mengembangkan optimisme dalam
menghadapi dan menyongsong masa depan dialog.Paling tidak ada tiga hal yang dapat
membuat kita bersikap optimis.

Pertama, pada beberapa dekade terakhir ini studi agama-agama, termasuk juga dialog
antaragama, semakin merebak dan berkembang di berbagai universitas, baik di dalam
maupun di luar negeri. Selain di berbagai perguruan tinggi agama, IAIN dan Seminari
misalnya, di universitas umum seperti Universitas Gajah Mada, juga telah didirikan
Pusat Studi Agama-agama dan Lintas Budaya. Meskipun baru seumur jagung, hal itu
bisa menjadi pertanda dan sekaligus harapan bagi pengembangan paham keagamaan
yang lebih toleran dan pada akhirnya lebih manusiawi. Juga bermunculan lembaga-
lembaga kajian agama, seperti Interfidei dan FKBA di Yogyakarta, yang memberikan
sumbangan dalam menumbuhkembangkan paham pluralisme agama dan kerukunan
antarpenganutnya.

Kedua, para pemimpin masing-masing agama semakin sadar akan perlunya perspektif
baru dalam melihat hubungan antar-agama. Mereka seringkali mengadakan pertemuan,
baik secara reguler maupun insidentil untuk menjalin hubungan yang lebih erat dan
memecahkan berbagai problem keagamaan yang tengah dihadapi bangsa kita dewasa
ini. Kesadaran semacam ini seharusnya tidak hanya dimiliki oleh para pemimpin
agama, tetapi juga oleh para penganut agama sampai ke akar rumput sehingga tidak
terjadi jurang pemisah antara pemimpin agama dan umat atau jemaatnya. Kita lebih
mementingkan bangunan-bangunan fisik peribadatan dan menambah kuantitas
pengikut, tetapi kurang menekankan kedalaman (intensity) keberagamaan serta
kualitas mereka dalam memahami dan mengamalkan ajaran agama.

Ketiga, masyarakat kita sebenarnya semakin dewasa dalam menanggapi isu-isu atau
provokasi-provokasi. Mereka tidak lagi mudah disulut dan diadu-domba serta
dimanfaatkan, baik oleh pribadi maupun kelompok demi target dan tujuan politik
tertentu. Meskipun berkali-kali masjid dan gereja diledakkan, tetapi semakin teruji
bahwa masyarakat kita sudah bisa membedakan mana wilayah agama dan mana
wilayah politik. Ini merupakan ujian bagi agama autentik (authentic religion) dan
penganutnya. Adalah tugas kita bersama, yakni pemerintah, para pemimpin agama,
dan masyarakat untuk mengingatkan para aktor politik di negeri kita untuk tidak
memakai agama sebagai instrumen politik dan tidak lagi menebar teror untuk mengadu
domba antarpenganut agama.

Jika tiga hal ini bisa dikembangkan dan kemudian diwariskan kepada generasi
selanjutnya, maka setidaknya kita para pemeluk agama masih mempunyai harapan
untuk dapat berkomunikasi dengan baik dan pada gilirannya bisa hidup berdampingan
lebih sebagai kawan dan mitra daripada sebagai lawan.

Versi yang kedua ya bos nanti tinggal kamu aja yang milih
mana yang menurut kamu bagus okeee

D. Agama Islam Merupakan Rahmat Bagi Seluruh


Alam
1. Makna agama Islam
Kata islam berarti damai, selamat, sejahtera,penyerahan diri, taat dan patuh.
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa agama islam adalah agama yang
mengandung ajaran yang menciptakan kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan
kehidupan ummat manusia pada sebagai penerima amanah allah yang dapat
menjalagkan amanah tersebut secara benar dan kaffah.

Agama islam adalah agama yang allah turunkan sejak manusia pertama, nabi pertama
yaitu nabi adam as. Agama islam itu kemudian allah turunkan secara
berkisenambungan pada para nabi dan rasul rasulnya. Aknir proses penurunan agama
islam itu baru menjadi pada masa kerasulan nabi Muhammad pada awal abad ke-v11
masehi. Islam sbagai nama agama yang allah turunkan belum dinyatakan secara
eksplisit pada masa kerasulan sebelum nabi Muhammad saw. Tetapi makna yang
substansi ajaranya secara implicit memiliki persamaan yang dapat dipahami yang dapat
dipahami dari penyataan sikap para rasul. Sebagaimana firman allah dalam surah al-
baqarah ayat 132 yang artinya:
"hai anak anakku (kata Ibrahim )sesungguhnya allah telah memilih agama ini bagimu
maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama islam." (Q S al-baqarah
132)
Ajaran agama islam memiliki karakteristik sbb:
1. sesuai dengan fitrah manusia
2. ajarannya sempurna
3. kebenarannya mutlak
4. mengajarkan keseimbangan dalam berbagai aspek kehidupan
5. fleksibel dan ringan
6. berlaku scara universal
7. sesuai dengan akal pikiran dan memotivasi manusia untuk menggunakan akal
pikirannya
8. inti ajarannya adalah tauhid
9. menciptakan rahmat, kasih syang Allah terhadap mahluknya

2. makna ukhuwah insyaniah


Fungsi sebagai rahmat llah telah dijelaskan dalam al-quran surah al anbiya ayat 107
yang artinya:
dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta
alam(QS al- anbiya ayat 107)"

Bentuk-bentuk kerahmatan Allah pada ajaran islam sbb:


1. Islam memberikan kebebasan pada manusia untuk menggunakan potensi yang
diberikan Allah
2. Islam menghargai dan menghormati manusiasebagai hamba allah, baik mereka
muslim maupun non muslim
3. Islam mengatur pemamfaatan alam secara baik dan professional
4. Islam menghormati kondisi spesifk indifidu manusia dan memberikan pelakuan yang
spesifik pula.

E. Ukhuwah Islamiyah Dan Ukhuwah Insaniyah


1. makna ukhuwah islamiyah
kata ukhuwah berarti persaudaraan, maksudnya perasaan simpati daan empati antara
dua orang atau lebih. Persaudaraan sesame muslim berarti saling menghargai dan
saling menghormati relativitas masing masing sebagai sifat dasar kemanusiaan, seperti
perbedaan pemikiran, sehingga tidak menjadi penghalang untuk saling membantu atau
menolong karena diantara mereka terkait oleh satu keyakinan dan dan jalan hidup,
yaitu islam.sebagaimana disebutkan dalam al quran surat alhujarat ayat 10: yang
artinya:
sesungguhnya orang orang mukmin adalah bersaudara, karna itu damaikanlah antara
kedua

2. makna ukhuwah insaniyah


konsep sesama persaudaran manusia (ukhuwah insaniyah) di landasi ajaran bahwa
semua ummat manusia adalah makhluk Allah. Sebagaimana Allah menjelaskan dalam
al-quran surah al-maidah ayat 48.
Dalam praktek keterangan yang sering timbul antar ummat beragama dengan
pemerintahan disebabkan oleh:
1. Sifat dari masing masing agama yang mengandung tugas dakwa atau misi
2. Kekurangan pengetahuan pemeluk agama akan agamanya atau sendiri atau agama
pihak lain
3. Para pemwluk agamma tidak mampu menahan diri, sehingga kurang menghormati
bahkan memandang renda agama lain.
4. Kaburnya batas antara sikap memegang teguh keyakinan agama dan toleransi
dalam dalam kehidupan masayarakat
5. Kecurigaan masing masing akan kejujuran pihak lain, baik intern ummat, beragama
maupun antara ummat beragama dengan pemerintah
6. Kurangnya saling pengertian dalam menghadapi masalah perbedaan pendapat

Dalam pembinaan ummat beragama, para pemimpin dan tokoh dalam mempunyai
peranan yang besar, yaitu:
1. Menerjemahkan nilai nilai dan norma norma agama dalam masyarakat
2. Menerjemahkan gagasan pembangunan kedalam bahasa yang di mengerti
masyarakat
3. Memberikan pendapat, saran dan kritik yang sehat terhadap ide ide dan cara cara
yang di lakukan untuk tugasnyanya pembangunan
4. Mendorong pembangunan dan membimbing masyarakat dan ummat beragama
untuk serta dalam usaha

Vous aimerez peut-être aussi