Vous êtes sur la page 1sur 35

ATRESIA ANI

MAKALAH

oleh
kelompok 2

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
MARET, 2016
ATRESIA ANI

MAKALAH

oleh
Velinda Dewi Lutfiana NIM 142310101004
Vidya Fajrin Ningtyas NIM 142310101038
Septyana Mila Arifin NIM 142310101089

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
MARET, 2016

2
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala
limpahan rahmat-Nya sehingga makalah dengan judul Atresia Ani dapat
terselesaikan dengan baik. Maksud dan tujuan dari penulisan makalah ini tidaklain
untuk memenuhi salah satu dari sekian kewajiban Mata Kuliah Keperawatan
Klinik III B serta merupakan bentuk langsung tanggung jawab penulis pada tugas
yang diberikan.
Pada kesempatan ini, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Ns. Lantin Sulistyorini, M.Kes. selaku dosen pengampu serta semua
pihak yang telah membantu penyelesaian makalah ini baik secara langsung
maupun tidak langsung.
Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu
kami harapkan. Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan menjadi
referensi bagi pembaca.
Terimakasih.
WassalamualaikumWr. Wb

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii
BAB 1. PENDAHULUAN.........................................................................1
1.1 Latar Belakang.....................................................................................1
1.2 Tujuan...................................................................................................2
1.3 Implikasi Keperawatan.......................................................................2
BAB 2. TINJAUAN TEORI......................................................................3
2.1 Pengertian.............................................................................................3
2.2 Epidemiologi.........................................................................................3
2.3 Etiologi..................................................................................................4
2.4 Klasifikasi.............................................................................................4
2.5 Tanda dan gejala..................................................................................8
2.6 Patofisiologi...........................................................................................8
2.7 komplikasi dan prognosis....................................................................9
2.8 Pengobatan...........................................................................................10
2.9 Pencegahan...........................................................................................12
BAB 3. PATHWAYS...................................................................................13
BAB 4. ASUHAN KEPERAWATAN........................................................15
4.1 Pengkajian............................................................................................15
4.2 Diagnosa................................................................................................22
4.3 Intervensi dan Implementasi...............................................................23
4.4 Evaluasi.................................................................................................29
BAB 5. PENUTUP......................................................................................30
5.1 Kesimpulan...........................................................................................30
5.2 Saran.....................................................................................................30
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................31

2
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Atresia ani adalah kelainan congenital dimana lubang anus tertutup
secara abnormal. Atresia ani atau anus imperforate memiliki anus tampak
rata, cekung ke dalam, atau kadang berbentuk anus tetapi lubang anus yang
ada tidak terbentuk secara sempurna sehingga lubang tersebut tidak terhubung
dengan saluran rectum. Rectum yang tidak terhubung dengan anus maka
feses tidak dapat dikeluarkan dari dalam tubuh secara normal. Tidak adanya
lubang anus ini karena terjadi gangguan pemisahan kloaka pada saat
kehamilan.
Indonesia memiliki angka kejadian atresia ani sangat tinggi yaitu 90%.
Masyarakat pada daerah perkotaan sangat erat kaitannya dengan kepadatan
penduduk dan lingkungan yang kumuh. Lingkungan yang kumuh dapat
menjadi factor pendukung terjadinya atresia ani. Tingkat pendidikan dan
pengetahuan yang rendah dan pola nutrisi yang kurang baik memungkinkan
bahwa keluarga dengan ibu hamil kurang memperoleh informasi mengenai
kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan bayi dalam kandungan.
Lingkungan yang terpapar dengan zat zat racun seperti asap rokok, alcohol
dan nikotin dapat mempengaruhi perkembangan janin. Atresia ani merupakan
suatu penyakit yang terjadi karena factor genetic, lingkungan dan atau
keduanya. Kelainan ini harus segera ditangani, jika tidak maka akan terjadi
komplikasi seperti obstruksi intestinal, konstipasi dan inkontinensia feses.
Maka dari itu untuk menambah wawasan khususnya keluarga dengan
ibu hamil penulis mengangkat tema atresia ani ini untuk mengurangi angka
kejadian atresia ani di Indonesia. Makalah ini ditulis bertujuan untuk
mengetahui komplikasi, penatalaksanaan, dan asuhan keperawatan mengenai
atresia ani.

1
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui definisi atresia ani.
1.2.2 Mengetahui epidemiologi atresia ani.
1.2.3 Mengetahui etiologi atresia ani.
1.2.4 Mengetahui tanda dan gejala atresia ani.
1.2.5 Mengetahui patofisiologi atresia ani.
1.2.6 Mengetahui komplikasi dan prognosis atresia ani.
1.2.7 Mengetahi cara pengobatan pada atresia ani.
1.2.8 Mengetahui pencegahan atresia ani.
1.2.9 Mengetahui asuhan keperawatan pada klien atresia ani.

1.3 Implikasi keperawatan


Penerapan asuhan keperawatan pada penyakit atresia ani dapat menyajikan
suatu lingkup praktik keperawatan secara professional. Penggunaan asuhan
keperawatan pada penderita atresia ani sangat bermanfaat bagi pasien dan
keluarga. Dalam hal ini pasien dan keluarga diharapkan dapat berpartisipasi
secara aktif dalam proses keperawatan. Bagi perawat, proses keperawatan ini
dapat meningkatankan kepuasan dalam bekerja dan meningkatkan
perkembangan profesionalisme dan meningktkan suatu pengembangan dan
kreatifitas dalam menangani masalah atresia ani.

BAB 2. TINJAUAN TEORI


2.1 Pengertian

2
Atresia ani disebut juga anorektal anomali atau imperforata anus.
Merupakan kelainan kongenital dimana terjadi perkembangan abnormal pada
anorektal di saluran gastrointestinal. Atresia ani atau anus imperforata adalah
malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang ke luar
(Wong,2004). Pada Atresia ani bentuk anus tampak rata, cekung ke dalam,
kadan berbentuk seperti anus tetapi tidak ada lubang atau lubang abnormal
sehingga tidak terhubung dengan rectum. Atresia ani terjadi karena gangguan
pemisahan kloaka pada saat kehamilan.

2.2 Epidemiologi
Atresia Ani adalah kegagalan pemisahan kloaka saat embrional dalam
kandungan ibu yang sehungga tidak terbentuknya lubang anus. Sebenarnya
kelainan ini sangat mudah diketahui, tetapi bisa juga terlewatkan karena
kurangnya pemeriksaan pada perineum. Malformasi anorektal lebih banyak
ditemukan pada laki-laki daripada perempuan. Dengan angka kejadian rata-
rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000 pada setiap
kelahiran.
Dari data yang ditemukan kelainan yang paling banyak ditemui pada
bayi laki-laki adalah Fistula rektouretra lalu diikuti oleh fistula perineal.
Sedangkan pada bayi perempuan, jenis malformasi anorektal yang paling
banyak ditemui adalah anus imperforate kemudian diikuti fistula
rektovestibular dan fistula perineal.
Pada Orang tua yang mempunyai gen karier terhadap Atresia ani
mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan kepada anaknya dan 30%
Anak dengan kelainan genetik, kelainan kromosom atau kelainan kongenital
lain yang juga beresiko untuk menderita atresia ani.
Pada umumnya gambaran atresia ani yang terjadi pada 1,5%-2% atresia ani
adalah Atresia rektum, dengan perbandingan laki-laki dan perempuan 4:0.
Kejadian yang tinggi terjadi pada daerah India selatan (M Kisra, 2005).

3
Malformasi anorektal letak rendah lebih banyak ditemukan
dibandingkan malformasi anorektal letak tinggi itu adalah hasil penelitian
Boocock dan Donna di Manchester.

2.3 Etiologi
Penyebab dari atresia ani masih belum diketahui pasti. Pada beberapa
penelitian, atresia ani dapat disebabkan oleh kelainan genetic maupun factor
lingkungan yang terpapar oleh zat-zat beracun, lingkungan yang kumuh dan
pola nutrisi bayi selama dalam kandungan.
Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa factor, yaitu :
1. Putusnya saluran pencernaan atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir
tanpa lubang dubur.
2. Adanya kegagalan pembentukan septum urorektal secara sempurna karena
gangguan pertumbuhan, fusi, atau pembentukan anus dari tonjolan
embrionik.
3. Gangguan organogenesis dalam kandungan dimana terjadi kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
4. Kelainan bawaan yang diturunkan dari orang tua. Jika kedua orang tua
menjadi carier maka 25%-30% menjadi peluang untuk terjadinya atresia
ani, kemudian adanya kelainan sindrom genetic, kromosom yang tidak
normal dan kelainan congenital lainnya juga dapat beresiko menderita
atresia ani.
5. Terjadinya gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus
urogenital, biasanya karena gangguan perkembangan septum urogenital
pada minggu ke-5 sampai ke-7 pada usia kehamilan,

2.4 Klasifikasi
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) dijelaskan bahwa, atresia ani
dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin.
a. Golongan I yaitu pada anak penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi
menjadi 4 kelainan yaitu

4
1. Kelainan pada fistelurin

2. Atresia rectum,

3. Perineum yang datar

4. Tidak adanya Fistel.

Namun jika ada fistelurin, tampak mekonium keluar dari orifisium


eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika
urinaria. Cara menentukan letak fistelnya adalah dengan memasang kateter
urin. Dan jika kateter telah terpasang kemudian urin yang keluar jernih, itu
pertanda bahwa fistel terletak di uretra karena fistel tersebut tertutup kateter.
Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesika
urinaria kemudian pengeluaran feses tersebut tidak lancar, itu pertanda
penderita memerlukan kolostomi segera agar fases keluar dengan semestinya.
Pada perempuan penderita atresia rectum, tindakannya sama seperti laki-laki
yaitu harus dibuat kolostomi dan Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari
kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi juga.
b. Golongan II yaitu pada penderita berjenis kelamin laki-laki dibagi 4
kelainan yaitu

1. Kelainan pada fistel perineum

2. Membran anal

3. Stenosis anus

4. Fisteltidakada.

Fistel perineum yang ada pada laki-laki ini sama dengan pada
wanita yaitu lubangnya terdapat anterior dari letak anus yang normal.
Sedangkan pada membran anal, biasanya terlihat bayangan mekonium di
bawah selaput. Saat evakuasi feses sedang tidak ada sebaiknya dilakukan
terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan

5
perempuan yaitu tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel
dan udara.
c. Golongan I pada perempuang dibagi 5 kelainan yaitu :

1. Kelainan kloaka

2. Fistel vagina

3. Fistel rektovestibular

4. Atresia rectum

5. Fistel tidak ada

6. Invertogram : udara >1 cm dari kulit

Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi


fecesnya menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi.
Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat di vulva. Umumnya evakuasi
feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai
terhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat
direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka
maka tidak perlu ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis
dan jalan cernanya. Evakuasi pengeluaran feses yang umumnya tidak
sempurna sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Pada atresia rectum,
anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan dubur, jari tidak dapat
masuk lebih dari 1-2 cm. Dan tidak ada evakuasi mekonium sehingga
perlu juga segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuatin
vertogram.
d. Golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu

Kelainan pada fistel perineum,

Stenosis anus

Fistel tidak ada

6
Invertogram : udara <1 cm dari kulit.

Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan


tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu
menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat
yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga
biasanya harus segera dilakukan terapi definitive. Bila tidak ada fistel dan
pada invertogram udara.
Selanjutnya klasifikasi atresia ani juga dibagi menjadi ada 4 yaitu :
1. Anal stenosis yaitu terjadinya penyempitan anus sehingga feses tidak
dapat keluar pada semestinya.
2. Membranosus atresia adalah terdapat membrane pada anus.
3. Anal agenesis yaitu penderita masih memiliki anus tetapi ada daging
diantara rectum dengan anus.
4. Rectal atresia adalah penderita yang tidak memiliki rektum.

Kemudian Kalsifikasi pasien penderita Atresia ani diklasifikasikan lebih


lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
1. Anomali rendah / infralevator
Pada anomaly rendah, rektum mempunyai jalur desenden yang normal
melalui otot puborektalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang
berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan
dengan saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet
Pada anomaly intermediet, rektum berada pada atau di bawah tingkat otot
puborectalis, lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang
normal.
3. Anomali tinggi / supralevator
Pada anomaly tinggi ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter
internal tidak ada. Hal ini biasanya berhubungan dengan fistula

7
genitourinarius retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak
antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih dari 1 cm.

Gambaran malforasi anorektal pada perempuan

2.5 Tanda dan gejala


1. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula
2. Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran bayi.
3. Bayi muntah-muntah pada umur 24-48 jam
4. Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
5. Pengukuran suhu rektal pada bayi tidak dapat dilakukan.
6. Adanya tanda-tanda obstruksi usus (bila tidak ada fistula) dan distensi
bertahap
7. Pada pemeriksaan rectal touch terdapat adanya membran anal.
8. Lebih dari 50% pasien dengan atresia ani mempunyai kelainan congenital
lain.
9. Perut kembung 4-8 jam setelah lahir. (Betz. Ed 7. 2002)

2.6 Patofisiologi

8
Atresia ani terjadi dikarenakan kegagalan penurunan septum
anorektal pada embrional. Anus dan rektum berkembang dari embrionik
bagian belakang. Kloaka yang merupakan bakal genitourinaria dan
struktur anorektal berkembang awalnya dari ujung ekor dari bagian
belakang. Penyempitan pada kanal anorektal menyebabkan terjadinya
stenosis anal. Atresia ani sendiri terjadi karena tidak ada kelengkapan
migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 minggu dalam
perkembangan fetal. Kegagalan migrasi tersebut juga diakibatkan karena
kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan
vagina. Di usus besar yang keluar hingga anus tidak terjadi pembukaan
sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal
mengalami obstruksi. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi
dan adanya fistula. Obstruksi tersebut berakibat distensi abdomen,
sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin
akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses
mengalir ke arah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada
keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau
perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki biasanya letak tinggi,
umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostate.
(rektovesika). Pada letak rendah fistula menuju ke uretra
(rektourethralis).
2.7 Komplikasi & prognosis
2.7.1 Komplikasi
a. Asidosis hiperkloremia.
b. Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah).
c. Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet
training.
d. Komplikasi jangka panjang yaitu
a) eversi mukosa anal,
b) stenosis (akibat konstriksi jaringan perut dianastomosis).
c) Infeksi saluran kemih yang bisa berkepanjangan
d) Prolaps mukosa anorektal.

9
e) Inkontinensia (akibat stenosis awal atau impaksi)
f) Fistula (karena ketegangan abdomen, diare, pembedahan
dan infeksi).(Ngastiyah, 2005).
Factor factor yang dapat mempengaruhi terjadinya komplikasi pada
atresia ani adalah kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan
operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, dan
keterampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang
buruk.
2.7.2 Prognosis
Kelainan anorektal letak rendah biasanya dapat diperbaiki
dengan pembedahan melalui perineum dan prognosis baik untuk
kontinensia fekal. Sedangkan beda dengan kelainan anorektal letak
tinggi diperbaiki dengan pembedahan sakroperineal atau
abdominoperineal. Adapun pada kelainan ini, sfingterani eksternus
tidak memadai dan tidak ada sfingter ani internus, maka
kontinensia fekal tergantung fungsi otot puborektalis (DeLorimer
1981 ; Iwai et al 1988). Ong dan Beasley (1990) mendapatkan hasil
penelitian klinis, dalam jangka panjang dari kelainan anorektal
letak rendah yang dilakukan operasi perineal lebih dari 90%
penderita mencapai kontrol anorektal yang secara sosial dapat
diterima. Insidensi soiling pada penderita umur lebih 10 tahun
lebih rendah dibanding penderita yang lebih muda. Pada kelainan
anorektal letak tinggi hasilnya hanya 1/3 yang baik, 1/3 lagi dapat
mengontrol kontinensia fekal. Pada wanita hasilnya lebih baik
daripada laki-laki karena pada wanita lesi seringkali intermediet.
Kebanyakan lesi supralevator dengan tindakan PSARP dapat
dikerjakan melalui perineum tanpa membuka abdomen (Smith,
1990). masalah-masalah kontinensia biasanya terjadi pada
beberapa penderita dengan kelainan anorektal letak tinggi terutama
ketika dilakukan pembedahan dibanding letak rendah.
2.8 Pengobatan

10
Penatalaksanaan atresia ani ini berbeda, tergantung pada letak ketinggian
akhiran rectum dan ada tidaknya fistula. Leape (1987) menganjurkan pada:
1. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau
TCD dahulu, setelah 6 12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif
(PSARP)
2. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya
dilakukan tes provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas
otot sfingter ani ekternus
3. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion yaitu tindakan
pembedahan untuk membuat lubang anus pada anus malformasi fistel
rendah misalnya pada anocutan fistel, anus vestibular yang tidak adekuat
dan pada anus membranaseus
4. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin

Pelaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu sebagai berikut:


a. Kolostomi
Kolostomi adalah suatu tindakan membuat lubang pada dinding
abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya
sementara atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Saat ini
tatalaksana atresia ani yang paling ideal adalah divided descending
colostomy karena kolostomi ini memungkinkan terjadinya dekompresi
yang adekuat, dan segmen kolon distal non-fungsional yang pendek
namun tidak mengganggu proses pull-through pada tahap terapi
definitive. Kolostomi pada sigmoid juga dianggap lebih menguntungkan
dibanding dengan kolostomi transversal, karena proses pembersihan
kolon distal pada proses kolostomi menjadi lebih mudah. Loop
colostomy memungkinkan masuknya feses dari stoma proksimal ke
distal, dan dapat menyebabkan terjadinya infeksi, dilatasi rektal, dan
impaksi feses. Kolostomi pada rektosigmoid bagian bawah sering terjadi
kesalahan karena proses ini membuat segmen distal menjadi terlalu
pendek dan sulit untuk dimobilisasi pada proses pull through.
b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)

11
PSARP adalah suatu tindakan membelah muskulus sfingter
eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi
kantong rectum dan pemotongan fistel. PSARP umumnya ditunda 9
sampai 12 bulan untuk memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada
otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi
untuk menambah berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya.
c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari
setelah operasi, anak akan mulai BAB melalui anus. Awalnya BAB akan
sering tetapi seminggu setelah operasi BAB berkurang frekuensinya dan
agak padat.
d. Perawatan Postoperasi
Setelah menjalani operasi, dua minggu kemudian pasien menjalani
anal dilatasi dua kali setiap hari sampai ukuran busi sesuai dengan umur
pasien dan saat businasi terasa lancar dan tidak terasa sakit. Kemudian
dilakukan tappering businasi dengan menurunkan frekuensi sampai
beberapa bulan, biasanya sekitar 6 bulan. Orang tua pasien harus
diikutsertakan dalam program ini karena orang tua yang menjalankan dan
orang yang paling dekat dengan anak.

2.9 Pencegahan
1. Melakukan pendidikan kesehatan kepada keluarga khususnya ibu hamil
mengenai informasi kesehatan ibu hamil, pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam kandungan.
2. Promosi kesehatan mengenai sanitasi lingkungan.
3. Menjauhkan ibu hamil dari bahan beracun seperti asap rokok, nikotin,
dan zat yang berbahaya lainnya.

12
BAB 3 PATHWAYS

Kelainan kongengital Gangguan pertumbuhan Factor lingkungan


Fusi
Pembentukan anus dari
tonjolan embriogenik

Feses menumpuk Feses tidak Atresia Ani Vistel rektrovaginal


keluar

Feses masuk uretra


Reabsorbsi sisa Peningkatan tekanan
metabolism tubuh intra abdominal
Mikroorganisme masuk
Operasi kolostomi ke saluran kemih
Keracunan

anxietas Perubahan Dysuria Gangguan eliminasi urin


Mual, muntah
defekasi:
- pengeluar
Ketidakseimba an tak
ngan nutrisis Gangguan rasa nyaman
terkontrol
kurang dari - iritasi
kebutuhan mukosa
tubuh

13
Trauma jaringan Abnormalitas
Resiko kerusakan spinter rektal
integritas kulit
Perawatan tidak
adekuat
Nyeri

Resiko infeksi

14
BAB 4 ASUHAN KEPERAWATAN
4.1 Pengkajian
4.1.1 IDENTITAS PASIEN
Nama : -
Demografi: lingkungan yang kumuh dan pemukiman yang padat
dapat mempengaruhi terjadinya atresia ani
Umur: 1 hari
Jenis Kelamin: laki-laki
Atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki laki
daripada perempuan
No. Reg: -
Tanggal Masuk RS: -
Diagnosa Medis: Atresia Ani
4.1.2 RIWAYAT KESEHATAN
a. Keluhan Utama
Pasien tidak memiliki anus sejak lahir
b. Riwayat Kesehatan Sekarang
Pasien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama
kelahiran, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air
besar, meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat
dalam urin
c. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kedua orang tua merupakan carier dari atresia ani, adanya
kelainan sindrom genetic, kromosom yang tidak normal dan
kelainan congenital lainnya. Riwayat penggunaan obat-obatan
tanpa resep, konsumsi jamu-jamuan, riwayat jatuh, trauma pada
perut disangkal.
d. Riwayat Kesehatan Keluarga
Adanya riwayat keluarga yang juga memiliki kelainan tidak
memiliki anus sejak lahir.

15
e. Riwayat Kesehatan Lingkungan
umumnya kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi secara
langsung kasus atresia ani ini. Hanya saja, lingkungan yang
kumuh dan padat tidak menutup kemungkinan menyebabkan
awalan terjadinya penyakit atresia ani pada janin yang masih
didalam kandungan.
4.1.3 POLA FUNGSI KESEHATAN
a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Pasien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang
apa yang dirasakan dan apa yang diinginkan karena pasien
merupakan bayi.
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri
karena masih bayi.
c. Pola istirahat/tidur
Pasien merasakan nyeri sehingga mengganggu waktu
istirahatnya. Diperoleh dari keterangan ibu bayi atau keluarga
yang lainnya, ketika saat jam istirahat, pasien gelisah dan rewel.
d. Pola nutrisi metabolik
Pasien yang merupakan bayi hanya minum ASI atau susu
kaleng, namun bisa saja dimuntahkan kembali ketika perut
terasa penuh, dan akibat terhambatnya melakukan konstipasi.
e. Pola eliminasi
Pasien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
yang seharusnya dikeluarkan melalui anus.
f. Pola kognitif perseptual
Pasien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi
dengan baik pada orang lain dikarenakan masih bayi. Keluarga
pasien pun belum terlalu paham mengenai penyakit yang
diderita pasien.
g. Pola konsep diri

16
1) Identitas diri : belum bisa terkaji
2) Ideal diri : belum bisa terkaji
3) Gambaran diri : belum bisa terkaji
4) Peran diri : belum bisa terkaji
5) Harga diri : belum bisa terkaji
h. Pola seksual Reproduksi
Pasien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena pasien belum mengerti tentang
kepercayaan.
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena pasien belum mampu berinteraksi
dengan orang lain secara mandiri.
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena pasien masih bayi dan belum mampu
berespon terhadap adanya suatu masalah.

4.1.4 PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan Fisik Head to toe
1. Tanda-tanda vital
Nadi : 110 X/menit.
Respirasi : 32 X/menit.
Suhu axila :37 Celsius.
2. Kepala
Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak
ada benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada
chepal hematom.
3. Mata
Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan
subkonjungtiva, tidak ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus,
conjungtiva tampak agak pucat.

17
4. Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada
pernafasan cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.
5. Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak
macroglosus, tidak cheilochisis.
6. Telinga
Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago
berbentuk sempurna
7. Leher
Tidak ada webbed neck.
8. Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel
shest, pernafasan normal
9. Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur
10. Abdomen
Inspeksi : datar, lemas, tampak stoma kesan vital, produksi
feses positif.
Auskultasi : bising usus positif, normal
Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa.
Perkusi : timpani
11. Genetalia
Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak
ada hipospandia pada penis, tidak ada hernia sorotalis.
12. Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar,
kadang-kadang tampak ileus obstruksi. Thermometer yang
dimasukan kedalam anus tertahan oleh jaringan. Pada
auskultasi terdengar peristaltic.
13. Ektrimitas atas dan bawah

18
Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak tangan
maupun kaki dan kukunya tampak agak pucat.
14. Punggung
Tidak ada penonjolan spina gifid
15. Pemeriksaan Reflek
a. Suching +
b. Rooting +
c. Moro +
d. Grip +
e. Plantar +

Menurut Pena yang dikutipkan Faradilla untuk mendiagnosa


menggunakan cara sebagai berikut:
1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin
bila:
a) Jika Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau
anal membran berarti atresia ini termasuk atresia letak
rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital
Anorektoplasti (PSARP) tanpa kolostomi.
b) Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan
kolostomi terlebih dahulu, setelah 8 minggu kemudian
dilakukan tindakan definitif. Apabila pemeriksaan diatas
meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran rektum < 1
cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1
cm disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa
rektovesikalis, rektouretralis dan rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal
PSARP tanpa kolostomi. Bila fistel rektovaginal atau
rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Bila
fistel (-) maka dilakukan invertrogram. Apabila akhiran < 1

19
cm dari kulit dilakukan postero sagital anorektoplasti,
apabila akhiran > 1 cm dari kulit dilakukan kolostomi
terlebih dahulu.
Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menyatakan bila
mekonium didapatkan pada perineum, vestibulum atau fistel
perianal maka kelainan adalah letak rendah. Bila Pada pemeriksaan
fistel (-) maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah.
Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah lahir agar
usus terisi oleh udara, dengan cara Wangenstein Reis yaitu kedua
kaki dipegang posisi badan vertikal dengan kepala dibawah atau
knee chest position yaitu posisi sujud yang bertujuan agar udara
berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula lakukan
fistulografi (Faradilla, 2009).
Pada pemeriksan klinis, pasien dengan atresia ani tidak selalu
menunjukkan gejala obstruksi saluran cerna. Pada pemeriksaan
klinis harus segera ditegakkan diagnosis setelah lahir dengan
inspeksi daerah perianal dan dengan memasukkan termometer
melalui anus. (Levitt M, 2007)
Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi
dengan fistula rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen
tidak ditemukan selama beberapa jam pertama setelah lahir dan
mekonium harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal atau
fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada
bayi tersebut dikelilingi struktur otot-otot volunter yang menjaga
rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan intrabdominal harus
cukup tinggi untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi
rektum. Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24 jam untuk
menentukan jenis atresia ani pada bayi untuk menentukan apakah
akan dilakukan colostomy atau anoplasty (Levitt M, 2007).
Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat
perineum, ditandai dengan tidak adanya garis anus dan anal dimple

20
mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot perineum yang
sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan atresia ani letak
tinggi dan harus dilakukan colostomy (Levitt M, 2007).
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan
atresia ani letak rendah meliputi adanya mekonium pada perineum,
"bucket-handle" (skin tag yang terdapat pada anal dimple), dan
adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium) (Levitt
M, 2007).

4.1.5 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang diketahui sebagai berikut:
1. Pemeriksaan rectal digital dan visual adalah pemeriksaan
diagnostik yang umum.

2. Pemeriksaan urin, jika ada fistula, urin dapat diperiksa untuk


memeriksa adanya sel-sel epitel mekonium.

3. Pemeriksaan sinyal X lateral infeksi (teknik wangensteen-rice)


dapat menunjukkan adanya gas dalam ujung rectum yang buntu
pada mekonium yang mencegah gas sampai keujung kantong
rectal.

4. Ultrasound terhadap abdomen, dapat digunakan untuk


menentukan letak rectal kantong. Digunakan juga untuk melihat
fungsi organ internal terutama dalam sistem pencernaan dan
mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena
massa tumor.

5. Aspirasi jarum untuk mendeteksi kantong rectal dengan


menusukan jarum tersebut sampai melakukan aspirasi, jika
mekonium tidak keluar pada saat jarum sudah masuk 1,5 cm
Derek tersebut dianggap defek tingkat tinggi.

21
6. Pewarnaan radiopak dimasukkan kedalam traktus urinarius,
misalnya suatu sistrouretrogram mikturasi akan memperlihatkan
hubungan rektrourinarius dan kelainan urinarius.

7. CT Scan digunakan untuk menentukan lesi.

4.2 Diagnosa
a. Gangguan pola eliminasi konstipasi berhubungan dengan abnormalitas
organ.
b. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan feses masuk ke uretra.
c. Nyeri akut berhubungan dengan trauma jaringan.
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan mencerna makanan.
e. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi
f. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan gejala terkait penyakit,
vistel retrovaginal, dysuria, trauma jaringan post operasi.
g. Risiko tinggi infeksi berhubungan dengan perawatan tidak adekuat,
trauma jaringan post operasi.
h. Ansietas berhubungan dengan pembedahan dan mempunyai anak yang
tidak sempurna.

22
4.3 Perencanaan dan pelaksanaan

N Diagnosa Tujuan dan Intervensi Implementasi


o Kriteria hasil
1 Gangguan Setelah 1. Monitor tanda 1. Memonitor
pola dilakukan dan gejala tanda dan
eliminasi 3x24 jam pola konstipasi gejala
2. Monitor feses:
konstipasi eliminasi konstipasi
frekuensi, 2. Memonitor
b.d pasien cuku
konsistensi dan feses:
abnormalit baik.
volume frekuensi,
as organ Kriteria Hasil:
3. Monitor bising
konsistensi
Eliminasi
usus
dan volume
konstipasi bayi 4. Monitor tanda
3. Memonitor
bisa, walau dan gejala
bising usus
hanya melalui peritonitis(di 4. Memonitor
anus buatan usus) tanda dan
5. Pantau tanda
gejala
dan gejala
peritonitis(di
konstipasi
usus)
6. Jelaskan
5. Memantau
rasionalisasi dari
tanda dan
tindakan yang
gejala
dilakukan
konstipasi
kepada keluarga 6. Menjelaskan
pasien (bayi) rasionalisasi
7. Dukung intake
dari tindakan
cairan
yang
dilakukan
kepada
keluarga
pasien (bayi)
7. Mendukung

23
intake cairan

2 Nyeri akut Setelah 1. Lakukan 1. Melakukan


b.d trauma dilakukan pengkajian nyeri pengkajian
jaringan perawatan secara nyeri secara
1x24 jam nyeri komprehensif, komprehensif,
pasien termasuk lokasi, termasuk
berkurang karakteristik, lokasi,
Kriteria Hasil: durasi, frekuensi, karakteristik,
Nyeri pada kualitasnya. durasi,
2. Observasi reaksi
pasien(bayi) frekuensi,
nonverbal dari
berkurang kualitasnya
ketidaknyamanan 2. Mengobservas
pada skala
(misalnya: bayi i reaksi
nyeri1 setelah
menangis) nonverbal dari
dilakukan
3. Kontrol
ketidaknyama
penanganan
lingkungan yang
nan
nyeri yang
dapat
(misalnya:
tepat serta
mempengaruhi
bayi
didampingi
nyeri seperti suhu
menangis)
dengan
ruangan, 3. Mengontrol
lingkungan
pencahayaan,dll lingkungan
yang bersih 4. Pilih dan
yang dapat
lakukan
mempengaruh
penanganan
i nyeri seperti
nyeri
suhu ruangan,
pencahayaan,
dll
4. Memilih dan
melakukan
penanganan
nyeri

24
3 Gangguan Setelah 1. Dorong 1. Mendorong
rasa dilakukan keluarga untuk keluarga
nyaman perawatan menemani untuk
b.d gejala 1x24 jam nyeri pasien (bayi) menemani
2. Jaga kebersihan
terkait berkurang pasien (bayi)
daerah 2. Menjaga
penyakit, Kriteria hasil:
penyakit/trauma kebersihan
vistel Pasien
, pantau respon daerah
retrovagin (bayi) tidak
pasien penyakit/trau
al, dysuria, lagi rewel 3. Beri pendidikan
ma, pantau
trauma karena kesehatan pada
respon pasien
jaringan area/lokasi keluarga pasien 3. Beri
post penyakit (bayi) pendidikan
operasi dan trauma kesehatan
bersih dan pada keluarga
selalu pasien (bayi)
dipantau

4 Ketidaksei Selama 1. Kolaborasi 1. Melakukan


mbangan dilakukan dengan ahli gizi kolaborasi
nutrisi perawatan untuk dengan ahli gizi
kurang 2x24 jam menentukan untuk
dari kebutuhan jumlah nutrisi menentukan
kebutuhan nutrisi pasien yang dibutuhkan jumlah nutrisi
tubuh b.d tercukupi pasien (bayi) yang
2. Monitor jumlah
ketidakma Kriteria Hasil: dibutuhkan
nutrisi
mpuan Nutrisi pasien pasien (bayi)
3. Kaji kemampuan
2. Memonitor
mencerna sedikit demi
pasien untuk
jumlah nutrisi
makanan sedikit
mendapatkan 3. Mengkaji
terpenuhi
nutrisi yang kemampuan
dibutuhkan pasien untuk
4. Berikan
mendapatkan

25
informasi tentang nutrisi yang
kebutuhan nutrisi dibutuhkan
4. Memberikan
kepada keluarga
informasi
pasien
tentang
kebutuhan
nutrisi kepada
keluarga pasien

5 Resiko Selama 1. Jaga kebersihan 1. Menjaga


kerusakan dilakukan dan pantau kebersihan dan
integritas perawatan didaerah yang di pantau didaerah
kulit b.d selama 3x24 kolostomi pada yang di
kolostomi jam tidak ada pasien (bayi) kolostomi pada
2. Oleskan lotion
kerusakan pasien (bayi)
atau minyak/baby 2. Mengoleskan
jaringan pada
oil pada daerah lotion atau
kulit.
yang beresiko minyak/baby
Criteria hasil:
3. Monitor status
oil pada daerah
1. Tidak
nutrisi pasien
yang beresiko
ada 4. Monitor tanda
3. Memonitor
tanda- dan gejala infeksi
status nutrisi
tanda pada area insisi
pasien
infeksi 4. Memonitor
pada tanda dan
kulit gejala infeksi
2. Ketebal
pada area insisi
an dan
tekstur
jaringa
n
normal

26
6 Resiko Setelah 1. Jaga kebersihan 1. Menjaga
tinggi dilakukan lingkungan kebersihan
2. Pertahankan
infeksi b.d perawatan lingkungan
teknik isolasi 2. Mempertahank
perawatan 3x24 jam
3. Berikan terapi
an teknik
tidak resiko tinggi
antibiotic bila
isolasi
adekuat, infeksi pasien
perlu infection 3. Memberikan
trauma berkurang
protection terapi antibiotic
jaringan Kriteria Hasil: 4. Monitor tanda
bila perlu
post Resiko infeksi dan gejala infeksi
infection
operasi berkurang sistemik dan
protection
karena local 4. Memonitor
5. Berikan
lingkungan tanda dan
perawatan pada
yang bersih gejala infeksi
lokasi infeksi
serta penangan sistemik dan
6. Inspeksi kondisi
cepat yang local
luka
5. Memberikan
dilakukan. 7. Inspeksi kulit dan
perawatan pada
membran mukosa
lokasi infeksi
terhadap
6. Melakukan
kemerahan,
inspeksi kondisi
panas, drainase
luka
8. Dorong
7. Melakukan
masukkan nutrisi
inspeksi kulit
yang cukup
dan membran
9. Ajarkan keluarga
mukosa
pasien (bayi)
terhadap
tanda dan gejala
kemerahan,
infeksi
panas, drainase
8. Mendorong
masukkan
nutrisi yang
cukup
9. Mengajarkan

27
keluarga pasien
(bayi) tanda
dan gejala
infeksi

7 Ansietas Selama 1. Gunakan 1. Menggunakan


b.d dilakukan pendekatan yang pendekatan
pembedah perawatan menenangkan yang
2. Jelaskan semua
an dan 1x24 jam menenangkan
prosedur 2. Menjelaskan
mempunya ansietas
3. Pahami
semua prosedur
i anak keluarga
prespektif 3. Memahami
yang tidak pasien teratasi
keluarga pasien prespektif
sempurna Kriteria Hasil:
terhadap situasi keluarga pasien
Keluarga
stress terhadap situasi
pasien sedikit 4. Bantu keluarga
stress
berkurang rasa pasien mengenal 4. Membantu
cemas setelah situasi yang keluarga pasien
diberi penkes menimbulkan mengenal
yang kecemasan situasi yang
5. Dorong keluarga
berhubungan menimbulkan
pasien untuk
dengan kecemasan
mengungkapkan 5. Mendorong
penyakit sang
perasaan, keluarga pasien
anak
ketakutan, untuk
persepsi mengungkapka
n perasaan,
ketakutan,
persepsi

28
4.4 Evaluasi
Evaluasi dalam asuhan keperawatan merupakan respon pasien terhadap
intervensi yang telah dilakukan. Evaluasi mengacu pada penilaian, tahapan,
dan perbaikan. Penulis menggunakan evaluasi SOAP dalam asuhan
keperawatan atresia ani sebagai berikut :
S: subjectiv
O: objektif
A: assesment
P: plan
Berikut evaluasi dari 3 diagnosa yang kami ambil:
DX 1: Gangguan pola eliminasi konstipasi b.d abnormalitas organ
S: Bayi rewel ketika tidak dapat melakukan konstipasi
O: Keringat dingin, suhu tubuh tinggi, bising usus pekak
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
DX 2: Gangguan rasa nyaman b.d gejala terkait penyakit, vistel retrovaginal,
dysuria, trauma jaringan post operasi
S: Bayi gelisah dan rewel
O: Kebersihan area penyakit/trauma belum terpenuhi, tidak ada keluarga
yang mendampingi saat itu
A: Masalah teratasi
P: Hentikan intervensi
DX 3: Nyeri akut b.d trauma jaringan
S: Bayi menangis ketika bergerak atau lokasi penyakit tersentuh
O : Skala nyeri bayi di angka 4
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi

29
BAB 5 PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Atresia ani merupakan suatu penyakit dimana tidak ada lubang anus
pada tempat yang seharusnya. Penyakit ini biasanya terjadi pada bayi
baru lahir. Atresia ani ini dapat disebabkan oleh kelainan genetic dan
lingkungan. Untuk mencegah terjadinya atresia ani ini dapat dilakukan
melalui pendidikan kesehatan kepada keluarga khususnya ibu hamil
mengenai informasi kesehatan ibu hamil, pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam kandungan, promosi kesehatan mengenai
sanitasi lingkungan, dan menjauhkan ibu hamil dari bahan beracun
seperti asap rokok, nikotin, dan zat yang berbahaya lainnya. Untuk
penanganannya dapat dilakukan dengan kolostomi, yaitu pembuatan
lubang pada abdomen yang fungsinya sebagai pengganti anus.

5.2 Saran
Untuk mencegah penyakit atresia ani ini sebaiknya keluarga dengan ibu
hamil memperbaiki pola nutrisi saat kehamilan, serta menjaga
kebersihan lingkungan sekitar. Dan bagi perawat, sebaiknya dapat
memberikan asuhan keperawatan secara professional.

30
Daftar Pustaka

Betz, Cealy L. & Linda A. Sowden. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediarik
Edisi ke-3. Jakarta: EGC

Carpenito, Lynda Juall. 1997. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi ke-6.
Jakarta: EGC

Sri Kurnianingsih (ed), Monica Ester (Alih bahasa). Pedoman Klinis


Keperawatan Pediatrik.. Edisi ke-4. Jakarta: EGC

Faradilla, dkk. 2009. Anastesi pada tindakan posterosagital anorektoplasti pada


kasus malforasi anorektal. Faculty of Medicine University of Riau
Pekanbaru. [serial online]
https://yayanakhyar.files.wordpress.com/2009/06/malformasi_anorektal_file
s_of_drsmed.pdf

Hidayat, A. Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba


Medika

[serial online]
https://www.academia.edu/8685826/ASKEP_PADA_PASIEN_ATRESIA_ANI
[diakses pada tanggal 29 Februari 2016]

[serial online]
http://repository.unri.ac.id/xmlui/bitstream/handle/123456789/767/bab21.PDF?
sequence=6 [diakses pada tanggal 1 Maret 2016]

[serial online]
http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/109/jtptunimus-gdl-heldanilag-5416-2-
babii.pdf [diakses pada tanggal 1 Maret 2016]

[serial online]
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23480/3/Chapter%20II.pdf
[diakses pada tanggal 1 Maret 2016]

31

Vous aimerez peut-être aussi