Vous êtes sur la page 1sur 33

BAB III

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN

2.1 Definisi
Penyakit Jantung Bawaan (PJB) adalah penyakit jantung yang dibawa
sejak lahir, karena sudah terjadi ketika bayi masih dalam kandungan. Pada
akhir kehamilan 7 minggu, pembentukan jantung sudah lengkap; jadi kelainan
pembentukan jantung terjadi pada awal kehamilan. Penyebab PJB seringkali tidak
bisa diterangkan, meskipun beberapa faktor dianggap berpotensi sebagai
penyebab. Faktor-faktor ini adalah: infeksi virus pada ibu hamil (misalnya campak
Jerman atau rubella), obat-obatan atau jamu-jamuan, alkohol.4
Faktor keturunan atau kelainan genetik dapat juga menjadi penyebab
meskipun jarang, dan belum banyak diketahui. Misalnya sindroma Down
(Mongolism) yang acapkali disertai dengan berbagai macam kelainan, dimana
PJB merupakan salah satunya. Merokok berbahaya bagi kehamilan, karena
berpengaruh terhadap pertumbuhan bayi dalam kandungan sehingga berakibat
bayi lahir prematur atau meninggal dalam kandungan.4

2.2 Anatomi Jantung


Jantung terdiri dari 4 ruangan. Atrium kiri dan kanan dibagian atas.
Ventrikel kiri dan kanan terletak dibagian bawah. Ventrikel kiri merupakan rauang
yang terbesar.katup jantung dapat membuka dan menutup sedemikian rupa
sehingga darah hanya dapat mengalir dalam satu arah. 4 katup tersebut yaitu:
Katup tricuspid, katup pulmonal, katupmitral dan katup aorta.5
Darah dari tubuh masuk ke atrium kanan. Darah dalam tubuh mengandung
kadar Oksigen rendah dan harus menambah oksigen sebelum kembali ke dalam
tubuh. Darah dari atrium kanan masuk ke ventrikel kanan melalui katup tricuspid.
Darah kemudian dipompa oleh ventrikel kanan ke paru-paru melewati katup
pulmonal kemudian diteruskan oleh arteri pulmonal ke paru-paru untuk
mengambil oksigen. Darah yang sudah bersih yang kaya oksigen mengalir ke
atrium kiri melalui vena pulmonalis. Dari atrium kiri darah mengalir ke ventrikel

15
kiri melewati katup mitral. Ventrikel kiri kemudian memompa darah keseluruh
tubuh melalui katup aorta dan diteruskan oleh pembuluh aorta keseluruh
tubuh.bersih Dari tubuh kemudian darah yang dari tubuh dengan kadar oksigen
yang rendah karena telah diambil oleh sel-sel tubuh kembali ke atrium kanan dan
begitu seterusnya.5

Gambar 1. Anatomi Jantung Normal

2.3 Fisiologi Jantung Neonatus


Peredaran darah didalam fetus (the fetal circulation) adalah berbeda
dengan yang sesudah lahir. Sirkulasi fetus mendapatkan oksigen dan nutrisi dari
ibu melalui placenta. Sirkulasi fetus juga mempunayi komunikasi yang penting
(shunt) antara kedua ruangan atas jantung dan pembuluh darah besar dekat
jantung. Konsekwensinya adalah kebanyakan tipe dari PJB dapat ditoleransi
denga baik selama kehidupan fetus. Bahkan suatu bentuk PJB yang parah seperti
hypoplasia jantung kiri (yang mana seluruh jantung kiri tidak berkembang) dapat
dikompensasikan oleh sirkulasi fetus.6

a. Sirkulasi Fetus
Tiga fitur utama dari sirkulasi fetus adalah :
1. Sirkulasi maternal (ibu) melalui placenta membawa oksigen dan nutrisi ke
fetus dan mengeluarkan karbon dioksida dari sirkulasi fetus.
2. Foramen ovale adalah sebuh lubang yang terletak di septum (dinding) antara
kedua ruangan atas jantung (atria kanan dan kiri). Foramen mengizinkan darah
mengalir melalui jalur samping (shunt) dari atrium kanan ke atrium kiri.

16
3. Jalur samping yang lain, ductus arteriosus, mengizinkan darah yang miskin
oksigen mengalir dari arteri pulmonary kedalam aorta dan melalui itu ke
tubuh.6

b. Sirkulasi sesudah kelahiran


Placenta sudah dikeluarkan dan paru-paru harus mengambil alih fungsi
oksigenisasi darah. Perubahan-perubahan utama sirkulasi terjadi setelah kelahiran.
Perubahan-perubahan ini termasuk :
Sirkulasi maternal tidak dapat lagi membawa oksigen dan mengeluarkan
karbon dioksida dari sirkulasi bayi.
Foramen ovale menutup dan tidak bertindak lagi sebagai jalur samping
antara kedua atria jantung.
Ductus arteriosus menutup dan tidak lagi menyediakan komunikasi antara
arteri pulmonary dan aorta.6

Tangisan pertama merupakan proses masuknya oksigen yang pertama kali


ke dalam paru. Peristiwa ini membuka alveoli, pengembangan paru serta
penurunan tahanan ekstravaskular paru dan peningkatan tekanan oksigen sehingga
terjadi vasodilatasi disertai penurunan tahanan dan penipisan dinding arteri
pulmonalis.2
Hal ini mengakibatkan penurunan tekanan ventrikel kanan serta
peningkatan saturasi oksigen sistemik. Perubahan selanjutnya terjadi peningkatan
aliran darah ke paru secara progresif, sehingga mengakibatkan peningkatan
tekanan di atrium kiri sampai melebihi tekanan atrium kanan. Kondisi ini
mengakibatkan penutupan foramen ovale juga peningkatan tekanan ventrikel kiri
disertai peningkatan tekanan serta penebalan sistem arteri sistemik. Peningkatan
tekanan oksigen sistemik dan perubahan sintesis serta metabolisme bahan
vasoaktif prostaglandin mengakibatkan kontraksi awal dan penutupan fungsional
dari duktus arteriosus yang mengakibatkan berlanjutnya penurunan tahanan arteri
pulmonalis.2

17
Pada neonatus aterm normal, konstriksi awal dari duktus arteriosus terjadi
pada 10-15 jam pertama kehidupan, lalu terjadi penutupan duktus arteriosus
secara fungsional setelah 72 jam postnatal. Kemudian disusul proses trombosis,
proliferasi intimal dan fibrosis setelah 3-4 minggu postnatal yang akhirnya terjadi
penutupan secara anatomis. Pada neonatus prematur, mekanisme penutupan
duktus arteriosus ini terjadi lebih lambat, bahkan bisa sampai usia 4-12 bulan.2
Pemotongan tali pusat mengakibatkan peningkatan tahanan vaskuler
sistemik, terhentinya aliran darah dan penurunan tekanan darah di vena cava
inferior serta penutupan duktus venosus, sehingga tekanan di atrium kanan juga
menurun sampai dibawah tekanan atrium kiri. Hal ini mengakibatkan penutupan
foramen ovale, dengan demikian ventrikel kanan hanya mengalirkan darahnya ke
arteri pulmonalis. 2
Peristiwa ini disusul penebalan dinding ventrikel kiri oleh karena
menerima beban tekanan lebih besar untuk menghadapi tekanan arteri sistemik.
Sebaliknya ventrikel kanan mengalami penipisan akibat penurunan beban tekanan
untuk menghadapi tekanan arteri pulmonalis yang mengalami penurunan ke angka
normal. 2
Penutupan duktus venosus, duktus arteriosus dan foramen ovale diawali
penutupan secara fungsional kemudian disusul adanya proses proliferasi endotel
dan jaringan fibrous yang mengakibatkan penutupan secara anatomis (permanen).2
Tetap terbukanya duktus venosus pada waktu lahir mengakibatkan
masking effect terhadap total anomalous pulmonary venous connection dibawah
difragma. Tetap terbukanya foramen ovale pada waktu lahir mengakibatkan
masking effect terhadap kelainan obstruksi jantung kanan. Tetap terbukanya
duktus arteriosus pada waktu lahir mengakibatkan masking effect terhadap semua
PJB dengan ductus dependent sistemic dan ductus dependent pulmonary
circulation. 2
Sekali ini terjadi, maka sirkulasi fetus menjadi suatu barang dari masa lalu
dan seluruh pengaruh dari berbagai kerusakan jantung genital dirasakan.
Kerusakan-kerusakan ini menjadi nyata, menyebabkan tanda-tanda dan gejala-
gejala yang dapat didiagnosis. Perubahan-perubahan lebih jauh terjadi di sistim

18
kardiovaskular selama waktu bayi dan waktu anak-anak dan juga di hubungan
tekanan antara ventricle kanan dan ventricle kiri. Perubahan-perubahan ini
membawa lebih banyak kasus-kasus PJB ke permukaan. 2

2.4 Etiologi

Penyakit jantung congenital dapat mempunyai beragam penyebab.


Penyebab-penyebabnya termasuk faktor lingkungan (seperti bahan-bahan kimia,
obat-obatan dan infeksi-infeksi), penyakit-penyakit tertentu ibu, abnormalitas
chromosome, penyakit-penyakit keturunan (genetic) dan faktor-faktor yang tidak
diketahui (Idiopathic).6

Faktor-faktor lingkungan kadang-kadang yang bersalah. Contohnya, jika


seorang ibu mendapat German measles (rubella) selama kehamilan, maka
infeksinya dapat mempengaruhi perkembangan jantung dari bayi kandungannya
(dan juga organ-organ lainnya). Jika ibunya mengkonsumsi alkohol selama
kehamilan, maka fetusnya dapat menderita fetal alcohol syndrome (FAS)
termasuk PJB. 6

Exposure terhadap obat-obatan tertentu selama kehamilan dapat juga


menyebabkan PJB. Satu contoh adalah retinoic acid (nama merek Accutane) yang
digunakan untuk jerawat(acne). Contoh-contoh lain adalah obat-obat
anticonvulsant, terutama hydantoins (seperti Dilantin) dan valproate. 6

Penyakit-penyakit tertentu pada ibu dapat meningkatkan risiko


mengembangkan PJB pada fetus. Bayi-bayi dari wanita dengan diabetes mellitus,
terutama pada wanita-wanita yang gula darahnya kurang optimal terkontrol
selama kehamilan, berisiko tinggi mendapat PJB. Dan wanita yang mempunyai
penyakit keturunan phenylketonuria (PKU) dan tidak berada pada special dietnya
selama kehamilan, bertendensi juga mempunyai bayi dengan PJB. 6

19
Kelainan chromosome dapat menyebabkan penyakit jantung congenital
(chromosome mengandung materi genetic, DNA). Pada kira-kira 3% dari seluruh
anak-anak dengan PJB dapat ditemukan kelainan chromosome. 6

2.5 Klasifikasi
Berdasarkan penampilan fisik, PJB secara garis besar dibagi atas 2
kelompok, yakni PJB tidak biru (asianosis) dan PJB biru (sianosis). Berdasarkan
kelainan anatomis, PJB secara garis besar dibagi atas 3 kelompok, yakni: 4
A. Stenosis
Adanya penyempitan (stenosis) atau bahkan pembuntuan pada bagian
tertentu jantung, yakni: katup atau salah satu bagian pembuluh darah di luar
jantung. Penyempitan ini menimbulkan gangguan aliran darah dan membebani
otot jantung. Pada kasus-kasus dengan penyempitan yang berat, aliran darah ke
bagian tubuh setelah area penyempitan akan sangat menurun, bahkan terhenti
sama sekali pada pembuntuan total.4
1. Stenosis katup pulmonal
Terjadi pembebanan pada jantung kanan, yang pada akhirnya berakibat
kegagalan jantung kanan. Makna istilah ini bukanlah jantung gagal berdenyut,
melainkan jantung tak mampu memompakan darah sesuai kebutuhan tubuh dan
sesuai jumlah darah yang kembali ke jantung. Tanda gagal jantung kanan adalah:
pembengkakan kelopak mata, tungkai, hati dan penimbunan cairan di rongga
perut. Penanganan medis yang dapat dilakukan: pelebaran katup dengan balon
(Balloon Pulmonal Valvotomy = BPV). 4

2. Stenosis katup aorta


Terjadi pembebanan pada jantung kiri, yang pada akhirnya berakibat
kegagalan jantung kiri, yang ditandai oleh: sesak, batuk kadang-kadang
dahak berdarah (akibat pecahnya pembuluh darah halus yang bertekanan tinggi di
paru). Penanganan yang dapat dilakukan: pelebaran katup dengan balon (Balloon
Aortic Valvotomy = BAV). 4

20
3. Atresia katup pulmonal
Pada kasus ini katup pulmonal sama sekali buntu, sehingga tak ada
aliran darah dari jantung ke paru. Pasien hanya dapat bertahan hidup bila
pembuluh darah duktus arteriosus tetap terbuka (yang mengalirkan darah
dari pembuluh aorta ke pembuluh darah paru). 4
Biasanya pembuluh ini akan menutup pada minggu pertama kehidupan
bayi,dan bila itu terjadi akan berakibat fatal. Untuk mempertahankan duktus
arteriosus tetap terbuka, diperlukan obat: Prostaglandin E-1. Namun
obat ini sifatnya hanya sementara, dan harus segera diikuti dengan tindakan
bedah. 4

4. Coarctatio aorta
Pada kasus ini area lengkungan pembuluh darah aorta mengalami
penyempitan. Bila penyempitannya parah, maka sirkulasi darah ke organ tubuh di
rongga perut (ginjal, usus dll), serta tungkai bawah sangat berkurang, dan kondisi
pasien memburuk. Seperti halnya pada atresia katup pulmonal, pada Coarctatio
Aorta yang berat Prostaglandin E-1 perlu diberikan untuk mempertahankan
pembukaan duktus arteriosus. Untuk selanjutnya, tindakan pelebaran dengan
balon atau pembedahan perlu dilakukan. 4

Gambar 2. Coarctatio aorta


B. Defect

21
Adanya lubang pada sekat pembatas antar ruang jantung (septum),
sehingga terjadi aliran pirau (shunt) dari satu sisi ruang jantung ke ruang sisi
lainnya. Karena tekanan darah di ruang jantung sisi kiri lebih tinggi dibanding sisi
kanan, maka aliran pirau yang terjadi adalah dari kiri ke kanan. Akibatnya, aliran
darah paru berlebihan/banjir (contoh: ASD = Atrial Septal Defect/ lubang di sekat
serambi, VSD = Ventricular Septal Defect/ lubang di sekat bilik). Aliran pirau ini
juga bisa terjadi bila pembuluh darah yang menghubungkan aorta dan pembuluh
pulmonal tetap terbuka (PDA = Patent Ductus Arteriosus). 4
Karena darah yang mengalir dari sirkulasi darah bersih ke sirkulasi
darah kotor, maka penampilan pasien tidak biru (asianosis). Namun, beban yang
berlebihan pada jantung akibat aliran pirau yang besar dapat menimbulkan gagal
jantung kiri maupun kanan. Tanda-tanda aliran darah paru yang berlebih adalah:
debaran jantung kencang, cepat lelah, sesak nafas, pada bayi sulit menyusu,
pertumbuhan terganggu, sering batuk panas (infeksi saluran nafas bagian bawah).4
Dalam kondisi seperti tersebut diatas, perlu diberikan obat-obatan yang
bermanfaat untuk mengurangi beban jantung, yakni obat diuretik
(memperlancar kencing) dan obat vasodilator (pelebar pembuluh darah). 4

1. Atrial Septal Defect (ASD)


ASD adalah terdapat lubang di sekat serambi. Lubang ASD kini dapat
ditutup dengan tindakan non bedah : Amplatzer Septal Occluder (ASO), yakni
memasang alat penyumbat yang dimasukkan melalui pembuluh darah di lipatan
paha. Namun sebagian kasus tak dapat ditangani dengan metode ini, dan
memerlukan pembedahan. 4

Gambar 3. Atrial Septal Defect

2. Ventricular Septal Defect (VSD)

22
VSD adalah terdapatnya lubang di sekat bilik. Pada VSD tertentu dapat
ditutup dengan tindakan non bedah menggunakan penyumbat Amplatzer, namun
sebagian besar kasus memerlukan pembedahan. 4

Gambar 4. Ventricular Septal Defect

3. Patent Ductus Arteriosus (PDA)


Pada PDA pembuluh penghubung aorta dan pembuluh darah paru terbuka.
PDA juga dapat ditutup dengan tindakan non bedah menggunakan penyumbat
Amplatzer, namun bila PDA sangat besar tindakan bedah masih merupakn pilihan
utama. PDA pada bayi baru lahir yang premature dapat dirangsang penutupannya
dengan menggunakan obat Indomethacine. 4

Gambar 5. Patent Ductus Arteriosus

C. Malposisi
Pembuluh darah utama jantung keluar dari ruang jantung dalam posisi
tertukar (pembuluh darah aorta keluar dari bilik kanan sedangkan pembuluh darah
pulmonal/paru keluar dari bilik kiri). Kelainan ini disebut transposisi arteri besar
(TGA = Transposition of the Great Arteries). Akibatnya darah kotor yang kembali

23
ke jantung dialirkan lagi ke seluruh tubuh, sehingga terjadi sianosis/biru di bibir,
mukosa mulut dan kuku. Bayi dapat bertahan hidup bila darah kotor yang
mengalir ke seluruh tubuh mendapat pencampuran darah bersih melalui PDA atau
lubang di salah satu sekat jantung (ASD/VSD). 4

Gambar 6. Transposition of the Great Arteries

Seringkali TGA tak disertai lubang sekat dan pasien sangat biru (darah
yang mengalir ke seluruh tubuh sebagian besar adalah darah kotor). Dalam
keadaan demikian, dapat dibuat lubang di sekat serambi melalui metode non
bedah yang disebut Balloon Atrial Septostomy (BAS). Sementara menunggu
persiapan untuk melakukan prosedur ini, PDA yang bermanfaat untuk menjamin
pencampuran darah bersih perlu dipertahankan, yakni dengan memberikan
Prostaglandin E-1. 4
Namun semua ini hanya bersifat sementara, bila kondisi pasien membaik,
operasi untuk menukar posisi pembuluh darah yang terbalik ini perlu
dilakukan. 4
Disamping kelainan pada anatomi jantung, PJB juga dapat menyangkut
kelainan pada pusat listrik jantung beserta sistim hantarannya. Pusat
jantung yang lemah atau adanya blok pada sistim hantaran listrik jantung,
berakibat denyut jantung/nadi yang pelan, sehingga tak mencukupi kebutuhan
sirkulasi tubuh. Untuk itu perlu pemasangan alat pacu jantung (pacemaker). Pada
anak yang sudah cukup besar pemasangan pacu jantung dapat dilakukan tanpa
bedah, namun pada bayi masih diperlukan pembedahan. 4

Tetralogi Falot

24
Tetralogi Fallot merupakan penyakit jantung bawaan biru (sianotik) yang
terdiri dari empat kelainan, yaitu:
Defek septum ventrikel (lubang diantara ventrikel kiri dan kanan)
Stenosis katup pulmoner (penyempitan pada katup pulmonalis)
Transposisi aorta
Hipertrofi ventrikel kanan (penebalan otot ventrikel kanan). (word. Tetralogi
falot). 7

Gambar 7. Tetralogi Falot

2.6 Manifestasi Klinis


A. Penyakit Jantung Bawaan Sianotik (Cardiac Cyanosis)
Sianosis adalah manifestasi klinis tersering dari PJB simptomatik pada
neonatus. Sianosis tanpa disertai gejala distres nafas yang jelas hampir selalu
akibat PJB, sebab pada kelainan parenkhim paru yang sudah sangat berat saja
yang baru bisa memberikan gejala sianosis dengan demikian selalu disertai gejala
distres nafas yang berat. 2

25
Pada neonatus normal, pelepasan oksigen ke jaringan harus sesuai dengan
kebutuhan metabolismenya. Jumlah oksigen yang dilepaskan ke jaringan
bergantung kepada aliran darah sistemik, kadar hemoglobin dan saturasi oksigen
arteri sistemik. Pada saat lahir, kebutuhan oksigen meningkat sampai 3 kali lipat
untuk memenuhi kebutuhan metabolisme agar menghasilkan enersi untuk
bernafas dan termoregulasi. Untuk ini diperlukan peningkatan aliran darah
sistemik 2 kali lipat dan saturasi oksigen 25% sehingga pelepasan dan pengikatan
oksigen di jaringan juga meningkat sesuai kebutuhan. sianosis perifer
(acrocyanosis) sering dijumpai pada neonatus , hal ini akibat tonus vasomotor
perifer yang belum stabil. Tampak warna kebiruan pada ujung jari tangan dan kaki
serta daerah sekitar mulut, disertai suhu yang dibawah normal dan hiperoksia tes
menunjukkan hasil yang negatip. 2
Pada neonatus dengan PJB sianosis, tidak mampu meningkatkan saturasi
oksigen arteri sistemik, justru sangat menurun drastis saat lahir, sehingga
pelepasan dan pengikatan oksigen di jaringan menurun. Kondisi ini bila tidak
segera diatasi mengakibatkan metabolisme anaerobik dengan akibat selanjutnya
berupa asidosis metabolik, hipoglikemi, hipotermia dan kematian. 2
Sianosis sentral akibat penyakit jantung bawaan (Cardiac cyanosis) yang
disertai penurunan aliran darah ke paru oleh karena ada hambatan pada jantung
kanan, yaitu katup trikuspid atau arteri pulmonalis. Kondisi ini mengakibatkan
kegagalan proses oksigenasi darah di paru sehingga darah dengan kadar oksigen
yang rendah (unoxygenated) akan beredar ke sirkulasi arteri sistemik melalui
foramen ovale atau VSD (pada tetralogy Fallot). Seluruh jaringan tubuh akan
mengalami hipoksia dan menimbulkan gejala klinis berupa sianosis sentral tanpa
gejala gangguan pernafasan. Kesulitan akan timbul, bila sianosis disertai tanda-
tanda distres pernafasan. Terdapatnya anemia berat mengakibatkan jumlah Hb
yang tereduksi tidak cukup menimbulkan gejala sianosis. Adanya pigmen yang
gelap sering mengganggu sianosis sentral yang berderajat ringan akibat PJB.
Sianosis perifer bila disertai bising inoccent dapat menyesatkan dugaan adanya
PJB sianotik. 2

26
Beberapa kondisi klinis yang memberikan dugaan cardiac cynosis pada
neonatus dan sudah merupakan alasan yang cukup untuk merujuk ke rumah sakit
yang lebih lengkap, didasari beberapa alasan tambahan sebagai berikut :
1. Hipoksemia sistemik menimbulkan gejala sianosis sentral
2. Sianosis sentral akibat PJB tidak timbul segera setelah lahir
3. Sianosis sentral tidak tampak selama saturasi oksigen arteri masih diatas 85
4. Sianosis sentral dengan frekuensi pernafasan yang cepat (hiperventilasi) tanpa
disertai pernafasan cuping hidung dan retraksi ruang iga serta kadar CO2 yang
rendah.
5. Sianosis sentral dengan tes hiperoksia positip.
6. Harus dicari apakah aliran darah sistemik berasal dari ventrikel kanan atau
kiri, adanya duktus yang masih terbuka mengakibatkan aliran darah aorta
asenden dan disenden berasal dari ventrikel yang tidak sama. Pada kondisi ini
diperlukan pemasangan pulse oxymetri pada tangan kanan dan kaki. 2

B. Penyakit Jantung Bawaan Non Sianosis


Pada neonatus neonatus normal, saat lahir masih disertai tahanan arteri
pulmonalis yang tinggi. Setelah 4-12 minggu terjadi penurunan tahanan arteri
pulmonalis sampai menuju nilai normal. Pada neonatus dengan PJB non sianotik,
selama tahanan arteri pulmonalis masih tinggi, defek jantung yang ada belum
menimbulkan perubahan aliran darah dari sistemik ke paru. Setelah 4-12 minggu
postnatal, pada saat terjadi penurunan tahanan arteri pulmonalis sampai menuju
nilai normal, defek jantun yang dan akan menimbulkan perubahan aliran darah
yaitu yang seharusnya ke sistemik berubah menuju ke paru. Pada saat inilah baru
terjadi pirau kiri ke kanan disertai gejala klinis berupa mulai terdengarnya bising
sampai gagal jantung dengan gejala utama takipnea. 2
Harus dibedakan takipnea akibat PJB dan akibat kelainan parenkhim paru,
Takipnea akibat PJB non sianosis pada neonatus baru timbul bila peningkatan
aliran darah ke paru sampai lebih dari 2,5 kali aliran normal. Takipnea akibat
penyakit paru pada neonatus sudah timbul walaupun peningkatan aliran darah ke

27
paru masih ringan-ringan saja. Adanya penyakit pada paru akan memperjelas
gejala takipnea pada PJB usia neonatus. 2
Peningkatan aliran darah ke paru mengakibatkan peningkatan tekanan
prekapiler di paru dan aliran limfatik sehingga terjadi peningkatan cairan
intersisial di parenkhim paru dan terutama di peribronkhial. Hal ini
mengakibatkan penurunan fungsi bronkhioli dan terjadi penurunan aliran udara
serta peningkatan tekanan udara, kondisi ini meningkatkan work of breathing dan
terdengarnya wheezing expiratoir. 2
PJB asianotik dapat diklasifikasikan berdasarkan fisiologi beban
pengisian (load) jantung predominan. Sebagian besar kelainan akan meningkatkan
beban volum (volume load), yaitu dari kelompok PJB asianotik dengan pirai kiri
ke kanan (LTRS) (misalnya VSD, ASD, AVSD, dan PDA). Kelompok kedua
adalah penyakit jantung bawaan dengan peningkatan beban tekanan (pressure
load), yang sebagian besar merupakan bentuk kelainan obstruktif sekunder dari
sirkulasi ventrikular (misalnya stenosis pulmonal dan stenosis aorta) atau
penyempitan salah satu arteri besar (misalnya koarktasio aorta). 8

C. Penyakit Jantung Bawaan Yang Disertai Penurunan Aliran Darah Ke


Sistemik
Penurunan aliran darah ke sistemik akibat PJB pada neonatus berupa:
hambatan aliran darah dari paru atau atrium kiri ke ventrikel kiri
ventrikel kiri tidak adekuat memompa darah ke aorta. Kedua kondisi ini
mengakibatkan peningkatan tekanan vena paru dan edema paru serta
penurunan perfusi organ-organ vital. 2

Gejala klinis tampak segera setelah lahir dan berat, berupa penurunan suhu
kulit dan perubahan warna kulit yang pucat, penurunan tekanan darah sampai
tidak terukur, sulit atau tidak terabanya denyut nadi perifer, hiperaktif RV, dan
penurunan capillary refile, metabolik asidosis berat serta distres nafas sedang
sampai berat.2

28
Denyut nadi dan tekanan darah harus diukur pada ektremitas atas dan
bawah, normal tekanan darah ekstremitas bawa lebih tinggi. Bila ada perbedaan
denyut nadi tanpa disertai perbedaan tekanan darah, harus diraba pulsasi arteri
karotis. Perbedaan pulsasi arteri karotis dengan pulsasi ekstremitas bawah dan
ekstremitas bawah menunjukkan kemungkinan koartasio aorta, interrupted aorta
atau arteri subklavia berasal dari aorta d Ada keadaan pada neonatus yang baru
lahir dengan penrunan perfusi perifer disertai gejala distres nafas derajat sedang
sampai berat yang disertai retraksi ruang iga, subkosta, nafas cuping hidung dan
grunting, yaitu persistent pulmonary hypertension dan total anomalous pulmonary
venous return. Kedua kondisi ini sulit dibedakan, pada persistent pulmonary
hypertension sering disertai riwayat prenatal berupa ketuban pecah dini, sindroma
aspirasi mekonium atau asfiksia berat. 2

2.7 Diagnosa
A. Riwayat.
Famili dengan penyakit herediter, saudaranya dengan PJB
Kehamilan dan perinatal : infeksi virus, obat yang dikonsumsi si ibu terutama
saat kehamilan trimester I.
Postnatal : kesulitan minum, sianosis sentral. 2

B. Pemeriksan Fisik.
Auskultasi : harus dilakukan pertama kali sebelum bayi menangis. Frekuensi
meningkat dan irama denyut jantung tidak teratur, suara jantung II mengeras
atau tidak terdengar, terdengar bising jantung (kualitas, intensitas, timing,
lokasi), gallop. Tidak semua bising jantung pada neonatus adalah PJB dan
tidak semua neonatus dengan PJB terdengar bising jantung.
Sianosis sentral, penurunan perfusi perifer, hiperaktivitas prekordial, thrill,
pulse dan tekanan darah ke 4 ekstremitas berbeda bermakna, takipnea,
takikardia, edema. Tidak semua gejala tersebut timbul pada masa neonatus dan

29
tidak semua neonatus dengan gejala tersebut memerlukan tindakan spesifik
yang harus segera dilaksanakan tapi memerlukan pemeriksaan tambahan. 2

Gambar 8. Pemeriksaan Neotatus

C. Pemeriksaan tambahan
Foto polos dada : adanya kelainan letak, ukuran dan bentuk jantung,
vaskularisasi paru, edema paru, parenkim paru, letak gaster dan hepar.
Elektrokardiografi : adanya kelainan frekuensi, irama, aksis gelombang P dan
QRS, voltase di sandapan prekordial. 2

D. Pada monitoring, ditemukan kelainan berupa


Perbedaan saturasi O2 arteri dengan pulse oksimetri pada preduktal (tangan
kanan) dan postduktal (kaki).
pH arteri, dan analis gas darah terhadap hipoksemia dan asidosis metabolik
(pada neonatus dengan gagal jantung ada peningkatan CO2). 2

30
Gambar 9.Pemeriksaan EKG pada PJB

Berdasarkan riwayat prenatal, natal dan postnatal yang cermat serta


pemeriksaan fisis yang sistematis dan teliti serta pemeriksaan tambahan dan
monitoring, maka gejala sianosis sentral, penurunan perfusi perifer dan takipnea
akibat PJB kritis pada neonatus bisa ditegakkan. Dengan demikian dapat segera
diberikan terapi awal untuk mencegah kematian dini dan sekaligus dapat
direncanakan tatalaksana lanjutan yang tepat, rasional dan adekuat. Bilamana
fasilitas kesehatan yang memadai tidak tersedia dan neonatus sudah dalam kondisi
yang relatif stabil maka dapat dipersiapkan pelaksanaan rujukan ke pusat
pelayanan jantung yang terjangkau. 2
Peningkatan impuls parasternal dan subxyphoid sering dijumpai pada PJB
sianosis, terabanya impuls ventrikel kiri menunjukkan adanya dilatasi ventrikel
kiri akibat peningkatan beban volume. Bising jantung sering ditemukan pada
neonatus normal dan sering tidak ditemukan pada neontus dengan PJB. Bising
jantung yang bersifat sistolik ejeksi yang menjalar ke leher akibat lesi obstruksi
jantung kiri atau bila terdengar penjalarannya ke punggung maka curiga adanya
lesi obstruksi jantung kanan. Pembesaran dan lokasi hepar sangat membantu

31
adanya peningkatan volume darah dan tekanan atrium kanan, aliran darah ke paru
dan adanya situs inversus. 2
Gejala sianosis sentral pada penyakit jantung bawaan biru (Cardiac
cyanosis) sering belum terdeteksi pada saat neonatus keluar rumah sakit. Terdapat
beberapa keadaan yang juga memberikan gejala hampir sama yaitu : penyakit
parenkhim paru, sirkulasi fetal persisten, kelainan sisitem saraf sentral dan
kelainan hematologi. Penyakit parenkhim paru selalu disertai distres nafas yang
segera memerlukan ventilator dan ditemukan kelainan pada pemeriksaan foto
polos dada. 2
Sirkulasi fetal yang persisten akibat faktor intrauterin sehingga dinding
arteria pulmonalis tetap menebal dan tekanannya tetap tinggi yang sering ditandai
distres nafas yang ringan atau sedang, riwayat asfiksia, sindroma aspirasi
mekonium dan prematuritas serta riwayat ibu mengkonsumsi steroid pada bulan
terakhir kehamilan. 2
Tetap terbukanya duktus pada beberapa jam atau hari setelah lahir akan
mempertahankan pasokan darah ke sistem sirkulasi paru tetap normal (ductus
dependent pulmonary circulation). Kondisi ini meniadakan gejala sianosis sentral
(masking effect) sehingga tidak ada persangkaan adanya PJB biru pada neonatus
yang sedang kita hadapi. Peningkatan kebutuhan oksigen oleh tangisan atau
aktivitas minum serta peningkatan saturasi oksigen kearah nilai normal
mengakibatkan rangsangan penutupan duktus. Pada saat ini baru timbul gejala
sianosis sentral walaupun kadang masih bersifat transient, yaitu terutama pada
saat menangis atau aktivitas minum. Penutupan duktus masih terjadi secara
anatomis tetapi secara fungsionil masih terbuka. Pada kondisi seperti ini
pemeriksaan saturasi oksigen secara serial dengan cara pulse oxymetri memang
diperlukan. Hyperoxic-test, pemberian oksigen 100 % dengan kecepatan 1
liter/menit selama 10 menit, bila saturasi O2 >98% bukan PJB sianosis, bila
saturasi O2 >90% kemungkinan suatu PJB sianosis, tapi bila saturasi O2 tetap
dibawah 90% hampir dipastikan suatu PJB sianosis. 2

32
Kondisi hipoksemia ini merangsang kemoreseptor sehingga menimbulkan
gejala takipnea ringan dengan ventilasi yang tetap normal. Dengan demikian tidak
disertai gejala pernafasan cuping hidung, retraksi ruang iga maupun suara
pernafasan grunting. Hipoksemia akan berjalan progresif dalam beberapa hari
dengan terjadinya penutupan duktus yang sudah persisten yaitu secara anatomis
maupun fungsional. Gejala sianosis sentral semakin nyata dan tampak menetap,
yaitu walaupun pada saat tidur maupun beraktivitas. 2
Gejala penurunan perfusi perifer akibat terganggunya aliran darah ke
perifer karena tidak terbentuknya struktur jantung kiri, obstruksi di tingkat aorta
atau disfungsi miokard akibat sepsis, hipoglikemia, hipokalsemia, asidosis
metabolik, anemia dan polisitemia. Dalam beberapa jam pertama setelah lahir,
oleh pengaruh duktus yang masih terbuka akan meniadakan gejala (masking
effect) penurunan perfusi perifer (ductus dependent systemic circulation).
Penutupan duktus akan menimbulkan penurunan aliran darah ke sistem arteri
perifer, hal ini mengakibatkan penurunan perfusi perifer dengan gejala berupa
tidak mau minum, pucat dan berkeringat disertai distres nafas. 2
Gejala takipnea pada neonatus dengan PJB non sianotik (terdapat pirau
kiri ke kanan) baru terjadi beberapa hari atau minggu kehidupan, yaitu setelah
terjadi penurunan tahanan pembuluh darah paru dan penurunan hemoglobin
kearah normal. Oleh karena itu, takipnea yang timbul segera setelah lahir tanpa
disertai gejala sianosis sentral dan penurunan perfusi perifer menunjukkan suatu
kelainan paru, bukan PJB. Neonatus normal bernafas lebih cepat daripada bayi,
namun tidak lebih dari 60 kali per menit untuk periode waktu yang lama.2

2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan neonatus dengan dugaan PJB kritis tidak jauh berbeda
dengan kondisi kritis pada neonatus akibat penyakit diluar jantung. Faktanya, ada

33
kecenderungan para dokter untuk melepaskan tanggung jawab dan menyerahkan
ke dokter konsultan jantung. Hal ini tidak boleh terjadi dan alur
penatalaksanaannya menjadi tidak efektif sehingga akhirnya merugikan pasien. 2
Penatalaksanaan awal pada setiap neonatus dengan PJB kritis sangat
berperan dalam mencegah memburuknya kondisi klinis bahkan kematian dini.
Diawali dengan penatalaksanaan kegawatan secara umum kemudian dilanjutkan
penatalaksanaan kegawatan jantung secara khusus sesuai dengan masalah kritis
yang sedang dihadapi (sianosis sentral, peningkatan aliran darah ke paru atau
penurunan aliran darah ke sistemik) sebagai berikut : 2
1. Penempatan pada lingkungan yang nyaman dan fisiologis (suhu 36,5-37 oC dan
kelembaban sekitar 50%). 2
2. Pemberian oksigen.
Oksigen sering diberikan pada neonatus yang dicurigai menderita PJB
tanpa mempertimbangkan tujuan dan dampak negatifnya. Pemberian oksigen pada
neonatus mengakibatkan vasokonstriksi arteria sistemik dan vasodilatasi arteria
pulmonalis, hal ini memperburuk PJB dengan pirau kiri ke kanan. Pemberian
oksigen pada neonatus ductus dependent sistemic circulation atau ductus
dependent pulmonary circulation malah mempercepat penutupan duktus dan
memperburuk keadaan. Pada kedua kondisi tersebut lebih baik mempertahankan
saturasi oksigen tidal lebih dari 85% dengan udara kamar (0,21% O2). 2
Saturasi oksigen neonatus dengan PJB sianotik selalu rendah dan tidak
akan meningkat secara nyata dengan pemberian oksigen. Namun demikian, pada
neonatus yang mengalami distres, akan mengganggu ventilasinya dan gangguan
ini dapat akan berkurang dengan pemberian oksigen yang dilembabkan dengan
kecepatan 2-4 liter per menit dengan masker atau kateter nasofaringeal. Pada
neonatus dengan distres nafas yang berat maka bantuan ventilasi mekanik sangat
diperlukan. 2

3. Pemberian cairan dan nutrisi


Harus dipertahankan dalam status normovolemik sesuai umur dan berat
badan. Pada neonatus yang dengan distres ringan dengan pertimbangan masih

34
dapat diberikan masukan oral susu formula dengan porsi kecil tapi sering. Perlu
perhatian khusus pada PJB kritis terhadap gangguan reflex menghisap dan
pengosongan lambung serta risiko aspirasi. Pemberian melalui sonde akan
menambah distres nafas dan merangsang reflex vagal. Pada kondisi shock,
pemberian cairan 10 15 ml/kgBB dalam 1-2 jam, kemudian dilihat respons
terhadap peningkatan tekanan darah, peingkatan produksi urine dan tanda vital
yang lain. Disfungsi miokard akibat asfiksia berat memerlukan pemberian
dopamin dan dobutamin. 2
Pemberian diet pada penderita penyakit jantung bawaan untuk mengatasi
gangguan pertumbuhan seharusnya dengan pemberian komponen diet yang lebih
tinggi dibanding anak normal agar dapat mencapai pertumbuhan optimal.
Recommended Dietary Allowances (RDA) yang dibutuhkan oleh anak umur
kurang dari 6 bulan dengan PJB berat adalah 40 % lebih besar dari
kebutuhannya. 9
Namun penelitian ini tidak membedakan tipe dari PJB dan beratnya
gangguan hemodinamiknya. Pada anak dengan PJB asianotik membutuhkan
nutrien lebih tinggi daripada anak normal. Energi yang dibutuhkan 20-30 % di
atas RDA agar dapat mencapai tumbuh kejar. 9
Penelitian dilakukan oleh Bougle dkk pada bayi berumur 2-14 minggu
dengan PJB asianotik yang mengalami gagal jantung dan gagal tumbuh serta
memperoleh digitalis dan diuretik. Mereka diberi minum melalui sonde lambung
secara kontinyu selama 40 hari. Cairan susu formula bayi yang diperkaya energi
dalam bentuk MCT dan karbohidrat, diberikan mulai 40 ml/kgBB/hari
ditingkatkan secara progresif sampai terjadi kenaikan berat badan. Jumlah kalori
yang diberikan rata-rata 137 kkal/kgBB/hari. Terjadi peningkatan berat badan
yang bermakna. 9

4. Pemberian prostaglandin E1

35
Merupakan tindakan awal yang harus diberikan, sebagai life-saving dan
sementara menunggu kepastian diagnosis, evaluasi dan menyusun terapi rasional
selanjutnya, prostaglandin E1 diberikan pada :
Setiap bayi umur kurang dari 2 minggu yang dicurigai dengan PJB sianosis
(ductus dependent pulmonary circulation). Tujuan : meningkatkan aliran darah
ke paru (Atresia pulmonal, pulmonal stenosis yang berat, atresia trikuspid)
atau meningkatkan tekanan atrium kiri agar terjadi pirau kiri ke kanan
sehingga oksigenasi sistemik menjadi lebih baik (transposisi pembuluh darah
besar). 2
Setiap bayi umur kurang dari 2 minggu yang disertai syok, pulsasi perifer
lemah atau tak teraba, kardiomegli dan hepatomegali (ductus dependent
systemic circulation). Tujuan : meningkatkan aliran darah ke arteri sistemik
(aorta stenosis yang kritis, koartasio aorta, transposisi pembuluh darah besar,
interrupted arkus aorta atau hipoplastik jantung kiri). 2

Dosis awal 0,05 mikrogram/kgBB/menit secara intravena atau melalui


kateter umbilikalis, dosis bisa dinaikkan sampai 0,1 sampai 0,15
mikrogram/kgBB/menit selama belum timbul efek samping dan sampai tercapai
efek yang optimal. Bila terjadi efek samping berupa hipotensi atau apnea maka
pemberian prostaglandin segera diturunkan dosisnya dan diberikan bolus cairan 5-
10 ml/kgBB intravena. Bila terjadi apnea maka selain menurunkan dosis
prostaglandin E1, segera dipasang intubasi dan ventilasi mekanik dengan O2
rendah, dipertahankan minimal saturasi oksigen mencapai 65 %.2
Bila keadaan sudah stabil kembali maka dapat dimulai lagi dosis awal, bila
tidak terjadi efek samping pada pemberian dosis 0,05 mikrogram/kgBB/menit
tersebut, maka dosis dapat diturunkan sampai 0,01 mikrogram/kgBB/menit atau
lebih rendah sehingga tercapai dosis minimal yang efektif dan aman. Selama
pemberian prostaglandin E1 perlu disiapkan ventilator dan pada sistem infusion
pump tidak boleh dilakukan flushed. Harus dipantau ketat terhadap efek samping
lainnya yaitu : disritmia, diare, apnea, hipoglikemia, NEC, hiperbilirubinemia,
trombositopenia dan koagulasi intravaskular diseminata, perlu juga diingat

36
kontraindikasi bila ada sindroma distres nafas dan sirkulasi fetal yang persisten.
Bila ternyata hasil konfirmasi diagnosis tidak menunjukkan PJB maka pemberian
prostaglandin E1 segera dihentikan. 2
Telah dicoba pemakaian prostaglandin E2 per oral, mempunyai efek yang
hampir sama dengan prostaglandin E1, lebih praktis dan harganya lebih murah.
Pada awalnya diberikan setiap jam, namun bila efek terapinya sudah tercapai,
maka obat ini dapat diberikan tiap 3-4 jam sampai 6 jam. Dapat mempertahankan
terbukanya duktus dalam beberapa bulan, namun duktus akan menutup bila
pemberiannya dihentikan. 2
Untuk neonatus usia 2-4 minggu, walaupun angka kesuksesan rendah ,
masih dianjurkan pemberian prostaglandin E1 . Bila dalam 1-2 jam setelah
pemberian dosis maksimum (0,10 mikrogram/kgBB/menit) ternyata tidak terjadi
reopen duktus, maka pemberiannya harus segera distop dan direncanakan untuk
urgent surrgical intervention. 2

5. Koreksi terhadap gagal jantung dan disritmia


Bila gagal jantung telah dapat ditegakkan, maka obat pertama yang harus
diberikan adalah diuretik dan pembatasan cairan, biasanya furosemid dengan
dosis awal 1 mg/kgBB yang dapat diberikan intravena atau per oral, 1 sampai 3
kali sehari. 2
Cedilanid dapat ditambahkan untuk memperkuat kontraksi jantung
(inotropik dan vasopresor) dengan dosis digitalisasi total untuk neonatus preterm
10 mikrogram/kgBB per oral, untuk neonatus aterm 10 20 mikrogramkgBB per
oral. Diberikan loading dose sebesar 1/2 dari dosis digitalisasi total, disusul 1/4
dosis digitalisasi total 6 -12 jam kemudian dan 1/4 dosis sisanya diberikan 12-24
jam kemudian. Disusul dosis rumatan 5-10 mikrogram/kgBB per oral. Pemberian
intravena dilakukan bila per oral tidak memungkinkan, dosis 80% dari dosis per
oral. Dosis per oral maupun intravena diturunkan sampai 60% nya bila ada
penurunan funsi ginjal. 2
Dopamin dosis 2-20 mikrogram/kgBB/menit per drip (dilatasi renal
vascular bed)dikombinasi dengan Dobutamin dosis 2-20 mikrogram/kgBB/menit

37
per drip (meningkatkan kontraktilitas miokard) merupakan kombinasi yang sangat
baik untuk meningkatkan penampilan jantung dengan dosis yang minimal. 2
Captopril sebagai vasodilator (menurunkan tahanan vaskuler sistemik dan
meningkatkan kapasitas sistem vena) ) sangat berperan pada neonatus dengan
gagal jantung kongestif. Dosis 1 mg/kgBB per oral dosis tunggal disusul dosis
yang sama untuk rumatan. Sangat efektif pada kondisi neonatus dengan:
penurunan fungsi ventrikel
pirau kiri ke kanan yang masif regurgitasi katup
hipertensi sistemik
hipertensi pulmonal. 2
Dengan meningkatkan kontraktilitas miokard, menurunkan sinoatrial node
rate, dilatasi renal vascular bed, dan menurunkan tahanan sistemik, maka
penampilan jantung dapat ditingkatkan sehingga dapat meningkatkan sirkulasi
perifer dan mengurangi hipoksia jaringan. 2
Disritmia jantung sering menyertai hipoksemia berat, bila hipoksemia
berat telah dikurangi dan kelainan metabolik lainnya dikoreksi, maka disritmianya
biasanya akan menghilang dengan sendirinya. Tidak dianjurkan memberikan obat
anti disritmia tanpa memperbaiki hipoksemia dan kelainan metabolik lainnya yang
menyertai, selain tidak bermanfaat juga malah menimbulkan disritmia jenis lain
yang lebih membahayakan. 2

6. Koreksi terhadap kelainan metabolik


Hipoksia jaringan akan menyebabkan asidosis metabolik yang seringkali
sukar dikoreksi. Untuk kondisi ini harus diberikan Na-bikarbonat, dosis 1-2
ml/kgBB intravena perlahan-lahan atau disesuaikan dengan hasil analisis gas
darah. 2
Hipoglokemia dan gangguan keseimbangan elektrolit yaitu kalium,
natrium, magnesium dan kalsium sering menyertaikondisi hipoksemia, koreksi
secepatnya bila pada pemantauan klinis ditemukan hal-hal tersebut. 2

7. Terapi Genetik

38
Sebuah penelitian baru membuktikan bahwa KCNQ1 adalah gen utama
yang menyandi fungsi jantung. Mutasi yang terjadi pada gen tersebut akan
menyebabkan penyakit jantung bawaan pada ratusan ribu anak dan akan
menimbulkan gangguan rhytm atau irama jantung dengan penderitaan seumur
hidup. Kondisi ini pada akhirnya bisa menyebabkan gagal jantung atau Cardiac
suddent dan kematian. Penelitian di Cardiac Research Center, Niigata University
Hospital, Jepang telah melakukan uji gene screening pada lebih dari seratus
keluarga dengan penderita penyakit jantung bawaan. 10
Dari hasil penelitian ini menggambarkan sesuatu yang sangat baru dalam
ilmu genetika kedokteran, bahwa mutasi gen KCNQ1 menjadi dasar timbulnya
kelainan jantung bawaan LQTS, dan diturunkan secara dominan autosomal.
Keparahan penyakit tersebut ditentukan bukan hanya oleh lokasi terjadinya
mutasi, namun yang lebih penting lagi adalah jenis asam amino pembentuk mutan
tersebut. Sehingga tentunya, hasil ini dimasa depan dapat digunakan sebagai dasar
ilmiah teknik pengobatan genetik (gene therapy) bagi penderita penyakit jantung
bawaan, yaitu dengan cara mentransgenikkan asam amino mutant pada pasien
kearah asam amino normal. 10

2.9 Ventrikel Septum Defek


PENGERTIAN
Defek Septum Ventrikel (DSV) terjadi bila sekat (septum) ventrikel tidak
terbentuk sempurna. Akibatnya darah dari bilik kiri mengalir ke bilik kanan pada
saat systole. (Ngastiyah)
Defek Septum Ventrikel adalah hubungan langsung ventrikel kanan dan
ventrikel kiri yang diakibatkan oleh lubang tunggal di bagian septum ventrikel.
(Lehrer)
Septum ventrikel adalah dinding yang memisahkan jantung bagian bawah
(memisahkan ventrikel kiri dan ventrikel kanan).

KLASIFIKASI

39
Defek Septum Ventrikel (DSV) di klasifikasikan menjadi beberapa tipe, yaitu:
(Baraas, 1995 : 51)
1. Defek Septum ventrikel perimembranus
Defek pada jaringan membranus disebut sebagai defek septum
ventrikel tipe membranus. Sering defek ini melebar sampai jaringan muskuler
sekitarnya. Oleh karena itu banyak yang menyebutnya defek septum tipe
perimembranus. Dan karena letaknya di bagian superior septum, kadang-
kadang dikenal pula sebagai defek septum ventrikel tipe tinggi.
2. Defek Septum ventrikel muskuler
Defek septum ventrikel tipe muskuler sangat jarang terjadi. Kadang-
kadang defek ini disebut sebagai defek septum ventrikel tipe rendah (low
ventricular septal defect). Sesuai dengan lokasinya, ada defek septum ventrikel
tipe muskuler pada inlet (posterior), pada trabekel (bagian sentral, atau apical)
dan pada outlet (infundibuler). Suatu defek multiple di bagian apical dikenal
pula sebagai defek septum ventrikel tipe swiss cheese.
3. Defek Septum ventrikel subarterial
Defek ini sebenarnya termasuk tipe muskuler dan terdiri dari defek
subpulmonal (yang berada persis di bawah katup pulmonal) dan doubly
committed subarterial (yang terletak di bawah jaringan fibrus antara katup
aorta dan katup pulmonal).
Berdasarkan letaknya terhadap Krista supraventrikuler (lebih tepat
disebut sebagai trabekel septomarginal), defek septum ventrikel tipe
subpulmonal dan doubly committed subarterial kadang-kadang dinamakan
pula defek suprakista. Dan defek septum ventrikel tipe perimembranus
subaortik dan subtrikuspid disebut defek infrakista.
Diagnosis defek septum ventrikel dapat dibedakan menjadi: (Baraas, 1995 :
55)
1. Defek Septum ventrikel kecil
Defek berdiameter sekitar < 0.5 cm2 , tekanan sistolik ventrikel kanan
< 35 mmHg dan rasio aliran darah pulmonal dengan sistemik < 1.75. terdapat
suara murmur pansistolik di sekitar sela iga 3-4 kiri sternum pada waktu

40
pemeriksaan fisik. Semakin kecil ukuran defek septum ventrikel, maka
murmur pansistolik terdengar makin keras dan murmur ini dikenal sebagai
murmur Roger. Bunyi jantung ke-1 dan ke-2 normal. Ukuran jantung pun
relative masih normal pada pemeriksaan elektrokardiografi dan foto torak.
Vaskularisasi paru tidak nyata meningkat. Pertumbuhan anak normal
walaupun ada kecenderungan terjadi infeksi saluran pernafasan. Toleransi
latihan normal, hanya pada latihan yang lama dan berat pasien lebih
cenderung lelah dibandingkan dengan teman sebayanya. DSV kecil tidak
memerlukan tindakan bedah karena tidak menyebabkan gangguan
hemodinamik dan resiko operasi lebih besar daripada resiko terjadinya
endokarditis. Anak dengan DSV kecil mempunyai prognosis baik dan dapat
hidup normal. Tidak diperlukan pengobatan. Bahaya yang mungkin timbul
adalah endokarditis infektif. Operasi penutupan dapat dilakukan bila
dikehendaki oleh orang tua. Pasien dengan DSV kecil diperlakukan seperti
anak normal dengan pengecualian bahwa kepada pasien harus diberikan
pencegahan terhadap endokarditis.
2. Defek Septum ventrikel moderat
Pada defek ini, diameter defek biasanya 0.5 1.0 cm2, dengan tekanan
sistolik ventrikel kanan 36-80 mmHg (lebih kurang separo tekanan sistemik)
dan rasio aliran darah pulmonal dengan sistemik > 3. Perjalanan defek septum
ventrikel yang moderat ini sangat bervariasi. Anak akan lebih mudah sesak
nafas, aktivitas terbatas , mudah terkena batuk pilek dan tumbuh kembang
lebih lambat dibandingkan dengan anak yang normal.
Pada pemeriksaan fisik terdengar intensias bunyi jantung ke-2 yang
meningkat, murmur pansistolik di sela iga 3-4 kiri sternum dan murmur ejeksi
sistolik pada daerah katup pulmonal. Murmur pansistolik terdengar kasar dank
eras. Pada elektrokardiografi, pembesaran jantung bias berupa hipertrofi
ventrikel kanan, hipertrofi atrium kiri dan ventrikel kiri, atau hipertrofi
biventrikuler, karena beban volume berlebih. Terdapat hipertensi pulmonal
yang hiperkinetik, dengan resisitensi pulmonal yang relative masih normal.

41
Dengan demikian, gambaran hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh
beban tekanan berlebih, biasanya belum tampak pada elektrokardiografi.
Foto torak menunjukkan pembesaran relative ventrikel kiri, atau
kanan, dengan pinggang jantung rata dan konus pulmonal menonjol. Konus
aorta tampak normal atau sedikit agak kecil. Vaskularisasi paru tampak
meningkat.
3. Defek Septum Ventrikel Besar
Diameter DSV lebih dari setengah ostium aorta atau lebih dari 1
cm2, dengan tekanan sistolik ventrikel kanan > 80 mmHg (atau menyamai
tekanan sistemik). Curah sekuncup jantung kanan seringkali lebih dari 2 kali
sekuncup jantung kiri. Aliran darah melaui pirau interventrikuler tercampur
tanpa hambatan, menyebabkan berbagai keluhan sejak anak masih kecil.
Gejal-gejala gagal jantung bias menonjol sewaktu-waktu. Dan resistensi
pulmonal bias berkembang melebihi resistensi sistemik, sehingga tampak
sianosis karena pirau dari kanan ke kiri.
Pada pemeriksaan fisik, intensitas bunyi jantung ke-2 terdengar
meningkat, karena adanya hipertensi pulmonal. Terdengar bunyi murmur
pansistoik pada sela iga 3-4 kiri sternum dan murmur ejeksi sistolik pada
daerah pulmonal di sela iga 2-3 kiri sternum, serta murmur mid-diastolik pada
mitral

ETIOLOGI
Penyebab DSV tidak diketahui. DSV lebih sering ditemukan pada anak-anak
dan seringkali merupakan suatu kelainan jantung bawaan. Pada anak-anak,
lubangnya sangat kecil, tidak menimbulkan gejala dan seringkali menutup dengan
sendirinya sebelum anak berumur 18 tahun. Pada kasus yang lebih berat, bisa
terjadi kelainan fungsi ventrikel dan gagal jantung. VSD bisa ditemukan
bersamaan dengan kelainan jantung lainnya. Faktor prenatal yang mungkin
berhubungan dengan VSD: (Ngastiyah, 2004 : 93)
1. Rubella atau infeksi virus lainnya pada ibu hamil
2. Gizi ibu hamil yang buruk

42
3. Ibu yang alkoholik
4. Usia ibu diatas 40 tahun
5. Ibu menderita diabetes

PATOFISIOLOGI
Secara klinis, perubahan hemodinamik defek septum ventrikel dipengaruhi
oleh besarnya defek dan tingginya resistensi pulmonal. Sewaktu fetus dalam
kandungan, resistensi pulmonal memang tinggi, karena paru belum
berkembang dan tunika media pembuluh darah paru masih hipertropi. Pada
saat lahir, resistensi pulmonal langsung turun karena berkembangnya paru
waktu bayi mulai bernafas.
Tunika media pembuluh darah paru mengalami atropi dan proses ini secara
normal berlangsung sampai usia 6 bulan. Apabila terdapat defek pada septum
interventrikuler, aliran darah yang membanjir ke ventrikel kanan dan arteri
pulmonal akan menghambat proses alamiah itu.
Pada defek septum ventrikel, terjadi beban volume berlebih pada ventrikel
kiri, atrium kiri dan ventrikel kanan, karena pirau aliran darah dari kiri ke
kanan. Pada mulanya, ventrikel kanan akan mengalami dilatasi, disusul oleh
hipertropi ventrikel kiri dan atrium kiri, atau sebaliknya. Dan pirau dari kiri ke
kanan ini lama-lama akan mempengaruhi resistensi paru dan tekanan dalam
arteri pulmonal. Apabila hipertensi pulmonal makin tinggi-dan ini merupakan
beban tekanan berlebih bagi ventrikel kana-maka pirau aliran darah pelan-
pelan akan beralih menjadi bidireksional. Resestensi pulmonal dapat melebihi
resistensi sistemik pada waktu melakukan exercise, sehingga pirau beralih dari
kanan ke kiri; sedangkan pada waktu istirahat masih terjadi pirau yang kecil
dari kiri ke kanan.
Tekanan dalam ventrikel kanan makin tinggi, sehingga hipertropi ventrikel
kanan yang disebabkan oleh beban tekanan berlebih tampak makin dominant.
Sementara itu ventrikel kiri tampak regresi, karena tak lagi ada lairan
melewati pirau pada saat tekanan dalam ventrikel kanan kian menyamai

43
tekanan dalam ventrikel kiri. Pada stadium lanjut, pirau kemudian sepenuhnya
dari kanan ke kiri.
Pada jantung yang normal, sebagian septum interventrikuler terdiri dari
jaringan muskuler dan hanya sebagian kecil merupakan jaringan membranus
yang berada di bawah akar aorta. Bagian anterior dan posterior jaringan
membranus ini dikelilingi oleh jaringan muskuler yang meluas ke superior.
Bagian anterior septum interventrikuler merupakan bagian dari outlet
(infemdibulum) ventrikel kiri dan ventrikel kanan, dibawah katup semiluner.
Bagian posterior septum interventrikuler meliputi inlet ventrikel kiri dan
ventrikel kanan, di bawah katup atrio-ventrikuler. Dengan demikian,
klasifikasi anatomic berbagai tipe defek septum ventrikel ditentukan oleh
lokasi defek pada jaringan septum interventrikuler itu. (Baraas, 1995 : 52)

MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis dari anak yang menderita DSV adalah: (Ngastiyah, 2005 :
95)
1. Nafas pendek
2. Retraksi pada jugulum, sela intrakostal dan region epigastrium
3. Pada anak yang kurus terlihat impuls jantung hiperdinamik
4. Pertumbuhan terhambat
5. Anak terlihat pucat
6. Banyak keringat
7. Ujung-ujung jari hiperemik
8. Diameter dada bertambah
9. Sering terlihat penonjolan pada dada kiri
10. Tekanan arteria pulmonalis yang tinggi
11. Penutupan katup pulmonalis teraba jelas pada sela iga II kiri dekat sternum
dan mungkin teraba getaran bisisng pada dinding dada.

44
PENATALAKSANAAN MEDIS
Pasien dengan DSV besar perlu ditolong dengan obat-obatan untuk
mengatasi gagal jantung. Biasanya diberikan digoksin dan diuretika, missal:
lasik. Bila obat dapat memperbaiki keadaan, yang dilihat dengan membaiknya
pernapasan dan pertambahan berat badan, maka operasi dapat ditunda sampai
usia 2-3 tahun. Tindakan bedah sangat menolong, karena tanpa tindakan bedah
harapan hidup berkurang. Operasi bila perlu dilakukan pada umur muda jika
pengobatan medis untuk mengatasi gagal jantung tidak berhasil. (Ngastiyah,
2005 : 95)

45
BAB IV
ANALISIS KASUS

Seorang anak laki-laki usia 11 tahun 9 bulan datang ke RSMH dengan


keluhan batuk pilek berulang. Berdasarkan anamnesis didapatkan penderita
mengalami keluhan batuk pilek berulang sejak usia 2 tahun. Penderita juga
mengeluh cepat lelah saat beraktivitas berat. Dari aloanamnesis didapatkan sejak
11 tahun SMRS, ibu os mengeluh berat badan anak susah naik, sulit minum (+),
bila minum susu penderita butuh waktu lama untuk menghabiskannya, riwayat
minum ASI terputus-putus (+), demam (-), batuk (+), tidak berdahak, pilek (-). Os
sering kesulitan menyusu. Os hanya menyusu 1 sampai 2 teguk kemudian tampak
kelelahan kemudian tertidur dan setengah sampai 1 jam kemudian os menangis
dan menyusu lagi. Keluhan sering batuk pilek, cepat lelah, nafsu makan
terganggu, dan berat badan kurang juga bisa berkaitan dengan penyakit kelainan
jantung bawaan. Fungsi jantung adalah memompa darah untuk menyediakan
oksigen, nutrien, dan hormon ke seluruh tubuh serta mengangkut sisa
metabolisme dari seluruh tubuh (Ronny dkk, 2009). Apabila jantung mengalami
suatu kelainan, berarti jantung tidak bisa melakukan fungsinya secara sempurna.
Cardiac output mengalami penurunan yang berakibat berkurangnya asupan nutrisi
ke jaringan-jaringan sehingga metabolisme jaringan tersebut pun terganggu
sehingga timbul keadaan cepat lelah (Nelson, 2000). Pada keadaan normal, tubuh
aktif membentuk antibodi, tapi karena mekanisme yang sudah dijelaskan tersebut,
pembentukan pun terhambat, sehingga tidak punya sistem pertahanan yang kuat
dan akhirnya mudah terserang penyakit. Sama halnya dengan pertumbuhan yang
lambat dan juga napsu makan yang terganggu.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan data: tekanan darah 110/70
mmHg, denyut nadi: 99x/menit, pernafasan 22x/menit. Pada inspeksi dinding
dada tampak normal. Pada ekstremitas tidak terlihat jari-jari tabuh dan sianosis.
Pada palpasi ictus cordis tidak teraba, tidak teraba thrill. Pada perkusi batas
jantung dalam batas normal. Pada auskultasi Bunyi jantung I dan II normal, murmur
(+) holosistolik, grade III/6 pada ICS III-IV linea parasternalis sisnistra, gallop tidak ada.

46
Murmur holosistolik merupakan bising yang terjadi sepanjang sistolik, yaitu mulai
S1 saat sebelum S2. Bising ini sering ditemukan pada kasus regurgitasi
(insufisiensi) mitralis dan Ventricle Septal Defect (VSD) (Gray, 2002). Bising
tersebut titik puncaknya adalah pada SIC IV V parasternal kiri. Jika stenosis
mitralis dan insufisiensi aorta, kemungkinan besar tidak, karena bising akan
terjadi saat diastolik, sedangkan pada kasus ini adalah saat sistolik. Stenosis aorta
tidak mungkin juga, karena puncaknya sampai pada daerah aksila kanan.
Sedangkan pada insufisiensi aorta, bising terjadi saat diastole. Kemungkinan yang
tersisa adalah insufisiensi mitralis dan VSD. Mengacu kembali pada penyebaran
bising, insufisiensi mitralis bisa disingkarkan. Pada kelaianan ini, bising menyebar
ke atas sampai dengan aksila. Dengan demikian kemungkinan terbesar adalah
VSD (Ventricel Septal Defect). Pada pemeriksaan status gizi, berat badan saat ini
21,8 kg dengan tinggi badan 132 cm. Orang tua penderita mengaku bahwa berat badan
anaknya memang sulit naik. Berdasarkan kurva pertumbuhan CDC, didapatkan kesan
BB/U < p5 dengan BB ideal 39 kg, TB/U <p5 dengan TB ideal 148 cm, dan BB/TB 80%.
Sehingga penderita dikategorikan sebagai moderate malnutrition.
VSD apabila dibiarkan atau tidak segera diobati akan menimbulkan
komplikasi hipertensi pulmonal yang akhirnya menjadi gagal jantung (Robbins,
2007). Komplikasi tersering dari penyakit ini adalah endokarditis infektif, untuk
itu perlu diberikan antibiotik profilasi endokarditis infektif (Nelson, 2000). Jika
defect yang terbentuk besar, dapat dilakukan operasi untuk menutup defect
tersebut (Gray, 2002). Tapi ada beberapa kondisi yang mengkontraindikasikan
dilakukannya operasi, yaitu kenaikan resistensi vaskular paru sebesar 7 8 unit
dan apabila ukuran defect <8 mm tanpa ada keluhan pembesaran jantung kanan
(Ghanie, 2007). Biasanya bila defect yang terjadi kecil, dengan bertambahanya
usia akan menutup dengen sendirinya pada masa kanak-kanak atau remaja
sehingga tidak perlu dilakukan penutupan. Tetapi jika lubangnya besar, meskipun
gejalanya minimal, dilakukan penutupan lubang untuk mencegah terjadinya
kelainan yang lebih berat. Biasanya lubang ini ditutup dengan sebuah tambalan,
pada beberapa kasus hanya perlu dilakukan penjahitan tanpa harus menambal
lubang.

47

Vous aimerez peut-être aussi