Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
A. Pengantar
Selama kurun waktu satu satu, diplomasi HAM Indonesia pada 2011 berada pada titik yang
memperihatinkan. Kondisi ini ditandai semakin besarnya jarak antara tanda-tanda keberhasilan
di tingkat regional dan global dengan situasi HAM di tingkat Nasional, terutama tatkala
Pemerintah Indonesia tidak menindaklanjuti secara serius rekomendasi dan seruan komunitas
internasional terkait dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia. Abainya
Pemerintah terhadap mekanisme-mekanisme tersebut semakin menguatkan opini, bahwa
Indonesia masih menjadikan HAM sebagai alat pencitraan belaka dan tidak berupaya secara
serius mewujudkan dan mengimplementasikannya di tataran nasional.
Patut disesalkan bahwa kondisi penegakan HAM di Indonesia pada tahun 2011 berada pada
kondisi yang memperihatinkan. Munculnya kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat
Negara sebagai implikasi dari keterlibatan Negara dalam bisnis-bisnis segelintir pihak swasta
semakin mencuat ke permukaan. Kelompok minoritas semakin berada pada posisi yang
terdiskriminasi dan tersingkirkan, sedangkan di sisi lain tidak ada tindakan kongkret Pemerintah
untuk melindungi kelompok-kelompok tersebut. Sepanjang tahun 2011, hampir setiap bulannya
terjadi kekerasan dan penyerangan terhadap kelompok minoritas agama/keyakinan oleh
kelompok-kelompok intoleran berbendera agama mayoritas, bahkan oleh aparat Negara, yang
menyebabkan hak-hak mereka sebagai warga negara terabaikan. Belum lagi pelanggaran hak
asasi manusia lain yang sampai saat ini masih belum terselesaikan, baik pelaggaran masa lalu
atau pelanggaran lain yang terjadi pasca reformasi. Keperihatinan juga muncul dari lemahnya
perlindungan Pemerintah terhadap Pembela HAM (HRD), termasuk tindakan serius untuk
menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap HRD melalui jalur hukum yang kredibel dan
akuntabel.
Tak pelak, kondisi HAM yang ironis ini menjadi perhatian masyarakat internasional. Sepanjang
2011, Pemerintah Indonesia menerima 3 seruan dari mekanisme PBB, dimulai dari pernyataan
awal tahun Komisioner Tinggi HAM PBB Madame Navanethem Pillay yang mengangkat
keprihatinan tentang perlindungan kelompok agma minoritas di Indonesia. Lalu, pada Februari
2011, Pemerintah Indonesia menerima surat dari Pelapor Khusus Dewan HAM PBB terkait
pembunuhan terhadap 3 orang warga Cikuesik, Banten, dan perlindungan kelompok minoritas
Ahmadiyah dari serangan dan tindakan kekerasan.
Kemudian pada April 2011, Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB juga menyampaikan
keperihatinannya terhadap kasus Cikeusik dan kekerasan terhadap Ahmadiyah secara umum.
Navy Pillay juga mempertanyakan diskriminasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor
terhadap Jemaat GKI Taman Yasmin-Bogor dan serangan pembakaran terhadap Gereja di
Gebyog, Klaten dan Tegal-Jawa Tengah. Surat ini mempertanyakan pula upaya penghancuran
patung Budha di Sumatra Utara oleh warga sekitar.
Tidak lama berselang dari dua surat ini, Komite Anti Diskriminasi Rasial mengirimkan surat
keperihatinannya kepada Pemerintah Indonesia terkait dengan proyek MIFEE di Papua yang
melingkupi 2 juta hektar tanah di Papua dan mengancam kelestarian masyarakat adat di
wilayah tersebut.
Perhatian masyarakat internasional ini seharusnya menjadi disikapi serius oleh Pemerintah
Indonesia, karena Indonesia telah menjadi HAM sebagai salah satu pilar diplomasi
internasional. Di samping itu, sebelum mengajukan diri kembali sebagai Anggota Dewan HAM
pada Mei 2011, Indonesia juga telah menyampaikan Pledges and Commitment kepada Sidang
Umum PBB untuk melindungi, memenuhi dan memajukan hak asasi manusia di ranah
Nasional. Patut disayangkan jika Pemerintah Indonesia masih meletakkan HAM sebagai alat
tukar pencitraan di mata internasional, sementara implementasinya di tingkat nasional masih
jauh panggang dari api.
Di luar itu, harus diakui terdapat beberapa tanda tanda prestasi yang dicapai oleh Pemerintah
Indonesia terkait pengakuan komunitas internasional dan PBB tentang perlindungan dan
pemajuan HAM di, di antaranya adalah telah terpilihnya kembali Indonesia menjadi Anggota
Dewan HAM PBB untuk periode 2011 2014, penyelesaian Laporan Periodik untuk Komite
HAM (Hak Sipil dan Politik), Komite Perlindungan Anak (CRC) dan Komite Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya (CESCR), dan perubahan sikap terhadap kondisi suatu negara yang lebih
menggunakan prinsip hak asasi manusia. Di samping itu, pada tataran multilateral, Indonesia
juga telah mendukung proses pembentukan Komisi HAM OKI (IPHRC) dan mengajukan diri
sebagai Tuan Rumah untuk pertemuan pertama IPHRC, bahkan juga siap untuk menjadi
Markas Besar Komisi. Di tingkatan ASEAN, sebagai Ketua ASEAN 2011, Pemerintah Indonesia
telah mampu membangun kepercayaan masyarakat internasional dalam proses yang
demokratis dengan melibatkan masyarakat sipil secara luas.
Secara umum, dalam praktik berdemokrasi semua negara harus memastikan bahwa semua
kebijakan publik dirumuskan dan dilaksanakan dengan transparansi yang lebih besar dengan
melibatkan masyarakay sipil di dalamnya sebagai kontrol. Hal ini pula yang menandai adanya
partisipasi dan akuntabilitas Pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Dari latar
belakang ini, dokumen ini memiliki tiga tujuan penting, di antaranya adalah: Pertama, untuk
memberikan analisis pada pandangan umum dari pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia
terhadap HAM, demokrasi, aturan hukum dan tata pemerintahan yang baik di tingkat ASEAN,
OKI dan PBB. Kedua, untuk melakukan penilaian terkait keterhubungan antara kepentingan
nasional dan kebijakan luar negeri HAM, serta sejauh mana kebijakan tersebut memberikan
dampak di tingkat domestik. Ketiga, menawarkan sebuah kesimpulan dan prospek diplomasi
HAM Indonesia pada 2012, baik di tingkat regional ASEAN, multilateral OKI dan internasional
PBB.