Vous êtes sur la page 1sur 19

CATATAN SETAHUN POLITIK LUAR NEGERI HAM PEMERINTAH INDONESIA

DAN OUTLOOK 2012

ABAI DENGAN KEWAJIBAN, SIBUK MEMBANGUN CITRA

A. Pengantar
Selama kurun waktu satu satu, diplomasi HAM Indonesia pada 2011 berada pada titik yang
memperihatinkan. Kondisi ini ditandai semakin besarnya jarak antara tanda-tanda keberhasilan
di tingkat regional dan global dengan situasi HAM di tingkat Nasional, terutama tatkala
Pemerintah Indonesia tidak menindaklanjuti secara serius rekomendasi dan seruan komunitas
internasional terkait dengan pelanggaran hak-hak asasi manusia di Indonesia. Abainya
Pemerintah terhadap mekanisme-mekanisme tersebut semakin menguatkan opini, bahwa
Indonesia masih menjadikan HAM sebagai alat pencitraan belaka dan tidak berupaya secara
serius mewujudkan dan mengimplementasikannya di tataran nasional.
Patut disesalkan bahwa kondisi penegakan HAM di Indonesia pada tahun 2011 berada pada
kondisi yang memperihatinkan. Munculnya kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat
Negara sebagai implikasi dari keterlibatan Negara dalam bisnis-bisnis segelintir pihak swasta
semakin mencuat ke permukaan. Kelompok minoritas semakin berada pada posisi yang
terdiskriminasi dan tersingkirkan, sedangkan di sisi lain tidak ada tindakan kongkret Pemerintah
untuk melindungi kelompok-kelompok tersebut. Sepanjang tahun 2011, hampir setiap bulannya
terjadi kekerasan dan penyerangan terhadap kelompok minoritas agama/keyakinan oleh
kelompok-kelompok intoleran berbendera agama mayoritas, bahkan oleh aparat Negara, yang
menyebabkan hak-hak mereka sebagai warga negara terabaikan. Belum lagi pelanggaran hak
asasi manusia lain yang sampai saat ini masih belum terselesaikan, baik pelaggaran masa lalu
atau pelanggaran lain yang terjadi pasca reformasi. Keperihatinan juga muncul dari lemahnya
perlindungan Pemerintah terhadap Pembela HAM (HRD), termasuk tindakan serius untuk
menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap HRD melalui jalur hukum yang kredibel dan
akuntabel.
Tak pelak, kondisi HAM yang ironis ini menjadi perhatian masyarakat internasional. Sepanjang
2011, Pemerintah Indonesia menerima 3 seruan dari mekanisme PBB, dimulai dari pernyataan
awal tahun Komisioner Tinggi HAM PBB Madame Navanethem Pillay yang mengangkat
keprihatinan tentang perlindungan kelompok agma minoritas di Indonesia. Lalu, pada Februari
2011, Pemerintah Indonesia menerima surat dari Pelapor Khusus Dewan HAM PBB terkait
pembunuhan terhadap 3 orang warga Cikuesik, Banten, dan perlindungan kelompok minoritas
Ahmadiyah dari serangan dan tindakan kekerasan.
Kemudian pada April 2011, Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia PBB juga menyampaikan
keperihatinannya terhadap kasus Cikeusik dan kekerasan terhadap Ahmadiyah secara umum.
Navy Pillay juga mempertanyakan diskriminasi yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bogor
terhadap Jemaat GKI Taman Yasmin-Bogor dan serangan pembakaran terhadap Gereja di
Gebyog, Klaten dan Tegal-Jawa Tengah. Surat ini mempertanyakan pula upaya penghancuran
patung Budha di Sumatra Utara oleh warga sekitar.
Tidak lama berselang dari dua surat ini, Komite Anti Diskriminasi Rasial mengirimkan surat
keperihatinannya kepada Pemerintah Indonesia terkait dengan proyek MIFEE di Papua yang
melingkupi 2 juta hektar tanah di Papua dan mengancam kelestarian masyarakat adat di
wilayah tersebut.
Perhatian masyarakat internasional ini seharusnya menjadi disikapi serius oleh Pemerintah
Indonesia, karena Indonesia telah menjadi HAM sebagai salah satu pilar diplomasi
internasional. Di samping itu, sebelum mengajukan diri kembali sebagai Anggota Dewan HAM
pada Mei 2011, Indonesia juga telah menyampaikan Pledges and Commitment kepada Sidang
Umum PBB untuk melindungi, memenuhi dan memajukan hak asasi manusia di ranah
Nasional. Patut disayangkan jika Pemerintah Indonesia masih meletakkan HAM sebagai alat
tukar pencitraan di mata internasional, sementara implementasinya di tingkat nasional masih
jauh panggang dari api.
Di luar itu, harus diakui terdapat beberapa tanda tanda prestasi yang dicapai oleh Pemerintah
Indonesia terkait pengakuan komunitas internasional dan PBB tentang perlindungan dan
pemajuan HAM di, di antaranya adalah telah terpilihnya kembali Indonesia menjadi Anggota
Dewan HAM PBB untuk periode 2011 2014, penyelesaian Laporan Periodik untuk Komite
HAM (Hak Sipil dan Politik), Komite Perlindungan Anak (CRC) dan Komite Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya (CESCR), dan perubahan sikap terhadap kondisi suatu negara yang lebih
menggunakan prinsip hak asasi manusia. Di samping itu, pada tataran multilateral, Indonesia
juga telah mendukung proses pembentukan Komisi HAM OKI (IPHRC) dan mengajukan diri
sebagai Tuan Rumah untuk pertemuan pertama IPHRC, bahkan juga siap untuk menjadi
Markas Besar Komisi. Di tingkatan ASEAN, sebagai Ketua ASEAN 2011, Pemerintah Indonesia
telah mampu membangun kepercayaan masyarakat internasional dalam proses yang
demokratis dengan melibatkan masyarakat sipil secara luas.
Secara umum, dalam praktik berdemokrasi semua negara harus memastikan bahwa semua
kebijakan publik dirumuskan dan dilaksanakan dengan transparansi yang lebih besar dengan
melibatkan masyarakay sipil di dalamnya sebagai kontrol. Hal ini pula yang menandai adanya
partisipasi dan akuntabilitas Pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan. Dari latar
belakang ini, dokumen ini memiliki tiga tujuan penting, di antaranya adalah: Pertama, untuk
memberikan analisis pada pandangan umum dari pelaksanaan kebijakan luar negeri Indonesia
terhadap HAM, demokrasi, aturan hukum dan tata pemerintahan yang baik di tingkat ASEAN,
OKI dan PBB. Kedua, untuk melakukan penilaian terkait keterhubungan antara kepentingan
nasional dan kebijakan luar negeri HAM, serta sejauh mana kebijakan tersebut memberikan
dampak di tingkat domestik. Ketiga, menawarkan sebuah kesimpulan dan prospek diplomasi
HAM Indonesia pada 2012, baik di tingkat regional ASEAN, multilateral OKI dan internasional
PBB.

B. Indonesia dan Mekanisme HAM Internasional


Dipmolasi Multilateral Indonesia dan Hak Asasi Manusia
Pada 2011 Indonesia telah memainkan peranan penting dalam perumusan Resolusi tentang
Combating Intolerance, Negative Stereotyping and Stigmatization of, and Discrimination,
Incitement to Violence and Violence Againts, Persons Bases on Religion or Belief yang
disahkan pada Sidang Sesi ke-16 Dewan HAM, Maret 2011. Resolusi yang memiliki nilai praktis
dalam upaya memerangi diskriminasi dan kekerasan atas dasar agama/keyakinan ini justru
didorong oleh Pemerintah Indonesia saat Indonesia tidak menjadi Anggota Dewan HAM, tetapi
melalui diplomasi informal dengan koordinator negara anggota OKI di Dewan HAM. Hal ini
menjadi sebuah kemajuan setelah pada 2010, dalam posisinya sebagai Anggota Dewan HAM
PBB, Indonesia mendukung Resolusi tentang Memerangi Penistaan/penodaan Agama yang
secara substantif menyalahi standard dan prinsip HAM internasional, terutama dalam konteks
hak kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Di samping itu, di tingkat Sidang Umum PBB, Indonesia juga mensponsori Resolusi terkait
dengan perlindungan buruh migran bersama dengan Filipina (Resolusi Violence Against
Women Migrant Workers) pada Sidang Komite III Majelis Umum PBB ke-66, 22 November
2011. Resolusi ini menyerukan kepada Negara-negara Anggota PBB untuk mengkaji ulang dan
memperbaiki perangkat hukum serta kebijakan nasionalnya agar sejalan dengan upaya
perlindungan pekerja migran perempuan. Bahkan, resolusi ini mendorong Negara-negara
pengirim dan penerima buruh migran meratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran.
Terkait dengan kondisi HAM di suatu Negara (Country situations), walaupun masih
menggunakan strategi sebelumnya, yaitu lebih mengutamakan pendekatan dialog dan persuasif
kepada Negara yang menjadi target/sasaran resolusi, Pemerintah Indonesia telah mengubah
sikapnya dengan lebih menonjolkan kepentingan prinsip dan norma HAM ketimbang solidaritas
membuta sesama negara berkembang. Hal ini dilakukan pada negara seperti Burma/Myanmar,
Korea Utara dan Iran.
Mengenai situasi HAM di Korea Utara, Pemerintah Indonesia mengubah sikapnya dari
menolak menjadi abstain dalam Resolusi yang diusulkan oleh Komite III dalam Sidang
Umum PBB, dengan alasan bahwa Indonesia lebih mempercayakan proses pemajuan HAM
tersebut melalui mekanisme UPR dan menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah Korea
Utara. Demikian pula terhadap Burma/ Myanmar, dengan kondisi yang tengah berubah di
Burma beberapa waktu terakhir ini, dorongan untuk mendirikan Komisi HAM Nasional dan
kesempatan bagi Aung San Suu Kyi untuk berdialog dengan aparat pemerintahan, Indonesia
bersikap abstain terhadap Resolusi Majelis Umum tentang kondisi HAM di Burma/ Myanmar.
Kembali Indonesia meyakini bahwa UPR dapat menjadi mekanisme review kondisi HAM di
negara tersebut, tanpa harus melalui sebuah Resolusi. Sikap serupa dilakukan oleh Indonesia
terhadap resolusi Kondisi HAM di Iran.
Kemajuan lain Pemerintah Indonesia di ranah internasional adalah sikapnya tentang Konvensi
Organisasi Buruh Internasional (ILO) tentang Pekerja Rumah Tangga. Setelah pada tahun 2010
Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, dikritik
oleh masyarakat sipil terkait sikap abstainnya terhadap Konvensi tersebut, pada 2011 Indonesia
justru mendukung Konvensi ini, pada Kamis, 16 Juni 2011 di Jenewa, Swiss. Sebanyak 396
suara mendukung, 16 menentang dan 63 memilih abstain.
Di tingkat nasional, walaupun Indonesia belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, pada
2011 Indonesia tengah mengusun Prosedur Tetap (Protap) Pengungsi oleh Dit. HAM dan
Kemanusiaan Kementerian Luar Negeri. Protap ini cukup memadai untuk menyelesaikan
permasalahan pencari suaka dan pengungsi yang singgah di Indonesia, karena di dalamnya
telah diatur tugas masing-masing institusi terkait dengan pencari suaka/pengungsi yang datang.
Lebih dari itu, Protap yang awalnya merupakan usulan dari masyarakat sipil ini juga
mengakomodasi beberapa komponen hak yang diatur di dalam Konvensi 1951, di antaranya
adalah akses kepada pendidikan, baik formal atau informal, hak untuk bekerja demi kelaikan
hidup, dan hak kebebasan beragama/berkeyakinan. Sayangnya, Protap ini belum
mengakomodasi hak pendampingan hukum bagi para pencari suaka/pengungsi.

Mekanisme HAM Internasional: Masih pada Diplomasi Politik Pencitraan


Di luar dari prestasi dan capaian Pemerintah di atas, ada beberapa catatan yang harus
dinyatakan di sini, terutama dalam perwujudan kebijakan luar negeri ini di tingkat nasional.
Pemerintah Indonesia telah menekankan bahwa sasaran diplomasi oleh Kementerian Luar
Negeri RI di kancah internasional merupakan sebuah upaya untuk mengatasi permasalahan
global yang memiliki dampak kepentingan nasional dan mendorong pemajuan di tingkat
nasional dan regional (Diplomasi Kemlu 2011). Namun sayangnya, sasaran tersebut justru
belum mampu dicapai, sehingga kebijakan luar negeri ini masih sebatas diplomasi politik
pencitraan di tataran global dan belum mampu membawa perubahan di tingkat Nasional.
Sebagaimana di atas, Indonesia terlah berperan dalam perumusan Resolusi Combating
Intolerance dan menjadi prestasi dibandingkan tahun sebelumnya. Hanya saja patut
disayangkan prosesnya terhenti di atas kertas, karena di tingkat nasional, Resolusi ini tidak
digunakan oleh para pemangku kebijakan dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran
kebebasan beragama/berykeyakinan. Dalam banyak kasus bahkan, para aparat Pemerintah
dan petugas hukum yang melakukan pelanggaran dan kekerasan kepada kelompok minoritas.
Belum lagi pembiaran negara terhadap praktik-praktik kekerasan yang dilakukan oleh kelompok
masyarakat intoleran yang pada tahun 2011, baik secara kuantitatif atau kualititatif, meningkat
dari tahun sebelumnya.
Meskipun bersama-sama dengan Negara-negara OKI, Indonesia telah mengusulkan Resolusi
tersebut, kekerasan dan diskriminasi kepada kelompok Ahmadiyah, jemaat GKI Taman Yasmin-
Bogor, dan sejumlah pelarangan aktifitas keagamaan kepada kelompok agama/keyakinan
tertentu masih terjadi hingga sekarang. Padahal, jelas-jelas praktik-praktik tersebut
berseberangan dengan Resolusi tersebut.
Hal serupa yang terjadi pada buruh migran, diplomasi internasional oleh Pemerintah Indonesia
belum mampu menyentuh tataran praktis untuk kepentingan nasional. Di satu sisi Indonesia
mendorong setiap Negara untuk memperkuat kerangka hukum perlindungan buruh migran
melalui Resolusi Majelis Umum PBB, pada sisi yang lain sampai saat ini Indonesia masih
mempertahankan UU No. 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri yang nyata-nyata tidak memadai melindungi buruh migran.
Kerancuan lain yang juga dilakukan oleh Pemerintah Indonesia adalah tatkala Indonesia
mendorong Negara-negara PBB untuk meratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran, tetapi
pada pihak lain Indonesia hingga sekarang belum meratifikasi Konvensi tersebut.
Fakta-fakta tersebut di ataslah yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan kembali
terhadap kinerja Pemerintah Indonesia dan secara khusus kebijakan diplomasi Indonesia
internasional 2011, karena meskipun dengan prestasi-prestasi yang mampu mengangkat nama
Indonesia di mata internasional, pada kenyataannya hal itu belum mampu diwujudkan di tingkat
nasional. Politik pencitraan ini semakin menguat tatkala Indonesia dengan semangatnya
menyampaikan janji politik perlindungan pekerja rumah tangga (PRT) Indonesia, di dalam atau
di luar negeri, tetapi faktanya tidak ada satupun kebijakan Pemerintah Indonesia untuk
melindungi para PRT, termasuk buruh migran di luar negeri yang sebagian besarnya adalah
bekerja di sektor informal (sebagai PRT).

Keanggotaan Indonesia di Dewan HAM PBB


Indonesia kembali mencalonkan diri sebagai Anggota Dewan HAM untuk yang ketiga kalinya
pada Mei 2011.Pencalonan ini diapresiasi oleh masyarakat sipil sebagai suatu keseriusan awal
Pemerintah Indonesia untuk terlibat dalam pemajuan HAM di tingkat internasional dan lebih
jauh lagi dapat berimplikasi di tingkat Nasional.
Di samping sebagai sebuah prestasi Indonesia dapat menjadi Anggota Dewan HAM untuk
periode ketiga ini, patut disayangkan hal ini tidak diimbangi dengan perbaikan kondisi HAM di
Indonesia. Tidak jauh-jauhmengukur keseriusan Pemerintah di tingkat Nasional, dengan tidak
diimplementasikannya sebagian besar dari Komitmen Indonesia di menjadi Anggota Dewan
HAM pada periode sebelumnya (2007 2010) telah menjadi bukti bahwa Pemerintah Indonesia
tidak cukup serius meletakkan HAM sebagai prinsip dasar hubungan luar negeri dan
pembangunan Nasional sebagaimana disinggung di dalam Perjanjian tersebut. Di samping itu,
sampai Pledges and Commitment 2011 disampaikan oleh Pemerintah Indonesia kepada Dewan
HAM pada Mei 2011, Pemerintah tidak pernah melakukan evaluasi terhadap Perjanjian
sebelumnya, sejauh mana Perjanjian tersebut telah dilaksanakan dan aspek mana saja yang
belum mampu dicapai, sehingga janji yang disampaikan oleh Pemerintah untuk periode 2011
2014 hanya sebagai janji normatif yang disampaikan kepada komunitas Internasional. Lebih
jauh, komitmen tersebut tidak membawa dampak positif di tingkat domestik.
Universal Periode Review
Dengan berakhirnya putaran 4 tahun pertama mekanisme review HAM di Universal Periodic
Review dan dikeluarkan Rekomendasi yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia,
pada 2012 Indonesia akan direview kembali di Dewan HAM PBB untuk putaran kedua pada
bulan Mei dan Juni 2012. Berbeda dengan review sebelumnya, putaran kedua ini lebih
menekankan pada tindak lanjut dan implementasi dari Rekomendasi yang telah disampaikan
oleh Dewan HAM kepada Pemerintah pada 2008 yang lalu. Sesuai dengan peraturan pelibatan
CSO dalam UPR di Dewan HAM PBB, bersama sama dengan Anggota dan jaringan, HRWG
telah menyampaikan sejumlah laporan altenatif pelaksanaan Rekomendasi UPR 2008 di
Indonesia kepada Dewan HAM PBB pada November 2011. Sementara itu Pemerintah
Indonesia, sesuai dengan aturan yg ada, akan menyampaikan laporannya pada awal tahun
2012 ini.
Tanggung Jawab pelaporan dan Mekanisme Konvensi-konvensi HAM PBB
Prestasi yang dicapai oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2011 cukup terlihat dengan
diselesaikannya pelaporan periodik Pemerintah kepada pelbagai Komite PBB sebagai wujud
tanggung jawab HAM internasional setelah meratifikasi Konvensi-konvensi tersebut.
Menurut catatan HRWG, selama 2011 Indonesia telah menyampaikan beberapa Laporan
periodik dan laporan perdana kepada Komite PBB, di antaranya adalah laporan perdana
tentang implementasi hak sipil dan politik (SIPOL) kepada Komite HAM, laporan perdana
pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya kepada Komite Ecosoc PBB, dan laporan periodik
ketiga tentang hak-hak anak kepada Komite CRC. Walaupun belum ditentukan kapan jadual
pembahasan laporan Pemerintah oleh Komite-komite tersebut, pelaporan yang disampaikan
oleh Pemerintah ini merupakan langkah maju dan prestasi dalam menjalankan kewajiban dan
tanggung jawab internasionalnya.
Prestasi lain yang dicapai oleh Indonesia pada tahun 2011 adalah terkait dengan ratifikasi
konvensi internasional PBB, di antaranya ratifikasi Konvensi Internasional Hak-hak Penyandang
Disabilitas (The Convention on The Rights of Persons with Disabilities). Setelah proses kurang
lebih selama 4 tahun, ratifikasi Konvensi ini disetujui oleh Komisi VIII DPR RI pada 12 Oktober
2011 dan akhirnya disahkan oleh DPR melalui UU pada 20 Oktober 2011. Ratifikasi Konvensi
memberikan kekuatan hukum mengikat kepada para penyandang disabilitas, seperti
perlindungan khusus pada fasilitas umum dan kesetaraan kesempatan kerja. Konvensi ini juga
memandang para kelompok disabilitas sebagai subyek dan bukan obyek.
Namun tentu prestasi baik ini belum dapat dikatakan maksimal, karena belum berbanding lurus
dengan implementasi di tingkat nasional. Sejumlah pelaporan periodik yang disampaikan oleh
Pemerintah Indonesia ternyata belum dapat diimplementasikan. Evaluasi yang dilakukan oleh
HRWG bersama dengan Komnas HAM terkait hasil rekomendasi dari Komite-komite HAM PBB
(CEDAW, CAT, CRC dan CERD) sebelumnya menunjukkan hasil yang tidak memuaskan,
karena hampir semua rekomendasi tersebut tidak dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia.
Maka dari itu, diplomasi Indonesia dalam konteks pelaksanaan konvensi HAM PBB (treaty
bodies) ini masih sebatas diplomasi normatif, belum menyentuh sisi substantif sebagaimana
yang diharapkan.
Seperti pada Konvensi CEDAW dan CRC yang telah diratifikasi sejak lama oleh Indonesia dan
telah berulang kali menyampaikan laporan periodik justru belum ada evaluasi terhadap
Rekomendasi Komite oleh Pemerintah terkait hak-hak perempuan dan anak, sehingga
Pemerintah tidak mempunyai tolok ukur sejauh mana sebuah Konvensi telah dilaksanakan dan
pada taraf mana Konvensi tersebut harus dilaporkan lagi. Pada sisi yang lain, kurangnya
sosialisasi Rekomendasi Konvensi kepada kementerian dan lembaga terkait (sebagai
pemangku kewajiban pelaksanaan HAM), di tingkat pusat apalagi di daerah, menyebabkan
ketidaktahuan seluruh jajaran Pemerintahan terhadap Konvensi dan Rekomendasinya. Hal ini
menjadikan implementasi komponen hak-hak sebagaimana telah diratifikasi tidak berjalan
secara simultan dan terintegrasi. Implikasinya, rekomendasi-rekomendasi tersebut hanya
menjadi tumpukan dokumen yang tidak diperhatikan dan tentunya berimbas kepada tidak
terlaksanakan Konvensi-konvensi dan Rekomendasinya di level nasional, walaupun telah lama
diratifikasi atau berulang kali dievaluasi oleh Komite melalui laporan periodik.
Terkait dengan proses ratifikasi Konvensi tentu merupakan kemajuan jika Indonesia
memberikan perlindungan kepada para penyandang disabelitas. Namun di sisi yang lain,
permasalahan yang juga sama pentingnya di Indonesia, yaitu buruh migran, belum juga
mendapatkan perhatian serius. Kuatnya politik berbisnisan di antara pejabat Negara dan
paradigma memandang buruh migran sebagai komoditi yang dapat dikuras tenaganya untuk
kepentingan pendapatan Negara masih menjadi kendala besar diratifikasinya Konvensi
Perlindungan Buruh Migran, padahal hampir setiap tahunnya Indonesia selalu disibukkan
dengan permasalahan buruh migran, baik di dalam Negeri atau di negara tujuan. Pelbagai
alasan yang tidak berdasar dimunculkan untuk menolak ratifikasi, terutama dari Kementerian
Ketenagakerjaan dan Transmigrasi yang sejauh ini masih resisten, sementara di sisi yang lain
kasus-kasus yang menimpa buruh migran terus terjadi. Rencana ratifikasi yang sudah disusun
sejak tahun 2004 selama thn 2011 menunjukkan proses yang lebih baik.
Rekomendasi Mekanisme HAM PBB
Maraknya pelanggaran dan pengabaian hak asasi manusia di Indonesia pada satu tahun
terakhir ini menjadikan Indonesia sebagai perhatian masyarakat internasional, terutama dari
mekanisme PBB. Paling tidak, ada 3 surat seruan dari mekanisme PBB terkait kondisi HAM di
Indonesia dan tindakan Negara terhadap kejadian-kejadian tersebut, di antaranya adalah Surat
dari Prosedur Khusus PBB (Ahli Independen untuk Isu Minoritas, Pelapor Khusus Extrajudisial,
Pelapor Khusus untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan, dan Pelapor Khusus untuk
Penyiksaan), surat seruan dari Komisioner Tinggi HAM PBB, dan Surat seruan dari Komisi Anti
Diskriminasi Rasial.
Seruan Prosedur Khusus Dewan HAM PBB
Surat dari Prosedur Khusus PBB yang terdiri dari pelbagai prosedur sebagaimana di atas
disampaikan kepada Pemerintah Indonesia tertanggal 16 Februari 2011 melalui Perwakilan
Tetap Pemerintah Indonesia di PBB, Jenewa, Dian Triansyah Djani. Seruan ini disampaikan
terkait dengan peristiwa berdarah di Cikeusik, Banten, pada 6 Februari 2011 dan secara umum
tindakan Pemerintah Indonesia terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Surat ini juga
mempertanyakan rangkaian kejadian penyerangan dan kekerasan yang dialami oleh kelompok
Ahmadiyah di Indonesia dalam tiga tahun terakhir yang terjadi hampir di seluruh Indonesia.
Berdasarkan kepada mandat yang diberikan oleh Dewan HAM PBB kepada prosedur khusus
tersebut, Surat ini meminta kerjasama Pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali apakah
data yang diterima oleh Prosedur Khusus ini benar-benar akurat dan valid dan
mempertanyakan kepada apakah Pemerintah Indonesia memiliki sanggahan atau keluhan
terhadap pengaduan yang telah diterima oleh Prosedur Khusus tersebut. Surat ini juga
mengharapkan kerjasama Pemerintah Indonesia untuk menyiapkan hasil invesitigasi hukum
secara detil dan memungkinkan terkait dengan kematian 3 korban dari Ahmadiyah tersebut.
Lebih lanjut, Surat yang disampaikan oleh 4 prosedur khusus PBB sekaligus ini meminta
penjelasan apakah SKB 3 Menteri tahun 2008 Tentang Ahmadiyah sesuai dengan prinsip-
prinsip hak asasi manusia, terutama DUHAM dan Konvensi Hak Sipil dan Politik. Terakhir,
seruan ini mempertanyakan apakah Pemerintah Indonesia memberikan konpensasi kepada
para 3 korban meninggal dalam peristiwa Cikuesik tersebut.
Surat ini ditandatangani oleh Gay J. McDougall (UNHRC-Independent Expert on Minority
Issues), Cristof Heyns (UNHRC-Special Rapporteur on Extrajudicial, summary or arbitrary
executition), Heiner Bielefeldt (UNHRC-Special Rapporteur on Freedom of Religion and Belief)
dan Juan E. Mendez (UNHRC-Special Rapporteur on torture and other cruel, inhuman or
degrading treatment or punishment). Atas permintaan tersebut dan sampai akhir tahun 2011,
sayangnya Pemerintah Indonesia tidak memberikan tanggapan dan jawaban atas surat
tersebut, sehingga cukup terlihat bahwa Pemerintah Indonesia masih enggan bekerjasama dan
berbesar hati untuk menerima kritikan dari masyarakat internasional. Abainya Pemerintah
terhadap mekanisme HAM internasional berimplikasi pula pada mandegnya proses penegakan
HAM di tataran nasional.
Seruan Komisioner Tinggi HAM PBB
Belum juga kasus kekerasan terhadap Ahmadiyah ditanggapi secara serius oleh Pemerintah
Indonesia, baik di level nasional atau internasional, pada bulan April 2011, Komisioner Tinggi
HAM PBB menyampaikan Surat diplomasi kepada Pemerintah Indonesia, melalui Menteri Luar
Negeri RI, Marty M. Natalegawa, terkait dengan kekerasan dan pelanggaran hak-hak kelompok
minoritas agama dan kepercayaan di Indonesia. Surat Ms. Navanethem Pillay ini
menggarisbawahi dua permasalahan penting mengenai pelanggaran hak kelompok minoritas di
Indonesia, yaitu kekerasan yang terjadi terhadap Ahmadiyah, mulai dari pelarangan ibadah,
penutupan masjid dan tempat kegiatan agama, pembakaran dan kekerasan fisik yang dilakukan
oleh kelompok masyarakat intoleran ataupun juga tentang maraknya pelarangan aktifitas
keagamaan oleh Pemerintah Daerah terhadap Ahmadiyah.
Permasalahan kedua yang disoroti oleh Komisioner Tinggi HAM PBB ini adalah tentang
pelanggaran dan kekerasan yang terjadi terhadap kelompok agama di Indonesia, yaitu yang
terjadi pada jemaat GKI Taman Yasmin, penyerangan terhadap jemaat dan pembakaran Gereja
di Gebyog, Klaten dan Tegal (Jawa Tengah). Hal serupa juga terjadi di Sumatera Utara yang
dilakukan oleh sekelompok orang yang hendak menghancurkan patung Budha.
Atas kejadian ini, atas nama Majelis Umum dan Dewan HAM PBB, Surat ini meminta agar
Pemerintah Indonesia mengambil tindakan yang diperlukan yang sesuai dengan standard
HAM internasional untuk memerangi tindakan yang memunculkan kebencian (hatred),
diskriminasi, intoleransi dan tindakan kekerasan, intimidasi, pemaksaan yang didasarkan pada
sikap intoleranberagama dan berkeyakinan, termasuk pula hasutan kebencian, permusahan
dan kekerasan, terutama kepada kelompok minoritas agama.
Pillay mengakui bahwa Pemerintah Indonesia tengah mendiskusikan permasalahan ini,
bersama-sama dengan Komnas HAM dan masyarakat sipil, sehingga Pillay mendorong agar
Pemerintah dapat menggunakan kesempatan ini dengan sebaik-baiknya untuk mengatasi
permasalahan intoleransi dan diskriminasi berbasis agama/keyakinan tersebut. Pillay juga
meminta agar Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Daerah untuk mengikuti jaminan hak yang
telah diatur di dalam Konstitusi dan pelbagai Konvensi Internasional yang telah diratifikasi,
termasuk di dalamnya adalah memastikan bahwa tidak adanya aturan yang membatasi ekpresi
dan kegiatan keagamaan. Untuk mencegah tindakan pelanggaran tersebut, Pillay menekankan
bahwa semua pelaku kekerasandapat ditindak secara hukum, termasuk pula pembebanan
hukuman pada tindak pidana yang telah dilakukan. Demikian gambaran umum Komisioner
Tinggi HAM PBB mengimbau Pemerintah Indonesia, tertanggal 26 April 2011.
Kembali Pemerintah Indonesia tidak koperatif dengan mekanisme internasional, karena surat ini
tidak ditanggapi oleh Pemerintah Indonesia. Selain bersebarangan dengan prinsip diplomasi
luar negeri Indonesia yang salah satu basisnya adalah hak asasi manusia, pengabaian
Pemerintah terhadap mekanisme internasional ini dapat pula berdampak negatif bagi
pembangunan HAM secara keseluruhan di tingkatan makro. Secara mikro, citra Indonesia di
mata internasionalpun menjadi buruk dan implementasi di tingkat Nasional tidak dapat berjalan
dengan baik. Abainya Pemerintah terhadap mekanisme internasional tersebut sama halnya
dengan abainya Pemerintah terhadap perlindungan, pemenuhan dan pemajuan HAM di
Indonesia.
Seruan Komite Anti Diskriminasi Rasial
Seruan Ketua Komite Anti Diskriminasi Rasial (CERD), Anwar Kemal, disampaikan kepada
Pemerintah Indonesia melalui Perwakilan Tetap Indonesia di Genewa, Dian Triansyah Djani,
tertanggal 2 September 2011. Surat ini berkaitan dengan adanya informasi tentang
pengrusakan hutanyang mengancam dan menyingkirkan (alienasi) keberadaan suku
Malinddan masyarakat adat di kabupaten Merauke, Papua, karena adanya proyek Merauke
Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Ataspengaduan tersebut, ada beberapa hal yang
disampaikan oleh Komite CERD kepada Pemerintah, di antaranya adalah: Pertama,
mempertimbangkan untuk mengundang Pelapor Khusus PBB tentang situasi HAM dan
kebebasan dasar masyarakat adat. Kedua, Komite mengharapkan perwakilan Pemerintah
Indonesia dapat bertemu dengan Komite CERD guna membicarakan permasalahan ini pada
sidang Komite mendatang, di Genewa dari tanggal 13 Pebruari sampai 13 Maret 2012. Ketiga,
menyampaikan informasi tentang semua isu dan masalah yang dijabarkan dalam surat
tersebut, sebelum tanggal 31 Januari 2012.
Meskipun Suran imbauan dari Komite CERD ini tidak dijawab oleh Pemerintah Indonesia, pada
kenyataannya Pemerintah berniat memindahkan proyek MIFEE ini ke pulau Kalimantan, baik
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, atau Kalimantan Selatan, meskipun
sebetulnya pemindahan proyek tersebut justru akan berdampak padapermasalahan konflik
lahan antara penduduk dan perusahaan.Pemindahan ini tidak akan menyelesaikan inti
permasalahannya, karena 15,2 juta hektar wilayah pulau Kalimantan telah diisi untuk konsesi
eksploitasi pertambangan dan perkebunan skala besar. Luasnya lahan yang diproyeksikan
sebagai perkebunan MIFEE ini akan berpotensi merebut tanah-tanah yang sekarang telah
digunakan oleh penduduk atau sama halnya meningkatkan deforetasi di pulau ini yang sudah
mencapai 350 ribu hektar pertahun.
Dari sejumlah seruan mekanisme internasional di atas, ternyata Pemerintah Indonesia tidak
menunjukkan sikap yang terbuka dan kebesaran hatinya.Pengabaian ini pula yang kemudian
menjadi suatu ancaman terhadap penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia, karena
secara etis Pemerintah sudah tidak menghormati standard nilai yang telah diusung bersama.
Hal ini cukup kontradiktif dengan sikap Pemerintah Indonesia yang selama ini menjadikan HAM
sebagai basis diplomasi luar negeri dan bahkan Indonesia terlibat aktif di dalam mekanisme-
mekanisme internasional, seperti di Dewan HAM PBB.
C. Indonesia dan HAM ASEAN
Kebijakan luar negeri tidak lagi menjadi domain sejumlah elit dan urusan Negara, tetapi dengan
struktur dan komponen yang lebih kompleks, dengan adanya keterlibatan publik dan
masyarakat sipil. Apalagi, telah ada dukungan publik yang luas dari akademisi, masyarakat sipil
dan anggota Parlemen Indonesia dan komunitas internasional untuk memasukkannya nilai-nilai
demokrasi dan agenda proyeksi demokrasi ke dalam kebijakan luar negeri. Dukungan dan
dorongan tersebut sangat tercermin dalam sikap Negara tentang Piagam ASEAN, promosi dan
perlindungan HAM di ASEAN, dan Burma. Di awal November 2010, para akademisi, NGO dan
anggota Parlemen telah menyatakan harapan yang sama ketika Indonesia mengambil peran
sebagai ketua ASEAN 2011 menggantikan Brunei Darussalam.
Selama 2011, Indonesia telah menempatkan semua upaya untuk meyakinkan masyarakat
internasional bahwa negara ini siap untuk menjadi pemimpin di ASEAN, dengan sejumlah
agenda terkait hak asasi manusia, demokrasi dan pembangunan perdamaian di komunitas
global. Selama beberapa tahun terakhir, negara telah memproyeksikan dirinya sebagai negara
demokrasi ketiga terbesar di dunia, Negara mayoritas Muslim moderat terbesar dan sebagai
'pembangun jembatan' dan 'pemecah masalah' dalam komunitas global yang lebih luas. Dalam
pidatonya pada tanggal 4 Januari 2012, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia menyatakan
bahwa keketuaan ASEAN Indonesia telah diasumsikan perannya dengan sejumlah prestasi di
arena regional dan hadir dengan peran baru dalam kerjasama global. Indonesia meyakini telah
berhasil membawa HAM ke tingkat ASEAN, namun pertanyaannya semula tetap muncul di sini,
yaitu apakah klaim ini sejalan dengan aspirasi dalam negeri dan sentimen dominan terhadap
prestasi Indonesia di ASEAN?
Keketuan Indonesia di ASEAN 2011: Tinjauan Umum
Pemerintah Indonesia memandang bahwa Keketuaan ASEAN pada 2011 merupakan
momentum penting untuk mencapai Komunitas ASEAN 2015. Salah satu prestasi Indonesia
selama Keketuaan ini terlihat dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan sebagai
upaya untuk mencegah kekerasan HAM terjadi, menetapkan sejumlah mekanisme kerjasama
antarnegara dan mengembangkan arsitektur regional yang menekankan pada prinsip
keseimbangan dinamis.
Sebagai Ketua ASEAN, Indonesia telah mengambil inisiatif untuk memediasi antara negara-
negara yang selalu berkonflik (Kamboja dan Thailand) dan membuat kontestasi tetap di tingkat
regional dibandingkan masuk ke arena internasional. Meskipun hanya pada tataran
administrasi, Indonesia memberikan kontribusi terhadap penyelesaian masalah politik di antara
kedua Negara ini, dan mengambil upaya berani pada saat yang tepat untuk mencegah
terjadinya konflik bersenjata. Untuk studi kasus ini, Indonesia ditandai sebagai kekuatan
ASEAN untuk mengamankan perdamaian di kawasan tersebut.
Di bidang politik dan keamanan di ASEAN, selama satu tahun keketuaan, Indonesia lebih
terfokus pada pembentukan institusi, mekanisme dan pengaturan standard untuk kerjasama
keamanan politik kawasan. Hal ini termasuk di antaranya membentuk: a) Institusi Perdamaian
dan Rekonsiliasi yang akan berbasis di Indonesia untuk menangani inisiatif dan manajemen
resolusi konflik; b) Forum Maritim ASEAN untuk mengatasi isu kejahatan lintas batas secara
komprehensif; dan c) Jaringan Pusat Peace-Keeping ASEAN dan Kolaborasi Industri
Pertahanan ASEAN.
Untuk standard setting kawasan, selama keketuaan Indonesia, ASEAN telah hadir dengan
finalisasi: a) Protokol Zona Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara; b) Penyusunan Deklarasi HAM
ASEAN (AHRD); c) Menyatakan bahwa Konvensi ASEAN tentang melawan Terorisme mulai
berlaku per-Mei 2011; d) Penyusunan Instrumen hukum regional untuk memerangi kejahatan
transnasional untuk perdagangan orang; e) Mencapai konsensus mengenai pedoman untuk
Implementation of Declaration on Conduct of Parties in the South China Sea (DOC) pada Juli
2011; f) penerbitan laporan tahunan tentang ASEAN Security Outlook sebagai upaya untuk
meningkatkan transparansi, kepercayaan dan pemahaman tentang keamanan dan kebijakan
pertahanan di negara-negara ASEAN; dan g) menandatangani Perjanjian tentang Pembentukan
Lembaga Audit Tertinggi ASEAN (ASEAN SAI). BPK RI telah ditunjuk sebagai ketua badan
baru untuk periode 2011-2013.
Dalam bidang kerjasama ekonomi, ASEAN telah meletakkan partisipasi bersama dari mitra
dialog dan sektor swasta dalam mewujudkan Master Plan ASEAN Connectivity (MPAC) melalui
kemitraan publik-swasta (PPP). Tahun ini, Indonesia mengawali perumusan Pemerataan
Pembangunan Ekonomi ASEAN (EED) sebagai tindakan penegasan dari Negara-negara
ASEAN untuk mencapai kesetaraan kemajuan ekonomi dengan mempersempit kesenjangan
pembangunan, penguatan kualitas SDM, meningkatkan kesejahteraan sosial dan membuka
ruang bagi partisipasi dalam proses integrasi ASEAN. Pangan dan keamanan energi terus
menjadi prioritas utama dalam pembangunan komunitas ekonomi ASEAN pada tahun 2011.
Selama KTT ASEAN ke-19, Negara-negara anggota ASEAN menandatangani Kerangka untuk
Kemitraan Ekonomi Komprehensif Daerah (AFRCEP).
Dalam masyarakat sosial budaya, ASEAN menekankan pada praktik-praktik pembangunan dan
partisipasi yang luas setiap orang dan masyarakat dalam rangka membangun sebuah
komunitas pada 2015. Beberapa standard setting yang teah dihasilkan dalam proses ini, di
antaranya: a) Agreement on the Establishment of the ASEAN Coordinating Center for
Humanitarian Assistance on Disaster Management (AHA Center) sebagai dasar hukum bagi
institusi; b) Deklarasi Kesatuan ASEAN dalam Keragaman Budaya; c) ASEAN Declaration of
Commitment: Getting to Zero New HIV Infections, Zero Discrimination, Zero AIDS-related
Deaths; d) Bali Declaration on the Enhancement of the Role and Participation of Persons with
Disabilities in the ASEAN Community; dan e) Bali Declaration on the Enhancement of the Role
and Participation of Persons with Disabilities in the ASEAN Community, and e) ASEAN Leaders
Statement on Climate Change to the 17th Session of the Conference of the Parties to the
United Nations Framework Convention on Climate Change (COP17).
Tahun 2011 juga ditandai dengan pembentukan ASEAN Ministerial Meeting on Women
(AMMW) sebagai upaya untuk meningkatkan kerjasama dalam mempromosikan dan
melindungi hak-hak perempuan, terutama pada perspektif gender pemberdayaan dan
pengarusutamaan gender dalam semua kebijakan ASEAN.
Dalam konteks HAM, pernyataan politik Pemerintah Indonesia menunjukkan, bahwa meskipun
kata-kata hak asasi manusia, rule of law, demokrasi dan kebebasan fundamental telah
disebutkan dalam dokumen resmi yang berbeda dari ASEAN, kuantitasnya masih sangat
rendah dengan kualitas hanya sebatas retorika, bila dibandingkan dengan tekad Pemerintah
untuk meletakkan HAM sebagai basis diplomasi luar negeri.
Secara lebih khusus dalam aspek perlindungan buruh migran, dengan jumlah lebih dari 510.000
buruh migran, Indonesia telah gagal meyakinkan seluruh negara anggota ASEAN untuk
menyelesaikan penyusunan Instrumen Perlindungan Buruh Migran. Tiga hal yang menjadi
perdebatan di tingkat ASEAN hingga saat ini, yaitu: a) buruh migran terdokumentasi; b) buruh
migran tidak berdokumen; dan c) karakter hukum dari instrument ASEAN.
Mekanisme HAM Regional ASEAN
Pembentukan ASEAN Inter-governmental Commission on Human Rights (AICHR) pada tahun
2009 dan ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and
Children (ACWC) pada 2010 merupakan suatu terobosan bagi ASEAN. Sampai saat ini, kedua
badan ini masih terus mencari jalan bagaiman ToR-nya dapat berjalan secara praktis. Tahun
ini, AICHR telah menyelesaikan Workplan 5 Tahun 2010 2015, the Guidance for Operation,
Rules of Procedures for AICHR Funds, the TOR for Drafting Group of the ASEAN Declaration of
Human Rights, the TOR for CSR and Human Rights Study dan laporan tahunan pertamanya.
Dalam dua tahun pertama performa AICHR dalam HAM masih berkisar bagaimana
membangun konsensus, kepercayaan dan kapasitas internal, yang masih dalam fase ASEAN
Way. Selain itu, AICHR tidak saja menghadapi kesenjangan internal dalam hal mekanisme dan
prosedur, tetapi juga perubahan-perubahan politik pada saat yang bersamaan. Sampai saat ini,
AICHR belum memiliki kesekretariatan yang laik untuk membantu kerja kerja-kerja
kelembagaan.
Lebih jauh, Negara-negara Anggota ASEAN cenderung memperlihatkan kontrol politik mereka
dalam menyikapi isu-isu sensitif HAM melalui AICHR, daripada untuk membangun institusi HAM
yang sesuai dengan prinsip HAM internasional dalam arsitektur regional. Pada saat yang
bersamaan, hubungan AIHCR dan CSO masih menjadi tantangan yang terbesar.
Dalam dua tahun terakhir, beberapa Pasal atau kesepakatan yang ada di AICHR hanya
menjadi pemanis (aksesoris) dokumen AICHR, daripada sebagai modalitas yang dapat
digunakan untuk menegakkan HAM di kawasan ASEAN. Sebagai contoh, pasal 4.10 yang
memandatkan AICHR untuk memperoleh informasi dari Negara anggota mengenai isu-isu HAM
tidak pernah diimplementasikan. Bahkan, upaya awal untuk membuat Pasal ini bisa berbunyi
pun tidak pernah dilakukan. Pasal 6.9 ToR AICHR mengindikasikan kemungkinan
mainstreaming HAM di dalam kerjasama multilateral ASEAN, adanya doktrin non-interfennsi
dan metode konsensus dalam pengambilan keputusan di AICHR, yang mematahkan
pelaksanaan kewenangan AICHR di dalam 4.10 ToR. AICHR sangat jauh dalam memberikan
prospek perlindungan HAM di Asia Tenggara.
Sementara itu, fungsi AICHR sebagai badan penasehat HAM masih tidak jelas bagaimana
badan ini harus menyelesaikan kemungkinan pertentangan antara penerapan prinsip non-
interfensi dan nilai-nilai universal HAM, secara khusus sekarang, dalam upaya untuk
menguniversalisasikan nilai-nilai HAM di tingkat regional yang sedang dilaksanakan melalui
proses penyusunan Deklarasi HAM ASEAN.
Laporan Tahun AICHR yang sebelumnya gagal untuk merekomendasikan kepada ASEAN dan
Negara Anggota mengenai kerjasama HAM. Padahal, rekomendasi AICHR berpotensi untuk
menggerakkan dialog dan interaksi antara pelbagai aktor di kawasan; Negara, organisasi
internasional dan masyarakat sipil. Meskipun interaksi tersebut bisa jadi ditolak oleh beberapa
Negara ASEAN, penolakan ini bisa menghasilakn perubahan dan memperkuat kemungkinan
kerjasama HAM di kawasan ASEAN.
Terdapat beberapa perkembangan menarik yang pantas untuk dicatat selama 2 tahun terakhir,
yaitu:
1. AICHR nampaknya merefleksikan dimanika yang berbeda dari pertemuan-pertemuan lain
ASEAN yang tradisional, sehingga perkembangan ini telah dipantau oleh Negara Anggota
ASEAN dan intervensi politik telah diambil untuk melemahkan peranan AICHR.
2. Pembentukan AICHR menyediakan suatu kesempatan untuk mendiskusikan HAM di
ASEAN. Sekarang ASEAN memiliki sebuah badan yang terus-menerus membawa HAM
lebih terlihat di tingkat Nasional, regional atau internasional. Meskipun, situasi suatu negara
(Country situation) dan resolusinya masih menjadi isu yang sensitif.
3. AICHR menggerakkan ketertarikan dan kepentingan di antara stakeholder dan gerakan
HAM ASEAN di Negara-negara Anggota, lintas isu.
4. AICHR menyediakan ruang untuk mendiskusikan isu-isu lintas batas dari perspektif HAM.
Proses drafting Deklarasi HAM ASEAN memberikan kesempatan untuk meregionalisasi
nilai-nilai universal HAM.

Indonesias Role to Promote Human Rights and Democracy in Burma


Selama kepemimpinan Indonesia di ASEAN, Pemerintah Burma menawarkan diri untuk menjadi
ketua ASEAN pada 2014, setelah diundur pada tahun 2005. Indonesia, dalam kapasitasnya
sebagai Ketua ASEAN merespon permintaan tersebut dengan cara memberikan beberapa
syarat-syarat terhadap permintaan tersebut, di antaranya membutuhkan penilaian dan dialog
secara bilateral dan multilateral, untuk memastikan bahwa Pemerintah Burma sesuai (cocok)
untuk menjadi Ketua, khususnya dalam membawa prinsip dan tujuan ASEAN, yang salah
satunya HAM dan demokrasi.
Burma telah menjadi beban bagi ASEAN sejak permohonan keanggotaannya diterima pada
1997. Isu-isu politik di Burma dalam sejarahnya berakar dari konflik di antara Negara dan
mayoritas rakyat Burma yang menghendaki adanya penentuan nasib sendiri berdasarkan etnik
nasional, yang mencapai 30% dari populasi. Tuntutan untuk dialog tripartit antara Pemerintah,
gerakan demokrasi dan komunitas nasional etnik telah menjadi seruan utama masyarakat sipil
dan komunitas internasional.
Selama 2011, Burma telah menunjukkan political will untuk membawa perubahan politik di
Negara tersebut setelah 50 tahun di bawah pemerintah otokrasi. Hal ini menunjukkan, bahwa
syarat untuk menjadi ketua ASEAN memotivasi Pemerintah Burma untuk menunjukkan niatnya
dalam perubahan. Reformasi dilakukan, termasuk menginisiasi untuk bertemu dengan
beberapa orang untuk mengkonsultasi dan mendengarkan isu-isu yang berhubungan dengan
Burma, menggelar pertemuan dengan tokoh-tokoh icon demokrasi, DawAung San SuuKyi
diberikan izin untuk melakukan perjalanan di dalam negeri dan mengizinkan partainya untuk
mengikuti Pemilu, menghentikan proyek Bendungan China di Myitsone, mengurangi sensorsif,
membuka kebebasan pers, memberikan tunjangan baru kepada warga negara, membentuk
institusi nasional HAM (NHRI), meningkatkan kerjasama pemerintah asing dengan Pemerintah
Burma, serta melepaskan ratusan tahanan politik.
Dengan sejumlah reformasi tersebut, Burma masih jauh dari sebuah Negara yang demokratis.
Partisipasi publik belum menguat dan belum meluas sebagaimana diharapkan. Pelepasan
tahanan politik belum diikuti dengan pemberian remedi, impunitu masih dominan terjadi,
demokratisasi dan komitmen untuk perlindungan HAM belum direfleksikan dalam kebijakan,
pernyataan, dan dialog antara pemerintah dan oposisi belum terjadi. Sementara itu, perubahan
ini bisa jadi membuka kesempatan yang lebih baik untuk merevitalisasi rekomendasi-
rekomendasi sebagaimana yang telah dikeluarkan oleh UN SR Tomas Ojea Quintana sebelum
Dewan HAM membentuk Commission of Inquiry (COI) yang menuduh terjadinya kejahatan
terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Pemerintah yang berkuasa.
Proyeksi kebijakan luar negeri. Deskripsi di atas menyimpulkan bahwa kebijakan luar negeri
Indonesia di kaawasan ASEAN telah sukses memproyeksikan kemajuan domestik dalam
bidang HAM dan demokrasi untuk membangun kepercayaan dan sikap percaya diri ke luar
negeri. Namun, kepercayaan ini tidak berbanding lurus dengan peranan Pemerintah Indonesia
sebagai bridge-builder dan problem-solver. Di dalam Negeri justru sebaliknya, kebijakan
Pemerintah Indonesia malah terlibat dalam bridge-builder dan problem-making.
Keragu-raguan Pemerintah dan ekspresi yang emosional dalam menghadapi isu perbatasan
dengan Malaysia, dan over-sensitif terhadap pertanyaan tentang integritas (dalam kasus
Papua), dan perilaku defensif Pemerintah dalam hal otonomi ekonomi dan politik di arena
internasional telah menyebabkan ketidakjelasan kebijakan luar Negeri Indonesia. Hal ini pula
mendorong adanya inkonsistensi Pemerintah antara kebijakan HAM internal dan eksternal.
Saat ini, keinginan Indonesia untuk memainkan peran di tingkat global masih dipertanyakan,
apakah Pemerintah memiliki kemampuan untuk menerjemahkan aspirasi globalnya ke dalam
praktik aktual dan memiliki kapabelitas dalam membuat perubahan serius di tingkat global.

D. Indonesia dan HAM OKI


Seiring dengan reformasi yang dilakukan oleh Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dalam
beberapa tahun terakhir, walaupun belum mampu memberikan pengaruh signifikan Indonesia
telah terlibat dalam proses pembangunan dan pemajuan HAM di Organisasi ini. Secara
geopolitik, di tahun 2011, Indonesia mulai menjadikan OKI sebagai salah satu arena penting
untuk diperhatikan yang dapat diukur dari keterlibatan-keterlibatan Pemerintah Indonesia dalam
kegiatan OKI, terutama dalam konteks hak asasi manusia dan pembangunan demokratisasi. Di
antara yang signifikan dalam konteks HAM adalah upaya Indonesia bersama dengan Negara
anggota yang lain untuk mendirikan badan HAM OKI yang telah terbentuk pada pertemuan
Menteri Luar Negeri OKI ke-38 di Astana, Kazakhstan, pada 28 Juni 2011.
Dalam statemen resminya, Menteri Luar Negeri Indonesia menyampaikan bahwa pembentukan
Komisi HAM OKI merupakan suatu tahapan besar yang telah dilampaui oleh OKI. Komisi HAM
yang bernama Komisi Independen Permanen HAM OKI (Independent Permanent Human
Rights Commission/IPHRC) ini dipandang oleh Pemerintah Indonesia sebagai sebuah evolusi
penting dalam mewujudkan OKI menuju komunitas modern yang kapabel dengan kepentingan
Negara-negara anggota. Atas dasar ini, Indonesia memberikan dukungan besar terhadap
efektifitas Komisi dan bersedia menyediakan kebutuhan demi terwujudnya fungsi badan HAM
tersebut. Dalam konteks Komisi HAM pula, Indonesia juga mengirimkan perwakilannya untuk
menjadi Komisioner IPHRC yang dipilih secara terbuka dengan melibatkan masyarakat sipil.
Walaupun belum dinyatakan secara eksplisit dan resmi, salah satu keseriusan Pemerintah
Indonesia untuk mendukung Badan HAM OKI ini adalah kesediaan Indonesia untuk menjadi
Markas Besar IPHRC yang belum ditentukan tempatnya sampai saat ini. Demikian pula dengan
pengajuan Indonesia untuk menjadi tuan rumah dalam Sidang Perdana Komisi HAM OKI pada
Februari 2012.
Keterlibatan Indonesia lainnya yang juga signifikan adalah dalam forum Persatuan Parlemen
Negara-negara OKI (PUIC) yang ditandai dengan terpilihnya Marzuki Alie sebagai Presiden
PUIC untuk 2012. Atas mandat tersebut, Indonesia juga menjadi Tuan Rumah Pertemuan ke-7
PUIC yang akan diselenggarakan di Palembang, Sumatera Selatan, pada 24 30 Januari
2012. Walaupun belum terlihat pengaruh signifikan dalam pembangunan dan pemajuan HAM
dan proses demokratisasi di Indonesia dan di antara Negara-negara OKI, keketuaan ini dapat
menjadi modalitas bagi Indonesia untuk mendorong OKI dan Negara Anggotanya ke ranah
yang lebih demokratis dan memajukan HAM. Hal ini menjadi penting, mengingat posisi
Indonesia sebagai Negara Muslim terbesar di dunia yang dianggap paling demokratis dan
moderat.
Hal lain yang juga menjadi penting dalam diplomasi luar negeri Indonesia di OKI adalah
kesiapan Indonesia untuk menjadi Tuan Rumah dalam Pertemuan Menteri Pemberdayaan
Perempuan Negara-negara OKI ke-4 pada Desember 2012, setelah pengajuannya pada tahun
2010 di Teheran, Iran. Indonesia dipilih menjadi Tuan Rumah, meskipun Kazakhstan
Azeirbeijan, dan Kuwait juga mengajukan diri. Dalam forum ini pula, Kementerian Perempuan
OKI akan membahas dan mengevaluasi perjanalan Rencana Aksi Pemberdayaan dan
Pemajuan Perempuan OKI (OPAAW) yang diadopsi pada tahun 2008.
Atas dasar perkembangan di atas, keterlibatan Indonesia di dalam mekanisme OKI hendaknya
tidak terhenti pada proses normatif saja, tetapi juga mampu mendorong dan masuk di ranah
substantif, mengingat posisi Indonesia yang cukup signifikan, terutama dalam konteks HAM
dan demokrasi. Indonesia mampu menjadi jembatan proses modernisasi politik dan demoktisasi
yang sesuai standard hukum dan HAM internasional di antara Negara-negara Muslim dan
komunitas internasional lainnya, baik melalui Badan HAM yang telah terbentuk, keketuaan
Indonesia dalam forum PUIC, ataupun dalam forum Kementerian Perempuan OKI yang akan
dilaksanakan di Jakarta.
Selain bersifat makro, secara mikro Pemerintah Indonesia juga harus mampu memaksimalkan
OKI sebagai salah satu Organisasi yang memberikan dampak positif ke dalam Negeri, terutama
dalam isu-isu yang selama ini belum mampu diselesaikan. Pemerintah harus mencari suatu
bentuk dan strategi diplomasi yang melindungi warganegara Indonesia di luar negeri, yang
tersebar di Negara-negara OKI, seperti dalam perlindungan buruh migran, kasus-kasus
hukuman mati WNI di luar negeri. Dengan demikian, keterlibatan Indonesia di OKI tidak hanya
dalam upaya internasionalisasi nilai-nilai Islam moderat di Indonesia, tetapi jugamemberikan
keuntungan pada tataran nasional.
Secara mikro pula, OKI sebagai organisasi terbesar kedua di dunia harus mampu memberikan
pengaruh dalam pembangunan kultur dan sistem sosial yang moderat dan toleran di antara
masyarakat Indonesia. Hal ini tentunya tidak dengan mengeluarkan kebijakan yang
berseberangan dengan prinsip-prinsip HAM, toleransi dan anti-diskriminasi, sebagaimana telah
diusulkan oleh Negara-negara OKI kepadaSidang Dewan HAM PBB pada 21 Maret 2011dalam
sebuah Resolusi tentangLarangan tindakan Intoleransi, Stigmatisasi, Diskriminasi, Ancaman
dan Tindakan Kekerasan berlatar belakang Agama dan Keyakinan.

E. Kerjasama dan Hubungan Bilateral dalam Konteks HAM


Indonesia-Norwegia. Ada beberapa kerjasama HAM yang dilakukan oleh Pemerintah
Indonesia dengan negara-negara lain, terutama kerjasama lanjutan dari tahun-tahun
sebelumnya. Melanjutkan kerjasama yang telah digagas sejak tahun 2001 antara Indonesia dan
Norwegia, dalam kerjasama bidang politik dan pemajuan HAM pada 2011Indonesia dan
Norwegia telah melaksanakan Dialog HAM ke-10 di Oslo, Norwegia pada tanggal 20-22 Juni
2011. Dialog yang telah berlangsung sepuluh tahun kali ini mengambil tema tentang Military
and Police, Rights of the Child dan Interfaith Dialogue and Culture of Tolerance, yang dibahas
dalam kelompok diskusi terpadu. Kerjasama yang telah berlangsung cukup lama ini patut
diapresiasi, selain juga masih adanya keharusan Pemerintah untuk mengevaluasi capaian
kongkret dari kerjasama tersebut.
Sejauh ini, Indonesia-Norwegia memang telah menjalin kerjasama di bidang HAM dan
demokrasi, tetapi belum mampu dirasakan positif di tingkat nasional, apalagi tema dialog 2011
sangat spesifik kepada isu tertentu, dengan menghadirkan pelbagai aparat Pemerintahan,
seperti perwakilan dari Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Agama, Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kementerian Pertahanan, Babinkum TNI,
Operasi Panglima TNI, Divisi Hubungan Internasional POLRI, Divisi Hukum Polri, Pusat Misi
Penjaga Perdamaian (PMPP Mabes TNI) dan Kementerian Luar Negeri. Keikursertaan
pemangku kebijakan di dalam dialog ini seharusnya memberikan dampak positif bagi
pembangunan dan perlindungan HAM di Indonesia, sehingga kerjasama ini tidak hanya
bertujuan untuk menguatkan hubungan diplomatif kedua negara, tetapi juga beridampak
kepada kepentingan nasional. Meskipun belum ada evaluasi komprehensif tentang
keberhasilan dialog ini dalam mewujudkan pembangunan HAM di Indonesia, pada praktiknya
kondisi penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia, terutama terkait isu kebebasan
beragama, kekerasan para aparat, baiklembaga kepolisian atau militer, masih berada pada
tingkat yang memperihatinkan.
Indonesia dan Perlindungan Buruh Migran. Hal utama yang dapat dikatakan terkait
diplomasi Indonesia dalam perlindungan buruh migran adalah bahwa Indonesia masih tidak
memiliki rencana khusus kerangka perlindungan buruh migran, baik melalui jalur mekanisme
internasional atau bilateral. Indonesia masih terlihat abai terhadap permasalahan buruh migran,
dengan tingginya tingkat pelanggaran yang terjadi, bahkan munculnya kasus-kasus hukuman
mati BMI di Negara-negara penerima sebagai akibat lemahnya pemantauan dan pendampingan
yang dilakukan oleh Pemerintah.
Walaupun Pemerintah lebih meningkatkan perhatian kepada buruh migran di Negara-negara
tertentu, seperti dibentuknya Satuan Tugas TKI melalui Keppres. No. 17/2011 (7 Juli 2011)
Satuan Tugas Penanganan kasus WNI/TKI di Luar Negeri Yang Terancam Hukuman Mati,
Pembentukan Tim Terpadu Perlindungan TKI di luar negeri (melalui Keppres No. 15 tahun 2011
tanggal 14 Juni2011),moratorium pengiriman buruh migran, serta penunjukan pengacara tetap
di Malaysia dan Arab Saudi untuk mendampingi buruh migran yang menghadapi kasus pidana
berat, kebijakan-kebijakan tersebut terkesan hanya bersifat reaktif dan sementara, karena
rangkaian kebijakan tersebut tidak lepas dari kegagalan Pemerintah RI untuk mencegah
hukuman mati TKW Indonesia, Ruyati binti Satubi, pada 18 Juni 2011 oleh Kerajaan Arab
Saudi.
Sikap reaktif ini dapat terlihat pula dari kosongnya kerangka hukum perlindungan buruh migran
di Indonesia, lebih-lebih Indonesia belum meratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran.
Pemerintah dalam hal ini Mekankertrans selalu berkilah untuk mengedepankan hubungan
bilateral dalam melindungi buruh migran, namun sampai saat ini pun belum pernah dibuat MoU
di antara Indonesia dengan Arab Saudi dan Malaysia (sebagai Negara terbesar penerima buruh
migran Indonesia) yang betul-betul memberikan perlindungan hak-hak TKI. Di tengah diplomasi
pencitraan Indonesia di mata internasional, Pemerintah Indonesia ternyata meluputkan tujuan
utama hubungan luar negeri, yaitu memberikan manfaat sebesar-besarnya dan memenuhi
kepentingan nasional di dalam negeri. Dari sini pula, kerjasama-kerjasama yang dilakukan oleh
Pemerintah terkait buruh migran dengan Negara-negara Penerima masih menempatkan
keuntungan ekonomi dan bisnis sebagai acuan utama, bukan perlindungan para buruh migran
yang memiliki rentan atas pelanggaran dan kekerasan di negeri orang.
Indonesia dan Sudan. Entah berdasarkan kepada pertimbangan politik atau ekonomi,
kebijakan utusan DPR RI yang berkunjung ke Sudan pada 27 Desember 2011 telah mencoreng
nama Indonesia di mata internasional. Tidak hanya bertentangan dengan Konstitusi Indonesia
dan Pancasila yang mendukung proses rekonsiliasi politik secara damai di seluruh belahan
dunia, utusan DPRI RI yang menyetujui tindakan Pemerintah Sudan dalam menyelesaikan
konflik di Darfur sama halnya menjustifikasi pelanggaran kemanusiaan dan kejahatan
internasional yang telah dilakukan oleh Sudan kepada warga negaranya. Tidak hanya itu,
statemen utusan DPR RI yang meminta masyarakat internasional menghentikan tekanan
kepada Pemerintah Sudan atas kasus Darfur dan meminta Pengadilan Pidana Internasional
(ICC) terhadap Sudan untuk dihentikan merupakan tindakan yang mencoreng hukum
internasional yang selama ini telah disepakati bersama. Dengan tanpa memberikan asistensi
dalam proses perdamaian antara Pemerintah Sudan dan penduduk Darfur, utusan DPR RI
telah mengambil tindakan gegabah dan tergesa-gesa, karena pernyataan tersebut samasekali
tidak memberikan dampak positif bagi pembangunan Sudan ke depan. Lebih jauh lagi,
statemen ini sama halnya memporakporandakan tatanan peradaban kemanusiaan yang selama
ini terbangun dan dijaga bersama-sama oleh komunitas internasional.
F. Prospek dan Tantangan Diplomasi HAM Indonesia 2012
Prospek diplomasi hak asasi manusia Indonesia pada tahun 2012 dapat dilihat tiga klasifikasi
sasaran, yaitu ranah internasional PBB, cross-regional (OKI) dan ragional (ASEAN).
Pembangunan dan pemajuan HAM di tiga mekanisme tersebut pada 2012 merupakan lanjutan
dari rangkaian kegiatan dan kebijakan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Indonesia pada
2011. Bila pada 2011 Indonesia lebih menyibukkan diri di wilayah regional, dengan keketuaan
di ASEAN, pada 2012 ini diplomasi HAM akan lebih fokus di organisasi internasional dan cros-
regional. Hal ditandari dari beberapa rangkaian mekanisme internasional yang akan dilalui oleh
Pemerintah Indonesia di PBB dan rangkaian pertemuan OKI yang dilaksanakan di Indonesia.
Dalam mekanisme internasional, kondisi HAM di Indonesia akan direview oleh Dewan HAM
PBB pada Juli 2012. Selain menjadi momentum bagi masyarakat sipil untuk mengoreksi kondisi
pemenuhan HAM di Indonesia selama 4 tahun terakhir, dalam proses ini Pemerintah juga
dimandatkan untuk menyampaikan laporan terkait pemenuhan dan perlindungana HAM di
Indonesia, secara lebih khusus terkait dengan Rekomendasi UPR Indonesia 2008. Dengan
proses review ini, diharapkan Pemerintah Indonesia dapat bekerjasama secara bijak dengan
mekanisme tersebut, termasuk pula melaporkan secara jujur terkait kondisi dan pemenuhan
HAM di Indonesia.
Evaluasi lain yang juga akan dilakukan oleh mekanisme internasional terhadap Indonesia
adalah ICC.
Di mekanisme internasional pula, meskipun di tahun 2011 Indonesia terkesan tidak kooperatif
dan abai dengan mekanisme PBB sebagaimana dijelaskan di atas pada tahun 2012
Indonesia telah membuka diri untuk mengundang Pelapor Khusus Dewan HAM PBB, bahkan 3
prosedur sekaligus, yaitu: Pelapor Khusus Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat (yang
pernah mengunjungi Indonesia pada 2011 secara un-official), Pelapor Khusus untuk Hak Atas
Kesehatan, dan Pelapor Khusus untuk Perumahan yang Laik. Hal ini merupakan capaian dan
keberanian Pemerintah Indonesia untuk bekerjasama dengan mekanisme internasional,
walaupun Pemerintah masih menutup diri terkait dengan kondisi kebebasan beragama dan
berkeyakinan. Keberanian Indonesia untuk mengundang Pelapor Khusus Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan menjadi salah satu tolok ukur apakah Pemerintah Indonesia telah
betul-betul bekerjasama dengan mekanisme internasional dan bertegad untuk
mengintegrasikan mekanisme tersebut dalam konteks Nasional.
Pada tahun 2012, Indonesia juga dievaluasi terkait pemenuhan dan perlindungan hak-hak
perempuan oleh Komite CEDAW, setelah pada 2010 Indonesia menyampaikan laporan
periodik. Proses ini juga memungkinkan keterlibatan masyarakat sipil di dalamnya, selain dari
proses penyampaian Laporan Alternatif pada 2010. Tolok ukur lain yang penting bagi
Pemerintah Indonesia dalam mekanisme Treaty pada 2012 adalah terkait dengan permintaan
pertemuan Komite CERD untuk membahas permasalahan proyek MIFEE di Papua, karena
dengan tidak memberikan jawaban terhadap Surat yang disampaikan Komite CERD tentang
proyek MIFEE, keengganan Pemerintah Indonesia untuk mendiskusikan permasalahan ini
dalam Pertemuan Komite pada April 2012 merupakan tindakan yang mengabaikan prinsip-
prinsip hubungan internasional dan hak asasi manusia.
Aspek lain yang juga menjadi tolok ukur Pemerintah Indonesia dalam mekanisme HAM
internasional adalah mengenai ratifikasi Konvensi yang telah dijanjikan pada 2011, di antaranya
adalah ratifikasi Protokol Opsional terhadap Konvensi Hak-hak Anak mengenai penjualan anak,
prostitusi anak dan pornografi anak, Protokol Opsional terhadap Konvensi Hak-hak Anak
mengenai keterlibatan anak dalam konflik bersenjata, Konvensi Perlindungan Hak-hak Asasi
Manusia Pekerja Migran dan Keluarganya, Konvensi untuk Perlindungan Semua Orang dari
Penghilangan Paksa. Beberapa Konvensi di atas telah dijanjikan oleh Pemerintah Indonesia
untuk diratifikasi pada 2012 dan jika dilakukan, maka hal ini semakin menguatkan politik luar
negeri Indonesia yang hanya terhenti pada pencitraan belaka.
Pembangunan dan perkembangan hak asasi manusia di Indonesia pada 2012 juga diwarnai
dengan munculnya Komisi HAM OKI, dengan menguatnya pula perhatian Pemerintah Indonesia
terhadap Organisasi ini. Persidangan 3 forum OKI di Indonesia mulai Januari sampai Desember
2012 di Indonesia ini akan memberikan pengaruh kepada pembangunan diskursus hak asasi
manusia dan Islam di Indonesia.
Pertemuan ke-7 Persatuan Parlemen OKI (PUIC) di Sumatera Selatan pada 24 30 Januari
2012 akan menjadi salah satu momentum penting bagi Indonesia dalam memperkenalkan nilai-
nilai Islam yang moderat dan plural di Indonesia, serta bagaimana relasi antara Islam dan
demokrasi politik di Negara mayoritas Muslim ini dapat berjalan efektif, sesuai dengan prinsip
hukum dan HAM internasional. Lebih dari itu, Pertemuan PUIC ini dapat pula menjadi forum
dialog bagi Negara-negara OKI dalam mentransformasikan nilai-nilai Islam yang relevan
dengan peradaban dunia dan perkembangan zaman.
Pertemuan yang juga tidak kalah pentingnya adalah Pertemuan Perdana Komisi HAM OKI
(IPHRC) yang akan dilaksanakan di Jakarta pada Februari 2012, seiring pula dengan
pengajuan Indonesia menjadi Markas Besar IPHRC. Pertemuan ini juga menjadi tolok ukur bagi
Pemerintah Indonesia untuk mampu mendorong dan mewujudkan IPHRC sebagai lembaga
yang betul-betul independen dan permanen sesuai dengan standard internasional. Selain
persiapan yang bersifat teknis, pertemuan yang dilakukan di Jakarta ini juga harus didukung
dengan persiapan substantif oleh Pemerintah Indonesia, terutama terkait dengan prosedur
Komisi yang mampu menegakkan HAM secara efektif, mekanisme pemantauan dan evaluasi
yang dapat memastikan jaminan hak di setiap Negara Anggota OKI terlaksana, dan adanya
jaminan keterlibatan masyarakat sipil IPHRC. Keberhasilan Pemerintah Indonesia untuk
melibatkan masyarakat sipil di Keketuaan ASEAN patut menjadi contoh pada pelaksanaan
pertemuan IPHRC ke depan, sehingga OKI tidak hanya menjadi forum antar pemerintah
sebagaimana selama ini terjadi, tetapi juga keterlibatan masyarakat sipil di dalamnya.
Momentum terakhir yang juga patut menjadi perhatian di tahun 2012 adalah pertemuan
Kementerian Perempuan OKI yang akan dilangsungkan pada Desember 2012. Selain sebagai
pertemuan regular 2 tahunan, pertemuan ini juga sebagai forum evaluasi Plan of Action
(OPAAW) OKI yang telah disepakati pada 2008. Pertemuan kedua ini masih terkait dengan
penguatan mekanisme pemantauan dan evaluasi, terutama dalam isu kekerasan perempuan
dalam rumah tangga. Dalam pada itu, sebagai Negara yang cukup maju di bidang hak-hak
perempuan dibandingkan dengan Negara Muslim lain, Indonesia harus mampu memainkan
peranan penting dalam mewujudkan standard mekanisme yang dapat digunakan dalam
pemajuan Perempuan di Negara Anggota OKI, selain pula memberikan contoh pada praktik-
praktik terbaik yang telah dilakukan di Indonesia atau di Negara-negara lain dalam perlindungan
perempuan. Di samping itu, pertemuan ini hendaknya pula menjadi sarana bagi Pemerintah
Indonesia untuk bertukar pengalaman dan praktik terbaik di negara-negara Muslim yang lain,
khusus dalam isu-isu tertentu, seperti kebijakan kriminalisasi poligami di Tunisia dan Turki.
Dalam konteks ASEAN, Indonesia memiliki kesempatan untuk melanjutkan agenda dalam
upaya mendorong agenda HAM ASEAN pada masa keketuaan Kamboja 2012. Finalisasi Draft
ADHR menjadi salah satu tugas yang harus diselesaikan oleh AIHCR pada tahun ini dan
menjadi tolok ukur sejauh mana insitusi ini membuka diri dengan masyarakat sipil. Beberapa isu
lintas batas, seperti trafficking, penyelundupan manusia, migrasi, dapat menjadi lahan bagi
Pemerintah untuk memperlihatkan kemampuan dan pengaruh yang kuat dengan negara-negara
ASEAN lainnya agar setiap buruh migran di negara-negara tujuan ini dapat terlindungi.
Indonesia juga memiliki kesempatan untuk memimpin bagaimana menerjemahkan semboyan
ASEAN people oriented dan mengubah kebijakan state-sentris, serta mengembangkan upaya
kerjasama di bidang politik dan ekonomi yang meliputi hak asasi manusia. Membentukan ACHR
dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk memberikan perlindungan HAM secara cepat dan
lebih konkret. Meskipun, Indonesia harus pula mengembangkan kemampuan para
stakeholdernya dalam menjalankan kebijakan dan poitik luar negeri di ASEAN.
Dalam bidang kerjasama HAM, ASEAN harus mempertimbangkan kembali sikap yang keras
terhadap prinsip non-interference dan keputusannya dengan konsensus. Dengan banyaknya
peristiwa-peritiwa kemanusiaan yang terjadi, seperti bencana alam, wabah penyakit, tindak
pidana transnasional, dan kejahatan HAM, telah mengharuskan Pemerintah ASEAN untuk
saling bekerjasama secara global dan saling tergantung.
Dalam masa lima tahun mendatang, Indonesia akan lebih fokus pada keamanan nasional,
pembangunan ekonomi dan stabilitas regional di ASEAN, selain juga pada saat yang sama
akan menjadi peranan lebih besar lagi di tingkat global.
Secara mikro, kondisi HAM nasional dewasa ini juga menjadi permasalahan serius pada tahun
2012. Ada beberapa isu yang bila merujuk kondisi 2011 pada tahun 2012 akan semakin
mencuat dan banyak terjadi, yaitu hak kebebasan beragama/berkeyakinan dan kasus-kasus
kekerasan berbasis pada konlik lahan antara masyarakat dan korporasi, dengan melibatkan
aparat keamanan atau oknum sipil.
Mengakhiri tahun 2011, kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia belum
juga memperlihatkan perubahan ke arah yang lebih baik. Hal ini tidak hanya ditandai oleh
semakin maraknya kasus-kasus kekerasan oleh kelompok sipil dan aparat pemerintah terhadap
kelompok minoritas agama, tetapi juga masih kuatnya paradigma kebijakan yang mengeliminasi
dan mendiskriminasikan kelompok-kelompok minoritas tersebut dalam kehidupan bernegara
dan berbangsa. Kecenderungan ini cukup menjadi semakin memperihatinkan dengan maraknya
praktik kekerasan dan diskriminasi yang menjadikan agama sebagai pemicu konflik dan
kerusuhan, sementara di sisi yang lain, Negara dan seluruh jajaran aparatnya tidak ma(mp)u
bertindak tegas dan meletakkan hukum sebagai penengah dari pelanggaran-pelanggaran yang
terjadi.
Kasus-kasus pelanggaran HAM yang juga meningkat signifikan dewasa ini adalah pelanggaran
yang berimplikasi dari maraknya praktik-praktik bisnis korporat yang tidak mengindahkan hak-
hak rakyat banyak. Terjadinya perebutan lahan yang berakhir pada kekerasan terhadap
masyarakat setempat, baik oleh aparat atau petugas perusahaan, telah memenuhi wacana
sosial politik di Indonesia pada akhir 2011. Lemahnya keseriusan Pemerintah dan aparat
penegak hukum untuk menindak secara tegas para pelaku kekerasan, sehingga kekerasan-
kekerasan ini ibarat gunung es yang kian membesar dan meluas. Dengan kualitas dan
kuantitas yang beragam, dapat dipastikan hampir di seluruh wilayah di Indonesia, terutama di
kawasan-kawasan kaya sumber daya alam, telah terjadi tindakan kekerasan-kekerasan
berbasis lahan dan selalu yang menjadi korban adalah masyarakat. Tanpa adanya kerangka
kebijakan komprehensif dari Pemerintah dalam menangani kasus-kasus ekspansi lahan yang
dilakukan oleh korporat tersebut dan semakin menyingkirkan eksistensi masyarakat-masyarakat
lokal, maka dapat diprediksi bahwa ke depan kekerasan berbasis hak ekonomi tersebut pun
akan terus meningkat.

G. Kesimpulan dan Rekomendasi


Beberapa tahun terakhir ini Indonesia telah menjadi hak asasi manusia sebagai salah satu
prinsip diplomasi luar negeri. Hal ini tentu menjadi sebuah kemajuan signifikan bagi Indonesia
dalam membangun relasi dengan negara-negara di dunia, karena tidak hanya sebagai
manifestasi dari Konstitusi dan Pancasila, hal ini pula yang menjadi pewacaanaan Pemerintah
Indonesia di dunia internasional tentang Indonesia kini. Perkembangan diplomasi HAM
Indonesia selama 2011 dapat dikatakan positif, dengan beberapa prestasi yang telah dicapai
oleh Indonesia, baik di tingkat internasional PBB, multilateral OKI ataupun pada tingkatan
regional ASEAN.
Dari perjanalan diplomasi Indonesia setahun terakhir, walaupun telah mengarah kepada
kemajuan, sayangnya belum mampu mewujudkan tujuan utama dari hubungan luar negeri,
yaitu memberikan pengaruh positif di tingkat nasional, sehingga dapat dikatakan bahwa
diplomasi HAM masih terhenti pada pencitraan Indonesia di mata internasional. Salah satu
indikasi yang sangat kuat adalah abainya Pemerintah Indonesia terhadap seruan dari
mekanisme HAM PBB yang menyoroti kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di
Indonesia.

Vous aimerez peut-être aussi