Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Pendahuluan
Kata Aseng kelihatannya telah menjadi terminologi baru di Indonesia;
prejudice untuk merujuk saudara-saudara dari kalangan Tionghoa. Jelas
bertendensi negatif; sebab sangat sulitjika bukan tidak satupunditemukan
narasi positif dalam penggunaan terminologi itu.
Kurang begitu jelas sejak kapan istilah itu muncul dan digunakan. Tanpa
maksud menggeneralisir, saya pernah menemukan satu tulisan Hatta Taliwang
yang mengintrodusir penggunaan istilah aseng. Menurutnya, istilah itu pertama
kali digunakan oleh Kwik Kian Gie dan menjadi populer berkat Sri Bintang
Pamungkas.
Bukan kebetulan bahwa Hata Taliwang dan Sri Bintang Pamungkas tengah
tersandung dugaan makar; tapi tulisan ini tidak berpretensi untuk mengungkapkan
dugaan itu. Jika makar diartikan sebagai usaha untuk menjatuhkan pemerintahan
yang sah, sejatinya ada agenda politik yang terselubung di dalamnya.
Lepas dari dugaan makar, semangat anti aseng pada dasarnya hanya
doktrin yang dilemparkan untuk membentuk kesadaran palsu guna
mendapatkan dukungan publik. Sayangnya, doktrin tersebut cukup efektif
digunakan, untuk tujuan makar sekalipun, sebab sikap mendikotomikan pribumi
dan non-pribumi telah menjadi semacam ideologi yang dianut oleh bangsa ini.
Mengapa Cina?
Mengapa Cina?, ini pertanyaan yang tidak kalah menarik dalam isu non-
pribumi di Indonesia. Kalau meminjam penegasan saya yang terakhir, ada upaya
untuk menggiring opini penjajahan dengan menyebut orang-orang Tionghoa
yang berarti Cina sebagai kelompok non-pribumi. Saya perlu mengingatkan fakta
sejarah lebih dulu sebelum mengajukan analisis tentang pertanyaan di atas.
Sebagai bangsa tua, melihat keturunan Cina menyebar di seluruh penjuru
dunia, masuk menjadi bagian dari etnis yang diakui di tanah tinggal mereka,
adalah fenomena yang sangat dimaklumi. Di Amerika misalnya, Cina diakui
sebagai etnis dengan populasi 3,5 juta jiwa (sensus 2007); demikian halnya di
negara-negara Eropa dengan total populasi sekira 2 jutaan jiwa.
Indonesia punya sejarah sendiri tentang orang-orang keturunan Cina,
migrasinya sudah lebih dulu dilakukan dibanding Amerika yang baru terjadi pada
tahun 1820-an. Bahkan, penyebutan Tionghoa sendiri diyakini sebagai bentuk
penghargaan atas kontribusi nasionalisme orang-orang keturunan Cina terhadap
perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Pada tahun 1932 pernah berdiri Partai Tionghoa Indonesia (PTI) sebagai
wujud eksistensi politik orang-orang keturunan Cina. Selain itu, terdapat 4 orang
Cina sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI); dan satu orang dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI).
Konon, satu dari anggota BPUPKI keturunan Cina bernama Liem Koen
Hian, ikut merumuskan UUD 1945. Ia justeru wafat sebagai orang asing karena
persoalan politik. Pada tahun 1951 ia ditangkap dengan tuduhan menjadi
simpatisan kiri sebelum akhirnya memutuskan untuk menanggalkan
kewarganegaraan Indonesianya; negeri yang pernah ia perjuangkan.
Sejarah di atas penting ditegaskan untuk mengingatkan kembali kontribusi
orang-orang keturunan Cina terhadap kemerdekaan Negeri ini. Sebab, dalam
sejarah-sejarah konvensional yang dinukilkan lewat buku pelajaran sekolah,
hampir tidak ditemukan narasi yang menonjolkan fakta-fakta itu; hal yang
menurut hemat saya semakin mengokohkan stereotipe tentang Tionghoa sebagai
non-pribumi.
Selanjutnya, mari menjawab pertanyaan: mengapa Cina? Dalam isu
pribumi dan non-pribumi, semangat anti asing dan aseng seringkali
dimunculkan. Kata asing mungkin dengan mudah bisa dipahami, tapi apa yang
dimaksud dengan aseng? Sulit ditampik bahwa sosok berkulit putih dengan
mata sipit akan segera terbayang ketika kata itu disebutkan.
Penggunaan istilah aseng yang kerap mengiri kata asing tidak bisa
dianggap bermakna kosong; istilah itu jelas menyasar pada orang-orang Tionghoa.
Jika Tionghoayang nasionalismenya sudah terukur sekalipunbelum bisa
diterima sebagai pribumi, mengapa tidak mencukupkannya dengan istilah asing
saja?; tentu karena sasaran utamanya adalah Cina.
Dalam konstruksi isu pribumi dan non-pribumi di Indonesia, ada semacam
kecenderungan Cina dijadikan sebagai sasaran prasangka. Sebenarnya bukan hal
baru, karena embrionya sudah dimulai sejak tahun 1740 dalam peristiwa
kekerasan rasial yang dikenal dengan Geger Pacinan. Beberapa sumber
menyebutkan, tidak kurang dari sepuluh ribu keturunan Tionghoa dibunuh dalam
peristiwa tersebut.
Ada banyak kasus rasialisme yang mendiskriminasikan etnis Tionghoa
pasca peristiwa Geger Pacinan; tapi semangat anti Cina yang paling kentara
karena didukung dengan berbagai regulasi sebenarnya mulai dihembuskan pada
tahun 1956. Pidato Asat Datuk Mudo tahun 1956 ditengarai memicu gerakan
pribumisasi yang belakangan menelurkan PP No. 10 Tahun 1959.
PP No. 10 Tahun 1959 dikeluarkan dalam rangka melarang pedagang kecil
atau eceran asing (non-pribumi) beroperasi dengan dalih Indonesianisasi.
Sasarannya jelas pedagang Tionghoa yang disadari mulai menguasai
perekonomian dalam sektor perdagangan; sementara orang-orang pribumi tidak
mampu bersaing.
Akeses perekonomian orang-orang Tionghoa sedikit dibuka pada
pemerintahan Orde Baru; tapi masih dalam batasan yang ketat. Situasi itu tidak
menandai sentiment anti Cina segera berakhir; karena pada kenyataannya isu itu
pula yang diangkat untuk menggulingkan pemerintahan Suharto sehingga
melahirkan kekerasan rasial terhadap etnis Tionghoa pada tahun 1998.
Tragedi 1998 boleh saja dianggap sebagai skenario politik; karena dalam
faktanya ada elit tertentu dari kalangan Tionghoa yang yang selamatkalau
bukan diselematkan. Tapi yang harus diingat, sejarah itu telah membuktikan
betapa isu pribumi dan non-pribumi dengan orang-orang Tionghoa sebagai objek
prasangka; sangat efektif dimanfaatkan untuk kepentingan makar.
Penutup
Akhirnya, terjawab sudah pertanyaan: mengapa Cina?. Karena
merekalah yang dianggap menguasai akses-akses perekonomian. Sebenarnya
bukan hal buruk, karena orang-orang pribumilah yang tidak memiliki kualitas
bersaing. Ego pribumi kemudian dijadikan senjata ampuh untuk melawan
saudara sebangsa yang tampil sebagai pemenang persaingan.
Lagipula, istilah pribumi dan non-pribumi sejak awal disadari sangat
menyesatkan. Istilah itu hanya mengesankan keadaan mental bangsa yang
kalah. Sebagaimana lazim dipertontonkan, yang kalah kerap diposisikankalau
bukan memosisikan dirisebagai korban.