Vous êtes sur la page 1sur 18

I.

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Ascites adalah terdapatnya cairan bebas di dalam rongga peritoneum
yang terbentuk karena gangguan pada peritoneum secara langsung (infeksi,
keganasan) atau penyakit lain yang menyebar ke peritoneum (penyakit hepar,
gagal jantung, hipoproteinemia) (DAmico et al., 2006., Planas et al., 2015).
Sirosis merupakan penyebab tersering ascites di dunia dengan prevalensi 75%
dan menduduki peringkat 18 penyebab kematian pada tahun 2014, diikuti
keganasan peritoneum (12%), gagal jantung (5%), dan peritonitis tuberkulosa
(2%) (Planas et al., 2015., Dooley et al., 2011). Menurut Planas et al. tahun
2015, 1-year survival rate dari ascites dapat mencapai 85%, namun dapat
menurun hingga 25% pada saat ascites berkembang dengan adanya
hiponatremia, ascites refrakter, dan sindroma hepatorenal (SHR).
Terapi pada ascites tidak pernah menunjukan perkembangan yang
signifikan terhadap survival rate pasien, namun terapi untuk ascites tetap
harus diberikan untuk mencegah terjadinya peritonitis bakterial spontan
(PBS) yang dapat mengancam nyawa pasien dengan ascites. Pengobatan baru
masih dievaluasi untuk menghambat patofisiologi dari ascites, seperti
transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) untuk ascites refrakter
dan vasokonstriktor untuk SHR (Planas et al., 2015., Dooley et al., 2011.,
Ripol et al., 2007). Hingga saat ini transplantasi hepar merupakan terapi
terbaik yang dapat dipertimbangkan ketika pasien datang dengan ascites
(Ripol et al., 2007).
B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui patofisiologi terjadinya ascites
2. Tujuan Khusus
Untuk mengetahui penatalaksanaan dan komplikasi pada ascites
C. Metode Penulisan
Referat ditulis menggunakan metode studi pustaka yang merujuk pada
berbagai literatur.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Ascites berasal dari bahasa Yunani Askos yang berarti sarung atau
kantung (Muhammed et al., 2012). Ascites adalah akumulasi cairan patologis
pada rongga peritoneum yang disebabkan gangguan pada peritoneum (infeksi,
keganasan) atau disebabkan oleh penyakit lain yang menyebar ke peritoneum
(penyakit hepar, gagal jantung, hiponatremia) (Muhammed et al., 2012).

B. Etiologi

Ascites secara umum disebabkan karena terjadinya hipertensi porta dan


kadar albumin yang rendah. Kondisi yang menyebabkan kerusakan hepar
berat dapat menyebabkan ascites, termasuk hepatitis B, hepatitis C, dan
alkoholisme menahun (Runyon, 2009). Pasien penderita keganasan tertentu
dapat juga mengalami ascites, seperti kanker kolon, ovarium, uterus,
pankreas, dan kanker hepar. Kondisi lain yang dapat menyebabkan ascites
adalah trombosis vena porta, gagal jantung kongestif, pankreatitis, dan
dialisis (Runyon, 2009).

C. Epidemiologi
Sirosis merupakan penyebab tersering ascites di dunia dengan
prevalensi 75% dan menduduki peringkat 18 penyebab kematian pada tahun
2014, diikuti keganasan peritoneum (12%), gagal jantung (5%), dan
peritonitis tuberkulosa (2%) (Planas et al., 2015., Dooley et al., 2011).
Menurut Planas et al. tahun 2015, 1-year survival rate dari ascites dapat
mencapai 85%, namun dapat menurun hingga 25% pada saat ascites
berkembang dengan adanya hiponatremia, ascites refrakter, dan sindroma
hepatorenal (SHR).
D. Klasifikasi
1. Derajat Ascites (Tasneem et al., 2015)
Ascites dibedakan menjadi 3 derajat berdasarkan penampakannya,
diantaranya:
a. Ascites derajat 1 (ringan) hanya dapat terdeteksi menggunakan
ultrasonografi (USG) atau computerized tomography scan (CT-Scan).
b. Ascites derajat 2 dapat ditentukan dengan adanya pembesaran pada
pinggang dan pekak alih pada pemeriksaan fisik.
c. Ascites derajat 3 dapat ditentukan dengan terlihatnya ascites dan
dikonfirmasi dengan melakukan tes undulasi.
2. Etiologi Ascites (Tasneem et al., 2015., Marthadu, 2014)
Ascites juga dapat dibedakan berdasarkan etiologi yang mendasarinya,
diantaranya:
a. Hepatik
Etiologi ascites hepatik diantasanya adalah sirosis hepatis, hepatitis
alkoholik, sindroma Budd-Chiari, sindroma obstruksi sinusoid hepatik.
b. Ekstra-hepatik
Etiologi ascites ekstra-hepatik diantaranya adalah gagal jantung,
sindroma nefrotik, pankreatitis, miksedema, dan segala hal yang
berhubungan dengan kanker
c. Mikstus
Etiologi ascites mikstus adalah gabungan dari dua atau lebih etiologi
hepatik dan ekstra-hepatik.
3. Tipe Ascites (Tasneem et al., 2015)
Ascites dapat dibedakan menjadi 2 tipe, diantaranya:
a. Tipe Transudat (SAAG 1.1)
b. Tipe Eksudat (SAAG <1.1)
Klasifikasi ini dapat ditegakkan berdasarkan selisih kadar albumin pada
cairan ascites dan serum penderita yang disebut Serum-Ascites Albumin
Gradient (SAAG) (Moore & Wong, 2003., Tasneem et al., 2015).
Umumnya ascites yang disebabkan oleh hipertensi porta karena sirosis
hepatis, gagal jantung kongestif, dan Sindroma Budd-Chiari memiliki nilai
SAAG 1.1, sedangkan ascites yang disebabkan oleh sebab lain
(keganasan, infeksi) memiliki nilai SAAG <1.1 (Moore

E. Patomekanisme
Pada sirosis sumber dari ascites mayoritas berasal dari sinusoid
hepatik. Hipertensi sinusoid menjadi mekanisme awal terjadinya kebocoran
cairan ascites menuju ke rongga peritoneum (Pitt et al., 2003., Santos et al.,
2003., Planas et al., 2015). Hipertensi sinusoid terjadi karena adanya
sumbatan pada aliran vena yang disebabkan adanya nodul regenerasi dan
jaringan fibrotik pada hepar. Pada ascites hipatik juga terjadi retensi air yang
menyebabkan dilusi pada darah dan menyebabkan penurunan cairan
intravaskuler dan peningkatan pembentukan cairan ascites (Tasneem et al.,
2015., Veldt et al., 2002). Retensi natrium dapat merupakan efek sekunder
dari perubahan vaskuler maupun primer (Tasneem et al., 2015) .

Hipertensi sinusoid dapat terjadi apabila terdapat gradien tekanan pada


vena porta sebesar 12 mmHg yang dibutuhkan untuk perkembangan dari
ascites (tasneem et al., 2015., Planas et al., 2015). Batas threshold gradien
tekanan pada vena porta adalah 10 mmHg, apabila ditemui gradien tekanan
10 mmHg sudah dapat disebut sebagai hipertensi porta secara klinis dan
bermakna dalam pembentukan ascites dan komplikasi sirosis hepatis lainnya
(Tasneem et al., 2015., Santos et al., 2003). Retensi natrium pada pasien
dengan sirosis dan ascites tidak normal. Hal ini disebabkan terjadinya
reabsropsi Natrium sangat tinggi dan natrium di dalam urin biasanya dibawah
5mmol/hari. Berdasarkan hal tersebut dapat berlaku teori vasodilatasi
(Runyon, 2009., Tasneem et al., 2015)

Pada teori vasodilatasi, terjadi abnormalitas hemodinamik disebabkan


karena adanya retensi natrium (Tasneem et al., 2015., Pitt et al., 2003).
Peningkatan sekresi vasodilator seperti nitric oxide (NO), adrenomedullin,
karbn monoksida (CO), endokanabinoid, prostasiklin, tumour necrosis factor-
(TNF-), dan urotensin merupakan penyebab utama terjadinya vasodilatasi
(Planas et al., 2015., Tasneem et al., 2015). Terjadinya vasodilatasi
merupakan hasil dari penurunan volume darah arteri dan penurunan tekanan
darah sistemik yang memicu aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron
(SRAA) dan sistem saraf simpatis (Tasneem et al., Santos et al., 2003).
Renin diproduksi apparatus juxtaglomerular saat terjadi penurunan volume
darah dan stimulasi -adrenergik. Renin akan menyebabkan sekresi
angiotensinogen dari hepar yang akan diubah menjadi angiotensin I, lalu
menjadi angiotensin II menggunakan enzim angiotensin converting enzyme
(ACE). Angiotensin II merupakan stimulan utama untuk terjadinya sekresi
aldosteron dari korteks adrenal zona glomerulosa (Tasneem et al., 2015.,
Silverthorn, 2013). Aldosteron berperan pada duktus kolektivus melalui
interaksi sitoplasmik dengan memicu penyerapan natrium pada basolateral sel
dan meningkatkan uptake natrium dari lumen. Selain retensi natrium dna air.
Angiotensin II juga berperan sebagai vasokonstriktor poten pada venula dan
arteriol, stimulan sekresi antidiuretic hormone (ADH), dan stimulan untuk
sistem adrenergik. Hal ini menjelaskan terjadinya teori underfill dan overfill
(Romanelli et al., 2006., Tasneem et al.,2015).

Pada teori underfilling terjadi sekuestrasi cairan berlebihan pada


capillary bed Splanknikus. Disebabkan oleh hipertensi porta yang
meningkatkan tekanan hidrostatik pada kapiler-kalpiler splanknik dan
menyebabkan ekstravasasi cairan dari lumen ke intersisial mengikuti gradien
tekanan hidrostatik. Hal ini menyebabkan aktivasi SRAA karena aliran darah
pada ginjal menurun sehingga terjadi retensi natrium dan air (Tasneem et al.,
2015., Dooley et al., 2011). Pada teori overflow menjelaskan bahwa
terjadinya retensi natrium dan air karena aktivasi SRAA menyebabkan
terjadinya peningkatan cairan di dalam vaskuler dan kemudian berpindah ke
intersisial. Hal ini menyebabkan peningkatan water content (hipervolemia) di
dalam intersisial dan intravaskuler namun tidak disertai mekanisme
pembuangan cairan yang efektif karena adanya aktivasi SRAA yang
menghambat proses pembuangan cairan (Tasneem et al., 2015., Dooley et
al., 2011., Becker et al., 2006).

F. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis yang paling sering ditemui adalah peningkatan lingkar


perut yang dikeluhkan pasien sebagai adanya pembesaran perut atau adanya
benjolan pada pinggang yang disertai peningkatan berat badan. Pada saat
cairan ascites terus terbentuk, hal ini menyebabkan elevasi otot diafragma
yang dikeluhakn sebagai nafas terasa pendek dan terengah-engah (shortness
of breath). Agregasi cairan dapat dikeluhkan juga sebagai rasa penuh pada
abdomen dan nyeri pada seluruh lapang abdomen. Ascites dapat dibedakan
dari obesitas dari onset pembesaran abdomen yang ditandai dengan cepatnya
pembesaran abdomen pada ascites (Tasneem et al., 2015., Becker et al.,
2006). Tergantung pada etiologi yang mendasari, gejala lain juga dapat
muncul. Pada pasien yang mengalami hipertensi porta yang disebabkan
adanya fibrosis atau sirosis hepatik mungkin akan mengeluhkan terjadinya
ginekomastia, hematemesis, pembengkakan pada kaki, kemerahan atau
lebam, dan perubahan status mental yang disebabkan karena ensefalopati.
Pasien umumnya akan mengeluhkan penurunan berat badan atau kelelahan
kronik apabila penyebab ascites adalah kanker (karsinomatosis peritioneal).
Gagal jantung dapat menyebabkan ascites yang menyebabkan mudah lelah,
nafas terengah-engah, dan adanya suara mengi saat bernafas (wheezing) pada
pasien (Tasneem et al., 2015., Warrell et al., 2003., Becker et al., 2006).

G. Penatalaksanaan
Patokan utama pengobatan untuk pasien-pasien penderita sirosis dan
asites mencakup (1) penyuluhan mengenai pembatasan sodium makanan
(2000 mg/hari atau 88 mmol/hari) dan (2) diuretika oral (1). Pembatasan
sodium makanan yang lebih ketat dapat mempercepat mobilisasi asites, tetapi
tidak direkomendasikan karena kurang cocok dan dapat lebih memperburuk
malnutrisi yang biasanya terdapat pada pasien ini. Kehilangan cairan dan
perubahan berat badan berkaitan langsung dengan keseimbangan sodium
pada pasien-pasien penderita asites yang terkait dengan hipertensi portal
adalah pembatasan sodium, dan bukan pembatasan cairan, yang
mengakibatkan penurunan berat badan, karena cairan mengikuti sodium
secara pasif (Runyon, 2006., Runyon 2009., Planas et al., 2015).

Pengukuran ekskresi sodium urin merupakan parameter yang sangat


bermanfaat untuk diikuti ketika kecepatan penurunan berat badan lebih kecil
dari yang diinginkan (Runyon, 2009). Konsentrasi sodium urin random
mempunyai nilai ketika konsentrasi tersebut 0 mmol/L atau >100 mmol/L
tetapi sangat kurang bermanfaat ketika konsentrasinya intermediate karena
tidak ada keseragaman ekskresi sodium selama siang hari dan tidak ada
pengetahuan mengenai volume urin total, yang dapat bervariasi dari 300 mL
sampai lebih besar dari 3000 mL. Pengumpulan urin 24-jam untuk penentuan
ekskresi sodium jauh lebih informatif daripada spesimen random; namun,
pengumpulan urin sehari penuh tidak praktis (Runyon, 2006., Runyon 2009).

Memberikan instruksi verbal dan tertulis kepada pasien, wadah, dan


formulir instruksi pemeriksaan untuk dikembalikan dengan spesimen
lengkap, dapat membantu memastikan kepatuhan pasien. Kelengkapan
pengumpulan spesimen 24-jam dapat diukur dengan pengukuran kreatinin
urin. Laki-laki penderita sirosis harus mengekskresikan lebih dari 15 mg
kreatinin/kgBB/hari, dan wanita penderita sirosis harus mengeksresikan lebih
dari 10 mg/gBB/hari. Kreatinin yang kurang merupakan indikasi
pengumpulan tak lengkap (Runyon, 2009., Tasneem et al., 2015., Yao & Bass,
2000). Ekskresi sodium total nonurin kurang dari 10 mmol/hari pada pasien
afebril penderita sirosis tanpa disertai diare. Salah satu tujuan pengobatan
adalah meningkatkan ekskresi sodium urin sehingga melebihi 78 mmol/hari
(intake/hari 88 mmol ekskresi nonurin per hari 10 mmol). Hanya 10-15%
pasien yang mengalami natriuresis spontan >78 mmol/hari dapat
dipertimbangkan untuk pembatasan sodium makanan saja (tanpa diuretika).
Namun, ketika diberikan pilihan, sebagian besar pasien lebih menyukai
menggunakan diuretika dan mempunyai intake sodium yang lebih liberal
dibandingkan dengan tidak menggunakan pil dan mempunyai pembatasan
sodium yang lebih berat (Runyon, 2006., Runyon 2009., Tasneem et al.,
2015)

Konsentrasi sodium urin spot random yang lebih besar dari


konsentrasi potasium berkorelasi dengan ekskresi sodium 24-jam yang lebih
besar dari 78 mmol/hari dengan akurasi lebih kurang 90%. Rasio
sodium/potasium ini dapat menggantikan pengumpulan 24-jam yang tidak
praktis (Yao & Bass, 2000., Runyon 2009). Pembatasan cairan tidak
diperlukan dalam mengobati sebagian besar pasien penderita sirosis dan
asites. Hiponatremia kronis yang biasanya terlihat pada pasien penderita
sirosis dan asites jarang bersifat morbid kecuali jika hiponatremi tersebut
dikoreksi cepat di ruang operasi pada saat transplantasi hati (Runyon, 2009.,
Tasneem et al., 2015).

Upaya-upaya untuk mengoreksi hiponatremia dengan cepat pada


keadaan ini dengan garam hipertonik mengakibatkan lebih banyak komplikasi
dibandingkan dengan keadaan hiponatremia itu sendiri. Banyak obat yang
secara teoritis menjanjikan dalam pengobatan asites, misalnya inhibitor ACE,
telah diperlihatkan memperburuk hipotensi dan secara klinik belum terlihat
bermanfaat. Hiponatremia berat tidak memerlukan pembatasan cairan pada
pasien penderita asites dan sirosis; namun, tidak ada nilai ambang spesifik
yang ditunjang oleh data untuk menginisiasi pembatasan cairan. Sodium
serum < 120-125 mmol/L merupakan nilai ambang yang dapat digunakan.
Pasien penderita sirosis biasanya tidak mempunyai gejala-gejala akibat
hiponatremia sampai sodiumnya < 110 mmol/L atau kecuali jika penurunan
sodium sangat cepat. Meskipun bersifat tradisional untuk merekomendasikan
tirah baring (didasarkan pada ekstrapolasi dari gagal jantung), hal ini tidak
praktis dan tidak ada uji-klinik terkontrol yang menunjang praktek ini. Posisi
tegak dapat memperburuk peningkatan renin plasma yang ditemukan pada
pasien penderita sirosis disertai dengan asites. Secara teoritis, hal ini dapat
meningkatkan aviditas sodium. Kepentingan teoritis ini harus dijabarkan
menjadi hasil-akhir yang relevan secara klinik sebelum tirah baring
dianjurkan (Veltd et al., 2002., Yao & Bass, 2000., Tasneem et al., 2015).

Regimen diuretika biasa terdiri dari spironolakton dan furosemide oral


dosis tunggal pagi hari, yang dimulai dengan 100 mg spironolakton dan 40
mg furosemide (Runyon, 2009). Sebelumnya, yang dianjurkan adalah
spironolakton senyawatunggal, tetapi hiperkalemia dan waktu-paruh yang
lama dari obat ini telah mengakibatkan penggunaan sebagai senyawa tunggal
hanya pada pasien yang mengalami kelebihan cairan minimal (Yao & Bass,
2000). Furosemide telah diperlihatkan dalam suatu Randomized Controlled
Trial (RCT) lebih manjur dibandingkan dengan spironolakton.
Bioavailabilitas furosemide oral yang baik pada pasien penderita sirosis,
bersama-sama dengan penurunan akut GFR yang terkait dengan furosemide
intravena, cocok dengan penggunaan oral (Santos et al., 2003., Planas et al.,
2015). Suatu uji klinik dengan randomisasi, memperlihatkan bahwa
spironolakton yang digunakan sebagai senyawa tunggal, furosemide hanya
ditambahkan untuk pasien refrakter, diuresis lebih lambat pada kelompok
spironolakton senyawa tunggal dengan kebutuhan yang lebih sedikit untuk
penyesuaian dosis, dengan demikian pendekatan ini dapat bermanfaat untuk
pasien rawat-jalan (Pitt et al., 2003). Namun, uji-klinik lainnya
mengindikasikan bahwa pengobatan kombinasi awal memperpendek waktu
untuk mobilisasi asites moderat (Santos et al., 2003., Pitt et al., 2003).

Sebagian besar pasien pada akhirnya memerlukan pengobatan


kombinasi. Penelitian terbesar yang pernah dilakukan (melibatkan 3860
pasien penderita asites dan sirosis) menggunakan terapi kombinasi sejak awal
(Planas et al., 2015). Kombinasi kedua obat tersebut nampak merupakan
pendekatan yang lebih disukai dalam mencapai natriuresis dengan cepat dan
mempertahankan normokalemia. Suatu pendekatan alternatif yang memulai
dengan spironolakton senyawa tunggal, dapat diterapkan terutama pada
pasien rawat-jalan. Dosis kedua diuretika oral tersebut dapat ditingkatkan
secara simultan setiap 3-5 hari (dengan mempertahankan rasio 100 mg : 40
mg) jika penurunan berat badan dan natriuresis tidak adekuat. Pada
umumnya, rasio ini mempertahankan normokalemia. Dosis maksimum yang
biasa yaitu 400 mg/hari spironolakton dan 160 mg/hari furosemide (Runyon,
2009., Tasneem et al., 2015).

Furosemide secara temporer dapat ditahan pada pasien yang mengalami


hipokalemia; hal ini sangat umum pada keadaan hepatitis alkoholik. Pasien
penderita ginjal parenkimal (misalnya nefropati diabetik atau nefropati
imunoglobulin A atau mereka yang mengalami transplantasi hati) dapat
mentoleransi spironolakton yang lebih kecil dari biasa karena adanya
hiperkalemia. Dosis tunggal pagi hari memaksimalkan kepatuhan. Amiloride
(10-40 mg/hari) dapat menggantikan spironolakton pada pasien penderita
ginekomastia dengan nyeri-tekan. Namun, amiloride lebih mahal dan terlihat
kurang efektif dibandingkan dengan metabolit aktif spironolakton pada
randomized controlled trial (RCT) (Tasneem et al., 2015., Planas et al.,
2015).
Triamterene, metolazone, dan hidroklorotiazide juga telah digunakan
untuk mengobati asites. Hidroklorotiazide juga dapat menyebabkan
hiponatremia lebih cepat ketika ditambahkan pada kombinasi spironolakton
dan furosemide (12). Eplenerone adalah suatu antagonis aldosteron baru yang
telah digunakan pada gagal jantung. Obat ini masih diteliti efektifitasnya pada
keadaan sirosis dan asites. Loop diuretic yang lebih baru harus dibuktikan
bersifat superior terhadap obat-obat saat ini sebelum pemakaiannya
ditetapkan (Pitt et al., 2003). Meskipun dosis 80 mg furosemide intravena
dapat menyebabkan penurunan akut perfusi ginjal dan azotemia selanjutnya
pada pasien penderita asites dan sirosis, dosis yang sama ini telah
diperlihatkan pada satu penelitian untuk memisahkan pasien-pasien yang
resisten terhadap diuretika (< 50 mmol sodium urin dalam 8 jam) dari pasien-
pasien yang sensitif terhadap diuretika (> 50 mmol) (Santos et al., 2003.,
Tasneem et al., 2015).

Penelitian lain telah mengkonfirmasi Tes furosemide intravena ini dapat


membantu pendeteksian cepat pasien-pasien yang resisten terhadap diuretika
sehingga mereka dapat lebih cepat diberi opsi pengobatan lini kedua
(Romanelli et al., 2006., Veldt et al., 2002) Namun, furosemide intravenus
dapat menyebabkan azotemia, dan peggunaan berulang kali mungkin harus
diminimalkan sampai keamanan dan efikasinya dievaluasi dalam RCT. Pada
RCT multi-senter terbesar yang dilakukan pada pasien penderita asites,
pembatasan sodium makanan dan regimen diuretika dual dengan
menggunakan spironolakton dan furosemide telah terlihat efektif pada lebih
dari 90% pasien dalam mencapai penurunan volume asites sampai level yang
dapat diterima (Pitt et al., 2003., Santos et al., 2003., Tasneem et al., 2015).

menurut RCT yang tidak disamarkan, pada pasien-pasien penderita


asites onset-baru memperlihatkan bahwa infus albumin 25 g per minggu
selama 1 tahun yang diikuti dengan infus setiap 2 minggu memperbaiki
harapan hidup dibandingkan dengan hanya diuretika saja (Romanelli et al.,
2006., Santos et al., 2003). Namun, diperlukan penelitian-penelitian lebih
jauh yang mencakup analisis keefektifan-biaya sebelum pengobatan yang luar
biasa mahal ini dapat dianjurkan. Tidak ada batas untuk penurunan berat
badan per hari pada pasien-pasien yang mengalami edema masif. Begitu
edema telah pulih, 0,5 kg mungkin merupakan maksimum harian yang layak.
Ensefalopati yang tidak terkontrol atau kambuhan, sodium serum < 120
mmol/L meskipun ada pembatasan cairan, atau kreatinin serum > 2,0 mg/dL
(180 umol/L) akan mengakibatkan penghentian diuretika, mengevaluasi
kembali situasinya, dan pertimbangan opsi lini-kedua (Tasneem et al., 2015).

Parasentesis awal volume-besar dengan cepat memulihkan asites masif.


Suatu penelitian prospektif telah memperlihatkan bahwa parasentesis tunggal
5-L dapat dilakukan dengan aman tanpa infus koloid post-parasentesis pada
pasien penderita asites masif yang resisten terhadap diuretika (Romanelli et
al., 2006., Pitt et al., 2003). Volume cairan yang lebih besar telah dikeluarkan
secara aman dengan pemberian albumin intravena (8 g/L dari cairan yang
dikeluarkan) Namun, parasentesis volume-besar tidak memperbaiki retensi
sodium sebagai masalah yang mendasari pembentukan asites (Veltd et al.,
2002., Wiest et al., 2002).

Parasentesis volume-besar dapat mengeluarkan cairan secara lebih


cepat (beberapa menit) dibandingkan dengan diuresis (beberapa hari sampai
beberapa minggu). Parasentesis tunggal volume-besar yang diikuti dengan
diet dan terapi diuretika merupakan pengobatan yang tepat untuk penderita
tense asites masif (Romanelli et al., 2006). Pada pasien yang sensitif terhadap
diuretika, tidak tepat mengeluarkan cairan secara berkala melalui
parasentesis. Dalam rangka mencegah reakumulasi cairan, intake sodium
harus dikurangi dan ekskresi sodium urin harus ditingkatkan dengan
menggunakan diuretika. Menentukan dosis diuretika optimal untuk masing-
masing pasien, dengan mentitrasi dosis menjadi naik setiap 3-5 hari sampai
natriuresis dan penurunan berat badan tercapai (Runyon, 2009., Runyon
2006., Tasneem et al., 2015).

Tes furosemide intravena dapat memperpendek waktu ini. Namun, ini


harus dites 6 dalam konteks uji-klinik yang dirandom (Haynes et al., 2003).
Meskipun uji-klinik terkontrol telah memperlihatkan bahwa parasentesis
volume-besar dapat diprediksi lebih cepat daripada terapi diuretika untuk
penderita sirosis dan asites, hal itu tidak boleh dipandang sebagai terapi lini-
pertama untuk semua pasien penderita asites (Haynes et al., 2003., Runyon,
2009., Tasneem et al., 2015). Di klinik pasien rawat-jalan, berat badan,
gejala-gejala ortostatik, dan elektrolit, urea, dan kreatinin serum dipantau.
Jika penurunan berat badan tidak adekuat, perlu diukur rasio
sodium/potasium urin spot random atau sodium urin 24-jam. Pasien-pasien
yang mengekskresikan sodium/potasium urin > 1 atau sodium urin 24-jam >
78 mmol/hari dan tidak mengalami penurunan berat badan mengonsumsi
lebih banyak sodium dalam dietnya lebih dari 88 mmol/hari dan harus
dianjurkan lebih jauh untuk membatasi sodium dalam makanannya.
Pasienpasien ini tidak boleh diberi label sebagai pasien resisten terhadap
diuretika dan tidak boleh diteruskan dengan terapi lini-kedua sampai terbukti
bahwa mereka mematuhi dietnya. Pasien yang tidak mengalami penurunan
berat badan dan mengekskresikan < 78 mmol sodium/hari harus menerima
upaya pemberian diuretika dengan dosis yang lebih tinggi. Frekuensi follow-
up ditentukan berdasarkan respon terhadap pengobatan dan stabilitas pasien
(tasneem et al., 2015., Romanelli et al., 2006).

Beberapa pasien memerlukan evaluasi setiap 2-4 minggu sampai jelas


bahwa mereka berespons terhadap pengobatan dan tidak mengalami masalah
masalah. Sesudah itu, evaluasi setiap beberapa bulan merupakan hal yang
tepat. Pengobatan intensif pasien rawat-jalan, terutama dalam hal penyuluhan
diet, dapat membantu mencegah perawatan selanjutnya. Timbulnya asites
sebagai suatu komplikasi dari sirosis terkait dengan prognosis yang jelek.
Transplantasi hati harus dipertimbangkan dalam opsi pengobatan untuk
pasien-pasien ini (Romanelli et al., 2006., Haynes 2003).

H. Komplikasi
Pada beberapa pasien dengan ascites dapat ditemui berbagai
komplikasi, seperti ensefalopati hepatikum, perdarahan gastrointestinal,
infeksi bakteri, hipotensi, azotemia, dan karsinoma hepatoselular yang
kemungkinan besar memerlukan perawatan medis pada fasilitas rawat inap
untuk menentuikan diagnosis dan menentukan manajemen terapi yang akan
dilakukan (Tasneem et al., 2015). Diuretik harus ditunda saat ditemukan bukti
atau kecurigaan terjadinya perdarahan gastrointestinal, ensefalopati
hepatikum, atau disfungsi renal (Tasneem et al., 2015., Angeloni et al., 2003).

Pada terapi diuretik tidak ada batas penurunan berat per hari pada
pasien dengan edema yang signifikan. Setelah edema mereda, penurunan
berat badan maksimal per hari direkomendasikan hanya 0.5kg berat badan
untuk mencegah terjadinya masalah iatrogenik (Angeloni et al., 2003.,
Tasneem et al., 2015). Tujuan dari terapi diuretik adalah untuk
menghilangkan cairan ascites dari rongga peritoneum secara klinis, namun
pada banyak kasus pasien dapat dipulangkan dengan cairan ascites yang
masih tersisa dengan syarat pasien stabil dan berespon terhadap regimen yang
diberikan (Tasneem et al., 2015).

Transplantasi liver perlu dipertimbangkan pada pasien yang mengalami


ascites (Angeloni et al., 2003). Hal ini disebabkan adanya kecenderungan
pasien meninggal pada 50% kasus pada 6 bulan pertama terkena ascites dan
meningkat hingga 75% pada 1 tahun pertama. Pengajuan transplantasi tidak
boleh ditunda pada pasien yang telah mengalami ascites refrakter (Angerloni
et al., 2003., Tasneem et al., 2015). Pasien dengan ascites sangat rentan
terkena PBS, SHR, perubahan status mental, kurang energi protein (KEP),
penurunan berat badan, ensefalopati hepatikum, dan karsinoma hepatoseluler
(Tabel 2.1) (Mehta & Rothstein, 2009., Fullwood & Furushothaman, 2014).

Pada ascites yang disebabkan karena sirosis hepatis komplikasi sering


berakibat fatal dan sering tidak dapat dikompensasi. Vasodilatasi splanknikus
dan perifer menjadi etiologi tersering dari ascites dan memicu penurunan
volume darah intravaskuler. Pada awal ascites pasien sering berespon baik
terhadap regimen diuretik, namun lama-kelmanan pasien menjadi resisten
terhadap regimen diuretik tersebut, menjadi hiponatremia, dan akhirnya
berkembang menjadi SHR. pasien yang telah resisten terhadap diuretik
direkomendasikan untuk dilakukan manajemen berupa parasintesis volume
besar berulang (Tasneem et al., 2015). Tindakan TIPS harus dipertimbangkan
untuk parasintesis yang sering dilakukan. Restriksi cairan hanya dilakukan
pada pasien dengan hiponatremia. Vasokonstriktor dapat membalikan kondisi
SHR dan merupakan tindakan yang dapat dilakukan sebelum dilakukannya
transplantasi hepar. Pada dasarnya asciites sendiri tidaklah letal apabila tidak
terinfeksi menjadi PBS. Terjadinya PBS akan memperberat SHR dan
menyebabkan kematian (Tasneem et al., 2015., Fullwood & Furushothaman,
2014). Antibiotik profilaksis diindikasikan untuk PBS dan pasien dengan
risiko tinggi lainnya (Garcia-Tsao, 2011.,Tasneem et al., 2015).

I. Prognosis
1. Quo ad Vitam : Dubia ad Malam
2. Quo ad Functionam : Dubia ad Malam
3. Quo ad Sanationam : Dubia ad Malam

III. KESIMPULAN

Ascites adalah penimbunan cairan pada rongga peritoneum yang


disebabkan oleh barbagai faktor dari intahepatik, ekstra hepatik, atau
keduanya (mikstus).
Tatalaksana dari ascites secara umum menggunakan regimen diuretik dan
diet restrisi natrium hingga ascites mereda secara klinis, namun pada
beberapa kondisi dengan resistensi terhadap regimen diuretik tindakan
parasintesis, TIPS, dan transplantasi hepar dapat dipertimbangkan untuk
manajemen ascites.

DAFTAR PUSTAKA

Angeloni, S., Nicolini, G,, Merli, M., Nicolao, F., Pinto, G., Aronne, T., Attili, A.F.
and Riggio, O. 2003. Validation of automated blood cell counter for the
determination of polymorphonuclear cell count in the ascitic fluid of
cirrhotic patients with or without spontaneous bacterial peritonitis. The
American Journal of Gastroenterology, Volume 98, Pages 18441848.
Becker, G., Galandi, D. and Blum, H.E. 2006. Malignant ascites: systematic
review and guideline for treatment. European Journal of Cancer, Volume 42,
Pages 589-597.
D Amico G , Garcia - Tsao G , Cales P et al. 2001. Diagnosis of portal
hypertension: how and when . In: DeFranchis R , ed. Portal Hypertension
III. Proceedings of the Third Baveno International Consensus Workshop on
Defi nitions, Methodology and Therapeutic Strategies . Oxford : Blackwell
Science , p. 36 64 .
D Amico G , Garcia - Tsao G , Pagliaro L .2006. Natural history and prognostic
indicators of survival in cirrhosis. A systematic review of 118 studies . J.
Hepatol. 44 : 217 231
Dooley, J.S. Anna S.F. Lok, Andrew K. Burroughs, & E. Jenny Heathcote. 2011.
Sherlocks Diseases of the Liver and Biliary System, Twelfth Edition.
Blackwell Publishing Ltd.
Fullwood, D. and Purushothaman, A. 2014. Managing ascites in patients with
chronic liver disease. Nursing Standard, Volume 28, Issue 23, Pages 51-58
GarciaTsao. G. 2011. Ascites., Yale University School of Medicine, New Haven,
and VA - CT Healthcare System, West Haven, CT, USA., Sherlocks
Diseases of the Liver and Biliary System. Edited by Dooleym. J.S., Lok,
A.S.F., Burroughs, A.K. and Jenny, E. Heathcote (12th ed., p.p 210-233).
Blackwell Publishing Ltd.
Haynes GR, Navickis RJ, Wilkes MM. 2003. Albumin administration--what is the
evidence of clinical benefit? A systematic review of randomized controlled
trials. Eur J Anaesthesiol. Oct;20(10):771-93.
Marthadu. 2014. Evaluation of New Onset Ascites in a Patient with Chronic
Hepatitis C. Hepatitis Web Study. Mehta, G. and Rothstein, K.D (2009).
Health maintenance issues in cirrhosis. Medical Clinics of North America,
Volume 93, Pages 901-915.
Muhammed, H., Aslam, Saleem, S., Alvi, A.A. and Hasan, S.S. 2012.
Epidemiology and Symptomatology of Exudative and Transudative type of
Ascites in Hospitalized Patients. Pakistan Journal of Pharma-cology,
Volume 29, Issue 2, Pages 1-6.
Pitt B, Remme W, Zannad F, Neaton J, Martinez F, Roniker B, et al. Eplerenone, a
selective aldosterone blocker, in patients with left ventricular dysfunction
after myocardial infarction. N Engl J Med. 2003 Apr 3;348(14):1309-21. 11
Planas R , Balleste B , Alvarez MA et al. Natural history of decompensated
hepatitis C virus - related cirrhosis. A study of 200 patients . J. Hepatol.
2015 ; 40 : 823 830 . 5 Morali GA , Sniderman KW , Deitel KM et al. Is
sinusoidal portal hypertension a necessary factor for the development of
hepatic ascites? J. Hepatol. 1992 ; 16 : 249 250 .
Planas R, Montoliu S, Balleste B, Rivera M, Miquel M, Masnou H, et al. Natural
history of patients hospitalized for management of cirrhotic ascites. Clin
Gastroenterol Hepatol. 2006 Nov;4(11):1385-94.
Planas, R., Balleste, B., Alvarez, M.A., Rivera, M., Montoliu, S., Galeras, J.A.,
Santos, J., Coll, S., Morillas, R.M. and Sola, R (2004). Natural history of
decompensated hepatitis C virus-related cirrhosis. A study of 200 patients. J
Hepatol, Volume 40, Pages 823-830.
Ripoll C , Groszmann R , Garcia - Tsao G et al. Hepatic venous pressure gradient
predicts clinical decompensation in patients with compensated cirrhosis .
Gastroenterology 2007 ; 133 : 481 488 .
Romanelli RG, La Villa G, Barletta G, Vizzutti F, Lanini F, Arena U, et al. Long-
term albumin infusion improves survival in patients with cirrhosis and
ascites: an unblinded randomized trial. World J Gastroenterol. 2006 Mar
7;12(9):1403-7.
Runyon BA. Ascites and spontaneous bacterial peritonitis. In: Feldman M,
Friedman LS, Brandt LJ, editors. Sleisenger and Fordtrans Gastrointestinal
and Liver Disease. 8th ed. Philadelphia, PA: Saunders; 2006. p. 1935-64.
Runyon BA. Management of adult patients with ascites due to cirrhosis: an
update. Hepatology. 2009 Jun;49(6):2087-107.
Runyon, B.A (2009). Management of Adult Patients with Ascites. AASLD
PRACTICE GUIDELINE Due to Cirrhosis: Update 2012., Revised and
updated guideline based on the previously published version. Hepa-tology,
Volume 49, Pages 2087-107.
Santos J, Planas R, Pardo A, Durandez R, Cabre E, Morillas RM, et al.
Spironolactone alone or in combination with furosemide in the treatment of
moderate ascites in nonazotemic cirrhosis. A randomized comparative study
of efficacy and safety. J Hepatol. 2003 Aug;39(2):187-92.
Silverthorn, R. 2013. Human Physiology. New York: McGraw-Hill.
Tasneem, H., Shahbaz, H., & Sherazi, B.A. 2015. Cause, Management, and
Complication of Ascites : A Review. Int Curr Phar J. 4(3): 370-377
Veldt BJ, Laine F, Guillygomarc'h A, Lauvin L, Boudjema K, Messner M, et al.
Indication of liver transplantation in severe alcoholic liver cirrhosis:
quantitative evaluation and optimal timing. J Hepatol. 2002 Jan;36(1):93-8.
Wiest R , Groszmann RJ . The paradox of nitric oxide in cirrhosis and portal
hypertension: Too much, not enough . Hepatology 2002 ; 35 : 478 491 .
Wong F , Liu P , Blendis L . Sodium homeostasis with chronic sodium loading in
preascitic cirrhosis . Gut 2001 ; 49 : 847 851 .
Yao FY, Bass NM. Lamivudine treatment in patients with severely decompensated
cirrhosis due to replicating hepatitis B infection. J Hepatol. 2000
Aug;33(2):301-7.

Vous aimerez peut-être aussi