Vous êtes sur la page 1sur 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu sindrom yang melibatkan banyak organ
dan memberikan gejala klinis yang beragam. Perjalanan penyakit ini dapat ringan atau berat,
secara terus-menerus, dengan kekambuhan yang menimbulkan kerusakan jaringan akibat proses
radang yang ditimbulkannya.
Sistemik Lupus Eritematosus lebih banyak dijumpai pada wanita umur antara 13-40 tahun
dengan perbandingan perempuan : laki-laki = 9:1 diduga ada kaitan faktor hormonal dengan
patogenesis. Dari berbagai laporan penelitian prevalensi dari masing-masing suku berbeda-beda,
diperkirakan 15 sampai 50 kasus per 100.000 penduduk. Suku Indian Amerika, Afrika, dan
Hispanik dilaporkan prevalensi SLE sangat tinggi bila dibandingkan dengan suku Caucasian.
Diperkirakan prevalensi di Inggris 12,5/100.000, Asia 17/100.000 penduduk, Aborigin
11/100.000. dilaporkan suku-suku di Asia pevalensi SLE pada suku Cina, Jepang, dan Filipina
lebih tinggi dibandingkan suku India dan Pakistan (Askandar, 2007).
Genetik, lingkungan, hormonal dianggap sebagai etiologi SLE, yang mana ke tiga faktor ini
saling terkait erat. Faktor lingkungan dan hormonalberperan sebagai pencetus pada individu peka
genetik (Askandar, 2007).
Gejala utama Sistemik Lupus Eritmatosus (SLE) adalah kelemahan umum, anoreksia, rasa
mual, demam dan kehilangan berat badan. Sekitar 80% kelainan melibatkan jaringan persendian,
kulit, dan darah 30- 0% menyebabkan kelainan ginjal, jantung dan sistem saraf, serta 10-30%
menyebabkan trombosis arteri dan vena yang berhubungan dengan antibody antikardiolipin.
Manifestasi klinis SLE pada sistem saraf dapat berupa neuropsikiartik

psikiosis,kejang, stroke, kelumpuhan saraf kranial, maupun mielopati. Angka kejadian


mielopatitransversa pada SLE sekitar 1-2%, sedangkan insiden kejadian mielopati transversa
pada populasi umum 1,34/satu juta. Prevalensi SLE diantara etnik adalah wanita kulit hitam
1:250, wanita kulit putih 1:4300, dan wanita Cina 1:1000.
Saat ini mortalitas lupus pada dekade 5 tahun terakhir menunjukkan perbaikan. Five year
survival rate-nya saat ini hampir 90 %, sedangkan 15 year survival rate-nya berkisar 63-79 %.
Kemajuan ini disebabkan pendekatan terapi yang lebih agresif dan kemajuan penggunaan
immunosupresan untuk menekan aktivitas penyakit. Prinsip engobatan adalah untuk menekan
aktivitas penyakit, untuk mencegah progresivitas dan memantau efek mpaing obat. Sampai saat
ini steriod masih digunakan sebagai pilihan utama untuk mengendalikan aktivitas penyakit.

1.2 Rumusan masalah


Dari latar belakang diatas dapat dirumusan masalah sebagai berikut :
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit Sistemik Lupus
Eritematosus (SLE) ?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan umum :
Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien denagan Sistemik Lupus Eritematosus
(SLE).

1.3.2 Tujuan Khusus :


1. Untuk mengetahui definisi dari Sistemik Lupus Eritematosus.
2. Untuk mengetahui etiologi dari Sistemik Lupus Eritematosus.
3. Untuk mengetahui patofisiologi dan pathway Sistemik Lupus Eritematosus.
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis Sistemik Lupus Eritematosus.
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang Sistemik Lupus Eritematosus.
6. Untuk mengetahui penatalaksanaan medis Sistemik Lupus Eritematosus.
7. Untuk mengetahui komplikasi yang ditimbulkan oleh penyakit Sistemik Lupus Eritematosus.
8. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada pasien dengan Sistemik Lupus Eritematosus.

1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi mahasiswa
Mahasiswa mampu mempelajari dan memahami tentang penyakit Sistemik Lupus Eritematosus.
1.4.2 Bagi masyarakat
Masyarakat mampu memahami tentang penyebaran penyakit Sistemik Lupus Eritematosus,
sehingga bisa mencegah penyakit ini sebelum menyerang mereka.
1.4.3 Bagi institusi
Mampu memberikan pelayanan kesehatan kepada publik tentang pengobatan penyakit Sistemik
Lupus Eritematosus, dan memberikan penyuluhan

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun menahun yang
menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit, persendian
dan organ dalam.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang terjadi karena
produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan manifestasi
klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas
pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan
menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-
macam, bersifat sementara dan sulit untuk didiognisis.
Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya
belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik
remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
Klasifikasi SLE (Sistemik Lupus Erithematosus)
Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:
1. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus yang
menyerang kulit.
2. Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di dalam tubuh, seperti
kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan sistem saraf. Selanjutnya kita singkat dengan
SLE (Systemics Lupus Erythematosus).
3. Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu. Gejala-

gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.

2.2 Etiologi
Sampai saat penyebab SLE (Sistemik Lupus Eritematosus) belum diketahui, Diduga ada
beberapa paktor yang terlibat seperti faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada
patofisiologi SLE (Sistemik Lupus Eritematosus).
Sistem imun tubuh kehilangan kemampuan untuk membedakan antigen dari sel dan
jaringan tubuh sendiri. Penyimpangan dari reaksi imunologi ini dapat menghasilkan antibodi
secara terus menerus. Antibodi ini juga berperan dalam kompleks imun sehingga mencetuskan
penyakit inflamasi imun sistemik dengan kerusakan multiorgan dalam fatogenesis melibatkan
gangguan mendasar dalam pemeliharaan self tolerance bersama aktifitas sel B, hal ini dapat
terjadi sekunder terhadap beberapa faktor :
1. Efek herediter dalam pengaturan proliferasi sel B
2. Hiperaktivitas sel T helper
3. Kerusakan pada fungsi sel T supresor
Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus :
1. Infeksi
2. Antibiotik
3. Sinar ultraviolet
4. Stress yang berlebihan
5. Obat-obatan yang tertentu
6. Hormon
Lupus seringkali disebut penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa
menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali sering
ditemukan pada wanita. Faktor hormonal yang menyebabkan wanita sering terserang penyakit
lupus daripada pria. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi atau
selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormone (terutama esterogen) mungkin
berperan dalam timbulnya penyakit ini. Kadang-kadang obat jantung tertentu dapat
menyebabkan sindrom mirip lupus, yang akan menghilang bila pemakaian obat dihentikan.

2.3 Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibody yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal (sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit
yang biasanya terjadi selama usia reproduksi) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar
termal). Obat-obatan tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan
beberapa preparat antikonvulsan disamping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat
dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE, peningkatan produksi
autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T supresor yang abnormal sehingga timbul
penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang
selanjutnya terjadi serangan antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Kerusaan organ pada SLE didasari pada reaksi imunologi. Reaksi ini menimbulkan
abnormalitas respons imun didalam tubuh yaitu :
1. Sel T dan sel B menjadi otoreaktif
2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain :
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun sitokin dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun : sel T mengenali molekul tubuh sebagai antigen karena adanya
mimikri molekuler.

Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh yang
disebut sebagai autoantibodi. Selanjutnya antibodi-antibodi yang tersebut membentuk kompleks
imun. Kompleks imun tersebut terdeposisi pada jaringan/organ yang akhirnya menimbulkan
gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.

Pathway SLE
2.4 Manifestasi Klinis
Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai
dengan tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala
pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala yang terkenanya sistem imun. Pada tipe
menahun terdapat remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun.
Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan
sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang
jelas seperti demam, nafsu makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi.
Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.

1. Gejala Muskuloskeletal
Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal, berupa artritis (93%).
Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal didikuti oleh lutut, pergelangan
tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembekakan dan nyeri mungkin
juga terdapat efusi sendi. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur
atau ankilosis. Adakala terdapat nodul reumatoid. Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai
tempat, dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan streroid dosis tinggi.
Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.

2. Gejala Mukokutan
Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi kulit yang
paling sering ditemukan pada SLE ialah lesi kulit akut, subakut, diskoid, dan livido retikularis.
Ruam kulit berbentuk kupu-kupu berupa eritema yang agak edamatus pada hidung dan
kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas luka. Pada
bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena
hipersensitivitas. Lesi ini termasuk lesi kulit akut. Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular.
Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya
tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai adanya
penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk silikatriks.
Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar.
Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual. Livido retikularis suatu bentuk vaskulitis
ringan, sangat sering ditemui pada SLE.

3. Ginjal
Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah
proteinuria atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik kegagalan ginjal jarang terjadi, hanya
terdapat pada 25% kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan.
Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus
membranosa. Nefritis lupus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis biasanya tampak
sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis
lupus membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi
ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi
progresif.
Kelainan ginjal yang lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik,
tuberkulosis ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.
4. Susunan Saraf Pusat
Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik dan
kejang-kejang.
Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem
lain-lainnya. Pasien menunjukkan gejala halusinasi disamping gejala khas organik otak seperti
sukar menghitung dan tidak sanggup mengingat kembali gambar yang pernah dilihat.
Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat dibedakan
dengan psikosis lupus. Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui dengan menurunkan atau
menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis lupus membaik jika dosis steroid dinaikkan dan
sebaliknya.
Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin
ditemukan ialah afasia, hemiplegia.
5. Mata
Kelainan mata dapat berupa konjungtivitas, perdarahan subkonjungtival dan adanya badan
sitoid di retina
6. Jantung
Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun
miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.
7. Paru-paru
Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pleura (penimbunan
cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari kejadian tersebut sering timbul nyeri dada
dan sesak napas.
8. Saluran Pencernaan
Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual dan diare. Gejalanya
menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang
timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil
mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan
pankreatitis.
9. Hemik-Limfatik
Kelenjar getah bening yang sering terkena adalah aksila dan sevikal, dengan karakteristik
tidak nyeri tekan dan lunak. Organ limfoid lain adalah splenomegali yang biasanya disertai oleh
pembesaran hati. Kerusakan lien berupa infark atau thrombosis berkaitan dengan adanya lupus
antikoagulan. Anemia dapat dijumpai pada periode perkembangan penyakit LES, yang diperantai
oleh proses imun dan non-imun.

2.5 Pemeriksaaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorim
Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan :
1. Hematologi, ditemukan anemia, leukopenia, trombosittopenia
2. Kelainan Imunologis, ditemuka sel LE, antibodi antinuklir, komplemen serum menurun, anti
DNA, faktor reumatitoid, krioglobulin, dan uji lues yang positif semu.
b. Histopatologi
- Umum : Lesi yang dianggap karakteristik untuk SLE ialah badan hematoksilin, lesi onionskin
pada pembuluh darah limpa dan endokarditis verukosa Libman-Sacks.
- Ginjal : 2 bentuk utama ialah glomerulus proliferatif difus dan nefritis lupus membranosa
- Kulit : Pemeriksaan imunofluoresensi direks menunjukkan deposit IgG granular pada dermo-
epidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit yang tak terkena
(70%). Yang paling karakteristik untuk SLE ialah jika ditemukan pada kulit yang tidak terkena
dan terpanjan.

2.6 Penatalaksanaan Medis


Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan organ
harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya
infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis. Monotoring dan evaluasi
bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit.
a. Pendidikan terhadap Pasien
Pasien diberikan penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan penyakit,
komplikasi, prognosis), sehingga dapat bersikap positif terhadapn penanggulangan penyakit.
b. Beberapa Prinsip Dasar Tindakan Pencegahan pada SLE
1. Monitoring yang teratur
2. Penghematan enersi, pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang
menonjol. Diperlukan waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan pentingnya
tidur yang cukup.
3. Fotoproteksi, kontak dengan sinar matahari harus dikurangi atau dihindarkan. Dapat
juga digunakan lotion tertentu untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari langsung.
4. Mengatasi infeksi, pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak
jelas sebabnya, pasien harus memeriksanya.
5. Merencanakan kehamila, kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika
pasien sedang mendapatkan pengobatan dengan obat imunosupresif.
c. Pengobatan
1. Lupus diskoid, terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal.
Krim luocinonid 5% lebih efektif dibandingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan
hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50% pasien.
2. Serositis lupus (plueritis, perikarditis), standar terapi adalah NSAIDs (dengan
pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal), anti-malaria dan kadang-kadang diperlukan steroid
dosis rendah.
3. Arthritis lupus, untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs
dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan ati-malaria. Sedangkan untuk keluhan
myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan (amitriptilin)
4. Miositis lupus, standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi (dimulai dengan
prednison dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat mencapai
dosis efektif terendah. Metode lain yang digunakan untuk mencegah efek samping pemberian
harian adalah dengan cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari,
tak lebih 150-250 mg) metrotreksat atau azathioprine.
5. Fenomena Raynaud, standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya
nifedipin dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat.
6. Lupus nefritis, lupus nefritis kelas II mempunyai prognosis yang baik dan
membutuhkan terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karna menggambarkan
perubahan status penyakit menjadi lebih parah. Lupus nefritis III memerlukan terapi yang sama
agresifnya dengan DPGN. Pada lupus nefritis IV kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid
intravena. Siklofosfamid intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari pemberian,
diperiksa kadar leukositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkan
tergantung pada jumlah leukositnya (normalnya 3.000- 4.0000/ml). Pada lupus nefritis V
regimen terapi yang di berikan adalah (1) monoterapi dengan kortikosteroid. (2) terapi kombinasi
kortikosteroid dengan siklosporin A. (3) sikofosfamid, azathioprine atau klorambusil. Pada lupus
nefritis V tahap lanjut, pilihan terapinya adalah dialisis dan transplantasi renal.
7. Gangguan hematologis, untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada
kelainan ini adalah kortikosteroid, imunoglobulin intravena. Sedangkan untuk anemi hemolitik,
terapi yang dipertimangkan adalah kortikosteroid, danazol, dan spelenektomi.
8. Pneumonitis intersititialis lupus, obat yang digunakan pada kasus ini adalah
kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.
9. Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting, obat yang digunakan pada kasus
ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena

2. 7 Komplikasi
1. Hipertensi (41%)
2. Gangguan pertumbuhan (38%)
3. Gangguan paru-paru kronik (31%)
4. Abnormalitas mata (31%)
5. Kerusakan ginjal permanen (25%)
6. Gejala neuropsikiatri (22%)
7. Kerusakan muskuloskeleta (9%)
8. Gangguan fungsi gonad (3%)
15

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian
1. Anamnese
a. Identitas pasien
Nama, jenis kelamin, umur, status perkawinan, pekerjaan, pendidikan terakhir, alamat.
b. Keluhan utama
1. Keluhan utama saat MRS :
Keluhan utama yang biasa muncul adalah demam
2. Keluhan utama saat pengkajian :
Keluhan utama yang biasa muncul saat pengkajian tidak pasti, tergantung kapan dilakukan
pengkajian tersebut. Biasanya adalah demam, kelemahan, nafsu makan menurun dan BB
menurun.
c. Riwayat kesehatan :
1. Riwayat kesehatan sekarang
Riwayat dari dimulainya gejala penyakit sampai pasien atau keluarga memutuskan untuk dibawa
ke RS. Yang biasa muncul adalah riwayat demam, kelemahan sampai intoleransi aktifitas,
penurunan nafsu makan dan penurunan BB.
2. Riwayat penyakit dahulu :
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui apakah pernah mengalami hipertensi, gangguan pada
mata, dan adanya nyeri sendi.
3. Riwayat penyakit keluarga :
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui apakah dalam keluarga ada anggota yang pernah
menderita penyakit yang sama.
4. Riwayat psikososial :
Pengkajian dilakukan untuk mengetahui bagaimanakah hubungan klien dengan

keluarga dan masyarakat. Pasien dapat menunjukkan gejala mudah marah dan fluktuasi, takut
akan penolakan dari orang lain, harga diri rendah, kekawatiran menjadi beban orang lain. Tanda
yang dapat ditunjukkan adalah ansietas, gelisah, menarik diri, depresi, fokus pada diri sendiri.
d. Kebiasaan sehari hari
1. Nutrisi : Makan; yang dikaji adalah frekuensi, jumlah porsi yang habis, cara makan
makanan yang disukai dan tidak disukai. Minum ; yang dikaji adalah frekuensi, jumlah,
komposisi.
2. Eliminasi : BAB dan BAK ; yang dikaji adalah frekuensi, pola eliminasi, konsistensi,
warna, bentuk.
3. Istirahat : jumlah jam tidur siang ataupun malam, adanya gangguan tidur atau tidak.
4. Aktivitas : kegiatan yang dilakukan dari bangun tidur sampai tidur kembali
5. Personal hygiene : bagaimana kebiasaan dalam kebersihan diri sendiri ataupun lingkungan.
2. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum : dikaji bagaimana keadaan umum klien saat pengkajian dilakukan.
TTV : tanda- tanda vital sangat penting untuk mengetahui kondisi umum pasien. Tindakan
yang dilakukan adalah pengukuran tekanan darah, nadi, RR, dan suhu.
1. Integumen : kulit tampak adanya ruam, ada luka pada bibir atau mulut.
2. Thoraks : paru ; rriwayat inspeksi paru, riwayat abses paru, dapat juga ditemukan adanya cairan
dalam paru, nafas pendek saat istirahat dan aktivitas, takipneu, distess pernapasan akut, dan
penurunan buyi napas. Jantung dan sirkulasi ; nyeri dada, tekanan nadi melebar, desiran
( menunjukkan mekanisme anemia ), warna kulir pucat, ruam, sianosis.
3. Abdomen : adanya nyeri tekan abdomen,
4. Ekstremitas : menahan sendi pada posisi yang nyaman,
5. Persyarafan/ neurosensori : sakit kepala, penurunan penglihatan, keseimbangan buruk,
kesemutan pada ekstremitas, kelemahan otot, penurunan kekuatan otot, kejang.
Data dasar pengkajian pasien
1. Aktivitas
Gejala : Keletihan, kelemahan, nyeri sendi karena gerakan
Tanda : Penurunan semangat bekerja, toleransi terhadap aktivitas rendah, penurunan rentang
gerak sendi, gangguan gaya berjalan.
2. Sirkuasi
Gejala : Nyeri dada
Tanda : TD : tekanan nadi melebar, desiran (menunjukkan mekanisme anemia), warna kulit :
pucat/sianosis, membaran mukosa, kulit terdapat ruam.
3. Integritas Ego
Gejala : Mudah marah dan fruktasi, takut akan penolakan dari orang lain, harga diri buruk,
kekuatiran mengenai menjadi beban bagi yang mendekat
Tanda : Ansietas, gelisah, menarik diri, depresi, fokus pada diri sendiri
4. Eliminasi
Gejala : Sering berkemih, berkemih dengan jumlah besar
Tanda : Nyeri tekan pada abdomen, urine encer : terdapat darah atau protein.
5. Makanan/Cairan
Gejala : Mual/muntah, anoreksia, haus, kesulitan menelan, adanya penurunan BB
Tanda : turgor kulit buruk berbentuk ruam, lidah tampak merah daging, bibir : disudut bibir
terdapat luka.
6. Higiene
Gejala : kesulitan untuk mempertahankan aksi (nyeri/anemia berat), berbagai kesulitan untuk
melakukan aktivitas perawatan pribadi.
Tanda : cerobaoh, tak rapih, kurang bertenaga.
7. Neurosensori
Gejala : sakit kepala, berdenyut pusing, penurunan penglihatan, bayangan pada mata, kelemahan,
keseimbangan buruk, kesemutan pada ekstremitas.
Tanda : kelemahan otot, penurunan kekuatan otot, kejang, pembekakan sendi simetri.
8. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : nyeri hebat, berdenyut, rasa perih di berbagai lokasi, sakit kepala berulang, tajam,
sementara, nyeri tekan abdomen, nyeri dada
Tanda : menahan sendi pada posisi nyaman, sensitivitas terhadap palpitasi pada area yang sakit.
9. Penapasan
Gejala : riwayat inspeksi paru, riwayat abses paru, napas pendek pada istirahat dan aktivitas.
Tanda : takipnea, distres pernapasan akut, bunyi napas menurun.
10. Keamanan
Gejala : kekeringan pada mata dan membran mukosa, demam ringan menetap, lesi kulit,
gangguan penglihatan, penyembuhan luka buruk
Tanda : berkeringat, mengigil berulang, gemetar, luka pada wajah
11. Penyuluhan/Pembelajaran
Gejala : riwayat penyakit hipertensi, hematologi, riwayat adanya masalah dengan penyembuhan
luka/perdarahan, pertimbangan rencana pemulangan : lama perawatan: 4-8 hari, memerlukan
bantuan dalam perawatan diri, pemeliharaan rumah.
3. Pemeriksaan diagnostik
1. Ig (Ig M dan Ig G) : peningkatan besar menunjukkan proses autoimun sebab penyebab AR
2. Sinar x dari sendi yang sakit : menunjukkan pembekuan pada jaringan lunak erosi sendi,
memperkecil jarak sendi
3. Kerapuhan erirosit : menurun
4. Jumlah trombosit : menurun
5. JDL : memungkinkan berkembangannya pneumonia bakterial
6. Rontgen : menunjukkan pleuritis
7. Pemeriksaan dada dengan stetoskop menunjukkan adanya gesekan pleura.
3.2 Diagnosa yang Sering Muncul
1. Gangguan rasa nyaman (nyeri kronik) berhubungan dengan efusi sendi dan sesak akibat
efusi pleura.
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan mobilitas.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tidak seimbangnya suplai dan kebutuhan O2.

3.3 Intervensi
No Diagnosa Intervensi Rasional
. Keperawatan
1. Gangguan rasa Mandiri
a. Tentukan
a. Nyeri dada biasanya
nyaman (nyeri karakteristik nyeri, ada dalam beberapa
kronik) missal : tajam, atau derajat pada
berhubungan seperti ditusuk. pneumonia, juga dapat
dengan efusi sendi Selidiki perubahan timbul komplikasi
dan sesak akibat lokasi/intensitas pneumonia seperti
efusi pleura . nyeri. perikarditis dan
Tujuan : Setelah endokarditis
b. Perubahan frekuensi
Dilakukan
jantung menunjukkan
tindakan b. Pantau TTV
klien merasa nyeri
keperawatan
c. Tindakan nonanalgesik
selama 3x24
diberikan dengan
jam, diharapkan c. Berikan tindakan
sentuhan lembut dapat
rasa nyeri teratasi. untuk meningkatkan
menghilangkan
Kriteria Hasil : kenyamanan, missal:
ketidaknyamanan dan
- Menyatakan nyeri relaksasi, latihan
memperbesar efek
hilang/terkontrol nafas dalam
analgesic
- Menunjukkan
d. Mencegah terjadinya
rileks, istirahat
kelelehan umum dan
tidur, peningkatan
kekakuan sendi,
aktivitas dengan
d. Anjurkan untuk mengurangi
cepat
sering mengubah gerakan/rasa sakit pada
- Menggabungkan
posisi. Bantu pasien sendi
ketrampilan
untuk bergerak diatas
relaksasi dan
tempat tidur, hindari
e. Panas meningkatkan
aktivitas hiburan
tindakan yang relaksasi otot dan
ke dalam program
menyentak mobilitas, menurunkan
control/nyeri
e. Anjurkan untuk
rasa nyeri dan
mandi dengan air
melepaskan kekakuan
hangat. Sediakan
di pagi hari. Sensitivitas
handuk hangat untuk
terhadap panas dapat
mengompres sendi-
dihilangkan dan luka
sendi yang sakit dermal dapat
beberapa kali sehari disembuhkan
f. Meningkatkan
relaksasi/mengurangi
tegangan otot

Memberikan dukungan
f. Berikan masase yang untuk menghilangkan
lembut nyeri

Kolaborasi
Bantu dengan terapi
fisik
2. Gangguan Mandiri
a. Kondisi kulit
integritas kulit b.da. Kaji integritas kulit,
dipengaruhi oleh
gangguan catat perubahan
sirkulasi dan mobilitas
mobilitas fisik turgor, warna, dan
Tujuan : setelah jaringan dapat menjadi
eritema
dilakukan tindakan rapuh dan cenderung
keperawatan untuk infeksi berat.
b. Untuk meningkatkan
selama 3 x 24 jam,
b. Bantu untuk
sirkulasi jaringan dan
diharafkan
melakukan ROM
mencegah statis
gangguan
(Range Of Motion) c. Potensial jalan masuk
integritas kulitc. Inspeksi kulit/ titik
organisme pathogen
berkurang. tekan secara teratur
pada adanya gangguan
Kriteria Hasil :
untuk kemerahan,
- Mempertahakan sistem imun, hal ini
berikan pijatan
integritas kulit meningkatkan resiko
- Mengidentifikasi lembut
infeksi dan pelambatan
faktor risiko
proses penyembuhan
/perilaku klien d. Meningkatkan abalik
untuk mencegahd. Awasi tungkai vena menurunkan statis
cidera dermal terhadap kemerahan, vena/pembentukan
- Melakukan
perhatikan dengan edema.
aktivitas sehari- ketat terhadap
hari pembentukan ulkus.
Menghindari kerusakan
- Observasi
kulit dengan
perbaikan luka Kolaborasi
mencegah/menurunkan
/penyembuhan lesi Gunakan pelindung,
tekanan pada
bila ada. misalnya lotion sesuai
permukaan kulit.
dengan indikasi.
3. Intoleransi Mandiri
a. Mempengaruhi pilihan
aktivitas a. Kaji kemampuan
intervensi/bantuan
b.d tidak pasien untuk
seimbangnya melakukan aktivitas.
suplai dan Catat laporan
kebutuhan O2 kelelahan dan
b. Manifestasi
(anemia) keletihan
b. Awasi TD, nadi kardiopulmonal dari
Tujuan : Setelah
pernapasan, selama upaya jantung dan paru
dilakukan
dan sesudah aktivitas untuk membawa jumlah
intervensi
oksigen adekuat ke
keperawatan 3x24
jaringan
jam, diharapkan
c. Meningkatkan secara
menunjukkan
bertahap tingkat
c. Rencanakan latihan
penurunan tanda
aktivitas sampai normal
aktivitas dengan
fisiologis
dan memperbaiki tonus
pasien, termasuk
intorelansi
otot tanpa kelemahan.
aktivitas yang pasien
Kriteria Hasil : d. Mendorong pasien
- Adanya pandang perlu
melakukan banyak
peningkatan
d. Gunakan teknik dengan membatasi
toleransi aktivitas
penghematan energi penyimpangan energi
(termasuk aktivitas
dan mencegah
sehari-hari)
kelemahan
- Berpartisipasi
e. Stress berlebihan dapat
dalam aktivitas
menimbulkan
sehari-hari sesuai
kegagalan
e. Anjurkan pasien
tingkat berhenti bila terjadi
kemampuan nyeri dada,
kelemahan atau Memeksimalkan
pusing terjadi sediaan oksigen untuk
Kolaborasi : kebutuhan seluler.
Berikan terapi
oksigen tambahan

23

BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Sistemik Lupus Eritematosus adalah suatu sindrom yang melibatkan banyak organ dan
memberikan gejala klinis yang beragam. Perjalanan penyakit ini dapat ringan atau berat, secara
terus-menerus, dengan kekambuhan yang menimbulkan kerusakan jaringan akibat proses radang
yang ditimbulkannya. Gejala utama Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah kelemahan
umum, anoreksia, rasa mual, demam dan kehilangan berat badan. Penyebab dari penyakit lupus
meliputi pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respons imun.
Penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan organ harus
ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya
infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis.
4.2 Saran
1. Bagi Bagi Mahasiswa
Diharapkan dapat memahami tentang asuhan keperawatan dan penatalaksanaan pada pasien SLE
agar nantinya dapat memberikan asuhan keperawatan yang tepat.
2. Bagi Institusi
Diharapkan untuk memberikan penanganan dan asuhan keperawatan yang tepat pada pasien
SLE. Serta terus meningkatkan kualitas pelayanan bagi klien.
3. Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat dapat memahami tentang penyakit SLE serta penanganannya sehingga
bisa lebih meningakatkan status kesehatan masyarakat pada umumnya.

Vous aimerez peut-être aussi