Vous êtes sur la page 1sur 5

Aceh Membara Disulut Konflik Agama

Konflik mengatasnamakan agama di Aceh menyebabkan seorang tewas dan sebuah gereja
hangus dibakar ratusan orang. Bentrokan dipicu sengketa ijin mendirikan bangunan gereja
di kawasan itu.

Kerusuhan pecah setelah massa yang terdiri dari sekitar 600 orang membakar sebuah
gereja Protestan dan bergerak ke gereja kedua. Demikian keterangan Kepala Kepolisian
Aceh Husein Hamidi kepada wartawan Di sana mereka dihadang sekelompok warga
Kristen yang sudah siap siaga bersama polisi dan militer.

Dalam bentrokan seorang tewas akibat terkena tembakan, sementara empat lainnya cedera
akibat lemparan batu. Polisi dan tentara dikerahkan untuk mengatasi bentrokan, dan salah
seorang yang cedera adalah anggota militer. Demikian keterangan Kapolda Hamidi.
Wawancara dengan Hamidi juga bisa diikuti dalam rangkaian berita lewat tautan YouTube
berikut.

Menurut Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, setiap gereja di kawasan Aceh selatan sudah
dijaga militer dan polisi. Namun karena jumlah gereja banyak dan aparat terbatas, hanya
20 aparat keamanan ditempatkan di tiap gereja, sementara kelompok yang menyerang
jumlahnya ratusan orang

Bentrokan menyusul demonstrasi pekan lalu

Bentrokan terjadi menyusul demonstrasi yang terjadi pekan lalu, di mana sekelompok
remaja Muslim menuntut pemerintah lokal membongkar sejumlah gereja yang menurut
mereka didirikan dan beroperasi secara ilegal karena tidak memiliki surat izin bangunan.
Pemerintah lokal sudah menyatakan akan menangani masalah dengan membongkar 21
gereja.

Gereja yang dibakar massa di Aceh Singkil, 13 Oktober 2015

"Tetapi ketegangan yang sudah berlangsung sejak pekan lalu kemudian pecah menjadi aksi
kekerasan, setelah sekelompok orang memutuskan mengambil langkah sendiri atas gereja-
gereja tersebut", ujar Kepala Kepolisian Aceh Husein Hamidi. Sekarang situasi sudah
mulai tenang, dan aparat keamanan menahan 30 orang untuk dimintai keterangan,
ditambahkan Hamidi.

Selasa (13/10) malam Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menyatakan, pembakaran gereja di
Aceh adalah aksi yang sudah direncanakan. Orang-orang yang ditahan masih diperiksa
keterlibatannya, kata Kapolri. Ia berjanji, akan mengambil tindakan tegas.
Dubes RI: Konflik di Myanmar Mulai
Reda

REPUBLIKA.CO.ID,YANGON Sejumlah konflik antar agama yang melibatkan umat


Budha dan Muslim di Myanmar dinilai mulai mereda. Kondisi keamanan di Myanmar
secara umum mulai membaik.

Kami sesalkan konflik terjaditensi sedikit tinggi beberapa waktu lalu tapi sekarang
sudah aman, ujar Duta Besar Indonesia untuk Myanmar, Sebastianus Sumarsono di
Yangon, Senin (1/4) malam.

Menurut Sumarsono yang telah bertugas di Myanmar selama 4,5 tahun, ada perubahan
drastis sejak ada pemilu 2010 di negara tersebut. Myanmar mulai menjalankan sistem
demokasi. Namun, Myanmar dinilai masih harus menyelesaikan masalah etnis minoritas.
Sumarsono menyebut ada 11 etnis bersenjata yang saat ini tengah didekati pemerintah
setempat untuk berdamai.

Pemerintah Myanmar telah melakukan dua kali pertemuan dengan kelompok etnis. Nanti,
10 April, pemerintah Myanmar akan bertemu lagi untuk menyelesaikan masalah etnis
minoritas, ujarnya.

Konflik etnis muslim Rohingya dan Rakhine pecah pada Juni 2012. Konflik tersebut
disusul dengan kerusuhan di Meikhtila pada pertengahan Maret 2013. Dengan upaya
pemerintah, saat ini konflik mulai mereda, ujarnya.
Membaca Konflik Antar Kelompok Dalam
Agama

Persoalan SARA paling sensitif adalah Agama. Daya ledaknya jauh lebih dahsyat
dibanding A, S, atau R yang lain dalam SARA. Ketika Agama di mozaik nusantara
dijadikan lahan konflik, maka gaung dan ledakannya bisa melebar jauh di luar batas
nusantara. Bisa membakar dunia dan meluluhlantakkan mozaik itu sendiri. Kenapa
demikian? Karena Agama 'menjanjikan kehidupan abadi' bagi kelompok pemenangnya ke
alam surgawi.

Konflik SARA tersebut mudah meletup karena beragamnya elemen mozaik nusantara.
Elemen itu bukan hanya berbeda bentuk, material dan warna, namun juga kadar
perekatnya.

Kadar perekat itu bisa diartikan sebagai 'kesadaran diri' untuk menjadikan mozaik sebagai
milik bersama sekaligus kebanggaan diri.

Keberbedaan level perekat ini pernah dikondisikan oleh penjajah di nusantara pada masa
lalu. Tujuannya agar 'mudah' menjalankan libido kolonialisme mereka. Mereka bisa kuat
menancapkan kukunya karena terlebih dahulu belajar tentang Mozaik ini. Dari belajar
menjadi tahu dan mengerti bahwa daerah jajahan 'seperti ini' jadi harus di kondisikan
'seperti ini'.
Kini tak ada lagi penjajah langsung. Yang ada adalah penjajah tak langsung. Mereka tak
perlu hadirkan pasukan di negeri mozaik ini, cukup dengan 'cara pintar' yang tak tampak.
Caranya beragam, namun tetap dengan langkah klasik, yakni Belajar-mempelajari daerah
jajahannya. Dari situlah didapatkan konsep perlakuan yang tepat untuk menjaga
keberlangsungan libido mereka.

Vous aimerez peut-être aussi