Vous êtes sur la page 1sur 34

1.

RJPO (RESUSITASI JANTUNG PARU OTAK)


Resusitasi jantung paru atau cardio pulmonary resucitation (CPR) adalah
suatu usaha untuk mengembalikan fungsi pernafasan dan atau fungsi jantung serta
menangani akibat-akibat berhentinya fungsi-fungsi tersebut.
Biasanya setiap negara membuat petunjuk untuk melakuan resusitasi
jantung paru dan sering merujuk pada petunjuk resusitasi yang telah dibuat oleh
negara maju seperti Dewan Resusitasi Eropa, Inggris, Australia dan Amerika
Serikat. Safar membagi resusitasi menjadi beberapa tahap, yaitu:
1. Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support)
Resusitasi ABC (Airway control atau Assessment, Breathing Support,
Circulatory Support). Okesigenasi darurat (emergency oxygenation).
2. Bantuan Hidup Lanjut (Advanced Life Support)
Resustasi DEF (Drug and fluids, ECG diagnosis, Fibrilation treatment),
pengembalian sirkulasi spontan.
3. Bantuan Hidup Perpanjangan (Prolonged Life Support)
Resusitasi GHI (Gauging, Human mentation, Intensive care). Resusitasi
otak, terapi otak pasca resusitasi.

I. Bantuan Hidup Dasar


Tujuan bantuan hidup dasar ialah untuk oksigenasi darurat secara efektif
pada organ vital seperti otak dan jantung melalui ventilasi buatan dan sirkulasi
buatan sampai paru dan jantung dapat menyediakan oksigen dengan kekuatan
sendiri secara normal. Resusitasi mencegah agar sel-sel tidak rusak akibat
kekurangan oksigen. Tindakan ABC (Airway Breathing and Circulation)
dilakukan tanpa alat atau dengan alat yang sederhana dan harus dilakukan dengan
cepat dalam waktu kurang dari 4 menit pada suhu normal secara baik dan terarah.
Henti jantung (cardiac arrest) dapat terjadi di mana saja baik di dalam
atau di luar rumah sakit. Rantai kelangsungan hidup terpisah telah
direkomendasikan yang akan mengidentifikasi jalur penawaran yang berbeda
antara pasien yang mengalami serangan jantung di rumah sakit dan yang di luar
rumah sakit.

1
Gambar 1. Rantai Kelangsungan Hidup Serangan Jantung di Rumah Sakit

Gambar 2. Rantai Kelangsungan Hidup Serangan Jantung di Luar Rumah Sakit

a) Pembebasan Jalan Napas


Kalau diagnosis henti jantung telah ditegakkan, maka resusitasi harus
segera dimulai. Letakkan pasien pada posisi terlentang pada alas keras ubin atau
selipkan papan kalau pasien di atas kasur. Untuk mehindari penyumbatan oleh
lidah, maka dilakukan:
1. Perasat kepala tengadah-dagu diangkat (head tilt-chin lift maneuver). Ini
dilakukan jika tidak ada trauma pada leher
2. Perasat dorong rahang bawah (jaw-thrust maneuver)
Pada pasien dengan trauma leher, rahang bawah diangkat didorong ke
depan pada sendinya tanpa menggerakkan kepala-leher

2
Langkah Pertama: Periksa Kesadaran

Langkah Kedua : Buka Jalan Napas

3
Langkah Ketiga : Periksa Pernapasan
Jika henti jantung terjadi di luar rumah sakit: letakkan pasien dalam
posisi terlentang, lakukan maneuver triple airway dan kalau rongga mulut ada
cairan, lendir atau benda asing lainnya, bersihkan dahulu sebelum memberikan
napas buatan.

b) Bantuan Napas
Napas buatan tanpa alat dapat dilakukan dengan cara mulut ke mulut (the
kiss of life, mouth to mouth), mulut ke hidung (mouth to nose), mulut ke stoma
trakeostomi atau mulut ke mulut via sungkup muka. Saat pemberian napas tanpa
alat mulut ke mulut, maka penolong menarik napas dalam, kemudian bibir
penolong ditempelkan ke bibir pasien yang terbuka dengan erat supaya tidak
bocor dan udara ekspirasi dihembuskan ke mulut pasien sampbil menutup kedua
lubang hidung pasien dengan cara memencetnya.
Frekuensi dan besar hembusan kita sesuaikan dengan usia pasien, apakah
korban bayi, anak atau dewasa. Pada pasien dewasa, hembusan sebanyak 10-12
kali per menit dengan tenggang waktu antaranya kira-kira 2 detik. Hembusan
penolong dapat menghasilkan volum tidal antara 800-1200 ml.

Pemberian Napas Mulut ke Mulut

c) Bantuan Sirkulasi

4
Pada bantuan sirkulasi, pasien ditidurkan terlentang pada alas keras.
Sebelum melakukan kompresi jantung luar, penolong melakukan penekanan pada
tulang dada dari ketinggian 20-30 cm (8-12 inci) untuk merangsang jantung
supaya berdenyut (precordial thump). Jika tindakan ini tidak berhasil baru
dilakuan kompresi jantung luar.
AHA (American Heart Association) 2015 memberikan beberapa hal yang
harus diperhatikan saat memberikan kompresi dada, seperti yang terlihat pada
tabel di bawah ini:

Tabel 1. Anjuran dan Larangan BLS untuk CPR Berkualitas Tinggi Dewasa

Pijatan jantung yang baik akan menghasilkan denyut nadi pada karotis
dan curah jantung sekitar 10-15% dari normal. Dan penting bagi penolong untuk
tidak bertumpu di atas dada diantara kompresi untuk mendukung rekoil penuh
dinding dada pada pasien dewasa saat mengalami serangan jantung. Rekoil penuh
terjadi bila tulang dada kembali ke posisi alami atau netralnya saat fase
dekompresi CPR berlangsung. Rekoil dinding dada memberikan relatif tekanan
intrathoraks negatif yang mendorong pengembalian vena dan alirand arah
kardiopulmonari.

5
Posisi Melakukan CPR
II. Bantuan Hidup Lanjut
Bantuan hidup lanjut adalah usaha yang dilakukan setelah dilakukan
bantuan hidup dasar dengan memberikan obat-obatan yang dapat memperpanjang
hidup pasien.
a) Defibrilasi
Dengan peralatan elektrokardiogram (EKG), maka jenis henti jantung
dapat diketahui. Pada ventrikel fibrilasi, gambaran EKG menunjukkan gelombang
listrik tidak teratur (kacau balau) baik amplitudo atau frekuensinya. Terapi
definitif fibrilasi ventrikel atau takikardi ventrikel tanpa denyut nadi ialah syok
listrik (DC shock) dan tidak ada satupun obat sampai sekarang yang dapat
menghilangkan fibrilasi.

6
Fibrilasi Ventrikel (kanan) dan Ventrikel Takikardi (kiri)

Gambaran EKG asistol ventrikel ialah garis lurus tanpa defleksi yang
dapat terganggu oleh aliran listrik, napas buatan atau tidakan resusitasi. Dalam hal
ini defibrilator automatis tidak dapat bekerja karena tidak dapat mengenal
amplitudo lembut yang sensitifitasnya di bawah alat.

7
Tabel Ringkasan Komponen CPR

8
Algoritma Henti Jantung BHD Pada Dewasa

b) Obat-obatan yang digunakan dalam Bantuan Hidup Lanjut


1. Epinefrin
Indikasi :
Henti jantung: fibrilasi ventrikel, takikardi ventrikel tanpa
nadi, asistol, PEA

9
Bradikardi simtomatis: dapat dipertimbangkan setelah
pemberian atropin dan alternatif dopamin
Hipotensi berat
Anafilaksis
Dosis :
Henti jantung: 1 mg IV (10 ml dari 1: 10.000) diberikan tiap 3-
5 menit selama resusitasi, setiap pemberian diikuti dengan
flush 20 ml NaCl 0,9% dan menaikkan lengan selama 10-20
detik setelah pemberian dosis
Dosis tinggi (0,2 mg/kg) dapat digunakan untuk indikasi
spesifik.

2. Vasopresin
Indikasi :
Obat alternatif selain epinefrin pada syok, VF refrakter, asistol
dan PEA
Dosis :
Henti jantung 40 IU dosis tunggal IV
Syok : 0,02 0,04 IU/menit

3. Dopamin
Indikasi :
Lini kedua untuk bradikardia simtomatis (setelah atropin)
Untuk hipotensi (tekanan darah sistolik 70-100 mmHg dengan
tanda syok)
Dosis :
Infus: 2-20 mcg/kg/menit, dititrasi sesuai respon pasien, dosis
dinaikkan perlahan

4. Sodium Bikarbonat
Indikasi:

10
Mengatasi asidosis jaringan dan asidosis selama henti jantung
maupun resusitasi

Dosis:
1 mg/kgBB IV bolus

5. Amiodaron
Indikasi :
Digunakan secara luas untuk fibrilasi atrium dan takiaritmia
ventrikular
Pengobatan VF atau VT tanpa nadi yang refrakter
Pengobatan VT polimorfik dan takikardi dengan QRS lebar
yang tidak jelas sumbernya
Obat pendukung pada kardioversi elektrik kasus-kasus SVT
dan VT
Mengontrol kecepatan nadi pada fibrilasi atrial
Dosis :
Pada henti jantung 300 mg IV cepat (diencerkan dengan 20-30
ml Dextrose 5%). Pertimbangkan pemberian berikutnya
sebanyak 150 mg IV dengan selang waktu 3-5 menit).
6. Sulfa Atropin
Indikasi:
Obat utama pada sinus bradikardi (kelas 1)
Dapat efektif pada AV blok pada level nodal atau asistol
ventrikular
Tidak efektif pada blok infranodal (mobitz tipe 2) dan AV blok
derajat 3
Dosis:
Bradikardi: 0,5-1 mg IV setiap 3-5 menit sesuai kebutuhan
tidak melebihi 0,04 mg/kgBB

11
Algoritma Henti Jantung Dewasa

12
2. JENIS-JENIS ANESTESI DAN OBATNYA
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An-tidak, tanpa dan
aesthesos, persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Anestesi dapat dibagi
atas:
1. Anestesi umum
Anestesi umum (general anestesi) atau bius total disebut juga dengan
nama narkose umum (NU). Anestesi umum adalah meniadakan nyeri secara
sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.
Cara kerja anestesi umum selain menghilangkan rasa nyeri,
menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga merelaksasi seluruh otot.
Maka, selama penggunaan anestesi juga diperlukan alat bantu nafas, selain deteksi
jantung untuk meminimalisasi kegagalan organ vital melakukan fungsinya selama
operasi dilakukan.
Obat-obat yang diberikan dalam anestesi umum, adalah:
a. Premedikasi
Ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesia dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari anestesia,
diantaranya:
(1) Meredakan kecemasan dan ketakutan
(2) Memperlancar induksi anestesia
(3) Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
(4) Mengurangi mual-muntah pasca bedah
(5) Menciptakan amnesia
(6) Mengurangi isi cairan lambung
(7) Mengurangi refleks yang membahayakan
Obat pereda kecemasan digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa
jam sebelum induksi anestesia. Jika disertai nyeri dapat diberikan petidin
50 mg IM. Mengurangi isi cairan lambung dengan antagonis reseptor H2
histamin misalnya simetidin PO 600 mg atau Ranitidin 150 mg PO 1-2 jam

13
sebelum operasi. Mengurangi mual muntah diberi Droperidol 2,5-5 mg
atau Ondansentron 2-4 mg.
b. Induksi anestesia
Ialah tindakan membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan.
Induksi intravena:
Tiopental: 3-7 mg/kgBB IV dengan kepekatan 2,5%
Propofol : 2-3 mg/kgBB IV dengan kepekatan 1%. Bisa
menyebabkan nyeri, maka sebelumnya diberi Lidokain 1 mg/kgBB
secara IV
Ketamin : 1-2 mg/kgBB secara IV. Pasca anestesi sering
menyebabkan halusinasi, dianjurkan menggunakan sedativa seperti
Midasolam. Ketamine tidak dianjurkan pada pasien dengan
hipertensi (TD > 160 mmHg).

Induksi intramuskular:
Yang dapat diberikan hanya Ketamine dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan
setelah 3-5 menit pasien tidur

Induksi inhalasi:
Halotan atau sevofluran: diberikan pada bayi atau anak yang belum
terpasang jalur IV atau pada dewasa yang takut suntik. Induksi
membutuhkan gas pendorong O2atau N2O. induksi dimulai dengan O2 4
liter/menit atau campuran O2: N2O = 3:1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dari
halotan 0,5%.

c. Rumatan anestesi
Rumatan IV : Opioid dosis tinggi, fentanil 10-50 g/kgBB atau
propofol 4-12 mg/kgBB/jam
Rumatan inhalasi : atau campuran O2: N2O = 3:1 ditambah halotan
0,5%-2 vol % atau enfluran 2-4% atau isofluran 2-4 vol% atau
sevofluran 2-4 vol%.

14
2. Anestesi Lokal
Ialah obat yang menghasilkan blokade konduksi atau blokade lorong natrium
pada dinding saraf secara sementara terhadap transmisi sepanjang saraf.
Anestesi lokal dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
1. Golongan ester
Kokain, benzokain, ametokain, prokain, tetrakain, kloroprokain
2. Golongan amida
Lidocain, mepivakain, prilokain, bupivacain, etidokain, dibukain,
ropivakain, levobupivakain
Tabel Obat Anestesi Lokal

3. Anestesi Regional
Dapat dibagi menjadi:
Blok sentral (blok neuroaksial)
Yaitu meliputi blok spinal, epidural dan kaudal.
Blok perifer (blok saraf)

15
Misalnya blok pleksus brakialis, aksiler, analgesia regional intravena
dan lain-lainya.

1. Analgesia spinal
Analgesia spinal (intratekal, intradural, subdural, subaraknoid) ialah
pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal diperoleh dengan cara menyuntikkan anestetik lokal ke dalam ruang
subaraknoid.

Tabel Obat Analgesi Spinal

2. Analgesi Epidural
Ialah blokade saraf dengan menempatkan obat di ruang epidural
(peridural, ekstradural). Obat bekerja secara langsung pada akar saraf
spinal yang terletak di bagian lateral.

16
Tabel Obat Analgesi Epidural

3. Dehidrasi
Secara definisi, dehidrasi adalah suatu keadaan penurunan total air di
dalam tubuh
karena hilangnya cairan secara patologis, asupan air tidak adekuat, atau kombinasi
keduanya.Dehidrasi terjadi karena pengeluaranair lebih banyak daripada jumlah
yang masuk, dan kehilangan cairan ini juga disertai dengan hilangnya elektrolit
Beberapa faktor patologis penyebab dehidrasi yang sering:
Gastroenteritis
Diare adalah etiologi paling sering. Padadiare yang disertai muntah,
dehidrasi akan
semakin progresif. Dehidrasi karena diaremenjadi penyebab utama
kematian bayi dan anak di dunia.
Stomatitis dan faringitis

17
Rasa nyeri mulut dan tenggorokan dapatmembatasi asupan makanan dan
minuman
lewat mulut.
Ketoasidosis diabetes (KAD)
KAD disebabkan karena adanya diuresisosmotik. Berat badan turun akibat
kehilangancairan dan katabolisme jaringan.
Demam
Demam dapat meningkatkan IWL dan menurunkannafsu makan.

Berdasarkan perbandingan jumlah natrium dengan jumlah air yang


hilang, dehidrasi dibedakan menjadi tiga tipe yaitu:
1. Dehidrasi isotonik (isonatremik). Tipeini merupakan yang paling
sering (80%).Pada dehidrasi isotonik kehilangan airsebanding dengan
jumlah natrium yanghilang, dan biasanya tidak mengakibatkancairan
ekstrasel berpindah ke dalam ruang intraseluler. Kadar natrium dalam
darahpada dehidrasi tipe ini 135-145 mmol/L danosmolaritas efektif
serum 275-295 mOsm/L.
2. Dehidrasi hipotonik (hiponatremik).Natrium hilang yang lebih banyak
daripada
air. Penderita dehidrasi hipotonikditandai dengan rendahnya kadar
natriumserum (kurang dari 135 mmol/L) danosmolalitas efektif serum
(kurang dari 270mOsml/L). Karena kadar natrium rendah,cairan
intravaskuler berpindah ke ruangekstravaskuler, sehingga terjadi
deplesi cairanintravaskuler. Hiponatremia berat dapatmemicu kejang
hebat; sedangkan koreksicepat hiponatremia kronik (2
mEq/L/jam)terkait dengan kejadian mielinolisis pontinsentral.
3. Dehidrasi hipertonik (hipernatremik).Hilangnya air lebih banyak
daripada natrium.Dehidrasi hipertonik ditandai dengantingginya kadar
natrium serum (lebih dari145 mmol/L) dan peningkatan
osmolalitasefektif serum (lebih dari 295 mOsm/L).Karena kadar
natrium serum tinggi, terjadipergeseran air dari ruang ekstravaskuler
keruang intravaskuler.

18
Derajat dehidrasi berbeda antara usia bayi dan anak jika dibandingkan
usia dewasa.
Bayi dan anak (terutama balita) lebih rentan mengalami dehidrasi karena
komposisi air tubuh lebih banyak, fungsi ginjal belum sempurna dan masih
bergantung pad orang lain untuk memenuhi kebutuha cairan tubuhnya, selain itu
penurunan berat badan juga relatif lebih besar. Derajat dehidrasi pada anak
menurut WHO adalah sebagai berikut:

Tabel Derajat Dehidrasi Anak Menurut WHO

Sedangkan derajat dehidrasi menurut persentase kehilangan cairan adalah


sebagai berikut:
Tabel Derajat Dehidrasi Berdasarkan Persentase Kehilangan Cairan

Penatalaksanaan Dehidrasi
Secara sederhana prinsip penatalaksanaan dehidrasi adalah mengganti
cairan yang

19
hilang dan mengembalikan keseimbangan elektrolit, sehingga keseimbangan
hemodinamik kembali tercapai. Selain pertimbangan derajat dehidrasi,
penanganan juga ditujukan untuk mengoreksi status osmolaritas pasien.

1. Dehidrasi Ringan Sedang


Dehidrasi derajat ringan-sedang dapat diatasi dengan efektif melalui
pemberiancairan ORS (oral rehydration solution) untukmengembalikan
volume intravaskulerdan mengoreksi asidosisJenis ORS yang diterima
sebagai cairan rehidrasi adalah dengan kandungan glukosa2-3 g/dL, natrium
45-90 mEq/L, basa 30mEq/L, kalium 20-25 mEq/L, dan osmolalitas 200-310
mOsm/L.
Defisit cairan harus segera dikoreksi dalam 4 jam dan ORS harus
diberikandalam jumlah sedikit tetapi sering,untuk meminimalkan distensi
lambung dan refleks muntah. Secara umum, pemberianORS sejumlah 5 mL
setiap menit dapatditoleransi dengan baik. Jika muntah tetapterjadi, ORS
dengan NGT (nasogastric tube)atau NaCl 0,9% 20-30 mL/kgBB selama 1-
2jam dapat diberikan untuk mencapai kondisirehidrasi. Saat pasien telah
dapat minum ataumakan, asupan oral dapat segera diberikan.

2. Dehidrasi Berat
Pada dehidrasi berat dibutuhkan evaluasi laboratorium dan terapi rehidrasi
intravena. Penyebab dehidrasi harus digali dan ditanganidengan baik.
Penanganan kondisi ini dibagi menjadi 2 tahap:
Tahap Pertama: Berfokus untukmengatasi kedaruratan dehidrasi, yaitusyok
hipovolemia yang membutuhkanpenanganan cepat. Pada tahap ini
dapatdiberikan cairan kristaloid isotonik, sepertiringer lactate (RL) atau
NaCl 0,9% sebesar20 mL/kgBB. Perbaikan cairan intravaskulerdapat
dilihat dari perbaikan takikardi, denyutnadi, produksi urin, dan status
mental pasien. Apabila perbaikan belum terjadi setelah cairan diberikan
dengan kecepatan hingga 60 mL/kgBB, maka etiologi lain syok harus
dipikirkan (misalnya anafi laksis, sepsis, syok kardiogenik). Pengawasan
hemodinamikdan golongan inotropik dapat diindikasikan.

20
Tahap Kedua berfokus pada mengatasi defisit, pemberian cairan
pemeliharaan danpenggantian kehilangan yang masih
berlangsung.Kebutuhan cairan pemeliharaandiukur dari jumlah
kehilangan cairan (urin, tinja) ditambah IWL. Jumlah IW adalahantara
400-500 mL/m2 luas permukaantubuh dan dapat meningkat pada
kondisidemam dan takipnea. Secara kasar kebutuhancairan berdasarkan
berat badan adalah sebagai berikut (HOLIDAY SEGAR):
Berat badan < 10 kg = 100 mL/kgBB
Berat badan 10-20 kg = 1000 + 50 mL/kgBB untuk setiap
kilogram berat badan diatas 10 kg
Berat badan > 20 kg = 1500 + 20 mL/kgBB untuk setiap
kilogram berat badan diatas 20 kg

4. Perdarahan
Perdarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh darah, jumlahnya
dapat bermacam-macam, mulai dari sedikit sampai dapat menyebabkan kematian.
Terdapat 3 tahap kompensasi akibat perdarahan:
a. Tahap vasokontriksi (segera terjadi)
Perdarahan menyebabkan volume darah menurun, cardiac output juga ikut
menurut. CO yang turun menyebabkan tekanan darah menurun, kemudian
merangsang baroreseptor, merangsanga saraf simpatik mengeluarkan
adrenalin dan noradrenalin dan terjadi vasokontriksi.
Vena akan kolaps, sedangkan 75% volume darah terdapat pada
vena, maka akan terjadi semacam auto transfusi karena darah vena diperas
kembali ke dalam jantung. Pada kulit, otot-otot terjadi pucat dan dingin.
Pada ginjal terjadi oligouria. Mekanisme ini disebut protective
redistribution mechanism.
b. Tahap hemodilusi (terjadi dalam 24-48 jam)
Akibat vasokontriksi pembuluh darah proksimal maka cairan ekstraselular
masuk ke dalam kapiler. Dalam hal ini tanpa kenaikan jumlah eritrosit,
sehingga seakan-akan darah mengalami hemodilusi (pengenceran).
Hemodilusi dapat terjadi secara spontan atau dengan bantuan pemberian

21
cairan infus. Cairan yang dapat diberikan adalah cairan kristaloid dan
koloid.
c. Tahap produksi eritrosit (2-4 minggu)
Produksi eritrosit lengkap setelah 3-4 minggu.
Klasifikasi perdarahan berdasarkan gejala klinisnya dapat dilihat pada
tabel di bawah ini:

Penatalaksanaan
Larutan elektrolit isotonik hangat, misalnya Ringer Laktat (RL) atau
normal saline, digunakan untuk resusitasi awal. Cairan jenis ini mengisi volume
intravaskuler dalam waktu yang singkat dan juga menstabilkan volume vaskuler
dengan cara menggantikan kehilangan cairan penyerta yang hilang ke dalam
ruang interstitial dan intraseluer. Alternatif cairan awal adalah dengan larutan
garam hipertonik, walaupun menurut kepustakaan terbaru belum tentu
menguntungkan.
Tahap awal, bolus cairan hangat diberikan secepatnya. Dosis umumnya 1
hingga 2 liter untuk dewasa dan 20 ml/kg untuk anak-anak. Perhitungan kasar
untuk menggantikan jumlah cairan kristaloid yang dibutuhkan secara cepat adalah
dengan mengganti 1 ml darah yang hilang dengan 3 ml cairan kristaloid.
Resusitasi yang adekuat adalah produksi urin sekitar 0,5 ml/kg/jam pada
orang dewasa, 1 ml/kg/jam untuk anak-anak dan bayi (kurang 1 tahun) 2
ml/kg/jam.

22
Respon pasien terhadap pemberian cairan awal adalah kunci untuk
menentukan terapi selanjutnya. Respon pasien terbagi atas:
a) Respon cepat (rapid responders)
Hemodinamis kembali cepat setelah bolus cairan awal selesai dan
diteruskan dengan cairan maintenance. Tidak ada indikasi penambahan
bolus cairan atau pemberian darah, tetapi pemeriksaan golongan darah dan
crossmatch-nya harus tetap dikerjakan.
b) Respon sementara (transient responders)
Pasien memberikan respon pada pemberian cairan awal, namun bila
dilanjutkan pemberian maintenance, maka hemodinamik pasien akan
langsung menurun kembali. Pemberian bolus cairan tambahan dan
transfusi darah diperlukan pada pasien ini.
c) Respon minimal atau tidak ada respon
Tidak ada respon terhadap pemberian cairan dan darah menandakan
perlunya tindakan intervensi secepatnya (operasi atau angioembolization)
untuk menghentikan perdarahan. Pada kasus jarang, tidak adanya respon
ini dapat terjadi karena gagalnya pompa jantung akibat trauma tumpul
jantung, cardiac tamponade, atau tension pneumothorax.

5. Koreksi Elektrolit
I. Natrium
a. Hiponatremi
Penurunan osmolalitas plasma menyebabkan air bergerak ke dalam sel.
Ini bisa menyebabkan edema otak. Jika Na+ serum < 120 mmol/L pasien
cenderung kehilangan kesadaran dan/atau bingung, dan memiliki risiko
kejang. Hiponatremia ringan (>125 mmol/L) mungkin menunjukkan
suatu kelainan dasar yang membutuhkan perhatian, namun hiponatremia
itu sendiri tidak memiliki dampak buruk dan ditoleransi dengan baik.
Resiko dari hiponatremi adalah:
Hiponatremia dengan gejala neurologi berat (kegaduhan, penurunan
kesadaran, kejang) merupakan kedaruratan medis.

23
Kadar Na+ < 120 mmol/L perlu terapi darurat karena ada risiko
kerusakan neurologis.
Kadar Na+ 120-130 mmol/L jarang menyebabkan komplikasi buruk.
Biasanya tidak membutuhkan intervensi darurat. Jika pasien
memperlihatkan gangguan fungsi mental, harus dicari penyebab
alternatif. Tetapi kadang-kadang satu-satu penjelasan adalah kadar
Na+ serendah 120 atau kurang dari itu.
Penatalaksanaan hiponatremi adalah sebagai berikut:
Pasien harus dikelola di HDU atau ICU
Taksir air tubuh total (TBW = total body water). TBW berkisar dari
35% berat badan pada wanita gemuk berusia lanjut sampai 60% pada
pria.
Volume (dalam ml) NaCl 3% yang akan menaikkan kadar Na+
serum sebesar 1mmol/L adalah dua kali TBW (dalam liter).(Ini
disebabkan NaCl 3% mengandung 1 mmol Na+/2 ml)
Kecepatan maksimum untuk koreksi adalah 1,5-2 mmol/L per jam
untuk 3-4 jam pertama. Sesudah itu, laju kenaikan Na+ serum tidak
boleh melebihi 1 mmol/L per jam, atau tidak lebih 12 mmol dalam
24 jam pertama.
mEq Na = 125 Na Serum x 0,6 x BB (kg)
b. Hipernatremi
Adalah keadaan bila kadar Na darah > 150 mEq/L. Hipernatremia
disebabkan peningkatan Na+ tubuh, defisiensi air, atau keduanya. Dalam
konteks bedah biasanya kehilangan air melebihi kehilangan Na+, namun
untuk menghasilkan hipernatremia, asupan air juga kurang.
Kelebihan Na+ bisa menyebabkan kegaduhan mental atau coma
karena dehidrasi selular yang disebabkan penyu-sutan sel otak. Ruptur
vena sekunder dan perdarahan subaraknoid bisa terjadi. Kemungkinan ini
terjadi kecil, kecuali jika Na+ > 158 mmol/L. Hipernatremia derajat ringan
biasanya bukan suatu bahaya, tetapi defisiensi air yang melandasi serta
hipovolemia dapat mengakibatkan komplikasi vaskular yang disebabkan
sirkulasi lamban dari darah yang kental. Insufisiensi serebral dan koroner

24
paling mungkin terjadi, dengan kemungkinan gagal ginjal jika volume
sirkulasi tidak cepat dipulihkan.
Jika hipernatremia bersifat kronik, koreksi harus dilakukan lambat-
lambat. Seperti halnya hiponatremia, koreksi cepat bisa lebih merugikan
daripada gangguan fisiologis itu sendiri. Hipernatremia pada mulanya
menyebabkan penyusutan otak, tetapi setelah 1-3 hari, volume otak
dipulihkan dengan ambilan solute ke dalam sel. Jika air diberikan cepat,
edema serebral bisa terjadi, disertai kejang, kerusakan otak permanen dan
kematian.
Dalam konteks bedah, hipernatremia cenderung terjadi akut dan ini
bisa dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium. Di sini hipernatremia
boleh dikoreksi dengan cepat. Tujuannya adalah merendahkan Na+ serum
tidak lebih cepat dari 0,5 mmol/L per jam. Di samping itu, terapi tidak
perlu dilanjutkan sekali Na+ telah turun menjadi 145 mmol/L.

Jumlah cairan: defisit cairan dikoreksi dalam 2 x 24 jam (sd 72 jam)

Hari ke-1: 50% defisit + kebutuhan rumatan (rumus Holliday Segar)

Hari ke-2: 50% defisit + cairan rumatan sda

Ideal TBW x 145 mEq/L = Current TBW x Current serum sodium

Current TBW = 0,6 x current weight (kg)

TBW = total body water

2. Kalium
1. Hipokalemi
Ialah bila kadar K darah < 3,5 mEq/L. Dapat menyebabkan Aritmia
jantung, khususnya pada pasien yang mendapat digoksin, ileus paralitik
berkepanjangan, kelemahan otot dan kram.
KCL biasa digunakan untuk menggantikan defisiensi K+, karena
juga biasa disertai defisiensi Cl-. jika penyebabnya diare kronik, KHCO3
atau kalium sitrat mungkin lebih sesuai.Terapi oral dengan garam kalium

25
sesuai jika ada waktu untuk koreksi dan tidak ada gejala klinik.Bila kadar
K <2,5 mEq/L (dengan atau tanpa gejala) berikan KCl 3,75% i.v. dengan
dosis 3-5 mEq/kgbb, maksimal 40 mEq/Liter cairan Bila kadar K 2,5-3,5
mEq/L (dengan atau tanpa gejala) berikan KCl 75 mg/kg/hari p.o. dibagi 3
dosis.

2. Hiperkalemi
Ialah kadar K darah > 5,5 mEq/L. Risiko henti jantung berkaitan bukan
hanya dengan derajat hiperkalemia tetapi akibat dari kombinasi faktor-
faktor berikut: asidosis, hipoksia, hipokalsemia dan overaktivitas simpatis
(karena nyeri atau syok). Henti jantung jarang dengan K+ > 7 mmol/L
kecuali jika ada faktor-faktor lain. Di atas kadar itu, hiperkalemia per se
bisa mengakibatkan henti jantung. Karena resusitasi pasien yang telah
mengalami henti jantung akibat hiperkalemia biasa gagal, hiperkalemia
berat harus diatasi segera.
Bila kadar K <6 mEq/L : Kayeksalat 1 g/kgbb po dilarutkan dalam
2 mL/kgbb larutan sorbitol 70%; kayeksalat 1 g/kgbb enema, dilarutkan
dalam 10 ml/kg larutan sorbitol 70% dan diberikan melalui kateter folley
yang diklem selama 30-60 menit.
Bila kadar K 6-7 mEq/L: NaHCO3 7,5% dosis 3 mEq/kg i.v. atau
1 unit insulin / 5 gram glukosa.
Bila kadar K >7 mEq/L: Ca Glukonas 10%, dosis 0,1-0,5 mL/kgbb
i.v. dengan kecepatan 2 mL/menit.

6. KOREKSI KADAR GULA DARAH


Diabetes mellitus adalah penyakit kronik yang disebabkan
oleh defisiensi insulin ditandai dengan peningkatan kadar
glukosa dalam plasma.
a. Efek pembedahan dan pembiusan pada metabolisme
Diabetes mellitus menggambarkan adanya pengaturan
abnormal dan gula darah karena salah satu sebab yaitu

26
adanya kekurangan insulin retetif atau absolut atau karena
resistensi insulin. Kadar gula darah tergantung dari
produksi dan penggunaan gula darah tubuh. Selama
pembedahan atau sakit/stres terjadi respon katabolik
dimana terjadi peningkatan sekresi katekolamin, glukagon,
korfisol, tetapi di sana juga terjadi penurunan sekresi
insulin. Jadi pembedahan menyebabkan hiperglikemia,
penurunan penggunaan gula darah, peningkatan
glukoneogenesis, katabolisme protein. Respon tersebut
dipacu tidak hanya oleh nyeri tetapi juga oleh sekresi,
peptida seperti interleukin I dan berbagai hormon
termasuk growth hormon dan prolaktin.Efek pembiusan
pada respon tersebut sangat
bervariasi. Analgesia epidural tinggi dapat menghambat
respon katabolik terhadap pembedahan dengan cara
blokade aferen. dan saraf otonom. Teknik narkotik dosis
tinggi (fentanyl 50 m/kg) sebagian dapat mencegah
respon stres, sedangkan anestesia umum mempunyai efek
menghambat yang lebih kecil, meskipun dengan
pemberian konsentrasi tinggi (2,1 MAC halotan)
b. Faktor resiko untuk pasien bedah diabetes
Suatu penelitian memperlihatkan bahwa pasien diabetes
mempunyai mortalitas dan morbiditas pasca bedah lebih
tinggi dibandingkan pasien normal. Masalah yang dapat
muncul adalah infeksi, sepsis dan komplikasi dari
arteriosklerosis.Suatu penelitian menunjukkan 11 % pasien
diabetes mengalami komplikasi miokardiak pada pasca
bedah terutama infeksi pneumonia. Komplikasi jantung
terjadi pada 7% dari pasien diabetes, mortalitas pasca
bedah 4%, terutama pada pasien yang sebelumnya
menderita penyakit jantung. Penelitian menunjukkan
bahwa pembedahan pada pasien diabetes dapat

27
meningkatkan mortalitas sampai 10 kali, yang disebabkan
oleh:
Sepsis
Neuropati autonomik
Komplikasi aterosklerosis (penyakit arteri koroner, stroke,
penyakit pembuluh darah perifer)
Ketoasidosis dan koma hiperglikemik hiperosmolar
c. Pengaruh obat anestesi pada penderita DM

Seperti telah diketahui beberapa obat anestesi dapat


meningkatkan gula darah, maka pemilihan obat anestesi
dianggap sama pentingnya dengan stabilisasi dan
pengawasan status diabetesnya.
Beberapa obat yang dipakai untuk anestesi dapat mengakibatkan
perubahan di dalam metabolisme karbohidrat, tetapi mekanisme dan
tempat kerjanya belum jelas. Obat-obat induksi dapat mempengaruhi
homeostatis glukosa perioperatif. Etomediat menghambat steroidogenesis
adrenal dan sintesis kortisol melalui aksinya pada 11b-hydroxylase dan
enzim pemecah kolesterol, dan akibatnya akan menurunkan respon
hiperglikemia terhadap pembedahan kira-kira 1 mmol per liter pada pasien
non diabetes. Pengaruh pada pasien diabetes belum terbukti.
Benzodiazepin akan menurunkan sekresi ACTH, dan juga
akan memproduksi kortisol jika digunakan dengan dosis
tinggi selama pembedahan. Obat-obat golongan ini akan
menurunkan stimulasi simpatis, tetapi merangsang sekresi
growth hormone dan akan menyebabkan penurunan
respon glikemia pada pembedahan. Efek-efek ini minimal
jika midazolam diberikan pada dosis sedatif, tetapi dapat
bermakna jika obat diberikan secara kontinyu melalui infus
intravena pada pasien di ICU.
Ether dapat meningkatkan kadar gula darah, menoegah
efek insulin untuk transport glukosa menyeberang

28
membran sel dan secara tak langsung melalui peningkatan
aktifitas simpatis sehingga meningkatkan glikogenolisis di
hati. Menurut Greene penggunaan halotan pada pasien
cukup memuaskan karena kurang pengaruhnya terhadap
peningkatan hormon ; pertumbuhan, peningkatan kadar
gula atau penurunan kadar insulin. Penelitian invitro
halotan dapat menghambat pelepasan insulin dalam
merespon hiperglikemia, tetapi tidak sama pengaruhnya
terhadap level insulin selama anestesi. Sedangkan enfluran
dan isofluran tak nyata pengaruhnya terhadap kadar gula
darah.
Pengaruh propofol pada secresi insulin tidak diketahui.Pasien-pasien
diabetik menunjukkan penurunan kemampuan untuk membersihkan lipid
dari sirkulasi. Keadaan ini dapat terlihat pada pasien-pasien yang
mendapat propofol untuk sedasi jangka panjang di ICU. Obat-obat anestesi
intra vena yang biasa diberikan mempunyai efek yang tidak berarti
terhadap kadar gula darah kecuali ketamin yang menunjukkan peningkatan
kadar gula akibat efek simpatomimetiknya.
d. Kontrol metabolik perioperatif
Tujuan pokok adalah :
1. Mengoreksi kelainan asam basa, cairan dan elektrolit sebelum pembedahan.
2. Memberikan kecukupan karbohidrat untuk mencegah metabolisme katabolik
dan ketoasidosis.
3. Menentukan kebutuhan insulin untuk mencegah hiperglikemia.
Pembedahan pada penderita DM tipe II tidak meningkatkan risiko, sehingga
hanya membutuhkan sedikit perubahan terapi yang sudah ada sebelumnya.
Gavin mengindikasikan pemberian insulin pada penderita DM tipe II dengan
kondisi seperti di bawah :
a. Gula darah puasa > 180 mg/dl
b. Hemoglobin glikosilasi 8-10 g%
c. Lama pembedahan lebih 2 jam

29
Pada DM tipe I, idealnya kontrol gula darah yang dapat diterima harus tercapai
dalam 2 sampai 3 hari sebelum pembedahan. Untuk pasien-pasien yang kronis,
dengan kontrol metabolik yang buruk, mungkin perlu dirawat di rumah sakit
selama 2 sampai 3 hari untuk penyesuaian , dosis insulin. Untuk bedah minor
cukup dengan pemberian insulin subkutan.Pada pagi hari sebelum pembedahan,
pasien diberikan 1/3 sampai 2/3 dosis insulin normal secara subkutan, bersamaan
dengan pemberian cairan dextrose 5% 100 cc/jam/70 kgBB. Dua pertiga dosis
insulin normal diberikan jika kadar glukosa darah puasa lebih dari 250 mg/dl
setengah dosis insulin normal untuk kadar glukosa antara 120 sampai 250 mg/d!,
dan sepertiga dosis insulin normal untuk kadar glukosa di bawah 120 mg/dl.
Pasien dengan kadar glukosa darah rendah, atau normal tetap membutuhkan
sejumlah kecil insulin untuk mengimbangi peningkatan efek katabolik stres
pembedahan, penurunan metabolisme protein, dan mencegah lipolisis. Tanpa
insulin, DM tipe I berisiko tinggi untuk mengalami ketosis dengan pembedahan.
Terdapat beberapa regimen tatalaksana perioperatif untuk pasien DM. Yang
paling sering : digunakan adalah pasien menerima sebagian -biasanya setengah
dari dosis total insulin pagi hari dalam bentuk insulin kerja sedang:

Tabel: Dua teknik yang umum digunakan untuk tatalaksana


insulin perioperatif pada pasien DM

30
Untuk mengurangi risiko hipoglikemia, insulin diberikan setelah akses intravena
dipasang dan kadar gula darah pagi hari diperiksa. Sebagai contoh, pasien yang
normalnya mendapat 20 unit NPH dan 10 unit regular insulin (RI) tiap pagi dan
kadar gula darahnya 150 mg/dl akan mendapat 15 unit NPH s.c. atau i.m. sebelum
pembedahan bersama-sama dengan infus cairan dextrose 5% (1,5 ml/kg/jam).
Dextrose tambahan dapat diberikan apabila pasien mengalami hipoglikemia (<100
mg/dl).Sebaliknya, hiperglikemia intra operatif (>250 mg/dl) diobati dengan RI
intravena berdasarkan slicing scale. Satu unit RI yang diberikan kepada orang
dewasa akan menurunkan glukosa plasma sebanyak 65 sampai 30 mg/dl. Harus
diingat bahwa dosis ini adalah suatu perkiraan dan tidak bisa dipakai pada pasien
dalam keadaan katabolik (sepsis, hipertermi).
Metode lainnya adalah dengan memberikan insulin kerja pendek dalam infus
secara kontinyu. Keuntungan teknik ini adalah kontrol pemberian insulin akan
lebih tepat dibandingkan dengan pemberian NPH insulin s.c atau i.m. Dan 10
sampai 15 unit RI dapat ditambahkan 1 liter cairan dekstose 5% dengan kecepatan
infus 1 - 1,5 ml/kg/jam (1 unit/jam/70 kg). Pemberian infus dextrose 5% (1
ml/kg/jam) dan insulin (50 unit RI dalam 250 ml NaCl 0,9%) melalui jalur
intravena yang terpisah akan lebih fleksibel. Apabila terjadi fluktuasi gula darah,
infus RI dapat disesuaikan berdasarkan rumus dibawah ini (Rumus Roizen):

31
Gukosa plasma (mg/dl)
Unit perjam =
150
atau
Glukosa plasma (mg/dl)
Unit per jam =
100
pada pemakaian steroid, obesitas, terapi insulin dalam jumlah tinggi dan infeksi
Diperlukan penambahan 30 mEq KCl untuk tiap 1 L dextrose karena insulin
menyebabkan pergeseran kalium intraselular.
Pada pasien yang menjalani pembedahan besar diperlukan
perencanaan yang seksama. Teknik yang dianjurkan oleh Hins
adalah sebagai berikut:
Glukosa 5-10 gr/jam ekuivalen dengan 100 - 200 cc dextrose 5%
perjam diberikan intra vena.Kalium dapat ditambahkan tetapi
hati-hati pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Infus lain diberikan lewat kanul yang sama sebagai berikut:
1. Campur 50 mRI kedalam 500cc 0,9%Nacl.
2. Infuskan dengan larutan 0,5-1 m/jam (5-10 cc/jam
dengan pompa infus).
3. Ukur kadar gula darah tiap jam dan sesuaikan dengan
kebutuhan insulin seperti di bawah ini :

Obesitas dan infeksi berat akan menambah kebutuhan insulin 1,5 - 2 kali lipat Hal
penting yang harus diingat dalam mengelola kadar gula prabedah pada pasien

32
diabetes adalah menetapkan sasaran yang jelas kemudian pemantauan kadar gula
darah untuk menyesuaikan terapi sesuai sasaran.
Regimen lain untuk pemberian infus glukosa insulin dan kalium (GIK)
dikenal dengan regimen Alberti. Pemberiannya dapat terpisah atau bersama-
sama.Berikut ini salah satu teknik GIK. Pagi hari diberikan dosis intemiten
insulin, kemudian 500 cc dextrose 5% ditambah 10 KCl diberikan dengan
kecepatan 2 cc/kg/jam. Infus insufin disiapkan dengan mencampurkan 50 unit RI
ke dalam 250 cc Nad 0,9% sehingga berkonsentrasi 0,2 unit/cc larutan. Sebelum
pemberian dextrose - kalium atau insulin, ukur kadar gula darah kemudian cek
gula darah tiap 2-3 jam, dan berikan dosis insulin sesuai dengan hasil pengukuran
dibawah ini:

Kadar Gula Infus Insulin


< 150 mg/dl 5 cc/jam (1 unit/jam)

150 - 250 mg/dl 10 cc/jam (2 unit/jam)


250 - 300 mg/dl 15 cc/jam (3 unit/jam)
300 - 400 mg/dl 20 cc/jam (4 unit/jam)

DAFTAR PUSTAKA
1. Latief S, Suryadi K, Dachlan M. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi
Kedua. FKUI.

33
2. Fildes J. 2004. Advanced Trauma Life Support for Doctor. Edisi kedelapan.
American College of Surgeons Committee on Trauma.
3. Haznam MW. Pankreas Endokrin dalam Endokrinologi, Percetakan
Angkasa Offset, Bandung
4. Tjokroprawiro A. Diabetes Mellitus Anestesia-Operasi dalam Buku
Naskah Lengkap Konas III IDSAI,
5. McAnulty GR, Robertshaw HJ, Hall GM. Anaesthetic Management of
Patients with Diabetes Mellitus in British Journal of Anaesthesia, London,

34

Vous aimerez peut-être aussi