Vous êtes sur la page 1sur 18

BAB 6

PEMBAHASAN

Pembahasan hasil penelitian ini akan memaparkan secara lebih rinci


interpretasi dan diskusi hasil penelitian dengan merujuk kepada tujuan
penelitian, tinjauan literatur dan juga penelitian yang ada sebelumnya. Dari
hasil pembahasan juga akan memberi konstribusi berupa implikasi yang
realitis bagi pelayanan keperawatan. Pada akhirnya, melalui pembahasan
ini dapat mengidentifikasi keterbatasan-keterbatasan selama penelitian.

6.1 Interpretasi, Aplikasi dan Diskusi Hasil Penelitian

Interprestasi dan diskusi hasil penelitian meliputi gambaran usia, jenis


kelamin, jenis dianosa medis, riwayat merokok, nilai kadar albumin, nilai
indeks massa tubuh, kejadian luka tekan dengan posisi baring miring
30dan massage dengan Virgin Coconut Oil (VCO). Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya di bab 1, adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasi karakteristik pasien dalam kelompok kontrol dan
intervensi, mengobservasi kejadian luka tekan pada pasien sesudah
dilakukan pengaturan posisi baring miring 30 dan massage dengan Virgin
Coconut Oil (VCO) pada kelompok kontrol dan intervensi, melihat
perbedaan angka kejadian luka tekan pada masing-masing kelompok,
menganalisa hubungan masing-masing variabel confounding terhadap
kejadian luka tekan serta mengidentifikasi variabel confounding yang
paling berpengaruh terhadap kejadian luka tekan.

6.1.1 Karakteristik Respoden Pasien Tumor Otak

Usia adalah salah satu karakteristik yang dapat menggambarkan kondisi


seorang individu. Hasil penelitian ini menunjukkan pada kelompok
intervensi diketahui usia responden < 50 tahun berjumlah 16 orang dan
50 tahun berjumlah 7 orang, Sedangkan pada kelompok kontrol usia

responden < 50 tahun berjumlah 12 orang dan 50 tahun berjumlah 11


orang. Pengkatagorian usia 50 digunakan karena nilai rata-rata dari kedua
kelompok 50 tahun.

Hal ini sejalan dengan penelitian kohort yang dilakukan Denmark usia
rata-rata tumor otak 53, 2 tahun (Jrgensen et al., 2016) dan yang
dilakukan Sheerwood (2011) usi rata-rata 50,3 tahun. Merujuk pada hasil
penelitian-penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tumor otak
ditemukan pada pasien dengan kelompok usia 50 tahun. Ghosh et al (2014)
membagi tumor otak menjadi 2 yaitu tumor otak primer dan tumor otak
sekunder.
Karakteristik jenis kelamin seseorang dapat menggambarkan pola hidup
seorang individu bahkan sangat sering dilakukan generalisasi. Contohnya
individu dengan jenis kelamin laki-laki dipandang gaya hidupnya yang
mayoritas adalah perokok, sering mengkomsumsi alkohol dimana hal ini
dapat berkontribusi dalam terjadinya kanker paru. Pada hasil penelitian
telah disajikan bahwa perbandingan pasien tumor otak berjenis kelamin
responden paling banyak berjenis kelamin adalah perempuan 15 orang
atau 65,2% pada kelompok intervensi dan 13 atau 56,5% pada kelompok
kontrol. Lebih banyaknya responden perempuan yang terlibat dalam
penelitian ini dikarenakan penelitian dilakukan pada responden dengan
diagnosa tumor otak primer dan hasil metastase. Rata-rata pasien yang
dijadikan responden adalah paisen dengan metastase sebagian besar kanker
payudara sebanyak 33 responden (71,7%).

Penelitian lain mengenai tumor otak didapatkan sesuai dengan hasil


penelitian yang dilakukan oleh Campeau dimana dilihat dari jenis kelamin
jumlah laki-laki sebanyak 15,8 per 100.000 sedangkan perempuan
sebanyak 17,2 per 100.000(Campeau et al., 2009), namun berbeda dengan
penelitian yang dilakukan oleh Palmieri pada tahun 2007 diagnosa tumor
otak sering terjadi pada laki-laki 1,5: 1 antara laki-laki dan perempuan.

Karakteristik responden berdasarkan diagnosa medis tampak bahwa


responden terbanyak adalah responden dengan masalah metastase terutama
metastase dari payudara. Pasien metastase ke otak baik dari payudara,
paru-paru maupun tumor otak itu sendiri umumnya mengalami gangguan
fungsional berupa gangguan sensorik, motorik, gangguan panca indera
bahkan kemampuan kognitif, salah satunya keterbatasan gerak dan
kemampuan untuk berubah posisi, sehingga pasien tumor otak harus tirah
baring dalam waktu yang cukup lama yang dapat mengakibatkan
terjadinya penekanan pada area-area tertentu dan mendukung kejadian
luka tekan. Penelitian ini dilakukan di 3 ruangan pada ruangan Mawar,
Teratai dan Cempaka yang umumnya berisiko untuk mengalami luka tekan
adalah pasien dengan kasus tumor otak atau pasien dengan tumor lain yang
telah bermetastase ke otak.

Hasil penelitian terhadap karakteristik responden berdasarkan kategori


nilai kadar albumin pada kelompok intervensi menunjukkan distribusi
frekuensi responden pada kelompok intervensi diketahui nilai kadar
albumin 3 gr/dL 10(43,5%) responden, nilai kadar albumin < 3 gr/dL 13
(56,5%) responden kelompok intervensi. Sedangkan pada kelompok
kontrol nilai kadar albumin 3 gr/dL 11 (47,8%) responden, nilai kadar
albumin < 3 gr/dL 12 (52,2%) responden.
Hasil penelitian terhadap karakteristik responden berdasarkan kategori
Indeks Massa Tubuh (IMT) pada kelompok intervensi menunjukkan
distribusi frekuensi responden pada kelompok intervensi diketahui IMT
18 kg/m 19 responden, IMT < 18 kg/m 4 responden kelompok

intervensi. Sedangkan pada kelompok kontrol IMT 18 kg/m 19


responden, IMT < 18 kg/m 4 responden dengan arti sama banyaknya.

Indeks Massa Tubuh adalah salah satu ukuran antropometri untuk menilai
status kecukupan nutrisi seseorang. Allman et al (1995), Bergstorm &
Bradden (1992), Brandeis et al (1990), Berlowitz & Wilking (1989),
Chernoff (1996) dalam Bryant (2007) menyatakan pada fasilitas perawatan
jangka panjang gangguan intake nutrisi, intake rendah protein,
ketidakmampuan makan sendiri dan penurunan berat badan berperan
sebagai prediktor independent untuk terjadinya luka tekan. Oleh karena itu
pengkajian status nutrisi penting bagi pasien yang berisiko mengalami luka
tekan salah satunya dengan ukuran antropometri yaitu BB dan Indek
Massa Tubuh

Meskipun beberapa ukuran penting lain seperti data laboratorium kadar


Hb, Protein, Albumin, dan Vitamin juga digunakan namun ukuran IMT
paling mudah dan sederhana yang dapat digunakan. Peranan nutrisi amat
penting dalam perkembangan pembentukan luka tekan terutama
peranannya untuk mempertahankan toleransi jaringan dan regenerasi.
Nutrien yang dianggap berperan dalam menjaga toleransi jaringan adalah
protein, vitamin A, C, E dan Zinc.

Malnutrisi juga dihubungkan dengan terganggunya regenerasi jaringan,


reaksi inflamasi, meningkatkan komplikasi post operatif, meningkatkan
risiko infeksi, sepsis, kematian dan memanjangnya hari perawatan (Strauss
& Margolis, 1996; Thomas, 1997 dalam Bryant, 2007). Defesiensi vitamin
A, C, E kemungkinan berkontribusi terhadap berkembangnya luka tekan.
Vitamin A berperan dalam menjaga integritas epitel, sintesis kolagen,
proteksi terhadap infeksi (Flanigan, 1997; Thomas, 1997 dalam Bryant,
2007). Defesiensi vitamin C berhubungan dengan menurunnya produksi
kolagen, menurunnya system imun dan mengakibatkan kapiler menjadi
fragile. Defesiensi vitamin E menurunkan imunitas dan meningkatkan
kerusakan jaringan oleh radikal bebas. Pasien yang dirawat dengan kanker,
penyakit kritis dan gangguan gastrointestinal berisiko mengalami
penurunan BB selama dirawat (Stotts, 1987 dalam Reifsnyder, 2005). Pada
saat penelitian ada 1 responden dengan IMT kurang yang mengalami luka
tekan. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya responden dengan IMT
kurang perlu diperhatikan lebih lanjut sebagai prediktor independent untuk
mengalami luka tekan.

Merokok diduga sebagai prediktor terbentuknya luka tekan (Salztberg et


al, 1989 dalam Bryant (2000)). Insiden luka tekan lebih tinggi pada
perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. Hasil penelitian ini
menunjukkan karakteristik responden berdasarkan riwayat merokok pada
kelompok intervensi, dari 23 responden yang tidak merokok sebanyak 15
orang (65,2%), merokok 8 (34,8%). Pada kelompok kontrol dari 23
responden yang tidak merokok sebanyak 18 orang (78,3%), merokok
sebanyak 5 orang (21,7%). Dengan demikian, responden dengan riwayat
kebiasaan merokok rendah di kedua kelompok. Afinitas haemoglobin
dengan nikotin dan meningkatnya radikal bebas diduga sebagai penyebab
risiko terbentuknya luka tekan pada perokok.

Perawat sebagai pemberi layanan kesehatan yang utama diharapkan lebih


peka dan mampu mendeteksi individu-individu yang masuk dalam
kelompok resiko tinggi untuk terjadinya luka tekan guna mencegah
terjadinya prognosa dan komplikasi yang lebih buruk.

Perawat sebagai frontline dalam pelayanan kesehatan memegang peranan


yang sangat penting, khususnya dalam melakukan pengkajian awal pasien,
perawat dituntut inisiatif mengidentifikasi secara jelas karakteristik pasien
yang dirawatnya dan potensi yang mungkin dapat terjadi selanjutnya
sehingga dapat melakukan tindakan preventif dini (Benow, 2009)

6.1.2 Pengaruh Posisi Baring Miring 30 derajat dan Massage dengan Virgin
Coconut Oil (VCO) Terhadap Kejadian Luka Tekan

Pasien tumor otak memiliki gangguan fungsional dari sistem saraf pusat berupa
gangguan sensorik, motorik, gangguan panca indera bahkan kemampuan kognitif
akan mengalami kelemahan fisik dan keterbatasan dalam pemenuhan aktifitas
sehari-hari sehinggga pasien tumor otak harus tirah baring dalam waktu yang
cukup lama yang mengakibatkan penekanan pada area-area tertentu dan
mendukung terjadinya luka tekan. Itulah sebabnya untuk mencegah terjadinya
kerusakan kulit dan jaringan dibawahnya membutuhkan pengkajian yang sering
terlebih lagi pada daerah yang terdapat tonjolan tulang yang menjadi tumpuan dari
tubuh. Selanjutnya memberikan posisi baring miring kiri dan kanan yang teratur,
terjadwal dan memberikan massage dengan Virgin Coconut Oil (VCO) setelah
mandi dapat mencegah kerusakan kulit.

Virgin Coconut Oil dikombinasikan dengan pemakaian secara massage, dapat


meningkatkan sirkulasi aliran darah. Meskipun massage masih kontroversi,
namun melakukan hanya massage yang kuat dan didaerah tonjolan tulang yang
perlu dihindarkan, sedangkan massage secara ringan di bagian lain diperbolehkan.
Penggunaan VCO dengan massage tidak hanya meningkatkan relaksasi otot,
meningkatkan sirkulasi, tetapi juga meningkatkan absorbsi kandungan biologis
VCO melalui kulit. Molekul medium chain fatty acids (MCFA) yang kecil mudah
diabsorbsi oleh permukaan kulit. Efek pelumas yang dimiliki oleh VCO akan
menghindarkan kulit yang dimassage dari cidera gesekan akibat massage.

Pengaturan posisi merupakan komponen yang paling berharga dari pencegahan


luka tekan dan hendaknya dilakukan seefektif mungkin dan seefisien mungkin
(Young, 2004). Pengaturan posisi baring miring 30 derajat adalah teknik reposisi
untuk membebaskan adanya tekanan dan mencegah kontrak dengan kulit yang
dapat mengakibatkan luka tekan pasien dengan cara menempatkan tubuh pasien
persis ditengah tempat tidur, dengan menggunakan bantal untuk menyanggah
kepala dan leher. Selanjutnya menempatkan satu bantal di bawah bokong di atas
matras, dengan cara miringkan panggul setinggi 30 derajat. Bantal yang
berikutnya ditempatkan memanjang diantara kedua kaki (Young, 2004)

Pemberian bahan topikal yang berfungsi sebagai pelembab akan memberikan


perlindungan terhadap kulit dari kerusakan. Menurut pendapat peneliti minyak
hypoalergenic seperti VCO. Proses pembuatan VCO yang diolah dengan minimal
pemanasan atau tanpa pemanasan sama sekali dapat menghasilkan minyak kelapa
dengan tekstur lembut dan berwarna jernih serta beraroma kelapa segar,
disamping itu VCO juga mengandung Vitamin E. VCO efektif dan aman
digunakan sebagai moisturizer untuk meningkatkan hidrasi kulit, dan
mempercepat penyembuhan pada kulit (Agero and Verallo-Rowell, 2004 Lucida,
Salman & Hervian, 2008 ). Hal ini sesuai dengan pernyataan Bryant (2007) bahwa
pelembab akan mempertahankan hidrasi epidermis sehingga meminimalkan efek
gesekan dan shear. Penelitian pemanfaatan sebagai bahan kosmetik menunjukkan
VCO bagus untuk kulit. Selain itu, Siswono (2006) juga menyatakan VCO
diyakini baik untuk kesehatan kulit karena mudah diserap kulit dan mengandung
vitamin E. Dari hasil wawancara tidak terstruktur dengan beberapa responden
penelitian pada kelompok intervensi tentang pengalaman, kesan dan responnya
ketika diberikan VCO secara topikal setelah mandi, mereka menyatakan VCO
mudah diserap dan tidak lengket di kulit sehingga umumnya responden merasakan
manfaatnya.

Penggunaan secara topikal langsung pada kulit diyakini sebagai cara terbaik untuk
mendapatkan manfaat VCO. Cara ini akan mengembalikan elastisitas kulit dengan
cepat dan efektif. Trevtick & Miton (1999) dalam penelitiannya menyimpulkan
Vitamin E dari VCO yang diberikan secara topikal dapat terserap dalam 24 jam.
Wang dan Quinn (1999) menyatakan vitamin E adalah zat yang berfunsgi sebagai
stabilizer membrane sel, melindungi kerusakan sel dari radikal bebas dan sebagai
simpanan lemak dalam organel sel. Selain itu VCO mempunyai kemampuan
antioksidan, antimikrobial, anti fungi, melindungi kulit dari bahaya radikal bebas
dan degenerasi jaringan ( Coconut Research Center, 2004). Kulit yang sehat
mempunyai pH permukaan berkisar 5 yang dibentuk oleh aktivitas sebum dan
mikroba kulit, lingkungan ini melindungi kulit dari bahaya mikroorganisme
patogen, Tanpa sebum kulit mencadi kering dan retak. Sebum sendiri terdiri dari
asam lemak rantai sedang seperti yang ada pada VCO. Penelitian Ogbolu, Oni,
Daini dan Oloko (2007) secara invitro dengan media agar-agar membuktikan
VCO dapat digunakan sebagai anti fungi pada candida yang resisten dengan obat.
Pasien dengan kelembaban tinggi karena keringat atau inkontinen bermasalah
dengan risiko infeksi jamur pada kulit, dengan demikian peneliti berasumsi
pemberian VCO secara topikal dapat menghambat infeksi jamur sebagai faktor
yang menurunkan resistensi jaringan

Price (2003) menyatakan minyak kelapa murni berbeda dengan minyak goreng
pada umumnya dimana dalam minyak kelapa murni unsur antioksidan dan
vitamin E masih dipertahankan dan sebaliknya pada minyak goreng biasa
sehingga bila digunakan untuk perawatan kulit minyak goreng biasa akan
menciptakan radikal bebas di permukaan kulit dan menyebabkan kerusakan
jaringan konektif. Lotion biasa yang sering digunakan untuk perawatan kulit
umumnya menggunakan komponen air sehingga ketika dipakai akan memberikan
kesegaran namun ketika kandungan airnya hilang karena penguapan maka kulit
menjadi kering. Pemanfaatan VCO sebagai bahan dasar krim pelembab karena
VCO banyak mengandung pelembab alami dan antioksidan yang penting untuk
perawatan kulit dan mampu menghasilkan emulsi yang relatif stabil dan pH
mendekati nilai yang diinginkan sebagai bahan pelembab kulit (Nilamsari, 2006).

Price (2003) menyatakan dipakai secara topikal atau dipakai ke dalam, minyak
kelapa membantu kulit tetap muda, sehat dan bebas dari penyakit. Asam lemak
antiseptik pada minyak kelapa membantu mencegah infeksi jamur dan bakteri jika
ditambahkan dalam diet atau dipakaikan langsung pada kulit. Ketika di pakaikan
pada kulit, asam lemak yang dikandung minyak kelapa tidak langsung berfungsi
sebagai antimikroba namun ia akan bereaksi dengan bakteri-bakteri kulit menjadi
bentuk asam lemak bebas seperti yang terkandung dalam sebum (sebum
mengandung uric acid dan asam laktat). Ketika mandi, sabun akan menghilangkan
keringat, minyak dan zat-zat asam pelindung kulit oleh karena itu sebelum
keringat dan minyak dikeluarkan kembali oleh kulit, kulit akan kering dan peka
terhadap mikroba-mikroba berbahaya. Memberikan pelembab setelah mandi akan
membuat kulit kembali segar. Pelembab yang terbuat dari minyak kelapa murni
cepat membangun hambatan mikrobial dan asam alami. Dengan demikian
memakai minyak kelapa murni setelah mandi akan bermanfaat bagi kesehatan
kulit. Beberapa responden penelitian pada kelompok kontrol juga menyatakan,
pemakaian VCO tidak menimbulkan sensasi rasa panas di bagian punggung, area
bokong dan bahu pada pasien yang berbaring terlentang.

Meskipun melakukan perawatan kulit dengan memberikan pelembab bukan


intervensi utama untuk mencegah terbentuknya luka tekan, namun pencegahan
luka tekan hanya dengan melakukan perubahan posisi tanpa upaya
mempertahankan toleransi jaringan kulit terhadap tekanan tidak akan memberikan
hasil yang maksimal. Upaya mempertahankan atau memperbaiki elastisitas
jaringan kulit, mencegah kulit kering atau lembab berlebihan dan menjaga
kebersihan kulit mendukung intervensi pencegahan luka tekan secara maksimal.
Potter & Perry (2005) menyatakan setelah kulit dibersihkan, gunakan pelembab
untuk melindungi epidermis dan sebagai pelumas tapi tidak boleh terlalu pekat.
Jika pasien mengalami inkontinensia atau mendapatkan makanan melalui sonde
sebaiknya pasien selalu dibersihkan dan area yang terpapar cairan diberi lapisan
pelembab sebagai pelindung. Reddy et al (2006) dalam Dealey (2009)
merekomendasikan penanganan kulit kering pada sakrum secara khusus dengan
menggunakan pelembab sederhana. Penting untuk memberikan pelembab secara
teratur untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal. Mengurangi lingkungan
yang menyebabkan kulit kering dan berkurangnya kelembaban kulit seperti suhu
dingin, dan hidrasi tidak adekuat. Kulit kering meningkatkan risiko terbentuknya
fissura dan rekahan stratum korneum. Penggunaan pelembab topikal bermanfaat
untuk mempertahankan kelembaban kulit dan keutuhan stratum corneum.

Penelitian ini menunjukkan ada pengaruh antara perlakuan posisi baring miring
30 derajat dan massage dengan Virgin Coconut Oil (VCO) dengan kejadian luka
tekan, dimana ada sebanyak 9 (39,1%) responden yang tidak diberi perlakuan
posisi baring miring 30 derajat mengalami luka tekan. Sedangkan diantara
responden yang diberikan intervensi posisi baring miring 30 derajat dan masaage
dengan Virgin Coconut Oil (VCO), terdapat (8,7%) yang terjadi luka tekan. Hasil
uji statistk diperoleh nilai p= 0.035, disimpulkan bahwa ada pengaruh yang
signifikan antara responden dalam kelompok kontrol dan kelompok intervensi
dengan kejadian luka tekan. Bahwa bila dilihat dari hasil OR, pasien yang
diposisikan baring miring 30 derajat tanpa massage dengan Virgin Coconut Oil
(VCO) beresiko 6,750 kali lebih tinggi untuk terjadi luka tekan dibandingkan
pasien yang diposisikan baring miring 30 derajat dan massage dengan Virgin
Coconut Oil (VCO) .

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Defloor et al tahun 2007 menyatakan
perubahan posisi setiap 4 jam diatas matras busa khusus mampu menurunkan
insiden luka tekan dibandingkan dengan reposisi setiap 2 jam di atas kasur
standar. Hasil penelitian Woodhouse (2015) yang merekomendasikan reposisi
untuk kelompok berisiko secara berkala bertujuan untuk mendistribusikan
tekanan, mengurangi penekanan secara terus menerus. Hasil penelitian Tom
Defloor yang pernah meneliti sepuluh posisi yang berbeda-beda saat pasien diatas
tempat tidur, dari kesepuluh posisi itu, didapatkan bahwa tekanan yang paling
minimal dicapai saat diposisikan 30 derajat (Defloor, 2000).. Posisi ini terbukti
untuk menjaga posisi pasien terbebas dari penekanan pada area trokanter dan
sakral (NPUAP, 1996).

Hal ini juga disukung oleh penelitian oleh Seiler tahun 2005 (Vaanderwee, et al,
2006), dimana luka tekan pada area trokanter dan sakral dapat dieliminir dengan
memiringkan pasien posisi mring 30 derajat secara teratur dan menyangganya
dengan matras yang sangat lembut.

Hal diatas didukung oleh penelitian oleh Colin, dimana saat pasien diposisikan
miring sampai dengan 90 derajat, menimbulkan kerusakan suplai oksigen yang
dramatis pada area trokanter dibandingkan dengan diposisikan miring hanya
dengan 30 derajat (Colin, 1996).

Peneliti melihat bahwa pengaruh pemberian posisi baring miring ini sangat
bermakna sekali dalam mencegah terjadinya luka tekan. Hasil penelitian terdapat
sebanyak 9 responden dari kelompok yang tidak diberi perlakuan posisi miring 30
derajat dan massage dengan Virgin Coconut Oil (VCO) akhirnya mengalami luka
tekan. Bila dibandingkan dengan responden yang diberi perlakuan posisi miring
30 derajat dan massage dengan Virgin Coconut Oil (VCO) diperoleh 2 responden
dari 23 total responden mengalami luka tekan.

Peneliti mencoba mengidentifikasi karakteristik responden yang terjadi luka


tekan pada kelompok yang diberi perlakuan posisi baring miring 30 derajat dan
massage dengan Virgin Coconut Oil (VCO) . Hal ini mendorong peneliti untuk
menggali lebih jauh faktor yang mungkin berkonstribusi terhadap terjadinya luka
tekan diluar dari faktor confounding yang datanya sama dengan responden
lainnnya. Faktor-faktor yang teridentifikasi oleh peneliti baik yang terukur dan
tidak terukur. Hal yang dapat di ukur yakni riwayat lamanya rawat inap pasien
dibandingkan dengan responden lainnya yakni hari rawat ke 5. Lama rawat inap
ini memang agak berbeda jauh dengan responden yang rata- rata dilakukan
penelitian pada hari rawat ke 3. Lama rawat inap dan faktor kondisi imobilisasi
ini kemungkinan menjadi faktor yang mungkin berpengaruh menjadi pemicu
terjadinya luka tekan (Fisher, Wells and Harrison, 2004). Pasien yang mengalami
luka tekan ini juga memiliki riwayat penyakit diabetus melitus, ini memilik dua
kali lebih beresiko untuk mendapat penyakit kardivaskuler. Penyakit
kardiovaskuler ini berhubungan dengan distribusi oksigen, kondisi ini
berhubungan dengan tekanan oksigen jaringan yang rendah yang merupakan
penyebab utama dari ulkus tekanan.
Tujuan utama pemberian asuhan keperawatan adalah bagaimana memenuhi
kebutuhan dasar individu dan mampu memberikan solusi yang tepat atas tidak
terpenuhinya kebutuhan dasarnya. Hal ini bisa tercapai apabila perawat mampu
berempati terhadap pasien yang dihadapinya. Pada pasien tumor otak, mereka
tidak mampu mengkomunikasikan secara sempurna kemauan, sikap dan
tindakannya. Perawat hendaknya lebih empati atas keterbatasan yang dimiliki
pasien meskipun pasien tidak mampu untuk menyampaikannya.dalam kondisi
imobilisasi, sebaiknya perawat lebih peka menilai kebutuhan perubahan posisi
pasien. Dengan motivasi dan inisiatif, perawat dapat merancang intervensi yang
tepat sesuai dengan tampilan kondisi pasien. Dengan motivasi dan inisiatif,
perawat dapat merancang intervensi yang tepat sesuai dengan tampilan kondisi
pasien.

Umumnya pasien dengan kesadaran penuh dan tidak mengalami gangguan


persepsi sensori dapat menyatakan adanya perasaan tidak nyaman berupa nyeri
dan panas pada daerah yang tertekan, namun sebaliknya pasien dengan kesadaran
menurun tidak mampu mengkomunikasikan keluhan tersebut dan pasien dengan
gangguan persepsi sensori tidak mampu mengidentifikasi adanya perubahan
sensasi karena tekanan. Peneliti berpendapat, untuk pasien-pasien dengan
kesadaran penuh tanpa gangguan persepsi sensori tetapi tidak mampu merubah
posisi secara mandiri perlu bantuan perawat untuk merubah posisi secara
terjadwal dan edukasi bagaimana pasien tersebut dapat merubah posisi dengan
mandiri secara aman. Pasien dengan kesadaran menurun memerlukan pengawasan
ketat secara periodik akan kemungkinan terjadi luka tekan akibat posisi menetap
atau restrain. Pasien dengan gangguan persepsi sensori perlu dibuatkan jadwal
merubah posisi dengan atau tanpa bantuan misalnya menggunakan timer dengan
bunyi alarm setiap 4 jam dan 2 jam atau modifikasi cara lain.

Bryant (2007) menyatakan kekuatan yang teraplikasi pada bagian eksternal kulit
seperti shear, gesekan dan robekan kulit mengakibatkan kerusakan mekanik.
Masing-masing kekuatan tersebut bisa berdiri sendiri atau kombinasi sebagai
penyebab trauma mekanis. Shear ditimbulkan oleh interaksi antara kekuatan
tangenital dan resistensi permukaan kulit. Ketika posisi tubuh turun ke arah bawah
sementara kulit pada posisi menetap maka akan terjadi tarikan dengan arah gaya
yang berlawanan dengan gravitasi, hal ini menyebabkan pembuluh darah teregang
dan mengalami angulasi dan menimbulkan trombus-trombus kecil di pembuluh
darah dan kerusakan jaringan. Shear diduga berkontribusi terhadap terjadinya
kerusakan jaringan baik dangkal maupun dalam pada luka tekan. Tindakan utama
untuk meminimalkan shear dapat dilakukan dengan memberikan posisi elevasi
kepala tempat tidur < 30 dengan demikian dapat meminimalkan tarikan pada
sakral.

Cidera kulit oleh kekuatan shear menghasilkan gesekan dua permukaan secara
bersamaan yaitu permukaan kulit pasien dengan permukaan tempat tidur. Bryant
(2007) menyatakan cidera jaringan kulit hampir selalu disebabkan karena dua
mekanisme ini. Adanya shear hampir diapstikan disertai dengan gesekan. Cidera
karena mekanisme ini paling sering terjadi di daerah bahu dan tumit karena pasien
dengan sangat mudah mengalami gesekan antara permukaan kulit di daerah
tersebut dengan permukaan tempat tidur. Karakteristik cidera karena gesekan
umumnya dangkal dan terbatas pada epidermis. Gambaran yang nyata cidera
karena kekuatan ini pada responden penelitian adalah cidera yang terjadi pada
daerah pergelangan kaki dan tangan pasien cidera kepala yang dilakukan restrain
dan cidera daerah tumit pada pasien dengan traksi. Mekanisme terjadinya
dibentuk oleh gesekan antara permukaan kulit dengan alat restrain ( terbuat dari
kassa) dan antara permukaan kulit tumit dengan permukaan linen tempat tidur.
Bryant (2007) menyatakan tindakan pencegahan untuk meminimalkan efek shear
dan gesekan adalah dengan menggunakan proteksi memakai kulit domba untuk
alas bahu atau tumit dan memberikan pelembab pada area yang mudah terkena
untuk mempertahankan hidrasi epidermis. Kedua tindakan ini diyakini akan
menurunkan gesekan dan dengan demikian juga menurunakan shear.

6.1.3 Hubungan Variabel-Variabel Confounding dengan Kejadian Luka


Tekan pada Kelompok Intervensi

1. Hubungan Karakteristik Usia Responden dengan Luka Tekan

Pasien yang sudah tua memiliki resiko yang tinggi untuk terkena luka tekan
karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan penuaan. Penuaan
mengakibatkan kehilangan otot, penurunan kadar serum albumin, penurunan
respon inflamatori, penurunan elastisitas kulit. Perubahan ini berkombinasi
dengan faktor penuaan lain akan membuat kulit menjadi berkurang toleransinya
terhadap tekanan, pergesekan dan tenaga yang merobek.

Hasil analisis hubungan antara usia dengan kejadian luka tekan pada kedua
kelompok diperoleh hasil uji statistik nilai p=0.526. Jadi, secara statistik tidak ada
perbedaan yang bermakna mempengaruhi kejadian luka tekan pada pasien tumor
otak yang diberikan posisi baring miring 30 derajat dan massage dengan Virgin
Coconut Oil (VCO).

Ayello & Lyder (2008) menyatakan usia diatas 70 tahun sebagai faktor resiko
terjadinya luka tekan. NP-EPUAP (2009), menjelaskan bahwa usia bukan
merupakan satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap kejadian luka tekan
karena masih banyak faktor-faktor lain seperti nutrisi, kelembaban kulit, kondisi
perfusi dan oksigen sebagai pemicu luka tekan. Capon et al (2006) melakukan
penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dan prevalensi
luka tekan di Roma Italia, pasien usia > 84 tahun signifikan mengalami luka tekan
dengan nilai p= 0,002, sedangkan pada umur < 75 tahun tidak ada hubungan yang
signifikan dengan p=0,698.

Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Defloor et al (2004)


tentang kejadian luka tekan setelah menguji beberapa kombinasi pengaturan posisi
dan penggunaan alat penyanggah pada pasien dengan rata-rata usi 84 tahun
diperoleh nilai p=0,83 (p>0,05).

Disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan anatra usia dengan
kejadian luka tekan. Hal ini senada dengan hasil penelitian ini dimana tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian luka tekan.

Peneliti melihat bahwa faktor usia lanjut memang dapat berpengaruh terhadap
kejadian luka tekan. Namun, bila dikaitkan dengan karakteristik responden
penelitian ini, mayoritas pasien ada dalam usia < 50 tahun. Dapat diasumsikan
dalam penelitian ini, usia responden tidak ada hubungan yang signifikan untuk
terjadi luka tekan sama seperti hasil penelitian Capon et al (2007) yang
menemukan kejadian luka tekan tidak memiliki hubungan yang signifikan pada
usia < 75 tahun, namun memiliki hubungan yang signifikan pada umur > 84
tahun.

2. Hubungan Riwayat Merokok dengan Luka Tekan

Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan memiliki
efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah, afinitas haemoglobin dengan
nikotin dan meningkatnya radikal bebas diduga sebagai penyebab resiko
terbentuknya luka tekan pada perokok.

Berdasarkan hasil analisis hubungan antara riwayat merokok dengan kejadian luka
tekan diperoleh bahwa didapat 1 (6,7%) responden mempunyai riwayat merokok
mengalami kejadian luka tekan. Sedangkan pada responden yang tidak
mempunyai riwayat merokok tidak mengalami kejadian luka tekan di dapat 1
(12,5%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=1.000 (p>0,05) maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan proporsi kejadian luka
tekan antara responden dengan riwayat merokok dan yang tidak mempunyai
riwayat merokok. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR 2,000 (95% CI
0,108-36,954) artinya responden yang tidak merokok berpeluang terlindungi
2,000 kali untuk mengalami luka tekan dibandingkan dengan responden yang
merokok dengan estimasi rentang kepercayaan 0,108-36,954. Merokok diduga
sebagai prediktor terbentuknya luka tekan (Salztberg et al, 1989 dalam Bryant
(2007)). Insiden luka tekan lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan yang
bukan perokok. Afinitas haemoglobin dengan nikotin dan meningkatnya radikal
bebas diduga sebagai penyebab risiko terbentuknya luka tekan pada perokok.
Merokok sigaret dilaporkan berkorelasi positif dengan adanya luka tekan pada
kelompok pasien cidera spinal (Lamid & El Ghatit, 1983 dalam Bryant, 2007).
Makin banyak jumlah rokok yang di konsumsi sehari makin meningkatkan
kejadian luka tekan. Menurut pendapat peneliti, tidak ditemukannya perbedaan
yang signifikan kejadian luka tekan pada perokok dan bukan perokok
kemungkinan disebabkan karena jumlah perokok dan tidak perokok dalam
penelitian ini tidak setara. Senyawa berbahaya dalam rokok mengakibatkan
kerusakan endotel pembuluh darah dan mengakibatkan pembuluh darah perokok
lebih fragil. Tekanan terus menerus akan merusak pembuluh darah dan
menghambat sirkulasi sehingga terjadi iskemia dan hipoksia jaringan (Bryant,
2007). Perlu dilakukan penelitian pada jumlah sampel yang setara antara perokok
dan bukan perokok untuk pembuktian lebih lanjut adanya perbedaan yang
signifikan kejadian luka tekan pada perokok dan bukan perokok. Menurut hasil
penelitian Suriadi et al (2002) ada hubungan yang signifikan antara merokok
dengan luka tekan. Pada pasien yang mengkomsumsi rokok insidennya lebih
tinggi dibanding yang jumlahnya lebih sedikit (Bryant, 2000). Selama penelitian,
peneliti mendapatkan informasi riwayat merokok yang bervariasi dari tiap-tiap
responden. Ada responden yang sebelum masuk ke rumah sakit masih dalam
kondisi merokok, namun banyak juga responden yang sudah berhenti dari rokok
3-20 tahun sebelum masuk masuk rumah sakit. Sehingga peneliti berpendapat
bahwa faktor rokok secara substansi akan memberikan efek yang berbeda-beda
pada masing-masing responden baik secara kuantitas dan kualitas merokoknya.
Distribusi responden dengan riwayat merokok dan tidak merokok jumlahnya
seimbang. Hal ini dapat menjadi salah saatu faktor kurang bermakna hubungan
rokok dengan kejadian luka tekan.

3. Hubungan Kadar Albumin Responden dengan Luka Tekan

Hipoalbuminemia mengakibatkan jaringan lunak mudah sekali rusak,


mengakibatkan edema, mengganggu distribusi oksigen dan transport nutrisi,
meningkatkan sampah metabolik yang meningkatkan resiko luka tekan.

Analisa hubungan antara kadar albumin pada kedua kelompok responden yang
memiliki kadar albumin < 3 gr/dL diperoleh bahwa ada sebanyak 1 (7,7%)
responden mengalami luka tekan. Sedangkan pada responden yang memiliki
kadar albumin 3 gr/dL ditemukan 1 (10%) juga mengalami luka tekan. Hasil
uji statistik dengan chi square didapat nilai p=1,000, ini menunjukkan kadar
albumin tidak berpengaruh terhadap kejadian luka tekan pada kelompok
intervensi. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR 0,75 (95%CI 0,041-13,677)
artinya responden yang memiliki kadar albumin < 3 gr/dL berpeluang 0,75 kali
untuk mengalami luka tekan dibandingkan dengan responden yang memiliki
kadar albumin 3 gr/dL dengan estimasi rentang kepercayaan 0,041-13,677.

Menurut penelitian Guenter tahun 2000 (Sari, 2007), hipoalbuminemia,


kehilangan berat badan, dan malnutrisi umumnya diidentifikasi sebagai faktor
predisposisi untuk terjadinya luka tekan. Pada pasien dengan tumor otak
berhubungan dengan penurunan berat badan, rendahnya kadar albumin, dan intake
makanan yang tidak mencukupi.

Peneliti sependapat bahwa pasien dalam kondisi hipoalbumin, jaringan lunak


pasien mudah sekali rusak. Kondisi ini akan mempercepat terjadinya kerusakan
kulit akibat rapuhnya jaringan dan memicu luka tekan. Terkait dengan tujuan
penelitian dimana luka tekan yang diobervasi kondisi kulit pada responden yang
masih utuh, belum ditemukan adanya jaringan terbuka yang terekspos dan
terpapar dan menyebabkan pengeluaran albumin yang berlebihan seperti
karakteristik luka tekan stadium 3 dan 4. Sehingga dalam hal ini pasien dengan
jaringan kulit yang masih utuh akan lebih rendah resikonya untuk mengalami
penurunan kadar albumin. Selain itu kadar albumin pada pasien kanker cenderung
menurun terutama pada pasien yang mengalami luka kanker, sehingga untuk
mencegah semakin turun kadar albumin diberikan asupan nutrisi putih telur dan
penambahan albumin secara enteral.

4. Hubungan Nilai IMT Responden dengan Kejadian Luka Tekan

IMT merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang
dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan
(WHO, 2004). IMT pada pasien dengan indeks massa tubuh rendah cenderung
akan mengalami penekanan tonjolan tulang lebih besar dibandingkan pasien yang
mempunyai indeks massa tubuh yang lebih tingggi.

Dari hasil nalisis hubungan antara indeks massa tubuh dengan kejadian luka tekan
diperoleh hanya 1 (25%) responden dengan nilai IMT < 18 kg/m yang
mengalami luka tekan dan 1 (5,3%) responden dengan nilai IMT 18 kg/m juga
mengalami luka tekan . Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,324, dapat
disimpulkan bahwa nilai IMT kurang berpengaruh untuk mencetuskan kejadian
luka tekan kejadian luka tekan pada pasien yang diberikan intervensi pengaturan
posisi baring miring 30 derajat dan massage dengan Virgin Coconut Oil (VCO).
Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR 6,000 (95%CI 0,290-124,100) artinya
responden yang memiliki kadar albumin < 18 kg/m berpeluang 6 kali untuk
mengalami luka tekan dibandingkan dengan responden yang memiliki kadar
albumin 18 kg/m dengan estimasi rentang kepercayaan 0,290-124,100.
Vanderwee et al (2006) dimana tidak ada hubungan antara IMT dengan kejadian
luka tekan dalam penelitiannya tentang efektifitas pengaturan posisi dengan
interval waktu yang tidak ditentukan terhadap kejadian luka tekan (nilai p=0,53).
Survei juga dilakukan oleh Vangiler et al (2008) di Amerika selama 2006-2007
untuk melihat hubungan antara prevalensi luka tekan, indeks massa tubuh dan
berat badan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa prevalensi luka tekan
lebih tinggi pada pasien dengan indeks masa tubuh rendah terdapat 1 (4,4%)
responden yang mengalami luka tekan.

Bryant (2007) menyatakan pada fasilitas perawatan jangka panjang gangguan


intake nutrisi, intake rendah protein, ketidakmampuan makan sendiri, dan
penurunan berat badan berperan sebagai prediktor independen untuk terjadinya
luka tekan. Malnutrisi dihubungkan dengan terganggunya regenerasi jaringan,
reaksi inflamasi, meningkatkan komplikasi post operatif, meningkatkan risiko
infeksi, sepsis, kematian dan memanjangnya hari. Menurunnya ketebalan jaringan
lemak subkutan, system imun dan kemampuan regenerasi jaringan diduga menjadi
penyebab terjadinya luka tekan pada pasien malnutrisi.

Hasil penelitian ini sejalan dengan Reifsnyder (2005) menyatakan tidak ada
hubungan faktor nutrisi dengan berkembangnya luka tekan pada pasien bedah
kardiovaskuler dan bedah syaraf, namun menurut asumsi peneliti aspek nutrisi
penting pengaruhnya terhadap berkembangnya luka tekan.

Peneliti berpendapat bahwa setiap pasien yang memiliki nilai IMT kurang dari
nilai normal maka peluang untuk terjadinya luka tekan sangatlah tinggi. Sesuai
dengan definisi luka tekan itu sendiri, lokasi yang paling rentan untuk terjadinya
luka tekan adalah jaringan kulit yang terdapat diatas permukaan tonjolan tulang.
Tumor otak diidentifikasi sebagai lesi primer yang muncul dari otak atau struktur
penyokongnya atau sekunder yang bermetastase dari area tubuh lain ke otak. Lesi
ini akan mendesak jaringan otak yang normal di sekitarnya sehingga aliran
darahnya terganggu dan terjadi iskemia. Jika tidak ditangani akan terjadi nekrosis
dan mengakibatkan terjadinya gangguan neurologis. Gejala umum pasien dengan
tumor otak seperti kelelahan, gangguan neurologi dan status mental, kejang, nyeri
kepala, mual dan muntah. Hal ini menggambarkan bahwa pasien-pasien tumor
otak mengalami kondisi kronis yang dapat menyebabkan mereka jatuh ke dalam
kondisi kronis yang dapat menyebabkan mereka jatuh ke dalam kondisi malnutrisi
dengan manifestasi salah satunya IMT yang rendah.

Hal ini hendaknya diwaspadai oleh perawat, terlebih ketika pasien dalam
menjalani perawatan lanjutan, dimana akan terjadi keterbatasan-keterbatasan
dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Perawat dalam perannya membantu pasien
dalam memenuhi kebutuhan dasar pasien agar selalu memonitor status nutrisi
pasien, karena ketika nutrisi tidak terpenuhi maka indeks massa tubuhnya akan
semakin menurun dan ini memicu terjadinya luka tekan karena distribusi proporsi
tubuh tidak merata cukup luas karena bantalan lemak yang kurang untuk menahan
tekanan oleh tonjolan tulang.

Perawat dalam peran sebagai pemberi asuhan keperawatan khususnya dalam


pencegahan luka tekan, lebih peka terhadap populasi khusus yakni individu-
individu dengan nilai indeks massa tubuh yang rendah. Mengingat dampak dan
komplikasi yang akan ditimbulkan sangatlah buruk. Harapannya langkah ini
sudah menjadi bagian penting proses berpikir kritis pengkajian awal pasien masuk
dengan tumor otak.

6.2 Keterbatasan Penelitian

Beberapa keterbatasan penelitian yang peneliti temukan selama pelaksanaan


penelitian ini antara lain :

6.2.1. Sampel

Jumlah sampel dalam penelitian ini direncanakan 36 orang (sudah dengan


penambahan risiko drop out 10% sebanyak 4 orang) dengan rincian masing-
masing kelompok 18 orang, namun demikian sampel yang berpartisipasi hingga
akhir penelitian menjadi 33 orang karena 3 responden dari kelompok kontrol tidak
dapat melanjutkan partisipasinya karena pulang paksa sehingga dianggap sebagai
sampel drop out. Jumlah sampel dalam penelitian ini dihitung dengan nilai
(power) 80% yang berarti hasil penelitian ini mempunyai kemampuan menolak
Ho sebesar 80%, kemampuan menolak Ho bisa ditingkatkan dengan
meningkatkan nilai dengan jumlah sampel yang lebih besar.

6.2.2. Tidak dapat menjamin posisi miring 30 derajat secara konsisten

Tidak dapat menjamin mempertahankan posisi miring 30 secara bergantian kiri-


kanan diselingi posisi terlentang pada pasien secara konsisten dalam 24 jam
adalah keterbatasan dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan karena melakukan
perubahan posisi harus dilakukan setiap 2 sampai 4 jam dalam 24 jam sementara
peneliti tidak bersama pasien dalam 24 jam. Meskipun peneliti melakukan upaya
dengan memberikan penjelasan kepada keluarga yang menunggu pasien agar ikut
berpartisipasi dan membuatkan form dokumentasi tindakan dengan system
checklist di catatan perawatan pasien, namun peneliti tidak dapat menjamin posisi
dan perubahan posisi yang diharapkan dapat terlaksana dengan sempurna.

6.2.3. Aspek etik justice


Responden pada penelitian ini keseluruhannya dirawat di bangsal dengan
kapasitas kamar 6 10 pasien. Metode penempatan responden kedalam kontrol
atau intervensi menggunakan undian memungkinkan intervensi dan kontrol
terpilih dalam satu kamar. Hal ini menyebabkan pemberian VCO dengan massage
pada kelompok intervensi sering dipertanyakan oleh responden kelompok kontrol
yang berada dalam satu ruangan mengapa mereka tidak diberi perlakuan dengan
VCO dengan massage juga. Untuk itu kepada peneliti selanjutnya sebaiknya
memisahkan kelompok kontrol dan intervensi dari ruang rawat yang berbeda.

6.3. Implikasi Hasil Penelitian 6.3.1. Bagi Pelayanan Keperawatan

Melakukan tindakan perawatan untuk mencegah luka tekan pada pasien yang
berisiko mengalami luka tekan sangat penting dilakukan secara menyeluruh
meliputi

Dalam penelitian ini, peneliti tidak mengkaji penyakit penyerta yang dialami
responden yang mungkin dapat berpengaruh terhadap terjadinya luka tekan. Pada
penyakit tertentu seperti diabetes melitus, penyakit paru, sirosis hepatis dapat
mempengaruhi metabolisme tubuh dan transport oksigen dan nutrisi. Begitu juga
halnya, dalam teknik pengambilan sampel yang sebaiknya digunakan adalah
Randomized Controlled Trial (RCT), di dalam teknik ini pemilihan subjek
penelitian secara acak terkontrol, dapat diperoleh sampel yang lebih bervariasi
sehingga dapat merepresentasikan jumlah populasi pasien tumor otak yang
sebenarnya.

6.3 Implikasi Hasil Penelitian

6.3.1 Implikasi Terhadap Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit

Berdasarkan analisis hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pemberian


intervensi keperawatan berupa posisi baring miring 30 derajat dan massage
dengan Virgin Coconut Oil (VCO) ini dapat menjadi wacana dan sekaligus tren
dalam asuhan keperawatan pada pasien dengan tumor otak yang umumnya
mengalami gangguan mobilitas sehubungan dengan defisit fungsi neurologi
motorik. Sebenarnya intervensi ini sudah diperkenalkan di negara lain sebagai
evidenced based practice dalam pencegahan luka tekan. Namun sayangnya hal ini
belum tersosialisasi dengan baik. Hal ini mungkin disebabkan oleh terbatasnya
sumber-sumber informasi tentang inovasi-inovasi pelayanan keperawatan yang
terbaru.

Melalui hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi dasar yang kuat untuk
menentukan pemberian posisi baring miring 30 derajat dan massage dengan
Virgin Coconut Oil (VCO) ini sebagai pilihan posisi yang tepat pada pasien
tumor otakk dengan imobilisasi guna mencegah terjadinya luka tekan. Dari hasil
penelitian ini juga dapat memberikan alternatif pencegahan dalam mengkaji tren
faktor resiko tumor otak dan luka tekan saat ini yang sedikit banyak mengalami
perkembangan dari masa ke masa. Hal ini bisa digunakan sebagai pertimbangan
dalam memberikan keputusan klinis yang tepat

6.3.2 Implikasi Terhadap Pengembangan Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini diharapkan akan menambah wawasan keilmuan keperawatan


terkait dengan luka tekan, mengingat masih sedikitnya kajian-kajian dan
penelitian luka tekan sementara topik ini sangat penting untuk dibahas mengingat
insiden di lapangan cukup tinggi dan membutuhkan perhatian khususnya dunia
keperawatan. Selama ini intervensi keperawatan rubah posisi miring kanan-kiri
dan terlentang sudah sangat tidak asing bagi perawat, khususnya dalam
pencegahan luka tekan, namun pelaksanaannya di lapangan seringkali tidak
dilandasi oleh pemikiran dan penemuan-penemuan yang mendorong suatu alasan
mengapa intervensi tersebut harus dilakukan sebagaimana seharusnya.

Ternyata dari hasil penelitian ini, dampak pangaturan posisi dan pemberian
massage dengan VCO sebagai bagian kecil dari asuhan keperawatan pada pasien
tumor otak yang mengalami imobilisasi cukup bermakna dalam pencegahan luka
tekan.

6.2 Keterbatasan Penelitian

pengkajian menggunakan instrumen yang tepat, perencanaan yang lengkap,


tindakan yang tepat serta kolaborasi dengan tim kesehatan lain dan berbasis
hasil-hasil riset yang berkembang. Mencegah luka tekan tidak hanya
membebaskan area kulit dari tekanan tetapi juga menjaga kemampuan
toleransi jaringan untuk menghadapi tekanan, gesekan, shear, kelembaban
dan kontak permukaan kulit dengan bahan iritatif dan mikroba penyebab
infeksi. Penelitian ini menunjukkan pemberian VCO dengan massage dapat
mencegah terjadinya luka tekan grade I yang merupakan awal
berkembangnya luka tekan grade berikutnya.

Pada saat penelitian, peneliti menemukan respon pasien yang diberi VCO
sangat positif, karena umumnya responden mengatakan kulit yang kering
dan tergesek-gesek dengan permukaan tempat tidur menjadi lembab tapi
tidak basah sehingga tidak mudah timbul kemerahan.
6.3.2. Bagi Pengembangan Ilmu Keperawatan

Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi perawat tentang
penggunaan bahan topikal untuk perawatan kulit pasien yang berisiko
mengalami luka tekan. Keilmuan keperawatan medikal bedah dapat
mengembangkan kompetensi berdasarkan jenjang pendidikan sebagai
berikut :

6.3.2.1. Spesialis

Melakukan pengkajian dan meminta pemeriksaan penunjang diagnostik


terkait dg intervensi pencegahan luka tekan, mengelola asuhan keperawatan
dalam lingkup keperawatan medikal bedah, mengelola program
pengendalian infeksi, melakukan penelitian untuk menemukan evidence
base.

6.3.2.2.Ners

Melakukan pengkajian dan menegakkan diagnosa keperawatan terkait


dengan perawatan pencegahan luka tekan, melaksanakan asuhan
keperawatan dan tindakan pencegahan luka tekan dalam rangka
melaksanakan kompetensi melakukan pengendalian infeksi dan menjaga
keutuhan kulit

Vous aimerez peut-être aussi