Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PEMBAHASAN
Hal ini sejalan dengan penelitian kohort yang dilakukan Denmark usia
rata-rata tumor otak 53, 2 tahun (Jrgensen et al., 2016) dan yang
dilakukan Sheerwood (2011) usi rata-rata 50,3 tahun. Merujuk pada hasil
penelitian-penelitian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa tumor otak
ditemukan pada pasien dengan kelompok usia 50 tahun. Ghosh et al (2014)
membagi tumor otak menjadi 2 yaitu tumor otak primer dan tumor otak
sekunder.
Karakteristik jenis kelamin seseorang dapat menggambarkan pola hidup
seorang individu bahkan sangat sering dilakukan generalisasi. Contohnya
individu dengan jenis kelamin laki-laki dipandang gaya hidupnya yang
mayoritas adalah perokok, sering mengkomsumsi alkohol dimana hal ini
dapat berkontribusi dalam terjadinya kanker paru. Pada hasil penelitian
telah disajikan bahwa perbandingan pasien tumor otak berjenis kelamin
responden paling banyak berjenis kelamin adalah perempuan 15 orang
atau 65,2% pada kelompok intervensi dan 13 atau 56,5% pada kelompok
kontrol. Lebih banyaknya responden perempuan yang terlibat dalam
penelitian ini dikarenakan penelitian dilakukan pada responden dengan
diagnosa tumor otak primer dan hasil metastase. Rata-rata pasien yang
dijadikan responden adalah paisen dengan metastase sebagian besar kanker
payudara sebanyak 33 responden (71,7%).
Indeks Massa Tubuh adalah salah satu ukuran antropometri untuk menilai
status kecukupan nutrisi seseorang. Allman et al (1995), Bergstorm &
Bradden (1992), Brandeis et al (1990), Berlowitz & Wilking (1989),
Chernoff (1996) dalam Bryant (2007) menyatakan pada fasilitas perawatan
jangka panjang gangguan intake nutrisi, intake rendah protein,
ketidakmampuan makan sendiri dan penurunan berat badan berperan
sebagai prediktor independent untuk terjadinya luka tekan. Oleh karena itu
pengkajian status nutrisi penting bagi pasien yang berisiko mengalami luka
tekan salah satunya dengan ukuran antropometri yaitu BB dan Indek
Massa Tubuh
6.1.2 Pengaruh Posisi Baring Miring 30 derajat dan Massage dengan Virgin
Coconut Oil (VCO) Terhadap Kejadian Luka Tekan
Pasien tumor otak memiliki gangguan fungsional dari sistem saraf pusat berupa
gangguan sensorik, motorik, gangguan panca indera bahkan kemampuan kognitif
akan mengalami kelemahan fisik dan keterbatasan dalam pemenuhan aktifitas
sehari-hari sehinggga pasien tumor otak harus tirah baring dalam waktu yang
cukup lama yang mengakibatkan penekanan pada area-area tertentu dan
mendukung terjadinya luka tekan. Itulah sebabnya untuk mencegah terjadinya
kerusakan kulit dan jaringan dibawahnya membutuhkan pengkajian yang sering
terlebih lagi pada daerah yang terdapat tonjolan tulang yang menjadi tumpuan dari
tubuh. Selanjutnya memberikan posisi baring miring kiri dan kanan yang teratur,
terjadwal dan memberikan massage dengan Virgin Coconut Oil (VCO) setelah
mandi dapat mencegah kerusakan kulit.
Penggunaan secara topikal langsung pada kulit diyakini sebagai cara terbaik untuk
mendapatkan manfaat VCO. Cara ini akan mengembalikan elastisitas kulit dengan
cepat dan efektif. Trevtick & Miton (1999) dalam penelitiannya menyimpulkan
Vitamin E dari VCO yang diberikan secara topikal dapat terserap dalam 24 jam.
Wang dan Quinn (1999) menyatakan vitamin E adalah zat yang berfunsgi sebagai
stabilizer membrane sel, melindungi kerusakan sel dari radikal bebas dan sebagai
simpanan lemak dalam organel sel. Selain itu VCO mempunyai kemampuan
antioksidan, antimikrobial, anti fungi, melindungi kulit dari bahaya radikal bebas
dan degenerasi jaringan ( Coconut Research Center, 2004). Kulit yang sehat
mempunyai pH permukaan berkisar 5 yang dibentuk oleh aktivitas sebum dan
mikroba kulit, lingkungan ini melindungi kulit dari bahaya mikroorganisme
patogen, Tanpa sebum kulit mencadi kering dan retak. Sebum sendiri terdiri dari
asam lemak rantai sedang seperti yang ada pada VCO. Penelitian Ogbolu, Oni,
Daini dan Oloko (2007) secara invitro dengan media agar-agar membuktikan
VCO dapat digunakan sebagai anti fungi pada candida yang resisten dengan obat.
Pasien dengan kelembaban tinggi karena keringat atau inkontinen bermasalah
dengan risiko infeksi jamur pada kulit, dengan demikian peneliti berasumsi
pemberian VCO secara topikal dapat menghambat infeksi jamur sebagai faktor
yang menurunkan resistensi jaringan
Price (2003) menyatakan minyak kelapa murni berbeda dengan minyak goreng
pada umumnya dimana dalam minyak kelapa murni unsur antioksidan dan
vitamin E masih dipertahankan dan sebaliknya pada minyak goreng biasa
sehingga bila digunakan untuk perawatan kulit minyak goreng biasa akan
menciptakan radikal bebas di permukaan kulit dan menyebabkan kerusakan
jaringan konektif. Lotion biasa yang sering digunakan untuk perawatan kulit
umumnya menggunakan komponen air sehingga ketika dipakai akan memberikan
kesegaran namun ketika kandungan airnya hilang karena penguapan maka kulit
menjadi kering. Pemanfaatan VCO sebagai bahan dasar krim pelembab karena
VCO banyak mengandung pelembab alami dan antioksidan yang penting untuk
perawatan kulit dan mampu menghasilkan emulsi yang relatif stabil dan pH
mendekati nilai yang diinginkan sebagai bahan pelembab kulit (Nilamsari, 2006).
Price (2003) menyatakan dipakai secara topikal atau dipakai ke dalam, minyak
kelapa membantu kulit tetap muda, sehat dan bebas dari penyakit. Asam lemak
antiseptik pada minyak kelapa membantu mencegah infeksi jamur dan bakteri jika
ditambahkan dalam diet atau dipakaikan langsung pada kulit. Ketika di pakaikan
pada kulit, asam lemak yang dikandung minyak kelapa tidak langsung berfungsi
sebagai antimikroba namun ia akan bereaksi dengan bakteri-bakteri kulit menjadi
bentuk asam lemak bebas seperti yang terkandung dalam sebum (sebum
mengandung uric acid dan asam laktat). Ketika mandi, sabun akan menghilangkan
keringat, minyak dan zat-zat asam pelindung kulit oleh karena itu sebelum
keringat dan minyak dikeluarkan kembali oleh kulit, kulit akan kering dan peka
terhadap mikroba-mikroba berbahaya. Memberikan pelembab setelah mandi akan
membuat kulit kembali segar. Pelembab yang terbuat dari minyak kelapa murni
cepat membangun hambatan mikrobial dan asam alami. Dengan demikian
memakai minyak kelapa murni setelah mandi akan bermanfaat bagi kesehatan
kulit. Beberapa responden penelitian pada kelompok kontrol juga menyatakan,
pemakaian VCO tidak menimbulkan sensasi rasa panas di bagian punggung, area
bokong dan bahu pada pasien yang berbaring terlentang.
Penelitian ini menunjukkan ada pengaruh antara perlakuan posisi baring miring
30 derajat dan massage dengan Virgin Coconut Oil (VCO) dengan kejadian luka
tekan, dimana ada sebanyak 9 (39,1%) responden yang tidak diberi perlakuan
posisi baring miring 30 derajat mengalami luka tekan. Sedangkan diantara
responden yang diberikan intervensi posisi baring miring 30 derajat dan masaage
dengan Virgin Coconut Oil (VCO), terdapat (8,7%) yang terjadi luka tekan. Hasil
uji statistk diperoleh nilai p= 0.035, disimpulkan bahwa ada pengaruh yang
signifikan antara responden dalam kelompok kontrol dan kelompok intervensi
dengan kejadian luka tekan. Bahwa bila dilihat dari hasil OR, pasien yang
diposisikan baring miring 30 derajat tanpa massage dengan Virgin Coconut Oil
(VCO) beresiko 6,750 kali lebih tinggi untuk terjadi luka tekan dibandingkan
pasien yang diposisikan baring miring 30 derajat dan massage dengan Virgin
Coconut Oil (VCO) .
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Defloor et al tahun 2007 menyatakan
perubahan posisi setiap 4 jam diatas matras busa khusus mampu menurunkan
insiden luka tekan dibandingkan dengan reposisi setiap 2 jam di atas kasur
standar. Hasil penelitian Woodhouse (2015) yang merekomendasikan reposisi
untuk kelompok berisiko secara berkala bertujuan untuk mendistribusikan
tekanan, mengurangi penekanan secara terus menerus. Hasil penelitian Tom
Defloor yang pernah meneliti sepuluh posisi yang berbeda-beda saat pasien diatas
tempat tidur, dari kesepuluh posisi itu, didapatkan bahwa tekanan yang paling
minimal dicapai saat diposisikan 30 derajat (Defloor, 2000).. Posisi ini terbukti
untuk menjaga posisi pasien terbebas dari penekanan pada area trokanter dan
sakral (NPUAP, 1996).
Hal ini juga disukung oleh penelitian oleh Seiler tahun 2005 (Vaanderwee, et al,
2006), dimana luka tekan pada area trokanter dan sakral dapat dieliminir dengan
memiringkan pasien posisi mring 30 derajat secara teratur dan menyangganya
dengan matras yang sangat lembut.
Hal diatas didukung oleh penelitian oleh Colin, dimana saat pasien diposisikan
miring sampai dengan 90 derajat, menimbulkan kerusakan suplai oksigen yang
dramatis pada area trokanter dibandingkan dengan diposisikan miring hanya
dengan 30 derajat (Colin, 1996).
Peneliti melihat bahwa pengaruh pemberian posisi baring miring ini sangat
bermakna sekali dalam mencegah terjadinya luka tekan. Hasil penelitian terdapat
sebanyak 9 responden dari kelompok yang tidak diberi perlakuan posisi miring 30
derajat dan massage dengan Virgin Coconut Oil (VCO) akhirnya mengalami luka
tekan. Bila dibandingkan dengan responden yang diberi perlakuan posisi miring
30 derajat dan massage dengan Virgin Coconut Oil (VCO) diperoleh 2 responden
dari 23 total responden mengalami luka tekan.
Bryant (2007) menyatakan kekuatan yang teraplikasi pada bagian eksternal kulit
seperti shear, gesekan dan robekan kulit mengakibatkan kerusakan mekanik.
Masing-masing kekuatan tersebut bisa berdiri sendiri atau kombinasi sebagai
penyebab trauma mekanis. Shear ditimbulkan oleh interaksi antara kekuatan
tangenital dan resistensi permukaan kulit. Ketika posisi tubuh turun ke arah bawah
sementara kulit pada posisi menetap maka akan terjadi tarikan dengan arah gaya
yang berlawanan dengan gravitasi, hal ini menyebabkan pembuluh darah teregang
dan mengalami angulasi dan menimbulkan trombus-trombus kecil di pembuluh
darah dan kerusakan jaringan. Shear diduga berkontribusi terhadap terjadinya
kerusakan jaringan baik dangkal maupun dalam pada luka tekan. Tindakan utama
untuk meminimalkan shear dapat dilakukan dengan memberikan posisi elevasi
kepala tempat tidur < 30 dengan demikian dapat meminimalkan tarikan pada
sakral.
Cidera kulit oleh kekuatan shear menghasilkan gesekan dua permukaan secara
bersamaan yaitu permukaan kulit pasien dengan permukaan tempat tidur. Bryant
(2007) menyatakan cidera jaringan kulit hampir selalu disebabkan karena dua
mekanisme ini. Adanya shear hampir diapstikan disertai dengan gesekan. Cidera
karena mekanisme ini paling sering terjadi di daerah bahu dan tumit karena pasien
dengan sangat mudah mengalami gesekan antara permukaan kulit di daerah
tersebut dengan permukaan tempat tidur. Karakteristik cidera karena gesekan
umumnya dangkal dan terbatas pada epidermis. Gambaran yang nyata cidera
karena kekuatan ini pada responden penelitian adalah cidera yang terjadi pada
daerah pergelangan kaki dan tangan pasien cidera kepala yang dilakukan restrain
dan cidera daerah tumit pada pasien dengan traksi. Mekanisme terjadinya
dibentuk oleh gesekan antara permukaan kulit dengan alat restrain ( terbuat dari
kassa) dan antara permukaan kulit tumit dengan permukaan linen tempat tidur.
Bryant (2007) menyatakan tindakan pencegahan untuk meminimalkan efek shear
dan gesekan adalah dengan menggunakan proteksi memakai kulit domba untuk
alas bahu atau tumit dan memberikan pelembab pada area yang mudah terkena
untuk mempertahankan hidrasi epidermis. Kedua tindakan ini diyakini akan
menurunkan gesekan dan dengan demikian juga menurunakan shear.
Pasien yang sudah tua memiliki resiko yang tinggi untuk terkena luka tekan
karena kulit dan jaringan akan berubah seiring dengan penuaan. Penuaan
mengakibatkan kehilangan otot, penurunan kadar serum albumin, penurunan
respon inflamatori, penurunan elastisitas kulit. Perubahan ini berkombinasi
dengan faktor penuaan lain akan membuat kulit menjadi berkurang toleransinya
terhadap tekanan, pergesekan dan tenaga yang merobek.
Hasil analisis hubungan antara usia dengan kejadian luka tekan pada kedua
kelompok diperoleh hasil uji statistik nilai p=0.526. Jadi, secara statistik tidak ada
perbedaan yang bermakna mempengaruhi kejadian luka tekan pada pasien tumor
otak yang diberikan posisi baring miring 30 derajat dan massage dengan Virgin
Coconut Oil (VCO).
Ayello & Lyder (2008) menyatakan usia diatas 70 tahun sebagai faktor resiko
terjadinya luka tekan. NP-EPUAP (2009), menjelaskan bahwa usia bukan
merupakan satu-satunya faktor yang berpengaruh terhadap kejadian luka tekan
karena masih banyak faktor-faktor lain seperti nutrisi, kelembaban kulit, kondisi
perfusi dan oksigen sebagai pemicu luka tekan. Capon et al (2006) melakukan
penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian dan prevalensi
luka tekan di Roma Italia, pasien usia > 84 tahun signifikan mengalami luka tekan
dengan nilai p= 0,002, sedangkan pada umur < 75 tahun tidak ada hubungan yang
signifikan dengan p=0,698.
Disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan anatra usia dengan
kejadian luka tekan. Hal ini senada dengan hasil penelitian ini dimana tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara usia dengan kejadian luka tekan.
Peneliti melihat bahwa faktor usia lanjut memang dapat berpengaruh terhadap
kejadian luka tekan. Namun, bila dikaitkan dengan karakteristik responden
penelitian ini, mayoritas pasien ada dalam usia < 50 tahun. Dapat diasumsikan
dalam penelitian ini, usia responden tidak ada hubungan yang signifikan untuk
terjadi luka tekan sama seperti hasil penelitian Capon et al (2007) yang
menemukan kejadian luka tekan tidak memiliki hubungan yang signifikan pada
usia < 75 tahun, namun memiliki hubungan yang signifikan pada umur > 84
tahun.
Nikotin yang terdapat pada rokok dapat menurunkan aliran darah dan memiliki
efek toksik terhadap endotelium pembuluh darah, afinitas haemoglobin dengan
nikotin dan meningkatnya radikal bebas diduga sebagai penyebab resiko
terbentuknya luka tekan pada perokok.
Berdasarkan hasil analisis hubungan antara riwayat merokok dengan kejadian luka
tekan diperoleh bahwa didapat 1 (6,7%) responden mempunyai riwayat merokok
mengalami kejadian luka tekan. Sedangkan pada responden yang tidak
mempunyai riwayat merokok tidak mengalami kejadian luka tekan di dapat 1
(12,5%). Hasil uji statistik diperoleh nilai p=1.000 (p>0,05) maka dapat
disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan proporsi kejadian luka
tekan antara responden dengan riwayat merokok dan yang tidak mempunyai
riwayat merokok. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR 2,000 (95% CI
0,108-36,954) artinya responden yang tidak merokok berpeluang terlindungi
2,000 kali untuk mengalami luka tekan dibandingkan dengan responden yang
merokok dengan estimasi rentang kepercayaan 0,108-36,954. Merokok diduga
sebagai prediktor terbentuknya luka tekan (Salztberg et al, 1989 dalam Bryant
(2007)). Insiden luka tekan lebih tinggi pada perokok dibandingkan dengan yang
bukan perokok. Afinitas haemoglobin dengan nikotin dan meningkatnya radikal
bebas diduga sebagai penyebab risiko terbentuknya luka tekan pada perokok.
Merokok sigaret dilaporkan berkorelasi positif dengan adanya luka tekan pada
kelompok pasien cidera spinal (Lamid & El Ghatit, 1983 dalam Bryant, 2007).
Makin banyak jumlah rokok yang di konsumsi sehari makin meningkatkan
kejadian luka tekan. Menurut pendapat peneliti, tidak ditemukannya perbedaan
yang signifikan kejadian luka tekan pada perokok dan bukan perokok
kemungkinan disebabkan karena jumlah perokok dan tidak perokok dalam
penelitian ini tidak setara. Senyawa berbahaya dalam rokok mengakibatkan
kerusakan endotel pembuluh darah dan mengakibatkan pembuluh darah perokok
lebih fragil. Tekanan terus menerus akan merusak pembuluh darah dan
menghambat sirkulasi sehingga terjadi iskemia dan hipoksia jaringan (Bryant,
2007). Perlu dilakukan penelitian pada jumlah sampel yang setara antara perokok
dan bukan perokok untuk pembuktian lebih lanjut adanya perbedaan yang
signifikan kejadian luka tekan pada perokok dan bukan perokok. Menurut hasil
penelitian Suriadi et al (2002) ada hubungan yang signifikan antara merokok
dengan luka tekan. Pada pasien yang mengkomsumsi rokok insidennya lebih
tinggi dibanding yang jumlahnya lebih sedikit (Bryant, 2000). Selama penelitian,
peneliti mendapatkan informasi riwayat merokok yang bervariasi dari tiap-tiap
responden. Ada responden yang sebelum masuk ke rumah sakit masih dalam
kondisi merokok, namun banyak juga responden yang sudah berhenti dari rokok
3-20 tahun sebelum masuk masuk rumah sakit. Sehingga peneliti berpendapat
bahwa faktor rokok secara substansi akan memberikan efek yang berbeda-beda
pada masing-masing responden baik secara kuantitas dan kualitas merokoknya.
Distribusi responden dengan riwayat merokok dan tidak merokok jumlahnya
seimbang. Hal ini dapat menjadi salah saatu faktor kurang bermakna hubungan
rokok dengan kejadian luka tekan.
Analisa hubungan antara kadar albumin pada kedua kelompok responden yang
memiliki kadar albumin < 3 gr/dL diperoleh bahwa ada sebanyak 1 (7,7%)
responden mengalami luka tekan. Sedangkan pada responden yang memiliki
kadar albumin 3 gr/dL ditemukan 1 (10%) juga mengalami luka tekan. Hasil
uji statistik dengan chi square didapat nilai p=1,000, ini menunjukkan kadar
albumin tidak berpengaruh terhadap kejadian luka tekan pada kelompok
intervensi. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR 0,75 (95%CI 0,041-13,677)
artinya responden yang memiliki kadar albumin < 3 gr/dL berpeluang 0,75 kali
untuk mengalami luka tekan dibandingkan dengan responden yang memiliki
kadar albumin 3 gr/dL dengan estimasi rentang kepercayaan 0,041-13,677.
IMT merupakan alat atau cara yang sederhana untuk memantau status gizi orang
dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan
(WHO, 2004). IMT pada pasien dengan indeks massa tubuh rendah cenderung
akan mengalami penekanan tonjolan tulang lebih besar dibandingkan pasien yang
mempunyai indeks massa tubuh yang lebih tingggi.
Dari hasil nalisis hubungan antara indeks massa tubuh dengan kejadian luka tekan
diperoleh hanya 1 (25%) responden dengan nilai IMT < 18 kg/m yang
mengalami luka tekan dan 1 (5,3%) responden dengan nilai IMT 18 kg/m juga
mengalami luka tekan . Hasil uji statistik diperoleh nilai p=0,324, dapat
disimpulkan bahwa nilai IMT kurang berpengaruh untuk mencetuskan kejadian
luka tekan kejadian luka tekan pada pasien yang diberikan intervensi pengaturan
posisi baring miring 30 derajat dan massage dengan Virgin Coconut Oil (VCO).
Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR 6,000 (95%CI 0,290-124,100) artinya
responden yang memiliki kadar albumin < 18 kg/m berpeluang 6 kali untuk
mengalami luka tekan dibandingkan dengan responden yang memiliki kadar
albumin 18 kg/m dengan estimasi rentang kepercayaan 0,290-124,100.
Vanderwee et al (2006) dimana tidak ada hubungan antara IMT dengan kejadian
luka tekan dalam penelitiannya tentang efektifitas pengaturan posisi dengan
interval waktu yang tidak ditentukan terhadap kejadian luka tekan (nilai p=0,53).
Survei juga dilakukan oleh Vangiler et al (2008) di Amerika selama 2006-2007
untuk melihat hubungan antara prevalensi luka tekan, indeks massa tubuh dan
berat badan. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa prevalensi luka tekan
lebih tinggi pada pasien dengan indeks masa tubuh rendah terdapat 1 (4,4%)
responden yang mengalami luka tekan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan Reifsnyder (2005) menyatakan tidak ada
hubungan faktor nutrisi dengan berkembangnya luka tekan pada pasien bedah
kardiovaskuler dan bedah syaraf, namun menurut asumsi peneliti aspek nutrisi
penting pengaruhnya terhadap berkembangnya luka tekan.
Peneliti berpendapat bahwa setiap pasien yang memiliki nilai IMT kurang dari
nilai normal maka peluang untuk terjadinya luka tekan sangatlah tinggi. Sesuai
dengan definisi luka tekan itu sendiri, lokasi yang paling rentan untuk terjadinya
luka tekan adalah jaringan kulit yang terdapat diatas permukaan tonjolan tulang.
Tumor otak diidentifikasi sebagai lesi primer yang muncul dari otak atau struktur
penyokongnya atau sekunder yang bermetastase dari area tubuh lain ke otak. Lesi
ini akan mendesak jaringan otak yang normal di sekitarnya sehingga aliran
darahnya terganggu dan terjadi iskemia. Jika tidak ditangani akan terjadi nekrosis
dan mengakibatkan terjadinya gangguan neurologis. Gejala umum pasien dengan
tumor otak seperti kelelahan, gangguan neurologi dan status mental, kejang, nyeri
kepala, mual dan muntah. Hal ini menggambarkan bahwa pasien-pasien tumor
otak mengalami kondisi kronis yang dapat menyebabkan mereka jatuh ke dalam
kondisi kronis yang dapat menyebabkan mereka jatuh ke dalam kondisi malnutrisi
dengan manifestasi salah satunya IMT yang rendah.
Hal ini hendaknya diwaspadai oleh perawat, terlebih ketika pasien dalam
menjalani perawatan lanjutan, dimana akan terjadi keterbatasan-keterbatasan
dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Perawat dalam perannya membantu pasien
dalam memenuhi kebutuhan dasar pasien agar selalu memonitor status nutrisi
pasien, karena ketika nutrisi tidak terpenuhi maka indeks massa tubuhnya akan
semakin menurun dan ini memicu terjadinya luka tekan karena distribusi proporsi
tubuh tidak merata cukup luas karena bantalan lemak yang kurang untuk menahan
tekanan oleh tonjolan tulang.
6.2.1. Sampel
Melakukan tindakan perawatan untuk mencegah luka tekan pada pasien yang
berisiko mengalami luka tekan sangat penting dilakukan secara menyeluruh
meliputi
Dalam penelitian ini, peneliti tidak mengkaji penyakit penyerta yang dialami
responden yang mungkin dapat berpengaruh terhadap terjadinya luka tekan. Pada
penyakit tertentu seperti diabetes melitus, penyakit paru, sirosis hepatis dapat
mempengaruhi metabolisme tubuh dan transport oksigen dan nutrisi. Begitu juga
halnya, dalam teknik pengambilan sampel yang sebaiknya digunakan adalah
Randomized Controlled Trial (RCT), di dalam teknik ini pemilihan subjek
penelitian secara acak terkontrol, dapat diperoleh sampel yang lebih bervariasi
sehingga dapat merepresentasikan jumlah populasi pasien tumor otak yang
sebenarnya.
Melalui hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi dasar yang kuat untuk
menentukan pemberian posisi baring miring 30 derajat dan massage dengan
Virgin Coconut Oil (VCO) ini sebagai pilihan posisi yang tepat pada pasien
tumor otakk dengan imobilisasi guna mencegah terjadinya luka tekan. Dari hasil
penelitian ini juga dapat memberikan alternatif pencegahan dalam mengkaji tren
faktor resiko tumor otak dan luka tekan saat ini yang sedikit banyak mengalami
perkembangan dari masa ke masa. Hal ini bisa digunakan sebagai pertimbangan
dalam memberikan keputusan klinis yang tepat
Ternyata dari hasil penelitian ini, dampak pangaturan posisi dan pemberian
massage dengan VCO sebagai bagian kecil dari asuhan keperawatan pada pasien
tumor otak yang mengalami imobilisasi cukup bermakna dalam pencegahan luka
tekan.
Pada saat penelitian, peneliti menemukan respon pasien yang diberi VCO
sangat positif, karena umumnya responden mengatakan kulit yang kering
dan tergesek-gesek dengan permukaan tempat tidur menjadi lembab tapi
tidak basah sehingga tidak mudah timbul kemerahan.
6.3.2. Bagi Pengembangan Ilmu Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi perawat tentang
penggunaan bahan topikal untuk perawatan kulit pasien yang berisiko
mengalami luka tekan. Keilmuan keperawatan medikal bedah dapat
mengembangkan kompetensi berdasarkan jenjang pendidikan sebagai
berikut :
6.3.2.1. Spesialis
6.3.2.2.Ners