Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
ATRESIA ANI
Pembimbing:
dr. Wuri Iswarsigit, Sp.BA
Disusun oleh:
Meilani Rose, S.ked
030.12.166
DAFTAR ISI....................................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................3
BAB II.............................................................................................................................................4
TINJAUAN PUSTAKA..................................................................................................................4
2.1 Definisi...................................................................................................................................4
2.2 Epidemiologi..........................................................................................................................4
2.3 Embriologi.............................................................................................................................4
2.4 Anatomi dan fisiologi.............................................................................................................5
2.5 Etiologi...................................................................................................................................7
2.6 Klasifikasi..............................................................................................................................7
2.7 Patofisiologi...........................................................................................................................8
2.8 Manifestasi Klinis dan diagnosis...........................................................................................9
2.9 Tatalaksana...........................................................................................................................15
2.10 Komplikasi.........................................................................................................................18
2.11 Prognosis............................................................................................................................19
BAB III..........................................................................................................................................20
KESIMPULAN..............................................................................................................................20
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................................20
3.2 Saran.....................................................................................................................................20
BAB IV..........................................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................................21
2
BAB I PENDAHULUAN
Malformasi anorektal merupakan suatu spektrum dari anomali kongenital yang terdiri
dari anus imperforata dan kloaka persisten. Anus imperforata atau atresia ani merupakan
kelainan kongenital tanpa anus atau dengan anus tidak sempurna, sedangkan kloaka persisten
merupakan suatu kondisi yang diakibatkan karena pemisahan antara traktus urinarius, traktus
genitalia, dan traktus digestivus tidak terjadi. 1
Atresia ani paling sering terjadi pada bayi yang baru lahir. Frekuensi seluruh kelainan
kongenital anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000-10000 kelahiran, sedangkan atresia ani
didapatkan 1 % dari seluruh kelainan kongenital pada neonatus dan dapat muncul sebagai
penyakit tersering. Jumlah pasien dengan kasus atresia ani pada laki-laki lebih banyak ditemukan
dari pada pasien perempuan.2,3
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu a yang berarti tidak ada dan trepsis yang
berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu keadaan tidak
adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital yang
disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya
berlubang atau buntunya saluran atau rongga tubuh, hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak
lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu. 4
Jadi, atresia ani adalah kelainan kongenital anus dimana anus tidak mempunyai
lubang untuk mengeluarkan feses karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi
saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi
kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan
perineum.
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata
meliputi anus, rektum, atau keduanya. Atresia ani adalah malformasi kongenital dimana
rektum tidak mempunyai lubang keluar. Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani
adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada bagian distal anus atau tertutupnya
anus secara abnormal. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan operasi
untuk membuat saluran seperti keadaan normalnya. 4
2.2 Epidemiologi
Atresia ani terjadi pada sekitar 1 dari 5000 kelahiran, dengan insiden yang sama
antara pria dan wanita. Pada laki-laki, yang lebih sering terjadi adalah atresia ani dengan
fistula rektouretral, diikuti fistula rektoperineal kemudian fistula rektovesika, sedangkan
pada perempuan adalah fistula rektovagina dan fistula rektovestibuler kemudian kloaka
persisten. Empat puluh sampai tujuh puluh persen dari penderita mengalami satu atau lebih
defek tambahan dari sistem organ lainnya. Defek urologi adalah anomali yang paling sering
berkaitan dengan kelainan ini, diikuti defek pada vertebra, ekstremitas, dan sistem
kardiovaskular.5
2.3 Embriologi
Usus belakang menghasilkan sepertiga distal kolon transversum, kolon desendens,
kolon sigmoideum, rektum dan bagian atas kanalis analis. Endoderm usus belakang juga
membentuk lapisan dalam kandung kemih dan uretra.
Bagian terminal usus belakang masuk ke dalam daerah posterior kloaka, kanalis
anorektalis primitif, alantois masuk ke dalam bagian anterior, sinus urogenitalis primitif.
Kloaka itu sendiri adalah suatu rongga yang dilapisi oleh endoderm dan dibungkus di
batas ventralnya oleh ektoderm permukaan. Batas antara endoderm dan ektoderm ini
4
membentuk membrana kloakalis. Suatu lapisan mesoderm, septum urorektale,
memisahkan regio antara alantois dan usus belakang. Septum ini berasal dari penyatuan
mesoderm yang menutupi yolk sac dan alantois disekitarnya. Seiring dengan
pertumbuhan mudigah dan berlanjutnya lipatan di kaudal, ujung septum urorektale
akhirnya berada dekat dengan membrana kloakalis, meskipun kedua struktur tidak pernah
berkontak. Pada akhir minggu ketujuh, membrana kloakalis pecah, menciptakan lubang
anus untuk usus belakang dan lubang ventral untuk sinus urogenitalis. Di antara
keduanya, ujung septum urorektale membentuk badan perineal. Pada saat ini, proliferasi
ektoderm menutup bagian paling kaudal kanalis analis. Selama minggu kesembilan, regio
ini mengalmai rekanalisasi. Karena itu, bagian kaudal kanalis analis berasal dari
ektoderm, dan didarahi oleh arteri rektalis inferior, cabang dari arteri pudenda interna.
Bagian kranial kanalis analis berasal dari endoderm dan didarahi oleh arteri rektalis
superior, suatu lanjutan dari arteri mesenterika inferior, yaitu arteri usus belakang. Taut
antara regio endoderm dam ektoderm kanalis analis ditandai oleh linea pektinata, tepat di
bawah kolumna analis. Di garis ini, epitel berubah dari epitel silindris menjadi epitel
gepeng berlapis.
Fistula rektouretra dan rektovagina, yang terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup,
mungkin disebabkan oleh kelainan dalam pembentukan kloaka dan/atau septum
urorektale. Sebagai contoh, jika kloaka terlalu kecil, atau jika septum urorektale tidak
meluas cukup ke arah kaudal, lubang usus belakang bergeser ke anterior sehingga usus
belakang mengarah ke uretra atau vagina.
5
kanalis analis sewaktu melakukan colok dubur dan menunjukkan batas antara sfingter
interna dan eksterna (garis Hilton). 6,7
Cincin sfingter anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter interna dan
sfingter eksterna. Sisi posterior dan lateral cincin ini terbentuk dari fusi sfingter interna, otot
longitudinal, bagian tengah dari otot levator (puborektalis), dan komponen muskulus sfingter
eksternus. Muskulus sfingter internus terdiri atas serabut otot polos, sedangkan muskulus
sfingter eksternus terdiri atas serabut otot lurik. 6,7
Pada bayi normal, terdapat susunan otot serat lintang yang berfungsi membentuk
bangunan seperti cerobong yang melekat pada os. Pubis, bagian bawah sakrum, dan bagian
tengah pelvis. Ke arah medial otot-otot ini membentuk diafragma yang melingkari rektum,
menyusun ke bawah sampai kulit perineum. Bagian atas bangunan cerobong ini dikenal
sebagai muskulus levator dan bagian terbawah adalah muskulus sfingter eksternus.
Pembagian secara lebih rinci dari struktur cerobong ini adalah muskulus ischiococcygeus,
illeococcygeus, pubococcygeus, puborectalis, deep external, sfingter eksternus dan
superficial external sphinter. Muskulus sfingter eksternus merupakan serabut otot
parasagital yang saling bertemu di depan dan belakang anus. Bagian di antara muskulus
levator dan sfingter eksternus disebut muscle complex atau vertical fiber. 7
Gambar 2. Anatomi anus dan rektum
Vaskularisasi anorektal
Kanalis analis dan rektum mendapatkan vaskularisasi dari arteri hemoroidalis
superior, arteri hemoroidalis media, dan arteri hemoroidalis inferior. Arteri hemoroidalis
superior merupakan akhir dari arteri mesenterika inferior dan melalui dinding posterior dari
rektum dan mensuplai dinding posterior, juga ke kanan dan ke kiri dinding pada bagian
tengah rektum, kemudian turun ke linea dentata. Arteri hemoroidalis media merupakan
cabang dari arteri illiaca interna. Arteri hemoroidalis inferior merupakan cabang dari arteri
pudenda interna, ia berjalan di medial dan vertikal untuk mensuplai kanalis analis di bagian
distal dari linea dentata. 6
Darah vena di atas garis anorektum mengalir melalui sistem porta, sedangkan yang
berasal dari anus dialirkan ke sistem kava melalui cabang vena illiaca. Vena hemoroidalis
superior berasal dari pleksus hemoroidalis internus dan berjalan kearah kranial ke dalam
vena mesenterika inferior dan seterusnya melalui vena lienalis ke vena porta. Vena
6
hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke dalam vena pudenda interna dan ke dalam vena
iliaca interna dan sistem kava. 6
Persarafan
Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatis dan parasimpatis. Inervasi parasimpatis
berasal dari nervus sacralis III, V yang kemudian membentuk nervus epiganti, memberikan
cabang ke rektum dan berhubungan dengan pleksus Auerbach. Saraf ini berfungsi sebagai
motor dinding usus dan inhibitor sfingter serta sensor distensi rektum. Pesarafan simpatis
berasal dari ganglion lumbalis II, III, V dan pleksus para aurticus, kemudian membentuk
pleksus hipogastrikus kemudian turun sebagai nervus presakralis. Saraf ini berfungsi sebagai
inhibitor dinding usus dan motor sfingter internus. Inervasi somatik dari muskulus levator
ani dan muscle complex berasal dari radiks anterior nervus sacralis III,V. 6,7
Sistem Limfatik
Sistem limfe dari rektum mengalirkan isinya melalui pembuluh limfe sepanjang
pembuluh hemoroidalis superior ke arah kelenjar limfe paraaorta melalui kelenjar limfe
illiaca interna, sedangkan limfe yang berasal dari kanalis analis mengalir ke arah kelenjar
inguinal. 6,7
2.5 Etiologi
Penyebab sebenarnya dari atresia ani ini belum di ketahui pasti, namun ada sumber
yang mengatakan bahwa kelainan bawaan anus di sebabkan oleh :
7
dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adekuat sementara
waktu. 1,6
2. Tanpa anus dan tanpa fistula atau traktus yang tidak adekuat untuk jalan keluar feses.
Pada kelompok ini, tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi
spontan kolon, sehingga memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. 1,6
Secara tradisional, klasifikasi atresia ani dibagi menjadi dua berdasarkan letak
terminasi rektum terhadap dasar pelvis, yaitu:
1. Anomali letak rendah
Rektum menembus muskulus levator ani sehingga jarak antara kulit dan ujung
rektum paling jauh 1 cm. Anomali ini dapat berupa stenosis anus yang hanya
membutuhkan dilatasi membran atau merupakan membran anus tipis yang mudah
dibuka segera setelah anak lahir. Baik pada laki-laki maupun perempuan, anomali letak
rendah berhubungan dengan perineal fistula. Pada laki-laki, fistula berhubungan dengan
midline raphe dari skrotum atau penis. Pada perempuan, fistula dapat berakhir pada
vestibulum vagina (fistula rektovestibular), karena rektum lebih ke depan mendekati
vestibulum. Terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan
fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius. 1,9
2.7 Patofisiologi
Pada embriogenesis malformasi ini masih belum jelas. Rektum dan anus diyakini
berkembang dari bagian dorsal rongga hindgut atau kloaka saat perkembangan lateral
mesenkim membentuk septum urorectal di garis tengah. Septum ini memisahkan rektum dan
kanalis anal bagian dorsal dari kandung kemih dan uretra. Duktus kloaka adalah komunikasi
kecil antara 2 bagian dari hindgut. Perkembangan dari septum urorectal diyakini untuk
menutup saluran ini pada usia kehamilan 7 minggu. Selama waktu ini, bagian ventral
urogenital memperoleh pembukaan eksternal; membran anus bagian dorsal terbuka
setelahnya. Anus berkembang oleh fusi dari tuberkel dubur dan invaginasi eksternal, yang
dikenal sebagai proctodeum, yang memperdalam ke arah rektum tetapi dipisahkan oleh
membran anus. Pemisahan membran ini harus terpecah pada usia kehamilan 8 minggu. 10
Atresia ani terjadi akibat kegagalan punurunan septum anorektal pada kehidupan
embrional. Terjadinya atresia ani adalah karena kelainan kongenital dimana saat proses
perkembangan embriogenik tidak lengkap pada proses perkembangan anus dan rektum.
Dalam perkembangan selanjutnya, ujung ekor dari belakang berkembang jadi kloaka yang
juga akan berkembang jadi genito urinari dan struktur anorektal. Atresia ani ini terjadi karena
ketidaksempurnaan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7- 10 minggu selama
perkembangan janin. Kegagalan migrasi tersebut juga karena gagalnya agenesis sakral dan
abnormalitas pada daerah uretra dan vagina atau juga pada proses obstruksi. Atresia ani dapat
terjadi karena tidak adanya pembukaan usus besar yang keluar anus sehingga menyebabkan
feses tidak dapat dikeluarkan.10
Interferensi dengan pengembangan struktur anorektal pada berbagai tahap mengarah
ke berbagai anomali, mulai dari stenosis anus, ruptur inkomplit dari membran anal, atau
agenesis anus untuk menyelesaikan kegagalan bagian atas kloaka untuk turun dan kegagalan
8
proctodeum untuk invaginasi. Komunikasi lanjutan antara saluran urogenital dan bagian
dubur dari pelat kloaka menyebabkan fistula atau fistula rectourethral rectovestibular.
Sfingter ani eksternal, yang berasal dari mesoderm eksterior, biasanya ada tapi memiliki
berbagai tingkat pembentukan, mulai dari otot yang kuat (fistula perineal atau vestibular)
dengan hampir tidak ada otot (kompleks lama-umum-saluran kloaka, prostat atau kandung
kemih-leher fistula) .
9
Malformasi Anorektal Cek keadaan anus pada bayi dengan
obstruksi usus.
2. Pemeriksaan fisik
Inspeksi dan Palpasi Perianal
- Apakah terdapat anus atau tidak, bisa juga tidak ada anus dan hanya berupa
lengkungan (anal dimple).
- Jika tidak ditemukan anus, kemungkinan ada fistula.
- Bila terdapat mekonium pada perineum mengindikasikan defek letak rendah dan
mekonium di urine merupakan bukti adanya fistula di saluran kemih. Bila terdapat
mekonium bercampur urin, maka terdapat 2 kemungkinan, yaitu fistula rektouretral
atau rektovesika. Pada fistula rektouretral didapatkan mekoneum mula-mula keluar
bersama miksi, urine selanjutnya makin lama makin jernih, dan dapat juga
mekoneum keluar tanpa melalui miksi. Sedangkan pada fistula rektovesika,
didapatkan miksi bercampur bersama dengan mekoneun dan dari awal sampai akhir
miksi berwarna kehitaman. Selain itu, cara membedakannya juga dapat dengan
menggunakan kateter. Jika setelah dipasang kateter didapatkan urin jernih, maka
fistula rektouretral karena fistula tertutup oleh kateter, sedangkan bila terdapat urin
bercampur mekonium maka fistula rektovesika.
- Pada perempuan diperiksa genitalia eksterna (fistula vestibulum).
- Pada perempuan jika urine bercampur mekonium dan terdapat hematuria maka
defek berupa letak tinggi. Jika dari uretra keluar mekonium, kencing jernih, dan
terdapat fistula pada perineum maka defek letak rendah.
- Dilihat pada saat anak menangis apakah anus menonjol atau tidak, jika menonjol
maka anomali letak rendah, sedangkan jika tidak maka anomali letak tinggi.
- Pada bayi yang baru lahir, hal yang harus kita lakukan adalah mengukur suhu
rektum sekaligus melihat apakah terdapat adanya lubang pada anus dengan
menggunakan termometer yang sudah diberi gel.
- Pemeriksaan abdomen :
Inspeksi = perut tampak kembung
Palpasi = distensi, nyeri tekan tidak dijumpai.
Perkusi = hipertimpani
Auskultasi = Peristaltik meningkat, dapat terdengar metalic sound
- Jika dalam 24 jam pertama tidak tampak mekonium baik pada perineum ataupun
urin, dapat dilakukan cross table lateral x-ray dengan posisi bayi tengkurap.
3. Pemeriksaan Penunjang
Meskipun diagnosis atresia ani dapat dibuat dengan pemeriksaan fisik, sering
kali sulit untuk menentukan apakah bayi memiliki lesi tinggi atau rendah. Sebuah
radiograf polos dari perut dapat membantu menemukan lesi. Selain itu, harus dicari
adanya kelainan lain yang terkait (Sindrom VACTERL) sampai tidak terbukti adanya
kelainan tersebut. Untuk memperkuat diagnosis sering diperlukan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut :
10
- Invertogram (Radiografi Abominal Lateral dengan marker radiopaque pada
perineum)
Teknik pengambilan foto ini dapat dibuat setelah udara yang ditelan oleh
bayi sudah mencapai rektum, dan bertujuan untuk menilai jarak puntung distal
rektum terhadap tanda timah atau logam lain pada tempat bakal anus di kulit
peritoneum. Pemeriksaan foto abdomen setelah 18-24 jam setelah bayi lahir agar
usus terisi udara, dengan cara Wangensteen & Rice (kedua kaki dipegang dengan
posisi badan vertikal dengan kepala di bawah) atau knee chest position (sujud),
dengan sinar horizontal diarahkan ke trochanter mayor. Prinsipnya adalah agar
udara menempati tempat tertinggi. Selanjutnya, diukur jarak dari ujung udara yang
ada di ujung distal rektum ke tanda logam (marker Pb) di perineum. Cara
Wangensteen dan Rice digunakan pada kondisi dengan fistula, sedangkan pada
knee chest position digunakan pada kondisi tanpa fistula dengan adanya gejala
ostruksi usus. Dengan menggunakan invertogram, dapat diketahui anomali yang
terjadi merupakan letak rendah atau tinggi. 1,9
Perbedaan invertogram pada anomali
letak rendah (gambar a) dan anomali letak tinggi (gambar b)
Adapun perbedaan gambaran radiologis antara anomali letak rendah dan letak
tinggi, yaitu:
- Obstruksi usus halus letak tinggi terdapat distensi minimal dan sedikir air fluid
level pada pemeriksaan radiologi.
- Obstruksi usus halus letak rendah terdapat multiple central air fluid level terlihat
pada pemeriksaan radiologi.
Syarat dari pembuatan invertogram adalah sebagai berikut:
1. Setelah usia > 24 jam (paling cepat 18 jam, karena udara sudah sampai ke anus).
2. Hip joint fleksi maksimal.
3. Arah cahaya dari lateral.
4. Kepala di bawah, kaki ke atas agar udara naik ke atas dan mekanium akan ke
bawah.
5. Interpretasi pada invertogram
a. Pada Wangensteen dan Rice
Bila letak udara paling distal :
> 1 cm = letak tinggi / high
< 1 cm = letak rendah / low
= 1 cm = letak intermediate / sedang
b. Pada knee chest position
Dengan Pubococcygeal line (PC line), yaitu dibuat garis imajiner antara
Pubo/Pubis (tumpang tindih dengan trochanter mayor) dengan os coccygeal.
11
Interpretasinya adalah sebagai berikut :
Ujung buntu di atas PC Line = letak rendah
Ujung buntu di bawah PC Line = letak tinggi
Anomali letak tinggi dengan PC line, a) Anomali letak tinggi, b) Anomali letak tinggi dengan
udara pada level S3, c) Anomali letak tinggi dengan udara pada PC line dan anomali sakrum
a) b) c)
Anomali letak rendah dengan PC line, a) Anomali letak rendah, b) Anomali letak rendah dengan
penurunan udara inkomplit, c) Setelah 3 jam tampak lesi yang lebih jelas
a) b) c)
- USG
USG abdomen dapat membantu menentukan apakah ada anomali saluran
kemih atau saraf pada tulang belakang. Selain itu, Ultrasound pada perineum
12
(daerah dubur dan vagina) juga berguna untuk menentukan jarak antara rektum
distal mekonium. 1
- Ekokardiografi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi apakah terdapat kelainan
bawaan pada jantung pasien.
Penegakkan diagnosis anomali letak tinggi dan letak rendah dapat ditegakkan melalui
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti yang diperlihatkan pada
algoritma dibawah ini.
13
Algoritma penegakkan diagnosis
Menonjol (-)
Kateter Kateter Cepat Lambat
jernih campur
mekonium
Penemuan Termometer
Fistula
rektouretral Fistula
-Stenosis Fistula Anus (-) Anus
rektovesi
-Membran (+)
kuler
anal
(+) (-)
Perineal Invertogram
rektovagina
rektovestibuler
Foto Jarak
Banyak Minimal
Sedikit Multiple
14
2.9 Tatalaksana
15
Pena dan DeVries pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi definitif
dengan pendekatan postero-sagital anorectoplasty (PSARP), yaitu dengan cara membelah
muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi
kantong rektum dan pemotongan fistel dengan stimulasi elektrik dari perineum. Jika
terdapat adanya kloaka persisten, maka traktus urinarius perlu dievaluasi secara hati-hati
saat kolostomi untuk memastikan terjadinya pengosongan yang normal dan menentukan
apakah vesica urinaria perlu di drainase dengan vesikostomi. Pada perempuan, jika
terdapat kloaka persisten maka perlu dilakukan rekonstruksi traktus urinarius dan vagina.
Jika terdapat keraguan dalam penentuan letak anomalinya, lebih baik dilakukan
kolostomi. Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka
panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi
trauma psikis. Sebagai tujuan akhirnya adalah defekasi secara teratur dan konsistensinya
baik.1
1 Kolostomi
Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus preternaturalis yaitu
pembuatan lubang sementara atau permanen dari usus besar melalui dinding perut
untuk mengeluarkan feses. Kolostomi dapat dilakukan pada kolon transversalis
ataupun sigmoid yang merupakan organ intraabdominal. Kolon dipisahkan pada
daerah sigmoid, dengan usus bagian proksimal sebagai kolostomi dan usus bagian
distal sebagai mukus fistula. Pemisahan secara komplit dari usus akan
meminimalkan kontaminasi feses menuju fistula rektourinarius sehingga mengurangi
risiko terjadinya urosepsis. Selanjutnya, bagian distal usus di evaluasi secara
radiografik untuk menentukan lokasi dari fistula rektourinarius. Kolostomi dilakukan
pada kolon transversum sebelah kiri di flexura lienalis atas pertimbangan sebagai
proteksi karena di sebelah kiri tidak ada organ-organ penting, kolon lebih mobile
sehingga lebih mudah, dan pada daerah ini tidak terjadi dehidrasi karena absorbsi
elektrolit maksimal di daerah tersebut sehingga konsistensi feces tidak keras.
16
Kolostomi
Suatu tindakan operasi definitif pada pasien atresia ani dengan teknik operasi
menggunakan irisan kulit secara sagital mulai dari tulang koksigeus sampai batas
anterior bakal anus. Prosedur ini memberikan beberapa keuntungan seperti
kemudahan dalam operasi fistula rektourinaria maupun rektovaginal dengan cara
membelah otot dasar perlvis, sling, dan sfingter. Saat ini, teknik yang paling banyak
dipakai adalah minimal, limited atau full PSARP.
Macam-macam PSARP
- Minimal PSARP
Tidak dilakukan pemotongan otot levator maupun vertical fibre, yang penting
adalah memisahkan common wall untuk memisahkan rektum dengan vagina
dan yang dibelah hanya otot sfingter eksternus. Indikasi dari minimal PSARP,
yaitu dilakukan pada fistula perineal, anal stenosis, anal membran, bucket
handle dan atresia ani tanpa fistula yang akhiran rektum kurang dari 1 cm dari
kulit.
- Limited PSARP
Yang dibelah adalah otot sfingter eksternus, muscle fiber, muscle complex serta
tidak membelah tulang koksigeus. Yang penting adalah diseksi rektum agar
tidak merusak vagina. Indikasi dari limited PSARP adalah atresia ani dengan
fistula rektovestibuler.
- Full PSARP
Dibelah otot sfingter eksternus, muscle complex, dan koksigeus. Indikasi dari
full PSARP, yaitu atresia ani letak tinggi dengan gambaran invertogram
gambaran akhiran rektum lebih dari 1 cm dari kulit, pada fistula rektovaginalis,
fistula rektouretralis, atresia rektum, dan stenosis rektum.
17
Gambar 1. Sebelum dan sesudah PSARP
a Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari dan salep antibiotik diberikan
selama 8-10 hari.3
b Pada kasus fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5-7 hari.
Sedangkan pada kasus kloaka persisten, kateter foley dipasang hingga 10-14
hari. Drainase suprapubik diindikasikan pada pasien persisten kloaka dengan
saluran lebih dari 3 cm.
c Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi dengan Heger dilatation. Untuk
pertama kali dilakukan oleh ahli bedah, kemudian dilatasi dua kali sehari
dilakukan oleh petugas kesehatan ataupun keluarga. Setiap minggu, lebar dilator
ditambah 1 mm hingga tercapai ukuran yang diinginkan. Dilatasi harus
dilanjutkan dua kali sehari sampai dilator dapat lewat dengan mudah. Kemudian
dilatasi dilakukan sekali sehari selama sebulan diikuti dengan dua kali seminggu
pada bulan berikutnya, sekali seminggu dalam 1 bulan kemudian dan terakhir
sekali sebulan selama tiga bulan. Setelah ukuran yang diinginkan tercapai,
dilakukan penutupan kolostomi.3
d Indikasi penutupan kolostomi adalah apabila sudah tercapai ukuran pada dilatasi
anal yang sudah sesuai dengan umur (maksimal 16 French pada usia 3 tahun).
e Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi karena
kulit perineum bayi tidak pernah kontak dengan feses sebelumnya. Salep tipikal
yang mengandung vitamin A, D, aloe, neomycin dan desitin dapat digunakan
untuk mengobati eritema popok ini.3
2.10 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada penderita atresia ani antara lain :
1 Infeksi saluran kemih yang berkepanjangan.
2 Obstruksi intestinal
3 Kerusakan uretra akibat prosedur pembedahan.
4 Komplikasi jangka panjang :
a Eversi mukosa anal.
b Stenosis akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis.
c Impaksi dan konstipasi akibat terjadi dilatasi sigmoid.
d Masalah atau kelambatan yang berhubungan dengan toilet training.
e Inkontinensia akibat stenosis anal atau impaksi.
f Fistula kambuh karena tegangan di area pembedahan dan infeksi
18
2.11 Prognosis
1 Dengan menggunakan kalsifikasi diatas dapat dievaluasi fungsi klinis:
a Kontrol feses dan kebiasaan buang air besar
b Sensibilitas rektum
c Kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok dubur
2 Evaluasi psikologis
Fungsi kontinensia tidak hanya tergantung pada kekuatan sfingter atau sensasi saja, tetapi
tergantung juga pada bantuan orang tua dan kooperasi serta keadaan mental penderita.
19
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Atresia ani merupakan kelainan kongenital yang dapat terjadi pada bayi. Pemeriksaan dini
yang cermat dan tepat akan membantu penegakan diagnosis yang baik dan tepat pula. Penentuan
apakah atresia ani ini berdiri sendiri atau diikuti kelainan kongenital lain juga merupakan hal
yang penting Karena menyangkut fungsi dari organ tubuh bayi. Atresia ani yang sudah di
diagnosis dan di berikan terapi maupun tindakan yang tepat akan menghasilkan prognosis yang
baik pula.
3.2 Saran
Kemampuan dan ketelitian dalam menganamnesis keluhan, pemeriksaan fisik, dan
pencegahan sedini mungkin membantu meningkatkan keberhasilan tindakan dan penentuan
langkah yang dapat diambil dalam mengatasi berbagai macam masalah dalam dunia kedokteran,
maka dari itu perlunya untuk mempertajam kemampuan dan terus membaca akan meningkatkan
kesejahteraan dan kesehatan masyarakat pada umumnya.
20
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1 Brunicardi FC, Anderson DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Matthews JB, et al.
Pediatric Surgery. In: Schwartzs Principles of Surgery. 9th edition. McGraw Hill; 2010.p.
2777-2780.
2 Grosfeld J, ONeill J, Coran A, Fonkalsrud E. Pediatric Surgery 6th edition. Philadelphia :
Mosby elseivier, 2006; 1566-99.
3 Oldham K, Colombani P, Foglia R, Skinner M. principles and Practice of Pediatric Surgery
Vol.2. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2005; 1395-1434
4 Suriadi. Asuhan Keperawatan Anak. Jakarta : Seto Agung; 2006.hlm 159
5 Nelson, G Rosen, MD. Pediatric Imperforate Anus. 25 januari 2010. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/929904-overview
6 Sjamsuhidajat R. De Jong W. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2005.hlm. 668-70.
7 Anonymus. Ilmu Bedah. Available at: http:// www. bedahugm. net/atresia-ani. ac.
8 Ganz, RA. The Evaluation and Treatment of Hemorrhoids: A Guide forthe
Gastroenterologist. Clinical Gastroenterology and Hepatology. 2013 (11) : P 593 603
9 Williams N, Bulstrode CJK, Oconnell PR. Bailey and love short practice of surgery. 25th
edition. Edward Arnold (Publisher) Ltd; 2008.p. 87-88, 1247.
10 Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, & Stanton BF. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th
ed. United States of America. Saunders Elsevier. 2007.
21