Vous êtes sur la page 1sur 21

MAKALAH OBAT TRADISIONAL

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat tradisional merupakan warisan budaya bangsa perlu terus


dilestariakan dan dikembangkan untuk menunjang pembangunan kesehatan
sekaligus untuk meningkatkan perekonomian rakyat. Produksi, dan penggunaan
obat tradisional di Indonesia memperlihatkan kecendrungan terus meningkat, baik
jenis maupun volumenya. Perkembangan ini telah mendorong pertumbuhan usaha
di bidang obat tradisional, mulai dari usaha budidaya tanaman obat, usaha
industry obat tradisional, penjaja dan penyeduh obat tradisional atau jamu.
Bersamaan itu upaya pemanfaatan obat tradisional dalam pelayanan kesehatan
formal juga terus digalakkan melalui berbagai kegiatan uji klinik kearah
pengembangan fito farmaka (Ditjen POM, 1999).
Meningkatkan produksi, peredaran dan penggunaan obat tradisional, di sisi lain
dicemari oleh beredarnya obat tradisional yang tidak terdaftar, obat tradisional
yang mengandung bahan kimia obat atau mengandung bahan-bahan berbahaya
lainnya serta obat tradisional yang tidak memenuhi persyaratan mutu. Peredaran
dan penggunaan obat tradisional seperti ini selain sangat membahayakan
kesehatan/jiwa konsumen juga merusak citra obat tradisional secara keseluruhan.
Guna melindungi masyarakat dari bahaya penggunaan obat tradisional yang tidak
terdaftar atau tidak memenuhi syarat , ditempuh berbagai langkah strategis, antara
lain penyebaran informasi yang cukup kepada masyarakat dan pengusaha,
termasuk informasi mengenai peraturan perundangan-undangan yang berlaku di
bidang obat tradisional (Ditjen POM, 1999).

1.2 Tujuan
Untuk mengetahui definisi tentang obat tradisional
Untuk mengetahui tanaman yang bisa digunakan untuk obat tradisional.
Untuk memahami tentang bentuk sediaan obat tradisional.
1.3 Manfaat
Untuk menambah pengetahuan dan lebih mendalami tentang obat
tradisional.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat Tradisional


Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan
tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman. Pengobatan tradisional. (Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1992
tentang kesehatan)
Adalah pengobatan dan atau perawatan dengan cara, obat dan pengobatannya
yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun dan diterapkan
sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat.
Obat tradisional Peraturan menurut Menteri Kesehatan RI.No.
179/Men.Kes/Per/VII/1976 Tentang Produksi dan Distribusi Obat Tradisionil
adalah obat jadi atau obat berbungkus yang berasal dari bahan tumbuh-tumbuhan,
hewan, mineral dan atau sediaan galeniknya atau campuran bahan-bahan tersebut
yang belum mempunyai data klinis dan dipergunakan dalam usaha pengobatan
berdasarkan pengalaman :
- bahan alam
- bedasarkan pengalaman
obat tradisional menurut Peraturan Menteri Kesehatan
RI.No.246/Men.Kes/Per/V/1990 Tentang Izin Usaha IOT dan Pendaftaran O.T
Dan Undang-Undang RI No. 23 Tahun 1992 tentang kesehatan Adalah bahan atau
ramuan bahan, yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral,
sediaan sarian (galenik) atau campuran bahan tersebut yang secara turun temurun
telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman.
Sejarah obat tradisional :
Tradisi : merupakan kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh berkembang,
terpeliharah pada sekelompok / golongan masyarakat, yang pada akhirnya
melahirkan satu budaya
Kebiasaan lahir dari pengalaman
Pengalaman diperoleh dari berbagai cara, antara lain :
mencoba-coba
signatura
petunjuk dari yang kuasa
Tahun 1976, merupakan awal pengembangan O.T di Indonensia dengan
dibentuknya direktorat pengawasan obat tradisional, pada direktorat pengawan
obat dan makanan, departemen kesehatan.
Lahir aturan-aturan tentang obat radisional yang dikenal dengan paket deregulasi,
yaitu Peraturan Menteri Kesehatan R.I :
1. No. 179/Men.Kes/Per/VII/76, Produksi dan Distribusi Obat TradisionL
2. No. 180/Men.Kes/Per/VII/76, Wajib Daftar Obat Tradisional
3. No. 181/Men.Kes/Per/VII/76, Pembungkusan dan Penandaan Obat
Tradisional.
2.1.1 Izin Edar

Obat tradisional yang diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki izin edar
yang diberikan oleh Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. Pemberian izin
edar dilaksanakan melalui mekanisme registrasi sesuai dengan tatalaksana yang
ditetapkan dan berlaku selama 5(lima) tahun. Dikecualikan dari ketentuan
kewajiban memiliki izin edar di berlakukan terhadap:
a. obat tradisional yang dibuat oleh usaha jamu racikan dan usaha jamu
gendong
b. simplisia dan sediaan galenik untuk keperluan industri dan keperluan
layanan pengobatan tradisional
c. obat tradisional yang digunakan untuk penelitian, sampel untuk registrasi
dan pameran dalam jumlah terbatas dan tidak diperjualbelikan.

Obat tradisional yang dapat diberikan izin edar harus memenuhi kriteria sebagai
berikut:
a. menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu
b. dibuat dengan menerapkan CPOTB
c. memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia atau persyaratan lain
yang diakui
d. berkhasiat yang dibuktikan secara empiris, turun temurun, dan/atau secara
ilmiah, penandaan berisi informasi yang objektif, lengkap, dan tidak menyesatkan.

Kewajiban Pemegang Nomor Izin Edar


Pemegang nomor izin edar wajib melakukan pemantauan terhadap keamanan,
khasiat/manfaat, dan mutu produk yang beredar. Dalam hal terjadi ketidaksesuaian
terhadap keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu produk, pemegang nomor izin
edar wajib melakukan penarikan produk dari peredaran dan melaporkan kepada
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.

Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku:


a. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 181/Menkes/Per/VII/1976 tentang
Pembungkusan dan Penandaan Obat Tradisional
b. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 230/Menkes/IX/1976 tentang Wajib
Daftar Simplisia Impor
c. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Izin
Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional sepanjang yang
mengatur pendaftaran obat tradisional sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Menteri ini
d. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 661/Menkes/Per/VII/1994 tentang
Persyaratan Obat Tradisional
e. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1297/Menkes/Per/XI/1998 tentang
Peredaran Obat Tradisional Impor.
Obat tradisional dilarang mengandung:
a. etil alkohol lebih dari 1%, kecuali dalam bentuk sediaan tingtur yang
pemakaiannya dengan pengenceran
b. bahan kimia obat yang merupakan hasil isolasi atau sintetik berkhasiat obat
c. narkotika atau psikotropika
e. dan atau bahan lain yang berdasarkan pertimbangan kesehatan dan/atau
berdasarkan penelitian membahayakan kesehatan yang jenisnya ditetapkan dengan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makan.
Obat tradisional dilarang dibuat dan/atau diedarkan dalam bentuk sediaan:
a. Intravaginal
b. tetes mata
c. parenteral

Registrasi Obat Tradisional


Registrasi Obat Tradisional Produksi Dalam Negeri hanya dapat dilakukan
oleh Industri Obat Tradisional, Usaha Kecil Obat Tradisional atau Usaha Mikro
Obat Tradisional yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Registrasi Obat Tradisional Kontrak hanya dapat dilakukan oleh pemberi
kontrak dengan melampirkan dokumen kontrak. Obat tradisional kontrak adalah
obat tradisional yang seluruh atau sebagian tahapan pembuatan dilimpahkan
kepada industri obat tradisional atau usaha kecil obat tradisional berdasarkan
kontrak.
Registrasi Obat Tradisional Lisensi hanya dapat dilakukan oleh Industri
Obat Tradisional, Usaha Kecil Obat Tradisional penerima lisensi yang memiliki
izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Obat tradisional lisensi
adalah obat tradisional yang seluruh tahapan pembuatan dilakukan oleh industri
obat tradisional atau usaha kecil obat tradisional di dalam negeri atas dasar lisensi.
Registrasi Obat Tradisional Impor hanya dapat dilakukan oleh Industri Obat
Tradisional, Usaha Kecil Obat Tradisional, atau importir obat tradisional yang
mendapat penunjukan keagenan dan hak untuk melakukan registrasi dari industri
di negara asal. Obat tradisional impor adalah obat tradisional yang seluruh proses
pembuatan atau sebagian tahapan pembuatan sampai dengan pengemasan primer
dilakukan oleh industri di luar negeri, yang dimasukkan dan diedarkan di wilayah
Indonesia.
Registrasi Obat Tradisional Khusus Ekspor dilakukan oleh Industri Obat
Tradisional, Usaha Kecil Obat Tradisional atau Usaha Mikro Obat Tradisional
yang memiliki izin sesuai ketentuan peraturan perundangundangan.
Obat tradisional dibuat atau diramu dari bahan tumbuh-tumbuhan, bahan hewan,
sediaan sarian (galenik), atau campuran bahan-bahan tersebut. Obat tradisional
secara turun-temurun telah digunakan untuk kesehatan berdasarkan pengalaman.
Obat tradisional telah digunakan oleh berbagai aspek masyarakat mulai dari
tingkat ekonomi atas sampai tingkat bawah, karena obat tradisional mudah
didapat, harganya yang cukup terjangkau dan berkhasiat untuk pengobatan,
perawatan dan pencegahan penyakit (Ditjen POM, 1994).
Untuk meningkatkan mutu suatu obat tradisional, maka pembuatan obat
tradisional haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya mengikutkan pengawasan
menyeluruh yang bertujuan untuk menyediakan obat tradisional yang senantiasa
memenuhi persyaratan yang berlaku. Keamanan dan mutu obat tradisional
tergantung dari bahan baku, bangunan, prosedur, dan pelaksanaan pembuatan,
peralatan yang digunakan, pengemasan termasuk bahan serta personalia yang
terlibat dalam pembuatan obat tradisional (Dirjen POM, 1994).
Bahan-bahan ramuan obat tradisional seperti bahan tumbuh-tumbuhan, bahan
hewan, sediaan sarian atau galenik yang memiliki fungsi, pengaruh serta khasiat
sebagai obat, dalam pengertian umum kefarmasian bahan yang digunakan sebagai
simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa
bahan yang dikeringkan (Dirjen POM, 1999).

2.1.2 Kelebihan dan kekurangan obat tradisional


A. Keuntungan obat tradisonal
Kelebihan Obat Tradisional Dibandingkan obat-obat modern, memang OT/TO
memiliki beberapa kelebihan, antara lain : efek sampingnya relatif rendah, dalam
suatu ramuan dengan komponen berbeda memiliki efek saling mendukung, pada
satu tanaman memiliki lebih dari satu efek farmakologi serta lebih sesuai untuk
penyakit-penyakit metabolik dan degeneratif.
1. Efek samping OT relatif kecil bila digunakan secara benar dan tepat
OT/TO akan bermanfaat dan aman jika digunakan dengan tepat, baik takaran,
waktu dan cara penggunaan, pemilihan bahan serta penyesuai dengan indikasi
tertentu.
2. Adanya efek komplementer dan atau sinergisme dalam ramuan obat
tradisional/komponen bioaktif tanaman obat. Dalam suatu ramuan OT umumnya
terdiri dari beberapa jenis TO yang memiliki efek saling mendukung satu sama
lain untuk mencapai efektivitas pengobatan. Formulasi dan komposisi ramuan
tersebut dibuat setepat mungkin agar tidak menimbulkan kontra indikasi, bahkan
harus dipilih jenis ramuan yang saling menunjang terhadap suatu efek yang
dikehendaki. Sebagai ilustrasi dapat dicontohkan bahwa suatu formulasi terdiri
dari komponen utama sebagai unsur pokok dalam tujuan pengobatan, asisten
sebagai unsur pendukung atau penunjang, ajudan untuk membantu menguatkan
efek serta pesuruh sebagai pelengkap atau penyeimbang dalam formulasi. Setiap
unsur bisa terdiri lebih dari 1 jenis TO sehingga komposisi OT lazimnya cukup
komplek.
3. Pada satu tanaman bisa memiliki lebih dari satu efek farmakologi
Zat aktif pada tanaman obat umunya dalam bentuk metabolit sekunder, sedangkan
satu tanaman bisa menghasilkan beberapa metabolit sekunder; sehingga
memungkinkan tanaman tersebut memiliki lebih dari satu efek farmakologi. Efek
tersebut adakalanya saling mendukung (seperti pada herba timi dan daun kumis
kucing), tetapi ada juga yang seakan-akan saling berlawanan atau kontradiksi
(sperti pada akar kelembak). Sebagai contoh misalnya pada rimpang temu lawak
(Curcuma xanthoriza) yang disebutkan memiliki beberapa efek farmakologi,
antara lain : sebagai anti inflamasi (anti radang), anti hiperlipidemia (penurun
lipida darah), cholagogum (merangsang pengeluaran produksi cairan empedu),
hepatoprotektor (mencegah peradangan hati) dan juga stomakikum (memacu
nafsu makan).
4. Obat tradisional lebih sesuai untuk penyakit-penyakit metabolik dan
degeneratif. Sebagaimana diketahui bahwa pola penyakit di Indonesia (bahkan di
dunia) telah mengalami pergeseran dari penyakit infeksi (yang terjadi sekitar
tahun 1970 ke bawah) ke penyakit-penyakit metabolik degeneratif (sesudah tahun
1970 hingga sekarang). Hal ini seiring dengan laju perkembangan tingkat
ekonomi dan peradaban manusia yang ditandai dengan pesatnya perkembangan
ilmu dan teknologi dengan berbagai penemuan baru yang bermanfaat dalam
pengobatan dan peningkatan kesejahteraan umat manusia.Pada periode sebelum
tahun 1970-an banyak terjangkit penyakit infeksi yang memerlukan
penanggulangan secara cepat dengan mengunakan antibiotika (obat modern). Pada
saat itu jika hanya mengunakan OT atau Jamu yang efeknya lambat, tentu kurang
bermakna dan pengobatannya tidak efektif. Sebaliknya pada periode berikutnya
hinga sekarang sudah cukup banyak ditemukan turunan antibiotika baru yang
potensinnya lebih tinggi sehingga mampu membasmi berbagai penyebab penyakit
infeksi. Akan tetapi timbul penyakit baru yang bukan disebabkan oleh jasad renik,
melainkan oleh gangguan metabolisme tubuh akibat konsumsi berbagai jenis
makanan yang tidak terkendali serta gangguan faal tubuh sejalan dengan proses
degenerasi. Penyakit ini dikenal dengan sebutan penyakit metabolik dan
degeneratif. Yang termasuk penyakit metabolik antara lain : diabetes (kecing
manis), hiperlipidemia (kolesterol tinggi), asam urat, batu ginjal dan hepatitis;
sedangkan penyakit degeneratif diantaranya : rematik (radang persendian), asma
(sesak nafas), ulser (tukak lambung), haemorrhoid (ambaien/wasir) dan pikun
(Lost of memory).
B. Kelemahan obat tradisonal
Disamping berbagai keuntungan, bahan obat alam juga memiliki beberapa
kelemahan yang juga merupakan kendala dalam pengembangan obat tradisional
(termasuk dalam upaya agar bisa diterima pada pelayanan kesehatan formal).
Adapun beberapa kelemahan tersebut antara lain : efek farmakologisnya yang
lemah, bahan baku belum terstandar dan bersifat higroskopis serta volumines,
belum dilakukan uji klinik dan mudah tercemar berbagai jenis mikroorganisme.
Menyadari akan hal ini maka pada upaya pengembangan OT ditempuh berbagai
cara dengan pendekatan-pendekatan tertentu, sehingga ditemukan bentuk OT yang
telah teruji khasiat dan keamanannya, bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah
serta memenuhi indikasi medis; yaitu kelompok obat fitoterapi atau fitofarmaka
Akan tetapi untuk melaju sampai ke produk fitofarmaka, tentu melalui beberapa
tahap (uji farmakologi, toksisitas dan uji klinik) hingga bisa menjawab dan
mengatasi berbagai kelemahan tersebut.
Efek farmakologis yang lemah dan lambat karena rendahnya kadar senyawa aktif
dalam bahan obat alam serta kompleknya zat balast/senyawa banar yang umum
terdapat pada tanaman. Hal ini bisa diupayakan dengan ekstrak terpurifikasi, yaitu
suatu hasil ekstraksi selektif yang hanya menyari senyawa-senyawa yang berguna
dan membatasi sekecil mungkin zat balast yang ikut tersari.

2.1.3 CARA PRODUKSI OBAT TRADISIONAL YANG BAIK


Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) meliputi seluruh aspek
yang menyangkut pembuatan obat tradisional, yang bertujuan untuk menjamin
agar produk yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang telah
ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya. Mutu produk tergantung dari
bahan awal, proses produksi dan pengawasan mutu, bangunan, peralatan dan
personalia yang menangani. Penerapan CPOTB merupakan persyaratan kelayakan
dasar untuk menerapkan sistem jaminan mutu yang diakui dunia internasional.
Untuk itu sistem mutu hendaklah dibangun, dimantapkan dan diterapkan sehingga
kebijakan yang ditetapkan dan tujuan yang diinginkan dapat dicapai. Dengan
demikian penerapan CPOTB merupakan nilai tambah bagi produk obat tradisional
Indonesia agar dapat bersaing dengan produk sejenis dari negara lain baik di pasar
dalam negeri maupun internasional. Mengingat pentingnya penerapan CPOTB
maka pemerintah secara terus menerus memfasilitasi industri obat tradisional baik
skala besar maupun kecil untuk dapat menerapkan CPOTB melalui langkah-
langkah dan pentahapan yang terprogram. Dengan adanya perkembangan jenis
produk obat bahan alam tidak hanya dalam bentuk Obat Tradisional (Jamu), tetapi
juga dalam bentuk Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka, maka Pedoman Cara
Pembuatan Obat Tradisional yang Baik ini dapat pula diberlakukan bagi industri
yang memproduksi Obat Herbal Terstandar dan Fitofarmaka.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam CPOTB adalah:
1. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan
tumbuhan,bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian atau galenik, atau
campuran daribahan tersebut, yang secara turun menurun telah digunakan untuk
pengobatanberdasarkan pengalaman.
2. Bahan awal adalah bahan baku dan bahan pengemas yang digunakan dalam
pembuatan suatu produk obat tradisional.
3. Bahan baku adalah simplisia, sediaan galenik, bahan tambahan atau bahan
lainnya, baik yang berkhasiat maupun yang tidak berkhasiat, yang berubah
maupun yang tidak berubah, yang digunakan dalam pengolahan obat
tradisional,walaupun tidak semua bahan tersebut masih terdapat didalam produk
ruahan.
4. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat tradisional
yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain
merupakan bahan yang dikeringkan.
5. Bahan pengemas adalah semua bahan yang digunakan untuk pengemasan
produk ruahan untuk menghasilkan produk jadi.
6. Produk antara adalah bahan atau campuran bahan yang masih memerlukan
satu atau lebih tahap pengolahan lebih lanjut untuk menjadi produk ruahan.
7. Produk ruahan adalah bahan atau campuran bahan yang telah selesai diolah
yang masih memerlukan tahap pengemasan untuk menjadi produk jadi.
8. Produk jadi adalah produk yang telah melalui seluruh tahap proses
pembuatan obat tradisional.
9. Pembuatan adalah seluruh rangkaian kegiatan yang meliputi pengadaan
bahan awal termasuk penyiapan bahan baku, pengolahan, pengemasan,
pengawasan mutu sampai diperoleh produk jadi yang siap untuk didistribusikan.
10. Produksi adalah semua kegiatan pembuatan dimulai dari pengadaan bahan
awal termasuk penyiapan bahan baku, pengolahan, sampai dengan pengemasan
untuk menghasilkan produk jadi.
11. Pengolahan adalah seluruh rangkaian kegiatan mulai dari penimbangan bahan
baku sampai dengan dihasilkannya produk ruahan.
12. Pengemasan adalah kegiatan mewadahi, membungkus, memberi etiket dan
atau kegiatan lain yang dilakukan terhadap produk ruahan untuk menghasilkan
produk jadi.
13. Pengawasan dalam proses adalah pemeriksaan dan pengujian yang ditetapkan
dan dilakukan dalam suatu rangkaian proses produksi, termasuk pemeriksaan dan
pengujian yang dilakukan terhadap lingkungan dan peralatan dalam rangka
menjamin bahwa produk akhir (jadi) memenuhi spesifikasinya.
14. Pengawasan mutu (quality control) adalah semua upaya pemeriksaan dan
pengujian selama pembuatan untuk menjamin agar obat tradisional
yangdihasilkan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.
15. Sanitasi adalah segala upaya yang dilakukan untuk menjamin kebersihan
sarana pembuatan, personil, peralatan dan bahan yang ditangani.
16. Dokumentasi adalah catatan tertulis tentang formula, prosedur, perintah dan
catatan tertulis lainnya yang berhubungan dengan pembuatan obat tradisional.
17. Verifikasi adalah suatu tindakan pembuktian dengan cara yang sesuai bahwa
tiap bahan, perlengkapan, prosedur kegiatan yang digunakan dalam pembuatan
obat tradisional senantiasa mencapai hasil yang diinginkan.
18. Inspeksi diri adalah kegiatan yang dilakukan untuk menilai semua aspek,
mulai dari pengadaan bahan sampai dengan pengemasan dan penetapan tindakan
perbaikan yang dilakukan oleh semua personal industri obat tradisional sehingga
seluruh aspek pembuatan obat tradisional dalam industri obat tradisional tersebut
selalu memenuhi CPOTB.
19. Bets adalah sejumlah produk obat tradisional yang diproduksi dalam satu
siklus pembuatan yang mempunyai sifat dan mutu yang seragam.
20. Lot adalah bagian tertentu dari suatu bets yang memiliki sifat dan mutu yang
seragam dalam batas yang telah ditetapkan.
21. Kalibrasi adalah kombinasi pemeriksaan dan penyetelan suatu instrumen
agar memenuhi syarat batas keakuratan menurut standar yang diakui.
22. Karantina adalah status suatu bahan atau produk yang dipisahkan baik secara
fisik maupun secara sistem, sementara menunggu keputusan pelulusan atau
penolakan untuk diproses, dikemas atau didistribusikan.
23. Nomor bets atau nomor lot adalah suatu rancangan nomor dan atau huruf
yang menjadi tanda riwayat suatu bets atau lot secara lengkap, termasuk
pemeriksaan mutu dan pendistribusiannya.
24. Diluluskan (released) adalah status bahan atau produk yang boleh digunakan
untuk diproses, dikemas atau didistribusikan.
25. Produk kembalian adalah produk yang dikembalikan dari semua mata rantai
distribusi ke pabrik.
26. Penarikan kembali (recall) adalah kegiatan menarik kembali produk dari
semua mata rantai distribusi apabila ditemukan adanya produk yang tidak
memenuhi persyaratan mutu, keamanan dan penandaan atau adanya efek yang
merugikan kesehatan.
27. Keluhan adalah suatu pengaduan dari pelanggan atau konsumen mengenai
kualitas, kuantitas, khasiat dan keamanan.
Menurut Material Medika (MMI, 1995), simplisia dapat digolongkan dalam
tiga kategori, yaitu:
1. Simplisia nabati
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian tanaman atau
eksudat tanaman. Eksudat adalah isi sel yang secara spontan keluar dari tanaman
atau isi sel yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya dan belum
berupa zat kimia.
2. Simplisia hewani
Simplisia hewani adalah simplisia yang berupa hewan atau bagian hewan zat-zat
berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni.
3. Simplisia pelikan (mineral)
Simplisia pelikan adalah simplisia yang berupa bahan-bahan pelican (mineral)
yang belum diolah atau telah diolah dengan cara sederhana dan belum berupa zat
kimia.

Zat kimia berkhasiat (obat) tidak diperbolehkan digunakan dalam campuran obat
tradisional karena obat tradisional diperjual belikan secara bebas. Dengan
sendirinya apabila zat berkhasiat (obat) ini dicampurkan dengan ramuan obat
tradisional dapat berakibat buruk bagi kesehatan (Dirjen POM, 1986).
Sumber simplisia :
1. tumbuhan liar
Kerugian : a. umur dan bagian tanaman
b. jenis (species)
c. lingkungan tempat tumbuh
Keuntungan : a. Ekonomis

2. tanaman budidaya (tumpangsari, toga, perkebunan)


Keuntungan : a. bibit unggul
b. pengolahan pascapanen
c. tempat tumbuh
Kerugian : a. tanaman manja
b. residu pestisida

SYARAT SIMPLISIA NABATI/HEWANI

1. Harus bebas serangga, fragmen hewan, kotoran hewan


2. Tidak boleh menyimpang dari bau, warna
3. Tidak boleh mengandung lendir, cendawan, menun jukkan tanda-tanda
pengotoran lain
4. Tidak boleh mengandung bahan lain yang beracun atau berbahaya
5. Kadar abu yang tidak larut dalam asam maksimal 2%
PELIKAN : Harus bebas dari pengotoran tanah, batu, hewan, fragmen hewan dan
bahan asing lainnya

2.2 Tanaman Obat

Pengetahuan tentang tanaman berkhasiat obat ini sudah lama dimiliki oleh nenek
moyang kita dan hingga saat ini telah banyak yang terbukti secara ilmiah. Dan
Pemanfaatan tanaman obat Indonesia akan terus meningkat mengingat kuatnya
keterkaitan bangsa Indonesia terhadap tradisi kebudayaan memakai jamu.
Bagian-bagian yang digunakan sebagai bahan obat yang disebut simplisia.
Simplisia:
a. Kulit (cortex)
Kortek adalah kulit bagian terluar dari tanaman tingkat tinggi yang berkayu.
b. Kayu (lignum)
Simplisia kayu merupakan pemanfaatan bagian dari batang atau cabang.
c. Daun (folium)
Folium merupakan jenis simplisia yang paling umum digunakan sebagai bahan
baku ramuan obat tradisional maupun minyak atsiri.
d. Herba
Simplisia herba pada umumnya berupa produk tanaman obat dari jenis herba yang
bersifat herbaceous.
e. Bunga (flos)
Bunga sebagai simplisia dapat berupa bunga tungga atau majemuk, bagian bunga
majemuk serta komponen penyusun bunga.
f. Akar (radix)
Akar tanaman yang sering dimanfaatkan untuk bahan obat dapat berasal dari jenis
tanaman yang umumnya berbatang lunak dan memiliki kandungan air yang tinggi.
g. Umbi (bulbus)
Bulbus atau bulbi adalah produk berupa potongan rajangan umbi lapis, umbi akar,
atau umbi batang. Bentuk ukuran umbi bermacam-macam tergantung dari jenis
tanamannya.
h. Rimpang (rhizoma)
Rhizoma atau rimpang adalah produk tanaman obat berupa potongan-potongan
atau irisan rimpang.
i. Buah (fructus)
Simplisia buah ada yang lunak dan ada pula yang keras. Buah yang lunak akan
menghasilkan simplisia dengan bentuk dan warna yang sangat berbeda, khususnya
bila buah masih dalam keadaan segar.
j. Kulit buah (perikarpium)
Sama halnya dengan simplisia buah, simplisia kulit buah pun ada yang lunak,
keras bahkan adapula yang ulet dengan bentuk bervariasi.
k. Biji (semen)
Semen (biji-bijian) diambil dari buah yang telah masak sehingga umumnya sangat
keras. Bentuk dan ukuran simplisia biji pun bermacam- macam tergantung dari
jenis tanaman (Widyastuti, 2004).
2.3 Bentuk sediaan Obat Tradisional
Obat tradisional tersedia dalam berbagai bentuk yang dapat diminum atau
ditempelkan pada permukaan pada permukaan kulit. Tetapi tidak tersedia dalam
bentuk suntikan atau aerosol. Dalam bentuk sediaan obat- obat tradisional ini
dapat berbentuk serbuk yang menyerupai bentuk sediaan obat modren, kapsul,
tablet, larutan, ataupun pil (BPHN, 1993).

2.3.1 Larutan
Larutan terjadi apabila suatu zat padat bersinggungan dengan suatu cairan, maka
padat tadi terbagi secara molekuler dalam cairan tersebut. Zat cair atau cairan
biasanya ditimbang dalam botol yang digunakan sebagai wadah yang diberikan.
Cara melarutkan zat cair ada dua cara yakni zat-zat yang agak sukar larut
dilarutkan dengan pemanasan (Anief, 2000).

2.3.2 Serbuk
Serbuk adalah campuran homogen dua atau lebih obat yang disebukkan. Pada
pembuatan serbuk kasar, terutama serbuk nabati, digerus terlebih dahulu sampai
derajat halus tertentu setelah itu dikeringkan pada suhu tidak lebih 500C.
Serbuk obat yang mengandung bagian yang mudah menguap dikeringkan dengan
pertolongan bahan pengering yang cocok, setelah itu diserbuk dengan jalan
digiling, ditumbuk dan digerus sampai diperoleh serbuk yang mempunyai derajat
halus serbuk (Anief, 2000).

2.3.3 Tablet
Tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa-cetak, berbentuk rata atau
cempung rangkap, umumnya bulat, mengandung satu jenis obat atau lebih
dengan atau tanpa zat tambahan. Zat pengembang, zat pengikat, zat pelicin, zat
pembasah. Contohnya yaitu tablet antalgin (Anief, 2002).

2.3.4 Pil
Pil adalah suatu sediaan yang berbentuk bulat seperti kelereng mengandung satu
atau lebih bahan obat. Berat pil berkisar antara 100 mg sampai 500 mg. untuk
membuat pil diperlukan zat tambahan seperti zat pengisi untuk memperbesar
volume, zat pengikat dan pembasah dan bila perlu ditambah penyalut (Anief,
2002).

2.3.5 Kapsul
Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau
lunak yang dapat larut. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin, tetapi dapat juga
terbuat dari pati dan bahan lain yang sesuai. Ukuran cangkang kapsul keras
bervariasi dari nomor paling kecil (5) sampai nomor paling besar (000), dan ada
juga kapsul gelatin keras ukuran 0 dengan bentuk memanjang ( dikenal sebangai
usuran OE), yang memberikan kapasitas isi yang lebih besar tanpa peningkatan
diameter. Contohnya kapsul pacekap (Farmakope IV, 1995).

2.4 Simplisia yang terdapat dalam jamu

a. Coriandri Fruktus
Ketumbar adalah Coriandrum sativum suku Apiaceae
Ketumbar berkhasiat untuk meredakan pusing, muntah- muntah, influensa, wasir,
radang lambung, campak, masuk angin, terkena darah tinggi, dan lemah syahwat.
b. Myristicae semen
Buah pala adalah myristica fragrans suku Myristicaceae
Mengandung minyak atsiri, zat samak, dan zat pati.
Buah pala berkhasiat sebagai obat diare, kembung, mual serta untuk menetapkan
daya cerna dan selera makan, yang kaya akan vitamin C, kalsium, dan posfor.
Senyawa kimia buah pala tersebut terdapat dikulit, daging, biji pala hingga
bunganya.
c. Piperis Nigri Fruktus
Lada hitam adalah piper nigrum suku Piperaceae
Mengandung saponim, flavonoid, minyak atsiri, kavisin, resin, amilum.
Lada hitam berkhasiat untuk memperlancar menstruasi, meredakan serangan
asma, meringankan gejala ramatik, mengatasi perut kembung serta
menyembuhkan sakit kepala.
d. Andrographis Herba
Tanaman sambiloto adalah Andrograpis Peniculata suku Acanthaceae.
Mengandung flavinoid, alkane, keton, aldehid, dan beberapa mineral seperti
kalium, kalsium, dan natrium. Tanaman ini berkhasiat sebagai antiradang ,
analgetik, dan penawar racun.

e. Curcumae Rhizoma
Temulawak adalah Curcuma Xanthorrhiza suku Zingiberaceae. Mengandung pati,
kurkuminoid, dan minyak atsiri. Temulawak berkhasiat antiradang, antisembelit,
tonikum, dan diuretik.
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Obat tradisional adalah bahan atau ramuan yang berupa bahan tumbuhan,
bahan hewan, bahan mineral, sediaan galenik atau campuran dari bahan-bahan
tersebut, yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman.
Bahan yang digunakan dalam obat tradisional adalah simplisia.
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa
bahan yang dikeringkan.
Simplisia yang digunakan berasal dari tumbuhan, hewan, pelikan (mineral)
dan bisa bersumber dari tumbuhan liar atau tumbuhan budidaya yang harus
memenuhi syarat sesuai dengan ketentuan pengobatan tradisional.
Bagian tanaman obat yang digunakan untuk obat tradisional adalah kulit,
buah, daun,kulit batang, biji, akar , dll.
Obat tradisional dapat berupa serbuk, larutan, pil, kapsul, dsb.
Tanaman yang masuk dalam kategori simplisia antara lain adalah coriandri
fructus, myristicae semen, curcuma rhizoma, dsb.

3.2 SARAN
Seharusnya kita dapat lebih bijak untuk memanfaatkan tanaman herbal yang ada
di sekitar kita dengan sebaik mungkin. Serta tetap menjaga kelestarian lingkungan
hidup disekitar kita agar tercipta lingkungan hidup yang sehat.
DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. 2002. Ilmu Meracik Obat. Jakarta : UGM press.


Ditjen POM. 1995. Materia Medika Indonesia jilid IV. Jakarta : Trubus
Agriwidya.
Ditjen POM. 1995. Farmakope Indonesia ed.IV. Jakarta : Depkes RI.
Ditjen POM. 1986. Kodifikasi Peraturan Perundang-undangan Obat Tradisional.
Jakarta : Depkes RI.
Widyastuti, Sri wahyuni, dkk. 2004. Bercocok Tanam. Yogyakarta : kanius.

Vous aimerez peut-être aussi