Vous êtes sur la page 1sur 11

AntiInflamasi

I. PENDAHULUAN
Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang disebabkan
oleh trauma fisik, zat kimia yang merusak atau zat-zat mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha
tubuh untuk menginaktivasi atau merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat
iritan, dan mengatur derajat perbaikan jaringan. Jika penyembuhan lengkap, proses
peradangan bisanya reda. Namun, kadang-kadang inflamasi tidak bisa dicetuskan oleh suatu
zat yang tidak berbahaya seperti tepung sari atau oleh suatu respon imun seperti asma atau
artritis rematoid. Pada kasus seperti ini, reaksi pertahanan mereka sendiri mungkin
menyebabkan luka jaringan progresif dan obat-obat antiinflamasi atau imunosupresi mungkin
diperlukan untuk memodulasi proses peradangan. Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan
mediator kimiawi dari jaringan yang rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi spesifik
bervariasi dengan tipe proses peradangan dan meliputi amin, seperti histamin dan 5-
hidroksitriptamin; lipid, seperti prostaglandin; peptida kecil, seperti bradikinin; dan peptida
besar, seperti interleukin-1. Penemuan (Mary J.Mycek, Richard A.Harvey, Pamela
C.Champe, 2001).
Kerusakan sel yang dihubungkan dengan kerja peradangan terhadap membran sel,
menyebabkan leukosit melepaskan enzim lisosom, asam arakidonat kemudian dilepaskan dari
senyawa prekursor, dan disintesis berbagai eikosanoid. Prostaglandin mempunyai efek yang
bermacam macam terhadap pembuluh darah, terhadap ujung saraf, dan terhadap sel yang
terlibat dalam peradangan. Leukotrien mempunyai efek kemotaktik yang kuat terhadap
eusinofil, netrofil dan makrofag serta meningkatkan bronkokontriksi dan perubahan
permeabilitas vaskuler. Salah satu yang penting dimana mediator nyari mengakibatkan sakit
serta kerusakan tulang dan tulang rawan yang dapat menimbulkan cacat yang berat dan
dimana terjadi perubahan sistemik yang dapat mengakibatkan singkatnya kehidupan
(Katzung, B.G., 2000).
Kerusakan atau perubahan yang terjadi pada sel dan jaringan akibat adanya noksi akan
membebaskan berbagai mediator dan substansi radang. Asam arakidonat mulanya merupakan
komponen normal yang disimpan pada sel dalam bentuk fosfolipida, dibebaskan dari sel
penyimpan lipid oleh asil hidrolase sebagai respons adanya noksi. Asam arakidonat ini
kemudian mengalami metabolisme menjadi dua alur. Alur siklooksigenase yang
membebaskan prostaglandin, prostasiklin, tromboksan; alur lipoksigenase yang
membebaskan leukotrien dan berbagai substansi (Katzung, B.G., 2000).

II . TUJUAN PERCOBAAN
- Untuk mengetahui efek pemberian karagenan pada hewan percobaan
- Untuk mengetahui efek antiinflamasi Na diklofenak
- Untuk membandingkan efek antiinflamasi Na diklofenak dengan dosis yang berbeda
- Untuk mengetahui mekanisme karagenan dalam menimbulkan inflamasi
- Untuk mengetahui mekanisme terjadinya inflamasi
- Untuk mengetahui gejala-gejala inflamasi

III. PRINSIP PERCOBAAN


Induksi radang dilakukan pada kaki hewan percobaan (suntikan pada telapak kaki belakang
tikus), dengan cara penyuntikan karagenansecara intraplantar. Obat diberikan secara oral satu
jam sebelum penyuntikan karagenan. Ukuran radang kaki tikus diukur dengan alat yang
bekerja secara hukum Archimedes (Pletismometer). Aktivitas antiinflamasi ditunjukkan oleh
kemampuannya mengurangi radang yang diinduksi pada kaki tersebut.

IV. TINJAUAN PUSTAKA


Artritis rheumatoid adalah peradangan/inflamasi sendi akibat adanya reaksi autoimun,
pergelangan tangan dan kaki yang mengalami peradangan akan membengkak, terjadi
kerusakan bagian sendi dan ciri khas yang mudah dikenali adalah menyerang sendi secara
simetris. Mula-mula sendi-sendi kecil ditangan, jari kaki, tangan dan kaki mengalami
peradangan dilanjutkan terjadinya kaku terutama saat bangun tidur atau setelah lama tidak
melakukan aktivitas tertentu. Persendian yang mengalami radang setidaknya di pergelangan
tangan, tangan, siku, bahu, lutut, pergelangan kaki, kaki. Pada keadaan yang parah, sendi
mengalami kelainan bentuk dan lama-lama tidak dapat digerakkan. Pada bannyak penderita
terjadi demam ringan, peradangan vaskkuler/ pembuluh darah dan kerusakan saraf di tungkai
(Ika puspitasari, 2006).
Fenomena inflamasi pada tingkat bioselular semakin jelas. Respons inflamasi terjadi dalam 3
fase dan diperantai mekanisme yang berbeda :
a. fase akut, dengan ciri vasodilatasi local dan peningkatan permeabilitas kapiler
b. reaksi lambat, tahap subakut dengan cirri infliltrasi sel leukosit dan fagosit
c. fase proliferatif kronik, pada mana degenerasi dan fibrosis terjadi.
Kalau pada masa lalu menekankan promosi migrasi sel, pada penelitian akhir-akhir ini focus
tertuju pada interaksi mediator-mediator yang adhesive antara leukosit dan trombosit,
termasuk selektin-L. Sel endotel teraktivasi merupakan kunci tertariknya sel dari sirkulasi
ketempat inflamasi. Adhesi sel terjadi karena peningkatan ekspresi sel yang telah teraktivasi
oleh molekul adhesi, mengenali glikoprotein dan karbohidrat permukaan sel sirkulasi.
Fenomena antiinflamasi ini meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas
kapiler dan migrasi leukosit kejaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal
ialah :
a. Adanya warna merah (rubor)
Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang mengedarkan darah ke daerah tersebut
melebar. Dengan demikian arteri/kapiler di sekitar radang berisi darah yang menyebabkan
warna merah setempat.
b. Rasa panas (kalor)
Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Dimana rasa panas disebabkan
karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang daripada di daerah lain di sekitar radang.
Fenomena panas ini terjadi bila terjadi di permukaan kulit. Sedangkan bila terjadi jauh di
dalam tubuh tidak dapat kita lihat dan rasakan.
c. Rasa sakit (dolor)
Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal:
Adanya perenggangan jaringan akibat adanya udem sehingga terjadi peningkatan tekanan
lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri. Adanya pengeluaran zat zat kimia atau mediator
nyeri seperti prostaglandin, histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf saraf perifer
disekitar radang sehingga dirasakan nyeri.
d. Pembengkakan (tumor)
Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakn yang disebabkan:
Terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler; adanya peningkatan aliran darah dan cairan ke
jaringan yang mengalami cidera; dinding kapiler yang akan permeabel akan mudah dilalui
oleh leukosit, protein(albumin) dan molekul molekul besar lainnya sehingga jaringan yang
rusak banyak mengandung molekul besar dan daerah radang terlihat bengkak; gangguan
fungsiolaesa (gangguan fungsi dari jaringan), adanya gangguan fungsi sel jaringan atau organ
sekitar radang merupakan konsekuensi dari aktivitas radang seperti gangguan aliran darah
sekitar radang, gangguan gerakan disekitar radang.
(Wilmana. F.P dan Gan Sulistia, 2007).
Selama berlangsungnya fenomena inflamasi banyak mediator kimiawi yang dilepaskan
secara local antara lain histamine, 5-hidroksitriptamin (5HT), factor kemotaktik, bradikinin,
leukotrien dan PG. Penelitian terakhir menunjukkan autakoid lipid PAF (platelet-activating-
faktor) juga merupakan mediator inflamasi. Dengan migrasi sel fagosit kedaerah ini, terjadi
lisis membrane lisozim dan lepasnya enzim pemecah. Obat mirip aspirin dapat dikatakan
tidak berefek terhadap mediator-mediator kimiawi tersebut kecuali PG.
(Wilmana. F.P dan Gan Sulistia, 2007).
Radang adalah reaksi setempat dari jaringan hidup atau sel terhadap suatu rangsang atau
injury. Radang terbagi dalam dua golongan, yaitu:
1. Benda mati
a. Rangsang fisis; contohnya, trauma, benda asing, rangsang panas atau dingin yang
berlebihan, tekanan, listrik, sinar matahari, sinar rontgen, dan radiasi.
b. Rangsang kimia; contohnya, asam dan basa yang kuat dan juga keracunan obat.
2. Benda hidup
Contohnya kuman patogen, bakteri, parasit, dan virus. Selain itu juga ada reaksi imunologi
dan gangguan vaskular serta hormonal yang dapat menimbulkan kerusakan jaringan.
Tanda utama radang yang ditetapkan oleh Cornelius Celsus antara lain:
Rubor (merah), disebabkan karena adanya hiperemia aktif karena bertambah banyaknya
vaskularisasi di daerah cedera tersebut.
Kalor (panas), disebabkan karena hiperemia aktif.
Tumor (bengkak), sebagian disebabkan karena hiperemia aktif dan sebagian lagi
disebabkan karena edema setempat serta stasis darah.
Dolor (sakit), disebabkan karena terangsangnya serabut saraf pada daerah radang. Belum
jelas apakah karena adanya edema ataukah karena iritasi zat kimia yang terlepas, misalnya
asetilkolin dan histamin. Tetapi sesungguhnya rasa nyeri ini mendahului proses radang. Hal
ini mungkin karena terbentuknya suatu zat oleh sel mast. Zat ini berguna untuk meningkatkan
permeabilitas dinding pembuluh darah. Bahan lain yang berperan penting adalah bradikinin,
di mana jika seseorang disuntik bradikinin tidak murni, zat ini menyebabkan rasa nyeri pada
permukaan kulit sebelum terjadi migrasi sel darah putih.
Kemudian oleh Galen, ditambahkan fungtio laesa, yaitu berkurangnya fungsi karena
adanya rasa sakit akibat saraf yang terangsang sehingga bagian organ tubuh tidak berfungsi.
Penyebab lain penurunan fungsi tubuh adalah edema (Sudiono, J., 2003).
Radang biasanya diklasifikasikan berdasarkan waktu kejadiannya, sebagai:
Radang akut, reaksi jaringan yang segera dan hanya dalam waktu yang tidak lama, terhadap
cedera jaringan.
Radang kronis, reaksi jaringan selanjutnya yang diperlama mengikuti respons awal.
(Underwood, J.C.E., 1999).
Prostaglandin
Banyak obat AINS bekerja dengan jalan menghambat sistesis prostaglandin. Jadi,
pemahaman akan obat AINS memerlukan pengertian kerja dan biosintesis prostaglandin
turunan asam lemak tak jenuh mengandung 20 karbon yang meliputi suatu struktur cincin
siklik. Prostaglandin dan senyawa yang berkaitan diproduksi dalam jumlah kecil oleh semua
jaringan. Umumnya bekerja lokal pada jaringan tempat prostaglandin tersebut disintesis, dan
cepat dimetabolisme menjadi produk inaktif pada tempat kerjanya. Karena itu, prostaglandin
tidak bersirkulasi dengan konsentrasi bermakna dalam darah. Tromboksan, leukotrien, dan
asam hidroperoksieikosatetraenoat dan asam hidroksieikosatetraenoat (HPETEs dan HETEs)
merupakan lipid yang berkaitan, disintesis dari prekursor yang sama sebagai prostaglandin,
memakai jalan yang berhubungan.
(Mary J.Mycek, Richard A.Harvey, Pamela C.Champe, 2001).

Sintesis Prostaglandin
Asam arkidonat, suatu asam lemak 20-karbon adalah prekursor utama prostaglandin dan
senyawa yang berkaitan. Asam arakidonat terdapat dalam komponen fosfolipid membran sel,
terutama fosfatidil inositol dan kompleks lipid lainnya. Asam arakidonat bebas dilepaskan
dari jaringan fosfolipid oleh kerja fosfolipase A2 dan asil hidrolase lainnya, melalui suatu
proses yang dikontrol oleh hormon dan rangsangan lain. Ada dua jalan utama sintesis
eikosanoid dari asam arakidonat :
1) Jalan siklo-oksigenase
Semua eikosanoid berstruktur cincin sehingga PG, tromboksan, dan prostasiklin disintesis
melalui jalan siklooksigenase. Telah diteliti dua siklo-oksigenase : COX-1 dan COX-2. Yang
pertama bersifat ada dimana-mana dan pembentuk, sedangkan yang kedua diinduksi dalam
respons terhadap rangsangan inflamasi.
2) Jalan lipoksigenase
Jalan lain,beberapa lipoksigenase pada asam arakidonat untuk membentuk 5-HPETE, 12-
HPETE, dan 15-HPETE, yang merupakan turunan peroksidasi tidak stabil yang dikonversi
menjadi turunan hidroksilasi yang sesuai (HETEs), atau menjadi leukotrien atau lipoksin,
tergantung pada jaringan.
(Mary J.Mycek, Richard A.Harvey, Pamela C.Champe, 2001).

Efek Prostaglandin
Kebanyakan efek prostaglandin diperantarai oleh ikatanya yang luas pada berbagai reseptor
membran yang berbeda yang beroperasi melalui protein G, yang kemudian menginaktivasi
atau menghambat adenilil siklase atau merangsang fosfolipase C. Hal ini menyebabkan
peningkatan pembetukan diasilgliserol dan inositol-1, 4, 5-trifosfat (IP3), Leukotrien dan
tromboksan A2 memperantarai efek-efek tertentu dengan jalan mengaktivasi metabolisme
fosfatidilinisitol dan menyebabkan peningkatan Ca intraselular.
(Mary J.Mycek, Richard A.Harvey, Pamela C.Champe, 2001).
Penggolongan prostaglandin ada tiga, yaitu :
1. Prostaglandin A-F (PgA-PgF), yang dapat dibentuk oleh semua jaringan. Yang terpenting
adalah PgE2 dan PgF2. Setiap Pg memiliki nomor sebanyak jumlah ikatan tak jenuhnya, jika
perlu dengan tambahan alfa atau betha tergantung dari posisi rantai sisinya dalam ruang.
Contohnya, PgE2a adalah stereoisomer alfa dengan 2 ikatan tak jenuh. Zat-zat ini berdaya
vasodilatasi dan meningnkatkan permeabilitas dinding pembuluh dan membrane sinovial,
sehingga terjadi radang dan rasa nyeri.
2. Prostacyclin (PgI2) dibentuk terutama didinding pembuluh. Berdaya vasodilatasi dan
antitrombotis, juga memiliki efek protektif terhadap mukosa lambung. Pada perokok dan
pasien tukak lambung produksi PgI2 menurun.
3. Tromboxan (TxA2, TxB2) khusus dibentuk dalam trombosit. Berdaya vasokontriksi
(antara lain dijantung) dan menstimulasi agregasi pelat darah (trombosit). Dalam otak,
prostaglandin dibentuk sebagai reaksi terhadap zat-zat pirogen berasal dari bakteri (infeksi).
Pg ini menstimulasi pusat regulasi suhu dihipotalamus dan menimbulkan demam (Tan.H.T,
2002).

Pengobatan
Obat antiradang merubah respon peradangan menjadi penyakit, tapi tidak menyembuhkan
ataupun meghilangkan penyebab penyakit itu sendiri. Obat antiradang yang ideal harus
bekerja terhadap radang yang tak terkendalikan dan merusak, serta tidak mempengaruhi
respons peradangan yang normal yang merupakan bagian dari mekanisme pertahanan tubuh
yang vital terhadap mikroorganisme yang menyerang dan pengaruh buruk lingkungan yang
lain .
(Hamor, G.H., 1996).
Uji utama yang sering dipakai dalam menapis zat antiradang nonsteroid baru, mengukur
kemampuan suatu senyawa untuk mengurangi edema lokal pada cengkeraman tikus yang
disebabkan oleh suntikan zat pengiritasi karagenan, yaitu suatu mukopolisakarida yang
diperoleh dari lumut laut Irlandia, Chondrus crispus. Zat antiradang yang paling banyak
digunakan di klinik untuk menekan edema macam ini. Sifat antiradang indometasin, yaitu zat
antiradang nonsteroid yang banyak dipakai, pada mulanya ditentukan oleh uji karagenan.
(Hamor, G.H., 1996).
Urutan peristiwa dalam edema akibat karagenan pada cengkeraman tikus telah dirancang.
Mediator edema yang pertama-tama yaitu histamin dan serotonin, diikuti oleh fase kedua,
yaitu pelepasan kinin yang mempertahankan peningkatan kepermeabelan pembuluh darah. Ini
diikuti oleh fase ketiga, yaitu pelepasan prostaglandin yang bersamaan dengan migrasi
leukosit ke lokasi radang. Zat antiradang nonsteroid menekan migrsi ini. Pengaktifan dan
pelepasan semua mediator yang telah disebutkan di atas, tergantung pada sistem komplemen
yang utuh.
(Hamor, G.H., 1996).

OBAT ANTIINFLAMASI NONSTEROID (AINS)


Berbagai salisilat dan agen-agen lain yang mirip yang dipakai untuk mengobati penyakit
reumatik sama-sama memiliki kemampuan untuk menekan tanda-tanda dan gejala-gejala
inflamasi. Obat-obat ini mempunyai efek antipiretik dan analgesik, tetapi sifat-sifat
antiinflamasi merekalah yang membuat mereka paling baik dalam menangani gangguan-
gangguan dengan dengan rasa sakit yang dihubungkan dengan intensitas proses inflamasi.
(Danile E.Furst, Tino Munster,2002)
Meskipun semua AINS tidak disetujui oleh FDA untuk semua rentang penyakit reumatik,
semuanya mungkin efektif pada artritis reumatoid, berbagai spondiloartropati seronegatif
(misalnya artritis psoriatis dan artritis yang dikaitkan dengan penyakit usus meradang),
osteoartritis, muskuloskeletal terlokalisir (misalnya terkilir dan sakit punggung bawah).
Karena aspirin, permulaan AINS mempunyai beberapa efek yang merugikan, banyak AINS
lainnya telah dikembangkan dalam usaha untuk memperbaiki efektivitas dan mengurangi
toksisitasnya (Danile E.Furst, Tino Munster,2002).

Kimia dan Farmakokinetika


AINS dikelompokkan dalam berbagai kelompok kimiawi. Sekalipun ada banyak perbedaan
dalam kinetika AINS, mereka mempunyai beberapa karakteristik umum yang sama. Semua
kecuali satu dari AINS adalah asam organik lemak kecuali nabumeton. Sebagian besar obat-
obat ini diserap dengan baik, dan makanan tidak mempengaruhi bioavailibilitas mereka
secara substansial. Sebagian besar dari AINS sangat dimetabolisme, beberapa oleh
mekanisme fase 1I dan fase II dan lainnya hanya oleh glukoronidasi langsung (fase II).
Metabolisme dari sebagian besar AINS berlangsung sebagian melalui enzin P450 kelompok
CYP3A dan CYP2C dalam hati. Sekalipun ekskresi ginjal adalah rute yang paling penting
untuk eliminasi terakhir, hampir semuanya melalui berbagai tingkat ekskresi empedu dan
penyerapan kembali (sirkulasi enterohepatis). Kenyataannya, tingkat iritasi saluran cerna
bagian bawah berkorelasi dengan jumlah sirkulasi enterohepatis. Sebagian besar AINS
berikatan protein tinggi (> 98 %), biasanya dengan albumin. Beberapa AINS (misalnya
ibuprofen) adalah campuran rasemik, sementara naproksen tersedia sebagai enansiomer
tunggal dan beberapa tidak mempunyai pusat kiral (misalnya diklofenak). Semua AINS
didapatkan dalam cairan sinovial setelah pemberian berulang kali. Obat-obat dengan paruh
waktu pendek tinggal lebih lama dalam sendi-sendi dari pada yang bisa diprediksi dari waktu
paruh mereka, sedangkan obat-obat dengan waktu paruh yang lebih panjang hilang dari
cairan sinovial dengan laju yang sebanding dengan waktu paruh mereka (Danile E.Furst, Tino
Munster,2002).
Farmakodinamika
Aktivitas antiinflamasi dari AINS terutama diperantarai melalui hambatan biosintesis
prostaglandin. Berbagai AINS mungkin memiliki mekanisme kerja tambahan, termasuk
hambatan kemotaksis, regulasi-rendah,produksi interleukin-1, penurunan produksi radikal
bebas dan superoksida, dan campur tangan dengan kejadian-kejadian intraseluler yang
diperantarai kalsium. Aspirin secara irreversibel mengasetilasi dan menyekat platelet siklo-
oksigenase, tetapi AINS yang lain adalah penghambat-penghambat yang reversibel.
Selektivitas COX-1 versus COX-2 dapat bervariasi dan tidak lengkap bagi bahan-bahan yang
lebih lama, tetapi penghambat-penghambat COX-2 yang sangat selektif (celecoxib dan
rofecoxib) sekarang bisa didapat. Dalam pengujian dengan memakai darah utuh manusia,
entah mengapa aspirin, indometasin,piroksikam dan sulindak lebih efektif dalam
menghambat COX-1, Ibuprofen dan meclofenamat menghambat kedua isozim yang kurang
lebih sama.
Hambatan sintesis lipoksigenase oleh AINS yang lebih baru, suatu obat yang diinginkan
untuk obat antiinflamasi, adalah terbatas tetapi mungkin lebih besar dari pada dengan aspirin.
Benoxaprofen, AINS lain yang lebih baru, diperlihatkan menghambat sintesis leukotrien
dengan baik tetapi ditarik kembali karena sifat toksiknya. Dari AINS yang sekarang ini bisa
didapat, indometasin dan diklofenak telah dilaporkan mengurangi sintesis prostaglandin dan
leukotrien. Kepentingan klinis dari selektivitas COX-2 sekarang ini sedang diselidiki.
Keefektivan mungkin tidak terpengaruh tetapi keamanan gastrointestinal mungkin dapat
ditingkatkan (Danile E.Furst, Tino Munster,2002).

DIKLOFENAK
Diklofenak adalah derivat sederhana dari phenilacetic acid (asam fenilasetat) yang
menyerupai flurbiprofen dan meclofenamat. Obat ini adalah penghambat siklooksigenase
yang relatif nonselektif dan kuat, juga mengurangi bioavailibilitas asam arakidonat. Obat-
obat ini memiliki sifat antiinflamasi, analgesik, dan antipiretik yang biasa. Obat-obat ini cepat
diserap sesudah pemberian secara oral, tetapi bioavailibilitas sistemiknya hanya antara 30-70
% karena metabolisme lintas pertama.. Obat ini mempunyai waktu paruh 1-2 jam. Seperti
flurbiprofen ia menumpuk di dalam cairan sinovial, dengan waktu paruh 2-6 jam dalam
kompartemen ini. Metabolisme berlangsung dengan CYP3A4 dab CYP2C9 menjadi
metabolit tidak aktif, jadi disfungsi ginjal tidak mempengaruhi klirens secara nyata. Klirens
empedu bisa mencapai 30 % dari klirens total (Danile E.Furst, Tino Munster,2002).
Efek-efek yang tidak diinginkan bisa terjadi pada kira-kira 20 % dari pasien dan meliputi
distres gastrointestinal, pendarahan gastrointestinal yang terselubung dan timbulnya ulserasi
lambung, sekalipun timbulnya ulkus lebih jarang terjadi daripada dengan beberapa AINS
lainnya. Sebuah kombinasi antara diklofenak dan mesoprostol mengurangi ulkus pada
mengurangi ulkus pada gastrointestinal bagian atas tetapi bisa mengakibatkan diare.
Peningkatan serum aminotransferase lebih umum bisa terjadi dengan obat ini dari pada AINS
lainnya. Tersedia suatu diklofenak oftalmikum yang dianjurkan untuk pencegahan inflamasi
mata pascaoperasi. Di Eropa, diklofenak juga di dapat sebagai preparat dermatologis dan juga
untuk pemberian intramuskular (Danile E.Furst, Tino Munster,2002).
Obat antiinflamasi (anti radang) non steroid, atau yang lebih dikenal dengan sebutan NSAID
(Non Steroidal Anti Inflammatory Drugs) adalah suatu golongan obat yang memiliki khasiat
analgesic (pereda nyeri), antipiretik (penurun panas), dan antiinflamasi(anti radang). Istilah
non steroid digunakan untuk membedakan jenis obat-obatan ini dengan steroid, yang juga
memiliki khasiat serupa. NSAID bukan tergolong obat-obatan jenis narkotika. Mekanisme
kerja NSAID didasarkan atas penghambatan isoenzim COX-1 (cyclooxygenase-1) dan COX
(cyclooxygenase-2). Enzim cyclooxygenase ini berperan dalam memacu pembentukan
prostaglandin dan tromboksan dari arachidonic acid. Prostaglandin merupakan molekul
pembawa pesan pada proses inflamasi (radang). NSAID dibagi lagi menjadi beberapa
golongan, yaitu:
a. golongan salisilat (diantaranya aspirin/asam asetilsalisilat, metal salisilat, magnesium
salisilat, dan salisilamid)
b. golongan asam arilalkonat (diantaranya diklofenak, indometasin, proglumetasin, dan
oksametasin)
c. golongan profen/asam 2-arilpropionat (diantaranya ibuprofen, alminoprofen, fenbufen,
indoprofen, naproxen, dan ketorolac)
d. golongan asam fenamat/asam N-arilantranilat (diantaranya asam mefenamat, asam
flufenamat, dan asam tolfenamat)
e. golongan turunan pirazolidin (diantaranya fenilbutazon, ampiron, metamizol, dan fenazon)
f. golongan oksikam (diantaranya piroksikam, dan meloksikam)
g. golongan penghambat COX-2 (celecoxib, lumiracoxib)
h. golongan sulfonanilida (nimesulide)
i. golongan lain (licofelon dan asam lemak omega 3).
Penggunaan NSAID yaitu untuk penanganan kondisi akut dan kronis dimana terdapat
kehadiran rasa nyeri dan radang. Walaupun demikian berbagai penelitian sedang dilakukan
untuk mengetahui kemungkinan obat-obatab ini dapat digunakan untuk penanganan penyakit
lainnyan seperti colorectal cancer, dan penyakit kardiovaskular. Sebagian besar NSAID
adalah asam lemah, dengan pKa 3-5, diserap baik pada lambung dan usus haluls. NSAID
juga terikat dengan baik pada protein plasma (lebih dari 95%), pada umumnya dengan
albumin. Hal ini menyebabkan volume distribusinya bergantung pada volume plasma.
NSAID termetabolisme di hati oleh proses oksidasi dan konjugasi sehingga menjadi zat
metabolit yang tidak aktif, dan dikeluarkan melalui urine atau cairan empedu (Anonim 1,
2009).
Karagenan merupakan molekul besar galaktan yang terdiri dari 100 lebih sebagai unit-unit
utamanya. Residu-residu galaktosa tersebut berikatan dengan ikatan alpha (13) dan betha (14)
secara tukar-tukar. Menurut Guiseley et.alkaragenan adalah polisakarida dengan rantai lurus
(linier) yang terdiri dari D-glukosa 3.6 anhidrogalaktosa dan ester sulfat. Berdasasrkan
kandungnan sulfatnya, karagenan dibedakan menjadi 2 fraksi kappa karagenan dengan
kandungan sulfat kurang dari 28% iota karagenan dengan kandungan sulfat lebih dari 30%.
Sedangkan menurut Peterson and Johnson dalam Anggraini, 2004, berdasarkan struktur
pendulangan unit polisakarida, karagenan dapat dibagi menjadi tiga fraksi utama, kappa,
lambda, iota karagenan. Secara prinsip fraksi-fraksi karagenan ini berbeda dalam nomor dan
posisi grup ester (Anonim 3, 2007).
V. METODE PERCOBAAN
5.1 Alat dan Bahan
5.1.1 Alat
- Timbangan hewan
- Alat suntik
- Erlenmeyer
- Pletismometer
- Koran

5.1.2 Bahan
- Tikus putih
- Karagenan 1 % dalam air suling
- Suspensi 0,5 %
- Suspensi Na-Diklofenak

5.2 Prosedur Percobaan


Tikus dipuasakan 18 jam sebelum pengujian, air minum tetap diberikan
Tikus ditimbang
Diberi tanda pada sendi kaki belakang kiri dengan spidol
Diukur volume awal kaki tikus (Vo)
Diberikan obat sebagai berikut :
a. Suspensi kosong 1% BB
b. Na.Diklofenak dosis 15 mg/kg BB [ ] 1%
c. Na.Diklofenak dosis 20 mg/kg BB [ ] 1%
Setelah 30 menit disuntikkan karagenan 1% sebanyak 0,05 ml pada telapak kaki kiri tikus
secara intraplantan
Setelah 30 menit pemberian karagenan diukur volume kaki tikus selang 1 jam (selama 3
jam)
Hasil pengamatan supaya dibuat dalam tabel untuk setiap kelompok. Perhitungan persentase
kenaikan volume kaki dilakukan dengan membandingkannya terhadap volume dasar sebelum
penyuntikan karagenan.
Untuk ksetiap kelompok dihitung persentase rata-rata dan dibandingkan persentase yang
diperoleh kelompok yang diberi obat terhadap kelompok pada jam yang sama.
Gambarkan grafik variasi persentase inhibisi radang yang tergantung pada waktu {%
inhibisi Radang (IR) - vs Waktu (jam)}

VI. PERHITUNGAN, GRAFIK, DAN PEMBAHASAN


6.1 Perhitungan
6.1.1. Perhitungan Dosis

Susupensi kosong 1% BB
BB tikus = 128,7
Jumlah obat = 1% x 128,7 = 1,287 ml

Na.Diklofenak dosis 15 mg/kg BB [ ] 1%


BB tikus = 135,6
Jumlah obat = 15 mg/kg x 135,6
1000
= 2,034 mg

[ ] 1% = 1g/100ml
= 10 mg/ml

Jlh lar.obat = 2,034 mg


10 mg/ml
= 0,2034 ml

Dlm skala = 0,2034/ 0,0125 = 16 skala

Na.Diklofenak dosis 20mg/kg BB [ ] 1%


BB Tikus = 108,2
Jumlah obat = 20 mg/kg x 108,2
1000
= 2,164 mg

[ ] 1% = 1g/100ml
= 10mg/ml

Jlh lar.obat = 2,164 /10 = 0,2164 ml


Dlm skala = 0,2164 ml/0,0125
= 17 skala

6.4. Pembahasan
Berdasarkan percobaan yang dilakukan pada jam ke 1 diperoleh bahwa tikus 1 (kontrol)
mengalami pembengkakan pada kaki tikus akibat pemberian karagenan. Induksi karagenan
pada kaki tikus dapat mengakibatkan radang yang ditandai dengan bertambahnya volume
kaki tikus setelah pemberian karagenan (udem). Pada tikus 2 dengan pemberian karagenan
secara intraplantan mengalami peradangan yang ditandai dengan pembengkakan pada kaki
tikus dengan pemberian Na dikofenak dosis 15mg/kg BB secara oral dan pada tikus 3
terbentuk pembengkakan juga seperti pada tikus 2 tetapi dengan pemberian Na diklofenak
yang dosisnya 20mg/kg BB secara oral. Sedangkan pada jam ke 2 volume kaki tikus 1 naik
dari 0,03 menjadi 0,04 akan tetapi pada tikus ke 2 dan 3 volume kakinya menetap yaitu pada
0,03. Dan pada jam ke 3 volume kaki tikus 1, 2, 3 menjadi 0,04. Bila dibandingkan antara
tikus ke 2 dan ke 3 terlihat bahwa efek antiinflamasi Na.diklofefnak dengan dosis 20 mg/kg
BB lebih efektif dibandingkan dengan pemberian Na.diklofenak dosis 15 mg/kg BB. Inhibisi
radang pun turun, dimana pada tikus 2 jam ke 2 50% dan pada jam ke 3 menjadi 0%.
Lamanya kerja antiinflamasi Na diklofenak dengan dosis yang lebih kecil kemungkinan
disebabkan karena keadaan fisiologis masing-masing tikus tidak sama sehingga
mempengaruhi perhitungan radang dan inhibisi radang, misalnya gangguan lambung yang
dapat mempengaruhi absorpsi obat. Menurut Wilmana. F.P (2007), absorpsi Na diklofenak
berlangsung cepat dan lengkap. Obat ini terikat 99% pada protein plasma dan mengalami
first-pass effect sebesar 40-50%.
Karagenan merupakan suatu zat asing (antigen) yang bila masuk kedalam tubuh akan
merangsang pelepasan mediator radang seperti histamin sehingga menimbulkan radang
akibat antibodi tubuh bereaksi terhadap antigen tersebut untuk melawan pengaruhnya
(Anggraini, 2004).
Obat anti radang bukan steroida atau yang lazim dinamakan non steroidal antiinflammatory
drugs (NSAIDs) adalah golongan obat yang terutama bekerja perifer, memiliki aktifitas
menghambat radang dengan mekanisme kerjanya menghambat biosintesis prostaglandin
melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase. Penggunaannya yaitu untuk
penanganan kondisi akut dan kronis dimana terdapat kehadiran rasa nyeri dan radang
(Anonim 1, 2009).

VII. KESIMPULAN DAN SARAN


7.1 Kesimpulan
- Efek yang ditimbulkan akibat pemberian karagenan pada hewan percobaan adalah
terjadinya udem, yang terlihat dari bertambahnya volume kaki tikus setelah diukur dengan
pletismometer.
- Efek yang ditimbulkan setelah pemberian Na diklofenak adalah sebagai antiinflamasi yang
dapat mengurangi udem pada kaki tikus akibat pemberian karagenan.
- Efek antiinflamasi Na diklofenak dengan dosis 10mg/kgBB lebih lemah dibandingkan
dengan Na diklofenak dengan dosis 15mg/kgBB.
- Mekanisme karagenan dalam menimbulkan inflamasi adalah dengan merangsang lisisnya
sel mast dan melepaskan mediator-mediator radang yang dapat mengakibatkan vasodilatasi
sehingga menimbulkan eksudasi dinding kapiler dan migrasi fagosit ke daerah radang
sehingga terjadi pembengkakan pada daerah tersebut.
- Inflamasi terjadi karena reaksi antara antigen dengan antibodi yang dapat merangsang
pelepasan mediator radang sehingga terjadi vasodilatasi pembuluh kapiler dan migrasi fagosit
ke daerah radang, yang mengakibatkan hiperemia dan udem pada daerah terjadinya inflamasi.
- Gejala-gejala inflamasi adalah: rubor (merah), kalor (panas), tumor (bengkak), dolor (sakit),
dan fungtio laesa, yaitu berkurangnya fungsi fisiologis tubuh.

7.2. Saran
- Sebaiknya digunakan obat antiinflamasi yang berbeda sehingga dapat dibandingkan efek
antiinflamasi dari kedua jenis obat.
- Sebaiknya digunakan juga obat antiinflamasi golongan steroid agar dapat dibandingkan efek
antiinflamasinya dengan obat-obat AINS.
- Sebaiknya kondisi hewan percobaan yang akan digunakan dalam praktikum tidak jauh
berbeda karena dapat mempengaruhi perhitungan % radang dan % inhibisi radang.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 1. (2009). Apakah Obat Antiinflamasi Non Steroi Itu.


http://www.apoteker.info.htm

Anonim 2. (2009). Obat Antiinflamasi (OAINS): Kaflam (Natrium Diklofenak).


http://yosefw.wordpress.com

Anonim 3. (2007). Karagenan, apaan sich.


http ://jlcome.blogspot.com
Furst E. Danile, Munster Tino (2001), FARMAKOLOGI DASAR DAN KLINIK, Editor
Bertram G.Katzung, Edisi VIII, Penerbit Salemba Medika, Jakarta, Halaman 449-462

Hamor, G.H.,(1996), ZAT ANTIRADANG NONSTEROID, dalam, Foye, W.O., (Editor),


PRINSIP-PRINSIP KIMIA MEDISINAL, Jilid II, Edisi Kedua,Gajah Mada University Press,
Halaman 1096-1097.
Ika Puspitasari. (2006). Cerdas Mengenali Penyakit dan Obat. Yogyakarta : Universitas
Gadjah Mada. Halaman 35.

Mycek, J.Mary (2001). Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi ke-2. Penerbit Widya Medika.
Halaman 404..
Sudiono, J., (2003), ILMU PATOLOGI, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, Halaman,
81-81.

Tan. H.T., (2002). Obat-obat Penting. Edisi ke-5. Cetakan ke-2. Jakarta : Gramedia.
Halaman 306-311.
Underwood, J.C.E., (1999), PATOLOGI UMUM DAN SISTEMATIK, Edisi Kedua, Volume
1, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, Halaman, 232.

Wilmana. F. P., (2007). Analgesik-Antipiretik Analgesik Antiinflamasi Nonsteroid Dan Obat


Gangguan SEndi Lainnya. Dalam : Farmakologi dan Terapi. Editor Ganiswara, S.G. Edisi ke-
5. Jakarta : Bagian FArmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 232.

Vous aimerez peut-être aussi