Vous êtes sur la page 1sur 3

SAVE DIAN SASTRO

Feriawan Agung Nugroho

Di bandara Soetta, malam hari, menerjang gerimis seorang perempuan muda cantik keluar
begitu saja dari mobil sedan tanpa mempedulikan si sopir yang seolah menyuruhnya
melakukan sesuatu yang penting banget. Penunjuk flight penerbangan sudah berganti dan
boarding pass menuju New York sudah dibuka. Si gadis mengejar seorang pemuda, sosok
yang dikenalinya sangat-sangat. Mengejar dan tak mau kehilangan sebagaimana kebodohan
yang pernah dia lakukan di masa lalu..

Empat belas tahun aku menunggumu!!

Maka teriakan itu seolah menghentikan lalu lalang sekian manusia di terminal bandara. Si
pemuda yang dimaksud menoleh perlahan. Dan ketika mereka saling memandang, ternyata si
pemuda adalah tokoh yang TIDAK PENTING BANGETTTTTT.

AAAAARRRRRGGHHHHHH..!!!!!

Si Dian Sastro yang memerankan Cinta berubah wajah menjadi ngah ngoh, pah poh dan
kelihatan nggak cerdas banget

Ada BANYU WEDANG?

Iki lakone opoooooo Pak Manteb!! Jahat! Itu iklan Jahat! Kenapa tidak dibuat adegan yang
ekstrim sekalian aja:

Ketika sudah dekat, sebelum sempat berkata, lalu si Cinta kentut keras banget:

TiuuuuuuttttttPRUUUUUUUUTTTTTTTTTTT.!!! (Orang Pintar minum .Jamu


Sobek)

Kapitalisme yang begitu pongah. Mereka menciptakan racun imajinasi dalam tiap kepala,
tetapi serta merta dengan seenaknya diinjak-injak sendiri, dihancurkan tanpa peduli perasaan
sekian umat manusia yang memujanya. Dian Sastro gitu loh! Coba ngacung berapa banyak
laki-laki yang sempat memuja kecantikan dan kebidadariannya? Berapa Lapis? Ratusan!!!
Tetapi dengan gampangnya karakter idola itu disemplok momrotkan oleh kepongahan bahwa
dia tidak lebih dari pemeran bayaran pabrik banyu. Kampret!!! Kasus yang sama pernah
terjadi pada Afghan yang dengan wajah nggak berdosa menyanyikan lagu: Cincauku bukan
cincau biasa.
Saya begitu memuja Dian Sastro sehingga ingin sekali saja membuat istri saya yang setia dan
mencintai saya itu cemburu sekali saja dalam hidupnya yang selalu percaya kepada saya. Iya,
kepada Dian Sastro. Eh, di tengah nglempiti baju dan jeda komersial film Uttaran idolanya
ndilalah iklan itu nongol.

Walah Mas, jebul idolamu kuwi Oon.

Brakkk!!!

Istri saya terkejut. Piring berisi nasi makan, saya banting ringan ke bawah tetapi krupuknya
tetap meloncat. Saya bangkit dari duduk makan siang. Masih mengunyah sedikit nasi.
Dengan perasaan hancur berkecamuk memandangi layar televisi plasma hdtv di hadapan
saya. Nafas saya tidak teratur dan kemudian.

Wussss.

Saya berhasil masuk ke lokasi syuting iklan nggak mutu itu. Tap-tap-tap. Layaknya jagoan di
film The Raib..eh The Raid. Mendatangi mereka berdua dan teriak..

CUT..CUTCUT!!!! (baca: KAT..KAT..KAT)

Mereka berdua, iya, Dian Sastro dan orang nggak penting itu, memandangi saya dengan
heran. Wajah saya yang tegang menatap mereka berdua.

EKSPRESINYA MANNAAAAA

Di tengah kekacauan itu lalu ada sekelompok pemuda bernyanyi.

Jangan marah-marah..mari ramah-ramah

Wussss.seketika itu Dian Sastro menjerit karena ada kekuatan magnet yang tidak diduga-
duga menyedotnya. Terbang begitu saja keluar entah ke mana. Hingga dia terhenti
bertabrakan dengan sebuah mobil yang didalamnya ada pemuda ganteng. Seketika itu juga
Dian Sastro bergabung dengan buanyak gadis-gadis cantik seraya bernyanyi.

Kabar gembira untuk kita semuaa..kulit WEDUSkini ada ekstraknya


Ash!! Kapitalisme yang menyebalkan. Mengapa sih sesuatu yang sebenarnya entertaining
ataupun layak menjadi tontonan publik harus diracuni oleh kapitalisme jahat yang menjelma
menjadi bugs dalam setiap tontonan yang semestinya akan jauh-jauh lebih baik jika tidak ada
iklan? Apakah kapitalisme memang tidak mengenal kata Ikhlas? Atau minimal, jangan dong
kepada Dian Sastro(Wiiii..)

Coba bayangkan ketika AADC 5 berlangsung, itu berarti mereka tidak lagi remaja melainkan
menjadi lansia. Maka syuting iklannya tidak lagi di Bandara Soetta tetapi di tempat kerja
saya. Iya di Panti Jompo.

Seorang nenek dengan penuh semangat, meski tangannya sudah gemetaran, di atas kursi roda
dia paksakan mengejar sosok yang dikenalinya. Dencit suara as kursi roda dengan ban mati
yang bertumbukan dengan permukaan tegel tua, membelah jalan lorong yang sedikit tidak
rata. Nenek itu tidak peduli dengan mata yang penuh harap dia menuju ke satu sosok di ujung
sana, sosok yang begitu dikenalinya. Nenek yang diperankan oleh Dian Sastro ini suaranya
tak lagi sekeras dulu, parau, nyaris tak terdengar. Dengan gelungan rambut yang tak lagi
terurai, melainkan putih keriput, dengan baju kebaya tua dan syal yang menahan dia dari
masuk angin karena tak lagi ramah dengan udara malam. Bau PPO setelah sekian lama
memakai parfun Channel. Terussss dia mengayuh kursi roda hingga suaranya cukup keras
untuk didengar pemuda yang sedang menyuapi seseorang lansia lain.

Sampai tua saya menunggumuRangga

Maka berbaliklah pemuda itu. Wajahnya memang mirip, tetapi tidak berubah menjadi tua.
Tersenyum lalu mendekati si nenek yang seolah tak percaya. Dengan kata-kata halus dia
menyapa si Nenek Cinta.

Maaf nek, saya bukan Rangga. Saya Feri..

Nah sekarang saya bisa jualan obat Muntaber(*)

Feriawan Agung Nugroho


Pakem, 5 Mei 2016

Vous aimerez peut-être aussi