Vous êtes sur la page 1sur 19

Analisa Putusan Mahkamah Internasional Terkait Sengketa

Pulau Sipadan dan Ligitan Antara Indonesia-Malaysia


Dengan Metode Penyelesaian Melalui International Court Of Justice (ICJ)

oleh :
Surya Ramadhan (3015210357)

Tim Dosen Hukum Internasional:

1. Wahyuningsih,S.H.,M.Si.,Sp.N.

2. Ruri Octaviani,S.H.,M.H

3. Lita Arijati,S.H.,LL.M.

Dibuat dan dikumpulkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional
Kelas E / Ruang 303

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA


PROGRAM SARJANA
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Konflik P.Sipadan dan P.Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas
pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan dengan
(luas: 50.000 meter) dengan koordinat: 4652,86LU 11837 43,52BT dan pulau Ligitan
dengan (luas: 18.000 meter) dengan koordinat: 49LU 11853BT.
Kasus P. Sipadan dan P. Ligitan mulai muncul sejak 1969 ketika Tim Teknis Landas Kontinen
IndonesiaMalaysia membicarakan batas dasar laut antar kedua negara. Kedua pulau Sipadan
dan Ligitan tertera di Peta Malaysia sebagai bagian dari wilayah negara RI, padahal kedua
pulau tersebut tidak tertera pada peta yang menjadi lampiran Perpu No. 4/1960 yang menjadi
pedoman kerja Tim Teknis Indonesia. Dengan temuan tersebut Indonesia merasa
berkepentingan untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan. Maka dicarilah dasar hukum
dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan dua pulau tersebut. Di
saat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut sebagai miliknya dengan
mengemukakan sejumlah alasan, dalil hukum dan fakta. Kedua belah pihak untuk sementara
sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam status quo. Dua puluh tahun kemudian
(1989), masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru dibicarakan kembali oleh Presiden Soeharto
dan PM. Mahathir Muhamad.

pada tahun 1973 konflik antara Indonesia dengan Malaysia mencuat ketika dalam pertemuan
teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau
Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Indonesia merasa
berkepentingan dengan temuan tersebut untuk mengukuhkan P. Sipadan dan P. Ligitan. Maka
dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung kepemilikan
dua pulau tersebut. Pada waktu yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua pulau tersebut
sebagai miliknya sesuai peta unilateral 1979 malaysia serta mengemukakan sejumlah alasan,
dalil hukum dan fakta. Namun kedua belah pihak untuk sementara sepakat mengatakan dua
pulau tersebut dalam status quo. Pada tahun 1989, masalah P. Sipadan dan P. Ligitan baru
dibicarakan kembali oleh kedua negara.
Indonesia dan Malaysia sepakat menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali
dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara pada tahun 1992. Hasil pertemuan pejabat
tinggi menyepakati perlunya dibentuk Komisi Bersama dan Kelompok Kerja Bersama (Joint
Commission/JC & Joint Working Groups/JWG). Namun dari serangkaian pertemuan JC dan
JWG yang dilaksanakan tidak membawa hasil, kedua pihak berpegang pada prinsipnya
masing-masing yang berbeda untuk mengatasi kebutuan. Pertemuan pada tgl. 6-7 Oktober
1996 di Kuala Lumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil
khusus dan selanjutnya tgl. 31 Mei 1997 disepakati Special Agreement for the Submission to
the International Court of Justice the Dispute between Indonesia & Malaysia concerning the
Sovereignty over P. Sipadan and P. Ligitan. Special Agreement itu kemudian disampaikan
secara resmi ke Mahkamah International (MI) pada 2 Nopember 1998. Dengan itu proses
ligitasi P. Sipadan dan P. Ligitan di MI mulai berlangsung. Kedua negara memiliki kewajiban
menyampaikan posisi masing-masing melalui Written pleading kepada Mahkamah
Memorial pada 2 Nopember 1999 diikuti, Counter Memorial pada 2 Agustus 2000 dan
reply pada 2 Maret 2001. Selanjutnya proses Oral hearing dari kedua negara bersengketa
pada 312 Juni 2002.

Special agreement adalah persyaratan prosedural yang memungkinkan mahkamah memiliki


jurisdiksi terhadap kasus yang dibawa ke mahkamah internasional. Masalah pokok yang
dimintakan dalam special agreement adalah mahkamah international dapat memutus suatu
perkatra berdasarkan perjanjian-perjanjian, fakta historis, dan bukti-bukti dokomen yang
diberikan oleh indonesia dan malaysia ke pengadilan. Special agreement juga mencantumkan
tentang kesediaan kedua negara untuk menerima hasil keputusan dewan juri dengan lapang
dada dan menerimanya sebagai keputusan yang bersifat akhir dan mengikat (final and
binding).
1.2 Rumusan Masalah
1.Bagaimana bentuk penyelesaian sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia
terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan melalui International Court of Justice (ICJ) ?
2. Apa yang menjadi tolak ukur Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan sengketa
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan ?

1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui Bagaimana bentuk Penyelesaian Sengketa Wilayah antara Indonesia
dan Malaysia terhadap Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan melalui International Court of
Justice (ICJ)
2. Untuk mengetahui Apa yang menjadi tolak ukur Mahkamah Internasional untuk
menyelesaikan sengketa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan
3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Bentuk penyelesaian sengketa wilayah antara Indonesia dan Malaysia terhadap
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan melalui International Court of Justice (ICJ)

Pada persidangan-persidangannya guna mengambil putusan akhir Mahkamah


Internasional (MI) / International Court of Justice mengenai status kedua pulau tersebut tidak
menggunakan (menolak) materi hukum yang disampaikan oleh kedua negara, melainkan
menggunakan kaidah kriteria pembuktian lain, yaitu Continuous presence, effective
occupation, maintenance dan ecology preservation. Dalam amar keputusannya, Mahkamah
Internasional memutuskan bahwa Indonesias argument that it was successor to the
Sultanate of Bulungan cannot be accepted. Sementara itu, Mahkamah Internasional juga
menegaskan bahwa Malaysias argument that it was successor to the Sultan of Sulu
cannot be upheld.

ICJ kemudian menyatakan bahwa ukuran yang obyektif dalam menentukan kepemilikan
pulau-pulau tersebut adalah dengan menerapkan doktrin effective occupation sebagai pisau
analisis tersebut. Aspek penting dalam penentuan effective occupation ini ada Dua yaitu
keputusan adannya cut-off date dan bukti-bukti hukum yang ada. Cut-off date yang
ditentukan oleh Mahkamah Internasional adalah 1969. Maksudnya adalah semua kegiatan
setelah tahun 1969 seperti pembangunan resort dianggap tidak berdampak hukum sama
sekali. Mahkamah internasional melihat hanya berdasarkan bukti hukum sebelum 1969. Dapat
dimengerti bilamana hampir semua Juri MI yang terlibat sepakat menyatakan bahwa P.
Sipadan dan P. Ligitan jatuh kepada pihak Malaysia karena kedua pulau tersebut tidak begitu
jauh dari Malaysia dan faktanya Malaysia telah membangun beberapa prasarana pariwisata di
pulau-pulau tersebut.

Effective Occupation sendiri adalah doktrin hukum internasional yang berasal dari hukum
Romawi kuno. Effective occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang diatur
oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrasi, atau registrasi kepemilikan dengan
hukum yang jelas. Elemen kuncinya dalam aplikasi doktrin effective occupation adalah
ada tidaknya suatu perundang-undangan, peraturan hukum, atau regulasi terkait status
wilayah tersebut. Hal ini tentunya sejalan dengan makna dari occupatio (baca okupatio)
yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti pendudukan secara fisik. Karena
temasuk doktrin internasional, effective occupation dikategorikan sebagai sumber hukum
materiil yang merujuk pada bahan-bahan/materi yang membentuk atau melahirkan
kaidah atau norma yang mempunyai kekuatan mengikat; dan menjadi acuan bagi
terjadinya sebuah perbuatan hukum

Mahkamah Internasional dalam penyelesaian kasus ini menolak argumentasi Malaysia


bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang diperoleh Malaysia
berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-
Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa
kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan
kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Mahkamah
berpendapat tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia
berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas
merujuk kedua pulau sengketa.

Mahkamah Internasional juga menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa
merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV
Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4 10 LU yang memotong P.
Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua
pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan
kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting (MvT).

Mahkamah Internasional juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau
sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari
wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969
sebagai cut-off date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia
tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang
bersengketa.

Berkaitan dengan efektivitas Indonesia dan Malaysia, yaitu:

a. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa


tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulau
Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik
yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas
kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta
bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang
merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara,
juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.

b. Berkaitan dengan pembuktian efektivitas Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa


sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan
yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak
1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi
yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti :

a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur


penyu sejak 1917.
b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada
tahun 1930-an;
c. Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan
d. Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada
tahun 1963 di P. Ligitan

Dalam mengkaji bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective
occupation atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti
yang diajukan kedua negara, yakni:
a. Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini dari
tahun 1895 hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada
November-December 1921; dan adanya survei hidrografi kapal Belanda Macasser di
perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh
patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan
nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960an dan bahkan awal 1970an.

b. Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle


Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan Ligitan;
regulasi suaka burung tahun 1933 dan pembangunan suar pada tahun 1962 dan 1963.
Semuanya adalah produk hukum pemerintah kolonial Inggris, bukan Malaysia.
Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU
4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik
Indonesia. Terhadap patroli AL Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan
bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan,
sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim.

Mengenai kegiatan perikanan nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa activities


by private persons cannot be seen as effectivit, if they do not take place on the basis of
official regulations or under governmental authority Oleh karena kegiatan tersebut bukan
bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan Indonesia atau di bawah otoritas
Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa kegiatan ini juga tidak bisa dijadikan
dasar sebagai adanya effective occupation. Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan
Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan,
Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah
menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu
regulatory and administrative assertions of authority over territory which is specified by
name.

*UNCLOS sebagai tolok ukur

.
Area Batas Laut International, sumber: UNCLOS
Dalam hukum laut internasional, the United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS), mengdefinisikan sebuah pulau sebagai kawasan yang secara alami berbentuk
daerah tanah, dikelilingi oleh air, yang berada di atas air dalam keadaan air pasang (high
tides). Dalam kasus ini, tidak ada spesifikasi khusus tentang ukuran dan luas.

Disisi lain, karena hukum laut mengikuti prinsip Daratan, jadi secara inherently setiap pulau
mungkin memiliki beberapa tambahan zona atas laut seperti radius 12-mil dari laut
Teritorial (Territorial Sea/TS) 200 mil Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) atau dalam
beberapa kasus 350-mil diperpanjang oleh Continental Shelf (CS). Oleh karena itu,
meskipun pulau ini hanya sebuah titik pada peta, itu masih dapat menghasilkan mil
persegi 144 TS dan 40.000 mil persegi ZEE
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

International Court Of Justice /Mahkamah Internasional dalam penyelesaian kasus ini


menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari
wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan
Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk
dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia
berdasarkan teori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory) juga ditolak oleh mahkamah.
Mahkamah berpendapat bahwa tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang
diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat
referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.

Argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah
kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891 itu juga ditolak oleh
mahkamah internasional. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4 10' LU yang memotong
P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua
pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan
kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van
Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV
tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi
1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa
tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah
Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda.

Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969
sebagai cut-off date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia
tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing.
3.2 Saran

Indonesia harus melakukan perubahan posisi garis pangkal kepulauannya yang


sebelumnya telah diatur dalam hukum nasionalnya. Perubahan ini menyangkut posisi batas
laut wilayah, batas landas kontinen dan batas Zona Ekonomi Eksklusif. Mengacu pada
UNCLOS 1982, kepastian posisi masing-masing batas tersebut masih harus diselesaikan lebih
lanjut oleh para pihak karena para pihak tidak boleh menetapkan secara unilateral.Dan jika
Indonesia merasa dirugikan batas-batas lautnya akibat kekalahan dalam kepemilikan pulau,
peluang memperbaikinya ada dengan perundingan bilateral. Dalam Konvensi kedua belah
pihak berpeluang sama untuk mencapai solusi yang berkeadilan.

Sebagai Pembelajaran dari kekalahan indonesia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan
hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi Indonesia. Langkah selanjutnya yang harus
dilakukan Indonesia dengan pembuatan peta yang memadai untuk didepositkan ke Sekjen
PBB, mengingat pentingnya kejelasan posisi batas-batas wilayah negara terutama batas-batas
lautnya. Agar memiliki kekuatan secara hukum internasional dan mengidentifikasi pulau-
pulau terluar yang termasuk dalam wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan posisi pulau-pulau
terluar dijadikan sebagai titik-titik pengukuran garis pangkal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Adi Sumardiman, Ir, SH, Sipadan dan Ligitan, SK Kompas, Jakarta, 18 Desember 2002

2. Hasjim Djalal, Prof. DR, Penyelesaian Sengketa Sipadan Ligitan, Interpelasi?, SK


Kompas, Jakarta, 13 Januari 2003.

3. Frans B. Workala, SPd, MM, Pengembangan, Sumber Kekayaan Alam Daerah Perbatasan
Dalam Rangka Meningkatkan Ketahanan Nasional, Taskap KSA X Lemhannas, Jakarta
2002

.
INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE

SPECIAL AGREEMENT

FOR SUBMISSION TO THE INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE OF


THE DISPUTE BETWEEN INDONESIA AND MALAYSIA CONCERNING
SOVEREIGNTY OVER PULAU LIGITAN AND PULAU SIPADAN

jointly notified to the Court on 2 November 1998

__________

1998
General List
No. 102

JOINT NOTIFICATION, DATED 30 SEPTEMBER 1998,


ADDRESSED TO THE REGISTRAR OF THE COURT

New York, 30 September 1998.

On behalf of the Government of the Republic of Indonesia and the Government of Malaysia,
and in accordance with Article 40, paragraph 1, of the Statute of the International Court of
Justice, we have the honour to transmit to you:

(1) a certified true copy of the Special Agreement for Submission to the International Court of
Justice of the Dispute between the Republic of Indonesia and Malaysia concerning
Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan, signed at Kuala Lumpur on 31 May 1997;

(2) a certified true copy of the Procs-Verbal of the Exchange of Instruments of Ratification
between the Republic of Indonesia and Malaysia, signed at Jakarta on 14 May 1998.

The aforesaid Special Agreement entered into force, pursuant to its Article 6, paragraph 1, on
the date of exchange of instruments of ratification, i.e., on 14 May 1998.

In accordance with Article 35 of the Rules of Court, both Governments (the Government of
the Republic of Indonesia and the Government of Malaysia) hereby notify the Court of their
intention to exercise the power conferred by Article 31 of the Statute of the Court to choose a
judge ad hoc in these proceedings.

We further have the honour to inform you, in accordance with Article 40 of the Rules of
Court, that:

(1) H.E. Mr. Nugroho Wisnumurti, Director-General for Political Affairs, Department of
Foreign Affairs of the Republic of Indonesia, and the Ambassador Extraordinary and
Plenipotentiary of the Republic of Indonesia to the Kingdom of the Netherlands (whose name
will be communicated later to the Court) have been appointed as Agent and Co-Agent for the
Republic of Indonesia for the purpose of the present case, and their address for service at the
seat of the Court shall be: H.E. Mr. Nugroho Wisnumurti, Agent of the Republic of Indonesia,
and the Indonesian Ambassador to the Kingdom of the Netherlands, Co-Agent of the
Republic of Indonesia, before the International Court of Justice, Embassy of the Republic of
Indonesia to the Kingdom of the Netherlands, Tobias Asserlaan 8, 2517 KC The Hague.

(2) H.E. Datuk Abdul Kadir Mohamad, Secretary-General of the Ministry of Foreign Affairs,
Malaysia, and H.E. Mr. A. Ganapathy, Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary of
Malaysia to the Kingdom of the Netherlands, have been appointed as Agent and Co-Agent for
Malaysia for the purpose of the present case and their address for service at the seat ofthe
Court shall be: H.E. Datuk Abdul Kadir Mohamad, Agent of Malaysia, and H.E. Mr. A.
Ganapathy, Co-Agent of Malaysia, before the International Court of Justice, Embassy of
Malaysia to the Kingdom of the Netherlands, Rustenburgweg 2, 2517 KE The Hague.

(Signed) DATO' SERI ABDULLAH HAJI


(Signed) ALI ALATAS
AHMAD BADAWI
Minister for Foreign Affairs Minister for Foreign Affairs
of the Republic of Indonesia. of Malaysia

__________

1. SPECIAL AGREEMENT

The Government of the Republic of Indonesia and the Government of Malaysia, hereinafter
referred to as "the Parties";

Considering that a dispute has arisen between them regarding sovereignty over Pulau Ligitan
and Pulau Sipadan;

Desiring that this dispute should be settled in the spirit of friendly relations existing between the
Parties as enunciated in the 1976 Treaty of Amity and Co-operation in Southeast Asia; and

Desiring further, that this dispute should be settled by the International Court of Justice (the
Court),

Have agreed as follows:

Article 1
Submission of Dispute

The Parties agree to submit the dispute to the Court under the terms of

Article 36, paragraph 1, of its Statute.

Article 2
Subject of the Litigation

The Court is requested to determine on the basis of the treaties, agreements and any other
evidence furnished by the Parties, whether sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau
Sipadan belongs to the Republic of Indonesia or to Malaysia.
Article 3
Procedure

1. Subject to the time-limits referred to in paragraph 2 of this Article, the proceedings shall
consist of written pleadings and oral hearings in accordance with Article 43 of the Statute of
the Court.

2. Without prejudice to any question as to the burden of proof and having regard to Article 46
of the Rules of Court, the written pleadings should consist of:

(a) a Memorial presented simultaneously by each of the Parties not later than 12 months
afterthe notification of this Special Agreement to the Registry of the Court;

(b) a Counter-Memorial presented by each of the Parties not later than 4 months after the date
on which each has received the certified copy of the Memorial of the other Party;

(c) a Reply presented by each of the Parties not later than 4 months after the date on which
each has received the certified copy of the Counter-Memorial of the other Party; and

(d) a Rejoinder, if the Parties so agree or if the Court decides ex officio or at the request of
one of the Parties that this part of the proceedings is necessary and the Court authorizes or
prescribes the presentation of a Rejoinder.

3. The above-mentioned written pleadings and their annexes presented to the Registrar will
not be transmitted to the other Party until the Registrar has received the part of the written
pleadings corresponding to the said Party.

4. The question of the order of speaking at the oral hearings shall be decided by mutual
agreement between the Parties or, in the absence of that agreement, by the Court. In all cases,
however, the order of speaking adopted shall be without prejudice to any question regarding
the burden of proof.

Article 4
Applicable Law

The principles and rules of international law applicable to the dispute shall be those
recognized in the provisions of Article 38 of the Statute of the Court.

Article 5
Judgment of the Court

The Parties agree to accept the Judgment of the Court given pursuant to this
Special Agreement as final and binding upon them.

Article 6
Entry into Force

1. This Agreement shall enter into force upon the exchange of instruments of ratification. The
date of exchange of the said instruments shall be determined through diplomatic channels.
2. This Agreement shall be registered with the Secretariat of the United Nations pursuant to
Article 102 of the Charter of the United Nations, jointly or by either of the Parties.

Article 7
Notification

In accordance with Article 40 of the Statute of the Court, this Special Agreement shall be
notified to the Registrar of the Court by a joint letter from the Parties as soon as possible after
it has entered into force.

In witness whereof the undersigned, being duly authorized thereto by their respective
Governments, have signed the present Agreement.

Done in four originals in the English language at Kuala Lumpur on the thirty-first day of
May 1997.

For the Government of For the Government of


the Republic of Indonesia, Malaysia,

(Signed) DATUK ABDULLAH AHMAD


(Signed) ALI ALATAS,
BADAWI,
Minister for Foreign Affairs.
Minister for Foreign Affairs.

_____________

2. PROCS-VERBAL OF EXCHANGE OF INSTRUMENTS


OF RATIFICATION

The undersigned have met today for the purpose of exchanging the Instruments of Ratification
of the Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute
between Indonesia and Malaysia concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau
Sipadan signed at Kuala Lumpur, Malaysia, on the 31st of May, 1997.

These Instruments, having been examined and found to be in due form, have been exchanged
today.

In witness whereof, the undersigned have signed the present Procs-Verbal.

Done at Jakarta, this fourteenth day of May, in the year one thousand nine hundred and
ninety-eight, in duplicate.

For the Government of For the Government


the Republic of Indonesia, of Malaysia,
(Signed) NUGROHO WISNUMURTI,
(Signed) DATO' ZAINAL ABIDIN BIN
Director-General for Political Affairs, ALIAS,
Department of Foreign Affairs of the
Republic of Indonesia. Ambassador of Malaysia
to the Republic of Indonesia.

__________

Annex 1

INSTRUMENT OF RATIFICATION OF INDONESIA

Whereas, the "Special Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and
the Government of Malaysia for Submission to the International Court of Justice of the
Dispute between Indonesia and Malaysia concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and
Pulau Sipadan" was signed by the Minister for Foreign Affairs of the Republic of Indonesia
and the Minister for Foreign Affairs of Malaysia at Kuala Lumpur, Malaysia, on 31 May
1997;

And whereas, the Government of the Republic of Indonesia, in accordance with Article 6,
paragraph 1, of the Agreement, and having examined and considered the aforesaid
Agreement, has decided to ratify the said Agreement;

Now therefore, be it known, that the Government of the Republic of Indonesia do hereby
confirm and ratify the said Agreement and undertake to perform and carry out all the
stipulations therein contained;

In witness whereof, this Instrument of Ratification is signed and sealed by the Minister for
Foreign Affairs of the Republic of Indonesia;

Done at Jakarta this fourth day of May in the year one thousand nine hundred and ninety-
eight.

(Signed) ALI ALATAS


Minister for Foreign Affairs
of the Republic of Indonesia.

____________

Annex 2

INSTRUMENT OF RATIFICATION OF MALAYSIA

Whereas, the Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the
Dispute between Malaysia and Indonesia concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and
Pulau Sipadan was signed at Kuala Lumpur on the thirty-first day of May, in the year one
thousand, nine hundred and ninety-seven;

And whereas, the Government of Malaysia in accordance with Article 6 of the Agreement has
decided to ratify the said Agreement;
Now therefore, the Government of Malaysia, having considered the said Agreement, hereby
confirms and ratifies the same and undertakes faithfully to perform and carry out all the
stipulations therein contained.

In witness thereof, this Instrument of Ratification is signed and sealed by the Minister of
Foreign Affairs, Malaysia.

Done at Kuala Lumpur this 24th day of April, in the year one thousand, nine hundred and
ninety-eight.

(Signed) DATO' SERI ABDULLAH HAJI AHMAD


BADAWI
Minister for Foreign Affairs
of Malaysia

___________

Vous aimerez peut-être aussi