Vous êtes sur la page 1sur 24

TUGAS MAKALAH

Pelayanan Informasi Obat di Rumah Sakit (PIORS)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Farmasi Rumah Sakit

Disusun Oleh :

Ayu Oktavia (1061611014)

Kelas: A

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI YAYASAN PHARMASI

SEMARANG

2016
BAB I

PENDAHULUAN

Pelayanan kefarmasian merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan.


Pelayanan kefarmasian ini merupakan wujud pelaksanaan pekerjaan kefarmasian berdasarkan
undang undang no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan. Yang dimaksud dengan pekerjaan
kefarmasian menurut undang undang tersebut adalah: pembuatan termasuk pengendalian
mutu sediaan farmasi; pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan distribusi obat;
pengelolaan obat; pelayanan obat atas resep dokter; pelayanan informasi obat; serta
pengembangan obat, bahan obat, dan obat tradisional.
Pelayanan informasi obat sangat penting dalam upaya menunjang budaya
pengelolaan dan penggunaan obat secara rasional. Pelayanan informasi obat sangat
diperlukan, terlebih lagi banyak pasien yang belum mendapatkan informasi obat secara
memadai tentang obat yang digunakan, karena penggunaan obat yang tidak benar dan
ketidakpatuhan meminum obat bisa membahayakan (Novita, dkk., 2014).
Pelayanan informasi obat berupa konseling ditujukan untuk meningkatkan hasil terapi
dengan memaksimalkan penggunaan obat-obatan yang tepat. Salah satu manfaat dari
konseling adalah meningkatkan kepatuhan pasien dalam penggunaan obat, sehingga angka
kematian dan kerugian (baik biaya maupun hilangnya produktivitas) dapat ditekan (Schnipper
dkk., 2006). Selain itu pasien memperoleh informasi tambahan mengenai penyakitnya yang
tidak diperolehnya dari dokter karena tidak sempat bertanya, malu bertanya, atau tidak dapat
mengungkapkan apa yang ingin ditanyakan (Rantucci, 2007).
BAB II

ISI

2.1 Pengertian

Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian


informasi, rekomendasi Obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan
komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, Apoteker, perawat, profesi
kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain diluar Rumah Sakit (Anonim, 2014).
Pelayanan informasi obat adalah; pengumpulan, pengkajian, pengevaluasian,
pengindeksan, pengorganisasian, penyimpanan, peringkasan, pendistribusia, penyebaran
serta penyampaian informasi tentang obat dalam berbagai bentuk dan berbagai metode
kepada pengguna nyata dan yang mungkin (Siregar, 2006).
Pelayanan informasi obat meliputi penyediaan, pengelolaan, penyajian, dan
pengawasan mutu data/informasi obat dan keputusan profesional. Penyediaan informasi
obat meliputi tujuan, cara penyediaan, pengolahan, dan pengawasan mutu data/informasi
obat (Anonim, 2006).

2.2 Tujuan dan Ruang Lingkup


Tujuan PIO
a. Menyediakan informasi mengenai Obat kepada pasien dan tenaga kesehatan di
lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain diluar Rumah Sakit
b. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat /
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai terutama bagi Tim
Farmasi dan Terapi.
c. Menunjang penggunaan Obat yang rasional (tepat indikasi, tepat pasien, tepat obat,
tepat dosis, waspada Efek Samping (Anonim, 2014).
Ruang lingkup PIO
a. Pelayanan
Meliputi: menjawab pertanyaan, menerbitkan buletin, membantu unit lain dalam
mendapat informasi obat, menyiapkan materi untuk brosur/leaflet informasi obat,
mendukung kegiatan Panitia/Komite Farmasi dan Terapi dalam menyusun dan
merevisi formularium.
b. Pendidikan (terutama pada RS yang berfungsi sebagai RS pendidikan) Meliputi:
mengajar dan membimbing mahasiswa, memberi pendidikan pada tenaga kesehatan
dalam hal informasi obat, mengkoorninasikan program pendidikan berkelanjutan di
bidang informasi obat, membuat/menyampaikan makalah seminar/simposium.
c. Penelitian
Meliputi: melakukan penelitian evaluasi penggunaan obat (EPO), melakukan
penelitian penggunaan obat baru, melakukan penelitian lain yang berkaitan dengan
penggunaan obat, baik secara mendiri maupun bekerja sama dengan pihak lain,
melakukan kegiatan program jaminan mutu (Anonim, 2006).
Dengan adanya keterbatasan waktu, dana dan sumber-sumber informasi, maka
jenis pelayanan yang dilaksanakan Pelayanan Informasi Obat di Rumah Sakit
disesuaikan dengan kebutuhan. Contohnya meliputi:
1. Memberi jawaban atas pertanyaan spesifik melalui telepon, surat atau tatap muka.
2. Laporan atau buletin bulanan.
3. Konsultasi tentang cara penjagaan terhadap reaksi ketidakcocokan obat, konsep-
konsep obat yang sedang dalam penelitian atau peninjauan penggunaan obat-
obatan.
4. Evaluasi literatur obat atau penggunaannya.
5. Melakukan riset / penelitian.
6. Dukungan Panitia/Komite Farmasi dan Terapi seperti tinjauan terhadap obat-
obatan yang baru yang diajukan untuk dimasukkan dalam daftar obat rumah sakit.
7. Pengawasan atas racun / keracunan (Anonim, 2006)
2.3 Sasaran / Pengguna
a. Pasien dan atau keluarga pasien
Informasi yang dibutuhkan pasien, pada umumnya adalah informasi praktis dan
kurang ilmiah dibandingkan dengan informasi yang dibutuhkan profesional
kesehatan. Informasi obat untuk PRT diberikan apoteker sewaktu menyertai
kunjungan tim medik ke ruang pasien; sedangkan untuk pasien rawat jalan,
informasi diberikan sewaktu penyerahan obatnya. Informasi obat untuk pasien pada
umumya mencangkup cara penggunaan obat, jangka waktu penggunaan, pengaruh
makanan pada obat, penggunaan obat bebas dikaitkan dengan resep obat, dan
sebagainya (Siregar, 2004).
b. Tenaga kesehatan: dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan, asisten apoteker.

Dokter
Dalam proses penggunaan obat, pada tahap penetapan pilihan obat serta
regimennya untuk seorang pasien tertentu, dokter memerlukan informasi dari
apoteker agar ia dapat membuat keputusan yang rasional. Informasi obat
diberikan langsung oleh apoteker, menjawab pertanyaan dokter melalui telepon
atau sewaktu apoteker menyertai tim medis dalam kunjungan ke ruang
perawatan pasiean atau dalam konferensi staf medis (Siregar, 2004).
Perawat
Dalam tahap penyampaian atau distribusi obat kepada PRT dalam rangkaian
proses penggunaan obat, apoteker memberikan informasi obat tentang berbagai
aspek oabt pasien, terutama tentang pemberian obat. Perawat adalah profesional
kesehatan yaang paling banyak berhubungan dengan pasien karena itu,
perawatlah yang pada umumnya yang pertama mengamati reaksi obat
merugikan atau mendengar keluhan mereka. Apoteker adalah yang paling siap,
berfungsi sebai sumber informasi bagi perawat. Informasi yang dibutuhkan
perawat pada umumnya harus praktis, seera, dan ringkas, misalnya frekuensi
pemberian dosis, metode pemberian obat, efek samping yang mungkin,
penyimpanan obat, inkompatibilitas campuran sediaan intravena, dll (Siregar,
2004).
Apoteker
Setiap apoteker suatu rumah sakit masing-msaing mempunyai tugas atau fungsi
tertentu, sesuai dengan pendalaman pengetahuan pada bidang tertentu. Apoteker
yang langsung berinteraksi dengan profesional kesehatan dan pasien, sering
menerima pertanyaan mengenai informasi obat dan pertanyaan yang tidak dapat
dijawabnya dengan segera, diajukan kepada sejawat apoteker yang lebih
mendalami pengetahuan informasi obat. Apoteker apotek dapat meminta
bantuan informasi obat dari sejawat di rumah sakit (Siregar, 2004).
c. Pihak lain: manajemen, tim / kepanitiaan klinik, peneliti
Selain kepada perorangan, apoteker juga memberikan informasi obat kepada
kelompok profesional kesehatan, misalnya mahasiswa, masyarakat, peneliti, dan
kepanitiaan yang berhubungan dengan obat. Kepanitiaan di rumah sakit yang
memerlukan informasi obat antara lain, panitia farmasi dan terapi, panitia evaluasi
penggunaan obat, panitia sistem pemantauan kesalahan obat, panitia sistem
pemantauan dan pelaporan reaksi obat merugikan, tim pengkaji penggunaan oabt
retrospektif, tim program pendidikan in-service dan sebagainya (Siregar, 2004).
d. Masyarakat umum (Anonim, 2006)
2.4 Persyaratan SDM
a. Mempunyai kemampuan mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dengan
mengikuti pendidikan pelatihan yang berkelanjutan.
b. Menunjukkan kompetensi profesional dalam penelusuran, penyeleksian dan evaluasi
sumber informasi,
c. Mengetahui tentang fasilitas perpustakaan di dalam dan di luar RS, metodelogi
penggunaan data elektronik.
d. Memiliki latar belakang pengetahuan tentang terapi obat.
e. Memiliki kemampuan berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan (Siregar,
2006)
2.5 Metode Untuk Menentukan Pelayanan Informasi Obat
a. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker selama 24 jam atau on call
disesuaikan dengan kondisi rumah sakit.
b. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, sedang diluar jam
kerja dilayani oleh apoteker instalasi farmasi yang sedang tugas jaga.
c. Pelayanan informasi obat dilayani oleh apoteker pada jam kerja, dan tidak ada
pelayanan informasi obat diluar jam kerja.
d. Tidak ada petugas khusus pelayanan informasi obat, dilayani oleh semua apoteker
instalasi farmasi, baik pada jam kerja maupun diluar jam kerja.
e. Tidak ada apoteker khusus, pelayanan informasi obat dilayani oleh semua apoteker
instalasi farmasi di jam kerja dan tidak ada pelayanan informasi obat diluar jam
kerja.
2.6 Kegiatan Pelayanan Informasi Obat
A. Pelayanan

Kegiatan petayanan informasi obat berupa penyediaan dan pemberian informasi obat
yang bersifat aktif atau pasif. Pelayanan bersifat aktif apabila apoteker pelayanan
informasi obat memberikan informasi obat dengan tidak menunggu pertanyaan
melainkan secara aktif memberikan informasi obat, misalnya penerbitan buletin, brosur,
leaflet, seminar dan sebagainya. Pelayanan bersifat pasif apabila apoteker pelayanan
informasi obat mernberikan informasi obat sebagai jawaban atas pertanyaan yang
diterima.

Menjawab pertanyaan mengenai obat dan penggunaannya merupakan kegiatan rutin


suatu pelayanan informasi obat. Pertanyaan yang masuk dapat disampaikan secara verbal
(melalui telepon, tatap muka) atau tertulis (surat melalui pos, faksimili atau e-mail).
Pertanyaan mengenai obat dapat bervariasi dari yang sederhana sampai dengan yang
bersifat urgen dan kompleks yang membutuhkan penelusuran literatur serta evaluasi
secara seksama. Namun apapun bentuk pertanyaan yang datang, apoteker sebagai
petugas yang memberi pelayanan informasi obat hendaknya mengikuti suatu pedoman
pelaksanaan baku. Kemampuan berkomunikasi yang baik disamping kemampuan
menganalisa pertanyaan merupakan dasar dalam memberikan pelayanan informasi obat
yang efektif. Permintaan mengenai informasi obat yang ditangani secara profesional,
ramah dan bersifat rahasia, tidak hanya akan meningkatkan pelayanan kepada pasien atau
penanya lainnya tetapi juga dapat meningkatkan profesionalitas dari pelayanan informasi
obat maupun pelayanan farmasi secara keseluruhan.

Gambar 1. Alur Menjawab Pertanyaan Dalam Pelayanan Informasi Obat

B. Prosedur Penanganan Pertanyaan


a. Menerima Pertanyaan
Pertanyaan dapat datang langsung dari pasien atau melalui petugas
kesehatan di ruang rawat. Semua ini membutuhkan komunikasi yang .
Pertanyaan melalui telepon hendaknya dijawab dengan jelas dan baik, perlu
disebutkan identitas institusi dan nama petugas secara jelas sehingga penanya
mengetahui mereka dilayani oleh siapa. Penanya yang mendatangi pusat
informasi obat juga dilayani secara baik. Berikan perhatian penuh sementara
pertanyaan mereka ditangani, bersikaplah tenang dalam menangani pertanyaan
yang bersifat emergency.
b. Identifikasi Penanya
Identitas penanya dan alasan mereka mengajukan pertanyaan perlu
diketahui segera karena hal ini akan mempengaruhi petugas dalam mengambil
langkah selanjutnya. Misalnya bila pertanyaan datang melalui petugas
kesehatan di ruang rawat, perlu diketahui identitas baik pasien maupun petugas
yang menyampaikan. Bila pertanyaan datang dari pihak diluar rumah sakit
seperti dari masyarakat, media masa, pabrik obat, atau badan resmi lainnya,
otoritas memberikan informasi dapat berbeda dibandingkan dengan menjawab
pertanyaan dari lingkungan rumah sakit, untuk itu diperlukan ijin dari
pimpinan rumah sakit.
c. Identifikasi Masalah
Apoteker harus membuat kondisi sedemikian rupa agar penanya
mengemukakan masalahnya secara ringkas tapi jelas. Kemudian dengan segera
mengetahui sumber daya dan keahlian yang tersedia untuk memutuskan apakah
permintaan informasi dapat diterima atau harus dirujuk ke sumber informasi
lain yang lebih tepat.
d. Menerima Permintaan Informasi
Suatu permintaan informasi diterima dan dilayani akan mempengaruhi
citra dan perkembangan dari pelayanan informasi obat dikemudian hari.
Biarkan penanya menyatakan permintaannya dengan nyaman tanpa diinterupsi,
dan apoteker harus menunjukkan perhatian penuh kepada masalah penanya.
Perjelas permintaan informasi tersebut dengan mengajukan pertanyaan yang
tepat dan kemudian menyampaikan kembali kepada penanya secara rinci untuk
konfirmasi. Perlu diingat terutama dalam percakapan melalui telepon bahwa
inti percakapan yang penting dapat luput atau hilang sehingga dapat terjadi
penafsiran yang keliru terhadap permintaan informasi tersebut.
e. Informasi Latar Belakang Penanya
Informasi Latar Belakang Bersifat Dasar
Informasi Umum antara lain: nama dan pekerjaan penanya, nomor
telepon/alamat yang dapat dihubungi, tujuan permintaan, rincian permintaan,
urgensi permintaan.
Informasi Pasien antara lain: nama pasien, ruang rawat, demografi
pasien (umur, jenis kelamin,berat badan, ras dan lain lain), riwayat penyakit
(termasuk fungsi organ, dan hasil laboratorium terkait), riwayat pengobatan
(yang diresepkan maupun dibeli bebas, dosis, lama pengobatan dan
pemberian obat yang lalu)
Informasi Latar Belakang Bersifat Spesifik
Reaksi obat yang tidak diinginkan adverse drug reactions/adr meliputi:
reaksi (tanda tanda, gejala-gejala dan diagnosa), tingkat keparahan,
waktu mula/timbulnya reaksi, pola berkembangnya, keterkaitan
(sementara) dengan riwayat pengobatan, riwayat alergi atau ADR
terrnasuk riwayat dalam keluarga, penanganan selama ini, pabrik,
tanggal kadaluarsa, nomor batch dari obat yang diduga.
Keracunan, overdosis, dan akibat bisa binatang meliputi: nama zat, label,
pabrik, ukuran wadah, bentuk (padat, cairan, gas), cara terpapar (topikal,
inhalasi, tertelan,melalui gigitan /sengatan), perkiraan jumlahnya, waktu
terpapar, lama terpapar, demografi pasien, status pasien, rincian
penanganan yang telah dilakukan. Bila Pelayanan Informasi Obat tidak
dapat menangani hal ini, dapat dirujuk ke Pelayanan Informasi
Keracunan.
Kehamilan dan menyusui: nama obat, lama penggunaan obat (akut atau
kronik), dosis dan cara pemberian, usia janin, usia bayi/frekuensi
menyusui perhari, apakah obat diresepkan? oleh siapa?, riwayat
pengobatan terkait, riwayat penyakit terkait.
Dosis : diagnosa atau indikasi, usia, jenis kelamin, berat badan pasien,
riwayat penyakit, fungsi ginjal, fungsi hati, terapi yang diterima, riwayat
alergi, ADR, bentuk sediaan yang diinginkan atau cara pemberian yang
diinginkan.
Interaksi Obat: nama obat yang diduga, dosis, lama terapi, lamanya
pemberian secara bersamaan, aturan pakai, status pasien, penanganan
yang telah dilakukan, pengobatan terkait/data laboratorium.
Obat-obat yang mengganggu pemeriksaan laboratorium: rincian
gangguan, rincian riwayat pengobatan (obat, dosis, lama pengobatan,
aturan pakai), rincian test laboratorium, waktu pemberian.
Ketercampuran secara in vitro
- Spesifikasi obat: nama obat, aturan pakai dan lama pengobatan, cara
pemberian, kadar.
- Akses ke intra vena: jumlah lines, larutan infus, obat lainnya.
- Status pasien: kebutuhan untuk pemberian secara parenteral,
pembatasan cairan, ketersediaan intra vena akses, alternatif cara
pemberian, rincian inkompatibilitas yang diduga.
Stabilitas Obat: nama obat, formulasi, pabrik, nomor batch tanggal
kadaluarsa, kondisi penyimpanan (temperatur, cahaya, lamanya).
Terapi Obat: riwayat penyakit terkait, fungsi ginjal, fungsi hati, hasil test
sensitivitas terhadap antibiotika, cara pemberian, riwayat pengobatan
(interaksi obat, kegagalan terapi), riwayat alergi/ ADR.
Identifikasi obat : Nama obat (nama dagang, nama generik dan nama
kimia), informasi (resep, wadah, tanya jawab, artikel jurnal), negara asal
obat, pabrik, indikasi, bentuk sediaan, alasan permintaan informasi.
Farmakokinetik: nama obat, bentuk sediaan, cara pemberian, aturan
pakai, riwayat pasien terkait (umur, fungsi ginjal, fungsi hati, berat
badan, obat lainnya, alasan permintaan informasi (eliminasi pada
keracunan, kemungkinan interaksi, perubahan cara pemberian lainnya).
Pasien anak (paediatrics): usia, jenis kelamin dan berat badan pasien,
riwayat penyakit, riwayat pengobatan, riwayat alergi/ADR, hasil
laboratorium terkait.
Penetapan dosis pada pasien dengan penyakit ginjal: demografi pasien,
indikasi, tipe dan penyebab gangguan fungsi ginjal, perkiraan fungsi
ginjal (serum kreatinin, klirens kreatinin), penanganan (tipe, frekuensi
dan lama dialisa), riwayat penyakit.
Penetapan dosis pada pasien dengan penyakit hati: demografi pasien,
tipe dan penyebab gangguan fungsi hati, hasil tes fungsi hati, riwayat
penyakit.

f. Tujuan Permintaan Informasi


Tujuan permintaan informasi ini untuk menentukan skala prioritas,
memberikan respon secara rinci dan tepat sesuai dengan harapan dan dapat
dipahami sipenanya. Skala prioritas seluruh permintaan informasi harus
disusun dan dinilai secara periodik agar dapat mempertahankan pelayanan
yang optimal. Prioritas harus disusun berdasarkan kepentingan atau urgensi
permintaan misalnya: Permasalahan klinikal akut, Permasalahan klinikal non
akut, Kondisi khusus (Kuliah, rapat panitia farmasi dan terapi), Penelitian,
Umum.
g. Penelusuran Pustaka dan Memformulasikan Jawaban
Begitu permintaan informasi diputuskan untuk dijawab, lalu
didokumentasikan serta ditetapkan skala prioritas, maka langkah selanjutnya
adalah:
Pengumpulan Data dan Analisa. Untuk menjawab suatu permintaan
informasi yang sederhana dapat dilakukan dengan menggunakan pustaka
baku, sedang untuk menjawab pertanyaan yang lebih kompleks diperlukan
penelusuran data yang lebih khusus dan rinci, misalnya dari abstrak, artikel,
data studi in vitro atau hewan percobaan. Data tersebut harus diinterpretasi
dan dievaluasi, untuk itu memerlukan pengetahuan seperti farmakologi,
patofisiologi, statistik dan lain-lain.
Formulasi Jawaban. Apoteker harus menyiapkan suatu rangkuman secara
singkat, relevan dan logis serta mencatat hal-hal penting yang akan
disampaikan kepada penanya. Petugas yang belum berpengalaman harus
mendiskusikan terlebih dahulu jawaban yang disiapkan kepada atasannya.
Apabila data yang dipergunakan dalam menjawab pertanyaan berasal dari
percobaan hewan atau studi invitro maka harus diinformasikan dengan jelas
beserta segala keterbatasannya. Apabila data berasal dari abstrak suatu
artikel maka harus diinformasikan keterbatasannya dan diberitahukan
sumber aslinya. Jawaban dapat diberikan secara :
- Verbal. Dilakukan melalui telepon atau secara langsung kepada
penanya. Cara ini cocok untuk menyampaikan informasi yang bersifat
sederhana. Dapat juga dilakukan diskusi terlebih dahulu dengan penanya
pada saat informasi diberikan.
- Tertulis. Cara ini sangat tepat untuk memberikan informasi yang bersifat
kompleks, sangat rinci dan disertai dengan dokumen yang diperlukan.
Jawaban secara tertulis dapat mengikuti format sesuai gambar 2.

Gambar 2. Lembar Pelayanan Informasi Obat


- Tanggapan. Tanggapan yang diberikan mencakup pendahuluan, sumber
pustaka, rangkuman dari apa yang ditemukan termasuk dengan data
pendukungnya seperti tabel, grafik dan lain lain.
- Kesimpulan. Kesimpulan harus menjawab pertanyaan. Dapat dilengkapi
dengan saran dan rekomendasi.
- Referensi Seluruh referensi yang digunakan harus sesuai dengan standar
(Anonim, 2006).
h. Tindak lanjut terhadap Jawaban Informasi Obat
Apabila mungkin, tindak lanjut perlu diadakan untuk jenis pertanyaan
tertentu, terutama yang berkaitan langsung dengan perawatan sien. Misalnya,
apoteker ditelpon tentang seorang pasien yang mengalami reaksi obat
merugikan terhadap suatu obat tertentum dan dokter menyakan suatu terapi
alternatif. Seteleh pencarian pustakan secara sistematik, apoteker membuatkan
rekomendasi. Apoteker menggunakan kesempatan ini mendatangi pasien,
untuk mmelihat respon pasien terhadap rekomendasinya itu. Tindak lanjut
yang konsisten untuk jenis itu, akan meningkatkan interaksi dengan
profesional kesehatan lainnya yang dapat mempromosikan partisipasi
apooteker dalam perawatan pasien langsung termasuk kunjungan klinik ke
ruang pasien (Siregar, 2004). Apoteker juga harus memastikan aoakah
jawaban sudah benar?, apakah jawaban memadi? Dan apakah jawaban
memberikan kontribusi?.
i. Menyampaikan Informasi Kepada Pihak Lainnya
Dalam hal tertentu jawaban yang diberikan juga perlu disampaikan pada
pihak lain yang terkait seperti apoteker di ruang rawat, Panitia/Komite
Farmasi dan Terapi dan pihak terkait lainnya.
j. Manfaat Informasi
Seluruh jawaban yang diberikan oleh Pelayanan Informasi Obat harus
didokumentasikan sebagai catatan dari kegiatan yang dilakukan maupun
sebagai informasi yang berguna bagi pertanyaan berikutnya dan evaluasi
terhadap kegiatan pelayanan informasi obat dan program jaminan mutu.
Umpan Balik. Permintaan informasi sebaiknya ditinda lanjuti baik secara
langsung maupun melalui mekanisme umpan balik. Hal ini dapat membantu
dalam menentukan hasil dan apakah informasi yang diberikan telah
mengenai sasaran. Informasi umpan balik penting sebagai ukuran jaminan
mutu serta dalam kaitan dengan tanggung jawab profesional.
Kerahasiaan Informasi. Informasi yang diberikan oleh industri farmasi
termasuk data formulasi, data efek samping atau data obat investigasi yang
diberikan untuk kenyamanan pasien harus bersifat rahasia. Informasi obat
seperti ini hanya digunakan untuk kondisi yang memungkinkan untuk
dipublikasikan atau tidak. Apoteker informasi obat mempunyai tanggung
jawab untuk menyimpan sumber informasi rahasia kepada penanya.
Informasi yang berhubungan dengan pasien harus dirahasiakan. Ketika
pasien diberikan informasi khusus lainnya sebagai tambahan informasi yang
diperlukan pasien seperti literatur, publikasi dan lain lain, identitas pasien
harus disimpan. Identitas pasien harus dirahasiakan dari pihak lain kecuali
ada persetujuan dari pasien.
k. Publikasi
Penyebaran informasi secara aktif ini harus melibatkan staf di
Pelayanan Informasi Obat dalam bentuk publikasi. Contohnya pembuatan
buletin farmasi, leaflet informasi untuk pasien, jurnal atau artikel, informasi
mini untuk tim pelayanan kesehatan di rumah sakit, atau bentuk publikasi lain
yang menunjang penggunaan obat yang rasional ataupun berkaitan dengan
kebijakan penggunaan obat serta perkembangan terakhir yang mempengaruhi
pemilihan obat.
l. Mendukung Panitia Komite Farmasi dan Terapi
Pelayanan informasi obat terlibat dalam kegiatan penyusunan
formularium rumah sakit dengan menyiapkan monografi obat dan melakukan
evaluasi/pengkajian dari studi yang relevan. Hasil pengkajian ini secara
tertulis merupakan dasar bagi diskusi Panitia/ Komite Farmasi dan Terapi
dalam memutuskan obat obatan yang akan dimasukkan ke atau dikeluarkan
dari formularium rumah sakit secara objektif.
C. Pendidikan
Kegiatan pendidikan oleh suatu pelayanan informasi obat dapat bervariasi
tergantung rumah sakit tersebut merupakan fasilitas pendidikan atau tidak. Untuk
rumah sakit pendidikan, kegiatan ini dapat merupakan kegiatan formal dengan ikut
berpartisipasi dalam program pendidikan kepada mahasiswa farmasi yang sedang
praktek kerja lapangan ataupun mahasiswa lain yang berkaitan dengan obat.
Program pendidikan ini dapat dilakukan di dalam atau di luar rumah sakit dengan
memberikan kuliah atau mempublikasikan topiktopik yang relevan dengan
pelayanan informasi obat. Beberapa kegiatan pendidikan yang dapat dilakukan
antara lain:
o Memberikan pendidikan berkelanjutan bagi apoteker, asisten apoteker, perawat,
mahasiswa, atau profesi kesehatan lainnya.
o Menyajikan informasi terbaru mengenai obat dan atau penggunaan obat dalam
bentuk seminar, simposium, dan lain-lain.
o Membimbing apoteker magang/mahasiswa yang sedang praktek kerja lapangan
mengenai keterampilan dalam pelayanan informasi obat.
D. Penelitian
Kegiatan penelitian dapat berupa pemberian dukungan informasi terhadap
Evaluasi Penggunaan Obat (Drug Utilisation Evaluation) dan Studi Penggunaan
Obat (Drug Utilisation Study). Program evaluasi penggunaan obat dikembangkan
untuk menjamin peresepan dan penggunaan obat yang aman, rasional dan
terjangkau. Kegiatan penelitian dapat dilakukan sampai dengan studi desain untuk
menjawab permasalahan yang tidak dapat terjawab dengan sumber yang ada (2)
2.7 Sumber Informasi
Tenaga kesehatan: Dokter, apoteker, dokter gigi, perawat, tenaga kesehatan lain di
rumah sakit.
Sarana: Fasilitas ruangan, peralatan, komputer, internet dan perpustakaan.
Prasarana: Industri farmasi, Badan POM, Pusat Informasi Obat, Pendidikan tinggi
farmasi, Organisasi profesi (dokter, apoteker dan lain lain.)
Pustaka Sebagai Sumber Informasi Obat: Semua sumber informasi yang digunakan
diusahakan terbaru dan disesuaikan dengan tingkat dan tipe pelayanan.
Pustaka digolongkan dalam 3 (tiga) kategori.
1. Pustaka primer: Artikel asli yang dipublikasikan penulis atau peneliti, informasi
yang terdapat di dalamnya berupa hasil penelitian yang diterbitkan dalam jurnal
ilmiah. Contoh : laporan hasil penelitian, laporan kasus, studi evaluatif, laporan
deskriptif
2. Pustaka sekunder. Berupa sistem indeks yang umumnya berisi kumpulan abstrak
dari berbagai macam artikel jurnal. Sumber informasi sekunder sangat membantu
dalam proses pencarian informasi yang terdapat dalam sumber informasi primer.
Sumber informasi ini dibuat dalam berbagai, data base, contoh : medline yang
berisi abstrak-abstrak tentang terapi obat, International Pharmaceutical Abstract
yang berisi abstrak penelitian kefarmasian.
3. Pustaka tersier. Pustaka tersier berupa buku teks atau data base, kajian artikel,
kompendia dan pedoman praktis. Pustaka tersier umumnya berupa buku referensi
yang berisi materi yang umum, lengkap dan mudah dipahami (Anonim, 2006).
2.8 Penelusuran Informasi Dan Pustaka
Pencarian dari umum ke khusus
Kita telah mengerti adanya bermacam-macam sumber informasi maka kita perlu
melakukan penelitian secara efisien dan terfokus melalui pendekatan sistematis untuk:
Penentuan kebutuhan informasi obat yang aktual dan Mengumpulkan data pasien secara
khusus dengan cara menanyakan hal hal yang relevan dengan cara yang baik. Prinsip
yang sama dapat digunakan untuk mencari literatur. Tujuan pencarian tersebut adalah
untuk mengarahkan pencarian agar lebih akurat, komplit dan terpadu.
Pencarian yang ideal harus dimulai dari sumber-sumber yang umum untuk
mendapatkan konteks yang cukup sebelum strategi yang lebih khusus digunakan untuk
mencari data yang lebih detail. Strategi pencarian umum ke khusus berarti berpindah dari
pustaka tersier ke pustaka sekunder kemudian ke pustaka primer. Keuntungannya adalah
menghindarkan kita dari sumber informasi yang terlalu banyak dan kehilangan arah
dalam pencariannya sehingga didapat informasi yang cepat, tepat dan akurat. Kelemahan
pencarian sistematis adalah waktu penelusuran cukup lama karena harus berpindah dari
pustaka tersier ke sekunder kemudian ke primer.
2.9 Dokumentasi
Setelah terjadl interaksi antara penanya dan pemberi jawaban, maka kegiatan
tersebut harus didokumentasikan. Pendokumentasian sangat penting karena dapat
membantu menelusuri kembali data informasi yang dibutuhkan dalam waktu yang relatif
lebih singkat. Pendokumentasian tersebut juga memperjelas beban kerja dari apoteker.
Manfaat dokumentasi adalah:
1. Mengingatkan apoteker tentang informasi pendukung yang diperlukan dalam
menjawab pertanyaan dengan lengkap.
2. Sumber informasi apabila ada pertanyaan serupa.
3. Catatan yang mungkin akan diperlukan kembali oleh penanya.
4. Media pelatihan tenaga farmasi.
5. Basis data penelitian, analisis, evaluasi dan perencanaan layanan.
6. Bahan audit dalam melaksanakan Quality Assurance dari pelayanan informasi obat.
Dokumentasi memuat :
1. Tanggal dan waktu pertanyaan dimasukkan
2. Tanggal dan waktu jawaban diberikan
3. Metode penyampaian jawaban
4. Pertanyaan yang diajukan
5. Orang yang meminta jawaban
6. Orang yang menjawab
7. Kontak personal untuk tambahan informasi
8. Lama penelusuran informasi
9. Referensi/sumber informasi yang digunakan

BAB III
KESIMPULAN

Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian


informasi, rekomendasi Obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan komprehensif
yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, Apoteker, perawat, profesi kesehatan lainnya
serta pasien dan pihak lain diluar Rumah Sakit. Sumber-sumber informasinya yaitu Tenaga
kesehatan, Sarana, Prasarana dan Pustaka Sebagai Sumber Informasi Obat.
Adapun metode-metode dari PIO adalah seperti PIO dilayani oleh apoteker selama 24
jam atau on call disesuaikan dengan kondisi RS, PIO dilayani oleh apoteker pada jam kerja,
sedang diluar jam kerja dilayani oleh apoteker instalasi farmasi yang sedang tugas jaga dan
lain sebagainya.
Adapun tujuan pelayanan informasi obat yaitu, menyediakan informasi mengenai obat
kepada pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain diluar Rumah
Sakit; menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan obat /
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan Bahan Medis Habis Pakai terutama bagi Tim Farmasi
dan Terapi dan menunjang penggunaan Obat yang rasional (tepat indikasi, tepat pasien, tepat
obat, tepat dosis, waspada Efek Samping (1).
Sasaran informasi obat yaitu pasien dan atau keluarga pasien, Tenaga kesehatan
seperti dokter, dokter gigi, apoteker, perawat, bidan, asisten apoteker, dan lain-lain. Lingkup
jenis pelayanan informasi obat disuatu rumah sakit, antara lain seperti pelayanan informasi
obat untuk menjawab pertanyaan. pelayana informasi obat untuk evaluasi penggunaan obat,
pelayanan informasi obat dalam studi obat investigasi dan pelayanan informasi obat untuk
mendukung kegiatan panitia farmasi dan terapi.
Tahapan dalam menjawab pertanyaan informasi obat meliputi: mengetahui identitas
pasien, menggolongkan jenis pertanyaan, mendapatkan informasi latar belakang pertanyaan,
menelusuri literatur, mengevaluasi literatur, memformulasikan jawaban, menyampaikan
jawaban, menindaklanjuti dan mendokumentasikan.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006, Pedoman Pelayanan Informasi Obat Di Rumah Sakit. Dirjen Pelayanan
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Depkes RI: Jakarta.

Anonim. 2006. Keputusan Direktur Jenderal Bina Kefarmasian Dan Alat Kesehatan No. Hk.
00. Dj. Ii. 924 Tentang Pembentukan Tim Penyusun Pedoman Pelayanan
Kefarmasian Di Puskesmas.

Anonim. 2014. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 58/Menkes/2004


Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit. KEMENKES RI : Jakarta.
Siregar, Charles. 2006. Farmasi Klinik, Teori Dan Penerapan. Jakarta: ECG.

Schnipper, J.L., Dkk. 2006. Role Of Pharmacist Counseling In Preventing Adverse Drug
Events After Hospitalization.USA : Archives Of Internal Medicine. Vol 166.565-571.

Rantucci, M.J. 2007. Komunikasi Apoteker-Pasien : Panduan Konseling Pasien (Edisi 2).
Penerjemah : A.N. Sani. Penerbit Buku Kedokteran EGC: Jakarta.

Novita N.G.T., dkk. 2014. Pelayanan Informasi Obat Terhadap Kepatuhan Minum Obat
Pasien Geriatri Di Instalasi Rawat Inap Rsup Prof. Dr. R.D. Kandou Manado. Jurnal
Ilmiah Farmasi Pharmacon. UNSRAT Manado.

Pertanyaan Dan Jawaban

1. Jelaskan Faktor-Faktor Penyebab Peresepan Di Rumah Sakit Tidak Rasional

Jawab:

Peresepan yang irrasional dapat berupa

A. Peresepan berlebih (overprescribing)


Jika meresepkan obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit yang
bersangkutan.
Contoh:
Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya disebabkan oleh virus)
Pemberian obat dengan dosis yang lebih besar daripada yang dianjurkan.
Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit
tersebut.
Pemberian obat berlebihan memberi resiko lebih besar untuk timbulnya efek yang
tidak diinginkan seperti: Interaksi, Efek Samping dan Intoksikasi
B. Peresepan kurang (underprescribing)
Jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baik dalam hal dosis,
jumlah maupun lama pemberian. Tidak diresepkannya obat yang diperlukan untuk
penyakit yang diderita juga termasuk dalam kategori ini.
Contoh :
Pemberian antibiotik selama 3 hari untuk ISPA pneumonia.
Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare.
Tidak memberikan tablet Zn selama 10 hari pada balita yang diare
C. Peresepan majemuk (multiple prescribing)
Jika memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang sama. Dalam
kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang
diketahui dapat disembuhkan dengan satu jenis obat.
Contoh:
Pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek berisi: Amoksisilin, Parasetamol,
Gliseril guaiakolat, Deksametason, CTM, dan Luminal.
D. Peresepan salah (incorrect prescribing)
Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi yang sebenarnya
merupakan kontraindikasi pemberian obat, memberikan kemungkinan resiko efek
samping yang lebih besar, pemberian informasi yang keliru mengenai obat yang
diberikan kepada pasien, dan sebagainya.
Contoh :
Pemberian antibiotik golongan kuinolon (misalnya siprofloksasin & ofl oksasin)
untuk anak.
Meresepkan asam mefenamat untuk demam.bukannya parasetamol yang lebih
aman.
Dalam kenyataannya masih banyak lagi praktek penggunaan obat yang tidak rasional
yang terjadi dalam praktek sehari-hari dan umumnya tidak disadari oleh para klinisi.
Hal ini mengingat bahwa hampir setiap klinisi selalu mengatakan bahwa pengobatan
adalah seni, oleh sebab itu setiap dokter berhak menentukan jenis obat yang paling
sesuai untuk pasiennya. Hal ini bukannya keliru, tetapi jika tidak dilandasi dengan
alasan ilmiah yang dapat diterima akan menjurus ke pemakaian obat yang tidak
rasional.
E. Pemberian obat untuk penderita yang tidak memerlukan terapi obat.
Contoh: Pemberian roboransia untuk perangsang nafsu makan pada anak padahal
intervensi gizi jauh lebih bermanfaat.
F. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan indikasi penyakit.
Contoh: Pemberian injeksi vitamin B12 untuk keluhan pegal linu.
G. Penggunaan obat yang tidak sesuai dengan aturan.
Contoh:
Cara pemberian yang tidak tepat, misalnya pemberian ampisilin sesudah makan,
padahal seharusnya diberikan saat perut kosong atau di antara dua makan.
Frekuensi pemberian amoksisilin 3 x sehari, padahal yang benar adalah diberikan 1
kaplet tiap 8 jam.
H. Penggunaan obat yang memiliki potensi toksisitas lebih besar, sementara obat
lain dengan manfaat yang sama tetapi jauh lebih aman tersedia.
Contoh: Pemberian metilprednisolon atau deksametason untuk mengatasi sakit
tenggorok atau sakit menelan.padahal tersedia ibuprofen yang jelas lebih aman dan
efficacious.
I. Penggunaan obat yang harganya mahal, sementara obat sejenis dengan mutu
yang sama dan harga lebih murah tersedia.
Contoh: Kecenderungan untuk meresepkan obat bermerek yang relative mahal
padahal obat generik dengan manfaat dan keamanan yang sama dan harga lebih murah
tersedia.
J. Penggunaan obat yang belum terbukti secara ilmiah manfaat dan keamanannya.
Contoh: Terlalu cepat meresepkan obat obat baru sebaiknya dihindari karena
umumnya belum teruji manfaat dan keamanan jangka panjangnya, yang justru dapat
merugikan pasien.
K. Penggunaan obat yang jelas-jelas akan mempengaruhi kebiasaan atau persepsi
yang keliru dari masyarakat terhadap hasil pengobatan.
Contoh:
Kebiasaan pemberian injeksi roborantia pada pasien dewasa yang selanjutnya akan
mendorong penderita tersebut untuk selalu minta diinjeksi jika datang dengan keluhan
yang sama.
2. Buatlah Standar Prosedur Operasional (SPO) Pelayanan Resep Rawat Jalan Dalam
Program Jaminan Mutu Penggunaan Obat
Jawab:

Standar
Prosedur Pelayanan Resep Pasien Rawat Jalan
Operasional
Pengertian Pelayanan resep penderita rawat jalan adalah kegiatan
pendistribusian perbekalan farmasi untuk memenuhi kebutuhan
pasien rawat jalan di Rumah Sakit dengan sistem resep
perorangan oleh apotik Rumah Sakit.
Tujuan Tercapainya pelayanan kefarmasian dengan mutu cakupan dan
efisiensi yang optimal melalui pelayanan perbekalan farmasi
pasien rawat jalan.
Kebijakan Semua petugas farmasi rumah sakit berkewajiban melaksanakan
prosedur sesuai dengan SPO yang dibuat oleh rumah sakit.
Prosedur 1. Resep datang dari counter rawat jalan.
2. Sebelum menyiapkan resep, asisten apoteker wajib
memeriksa kelengkapan resep sebagai berikut:
a. Tanggal penulisan resep
b. Nama dokter
c. Surat izin dokter
d. Nama obat, jenis obat (tablet, kapsul, sirup, atau injeksi)
dan jumlah obat.
e. Cara pembuatan (obat diracik atau tidak)
f. Signa (aturan pakai)
g. Nama pasien
h. Umur pasien
i. Alamat pasien
3. Selesai memeriksa resep, petugas farmasi yang menerima
resep member stempel HTKP (Harga, Timbang, Kemas,
Penyerahan) pada resep, menulis nama dan membubuhi
paraf pada kolom H.
4. Jika ada obat racikan, dihitung sesuai dengan dosis. Selesai
meracik obat, petugas yang meracik menulis nama dan
membubuhi paraf di kolom T.
5. Obat disiapkan sesuai dengan resep.
6. Obat diberi etiket sesuai dengan resep dokter. Petugas yang
memberi etiket pada obat menulis nama dan membubuhi
paraf pada kolom K.
7. Sebelum obat diserahkan, petugas yang menyerahkan obat
meneliti kembali obat yang telah disiapkan sesuai dengan
resep serta dikonfirmasi ulang data pasien tersebut, seperti:
a. No. DO bill
b. Nama pasien
c. Alamat
d. Jaminan umum atau perusahaan
8. Obat diserahkan dan menjelaskan kepada penerima obat
mengenai:
a. Aturan pakai
b. Cara pakai
c. Cara penyimpanan obat
9. Meminta nomor telepon pasien untuk dokumentasi farmasi.
10. Petugas yang menyerahkan obat menuliskan nama dan
membubuhi paraf di kolom P.
Unit Terkait Farmasi

3. Jelaskan Kriteria Obat Yang Diproduksi Internal Di Rs Dan Berikan Contoh Obatnya.
Jawab:
Produksi Sediaan Farmasi Instalasi Farmasi Rumah Sakit dapat memproduksi
sediaan tertentu apabila:
1) Sediaan Farmasi tidak ada di pasaran;
contoh : kapsul NaCl, kapsul bicarbonat
2) Sediaan Farmasi lebih murah jika diproduksi sendiri;
contoh : OBP/OBH
3) Sediaan Farmasi dengan formula khusus;
contoh : sirup kloralhidrat, extra alergen
4) Sediaan Farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/repacking;
contoh : povidone (I2)
5) Sediaan Farmasi untuk penelitian;
contoh : membandingkan efek terapi serta efek samping dari CTM dan cetirizin dengan
metode double band
6) Sediaan Farmasi yang tidak stabil dalam penyimpanan/harus dibuat baru (recenter
paratus);
contoh : lotio kumerfeldi, OBP
7) Sediaan Farmasi seperti nutrisi parenteral; dan
contoh : infus glukosa 15%
8) Sediaan Farmasi rekonstruksi.
contoh : obat-obat sitostatika
Sediaan yang dibuat di Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan mutu dan terbatas
hanya untuk memenuhi kebutuhan pelayanan di Rumah Sakit tersebut.

4. Jelaskan Kebutuhan Informasi Apa Saja Yang Harus Ada Pada Tahap Perencanaan Dan
Penyimpanan Obat.
Jawab:
Perencanaan kebutuhan merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan periode
pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan
hasil kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah,
tepat waktu dan efisien. Perencanaan dilakukan untuk menghindari kekosongan Obat
dengan menggunakan metode yang dapat dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar
perencanaan yang telah ditentukan antara lain konsumsi, epidemiologi, kombinasi metode
konsumsi dan epidemiologi dan disesuaikan dengan anggaran yang tersedia. Pedoman
perencanaan harus mempertimbangkan:
Dnggaran yang tersedia

Penetapan prioritas

Sisa persediaan

Data pemakaian periode yang lalu

Waktu tunggu pemesanan

Rencana pengembangan.
Setelah barang diterima di Instalasi Farmasi perlu dilakukan penyimpanan sebelum
dilakukan pendistribusian.
Penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai sesuai dengan persyaratan kefarmasian.
Persyaratan kefarmasian yang dimaksud meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan,
sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan penggolongan jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai.
Komponen yang harus diperhatikan antara lain:
a. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan Obat diberi label yang
secara jelas terbaca memuat nama, tanggal pertama kemasan dibuka, tanggal
kadaluwarsa dan peringatan khusus;
b. elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali untuk
kebutuhan klinis yang penting;
c. elektrolit konsentrasi tinggi yang disimpan pada unit perawatan pasien dilengkapi
dengan pengaman, harus diberi label yang jelas dan disimpan pada area yang
dibatasi ketat (restricted) untuk mencegah penatalaksanaan yang kurang hati-hati;
dan
d. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang dibawa oleh
pasien harus disimpan secara khusus dan dapat diidentifikasi.
Instalasi Farmasi harus dapat memastikan bahwa Obat disimpan secara benar dan
diinspeksi secara periodik.
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang harus
disimpan terpisah yaitu:
a. bahan yang mudah terbakar, disimpan dalam ruang tahan api dan diberi tanda khusus
bahan berbahaya
b. gas medis disimpan dengan posisi berdiri, terikat, dan diberi penandaaan untuk
menghindari kesalahan pengambilan jenis gas medis. Penyimpanan tabung gas
medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada isinya. Penyimpanan tabung
gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi keselamatan.
Metode penyimpanan dapat dilakukan berdasarkan kelas terapi, bentuk sediaan,
dan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai dan disusun
secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First Expired First Out (FEFO) dan First
In First Out (FIFO) disertai sistem informasi manajemen. Penyimpanan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai yang penampilan dan
penamaan yang mirip (LASA, Look Alike Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan
dan harus diberi penandaan khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan
Obat.
Rumah Sakit harus dapat menyediakan lokasi penyimpanan Obat emergensi
untuk kondisi kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan harus mudah diakses dan
terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian.
Pengelolaan Obat emergensi harus menjamin:
a. jumlah dan jenis Obat sesuai dengan daftar Obat emergensi yang telah ditetapkan;
b. tidak boleh bercampur dengan persediaan Obat untuk kebutuhan lain;
c. bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti;
d. dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa; dan
e. dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain.

Vous aimerez peut-être aussi