Vous êtes sur la page 1sur 6

A.

Humanitarian Intervention Humanitarian intervention atau dalam bahasa Indonesia disebut


dengan intervensi kemanusian mempunyai arti adanya suatu campur tangan dari negara lain
kepada suatu negara untuk urusan kemanusiaan. Yang berarti bahwa suatu tindakan atas nama
kemanusiaan kepada negara oleh suatu negara (bahkankelompok negara) untuk melakukan misi
kemanusiaan. Namun ada beberapa pendapat ahli yang memberikan berbagai macam arti
mengenai Human inetrventions. Menurut Adam Roberts, humanitarian intervention adalah
intervensi militer kepada negara lain, dengan kesepakatan yang terbatas atau tanpa kesepakatan
dengan pejabat di negara tersebut, untuk mencegah widespread suffering dan kematian sebuah
populasi. Memang terkadang campur tangan sebuah negara untuk melakukan misi kemanusiaan
dalam sudut pandang Hak asasi manusia agaknya memang benar, namun bagaimana suatu
intervensi kemanusiaan tersebut hanya menjadi suatu kamuflase politik negara adidaya semisal
Amerika Serikat. Pengerahan kekuatan iliter AS ke Ira katas nama kemanusiaan dengan alasan
yang cukup aneh yakni kecurigaan AS terhadap Saddam Husain yang mengembangkan senjata
kimia dan ketidak nyamanan rakyat Irak pada kebijakan Saddam yang otoriter membuat AS dan
sekutu nekad menyerang negeri abu nawas tersebut. Irak sebagai negarayang berdaulat dan
merdeka seolah menghadapi bencana yang luar biasa dengan invasi AS tesebut pada tahun 2003.
Dalam piagam PBB disebutkan memang tidak boleh ada intervensi negara lain (luar) untuk
persmasalan dalam negeri suatu negara. Kasus Irak ini tentunya menjadi suatu peristiwa dunia
yang harus banyak mendapat pelajaran. Mengingat dalam beberapa kabar yang beredar dan
temuan oleh PBB bahwa Irak memang tidak memiliki senjata pemusnah massal seperti yang
disebutkan oleh AS. Bagi penulis alasan utama penyerangan AS ke Irak bermotif ekonomi
belaka, lantaran cadangan minyak di AS sudah mulai menipis, kebutuhan bahan bakar dalam
negeri meningkat maka alternative nya yakni menyerang Irak yang punya cadangan minyak
melimpah. Intervensi AS atas nama HAM untuk rakyat Irak yang dibawah pemerintahan tirani
Saddam, sebagai alasan untuk invasi adalah suatu hal yang sangat munafik dan mengada-ada,
karena urusan tersebut sebenarya lebih bersifat dalam negeri irak sendiri bukan urusan AS.
Apalagi Saddam Husain dinyatakan sebagai orang yang mengganggu stabilitas keamanan
nasional AS, ini sungguh lucu dan tidak masuk akal. Sementara Simon Dukemendefinisikannya
sebagai suatu bentuk penggunaan kekuatan bersenjata oleh suatu negara (atau sekelompok
negara) untuk melindungi warga negara dari negara yang dituju dari pelanggaran HAM berat
yang terjadi disana.Ian Brownliemengartikannya sebagai ancaman atau penggunaan kekuatan
bersenjata (use of force) oleh suatu negara (atau sekelompok negara) atau sebuah organisasi
internasional ke negara lain dengan tujuan perlindungan terhadap HAM.beberapa pendapaat tadi
secara garis besar kita bisa melihat bahwa konsepsi mengenai human intervention ini menjadi
suatu hal yang akan menjadi benar untuk dilakukan atas nama kemanuasiaan, dari penjelasan
Ianbrownlie misal, bahwa intervensi tersebut akan menjadi syahdan benar yang didasarkan atas
nama kemanuasiaan. B.Hak Asasi Manusia Istilah Hak Asasi Manusia (HAM), merupakan hak
dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal oleh karena itu harus
dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh
siapapun. Hak ini wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
John Lockeadalah peletak dasar hak asasi manusia. Menurutnya, semua individu dikaruniai oleh
alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka
sendiri dan tidak dapat dicabut atau dipreteli oleh negara.51 Melalui suatu kontrak sosial
(social contract), perlindungan atas hak yang tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara.
Tetapi, menurut Locke, apabila penguasa negara mengabaikan kontrak sosial itu dengan
melanggar hak-hak kodrati individu, maka rakyat di negara itu bebas menurunkan sang penguasa
dan menggantikannya dengan suatu pemerintah yang bersedia menghormati hak-hak tersebut.
Dengan demikian, Negara harus mengutamakan kepentingan rakyat. Andrew Heywood,
berpendapat bahwa hak asasi manusia merupakan sesuatu yang bersifat universal, fundamental,
dan absolut. Universal dalam arti bahwa hak asasi manusia adalah milik seluruh umat manusia di
dunia tanpa memandang kebangsaan, asal-usul etnik atau ras, latar belakang sosial dan lainnya.
Fundamental dalam arti hak-hak asasi itu tidak dapat dicabut: hak-hak asasi manusia dapat
dipungkiri ataupun dilanggar namun tidak dapat dihilangkan dari diri manusia. Absolut dalam
arti, sebagai landasan dasar kehidupan manusia yang murni, hak-hak asasi itu tidak dapat
disyaratkan, atau secara sederhana berarti hak asasi manusia pasti akan ada dan terus melekat
dalam diri manusia dalam kondisi apapun. Persoalan HAM menjadi isu utama dalam
pelaksanaan Humanitarian Intervention, banyak alasan berupa pertolongan maupun perlindungan
HAM yang menjadi factor utama suatu negara melakukan intervensi kemanusiaan. Memang kita
tidak bisa membiarkan sebuah rezim politik disebuah negara melakukan penghabisan suku
(genosida) maupun penindasan kemanusiaanterhadap rakyatnya sendiri. Prilaku negara maju
yang sering melakukan Humanitarian Intervention action semisal AS dan beberapa negara Uni
eropa memang dalam beberapa perspektif bisa dianggap benar apabila betul-betul atas dasar
kemanusiaan. Yang menjadi persoalan apabila tindakan intervensi tersebut hanya bermotif
ekonomi dan membuat keadaan semakin tidak kondusif, maka apa yang disebut sebagai
Humanitarian Intervention action patut dipertanyakan dan harus dikoreksi ulang. Kasus invasi
AS ke Irak menjadi contoh kongrit bagaimana kepentingan ekonomi (minyak mentah) lebih
kentara daripada kepentingan untuk misi kemanuasiaan. C.Negara dan Kedaulatan Negara
merupakan subyek hukum internasional yang paling tua karena negaralah yang pertama-tama
muncul sebagai subyek hukum internasional dan baru belakangan diikuti oleh subyek-subyek
hukum internasional lainnya. Negara sebagai pribadi dalam hukum internasional harus memiliki
kualifikasi: penduduk yang tetap, wilayah yang pasti, pemerintah, dan kemampuan untuk
mengadakan hubungan dengan negara negara lain. Keempat kriteria tersebut telah dianggap
mencerminkan hukum kebiasaan internasional. Jean Bodin, seorang ahli kenegaraan
berkebangsaan Perancis, merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan istilah kedaulatan
sebagai istilah kenegaraan. Menurut Bodin, yang dikenal sebagai bapak teori kedaulatan,
kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang bersifat mutlak dan abadi.
Kedaulatan bersifat mutlak yaitu tidak dapat dibatasi oleh hukum. Sedangkan abadi berarti
kekuasaan negara berlangsung terus-menerus tanpa terputus-putus. Maksudnya pemerintah atau
kepala negara dapat berganti-ganti, tetapi negara dengankekuasaanya berlangsung terus tanpa
terputus-putus. Mochtar Kusumaatmadjamengemukakan kedaulatan negara akan berakhir
bilamana kedaulatan negara lain dimulai. Dewasa ini selain dibatasi oleh batas negara,
kedaulatan negara juga dibatasi oleh hukum internasional dan kedaulatan dari sesama negara
lainnya.tentunya negara berdaulat bukan diartikan sebagai negara yang bebas dari segala hukum
dan norma yang berlaku dalam norma pergaulan atau hukum internasional. Maka berdaulat itu
sendiri juga berarti menghargai kedaulatan negara lain, dengan seperti itu maka kedaulatan akan
benar-benar mendapat rohnya, karena ini dari kedaulatan sendiri adalah mengahargai hak asasi
dan menghargai kepentingan pribadi. Bagaiman persoalan humanitarian intervention yang
terkadang melanggar kedaulatan sebuah negara. Piagam PBB dengan jelas menyatakan bahwa
dalam hubungan antar negara tidak diperbolehkan adanya intervensi. Pengaturan tentang hal ini
semakin dipertegas dengan Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2625 (XXV) yang dikeluarkan
pada tanggal 24 Oktober 1970. Memang PBB sangat menekankan untuk tidak melakukan suatu
intervensi kepada suatu negara, karena hal tersebut tentunya melanggar kedaulatan negara dan
terirorialnya. Namun para pendukung humanitarian intervention punya pendapat lain dengan
acuan piagam PBB pula. Sepertihasil penelitian D'Amato, kesatuan wilayah dimaksudkan jika
sebuah negara kehilangan wilayahnya secara permanen sedangkan dalam intervensi
kemanusiaan, pihak yang melakukan intervensi tidak mengambil wilayah negara secara
permanen, tindakan tersebut hanya untuk melakukan penegakan hak asasi manusia. Intervensi
kemanusiaan dapat dikatakan sah secara hukum internasional apabila tidak melanggar batasan
yang ditentukan oleh ketentuan Pasal 2(4) Piagam PBB di atas. Legalitas intervensi kemanusiaan
kemudian juga dihubungkan dengan tujuan PBB untuk menghormati hak asasi manusia
sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1(3) Piagam PBB Alasan mengenai perlindungan Hak
Asasi Manusia sebagai tanggung jawab bersama sering menjadi latar belakang yang digunakan
oleh negara yang berkepentingan untuk melakukan intervensi kemanusiaan. Batasan wilayah
ataupun terirori negara menjadi kabur adanya, mengingat urusan hak asasi ini menjadi perkara
yang serius dan menjadi tanggung jawab bersama masyarakat internasional. Dalam piagam PBB
juga disebutkan bahwa diperbolehkan bagi warga negara suatu negara yang mengalami
penindasan yang berkaitan dengan HAM untuk meminta bantuan negara lain guna
menyelesaikan persoalam tersebut. Maka intervensi kemanusiaan sendiri menjadi suatu hal yang
masih diperdebatkan oleh banyak akademisi maupun praktisi terkait dengan kedaulatan sebuah
negara, maupun persoalan HAM yang menjadi tanggung jawab masyarakat internasional.
D.Humanitarian Intervention Dalam Kasus Libya Libya adalah sebuah negara yang bisa
dikatakan makmur walaupun mash dalam kategori negara berkembang. Libya sendiri memang
terkenal dengan negara berpenghasilan besar dengan ekpor minyak bumi sebagai salah satu
penyumbang terbesar devisa negara. Namun pada tahun 2011 negara ini mengalami krisis politik
yang disebabkan oleh kemauan rakyatnya sendiri untuk melakukan pergantian presiden melalui
pemilihan langsung. Hal ini menjadi sebab, karena di Libya selama masa kemerdekaan sampai
2011 belum mengalami pergantian pemimpin. Negara penghasil minyak ini dipimpin oleh
seorang yang bisa dikatakan revolusioner yakni Colonel Moammar Khadafi, dia mempimpin
Libya selama kurang lebih 41 tahun, lebih lama 9 tahun daripada presiden Indonesia Soeharto.
Setelah Tunisia dan Mesir dilanda krisis politik yang besar, yang disebut juga sebagai arab
spring, akhirnya Libya pun menjadi sasaran empuk dari gelombang demokrasi tersebut. Rakyat
Libya menuntut pemerintahan khadafi untuk melakukan pemilihan umum sebagai salah satu
syarat demokratisasi, setahu penulis dari beberapa literature termasuk media massa, kondidi
ekonomi dan jaminan social pendidikan di Libya termasuk yang paling baik ketimbang negara
lain di utara afrika, subsidi pendidikan dan jaminan social menjadi cara yang ampuh untuk
memanjakan rakyat Libya dengan hasil minyak bumi yang melimpah. Namun kesejahterahan
ekonomi yang tidak dibarengi dengan akses politik maupun keterwakilan politik menyebabkan
rakyat Libya seolah ditipu oleh khadafi. Mengingat selama puluhan tahun berkuasa, akses politik
maupun kekuasaan politik hanya dimiliki terbatas oleh loyalis Khadafi, kerabat dan tentunya
keluarga besar Khadafi sendiri. Hal ini menyebabkan terjadinya demontrasi yang menuntut
pemerintahan khadafi untuk melakukan pemilihan umum dan tentunya melakukan pergantian
kepemimpinan. Hal ini membuat khdafi geram, mengingat sudah banyaj yang dilakukan oleh
khadafi untuk rakyat. Maka khadafi dengan kuasnya melakukan berbagai macam tindakan untuk
meredam aksi tersebut dengan menggunakan pendekata militer. Militer digunakan khadafi untuk
menyerbu demonstran yang menolak atau tidak pro dengan khadafi. Pada tanggal 17 Februari,
terjadi protes besar-besaran dan dalam kurun waktu sekitar seminggu, protes merebak hampir ke
seantero negeri. Meningkatnya jumlah warga yang turun ke jalan untuk melakukan protes ini
tentu saja membuat Khadafi khawatir. Oleh sebab itu, Khadafi memerintahkan pasukannya untuk
menghalau massa yang protes. Protes yang pada awalnya berlangsung damai pun berbuah
kerusuhan. banyak korban jiwa dalam kerusuhan yang terjadi di Libya, sehingga demontrasi
semakin besar, dan tentunya hal ini sangat positif bagi kelompok pemberontak yang tentunya
tidak pro dengan khadafi. Masalah yang terjadi di Libya menyebabkan keaman di wilayah
kawasan terganggu yang kemudian hal ini direspon cepat oleh masyarakat dunia. Eropa sebagai
kontingen yang paling dekat dengan Libya mencoba untuk melakukan intervensi atas nama
kemanusiaan pada kasus Libya ini. Atas nama kepentingan kemanusiaan, maka Dewan
Keamanan PBB kemudian mengeluarkan Resolusi 1970 untuk memberlakukan embargo senjata,
membekukan asset khadafi dan sepuluh orang yang termasuk dalam lingkaran dekatnya, dan
melarang mereka melakukan perjalanan, serta himbauan untuk memberikan bantuan
kemanusiaan bagi Libya. Resolusi tersebut juga menyerukan kepada khadafi untuk diperiksa di
ICC, namun ia bergeming. DK PBB berdasarkan Piagam PBB bab VII pasal 42, kembali
mengeluarkan sebuah resolusi setelah mendapat desakan Liga Arab. Resolusi yang dikenal
sebagai Resolusi 1973 itu berisi tentang perlindungan terhadap warga sipil, no-fly zone (zona
larangan terbang) di wilayah Libya, dan pelaksanaan dari hal-hal yang telah disebutkan dalam
Resolusi 1970. No-fly zone ditujukan untuk mencegah pesawat tempur pasukan Gaddafi
melakukan misi pembunuhan dari udara. PBB mencoba memainkan perananya untuk mengelola
konflik di Libya agar tidak semakin membesar, hal ini cerminkan dengan berbagai tindakan soft
politik berupa berbagai macam embargo yang dijelaskan diatas. Namun NATO, Amerika dan
sekutu khsusnya Eropa mengambil tindakan yang cepat dengan melancarkan operasi Odyssey
Dawn pada 19 Maret dini hari. Mereka mulai memasuki dan menyerbu target-target
pemerintahan di Libya dengan alasan untuk menegakkan Resolusi 1973. Setelah sekitar lima
hari, tongkat kendali humanitarian intervention di Libya diambil alih oleh pasukan koalisi NATO
melalui Operation Unified Protection. Pada tanggal 24 Maret, NATO mengambil alih komando
operasi laut dan sehari sesudahnya mengambil alih komando operasi udara. D.1 Intervensi
NATO Pada Kasus Libya Keterlibatan NATO dalam konflik Libya menurut penulis bukan malah
meredam konflik tapi malah semakin memperkeruh keadaan. Pasalnya Khadafi yang pada saat
itu syah sebagai presiden Libya sangat terganggu dengan datangya NATO. Sebagai pemimpin
Libya (yang punya rumah) tentunya Khadafi melakukan perlawanan terhadap NATO yang
merasa urusan dalam negerinya menjadi santapan makan siang bagi para orang asing. Harga diri
sebagai seorang pemimpin pun menjadi taruhan utama. Pasukan NATO yang digawai oleh AS,
Inggris dan Prancis ini tentunya punya kapasitas dan kapabiltas militer yang kuat untuk melawan
serangan dari Khadafi. Sebesar apapunkekuatan militer khadafi bagi penulis akan sangat tidak
seimbang dengan kekuatan militer dari NATO, maka dengan hitung-hitungan singkat akan sangat
mungkin bahwa NATO akan memenangin pertarungan kecil ini. Ada beberapa justifikasi yang
digunakan NATO khususnya Prancis dalam melancarkan serangan ke Libya. Pertama, pertama
upaya pemusnahan senjata kimia yang digunakan olehLibya.Dugaan kepemilikan senjata kimia
oleh Amerika Serikat dan sekutunya termasuk Prancis telah diungkapkan sebelum invasi ini
berlangsung. Menurut The Organization for the Prohibition of Chemical Weapons, mereka telah
menemukan senjata kimia rahasia milik mantan rezim Khadafi berupa gas mustard yang mampu
merusak kulit dan organ dalam manusia. Alasan yang hampir serupa dengan yang dituduhkan AS
terhadap Irak (Saddam Husain) pada saat invasi pada tahun 2003. Penulis menganggap terkdang
alasan yang dipakai oleh negara maju (khususnya) yang akan melakukan invasi atas nama
kemanusiaan terkadang mengaada-ada. Alasan kedua yakni penghilangan penggunaan kekuatan
udara terhadap warga sipil. Seperti yang kita ketahui bahwa Libya menggunakan serangan udara
yang dimiliki oleh militernya tanpa pandang bulu,darimenghentikan serangan pemberontak
hingga demonstrasi besar-besaran oleh kaum oposisi. Kemudian alasan ketiga adalah untuk
menjamin rakyat Libya mendapatkan hak-haknya seperti hak hidup, kebebasan, berserikat dan
bekerja.Jaminan terhadap HAM seluruh warga negara seharusnya menjadi tanggung jawab
negara itu sendiri. Namun apabila pelanggaran justru dilakukan oleh suatu rezim pemerintahan
yang otoriter maka negara lain mampu melakukan intervensi atas dasar humanitarian.
Keterlibatan NATO atas nama kemanusiaan ini memang cukup riskan untuk difahami, alih-alih
menyelamatkan rakyat Libya dari kediktaktoran Khadafi semua urusan menjadi serba wajar dan
diamini oleh sebagian negara eropa bahkan AS sendiri. Tentunya dalam hal ini persoalan
kedaulatan negara (Libya) menjadi kabur adanya. Mengingat kalo sudah persoalan kemanusiaan
yang menjadi motif maka semua batas maupun makna dari negara berdaulat itupun akan hilang
sebagai kosenkuensi dari intervensi tersebut. Hak Asasi Manusia rakyat Libya sebagai bagian
dari masyarakat Internasional (cosmopolitanism) menjadi suatu perkara serius bagi negara-
negara besar yang berkepentingan atas kemanusiaan. Namun bagi penulis there is no free
lunch, maksutnya bahwa mereka (NATO dkk) tidak akan mau mengeluarkan biaya besar
dengan menerjunkan pasukan militernya hanya untuk persoalan rakyat Libya yang menginginkan
demokrasi. Setalah berbagai macam serangan militer yang dilakukan oleh kelompok
pemberontak dan NATO akhirnya Khadafi harus tumbang dan harus meregang nyawa oleh
rakyatnya sendiri pada tanggal 20 Oktober 2011. D.2Motif Ekonomi dalam Humanitarian
Intervention Persoalan ekonomi politik menjadi latar belakang yang palingmasuk akal atas
tindakan NATO kepada Libya. Cadangan minyak mentah Libya yang cukup besar, tentunya
menjadi magnet tersendiri bagi NATO untuk melancarkan serangan-serangan tersebut. Karena
apabila dilihat dari persoalan lain yang bersifat kemanuasiaan seperti di Rwanda, Somalia,
Myanmar , kamboja dan israel-palestina misalkan yang lebih membutuhkan intervesi asing untuk
menyelesaikan persoalan dalam negerinya, para negara adidaya serupa Amerik Serikat seolah
bungkam dan menutup mata atas kasus-kasus tersebut. Bukan memberikan bantuan kemanusian
adalah hal yang wajib bagi negara maju?, dengan kapasitas dan kapabilitas militer yang
mumpuni tentunya negara-negara besar tersebut diharapkan mampu membantu menyelesaikan
kasus-kasus yang terjadi di negara yang disebutkan diatas. Nyatanya mereka (AS dan sekutu)
seolah hanya akan ikut andil dalam suatu penyelesaian konflik tertentu yang bagi mereka ada
suatu timbal balik yang pantas mereka dapatkan setelah mereka melakukan humanitarian
intervention pada kasus tersebut( sebut Irak, mesir,Tunisia dan Libya). Will of economi bagi
penulis menjadi factor penting dalam keterlibatan negara-negara besar untuk ikut campur dalam
persamalahan dalam negeri orang yang katanya bersifat kemanusiaan. Kemanusiaan dalam
model apa yang menjadi tolak ukur negara besar merasa harus ikut campur. Kemanusiaan yang
bagaimana yang harus diatasi? Apakah persoalan pembataian muslim palestina oleh israel bukan
persoalan kemanusiaan, apakah pembantaian muslim rohingnya oleh pemerintah Myanmar
bukan persoalan kemanusiaan?, aksi tebang pilih yang dilakukan negara besar khsusnya Amerika
Serikat menunjukkan bahwa mereka tidak serius dalam menegakkan HAM dan menciptakan
perdamaian. PBB sebagai organisasi yang mereprentasikan penduduk dunia malah seolah main
mata dengan kejadian-kejadian tersebut. Walaupun dalam piagam PBB termuat bait-bait yang
sungguh humanis dan meaning peace,nyata PBB tidak berani menindak tegas negara besar yang
melakukan intervensi kemanusiaan yang malah tindakan mereka tidak mencerminkan
kemanusiaan itu sendiri. Maka bagi penulis dengan kasus Libya ini intervensi kemanusiaan
disalah gunakan oleh negara besar yang berkepentingan didalamnya sebagai kedok untuk
melancarkan misi misi politik ekonomi untuk negara mereka sendiri. PBB pun seolah diam tidak
berdaya atas kasus Libya, tentunya hal ini sudah pernah terjadi ketika AS menginvasi Irak. Yang
dalam beberapa sudut pandang invasi AS ke Irak bukan malah semakin menjernihkan keadaan
namun malah semakin memperkeruh kedaan dan mempercah belah rakyat Irak. Adam Roberts,
Humanitarian War : Military Intervention and Human Rights, International Affair, Vol.69, no3,
1993, hlm.445 Simon Duke, The State and Human Rights : Sovereignty versus Humanitarian
Intervention, International Relation, Vol XII, No2, 1994, hlm.27 Simon Duke, The State and
Human Rights : Sovereignty versus Humanitarian Intervention, International Relation, Vol XII,
No2, 1994, hlm.27 Undang-Undang Republik Indonesia No 39 Tahun 1999, Menimbang
Undang-Undang Republik Indonesia No 39 Tahun 1999, pasal 1 Bahder Johan Nasution, Negara
Hukum dan Hak Asasi Manusia, Mandar Maju, Bandung, 2011, hlm.139 Andrew Heywood, Key
Concepts in Politics, Palgrave Newyork, 2000, hlm. 131 The Montevideo Convention on the
Rights and Duties of States 1933, pasal 1 J. Von Schmid, Ahli-ahli Pemikir Besar Tentang
Negara dan Hukum, PT. Pembangunan, Jakarta, 1962, hal. 140-143 Mochtar Kusumaatmadja,
Pengantar Hukum Internasional, Bandung : PT. Alumni, edisi kedua, 2003, hlm.18 jurnal
Fakultas Hukum UI. responsibility to protect : Suatu tanggung jawab dalam kedaulatan negara.
Santa Marelda Saragih. Volume 2, mei agustus 2011 ibid
http://www.voaindonesia.com/content/milisi-tuntut-otonomi-ancaman-konflik-meningkat-di-
libya/1826964.html pada 17/01/2015 United Nations Security Council Resolution 1970 (2011)
dalam https://jerryindrawan.wordpress.com/2013/04/23/legalitas-dan-motivasi-nato-dalam-
melakukan-intervensi-kemanusiaan-di-libya/ diakses pada 17/01/2015 Security Council of
United Nations,Security Council Approves No-Fly Zone over Libya, Authorizing All
Necessary Measures to Protect Civilians, by Vote of 10 in Favour with 5 Abstentions JPNN,
Temukan Senjata Kimia Eks Rezim Khadafi, JPNN ,diakses pada 14/01/2015
rachmat.staff.ugm.ac.id/kuliah/POLINT/Kelompok4.pdf diakses pada 18/01/2015 Ibid
http://www.antaranews.com/berita/453794/libya-hampir-masuk-ke-konflik-berkepanjangan
diakses pada 18/01/2015

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/www.burhanhernandez.com/humanitarian-
intervention-pada-kasus-konflik-di-libya_555e86bb347b612217796014

Vous aimerez peut-être aussi