Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
DIREKTUR JENDERAL
PENGENDALIAN DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG,
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG
TENTANG PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN KEGIATAN
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN.
Pasal 1
Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi Hutan
dan Lahan sebagaimana tercantum dalam Lampiran
Peraturan Direktur Jenderal ini.
Pasal 2
Petunjuk Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1
dijadikan acuan dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi
hutan dan lahan.
Pasal 3
Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang telah
dilaksanakan sebelum diberlakukannya Peraturan Direktur
Jenderal ini, dinyatakan tetap berlaku dan untuk
pelaksanaan selanjutnya harus disesuaikan dengan
Peraturan Direktur Jenderal ini.
Pasal 4
Pada saat Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku,
Peraturan Direktur Jenderal Bina Pengelolaan Daerah Aliran
Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor P.1/V-SET/2013
tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kegiatan Rehabilitasi
Hutan dan Lahan, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
-4-
Pasal 5
Peraturan Direktur Jenderal ini mulai berlaku pada tanggal
ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 November 2016
DIREKTUR JENDERAL,
ttd.
DUDI ISKANDAR
-5-
LAMPIRAN
PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGENDALIAN
DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN HUTAN LINDUNG
NOMOR P. 8/PDASHL/SET/KUM.1/11/2016
TENTANG
PETUNJUK TEKNIS PELAKSANAAN KEGIATAN
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kerusakan fungsi hutan dan lahan yang diidentifikasi sebagai lahan kritis di
Indonesia berdasarkan Penetapan Peta dan Data Hutan dan Lahan Kritis
Tahun 2013 yang ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Bina
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial Nomor SK.4/V-
DAS/2015 seluas 70.181.762 Ha yang terdiri dari 24.303.294 Ha kategori
Sangat Kritis sampai dengan Kritis dan 45.878.468 Ha kategori Agak Kritis.
Kerusakan hutan dan lahan sudah tersebar di semua fungsi kawasan
sehingga menjadi ancaman yang cukup serius bagi daya dukung DAS baik
fungsinya sebagai penyangga kehidupan maupun peran hidroorologis DAS.
Indikator adanya degradasi fungsi DAS ditunjukkan dengan meningkatnya
bencana alam banjir, longsor dan kekeringan yang melanda di sebagian besar
wilayah Indonesia pada dekade ini.
Dalam upaya mengendalikan laju kerusakan hutan dan lahan tersebut
Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2008
tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan yang mengatur penyelenggaraan
rehabilitasi serta reklamasi hutan pada semua fungsi hutan serta areal
penggunaan lain, pembagian kewenangan dan kewajiban bagi pemerintah,
pemerintah daerah serta pemegang ijin kawasan untuk melakukan
penyelenggaraan RHL yang mencakup perencanaan, pelaksanaan maupun
pengendalian. Kewajiban melakukan RHL pada lahan kritis di semua fungsi
kawasan mengharuskan pemerintah, pemerintah daerah serta pemegang ijin
kawasan mengalokasikan kegiatan RHL dari berbagai sumber anggaran
dengan berpedoman pada ketentuan PP Nomor 76 Tahun 2008 ini.
Petunjuk Teknis kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan ini merupakan
penjabaran yang lebih teknis dan detil dari Peraturan Menteri Kehutanan
-6-
24. Lahan kritis adalah lahan yang berada di dalam dan di luar kawasan
hutan yang telah menurun fungsinya sebagai unsur produksi dan media
pengatur tata air DAS.
25. Land Mapping Unit (LMU) Terpilih adalah satuan lahan terkecil pada RTk
RHL DAS yang mempunyai kesamaan kondisi biofisik (kekritisan lahan,
fungsi kawasan, morfologi DAS serta prioritas DAS) dengan klas erosi
Agak Kritis, Kritis dan Sangat Kritis serta Agak Kritis.
26. Lubang resapan biopori adalah lubang yang dibuat di dalam tanah agar
terjadi berbagai aktivitas organisme di dalamnya, seperti cacing,
perakaran tanaman, rayap dan fauna tanah lainnya.
27. Mata Air adalah tempat pemunculan air tanah pada lapisan akuifer di
bawah permukaan tanah ke permukaan tanah secara alamiah.
Selanjutnya, air yang keluar dari mata air akan mengalir di permukaan
tanah sebagai air permukaan melalui alur-alur sungai.
28. Normal Density Value Index yang selanjutnya disingkat NDVI yaitu suatu
nilai hasil pengolahan indeks vegetasi dari citra satelit kanal inframerah
dan kanal merah yang menunjukkan tingkat kerapatan vegetasi setiap
piksel secara relatif.
29. Pemeliharaan tanaman adalah perlakuan terhadap tanaman dan
lingkungannya agar tanaman tumbuh sehat dan normal melalui
pendangiran, penyiangan, penyulaman, pemupukan dan pemberantasan
hama dan penyakit.
30. Penghijauan adalah upaya pemulihan lahan kritis di luar kawasan hutan
untuk mengembalikan fungsi lahan.
31. Penghijauan lingkungan adalah penanaman pohon di luar kawasan
hutan untuk meningkatkan kualitas lingkungan seperti pada areal
fasilitas sosial/umum, ruang terbuka hijau, jalur hijau, pemukiman,
taman dll.
32. Perlindungan kanan kiri/tebing sungai adalah teknik konservasi tanah
secara vegetatif dan/atau sipil teknis untuk melindungi kanan
kiri/tebing sungai.
33. Propagul adalah bentuk lain dari benih atau buah yang pada tahap
perkembangannya sudah terbentuk bakal batang tanaman selagi
buah/benih tersebut masih terdapat pada pohon induknya.
34. Rehabilitasi Hutan dan Lahan yang selanjutnya disingkat RHL adalah
upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi
- 10 -
46. Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/atau buatan berupa
jaringan pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai
muara, dengan dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan.
47. Tanaman serbaguna (multi purpose tree species/MPTS) adalah jenis
tanaman yang menghasilkan kayu dan bukan kayu antara lain buah-
buahan, getah, kulit.
48. Tanaman unggulan lokal yang selanjutnya disingkat TUL adalah jenis-
jenis tanaman asli atau eksotik yang disukai masyarakat karena
mempunyai keunggulan tertentu berupa produk kayu, buah dan getah
yang produknya mempunyai nilai ekonomi tinggi.
49. Tegakan awal adalah tegakan berupa anakan, pancang, tiang dan pohon
sebelum dilaksanakan penanaman atau pengayaan tanaman.
50. Teras adalah bangunan konservasi tanah berupa bidang olah, guludan
dan saluran air searah dengan kontur lapangan.
51. Unit Terkecil Pengelolaan (UTP) RHL, adalah LMU Terpilih yang berada
dalam suatu DAS/catchment kecil (micro watershed) seluas 300 s/d 1000
hektar yang dibatasi oleh batas alam berupa punggung-punggung bukit.
Satu UTP RHL dapat berada dalam kawasan hutan atau di luar kawasan
hutan, atau campuran keduanya.
52. Menteri adalah Menteri yang membidangi urusan Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.
53. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bertanggung jawab
dibidang Pengendalian DAS dan Hutan Lindung.
54. Dinas Provinsi adalah Dinas yang diserahi tugas dan tanggung jawab di
bidang kehutanan di daerah Provinsi.
- 12 -
BAB II
PENYUSUNAN RANCANGAN KEGIATAN
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN
BAB III
PENYEDIAAN BIBIT
BAB IV
REBOISASI
A. Umum
Reboisasi secara umum ditujukan untuk mengembalikan fungsi hutan baik
sebagai fungsi perlindungan, konservasi sumberdaya alam maupun fungsi
produksi. Keberadaannya yang tersebar sebagian besar di morfologi DAS
bagian hulu dan tengah menyebabkan sebagian besar kawasan hutan
mempunyai fungsi hidroorologis sebagai wilayah resapan air (recharge area)
bagi DAS tersebut. Oleh karena itu kegiatan rehabilitasi hutan di semua
fungsi menempati prioritas utama dalam pengelolaan DAS.
Berdasarkan kondisi kerapatan tegakan awal, maka reboisasi dibedakan
menjadi 2 (dua) kegiatan yaitu penanaman intensif dan pengayaan tanaman.
Penanaman intensif ditujukan untuk lokasi yang populasi tegakan/anakan
paling banyak 200 batang per ha, sedangkan pengayaan tanaman untuk
menambah populasi pada hutan yang memiliki tegakan awal berupa anakan,
pancang, tiang, dan pohon sejumlah 200-400 batang per Ha, dan apabila
populasi lebih besar dari 400 batang per ha cukup diadakan pengamanan
sehingga diharapkan akan menjadi hutan kembali secara suksesi alami.
Reboisasi dilaksanakan pada LMU Terpilih yang terbagi menjadi 2 (dua)
prioritas yaitu Prioritas I dan Prioritas II. Prioritas I merupakan LMU terpilih
kategori Kritis-Sangat Kritis menurut Peta RTk RHL DAS dan lahan kritis
mikro/sasaran tanaman RHL dengan luasan kurang dari 25 Ha yang
ditetapkan dalam RP RHL dengan kondisi lahan terbuka dengan topografi
bergunung. Sementara Prioritas II yaitu LMU terpilih kategori Agak Kritis
menurut Peta RTk RHL DAS dan lahan kritis mikro/sasaran tanaman RHL
dengan luasan kurang dari 25 Ha yang ditetapkan dalam RP RHL dengan
kondisi lahan identik dengan hutan sekunder atau kebun campuran dengan
topografi landai sampai bergelombang.
Persyaratan umum lokasi kegiatan rehabilitasi hutan dilaksanakan pada
hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani hak
atau tidak dalam proses perijinan/pencadangan areal untuk Hutan Tanaman
Industri (HTI)/Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
Rehabilitasi kawasan hutan konservasi maupun hutan lindung dilakukan
dengan menanam berbagai jenis. Hal ini dimaksudkan agar fungsi konservasi
atau fungsi lindung dapat tercapai secara optimal. Sedangkan rehabilitasi
kawasan hutan produksi dapat mengembangkan penanaman satu jenis.
- 20 -
B. Lokasi
1. Hutan Konservasi
a. Maksud dan Tujuan
Rehabilitasi pada hutan konservasi dimaksudkan untuk
mempertahankan dan meningkatkan keanekaragaman dan kelestarian
flora dan fauna serta pembinaan habitat.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi rehabilitasi hutan konservasi diutamakan pada lahan
kritis/LMU terpilih dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP-
RHL, diutamakan pada RHL Prioritas I, serta pada morfologi DAS hulu
dan tengah kecuali hutan konservasi mangrove. Penetapan prioritas
pelaksanaan RHL dapat mempertimbangkan kendala biofisik maupun
sosial ekonomi setempat.
c. Jenis Tanaman
Jenis tanaman yang dipilih untuk rehabilitasi hutan konservasi antara
lain yang memenuhi kriteria berikut ini:
1) berdaur panjang;
2) perakaran dalam;
3) evapotranspirasi rendah;
4) anakan/biji/stek berasal dari jenis endemik baik kayu-kayuan
maupun MPTS atau dari lokasi lain dengan jenis yang sama.
2. Hutan Lindung
a. Maksud dan Tujuan
Reboisasi di dalam kawasan hutan lindung ditujukan untuk
memulihkan fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga
kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan
erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi rehabilitasi hutan lindung diutamakan pada lahan
kritis/LMU Terpilih dan atau sasaran RHL yang ditetapkan pada RP
RHL diutamakan pada lahan kategori RHL Prioritas I, serta pada
morfologi DAS bagian hulu dan tengah kecuali hutan lindung
mangrove. Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat
mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi setempat.
c. Jenis Tanaman
Pemilihan jenis tanaman rehabilitasi hutan lindung diarahkan tanaman
yang berdaur panjang, perakaran dalam, evapotranspirasi rendah
- 21 -
BAB V
PENGHIJAUAN
A. Umum
Penghijauan bertujuan menjaga dan meningkatkan fungsi perlindungan tata
air dan pencegahan bencana alam banjir, longsor dan/atau untuk
meningkatkan produktivitas lahan.
Penghijauan dilaksanakan di luar kawasan hutan pada kawasan lindung dan
kawasan budidaya. Penghijauan meliputi Pembangunan Hutan Rakyat,
Pembangunan Hutan Kota, dan Penghijauan Lingkungan.
Sasaran penghijauan diutamakan pada lahan kritis/LMU Terpilih dan atau
sasaran RHL yang ditetapkan pada RP RHL diluar kawasan hutan negara,
yang berfungsi sebagai kawasan lindung dan atau kawasan budidaya.
Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat mempertimbangkan kendala
biofisik maupun sosial ekonomi setempat.
Kaidah-kaidah umum rehabilitasi lahan adalah sebagai berikut:
1. Kawasan Lindung
Dalam melaksanakan rehabilitasi lahan pada kawasan lindung,
memperhatikan prinsip-prinsip:
a. fungsi perlindungan tata air dan pencegahan bencana alam banjir dan
longsor.
b. mengakomodir budaya usahatani masyarakat setempat.
c. mengembangkan pola-pola insentif RHL bagi masyarakat sesuai
peraturan perundangan yang ada.
2. Kawasan Budidaya
Dalam melaksanakan rehabilitasi lahan pada kawasan budidaya,
memperhatikan prinsip-prinsip:
a. meningkatkan produktivitas lahan.
b. menyesuaikan dengan kelas kemampuan lahan (land capability) dan
kesesuaian lahan (land suitability).
c. mengembangkan usaha masyarakat setempat.
B. Lokasi
1. Hutan Rakyat
a. Maksud dan Tujuan
Maksud pembangunan hutan rakyat/pengayaan adalah untuk
mewujudkan tanaman hutan di luar kawasan hutan negara (lahan
milik rakyat) sebagai upaya rehabilitasi lahan tidak produktif (lahan
- 28 -
2) Pelaksanaan penanaman
Penanaman dilakukan pada awal musim hujan yang meliputi
kegiatan-kegiatan :
a) pembersihan lapangan, pengolahan tanah dan pembuatan lubang
tanam;
b) pembuatan dan pemasangan ajir;
c) pemberian pupuk dasar (pupuk kandang/bokasi);
d) distribusi bibit;
e) penanaman bibit;
Penanaman hutan rakyat dilaksanakan pada LMU Prioritas I
paling sedikit 625 batang/ha dan LMU Prioritas II paling sedikit
500 batang/ha. Pelaksanaan pengayaan hutan rakyat pada LMU
Terpilih paling sedikit 400 (empat ratus) batang/hektar
f) pemeliharaan tahun berjalan yang meliputi penyiangan,
pendangiran dan penyulaman. Jumlah bibit untuk penyulaman
paling sedikit 10 % dari jumlah yang ditanam.
Persentase tumbuh tanaman pada saat penilaian dan penyerahan
pekerjaan penanaman (P0) paling sedikit 70% dari jumlah tanaman
baru.
Penanaman hutan rakyat dapat dilakukan dengan 2 (dua) pola
sebagai berikut :
a) Tumpangsari
Tumpangsari (interplanting, mixed planting) merupakan suatu
pola penanaman yang dilaksanakan dengan menanam tanaman
semusim sebagai tanaman sela di antara larikan tanaman pokok
(kayu/MPTS). Pola ini biasanya dilaksanakan di daerah yang
pemilikan tanahnya sempit dan berpenduduk padat, tanahnya
masih cukup subur dan topografi datar atau landai. Pengolahan
tanah dapat dilakukan secara intensif.
b) Tanaman Hutan
Pola tanam ini merupakan pola tanaman kayu-kayuan, yang
mengutamakan produk tertentu, baik kayu maupun non kayu.
Adapun teknik penanaman hutan rakyat dilakukan pada lahan
terbuka maupun kebun campuran.
Penanaman hutan rakyat pada lahan terbuka dapat dilakukan
dengan teknik :
- 31 -
Keterangan :
: Jalur tanaman pangan (tanaman tumpangsari)
: Tanaman Kayu-kayuan /MPTS
Gambar 2. Contoh Tanam Jalur dengan Pola Tumpangsari
- 32 -
b. Sasaran Lokasi
Sasaran pembangunan hutan rakyat kemitraan adalah lahan kritis/
LMU Terpilih baik pada RHL Prioritas I maupun II, diutamakan pada
kawasan budidaya.
c. Jenis Tanaman
Sebagaimana jenis tanaman hutan rakyat, hutan kemitraan umumnya
mengembangkan jenis-jenis tanaman sebagai berikut: cepat tumbuh
(fast growing species), mempunyai nilai ekonomis yang tinggi dan sesuai
dengan kebutuhan industri.
d. Teknik Penanaman dan Pemeliharaan
Teknik penanaman dan pemeliharaan hutan rakyat kemitraan sama
dengan yang diuraikan pada butir B.1.e.
2. Hutan Kota
Pembangunan hutan kota dimaksudkan sebagai upaya untuk perbaikan
lingkungan perkotaan dengan tujuan untuk mewujudkan lingkungan
hidup wilayah perkotaan yang sehat, rapi dan indah dalam suatu
hamparan tertentu sehingga mampu memperbaiki dan menjaga iklim
mikro, estetika, resapan air serta keseimbangan lingkungan perkotaan.
Pembangunan Hutan Kota dilaksanakan di wilayah perkotaan yang
lokasinya ditunjuk oleh Gubernur/Bupati/Walikota, dengan luas paling
sedikit 0,25 hektar. Pelaksanaan penanaman hutan kota paling sedikit 625
batang/ha dan saat penilaian dan penyerahan pekerjaan penanaman
persen tumbuh tanaman paling sedikit 90%.
Pembangunan hutan kota secara teknis sebagaimana di atur dalam
peraturan perundangan tersendiri.
3. Penghijauan Lingkungan
a. Maksud dan tujuan
Pembuatan tanaman penghijauan lingkungan dimaksudkan sebagai
upaya perbaikan lingkungan pada lahan-lahan untuk fasilitas umum,
fasilitas sosial untuk meningkatkan kualitas iklim mikro dan
kenyamanan lingkungan hidup di sekitarnya serta wilayah-wilayah
perlindungan setempat.
b. Sasaran lokasi
Sasaran lokasi penghijauan lingkungan yaitu ruang terbuka hijau dan
atau lahan kosong yang diperuntukan sebagai fasilitas umum dan
fasilitas sosial baik perkantoran, taman pemukiman dan pemakaman
umum, sekolah (umum, pesantren, kampus universitas), halaman
- 35 -
BAB VI
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DAERAH PESISIR/PANTAI
A. Umum
Maksud dan tujuan rehabilitasi hutan dan lahan daerah pesisir/pantai
adalah untuk mengembalikan keberadaan vegetasi daerah pesisir/pantai
sehingga mampu berfungsi sebagai wilayah perlindungan pantai dari abrasi
dan intrusi air laut serta bencana alam seperti tsunami maupun bencana
lainnya. Secara umum kegiatan RHL di daerah pesisir/pantai dibagi menjadi
dua yaitu hutan mangrove dan sempadan pantai.
B. Rehabilitasi Hutan Mangrove
1. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi hutan mangrove adalah hutan dan
lahan yang diutamakan pada lahan kritis/LMU terpilih berdasarkan hasil
penyusunan RTk-RHL DAS pada ekosistem mangrove dan ekosistem
pantai yang diidentifikasi mempunyai vegetasi mangrove dengan kerapatan
kurang (NDVI -1,00 s/d 0,43) dan wilayah yang berdasarkan peta land
system termasuk KJP, KHY, PGO, LWW, TWH, dan PTG yang kondisi
vegetasinya telah terbuka dan/atau terdeforestasi, dan/atau sasaran RHL
yang ditetapkan pada RP RHL. Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat
mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi setempat.
2. Penyediaan Bibit
Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan efektif dan
efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi lokasi
persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik untuk kegiatan
penanaman, penyulaman tahun berjalan, maupun untuk penyulaman
pemeliharaan I.
b. Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit dengan
memperhatikan waktu tanam di lapangan.
c. Pembuatan bibit :
1) Penyiapan benih
a) pengumpulan benih
Bahan yang diperlukan adalah buah atau benih yang matang dan
bermutu bagus.
Pengumpulan benih dengan cara mengambil buah jatuhan atau
memetik langsung dari pohon induknya dan ekstraksi biji dari
- 38 -
3. Pembuatan Tanaman
Pelaksanaan kegiatan pembuatan tanaman mengacu pada RTn-RHL dan
RK-RHL.
Sebelum melakukan penanaman, harus diperhatikan beberapa faktor fisik
penunjang keberhasilan penanaman yakni : pasang surut air laut, musim
ombak dan kesesuaian jenis dengan lingkungannya/zonasi serta
keterlibatan masyarakat setempat.
a. Persiapan
1) Penyiapan kelembagaan/prakondisi dilakukan terhadap masyarakat
pantai setempat yang akan terlibat dalam kegiatan rehabilitasi hutan
mangrove melalui kegiatan penyuluhan, pembentukan kelompok
tani dan pendampingan.
2) Pengadaan sarana dan prasarana
3) Penyiapan bahan dan pembuatan gubuk kerja, papan nama, patok
batas, ajir dan penyiapan alat pengukuran (GPS/alat ukur theodolit,
kompas, altimeter dan lain-lain) serta perlengkapan kerja lainnya.
4) Penataan areal tanaman
a) berdasarkan rancangannya, dilakukan penataan lahan untuk
kesesuaian lokasi dan areal tanam.
b) penyiapan areal tanam :
(1) pengukuran ulang batas-batas areal, pemancangan patok
batas luar areal tanam;
(2) pembuatan jalur tanaman dimulai dengan penentuan arah
larikan tanaman melintang terhadap pasang surut sesuai pola
tanam yang telah dirancang pada lokasi dan areal tanam yang
bersangkutan;
(3) pembersihan jalur tanam dari sampah, ranting pohon dan
potongan kayu serta tumbuhan liar;
(4) pemancangan ajir sesuai jarak tanam, dipasang tegak lurus
dan kuat pada areal tanam;
(5) penyiapan titik bagi bibit (di masing-masing areal penanaman).
b. Pemilihan jenis tanaman
1) Jenis tanaman terpilih disesuaikan dengan hasil analisis tapak dan
dituangkan dalam rancangan.
2) Rehabilitasi pada ekosistem mangrove yang zonasi-nya masih dapat
diidentifikasi, jenis tanaman mangrove disesuaikan dengan zonasi
berbagai tanaman, yakni dengan memperhatikan ketahanan
- 40 -
terhadap pasang surut dan tingkat ketinggian air, antara lain : zona
Avicennia, zona Rhizophora, zona Bruguiera dan zona kering serta
nipah.
Secara alami zonasi dalam ekosistem mangrove berdasarkan jenis
tanaman yang tumbuh adalah sebagaimana gambar 4 berikut :
Zonasi Hutan Mangrove. Dari kiri ke kanan: 1. Avicennia alba; 2. Rhizophora apiculata; 3. Bruguiera parviflora; 4.
Bruguiera gymnorhiza; 5. Nypa fruticans; 6. Xylocarpus granatum; 7. Excoecaria agallocha; 8. Pandanus furentus; 9.
Bruguiera cylindrica.
1 2 3 4 5 6
Rhizophora 10-30 S MD S 20 hr/bln
mucronata
(bakau)
R. stylosa (tongke 10-30 MD S S 20 hr/bln
besar)
R. apiculata 10-30 MD MD S 20 hr/bln
(tinjang)
- 41 -
Toleransi Toleransi
terhadap terhadap Toleransi
Frekuensi
Jenis Salinitas kekuatan kandungan terhadap
penggenangan
(o/oo) ombak & Lumpur
pasir
angin
1 2 3 4 5 6
Bruguiera 10-30 TS MD S 10-19
parvilofa (bius) hr/bln
B. sexangula 10-30 TS MD S 10-19
(tancang) hr/bln
B.gymnorhiza 10-30 TS TS MD 10-19
(tancang merah) hr/bln
Sonneratia alba 10-30 MD S S 20 hr/bln
(pedada bogem)
S.caseolaris 10-30 MD MD MD 20 hr/bln
(padada)
Xylocarpus 10-30 TS MD MD 9 hr/bln
granatum (nyirih)
Heritiera littoralis 10-30 STS MD MD 9 hr/bln
(bayur laut)
Lumnitzera 10-30 STS S MD Beberapa
racemora kali/ thn
(Tarumtum)
Cerbera manghas 0-10 STS MD MD Tergenang
(bintaro) musiman
Nypa fruticans 0-10 STS TS S 20 hr/bln
(nipah)
Avicenia spp. 10-30 MD TS S
(api-api)
Keterangan : S = Sesuai, MD = Moderat, TS = Tidak Sesuai,
STS = Sangat Tidak Sesuai
c. Penanaman
1) pelaksanaan penanaman di dalam kawasan hutan dan di luar
kawasan hutan dilakukan dengan menerapkan jenis tanaman dan
pola tanam sebagaimana tertuang dalam rancangan.
2) rehabilitasi hutan mangrove dilaksanakan pada LMU Prioritas I
paling sedikit 1.100 batang/ha dan LMU Prioritas II paling sedikit
- 42 -
- - - -- - - laut - - - - -- - - - - - - - - - - -- - - laut - - - - -- - - - - - - -
- - - - - - - - - - - - - - - - -- - - -- - - - - - - - - - - - - - - - - -- - - --
x x x x x x x x x x x x x x xx x x x
x x x xx x x
x x x x x x x x x x x x x x x x x x x x
x x x x x x x
x x x x x x x x x x x x x
x x x x x x x
x x x x x x x x x x x x x
x a.
x xPenanaman
x x x x x x strip
x x x (jalur)
x b. Penanaman merata
Parit Bibit
media pasir yang labil akan ombak laut. Pola tanam ini lebih
cocok untuk ekosistem mangrove di pulau-pulau kecil.
(2) Penanaman rumpun berjarak dilaksanakan seperti halnya
dengan penanaman murni akan tetapi anakan ditanam rapat
membentuk rumpun-rumpun. Jumlah dan jarak antar
rumpun per hektar dan jumlah anakan yang ditanam di tiap
rumpun disesuaikan dengan kondisi tapak.
(3) Pada saat menanam bibit, kantong plastik (polybag) media
tanam tidak perlu dilepas tetapi cukup dirobek atau dilubangi
bagian dasarnya.
(4) Penanaman pada areal yang rawan gerakan air laut, jika
diperlukan dapat dibuat pagar pengaman.
Laut
Rumpun Dst
anakan
Pantai pulau
Dst
Pulau
Gambar 7. Cara penanaman rumpun berjarak
4. Pemeliharaan Tanaman
Kegiatan pemeliharaan tanaman mangrove dilakukan sebagaimana terurai
pada BAB IV. Huruf C. dengan catatan penyiangan hanya dilakukan pada
areal yang kering saja. Disamping itu, untuk pengendalian hama dan
penyakit pada tanaman mangrove dari serangan kepiting/ketam
(Crustacea, sp.), ulat daun dan batang, cendawan akar, tritip serta gulma
(biasanya lumut) dapat dilakukan dengan cara:
a. Benih/bibit mangrove ditanam lebih banyak atau lebih rapat
b. Membungkus benih/bibit dengan bambu atau botol plastik.
c. Menggunakan insektisida secara hati-hati dan terbatas.
5. Standar hasil kegiatan
Jumlah tanaman mangrove pada akhir tahun ketiga yaitu paling sedikit
90% (sembilan puluh perseratus) dari jumlah tanaman baru.
- 45 -
Dalam hal jumlah tanaman tersebut telah tercapai maka tidak dilakukan
pemeliharaan lanjutan
C. Rehabilitasi Sempadan Pantai
1. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi sempadan pantai dapat berupa
kawasan hutan atau di luar kawasan hutan yang diutamakan pada lahan
kritis/LMU terpilih menurut RTk-RHL DAS selebar paling sedikit 100
(seratus) meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat yang bukan
termasuk habitat/ekosistem mangrove, dan atau sasaran RHL yang
ditetapkan pada RP RHL. Penetapan prioritas pelaksanaan RHL dapat
mempertimbangkan kendala biofisik maupun sosial ekonomi setempat.
2. Penyediaan Bibit
Penyediaan bibit untuk keperluan kegiatan rehabilitasi sempadan pantai
dapat dilakukan dengan pembuatan atau melalui pengadaan bibit.
Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan efektif dan
efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi lokasi
persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik untuk kegiatan
penanaman, penyulaman tahun berjalan, maupun untuk penyulaman
pemeliharaan I.
b. Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit dengan
memperhatikan waktu tanam di lapangan.
c. Pelaksanaan penyediaan bibit dapat dilakukan melalui : pembuatan
bibit dan/atau pengadaan bibit oleh pihak ketiga/perusahaan pengada
bibit.
d. Untuk memperoleh mutu bibit yang baik, dan mengurangi resiko
kerusakan bibit ke lokasi penanaman, diperlukan persemaian dan
tempat pengumpulan sementara yang sesuai kriteria dan standar mutu.
e. Rehabilitasi sempadan pantai pada lahan berpasir dapat menggunakan
bibit dengan media campuran contohnya dengan sistem press-block.
3. Pembuatan Tanaman
Tahapan penanaman rehabilitasi sempadan pantai sebagai berikut:
a. Persiapan
1) Penyiapan kelembagaan, prakondisi dilakukan terhadap masyarakat
pantai setempat yang akan terlibat dalam kegiatan rehabilitasi hutan
pantai berupa penyuluhan, pembentukan kelompok tani dan
pendampingan.
- 46 -
c. Penanaman
1) Pelaksanaan pembuatan tanaman rehabilitasi sempadan pantai di
luar kawasan hutan dan di dalam kawasan hutan dilakukan dengan
menerapkan pola tanam sebagaimana tertuang dalam rancangan.
Penanaman dapat dilakukan secara merata atau jalur/baris
sepanjang pantai.
2) Rehabilitasi sempadan pantai dilaksanakan pada LMU Prioritas I
paling sedikit 1.650 batang/ha dan LMU Prioritas II minimal 1.100
batang/ha.
3) Persen tumbuh saat penilaian dan penyerahan pekerjaan
penanaman tahun pertama (P0) paling sedikit 70%.
4) Komponen kegiatan penanaman meliputi :
a) Pembuatan lubang tanam yang ukurannya disesuaikan dengan
jenis yang akan ditanam;
b) Pada lahan berpasir dapat dilakukan penambahan media tumbuh
yang memadai.
c) Penanaman dilakukan dengan memadatkan tanah urugan di
sekitar batang dan hindari kerusakan akar.
4. Pemeliharaan Tanaman
Pemeliharaan tanaman sebagaimana uraian pada BAB IV. Huruf C. Jenis
hama tanaman yang sering ditemui dan menyerang pada tanaman pantai
adalah ulat daun dan batang, cendawan akar dan upas (Cryptococcus
neoformans, Phytopthora palmivora) serta gulma. Pengendalian hama dan
gulma dapat dilakukan pada pemeliharaan tanaman tahun berjalan,
tahun pertama dan atau tahun kedua.
- 48 -
BAB VII
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN KAWASAN BERGAMBUT
A. Umum
Kawasan bergambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah
mati, baik yang sudah lapuk maupun yang belum lapuk. Timbunan terus
bertambah karena proses dekomposisi yang terhambat oleh kondisi an-aerob
dan di permukaan atasnya hidup berbagai jenis satwa liar dan tumbuhan dari
tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Pembentukan kawasan bergambut
merupakan proses geogenik yang disebabkan oleh proses deposisi dan
transportasi, sedangkan proses pembentukan tanah mineral pada umumnya
merupakan proses pedogenik. Keberadaan kubah gambut (peat dome) di
bagian tengah pada bentang lahan gambut menjadi ciri khas ekosistem
bergambut. Sedangkan tingkat kesuburan tanah bergambut secara gradual
dipilah menjadi 3 (tiga) jenis yaitu matang (saprist), sedang (hemist) dan
mentah (fibrist).
Kawasan bergambut dipilah menjadi dua yaitu Kawasan Bergambut Berfungsi
Lindung dan Kawasan Bergambut Berfungsi Budidaya. Kriteria kawasan
bergambut berfungsi lindung yakni apabila ketebalan gambut mencapai 3
(tiga) meter atau lebih terdapat di hulu sungai atau rawa, sedangkan kriteria
kawasan bergambut berfungsi budidaya yakni apabila ketebalan gambutnya
kurang dari 3 (tiga) meter terdapat di hulu sungai atau rawa.
Kawasan bergambut memberikan manfaat yang sangat luas bagi kehidupan
di muka bumi karena merupakan habitat berbagai flora fauna yang berperan
penting dalam pengaturan tata air sehingga daerah sekitarnya dapat
terhindar dari intrusi air laut pada musim kemarau dan banjir pada musim
hujan. Kawasan bergambut mampu menyimpan dan menyerap Gas Rumah
Kaca (GRK) dalam jumlah besar sehingga secara tidak langsung berperan
penting dalam mengatur iklim lokal maupun global.
Maksud dan tujuan RHL kawasan bergambut untuk memulihkan
sumberdaya kawasan bergambut yang kritis sehingga berfungsi optimal
dalam memberikan manfaat ekologi, ekonomi dan sosial kepada seluruh
pihak yang berkepentingan, mengelola sumber daya air, dan mengembangkan
kelembagaan yang berbasis sumberdaya kawasan bergambut.
B. Pelaksanaan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kawasan Bergambut
1. Sasaran Lokasi
- 50 -
a. Jahe-jaheaan (Zingiberaceae)
b. Lidah buaya (Aloevera)
Jenis tanaman perdu yang dapat ditanam di sela-sela tanaman pokok dan
cocok di kawasan bergambut antara lain tanaman jarak (Jantropha sp.).
Sedangkan jenis tanaman eksotis yang dapat dikembangkan di kawasan
bergambut antara lain :
a. Akasia (Acacia crassicarpa)
b. Ekaliptus (Eucalyptus spp.)
c. Melina (Gmelina sp.)
3. Jadwal kegiatan
Pengaturan jadwal kegiatan rehabilitasi perlu dilakukan secara baik
karena kegiatan rehabilitasi memiliki variasi waktu ideal yang berlainan,
misalnya penanaman pada musim hujan dan pembuatan gundukan
piringan tanam di musim kemarau.
4. Persiapan Pelaksana Penanaman
Sumberdaya Manusia memegang peranan yang sangat penting dalam
kegiatan rehabilitasi sehingga perlu dipersiapkan. Persiapan SDM tidak
hanya penyiapan tenaga kerja dalam jumlah tertentu melainkan juga
pembekalan keterampilan yang memadai sehingga kegiatannya dapat
berupa penyiapan kelembagaan yaitu prakondisi terhadap masyarakat
setempat yang akan terlibat dalam kegiatan rehabilitasi berupa
penyuluhan, pembentukan kelompok tani dan pendampingan.
5. Persiapan bibit
Penyediaan bibit untuk keperluan rehabilitasi rawa gambut dapat
dilakukan dengan pembuatan atau melalui pengadaan bibit.
Untuk menjamin agar pelaksanaan penyediaan bibit berjalan efektif dan
efisien, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :
a. Penentuan kebutuhan bibit sesuai rancangan meliputi lokasi
persemaian, jenis, jumlah dan persyaratan bibit, baik untuk kegiatan
penanaman, penyulaman tahun berjalan, maupun untuk penyulaman
pemeliharaan I.
b. Penyusunan tahapan dan jadwal kegiatan penyediaan bibit dengan
memperhatikan waktu tanam di lapangan.
c. Pelaksanaan penyediaan bibit dapat dilakukan melalui : pembuatan
bibit dan/atau pengadaan bibit oleh pihak ketiga/perusahaan pengada
bibit.
- 53 -
Hutan Gambut
Lahan Gambut
Beje/kolam
Tabat/Dam
Saluran/
kanal Beje/kolam
Lahan Gambut
Tabat/Dam Pemukiman
Sungai
Gambar 10. Letak dan posisi kolam air (beje) terhadap areal penanaman
Bentuk bangunan tabat dapat berupa tabat papan satu lapis atau tabat
isi. Tabat papan satu lapis hanya terdiri dari satu lapis penahan arus
air yang terbuat dari susunan papan/balok kayu atau terbuat dari
plastik. Sedangkan tabat isi dibuat dari dua lapis papan penahan arus
air yang diantara papan tersebut dapat diisi dengan media berupa
tanah gambut, tanah mineral, atau campuran tanah gambut dan
mineral. Permukaan atas media antara pada tabat isi dapat digunakan
sebagai sarana transportasi atau sarana media tanam bagi vegetasi
tertentu. Pada masing-masing jenis bangunan tabat tersebut dibuat
lubang/rongga tempat aliran limpasan/luapan (spillway) sehingga
kontinyuitas aliran dari atas tetap terjaga dan daya dorong aliran air
dapat terukur. Bentuk bangunan tabat disajikan pada Gambar 11, 12,
dan 13.
- 55 -
Gambar 11. Bangunan tabat satu lapis terbuat dari papan/balok kayu
(tampak depan)
Balok penguat
(tegak)
spillway
Papan
plastik
Balok penguat
(melintang)
Tampak Depan
Gambar 12. Bangunan tabat satu lapis terbuat dari papan plastik tebal
(tampak depan)
- 56 -
Gambar 13. Bangunan tabat isi (a) tampak samping (b) tampak depan
tempat baru bagi koloninya. Pada kondisi gangguan yang ekstrim dapat
digunakan insektisida secara hati-hati dan terbatas.
10. Perlindungan tanaman
Bahaya yang selalu mengancam pada kawasan bergambut yang telah
terbuka adalah kebakaran hutan dan lahan (forest fire). Sifat api yang
dapat tersimpan cukup lama (latent) dan cenderung merambat melalui
lapisan bawah gambut, merupakan ancaman yang sulit diantisipasi dan
dikendalikan.
Namun demikian perlakuan yang selama ini ditempuh adalah :
a. Membuat parit-parit dan kanal saluran sebagai sekat bakar yang cukup
efektif untuk meredam laju rambatan api di bawah permukaan
b. Membuat kolam air (beje) yang digunakan sebagai cadangan air tatkala
kebakaran hutan dan lahan terjadi
c. Pemilihan jenis tanaman lain tahan terhadap api yang ditanam pada
sekitar blok maupun petak tanam. Jenis tanaman tahan api tersebut
antara lain 1) pohon pisang 2) pohon pinang, dan 3) pohon pepaya
d. Pemadaman manual yang dilakukan oleh kelompok masyarakat
setempat, baik secara swadaya maupun ada insentif dari pemerintah
setempat
11. Standar hasil kegiatan
Jumlah tanaman hasil penanaman RHL pada kawasan bergambut pada
akhir tahun ketiga baik tanaman asal maupun tanaman baru paling
sedikit 600 (enam ratus) batang/hektar.
Dalam hal jumlah tanaman tersebut telah tercapai maka tidak dilakukan
pemeliharaan lanjutan.
C. Rehabilitasi Kawasan Bergambut Pola Khusus
Rehabilitasi kawasan bergambut dengan kondisi biofisik atau sosial, ekonomi,
budaya dan atau kepentingan diseminasi teknologi rehabilitasi dapat
dilaksanakan dengan pola khusus yang diatur dengan manual tersendiri.
- 60 -
BAB VIII
KONSERVASI TANAH DAN AIR
A. Umum
Kegiatan konservasi tanah dan air bertujuan untuk melindungi permukaan
tanah dari pukulan air hujan, meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah,
mencegah terjadinya konsentrasi aliran permukaan, mengoptimalkan fungsi
tanah dan meningkatkan daya dukung DAS.
B. Teknik Konservasi Tanah dan Air
Teknik konservasi tanah dan air yang sering dilakukan dalam kegiatan
Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah:
1. Dam Pengendali (DPi)
a. Tujuan
Tujuan pembangunan DPi yaitu :
1) Mengendalikan endapan sedimen dan aliran air permukaan yang
berasal dari daerah tangkapan air dibagian hulunya.
2) Menaikkan permukaan air tanah sekitarnya.
3) Tempat persediaan air bagi masyarakat (rumah tangga, irigasi,
ternak dan lain-lain).
b. Sasaran Lokasi
Secara teknis persyaratan site lokasi Dam Pengendali adalah sebagai
berikut:
1) LMU Prioritas I dan II dan/atau dalam RP-RHL;
2) dapat diluar Prioritas I dan II dengan syarat lokasinya mampu
menampung sedimen dan aliran permukaan yang besar;
3) luas DTA 50 - 250 ha;
4) struktur tanah stabil (badan bendung);
5) kemiringan rata-rata daerah tangkapan 15 - 35 %;
6) tinggi badan bendung maksimum 8 meter
7) kemiringan alur sungai <10%;
8) diutamakan pada ordo sungai 1 sampai dengan 3; dan
9) prioritas pengamanan bangunan vital.
- 61 -
8) organisasi pelaksana
Pelaksana dalam pembuatan DPi yaitu kelompok masyarakat atau
pihak ketiga didampingi penyuluh lapangan kehutanan atau petugas
teknis di bawah koordinasi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD)
provinsi.
9) jadwal kegiatan
Tahapan dalam pelaksanaan sesuai dengan jadwal pelaksanaan
yang tertuang dalam rancangan.
2. Dam Penahan (DPn)
a. Tujuan
Pembuatan DPn bertujuan untuk mengendalikan endapan/sedimentasi
dan aliran air permukaan (run off) dari daerah tangkapan air dibagian
hulu.
b. Sasaran Lokasi
Secara teknis kriteria site lokasi DPn adalah sebagai berikut:
1) LMU Prioritas I dan II atau dalam RP-RHL;
2) Luas DTA 10-30 ha;
3) Kemiringan alur 15-35 %;
4) tinggi maksimum 4 meter;
5) Kemiringan rata-rata daerah tangkapan 15-35%;
6) Diutamakan pada ordo sungai 1 sampai dengan 3.
7) Untuk DPn yang dibuat secara seri, persyaratan luas DTA mengikuti
kondisi di lapangan.
4) persiapan
a) penyiapan kelembagaan
b) pertemuan dengan masyarakat/kelompok dalam rangka
sosialisasi
c) pembentukan organisasi dan penyusunan rencana kerja
5) pengadaan sarana dan prasarana
Pengadaan peralatan/sapras diutamakan untuk jenis peralatan dan
bahan yang habis pakai. Pembuatan sarana dan prasarana
pelaksanaan pekerjaan di lapangan yaitu:
a) pembuatan jalan masuk
b) pembuatan gubuk kerja/gubuk material dan papan nama
6) penataan areal kerja
a) pembersihan lapangan
b) pengukuran kembali
c) pemasangan patok
d) pembuatan profil lapangan
7) pembuatan
a) stabilisasi ujung jurang dilakukan melalui :
(1) pembuatan teras-teras dan bangunan terjunan air
(2) pelandaian lereng
(3) pembuatan saluran diversi mengelilingi bagian atas
b) stabilisasi tebing jurang dilakukan melalui :
(1) pelandaian lereng/tebing
(2) penguatan lereng/tebing
c) stabilisasi dasar jurang terhadap bangunan pengendali lolos air
dan bangunan pengendali tidak lolos air
d) pembuatan bangunan pengendali jurang
8) Pemeliharaan.
Pemeliharaan bangunan pengendali jurang meliputi :
a) Pemeliharaan bangunan terjunan dan teras
b) Pemeliharaan saluran diversi
9) organisasi pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan pengendali jurang adalah kelompok
masyarakat, yang didampingi Penyuluh Kehutanan Lapangan (PKL)
atau petugas teknis pada satuan kerja Dinas provinsi/kabupaten/
kota.
- 68 -
7. Strip Rumput
a. Tujuan
Tujuan pelaksanaan pola penanaman dengan strip rumput (grass
barrier) yaitu untuk memperlambat aliran permukaan dan menahan
tanah/endapan yang tererosi/terbawa aliran sehingga mengurangi laju
erosi, menyediakan pakan ternak dari hasil pemangkasan rumput serta
terbentuknya teras alami karena tanah yang terhanyut ditahan oleh
strip rumput di bawahnya.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi strip rumput merupakan lahan yang termasuk dalam
LMU Terpilih, diutamakan pada RHL Prioritas I dan II serta morfologi
DAS bagian tengah dan hilir dengan kemiringan (8 25) % dan atau
telah ditetapkan dalam RP RHL, kondisi tanah miskin unsur hara dan
lahan usaha yang secara intensif diusahakan oleh masyarakat.
c. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan lapangan
a) penyiapan rancangan teknis
b) pengukuran kembali
c) pematokan tanda letak larikan rumput
d) pengolahan/penggemburan tanah
e) pengadaan bahan dan alat
2) Pembuatan strip rumput
a) penanaman rumput searah kontur
b) pembuatan selokan teras/saluran di bagian atas strip rumput.
d. Pemeliharaan
- 76 -
c. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan Lapangan
a) penyiapan rancangan teknis
b) pengukuran kembali.
c) pematokan tanda letak bangunan kanan kiri/tebing sungai.
d) pengadaan bahan dan alat.
e) pembuatan bangunan perlindungan kanan kiri/tebing sungai
melalui beberapa alternatif atau kombinasi alternatif berikut
sesuai kondisi lapangan.
2) Penanaman rumput, perdu dan pohon yang memiliki perakaran yang
dalam dan tajuk pohon yang rimbun.
3) Pemasangan trucuk bambu; dapat menggunakan potongan batang
bambu, maupun langsung menanami dengan bambu.
d. Pemeliharaan
1) penyulaman tanaman baik rumput, perdu maupun pohon yang tidak
tumbuh.
2) perbaikan terhadap trucuk apabila mengalami kerusakan.
e. Organisasi Pelaksana
Sebagai pelaksana pembuatan perlindungan kanan/kiri sungai adalah
kelompok masyarakat didampingi penyuluh kehutanan lapangan (PKL)
atau petugas teknis dibawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.
a) dua atau tiga potong bambu bulat ditanam ke dalam tanah 0,5 m,
sedang yang berada dipermukaan saluran dipasang setinggi
bangunan terjunan.
b) bambu belah dipasang melintang terjunan, kulit bagian luar
bambu diletakan di bagian luar.
c) pemasangan bambu disusun mulai dari bawah dengan kedua
ujungnya dimasukan ke dalam bagian kanan kiri dinding SPA
dan diikatkan pada bambu bulat.
e. Pemeliharaan
1) pembersihan saluran dari endapan
2) perbaikan bambu apabila rusak baik karena sudah lapuk atau
karena akibat lain.
f. Organisasi Pelaksana
Pelaksana pembuatan saluran pembuangan air dan terjunan adalah
kelompok masyarakat didampingi penyuluh kehutanan lapangan (PKL)
atau petugas teknis dibawah koordinasi Dinas Kabupaten/Kota.
2) Teras Gulud
Teras gulud merupakan teknik konservasi tanah berupa guludan
tanah dan saluran air.
a) Standar teknis
(1) kemiringan lereng 8-40 dan untuk tanaman semusim < 15 %.
(2) guludan ditanami legum atau rumput dan dipangkas secara
reguler.
(3) guludan ditutup dengan mulsa hasil pangkasan
(4) beda tinggi antar guludan 1.25 m
- 87 -
3) Teras Kredit
Teras kredit merupakan teknik konservasi tanah berupa guludan
tanah atau batu sejajar kontur dan bidang olah tidak diubah dari
kelerengan permukaan.
a) standar teknis
(1) untuk tanah dangkal lereng 3 15 %
(2) untuk tanah dalam lereng 3 40 %
(3) guludan ditanami tanaman penguat (misal : rumput, legum
dan ditanam secara rapat).
(4) jarak antar guludan 5 12 m
(5) tidak cocok untuk tanaman peka longsor.
b) Manfaat
(1) pengendalian erosi tanah
(2) pengurangan aliran permukaan.
- 88 -
4) Teras individu
Teras individu adalah teknis konservasi tanah berupa teras yang
dibuat hanya pada tempat yang akan ditanami tanaman pokok.
a) Standar teknis
(1) ukuran teras 1 x 1 m (segi empat)
(2) ukuran diameter 1 m (lingkaran)
(3) hanya untuk tanaman berupa pohon
(4) kemiringan lereng 30 50 %
(5) pada lokasi dengan curah hujan rendah
(6) tanah di luar teras ditanami tanaman penutup tanah
(7) untuk lereng yang curam dapat dikombinasikan dengan teknis
konervasi tanah lainnya.
b) Manfaat
(1) pengendalian erosi tanah
(2) pengurangan aliran permukaan
(3) peningkatan air infiltrasi
5) Teras Kebun
Teras kebun merupakan teknik konservasi tanah berupa teras yang
hanya dibuat pada bidang tanah yang akan ditanami dan searah
kontur.
a) Standar teknis
(1) kemiringan lereng 10-3- %
(2) solum tanah > 30 cm
(3) lebar teras 1.5 m
(4) teras miring kedalam 1 %
(5) di luar teras ditanami tanaman penutup teras
(6) cocok untuk ditanami tanaman perkebunan/tahunan
(7) cocok untuk tanah dengan daya serap lambat.
b) Manfaat
(1) pengendalian erosi tanah
(2) peningkatan air infiltrasi
(3) pengurangan aliran permukaan
d. Mekanisme Pelaksanaan
1) Persiapan Lapangan
a) penyiapan rancangan teknis
b) pengukuran kembali
c) pematokan tanda letak tanggul/guludan.
2) Pembuatan teras
a) pembuatan bangunan utama teras sejajar kontur
- 90 -
11. Biofori
Biofori adalah lubang silindris yang dibuat ke dalam tanah dengan
diameter 10 cm, kedalaman 100 cm atau tidak melebihi kedalaman
muka air tanah.
a. Tujuan
Lubang Resapan Biopori merupakan teknologi tepat guna dan ramah
lingkungan yang bertujuan untuk mengatasi banjir dengan cara
meningkatkan daya resapan air, mengubah sampah organik menjadi
kompos dan mengurangi emisi gas rumah kaca (CO2 dan metan), dan
memanfaatkan peran aktivitas guna tanah dan akar tanaman dan
mengatasi masalah yang ditimbulkan oleh genangan air seperti
penyakit demam berdarah dan malaria.
b. Sasaran Lokasi
Sasaran lokasi lobang biofori berupa lahan di perkotaan dengan
perhitungan untuk setiap 100 m2 lahan idealnya Lubang Resapan
Biopori (LRB) dibuat sebanyak 30 titik dengan jarak antara 0,5 - 1 m.
Dengan kedalam 100 cm dan diameter 10 cm setiap lubang bisa
menampung 7,8 liter sampah.
c. Mekanisme Pelaksanaaan
1) Pelaksanaan
a) pembuatan lubang dengan bor, untuk memudahkan pembuatan
lubang bisa dibantu diberi air agar tanah lebih gembur.
- 91 -
2) Pemeliharaan
a) lubang Resapan Biopori harus selalu terisi sampah organik
b) sampah organik dapur bisa diambil sebagai kompos setelah dua
minggu, sementara sampah kebun setelah dua bulan. Lama
pembuatan kompos juga tergantung jenis tanah tempat
pembuatan LRB, tanah lempung agak lebih lama proses
kehancurannya. Pengambilan dilakukan dengan alat bor LRB.
c) bila tidak diambil maka kompos akan terserap oleh tanah, LRB
harus tetap dipantau supaya terisi sampah organik.
d. Organisasi Pelaksana
Pelaksana pembuatan Lubang Resapan Biopori adalah kelompok
masyarakat/perorangan.
- 92 -
Keterangan :
1 cm
cmcm 2 cm
Keterangan :
: Batas areal tanaman
Desa : Penyuluh :
lapangan
Petak/lokasi : No. Petak Ukur :
Luas : ....... Ha
1 2 3 4 5 6 7
1 1. Fisiografi Lahan :
2 a. Datar
3 b. Landai
4 c. Agak Curam
5 d. Curam
6 2. Keadaan Tumbuhan
Bawah
7 a. Lebat/rapat
- 97 -
8 b. Sedang
9 c. Jarang
10 d. Tidak ada/bersih
11 3. Kondisi Tanah
12 a. Gembur/subur
13 b.Kurang gembur/subur
14 c. kurus
15 d. berbatu
16 4. Gangguan Tanaman
17 a. Penggembalaan
18 b. Kebakaran
19 c. Hama penyakit
dst
...
...
n.
Jumlah
1. Kayu
a. Jati
b. .
c. ..
2. MPTS
a. Mangga
b. ..
c. ..
Petugas Penilaian,
(...........................)
T = ( hi / ni) x 100 %
= (h1 + h2 + .....+ hn) / (n1 + n2 + .... + nn) x 100 %
T = ( ti / ni)
dimana:
T = Tinggi rata-rata tanaman dalam petak ukur
ti = Tinggi setiap individu tanaman dalam petak ukur ke i
ni = Jumlah tanaman pada petak ukur ke i
C. Tata cara evaluasi bangunan konservasi tanah/sipil teknis
1. Evaluasi dilakukan di seluruh lokasi bangunan konservasi tanah yang
dibuat dilakukan dengan cara sensus.
2. Data dan informasi yang dikumpulkan terhadap pembuatan bangunan
konservasi tanah mencakup data administratif pemerintahan (Kabupaten,
Kecamatan, Desa, Nama Lokasi), nama DAS/Sub DAS, koordinat lokasi,
jenis bangunan konservasi tanah, kapasitas bangunan konservasi tanah.
3. Kriteria penilaian terhadap pembuatan bangunan konservasi tanah adalah
berfungsi, kurang berfungsi, tidak berfungsi (gagal).
4. Sasaran penilaian bangunan konservasi tanah adalah dam pengendali,
dam penahan, sumur resapan, gully plug, embung, dan lain-lain sesuai
dengan lokasi dan jenis kegiatan yang tercantum dalam rancangan pada
setiap desa.
5. Evaluasi dilaksanakan dengan mengamati langsung bangunan konservasi
tanah sesui jenis kegiatannya, membandingkan dengan rancangan
6. Melakukan pencatatan terhadap jumlah bangunan konservasi tanah
sesuai dengan jenis bangunan, kondisinya (baik, rusak) dan sesuai
fungsinya (berfungsi dan tidak berfungsi) dalam wilayah desa tersebut.
7. Untuk mengetahui kondisi bangunan konservasi tanah digunakan 3
kriteria, yaitu berfungsi, kurang berfungsi dan tidak berfungsi.
- 101 -
BAB X
PENGHAPUSAN TANAMAN GAGAL
BAB XI
PENUTUP
DIREKTUR JENDERAL,
ttd.
DUDI ISKANDAR