Vous êtes sur la page 1sur 20

BAB II

TINJAUAN TEORI STROKE

A. Pengertian
Menurut Ginsberg yang diterjemahkan oleh Wardhani pada tahun
(2007) stroke adalah Stroke adalah sindrom yang disebabkan oleh
gangguan peredaran darah otak (GPDO) dengan awitan akut, disertai
manifestasi klinis berupa defisit neurologis dan bukan sebagai akibat
tumor, trauma ataupun infeksi saluran saraf pusat.Disamping itu menurut
Dewanto pada (2009) stroke adalah sindrom yang terdiri dari tanda
dan/atau gejala hilangnya fungsi sistem saraf pusat fokal (atau global)
yang berkembang cepat (dalam detik atau menit). Gejala-gejala ini
berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian.
Maka stroke adalah gangguan sistem neurologi yang disebabkan
oleh gangguan peredaran darah otak secara mendadak dan gejala yang
berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan kematian.

B. Penyebab
1. Trombosis Serebral
a. Penyebab stroke paling sering
b. Obstruksi pembuluh darah di pembuluh ekstraserebral
c. Kemungkinan terjadi di area intraserebral
2. Emboli Serebral
a. Penyebab stroke yang kedua
b. Riwayat penyakit jantung reumatik
c. Endokarditis
d. Penyakit valvular pasca traumatik
e. Aritmia jantung
f. Pasca pembedahan jantung terbuka
3. Perdarahan Serebral
a. Penyebab utama stroke yang ketiga
b. Hipertensi kronis aneurisma serebral
c. Malformasi arterio venosa
BAB II

STROKE ISKEMIK

A. Pengertian
Menurut Ginsberg yang diterjemahkan oleh Wardhani pada tahun
(2007) stroke adalah sindrom yang disebabkan oleh gangguan peredaran
darah otak (GPDO) dengan awitan akut, disertai manifestasi klinis berupa
defisit neurologis dan bukan sebagai akibat tumor, trauma ataupun infeksi
saluran saraf pusat.Disamping itu menurut Dewanto pada (2009) stroke
adalah sindrom yang terdiri dari tanda dan/atau gejala hilangnya fungsi
sistem saraf pusat fokal (atau global) yang berkembang cepat (dalam
detik atau menit). Gejala-gejala ini berlangsung lebih dari 24 jam atau
menyebabkan kematian.Maka stroke adalah gangguan sistem neurologi
yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak secara mendadak
dan gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam atau menyebabkan
kematian.Menurut Price pada tahun (2005) stroke iskemik adalah stroke
yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri besar
pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan
(trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh
organ distal.
Berdasarkan pengertian stroke yang disampaikan beberapa pakar
diatas, maka stroke iskemik adalah gangguan peredaran ke otak yang
disebabkan oleh sumbatan arteri besar pada sirkulasi serebrum dan
dapat mengakibatkan kematian.

B. Etiologi
Price Sylvia Anderson pada (2005) menyatakan terdapat 4 (empat)
subtipe dasar pada stroke iskemik yaitu :
1. Stroke Lakunar
Stroke lakunar terjadi karena penyakit pembuluh-halus
hipertensif dan menyebabkan sindrome stroke yang biasanya muncul
dalam beberapa jam atau kadang-kadang lebih lama. Trombosis yang
terjadi pada pembuluh darah ini menyebabkan daerah-daerah infark
yang kecil, lunak dan disebut lakuna.
Terdapat 4 (empat) sindrome lakunar yang sering dijumpai : (1)
hemiparesis motorik murni akibat infark di kapsula interna posterior,
(2) hemiparesis motorik murni akibat infark pars anterior kapsula
interna, (3) stroke sensorik murni akibat infark talamus, dan (4)
hemiparesis ataksik atau disartria serta gerakan tangan atau lengan
yang canggung akibat infark pons basal.
2. Stroke Trombotik Pembuluh Besar
Stroke ini sering berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang
menyebabkan penyempitan atau stenosis di arteria karotis interna
atau, yang lebih jarang, di pangkal arteria serebri media atau di taut
arteria vertebralis dan basilaris.
3. Stroke Embolik
Asal stroke embolik dapat suatu arter distal atau jantung (stroke
kardioembolik). Stroke yang terjadi akibat embolus biasanya
menimbulkan defisit neurologik mendadak dengan efek maksimum
sejak awitan penyakit. Trombus embolik ini sering tersangkut di
bagian pembuluh yang mengalami stenosis. Stroke kardioembolik,
yaitu jenis stroke embolik tersering, didiagnosis apabila diketahui
adanya kausa jantung seperti fibrilasi atrium atau apabila pasien baru
mengalami infark miokardium yang mendahului terjadinya sumbatan
mendadak pembuluh besar otak.
4. Stroke Kriptogenik
Walaupun kardioembolisme menimbulkan gambaran klinis yang
dramatis dan hampr patognomonik, namun sebagian pasien
mengalami oklusi mendadak pembuluh intrakranium besar tanpa
penyebab yang jelas. Kelainan ini disebut stroke kriptogenik karena
sumbernya tersembunyi, bahkan setelah dilakukan pemeriksaan
diagnostik dan evaluasi klinis yang ekstensif.

C. Tanda dan Gejala


Ginsberg pada (2007) menjelaskan bahwa tanda dan gejala stroke
iskemik adalah :
1. Karotis (paling sering) :
a. Hemiparesis,
b. Hlangnya sensasi hemisensorik,
c. Disfagia,
d. Kebutuhan monokular (amaurosis fugax) yang disebabkan oleh
iskemia retina;
2. Vertebrobasilar :
1. Paresis atau hilangnya sensasi bilateral atau alternatif,
2. Kebutaan mendadak bilateral (pada pasien usia lanjut),
3. Diplopia, ataksia, vertigo, disfagia setidaknya dua dari tiga gejala
ini terjadi secara bersamaan.

Dewanto(2009) juga menjelaskan tanda dan gejala stroke iskemik


sebagai berikut :
1. Gangguan perdarahan darah arteri serebri anterior menyebabkan
hemiparesis dan hemihipestesi kontralateral yang terutama
melibatkan tungkai.
2. Gangguan peredaran darah arteri serebri media menyebabkan
hemiparesis dan hemihipestesi kontralateral yang terutama mengenai
lengan disertai gangguan fungsi luhur berupa afasia (bila mengenai
area otak dominan) atau hemispatial neglect (bila mengenai area otak
nondominan).
3. Gangguan peredaram darah arteri serebri posterior menimbulkan
hemianopsi homonim atau kuadrantanopsi kontralateral tanpa disertai
gangguan motorik maupun sensorik. Gangguan daya ingat terjadi bila
terjadi infark pada lobus temporalis medial. Aleksia tanpa agrafia
timbul bila infark terjadi pada konteks visual dominan dan splenium
korpus kalosum. Agnosia dan prosopagnosia (ketidakmampuan
mengenali wajah) timbul akibat infark pada korteks temporooksipitalis
inferior.
4. Gangguan peredaran darah batang otak menyebabkan gangguan
saraf kranial seperti disartri, diplopi dan vertigo; gangguan serebelar,
seperti taksia atau hilang keseimbangan; atau penurunan kesadaran.
5. Infark lakunar merupakan infark kecil dengan klinis gangguan murni
motorik atau sensorik tanpa disertai gangguan fungsi luhur.

D. Patofisiologi
Pricetahun (2005) stroke dikarenakan obstruksi dapat disebabkan
oleh bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau
pembuluh atau organ distal. Pada trombus vaskular distal, bekuan dapat
terlepas, atau mungkin terbentuk di dalam suatu organ seperti jantung,
kemudian dibawa sistem arteri ke otak sebagai suatu embolus. Terdapat
beragam penyebab stroke trombotik dan emboli primer, termasuk
aterosklerosis, arteritis, keadaan hiperkoagulasi, dan penyakit jantung
struktural. Namun, trombosis yang menjadi penyulit ateroklerosis
merupakan penyebab pada sebagian besar kasus stroke trombotik, dan
embolus dari pembuluh besar atau jantung merupakan penyebab stroke
iskemik embolik.
Sumbatan aliran di arteria karotis interna sering merupakan
penyebab stroke pada orang berusia lanjut, yang sering mengalami
pembentukan plak aterosklerotik di pembuluh darah sehingga terjadi
penyempitan atau stenosis. Pangkal aretia karotis interna (tempat arteria
karotis komunis bercabang menjadi arteria karotis interna dan eksterna)
merupakan tempat tersering terjadinya aterosklerotis. Arterosklerosis
arteria serebri media atau anterior lebih jarang menjadi tempat
pembentukan arterosklerosis. Darah terdorong melalui sistem vaskular
oleh gradien tekanan, tetapi pada pemnuluh yang menyempit, aliran
darah yang lebih cepat melalui lumen yang lebih kecil akan menurunkan
gradien tekanan di tempat konstriksi tersebut. Apabila stenosis mencapai
suatu tingkat kritis tertentu, maka meningkatnya turbulendi di sekitar
penyumbatan akan menyebabkan penurunan tajam kecepetan aliran.
Vasopasme yang sering merupakan respons vaskular reaktif
terhadap perdarahan ke dalam ruang antara lapisan araknoid dan pia
meter meningen. Sebagian besar stroke iskemik tidak menimbulkan nyeri,
karena jaringan otak tidak peka terhadap nyeri.
Muttaqin (2008) menambahkan infark serebral adalah
berkurangnya suplai darah ke area tertentu di otak. Suplai darah ke otak
dapat berubah (makin lambat atau cepat) pada gangguan lokal (trombus,
emboli, perdarahan dan spasme vaskular) atau karena gangguan umum
(hipoksia karena gangguan paru dan jantung). Aterosklerosis sering
sebagai faktor penyebab infark pada otak. Trombus dapat berasal dari
plak aterosklerotik, atau darah dapat beku pada area yang stenosis,
tempat aliran darah mengalami pelambatan atau terjadi turbulensi.
Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah terbawa
sebagai emboli dalam liran darah. Trombus mengakibatkan iskemia
jaringan otak yang disuplai oleh pembuluh darah yang bersangkutan dan
edema dan kongesti di sekitar area. Area edema ini menyebabkan
disfungsi yang lebih besar daripada area infark itu sendiri. Edema dapat
berkurang dalam beberapa jam atau kadang sesudah beberapa hari.
Dengan berkurangnya edema klien mulai menunjukkan perbaikan. Oleh
karena trombosis biasanya tidak fatal, jika tidak terjadi perdarahan masif.
Oklusi pada pembuluh darah serebral oleh embolus menyebabkan
edeman dan nekrosis diikuti trombosis. Jika terjadi septik infeksi akan
meluas pada dinding pembuluh darah akan terjadi abses atau ensefalitis,
atau jika sisa infeksi berada pada pembuluh darah yang tersumbat
menyebabkan dilatasi aneurisma pembuluh darah. Hal ini akan
menyebabkan perdarahan serebral, jika aneurisma pecah atau ruptur.
Kematian disebabkan oleh kompresi batang otak, hemisfer otak,
dan perdarahan batang otak sekunder atau ekstensi perdarahan ke
batang otak. Jika sirkulasi serebral terhambat, dapat berkembang anoksia
serebral. Perubahan yang disebabkan oleh anoksia serebral dapat
reversibel untuk waktu 4-6 menit. Perubahan ireversibel jika anoksia lebih
dari 10 menit. Anoksia serebral dapat terjadi oleh karena gangguan yang
bervariasi salah satunya henti jantung.
Selain kerusakan parenkim otak, akibat volume perdarahan yang
relatif banyak anak mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial dan
penurunan tekanan perfusi otak serta gangguan drainase otak. Elemen-
elemen vasoaktif darah yang keluar dan kaskade iskemik akibat
menurunnya tekanan perfusi, menyebabkan sarah di area yang terkena
darah dan sekitarnya tertekan lagi

E. Pemeriksaan
Pada pemeriksaan diagnostik menurut Dewanto tahun (2009) adalah :
1. Skor stroke : skor skor stroke Siriraj, skor Gadjah Mada
2. Laboratorium darah
a. Hemoglobin, hematokrik, eritrosit, leukosit, hitung jenis, trombosti,
dan laju endap darah.
b. PT dan aPTT, agregasi trombosit, fibrinogen.
c. Gula darah.
d. Profil lipid dan kolesterol, asam urat.
3. EKG dan ekokardiografi : mencari pencetus stroke akibat penyakit
jantung.
4. Pungsi lumbal (sesuai indikasi).
5. Foto toraks.
6. CT scan / MRI kepala.
7. MRA, OTAK

Tabel 2.1 Skor stroke Siriraj


(2,5 x derajat kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x
tekanan diastolik) (3 x penanda ateroma) 12
Dimana :

Derajat kesadaran 0 = kompos mentis; 1 = somnolen; 2 =


sopor / koma
Muntah 0 = tidak ada; 1 = ada
Nyeri kepala 0 = tidak ada; 1 = ada
Ateroma 0 = tidak ada; 1 = salah satu atau lebih
(diabetes, angina, penyakit pembuluh
darah)
Hasil :
Skor > 1 : perdarahan supratentorial
Skor < 1 : infark serebri

Tabel 2.2 Skor stroke Gadjah Mada

Penurunan Nyeri Kepala Babinski Jenis Stroke


Kesadaran
+ + + Perdarahan
+ - - Perdarahan
- + - Perdarahan
- - + Iskemik
- - - Iskemik

Sedangkan pemeriksaan diagnostik menurut Ginsberg tahun (2007)


adalah:

1. Pemeriksaan darah rutin, LED,


2. Glukosa darah dan kolesterol,
3. Serologi sifilis,
4. EKG
5. Rontgen toraks, ekokardiogram jika diduga terdapat emboli
kardiogenik,
6. CT scan kranial mendeteksi penyakit serebrovaskular yang telah
ada sebelumnya, dan menyingkirkan kemungkinan lesi struktural
seperti tumor yang menunjukkan gejala seperti TIA,
7. USG karotis atau angiografi untuk mendeteksi stenosis karotis pada
pasien TIA dengan lokasi lesi karotis,
8. Kultur darah jika terdapat dugaan endokarditis infektif.

F. Penatalaksanaan
Dewanto tahun (2009) ada beberapa penatalaksanaan untuk mengatasi
stroke iskemik, yaitu :
1. Umum
a. Nutrisi
b. Hidrasi intravena : koreksi dengan NaCl 0,9% jika ipovolemik.
c. Hiperglimeki : koreksi dengan insulin skala luncue. Bila stabil, beri
insulin reguler subkutan.
d. Neurorehabilitasi dini : stimulasi dini secepatnya dan fisioterapi
gerak anggota badan aktif maupun pasif.
e. Perawatan kandung kemih : kateter menetap hanya pada keadaan
khusus (kesadaran menurun, demensia, dan afaisa global).
2. Khusus
a. Terapi spesifik stroke iskemik akut :
1) Trombolisis rt-PA intravena / intraarterial pada < 3 jam setelah
awitan stroke dengan dosis 0,9 mg/kg (maksimal 90 mg).
Sebanyak 10% dosis awal diberikan sebagai bentuk bolus,
sisanya dilanjutkan melalui infus dalam waktu 1 jam.
2) Antiplatelet : asam salisilat 160-325 mg/hari 48 jam setelah
awitan stroke atau Clopidogrel 75 mghr.
3) Obat neuroprotektif.
b. Hipertensi : pada stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan
apabila tekanan sistolik > 220 mmHg dan / atau tekanan diastolik
> 120 mmHg dengan penurunan maksimal 20% dari tekanan
arterial rata-rata (MAP) awal per hari.
Panduan penurunan tekanan darah tinggi :
1) Bila tekanan darah sistolik > 230 mmHg atau tekanan diastolik
> 140 mmHg berikan nikardipin (5-15 mg/jam infus kontinu),
diltiazem (5-40 mg/kg/menit infus kontinu) atau nimodipin (60
mg / 4 jam PO).
2) Bila tekanan sistolik 180-230 mmHg atau tekanan diastolik
105-140 mmHg, atau tekanan darah arterial ratar-rata 130
mmHg pada dua kali pengukuran tekanan darah dengan
selang 20 menit atau pada keadaan hipertensi gawat darurat
(infark miokard, edema paru kardiogenik, retinopati, nefropati,
atau ensefalopati hipertensif) dapat diberikan :
a) Labetalol 10-20 mg IV selama 1-2 menit. Ulangi atau
gandakan setiap 10 menit sampai maksimum 300 mg atau
berikan dosis awal berupa bolus yang diikuti oleh labetalol
drip 2-8 mg/menit.
b) Nikardipin.
c) Diltiazem.
d) Nimodipin.
c. Bila tekanan sistolik < 180 mmHg dan tekanan diastolik < 205
mmHg, tangguhkan pemberian obat antihipertensi.
3. Trombosis vena dalam :
a. Heparin 5000 unit / 12 jam selama 5-10 hari.
b. Low Molecular Weight Heparin (enoksaparin / nadroparin) 2 x 0,3
0,4 IU SC abdomen.
c. Pneumatic boots, stoking elastik, fisioterapi, dan mobilisasi.

G. Komplikasi
Menurun Nurarif (2013) komplikasi stroke antara lain :
1. Komplikasi dini (0-48 jam pertama)
a. Edema serebri : defisit neurologis cenderung memberat, dapat
mengakibatkan peningkatan tekanan intrakranial, herniasi, dan
akhirnya menimbulkan kematian.
b. Infark miokard : penyebab kematian mendadak pada stroke
stadium awal.
2. Komplikasi jangka pendek (1-14 hari)
a. Pneumonia : akibat immobilisasi lama.
b. Infark miokard.
c. Emboli paru : cenderung terjadi 7-14 hari pasca stroke, sering kali
pada saat penderita mulai mobilisasi.
d. Stroke rekuren : dapat terjadi setiap saat.
3. Komplikasi jangka panjang
Stroke rekuren, infark miokard, gangguan vaskuler lain : penyakit
vaskuler perifer.

H. Pathway
(terlampir)

I. Asuhan Keperawatan
Muttaqin (2008), menjelaskan pengkajian pada pasien stroke meliputi :
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan,
agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan
diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan kesehatan
adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, tidak
dapat berkomunikasi dan penurunan tingkat kesadaran.
3. Riwayat penyakit sekarang
Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran
disebabkan perubahan di dalam intrakranial. Keluhan perubahan
perilaku juga umum terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat
terjadi letargi, tidak responsif, dan koma.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat
penyakit sekarang dan merupakan data dasar ntuk mengkaji lebih
jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
5. Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes
melitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
6. Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengakajian psikologis klien stroke meliputi beberapa dimensi yang
memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas
mengenai status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
7. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum
Umumnya mengalami penurunan kesadaran, kadang mengalami
gangguan bicara yaitu sulit dimengerti, kadang tidak bisa bicara
dan tanda-tanda vital : tekanan darah meningkat, dan denyut nadi
bervariasi.
b. B1 (Breathing)
Pada inspeksi didapatkan klien batuk, peningkatan produksi
sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan
peningkatan frekuensi pernapasan. Auskultasi bunyi napas
tambahan seperti ronkhi pada klien dengan peningkatan produksi
sekret dan kemampuan batuk yang menurun yang sering di
dapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran,
koma.
c. B2 (Blood)
Pengkajian dalam sistem kardiovaskular di dapatkan renjatan
(syok hipovolemik) yang sering terjadi pada klien stroke. Tekanan
darah biasanya terjadi peningkatan dan dapat terjadi hipertensi
masif (tekanan darah > 200 mmHg).
d. B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, bergantung pada
lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang
perfusinya tidak adekuat, dan aliran darah kolateral (sekunder
atau aksesori). Lesi otak yang rusak tidak dapat membaik
sepenuhnya. Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan
fokus dan lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
1) Pengkajian Tingkat Kesadaran
Kualitas klien merupakan parameter yang paling mendasar
dan parameter yang paling penting membutuhkan pengkajian.
Tingkat keterjagaan klien dan respons terhadap lingkungan
adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem
pernafasan. Beberapa sistem digunakan untuk membuat
peringkat perubahan dalam kewaspadaan dan keterjagaan.
2) Pengkajian Fungsi Serebral
Pengkajian ini meliputi status mental, fungsi intelektual,
kemampuan bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
3) Pengkajian Saraf Kranial
a) Saraf I. Biasanya pada klien stroke tidak ada kelainan
pada fungsi penciuman.
b) Saraf II. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensori primer di antara mata dan korteks virtual.
c) Saraf III, IV, dan VI. Jika akibat stroke mengakibatkan
paralisis, pada satu sisi otot-otot okularis didapatkan
penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi
yang sakit.
d) Saraf V. Pada beberapa keadaan stroke menyebabkan
paralisis saraf trigeminus, penurunan kemampuan
koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang
bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot
prerigoideus internus dan eksternus.
e) Saraf VII. Perseosi pengecapan dalam batas normal,
wajah asimetris dan otot wajah tertarik ke bagian sisi yang
sehat.
f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli
persepsi.
g) Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik dan
kesulitan membuka mulut.
h) Saraf XI. Tidak ada trofi otot sternokleidomastoideus dan
trapezius.
i) Saraf XII. Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi
dan fasikulasi, serta indra pengecapan normal.
4) Pengkajian Sistem Motorik
Stroke adalah penyakit saraf motorik atas (UMN) dan
mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan
motorik.
a) Inspeksi Umum. Didapatkan hemiplegia (paralisis pada
salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak yang
berlawanan. Hemiparesis atau kelemahan salah satu
tubuh adalah tanda yang lain.
b) Fasikulasi. Didapatkan pada otot-otot ekstremitas.
c) Tonus Otot. Didapatkan meningkat.
d) Kekuatan Otot. Pada penilaian dengan menggunakan
tingkat kekuatan otot pada sisi sakit didapatkan tingkat 0.
e) Keseimbangan dan Koordinasi. Didapatkan mengalami
gangguan karena hemiparese dan hemiplegia.
5) Pengkajian Refleks
a) Pemeriksaan Refleks Profunda. Pengetukan pada tendon,
ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons
normal.
b) Pemeriksaan Refleks Patologis. Pada fase akut refleks
fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah
beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali
didahului dengan refleks patologis.
6) Pengkajian Sistem Sensorik. Dapat terjadi hemihipestesi.
Pada persepsi terdapat ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena
gangguan jaras sensori primer di antara mata dan korteks
visual.
e. B4 (Bladder)
Setelah stroke klien mungkin mengalami inkontinensia urine
sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan
kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mengendalikan kandung
kemih karena kerusakan kontrol motorik dan postural. Kadang
kontrol sfingter urine eksternal hilang atau berkurang. Selama
periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.
Inkontinensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
f. B5 (Bowel)
Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan
menurun, mual muntah pada fase akut. Mual sampai muntah
disebabkan oleh peningkatan produksi asam lambung sehingga
menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya
inkontinensia alvi yang berlanjut menunjukkan kerusakan
neurologis luas.
g. B6 (Bone)
Stroke adalah penyakit UMN dan mengakibatkan kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau
paralise/hemiplegi, serta mudah lelah menyebabkan masalah
pada pola aktivitas dan istirahat.

8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Angiografi serebral
Membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik
seperti perdarhan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk
mencari sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi
vaskular.
b. Lumbal pungsi
Tekanan yang meningkat dan disertai bercak darah pada cairan
lumbal menunjukkan adanya hemoragi pada subaraknoid atau
perdarahan pada intrakranial.
c. CT scan
Pemindaian ini memperlihatkan secara spesifik letak edema,
posisi hematoma, adanya jaringan otak yang infark atau iskemia,
dan posisinya secara pasti. Hasil pemeriksaan biasanya
didapatkan hiperdens fokal, kadang pemadatan terlihat di ventrikel
atau menyebar ke permukaan otak.
d. MRI
MRI (Magnetic Imaging Resonance) menggunakan gelombang
magnetik untuk menentukan posisi dan besar/luas terjadinya
perdarahan otak. Hasil pemeriksaan biasanya didapatkan area
yang mengalami lesi dan infark akibat dari hemoragik.
e. USG Doppler
Untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah
sistem karotis).
f. EEG
Pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan
dampak dari jaringanyang infark sehingga menurunnya impuls
listrik dalam jaringan otak.
9. Pemeriksaan laboratorium
a. Lumbal pungsi : pemeriksaan likuor merah biasanya dijumpai
pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil
biasanya warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-
hari pertama.
b. Pemeriksaan darah rutin.
c. Pemeriksaan kimia darah : pada stroke akut dapat terjadi
hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg di dalam serum
dan kemudian berangsur-angsur turun kembali.
d. Pemeriksaan darh lengkap : untuk mencari kelainan pada darah
itu sendiri.
10. Diagnosis Keperawatan
Menurut Muttaqin tahun (2009) diagnosa keperawatan pasien stroke
non hemoragik adalah :
a. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan adanya
meningkatnya volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan
edema serebral.
b. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan
perdarahan intraserebral, oklusi otak, vasopasme dan edema
otak.
c. Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubungan dengan
akumulasi sekret, kemampuan batuk menurun, penurunan
mobilitas fisik sekunder, dan perubahan tingkat kesadaran.
d. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan
hemiparese/hemiplagia, kelemahan neuromuskular pada
ekstremitas.
e. Risiko tinggi terhadap terjadinya cedera yang berhubungan
dengan penurunan luas lapang pandang, penurunan sensasi rasa
(panas, dingin).
f. Resiko gangguan intergritas kulit yang berhubungan dengan tirah
baring lama.
g. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan
neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan
kontrol otot/koordinasi ditandai oleh kelemahan untuk ADL, seperti
makan, mandi, mengatur suhu air, melipat atau memakai pakaian.
h. Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan efek dari
kerusakan pada area bicara di hemisfer otak, kehilangan kontrol
tonus otot fasial atau oral, dan kelemahan secara umum.
i. Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan yang
berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan.
j. Gangguan persepsi sensori yang berhubungan dengan penurunan
sensori, penurunan penglihatan.
k. Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) yang berhubungan dengan
imobilisasi, asupan cairan yang tidak adekuat.
l. Gangguan eliminasi urine (inkontinensia urine) yang berhubungan
dengan lesi pada UMN.
m. Risiko penurunan pelaksanaan ibadah spiritual yang berhubungan
dengan kelemahan neuromuskular pada ekstremitas.
n. Perubahan proses keluarga yang berhubungan dengan
perubahan status sosial, ekonomi, dan harapan hidup.
o. Kecemasan klien dan keluarga yang berhubungan dengan
prognosis penyakit yang tidak menentu.
11. Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan yang diberikan menurut Muttaqin tahun
(2008)meliputi :
a. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan adanya
meningkatnya volume intrakranial, penekanan jaringan otak, dan
edema serebral.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan maka tidak
terjadi peningkatan TIK pada klien.
Kriteria Hasil :
1) Klien tidak gelisah
2) Klien tidak mengeluh nyeri kepala
3) Mual-mual dan muntah
4) GCS : 4, 5, 6
5) Tidak terdapat papiledema
6) TTV dalam batas normal
Intervensi :
1) Monitor tanda-tanda vital tiap 4 jam
Rasional : suatu keadaan normal bila sirkulasi serebral
terpelihara dengan baik atau fluktuasi ditandai dengan tekanan
darah sistemik, penurunan dara outoregulator kebanyakan
merupakan tanda penurun difusi lokal vaskularisasi darah
serebral. Dengan peningkatan tekanan darah (diatolik) maka
dibarengi dengan peningkatan tekanan darah intrakranial.
Adanya peningkatan tensi, bradikardia, distrimia, dispnea
merupakan tanda terjadinya peningkatan TIK.
2) Pertahankan kepala/leher pada posisi yang netral, usahakan
dengan sedikit bantal. Hindari penggunaan bantal yang tinggi
pada kepala.
Rasional : perubahan kepala pada satu sisi dapat
menimbulkan penekanan pada vena jugularis dan
menghambat aliran darah otak (menghambat drainase pada
vena serebral), untuk itu dapat meningkatkan tekanan
intrakranial.
3) Observasi tingkat kesadaran dengan GCS.
Rasional : perubahan kesadaran menunjukkan peningkatan
TIK dan berguna menentukan lokasi dan perkembangan
penyakit.
4) Kolaborasi pemberian O2 sesuai indikasi.
Rasional : mengurangi hipoksemia, dimana dapat
meningkatkan vasodilatasi serebral dan volume darah serta
menaikkan TIK.
5) Berikan cairan intravena sesuai dengan yang diindikasikan
Rasional : pemberian cairan mungkin diinginkan untuk
mengurangi edema serebral, peningkatan minimum pada
pembuluh darah, tekanan darah, dan TIK.
6) Berikan obat diuretik osmotik, contohnya manitol, furosid.
Rasional : diuretik mungkin digunakan pada pase akut untuk
mengalirkan air dari brain cells, mengurangi edema serebral,
dan TIK.
b. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan
perdarahan intraserebral, oklusi otak, vasopasme dan edema
otak.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan maka perfusi
jaringan otak dapat tercapi secara optimal.
Kriteria hasil :
1) Klien tidak gelisah
2) Tidak ada keluhan nyeri kepala
3) Mual
4) Kejang
5) GCS : 4, 5, 6
6) Pupil isokor
7) Refleks cahaya (+)
8) TTV normal

Intervensi :

1) Monitor tanda-tanda status neurologis dengan GCS


Rasional : dapat mengurangi kerusakan otak lebih lanjut.
2) Monitor TTV dan hati-hati pada hiprtensi sistolik.
Rasional : pada keadaan normal autoregulasi
mempertahankan keadaan tekanan darah sistemik berubah
secara fluktasi. Kegagalan autoreguler akan menyebabkan
kerusakan vaskuler serebral yang dapat dimanifestasikan
dengan peningkatan sistolik dan diikuti oleh penurunan
tekanan diastolik. Sedangkan peningkatan suhu dapat
menggambarkan perjalanan infeksi.
3) Monitor input dan output.
Rasional : hipertensi dapat menyebabkan peningkatan IWL
dan meningkatkan risiko dehidrasi terutama pada pasien yang
tidak sadar, nausea yang menurunkan intake per oral.
4) Baringkan klien (bed rest) total dengan posisi tidur terlentang
tanpa bantal.
Rasional : perubahan pada tekanan intrakranial akan dapat
menyebabkan risiko untuk terjadinya herniasi ota.
5) Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan
berlebihan.
Rasional : batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan
intrakranial dan potensial terjadi perdarahan ulang.
6) Berikan cairan perinfus dengan perhatian ketat.
Rasional : meminimalkan fluktuasi pada beban vaskuler dan
tekanan intrakranial, retriksi cairan dan cairan dapat
menurunkan edema serebral.
7) Berikan terapi steroid.
Rasional : menurunkan permeabilitas kapiler.
8) Berikan terapi aminofel.
Rasional : menurunkan edema serebri.
9) Berikan terapi antibiotika.
Rasional : menurunkan metabolik sel/konsumsi dan kejang.
c. Bersihan jalan napas tidak efektif yang berhubungan dengan jalan
napas buatan pada trakea, peningkatan sekresi sekret, dan
ketidakmampuan batuk/batuk efektif sekunder akibat nyeri dan
keletihan.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan perawatan maka klien mampu
meningkatkan dan mempertahankan keefektifan jalan napas agar
tetap bersih dan mencegah aspirasi.
Kriteria hasil :
1) Bunyi napas terdengar bersih
2) Ronki tidak terdengar
3) Trackeal tube bebas sumbatan
4) Menunjukkan batuk yang efektif
5) Tidak ada lagi penumpukan sekret di saluran pernapasan
6) Frekuensi napas : 16-20 kali/menit

Intervensi :

1) Kaji keadaan jalan napas.


Rasional : obstruksi mungkin dapat disebabkan oleh
akumulasi sekret, sisa cairan mukus, perdarahan,
brokospasme, dan/atau posisi dari trakeostomi/selang
endotrakeal yang berubah.
2) Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada
kedua paru (bilateral).
Rasional : pergerakan dada yang simetris dengan suara napas
yang keluar dari paru-paru menandakan jalan napas tidak
terganggu. Saluran napas bagian bawah tersumbat dapat
terjadi pada pnemonia/atelaktasis akan menimbulkan
perubahan suara napas seperti ronki atau mengi.
3) Lakukan pengisapan lendir jika diperlukan, batasi durasi
pengisapan dengan 15 detik atau lebih. Gunakan kateter
pengisap yang sesuai, cairan fisiologis steril. Berikan oksigen
100% sebelum dilakukan pengisapan dengan ambubag
(hiperventilasi).
Rasional : pengisapan lendir tidak selama dilakukan terus-
menerus, dan durasinya pun dapat dikurangi untuk mencegah
bahaya hipoksia. Diameter kateter pengisap tidak boleh lebih
dari 50% diameter jalan napas untuk mencegah. Dengan
membuat hiperventilasi melalui pemberian oksigen 100%
dapat mencegah terjadinya atelaktasis dan megurangi
terjadinya hipoksia.
4) Atur/ubah secara teratur (tiap 2 jam)
Rasional : mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen
paru-paru, mengurangi risiko atelaktasis.
5) Biarkan minum hangat jika keadaan memungkinkan
Rasional : membantu pengenceran sekret, mempermudah
pengeluaran sekret.
6) Lakukan fisioterapi dada sesuai indikasi, seperti postural
drainage, perkusi/penepukan.
Rasional : mengatur ventilasi segmen paru-paru dan
pengeluaran sekret.
7) Kolaborasi pemberian obat-obat bronkodilator sesuai indikasi,
seperti aminophilin, meta-proterenol sulfat (alupent),
adoetharine hydrochloride (bronkosol).
Rasional : mengatur ventilasi dan melepaskan sekret karena
relaksasi otot/bronchospasme.
d. Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan
neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan
kontrol otot/koordinasi.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan maka terjadi
peningkatan perilaku dalam perawatan diri.
Kriteria hasil :
1) Klien dapat menunjukkan perubahan gaya hidup untuk
kebutuhan merawat diri.
2) Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai
dengan tingkat kemampuan.
3) Mengidentifikasi personal/masyarakat yang dapat membantu.

Intervensi :

1) Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam skala 0-4 untuk


melakukan ADL.
Rasional : membantu dalam mengantisipasi dan
merencanakan pertemuan kebutuhan individu.
2) Tempatkan perabotan ke dinding, jauhkan dari jalan.
Rasional : menjaga keamanan klien bergerak di sekitar tempat
tidur dan menurunkan risiko tertimpa perabotan.
3) Kaji kemampuan komunikasi untuk BAK. Kemampuan
menggunakan urinal, pispot. Antarkan ke kamar mandi bila
kondisi memungkinkan.
Rasional : ketidakmampuan berkomunikasi dengan perawat
dapat menimbulkan masalah pengosongan kandung kemih
oleh karena masalah neurogenik.
4) Identifikasi kebiasaan BAB. Anjurkan minum dan
meningkatkan aktivitas.
Rasional : meningkatkan latihan dan membantu mencegah
konstipasi.
5) Kolaborasi dengan dokter terapi okupasi.
Rasional : untuk mengembangkan terapi dan melengkapi
kebutuhan khusus.
e. Gangguan komunikasi verbal atu tulis yang berhubungan dengan
gangguan sirkulasi serebral, gangguan neuromuskular, kehilangan
kontrol tonus otot fasial atau oral dan kelemahan secara umum.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan maka klien dapat
menunjukkan pengertian terhadap masalah komunikasi, maupun
mengekspresikan perasaannya, maupun mengunakan bahasa
isyarat.
Kriteria hasil :
1) Terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien dapat
dipenuhi
2) Klien mampu merespons setiap berkomunikasi secara verbal
maupun isyarat.

Intervensi :

1) Kaji tipe disfungsi, misalnya klien tidak mengerti tentang kata-


kata atau masalah berbicara atau tidak mengerti bahasa
sendiri.
Rasional : membantu menentukan kerusakan area pada otak
dan menentukan kesulitan klien dengan sebagian atau seluruh
proses komunikasi, klien mungkin mempunyai masalah dalam
mengartikan kata-kata.
2) Beri peringatan bahwa klien di ruang ini mengalami gangguan
berbicara, sediakan bel khusus bila perlu.
Rasional : untuk kenyamanan berhubungan dengan
ketidakmampuan berkomunikasi.
3) Antisipasi dan bantu kebutuhan klien.
Rasional : membantu menurunkan frustasi karena
ketergantungan atau ketidakmampuan berkomunikasi.
4) Kolaborasi dengan ahli ke ahli terapi bicara.
Rasional : mengkaji kemampuan verbal individual dan sensori
motorik dan fungsi kognitif untuk mengidentifikasi defisit dan
kebutuhan terapi.
f. Risiko gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan tirah
baring lama.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu
mempertahankan keutuhan kulit.
Kriteria hasil :
1) Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka
2) Mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka
3) Tidak ada tanda kemerahan atau luka

Intervensi :

1) Anjurkan untuk melakukan latihan ROM dan mobilisasi bila


mungkin.
Rasional : meningkatkan aliran darah ke semua daerah.
2) Ubah posisi tiap 2 jam.
Rasional : menghindari tekanan dan meningkatkan aliran
darah.
3) Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah
daerah-daerah yang menonjol.
Rasional : menghindari tekanan yang berlebih pada daerah
yang menonjol.
4) Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area
sekitar terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap
mengubah posisi.
Rasional : hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan
jaringan.
5) Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma,
panas terhadap kulit.
Rasional : mempertahankan keutuhan kulit.
12. Implementasi Keperawatan
Melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan rencana
keperawatan yang sudah dibuat.
13. Evaluasi
Langkah terakhir dalam proses keperawatan, yaitu untuk menilai
tujuan dalam rencana keperawatan tercapai atau tidak.

Vous aimerez peut-être aussi