Jawab: positivisme secara etimologi berasal dari kata positif, yang dalam bahasa filsafat bermakna sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi yang dialami sebagai suatu realita. Sedangkan dalam ilmu filsafat positivisme adalah ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. Pemikiran Agus Comte pada abad k3 19 menyatakan positivisme adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan sains. 2. Apa implikasi positivisme pada kerja sejarawan? Jawab: positifisme yang memiliki arti berbikir secara ilmiah berkomponen bahasa teoritis, bahasa observasional, dan kaidah-kaidah korespondensi memiliki implikasi terhadap cara kerja sejarawan. Dalam hal ini sejarawan akan menformulasikan dirinya sebagai sebuah pendekatan, dimana pendekatan tersebut akan dikerjar dan dikuasai oleh para sejarawan. Adapun hal tersebut adalah: a. Filsafat positivisme mempertegas bahwa dalam persoalan sumber data dan tujuan ilmu sejarah dengan agama tidak ada pertemtangan b. Menambah akan ilmu pengetahuan yang berpengaruh pada bertambahnya ilmu cakrawala pengetahuan dan cara pandang yang luas. Hal tersebut bertujuan untuk memecahkan masalah sejarawan secara bijaksana. c. Pola pikiryang sebelumnya bergantung pada dewadiubah menjadi pola pokir yang lebih kedepan dan rasional. d. Disiplin ilmu yang berusaha melihat apa yang dikatakatan dengan apa yang dilihat, sebagai upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan sistematik lengkap tentang seluruh kehidupan dan juga sejarah. 3. Apa kaum positivist percaya bahwa tidak ada dokumen tidak ada sejarah? Jawab: Kaum positivist melihat bahwa sejarah merupakan peritiswa yang disusun oleh manusia pada masa lampau, dimana hal terbukti atas adanya dokumen. Sejarah tidak akan terpercaya jika tidak ada dokumen. Oleh karena itu sejarah ada karena adanya tulisan atau dokumen, dokumenlah yang menjadikan sejarah sebagai kejadian atau (actually event). Kajian metodologi dan teori merupakan hal yang wajib digunakan dalam menulis sejarah. Setiap teori yang digunakan oleh seseorang akan memformulasikan dirinya menjadi sebuah pendekatan. Pendekatan tersebutlah yang harus dikejar oleh sejarawan. Keterkaitan filsafat positivisme dengan sejarah adalah untuk mempertegas dalam urusan sumber sejarah. Dari hal tersebutlah kaum positivist percaya bahwa dokumen merupakan hal yang menarasikan sejarah. 4. Bagaimana kaum positivist menarasikan suatu peristiwa? Dalam menarasikan suatu peristiwa kaum positivist melalui 3 tahapan. Adapun tiga tahapan tersebut sebagai berikut: a. Pertama tahap teologi, tahap ini masyarakat percaya akan supranatural dan agama diatas segala-galanya. Menurut Comte umat manusia mencari sebab-sebab terakhir di belakang peristiwa-peritiwa alam dan menemukannya didalam kekuatan adimanusiawi. b. Tahap metafisik, pada tahap ini merupakan tingkatan metafisika yang hendak menerangkan segala sesuatu melalui abstrak. Dalam tahap ini manusia meyakini bahwa kekuatan abstrak dan buka personifikasi. Tuhan adalah sumber kekuasaan fisik maupun sosial. Dengan kata lain ketika menjelaskan sebagai peristiwa dan fenomena alam, manusia mencoba melakukan abstraksi dengan akal dan budinya. Sehingga diperoleh pengertian metafisis yang menjelaskan tentang prinsip-prinsip realitas dan fenomena peristiwa akan dicari alam tersebut. c. Tahap positif, tahap ini merupakan memperhatikan yang sungguh-sungguh serta sebab yang sudah ditentukan. Pada tahap ini manusia tidak lagi berpengetahuan abstrak, artinya pengetahuan manusia tersebut pasti, jelas dan bermanfaat. Pada tahap ini manusia menyakini bahawa ilmu pengetahuan didapati oleh hasil observasi untuk menemukan keteraturan pada dunia fisik dan sosial. Pada tahap ini juga gejala alam dirangkai atas akal budi bedasarkan hukumnya dan dapat diujidan dapat dibuktikan atas dasar metode empirik. 5. Apa kritik kaum non-positivist terhadap positivisme? Jawab: kritik yang dilontarkan kaum non-positivist terhadap positivisme salah satunya datang dari R Popper. Dia mengkritik positivisme dalam pokok teorinya. Teori tersebut berbunyi bahwa sauatu teori harus diuji dengan fakta-fakta yang menunjukkan kebenaran. Selain dalam teorinya P Popper juga mengkritiknya dengan menyajikan ilmu pengetahuan baru yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generaslisasi pengalaman atau fakta nyata dengan ilmu pasti dan logika. R Popper mengkritik positivisme tentang metode induksi, menurutnya induksi hanyalah khayalan belaka, dan mustahil untuk dapat pengetahuan melalui induksi. Tujuam ilmu pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar untuk mencapai tujuan tersebut diperlukannya logikam, namun jenis logika yang dipakai oleh teri positivisme adalah induksi yang disarankan tidak tepat, karena jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan suatu pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, hal ini disebabkan karena kelemahan yang bisa terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan. Rujukan Hardiman, F. B. 2003. Melampaui Positivisme dan Modernitas. Yogyakarta: Kanisisus. Soemargono, S. 1987. Filsafat abad Ke 20. Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya