Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
Oleh:
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2014
ANALISIS PERAN IAEA DALAM MENANGGAPI KRISIS NUKLIR
DI KOREA UTARA
A. LATAR BELAKANG
Pada tahun 2012 isu nuklir Korea Utara mulai muncul kembali seiring
kabar adanya uji coba rudal Korea Utara. Kecaman demi kecaman
diberikan kepada Korea Utara namun Korea Utara sendiri tidak
menanggapi kecaman tersebut dan melanjutkan upaya peningkatan
senjata nuklirnya. Jika melihat sebelum munculnya kembali isu nuklir
Korea Utara, IAEA (International Atomic Energy Agency) sudah mulai
menanggapi isu nuklir Korea sejak tahun 1985 2. Namun kesepakatan-
kesepakatan tentang nuklir antara Korea Utara dan IAEA sering
mengalami kegagalan karena selalu adanya indikasi pelanggaran yang
dilakukan oleh Korea Utara.
Membahas isu nuklir Korea Utara ini sangat menarik karena melihat
situasi kemanan kawasan Korea sendiri yang sangat rapuh. Korea Utara
2 Amelia Yuli Pratiwi, Peran IAEA dalam Menyikapi Tindakan Korea Utara dalam
Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Tidak Damai (dilihat dengan
pendekatan Hukum Internasional), Jurnal Ilmiah Mahasiswa Unversitas
Surabaya, Volume II, 2 (2013) , hal.5
berada di semenanjung Korea yang dinilai sebagai semenanjung yang
sangat strategis karena menghubungakan antara negara-negara besar
seperti Rusia dan China dengan Jepang. Korea Utara sendiri yang memiliki
perbatasan China di sebelah barat dan Rusia di sebelah barat laut,
sedangkan Korea Selatan di sebelah Selatan membuat isu kepemilikan
nuklir Korea Utara sangat mengancam stabilitas keamanan bukan hanya
bagi Korea Selatan sendiri tetapi juga Rusia dan China.
B. RUMUSAN MASALAH
C. PEMBAHASAN
1. Konsep Power Organisasi Internasional
2. Institutional Approach
3. Rezim Approach
Barkins menyebutkan bahwa melalui analisis rezim, hal pentingnya adalah akibat yang
ditimbulkan organisasi internasional terhadap aktor-aktor lain, terutama negara sebagai
sumber utama dari outcomes dalam politik internasional. Akibat yang ditimbulkan itu berasal
dari berbagai prinsip, norma, aturan, dan prosedur pembuatan keputusan yang juga merupaka
pilar-pilar rezim internasional. Akibat-akibat tersebut kurang lebih akan membentuk perilaku
suatu organisasi yang dipengaruhinya.5
Sekretariat IAEA terdiri dari 2100 ahli multi-disiplin dan staf dari 90
negara. Organisasi ini dipimpin oleh Direktur Jenderal dan enam Deputy
Direktur jenderal yang membawahi departemen. Badan pengambil
keputusannya adalah Dewan Gubernur (Board of Governors) yang terdiri
dari 35 orang dan General Converance dari seluruh anggota IAEA. Struktur
5 Ibid. Hal.36
7 Ibid.
2. Treaty on The Non-Profileration of Nuclear Weapons (NPT),
merupakan perjanjian internasional yang mengatur mengenai
larangan penyebaran senjata nuklir. Perjanjian ini memiliki tiga
prinsip utama, yaitu : nonproliferasi, pelucutan dan hak untuk
mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai.
3. Safeguards adalah sebuah sistem yang berisi pengaturan lebih luas
mengenai tindakan teknis dimana sekretariat IAEA memverifikasi
kelengkapan dan kebenaran dari pengumuman yang dibuat oleh
negara yang mengenai materi dan aktivitas nuklir8.
Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa IAEA dibentuk atas kesadaran
negara atas keunikan fungsional yang dimiliki oleh teknologi nuklir.
Pendekatan institusionalis dapat menanggapi adanya eksistensi organisasi
IAEA ini dengan melihat adanya kesadaran negara-negara untuk
membentuk badan internasional ini dibawah kesepakatan bersama di
Wina, Austria. Pembentukan IAEA juga didukung dengan pembentukan
aturan-aturan dan tujuan yang nantinya memerankan fungsi organisasi
IAEA ini.
8 Amelia Yuli Pratiwi, Peran IAEA dalam Menyikapi Tindakan Korea Utara dalam
Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Tidak Damai (dilihat dengan
pendekatan Hukum Internasional), Jurnal Ilmiah Mahasiswa Unversitas
Surabaya, Volume II, 2 (2013) , hal. 8
penggunaan nuklir secara damai. Untuk itu diharapkan negara-negara
pengguna tenaga nuklir bersedia menyerahkan uranium mereka ke IAEA
yang kemudian akan digunakan untuk keperluan pertanian, kedokteran
dan energi listrik dan penggunaan damai lainnya9.
Adanya perjanjian IAEA dengan Korea Utara dimulai pada tahuni 1985,
dimana Korea Utara menandatangani kesepakatan bersama untuk tidak
melakukan penyebaran pengembangan nuklir. Perjanjian tersebut adalah
NPT (Nuclear Non-proliferation Treaty). Lalu setelah itu, muncul tuduhan
yang dilontarkan Amerika Serikat terhadap Pyongyag bahwa mereka telah
mengembangkan dan membangun reaktor nuklir tanpa diketahui oleh
pihak IAEA. Kemudian pada tahun 1992 dugaan yang dilontarkan Amerika
Serikat mulai teridentifikasi kebenarannya dan Korea Utara sepakat untuk
menepati perjanijan NPT tersebut.
Penarikan diri Korea Utara dari perjanjian NPT dilakukan pada tahun 1994
dan mulai saat itu Korea Utara mulai menolak adanya penyelidikan yang
dilakukan IAEA di Korea Utara. Pasca penarikan diri Korea Utara, hampir
sepanjang tahun dilakukan negosiasi namun selalu gagal menemukan titik
9 Ibid. Hal. 5
11 Ibid.
menghentikan supply bantuan minyak dan menghentikan proyek air
ringannya di Korea Utara. Dari pihak Korea Utara sendiri mengatakan alibi
mereka bahwa Amerika Serikat gagal dalam membangun reaktor air
ringan hingga tahun 2003 seperti apa yang telah dijanjikan, hal itu
mengakibatkan kerugian tenaga listrik 2 juta kiloWatt setiap tahun kepada
pihak Korea Utara, maka pelanggar kesepakatan itu adalah pihak AS.
Perkembangan seperti itu mengakibatkan krisis nuklir Korea Utara putaran
kedua.
Peran IAEA dalam menanggapi krisis nuklir Korea Utara terlihat tidak
begitu dominan dan kuat. Hal ini bisa dilihat dengan begitu mudahnya
Korea Utara membatalkan dan mengundurkan diri dari perjanjian NPT.
Selain itu, keefektifan NPT sendiri yang dinilai sebagai power rezim oleh
IAEA tidak mampu mempengaruhi perilaku Korea Utara yang tetap
meneruskan upaya pengembangan senjatan nuklirnya. Terlebih lagi, bukti
power IAEA yang kurang dapat dilihat dengan adanya upaya Amerika
Serikat yang berusaha menyelesaikan permasalahan krisis ini dengan
melakuakn pertemuan bilateral dengan Korea Utara memperlihatkan tak
adanya daya IAEA untuk bernegosiasi dengan Korea Utara. Gagalnya
kesepakatan Jenewa juga menujukkan bahwa power yang dimiliki oleh
IAEA hanya terpaku pada power legitimasi atau power dari kesepakatan
bersama, tidak ada sanksi khusus yang dapat diberikan oleh IAEA
terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Korea Utara. Hal ini juga
ditunjukkan dengan hadirnya perundingan segi-6 untuk membahas krisis
ini setelah gagalnya kesepakatan IAEA kedua di Jenewa.
D. KESIMPULAN
IAEA adalah sub organisasi yang berada dibawah naungan PBB dan
terfokus pada pengembangan teknologi nuklir untuk kemakmuran
manusia. Layaknya organisasi internasional lainnya, IAEA memiliki
beberpa fungsi yang spesifik di bidangnya. Namun melihat bagaimana
peran IAEA dalam krisis nuklir Korea Utara dapat disimpulkan bahwa
setiap organisasi internasional memiliki sumber power yang berbeda,
seperti hal nya IAEA yang memiliki kewenangan berdasarkan
kesepakatan negara-negara anggota tetap tidak dapat mengatur
perilaku suatu negara. Bagaimana peran dan power organisasi
internasional itu sendiri juga tergantung dari seperti apakah aktor yang
ada di dalam penanganan sebuah isu terkait. Akan beda power IAEA
jika kita melihat bagaimana perannya dalam merespon isu nuklir Korea
Utara dengan isu nuklir Iran ataupun Israel misalnya. Halnya
tergantung bagaimana pula aktor lainnya menanggapi isu tersebut.
Sepeti hal nya Korea Utara yang menanggapi peran IAEA secara anarki,
karena Korea Utara sendiri hanya memiliki nuklir sebagai alat
pertahanan hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA