Vous êtes sur la page 1sur 17

TUGAS UJIAN TENGAH SEMESTER

MATA KULIAH ORGANISASI DAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL

Dosen Pengampu Mata Kuliah : ACHMAD FATHONI KURNIAWAN, S.IP.,


MA.

ANALISIS PERAN IAEA DALAM MENANGGAPI KRISIS


NUKLIR DI KOREA UTARA

Oleh:

HAFSAH HARIES ALIANSYAH (135120400111003)

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2014
ANALISIS PERAN IAEA DALAM MENANGGAPI KRISIS NUKLIR

DI KOREA UTARA

A. LATAR BELAKANG

Isu nuklir adalah isu yang sangat seksi dikalangan pengamat


hubungan internasional dimulai pada masa pasca Perang Dunia dan pada
era Perang Dingin bahkan hingga saat ini. Sejarah kelam perang dunia
membuat masyarakat dunia tidak ingin mengulangi masa-masa pahit
tersebut. Namun di sisi lain perang dunia membawa dampak pada
perkembangan teknologi khususnya teknologi senjata perang.

Penemuan nuklir adalah bentuk kemajuan keilmuaan pada masa


perang dunia yang kemudian dapat dikembangkan sebagai senjata
perang yang sangat mematikan. Senjata nuklir sendiri adalah senjata
pemusnah masal yang mendapat tenaga dari reaksi nuklir dan
mempunyai daya pemusnah yang dahsyat. Sebuah bom nuklir mampu
memusnahkan sebuah kota. Senjata nuklir telah digunakan hanya dua kali
dalam pertempuruan semasa Perang Dunia II oleh AS terhadap kota-kota
di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki. Pada masa itu daya ledak bom
nuklir yg dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki sebesar 20 kilo (ribuan)
ton TNT. Sedangkan bom nuklir sekarang ini berdaya ledak lebih dari
70 mega(jutaan) ton TNT.1

Pada era Perang Dingin terdapat beberapa perang yang begitu


menegangkan terjadi di kawasan Asia, yakni perang Vietnam dan Korea.
Perang Korea sendiri merupakan perang yang terjadi di kawasan Peninsula
(Semenanjung Korea) yang begitu memperlihatkan bagaimana dua
ideologi yang berbeda saling beradu untuk membuktikan menjadi ideologi
yang tepat digunakan dalam sistem pemerintahan negara yang baru saja
merdeka seperti hal nya Korea pada masa itu. Perang Korea akhirnya
1 Wikipedia. 2014. Senjata Nuklir. (Online). Available at:
http://id.wikipedia.org/wiki/Senjata_nuklir. diakses pada 11 November 2014
menjadikan negeri gingseng ini benar-benar terbagi menjadi dua bagian,
yakni Korea Utara dan Korea Selatan. Adanya pembagian Korea menjadi
dua entitas negara yang berbeda tidak berarti bahwa keamanan di
kawasan Peninsula sudah stabil. Kemungkinan-kemungkinan pecahnya
perang Korea selalu mengancam setiap saat hingga saat ini, terlebih
melihat perilaku Korea Utara yang seakan selalu mengancam stabilitas
keamanan semenanjung korea.

Republik Demokratik Rakyat Korea atau sering disebut Korea Utara


adalah negara yang sejak dideklarasikan pada tangal 9 september 1948
(sebelum meletusnya perang Korea) ini tidak pernah berhenti menjadi
pembicaraan internasional. Sejak berakhirnya perang Korea pada tahun
1953 bukan berarti bahwa keamanan kawasan semenanjung korea telah
aman. Hubungan Korea Utara dan Korea Selatan sering memanas
meskipun beberapa kali telah diadakan perjanjian genjatan senjata oleh
kedua Korea. Ketegangan semakin berlanjut ketika adanya dugaan upaya
Korea Utara untuk mengembangkan reaktor nuklir.

Pada tahun 2012 isu nuklir Korea Utara mulai muncul kembali seiring
kabar adanya uji coba rudal Korea Utara. Kecaman demi kecaman
diberikan kepada Korea Utara namun Korea Utara sendiri tidak
menanggapi kecaman tersebut dan melanjutkan upaya peningkatan
senjata nuklirnya. Jika melihat sebelum munculnya kembali isu nuklir
Korea Utara, IAEA (International Atomic Energy Agency) sudah mulai
menanggapi isu nuklir Korea sejak tahun 1985 2. Namun kesepakatan-
kesepakatan tentang nuklir antara Korea Utara dan IAEA sering
mengalami kegagalan karena selalu adanya indikasi pelanggaran yang
dilakukan oleh Korea Utara.

Membahas isu nuklir Korea Utara ini sangat menarik karena melihat
situasi kemanan kawasan Korea sendiri yang sangat rapuh. Korea Utara

2 Amelia Yuli Pratiwi, Peran IAEA dalam Menyikapi Tindakan Korea Utara dalam
Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Tidak Damai (dilihat dengan
pendekatan Hukum Internasional), Jurnal Ilmiah Mahasiswa Unversitas
Surabaya, Volume II, 2 (2013) , hal.5
berada di semenanjung Korea yang dinilai sebagai semenanjung yang
sangat strategis karena menghubungakan antara negara-negara besar
seperti Rusia dan China dengan Jepang. Korea Utara sendiri yang memiliki
perbatasan China di sebelah barat dan Rusia di sebelah barat laut,
sedangkan Korea Selatan di sebelah Selatan membuat isu kepemilikan
nuklir Korea Utara sangat mengancam stabilitas keamanan bukan hanya
bagi Korea Selatan sendiri tetapi juga Rusia dan China.

B. RUMUSAN MASALAH

Beberapa permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah:

1. Apa itu IAEA?


2. Bagaimana peran IAEA dalam menanggapi krisis nuklir di Korea
Utara?
3. Bagaimana sikap Korut dalam menanggapi intervensi IAEA
mengenai nuklir di Korea Utara?

C. PEMBAHASAN
1. Konsep Power Organisasi Internasional

Menurut J. Samuel Barkin, beberapa organisasi internasional memiliki


power mengawasi dan power hukum. Organisasi internasional berhak
menggunakan makna independen organisasi untuk mengawasi apakah
sebuah negara mematuhi peraturan internasional atau melanggarnya.
Sedangkan sumber power independen Organisasi Internasional sendiri
berasal dari adanya otoritas moral dan informasi. 3Otoritas moral adalah
power Organisasi Internasional untuk berbicara secara hukum sebagai
suara internasional yang resmi dengan tanggung jawab terhadap suatu
isu yang sedang menjadi perhatian bagi orang-orang dan negara di dunia.
Otoritas moral ini setidaknya dapat memberikan rasa malu terhadap suatu
negara yang melanggar suatu kesepakatan karena menghadirkan rasa
tanggungjawab bagi negara. Sedangkan yang dimaksud sumber power
informasi adalah adanya keterlibatan aktor lainnya seperti epsitemic
3 J. Samuel Barkin, International Organization : Theories and Institutions (New
York:PALGRAVE MACMILLAN, hal. 23
community di mana kelompok ini nantinya akan mempengaruhi negara
dalam mengambil keputusan.

2. Institutional Approach

Pendekatan institusionalis adalah pendekatan yang digunakan untuk


menganilisis sebuah organisasi internasional dengan melihat bagaimana
struktur formal, hirarki organisasi dan birokrasi organisasi tersebut.
Pendekatan institusional melihat apa yang terjadi di dalamnya seperti
dalam sebuah kotak hitam yang tidak bisa hanya dilihat dari luar saja.
Piagam organisasi (organizations charter) mutlak dibutuhkan jika melihat
organisasi internasional melalui analisis internasional. Piagam itu akan
menjadi dasar tentang kapan dan mengapa organisasi dijalankan serta
siapa saja yang bisa menjadi anggotanya. Selain itu juga diatur mengenai
bagaimana struktur birokrasi, kekuatan, pembiayaan, proses keluar-masuk
anggota, dan mekanisme berakhirnya organisasi internasional4.

Dengan memandang segala organisasi internasional melalui analisis


instituisoinal yang rapi, terkadang justru menjadi pembatas. Apapun yang
terjadi dalam organisasi internasional bisa diketahui melalui analisis ini.
Namun, apa yang setelah itu terjadi sebagai akibatnya terhadap aktor-
aktor internasional yang ada tidak dikategorikan untuk dikaji sehingga
terkesan ada ruang yang kosong setelah itu.

3. Rezim Approach

Barkins menyebutkan bahwa melalui analisis rezim, hal pentingnya adalah akibat yang
ditimbulkan organisasi internasional terhadap aktor-aktor lain, terutama negara sebagai
sumber utama dari outcomes dalam politik internasional. Akibat yang ditimbulkan itu berasal
dari berbagai prinsip, norma, aturan, dan prosedur pembuatan keputusan yang juga merupaka
pilar-pilar rezim internasional. Akibat-akibat tersebut kurang lebih akan membentuk perilaku
suatu organisasi yang dipengaruhinya.5

4 Ibid. Hal. 28-29


Di dalam pendekatan rezim pun masih terspesifikasi dua pandangan yaitu melalui
rasionalis dan reflektivis. Rasionalis menggambarkan rezim yang umumnya fokus pada
aturan dan prosedur, juga cara menjadikan rezim seefisien mungkin dalam memecahkan
masalah. Sementara, reflektivis memfokuskan rezim pada prinsip dan norma. Pendekatan
terakhir ini mengutamakan akibat dari organisasi internasional terhadap cara pikir dan
perilaku aktor-aktor internasional.
Analisis rezim dalam mempelajari organisasi internasional ini mendominasi studi
Hubungan Internasional di era 1980-an dan 1990-an sampai sekarang. Eksistensi analisis ini
disebabkan kompleksitas materi pembentuknya. Mulai dari prinsip yang sangat umum hingga
prosedur pembuatan keputusan yang sangat khusus, juga dari aturan yang sangat ekslpisit
hingga norma yang sangat implisit.

4. International Atomic Energy Agency

IAEA adalah bagian dari organisasi bawahan PBB yang selalu


memberikan laporan secara berkala di United Nations General-Assembly
(Majelis Umum PBB) dan United Nations Security Council (Dewan
Keamanan PBB). Tujuan dari IAEA ini adalah untuk memperluas kostribusi
sosial energi atom untuk tujuan damai. Pembentukan IAEA diusulkan oleh
Presiden AS Dwight Eisenhower pada tahun 1953 dan disahkan pada 25
Juli 1957, markas IAEA berada di Wina, Austria.6 144 negara anggota IAEA
sepakat untuk menciptakan keamanan untuk memastikan tidak ada
pengguanaan material lain dalam penggunaan militer. Materi lain tersebut
adalah uranium.

Sekretariat IAEA terdiri dari 2100 ahli multi-disiplin dan staf dari 90
negara. Organisasi ini dipimpin oleh Direktur Jenderal dan enam Deputy
Direktur jenderal yang membawahi departemen. Badan pengambil
keputusannya adalah Dewan Gubernur (Board of Governors) yang terdiri
dari 35 orang dan General Converance dari seluruh anggota IAEA. Struktur

5 Ibid. Hal.36

6 Michael G. Schechter, Historical Dictionary of Internasional Organizations.


(Maryland: Scarecrow Press, hal. 110)
organisasi IAEA di PBB, merupakan Specialized Agency dari PBB, namun
IAEA tidak berada dibwah pengawasan secara langsung oleh PBB7.

Pembentukan IAEA ini adalah bentuk respon terhadap kekhawatiran


dan harapan yang tinggi terhadap penemuan energi nuklir. Hal ini
berkaitan dengan peran dan fungsi nuklir yang dinilai sangat kontroversial
karena dapat menjadi senjata pemusnah massal yang sangat mematikan
namun juga dapat menjadi piranti yang bermanfaat bagi kemakmuran
manusia. Berdasarkan pendekatan institusionalis, adanya struktur dan
tujuan dalam suatu organisasi internasional akan menunjukkan fungsi dari
organisasi itu sendiri. Seperti hal nya IAEA yang dibentuk berdasarkan tiga
pilar : Keselamatan dan Keamanan (Safety and Security), Ilmu dan
Teknologi (Science and Technology), dan Pengamanan dan Verifikasi
(Safeguards adn Verification). Sedangkan dalam mencapai tiga pilar
tersebut, IAEA memiliki tiga misi atau fungsi pokokk:

1. Pemeriksaan (inspection) fasilitas energi nuklir negara anggota yang


secara nyatadigunakan untuk tujuan damai.
2. Menetapkan ketentuan dan standar-standar tertentu untuk
menjamin fasilitas energi nuklir seluruh negara anggota dalam
keadaan stabil.
3. Berperan sebagai pusat jaringan bagi seluruh ilmuwan dalam
mencari dan menerapkan teknologi nuklir untuk tujuan damai.

Misi IAEA berpedoman pada kepentingan dan kebutuhan negara-


negara anggota, rencana strategis dan visi yang terkandung dalam IAEA.
Pembangunan teknologi nuklir yang diperbolehkan dalam hukum
internasional adalah pengembangan teknologi nuklir yang memperhatikan
aspek-aspek berikut :

1. Peran IAEA sebagai organisasi internasional yang mengawasi


pengembangan teknologi nuklir agar tetap dikembangkan untuk
tujuan damai dan tidak dibeolkkan kearah pengembangan senjata
nuklir.

7 Ibid.
2. Treaty on The Non-Profileration of Nuclear Weapons (NPT),
merupakan perjanjian internasional yang mengatur mengenai
larangan penyebaran senjata nuklir. Perjanjian ini memiliki tiga
prinsip utama, yaitu : nonproliferasi, pelucutan dan hak untuk
mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai.
3. Safeguards adalah sebuah sistem yang berisi pengaturan lebih luas
mengenai tindakan teknis dimana sekretariat IAEA memverifikasi
kelengkapan dan kebenaran dari pengumuman yang dibuat oleh
negara yang mengenai materi dan aktivitas nuklir8.

Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa IAEA dibentuk atas kesadaran
negara atas keunikan fungsional yang dimiliki oleh teknologi nuklir.
Pendekatan institusionalis dapat menanggapi adanya eksistensi organisasi
IAEA ini dengan melihat adanya kesadaran negara-negara untuk
membentuk badan internasional ini dibawah kesepakatan bersama di
Wina, Austria. Pembentukan IAEA juga didukung dengan pembentukan
aturan-aturan dan tujuan yang nantinya memerankan fungsi organisasi
IAEA ini.

Namun dalam pendekatan rezim (rezim approach), dapat dilihat dari


adanya perjanjian Non-Proliferation Treaty yang harus disepakati oleh
anggota anggotanya. Dengan adanya NPT tadi, negara anggota harus
mentaati peraturan yang ditetapkan oleh IAEA sebagi standard dalam
pemanfaatan dan pengembangan teknologi nuklir yang berbasis atas
perdamaian. NPT ini lah yang dilihat lebih efektif untuk mengatur perilaku-
perilaku negara anggotanya.

5. Peran IAEA dalam Krisis Nuklir Korea Utara

Pembentukan IAEA ini diharapkan dapat mengawasi dan


mengembangkan penggunaan energi nuklir dengan menekankan pada
kerjasama internasional yang secara bersama-sama mengembangkan

8 Amelia Yuli Pratiwi, Peran IAEA dalam Menyikapi Tindakan Korea Utara dalam
Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan Tidak Damai (dilihat dengan
pendekatan Hukum Internasional), Jurnal Ilmiah Mahasiswa Unversitas
Surabaya, Volume II, 2 (2013) , hal. 8
penggunaan nuklir secara damai. Untuk itu diharapkan negara-negara
pengguna tenaga nuklir bersedia menyerahkan uranium mereka ke IAEA
yang kemudian akan digunakan untuk keperluan pertanian, kedokteran
dan energi listrik dan penggunaan damai lainnya9.

Adanya perjanjian IAEA dengan Korea Utara dimulai pada tahuni 1985,
dimana Korea Utara menandatangani kesepakatan bersama untuk tidak
melakukan penyebaran pengembangan nuklir. Perjanjian tersebut adalah
NPT (Nuclear Non-proliferation Treaty). Lalu setelah itu, muncul tuduhan
yang dilontarkan Amerika Serikat terhadap Pyongyag bahwa mereka telah
mengembangkan dan membangun reaktor nuklir tanpa diketahui oleh
pihak IAEA. Kemudian pada tahun 1992 dugaan yang dilontarkan Amerika
Serikat mulai teridentifikasi kebenarannya dan Korea Utara sepakat untuk
menepati perjanijan NPT tersebut.

Korea Utara menandatangani perjanjian dengan IAEA untuk


melaporkan keadaan program nuklirnya secara wajib dengan IAEA dimulai
pada Januari 1992. Sesuai dengan perjanjian itu, IAEA melakukan 6 kali
inspeksi di Korea Utara dan menemukan bukti jejak bahwa beberapa
kilogram plutonium yang bisa membuat senjata nuklir pernah diekstraksi,
berbeda jauh laporan Korea Utara yang mengatakan kepada IAEA bahwa
mereka hanya mengekstrasi 90 gram bahan nuklir dari fasilitas nuklirnya.
Dengan hasil inspeksi itu, pihak IAEA meminta pemeriksaan khusus, dan
Korea Utara menolaknya dan kemudian menarik diri dari NPT sebagai aksi
protes10.

Penarikan diri Korea Utara dari perjanjian NPT dilakukan pada tahun 1994
dan mulai saat itu Korea Utara mulai menolak adanya penyelidikan yang
dilakukan IAEA di Korea Utara. Pasca penarikan diri Korea Utara, hampir
sepanjang tahun dilakukan negosiasi namun selalu gagal menemukan titik

9 Ibid. Hal. 5

10 KBS. 2012. Isu Nuklir Korea Utara. (Online). Avaliable at:


http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/nkorea_nuclear/faq_01.htm#7. Diakses
pada 11 November 2014
temu. Hal ini yang menjadi kekhawatiran dunia karena krisis tersebut
hampir mendekati meletusnya kembali perang pada tahun 1994.
Ketegangan ini pun akhirnya dapat menemukan titik terang setelah
adanya kunjungan mantan presiden AS, Carter, yang mengadakan
pertemuan dengan pemimpin Korea Utara pada masa itu, yakni Kim Il-
Sung. Negosiasi antara Korea Utara dan Amerika Serikat akhirnya
menghasilkan kesepakatan Jenewa pada Oktober 1994. Kesepakatan
tersebut dinegosiasikan oleh duta besar AS urusan nuklir, Robert Gallucci
dan wakil menlu Korea Utara, Kang Suk-ju. Kedua belah pihak sepakat
dalam negosiasi itu bahwa Korea Utara menghentikan program nuklirnya
dan sebagai imbalannya akan menerima reaktor air ringan dan minyak
berat, hingga bisa mencapai konklusi tetang krisis nuklir Korea Utara
putaran pertama.

Pada perjanjian Jenewa tersebut, telah disepakati salah satunya


adalah denuklirisasi dan perdamaian di semenanjung Korea. Amerika
Serikat tidak akan menggunakan kekuatan nuklir atau mengancam Korea
Utara, dan Korea Utara harus melakukan tindakan yang sama untuk
mewujudkan denuklirisasi semenanjung Korea sesuai dengan deklarasi
bersama antara Korea Utara dan Korea Selatan. Selain itu, disepakati pula
kerjasama untuk memperkuat NPT, Korea Utara akan meneruskan
keanggotaanya dalam NPT. Selanjutnya Korea Utara harus bersiap
menghadapi inspeksi nuklir oleh IAEA segera setelah ditandatnganinya
perjanijan untuk menerima reaktor air ringan11.

Di tahun 2002, IAEA akhirnya mengetahui bahwa Korea Utara ternyata


memiliki pengembangan nuklir lebih dari 1 reaktor nuklir. Hal ini didukung
dengan adanya pengakuan Korea Utara sendiri, bahwa Pyongpyang
memiliki program pengayaan senjata nuklir dengan pemurnian unranium.
Sekali lagi Korea Utara membuat dunia internasional tercengang dengan
mengeluarkan diri lagi dari perjanjian NPT. Secara langsung persetujuan
Jenewa tidak berlaku lagi karena pelanggaran yang dilakukan Korea utara
tersebut. Hal ini membuat Amerika Serikat geram dan langsung

11 Ibid.
menghentikan supply bantuan minyak dan menghentikan proyek air
ringannya di Korea Utara. Dari pihak Korea Utara sendiri mengatakan alibi
mereka bahwa Amerika Serikat gagal dalam membangun reaktor air
ringan hingga tahun 2003 seperti apa yang telah dijanjikan, hal itu
mengakibatkan kerugian tenaga listrik 2 juta kiloWatt setiap tahun kepada
pihak Korea Utara, maka pelanggar kesepakatan itu adalah pihak AS.
Perkembangan seperti itu mengakibatkan krisis nuklir Korea Utara putaran
kedua.

Pembatalan perjanjian Jenewa akibat pelanggaran yang dilakukan


Korea Utara yang diperkuat pengakuan Korea Utara sendiri serta
keluarnya Korea Utara dari perjanjian NPT membuat pembahasan isu
nuklir kembali ke poin awal dan hal ini telah menjadi sorotan masyarakat
internasional. Pada masa ini lah krisis nuklir Korea Utara putaran kedua
dimulai. Krisis ini dimulai sejak keluarnya Korea Utara dalam perjanjian
NPT pada 10 Januari 2003.

Untuk menghentikan krisis nuklir Korea Utara yang lagi-lagi


mengancam stabilitas keamanan semenanjung Korea, maka diadakanlah
pertemuan segi-6 (Amerika Serikat, Korea Utara, Korea Selatan, China,
Rusia, dan Jepang). Pertemuan ini adalah kerangka negosiasi multilateral
sebagai pionir dalam menyelesaikan krisis nuklir orea Utara putaran
kedua ini. Korea Utara bersikokoh agar dilakukan pertemuan bilateral,
tetapi AS tidak bersedia untuk negosiasi langsung dengan Korea Utara,
karena tidak percaya kepada Korea Utara yang terus melanjutkan program
nuklir rahasia bahkan setelah mengumumkan persetujuan Jenewa. Oleh
karena itu, pembangunan kerangka pembahasan multilateral dirancang
sebagai sebuah alternatif. Walaupun ada faktor positif bagi AS, Korea
Utara dan 4 negara lain untuk bekerja sama untuk mengatasi masalah
kepercayaan Korea Utara, namun, pertemuan segi 6 dikritik sangat lemah
karena sulit memproduksi hasil konkrit melalui negosiasi secara intensif.
Pejabat tingkat asisten menteri setiap negara dilantik sebagai ketua juru
runding, sedangkan wakil juru runding (tingkat direktur) bekerja untuk
membahas rincian melalui pertemuan tingkat kerja. Hingga saat ini
pertemuan ini masih sering dilakukan meski terlihat tidak begitu efektif
dalam penyelesaian krisis nuklir Korea Utara ini karena sulit untuk
menemukan solusi yang tepat berdasarkan keputusan bersama.

Peran IAEA dalam menanggapi krisis nuklir Korea Utara terlihat tidak
begitu dominan dan kuat. Hal ini bisa dilihat dengan begitu mudahnya
Korea Utara membatalkan dan mengundurkan diri dari perjanjian NPT.
Selain itu, keefektifan NPT sendiri yang dinilai sebagai power rezim oleh
IAEA tidak mampu mempengaruhi perilaku Korea Utara yang tetap
meneruskan upaya pengembangan senjatan nuklirnya. Terlebih lagi, bukti
power IAEA yang kurang dapat dilihat dengan adanya upaya Amerika
Serikat yang berusaha menyelesaikan permasalahan krisis ini dengan
melakuakn pertemuan bilateral dengan Korea Utara memperlihatkan tak
adanya daya IAEA untuk bernegosiasi dengan Korea Utara. Gagalnya
kesepakatan Jenewa juga menujukkan bahwa power yang dimiliki oleh
IAEA hanya terpaku pada power legitimasi atau power dari kesepakatan
bersama, tidak ada sanksi khusus yang dapat diberikan oleh IAEA
terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh Korea Utara. Hal ini juga
ditunjukkan dengan hadirnya perundingan segi-6 untuk membahas krisis
ini setelah gagalnya kesepakatan IAEA kedua di Jenewa.

6. Power Korea Utara dalam Menanggapi Intervensi Terhadap


Penggunaan Nuklir

Jika dilihat dari pendekatan power dalam organisasi internasional Korea


Utara tidak memiliki bargainning position yang lebih dibandingkan dengan
anggota lainnya. Korea Utara justru memiliki asymmetries of
interdependence terhadap negara lain seperti Korea Selatan, China dan
Rusia. Namun apa penyebab perilaku Korea Utara yang seakan-akan
peraturan dan hukum internasional sulit untuk menyentuh negeri tersebut
terkait dengan isu nuklirnya?.

Penulis mencoba menjelaskan beberapa faktor yang dapat menjadi


sumber power Korea Utara untuk dijadikan nuklir sebagai alat bargaining
sehingga organisasi internasional seperti IAEA pun tidak dapat mengatur
perilaku Korea Utara. Faktor-faktor tersebut adalah:

1. Faktor Geografis (Geographical Factor)

Secara geografis letak Korea Utara berada diantara negara-negara


yang saat ini sangat berpengaruh dalam sistem internasional. Dari
sebelah barat laut Korea Utara berbatasan dengan China dan di
sebelah utara berbatasan dengan Rusia. Kemudian di sebelah selatan
berbatasan langsung dengan Korea Selatan. Hal ini yang membuat isu
nuklir Korea Utara sangat penting karena mengancam keamanan
kawasan Peninsula (semenanjung Korea) dan negara-negara besar
disekitarnya. China yang bahkan merupakan aliansi dari Korea Utara
pun ikut mengecam untuk dihentkannya proyek Korea Utara tersebut.
Ironisnya lagi, isu ini sangat penting bagi Korea Selatan karena
ancaman stabilitas keamanan Korea Selatan sangat terancam, terlebih
jika dilihat letak ibu kota Korea Selatan, Seoul hanya berjarak 60 km
dari perbatasan dengan Korea Utara.

2. Faktor politik (Political Factor)

Korea Utara adalah negara yang menganut sistem politik sosialis


yang otoriter. Rezim yang berkuasa hingga saat ini adalah rezim partai
Buruh Korea (Koreans Workers Party) yang selalu menggunakan
upaya-upaya yang coercive dalam kebijakan-kebijakan yang dibuatnya.
Rezim ini sangat kuat di Korea Utara sehingga negara lainpun seperti
halnya IAEA dan Amerika Serikat tidak dapat mempengaruhi
keberlangsungan hidup rezim ini. Masih besarnya dukungan rakyat
Korea Utara sendiri terhadap rezim tersebut membuat power rezim ini
tidak dapat dipengaruhi sehingga segala perilaku yang dilakukan Korea
Utara didukung oleh rakyatnya sendiri.

3. Faktor Ekonomi (Economy Factor)

Adanya kepemilikan nuklir juga dapat menguntungkan Korea Utara


dari segi ekonomi. Dapat dilihat bagaimana Amerika Serikat melakukan
penawaran dengan memberikan bantuan berupa supply minyak dan
reaktor air ringan untuk Korea Utara.

4. Faktor Keamanan (Security Factor)

Alasan keamanan sangat diperhitungkan bagi Korea Utara terlebih


semakin lemahnya dukungan aliansi Korea Utara seperti China dan
Rusia. Nuklir sangat dibutuhkan Korea Utara sebagai perisai dirinya
untuk melindungi diri dari ancaman serangan Amerika Serikat yang
masih memiliki basis militer di Korea Selatan.

5. Faktor Tawar menawar (Bargainning Factor)

Dari keempat faktor diatas dapat disimpulkan bahwa nuklir dapat


dijadikan sumber bargainning Korea Utara dalam kebijakan luar negeri
inya. Dapat dilihat bagaimana Korea Utara lebih menggunakan
diplomasi koersif dengan Amerika Serikat terkait masalah kemanan
dan keberlangsungan rezim di Korea Utara. Dengan adanya nuklir pula,
Korea Utara dapat mendorong Amerika Serikat untuk duduk di meja
negosiasi secara bilateral. Dengan kata lain, nuklir adalah instrumen
diplomasi yang digunakan Korea Utara ditengah keterbatasan yang dia
miliki.

D. KESIMPULAN

IAEA adalah sub organisasi yang berada dibawah naungan PBB dan
terfokus pada pengembangan teknologi nuklir untuk kemakmuran
manusia. Layaknya organisasi internasional lainnya, IAEA memiliki
beberpa fungsi yang spesifik di bidangnya. Namun melihat bagaimana
peran IAEA dalam krisis nuklir Korea Utara dapat disimpulkan bahwa
setiap organisasi internasional memiliki sumber power yang berbeda,
seperti hal nya IAEA yang memiliki kewenangan berdasarkan
kesepakatan negara-negara anggota tetap tidak dapat mengatur
perilaku suatu negara. Bagaimana peran dan power organisasi
internasional itu sendiri juga tergantung dari seperti apakah aktor yang
ada di dalam penanganan sebuah isu terkait. Akan beda power IAEA
jika kita melihat bagaimana perannya dalam merespon isu nuklir Korea
Utara dengan isu nuklir Iran ataupun Israel misalnya. Halnya
tergantung bagaimana pula aktor lainnya menanggapi isu tersebut.
Sepeti hal nya Korea Utara yang menanggapi peran IAEA secara anarki,
karena Korea Utara sendiri hanya memiliki nuklir sebagai alat
pertahanan hidupnya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Barkin, J. Samuel. 2006. International Organization : Theories and


Institutions. New York : Palgrave Macmillan Press
2. Schechter, Michael G. 2010. Historical Dictionary of Internasional
Organizations. Plymouth, UK : Scarecrow Press
3. Pratiwi, Amalia Yuli. 2013.Peran IAEA dalam Menyikapi Tindakan
Korea Utara dalam Pengembangan Tenaga Nuklir Untuk Tujuan
Tidak Damai (dilihat dengan pendekatan Hukum Internasional).
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Unversitas Surabaya Volume II, No. 2.
(online). Avaliable at:
https://journal.ubaya.ac.id/index.php/jimus/article/download/494/470
. diakses pada 11 november 2014
4. Wikipedia. 2014. Senjata Nuklir. (Online). Avaliable at :
http://id.wikipedia.org/wiki/Senjata_nuklir. diakses pada 11
November 2014
5. KBS. 2012. Isu Nuklir Korea Utara. (Online). Available at:
http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/nkorea_nuclear/faq_01.htm#
7. Diakses pada 11 November 2014

Vous aimerez peut-être aussi