Vous êtes sur la page 1sur 9

SOLUSI KASUS

Mengurangi Angka Pelecehan Seksual di Transportasi


Umum

Dosen Matakuliah
Dr. Mohammad Mahpur, M.Si

Oleh
Abdul Muchith (13410073)

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2014-2015
Mengurangi Angka Pelecehan Seksual di Transportasi Umum
Oleh: Abdul Muchith 13410073

A. Latar Belakang Pengambilan Judul

Perbedaan identitas gender seharusnya tidak menjadikan

perbedaan yang menuju pada kenegatifan, di Negara Indonesia

khususnya perbedaan tersebut masih menjadi polemik, tak heran jika di

media cetak maupun media elektronik kita sering kali menampilkan berita

tentang pelecehan seksual, permasalahan kesetaraan gaji antara wanita

dan pria yang tidak sepadan.


Kasus pelecehan seksual di Indonesia termmasuk yang paling

banyak diantara beberapa kasus yang terjadi di beberapa Negara di Asia,

kasus pelecehan seksual terhadap lawan jenis tersebut rentan terjadi di

transportasi umum seperti di dalam Bus, Kereta Api, Angkutan Kota dan

sebagainya. Terakhir berita kasus pelecehan seksual terjadi di angkutan

masal berikut Kereta Api yang beroperasi di salah satu daerah Provinsi

Sumatera Selatan, korbannya adalah seorang wanita paro baya dan

tersangkanya tak lain adalah polisi khusus yang menjaga Kereta Api

tersebut.
Kejadian yang menggemparkan tersebut adalah salah satu contoh

kecil saja dari banyaknya kasus lain yang serupa dan terjadi di

transportasi umum kita di Indonesia. Penulis sengaja mengambil judul ini

karena melihat data yang terpublikasikan di media elektronik maupun

media massa yang setiap harinya tidak pernah absen mencatatkan kasus

amoral ini dan sekaligus untuk melaksanakan kewajibannya sebagai


mahasiswa untuk mengerjakan tugas yang diemban sebagaimana

mestinya.

B. Metodologi Penelitian

Metodologi yang penulis gunakan dalam proses memahami analisis kasus psikologi

sosial pada penelitian mini ini adalah metode arsip dan sedikit tambahan deskriptif-analitik.

Langkah awal yang dilakukan adalah berupa usaha untuk meneliti fakta tertulis berupa

dokumen atau arsip data, dimana dokumen arsip tersebut diperoleh dari sumber internal

(arsip dan catatan asli yang diperoleh satu organisasi) dan atau berasal dari sumber dari

sumber eksternal berupa publikasi data dari media atau orang lain. Sedangkan jenis metode

deskriptif-analitik adalah berusaha melukiskan, memaparkan, menuliskan, dan melaporkan

suatu keadaan suatu objek suatu peristiwa fakta adanya dan berupa penyingkapan fakta (Tim

sosiologi, 2000).

Metode penelitian ini adalah lanjutan dari uraian penilitian sebelumnya yang telah

penulis lakukan dengan judul Teori Stereotip, Agresi dan Seksual. Penelitian lanjutan ini

tak ubahnya seperti manifestasi dari solusi yang penulis tawarkan untuk judul sebelumnya

yang hanya memberikan sekelumit solusi diakhir tulisannya saja.

C. Analisis dan Solusi Berdasarkan Teori Ilmiah

Sedikit mengulas kembali kasus sebelumnya untuk sekedar memberikan gambaran

tentang bagaimana kejadian tersebut berlangsung dan mendeskripsikan korban dan pelaku

tindakan pelecehan seksual ini. Pelakunya adalah seorang pria yang berprofesi

sebagai petugas keamanan kereta dan korbannya adalah seorang wanita

paro baya yang sedang naik kereta ditempat yang sama dengan pelaku

tersebut. Berikut cuplikan langsung dari berita yang penulis dapatkan dari

Web:
Wanita yang sering dianggap sebagai kaum yang lemah, kerap kali menjadi
korban pelecehan seksual di angkutan umum. Aksi amoral ini bahkan sering terjadi kala
jam sibuk seperti saat pulang kerja, di mana penumpang kerap berdesakan di atas
angkutan umum.
Terbaru kasus di Lubuk Linggau, Sumatera Selatan. Tries, seorang polisi khusus
kereta api (Polsuska) dibekuk karena diduga melakukan pelecehan kepada seorang
penumpang perempuan. Polisi langsung memburu dan menangkap Tries setelah
mendapat laporan dari YI (40 tahun). Dia adalah salah satu penumpang kereta api yang
juga istri seorang pengacara, dan menjadi korban pencabulan Tries. (Sumber Berita:
http://www.merdeka.com/peristiwa/kasus-kasus-pelecehan-seksual-di-angkutan-
umum.html).
Dari berita diatas bisa diketahui bahwa kejadiannya adalah disaat

semua penumpang sedang berdesakan diatas kereta, momen keramaian

tersebut adalah momen yang pas untuk pelaku melancarkan aksinya

karena dengan banyaknya orang yang berdesakan tersebut aksinya

diduga agar tidak terpergok oleh orang disekitarnya dan korban sendiri.
Sesuai dengan apa yang sudah terpetakan rapi didalam mind map

tentang Teori Peran: Gender dan Psikologi Tentang Jenis Kelamin

permasalahan yang terjadi diatas bermuarakan pada sekitar Gender

Typing, Stereotip, dan Agresi Keseksualitasan. Solusi dari kasus ini tidak

jauh dari penangangan dari bagaimana ketiga sumber masalah tersebut

diberikan pengarahan yang benar sehingga memberikan interpretasi yang

positif dan membuat situasi yang kondusif dalam segala hal.


Adapun yang pertama adalah masalah Gender Typing, masalah

yang terjadi disini adalah tentang pandangan seseorang dengan

keyakinannya kepada segi maskulin (laki-laki) dan feminim (perempuan)

secara spesifik, maksud dari spesifik sendiri adalah keyakinan mereka

terhadap apa yang sudah mereka ketahui tentang perbedaan laki-laki

maupun perempuan dari segi fisik maupun karakter khasnya. Yang

seharusnya terjadi adalah hanya memberikan pelabelan kepada lawan


jenis sesuai dengan kadar dan tanpa penalaran yang mendalam sesuai

dengan yang dikatakan oleh Glick & Fiske (1999) tentang Gender Typing

yaitu proses mengkategorisasikan orang dan sesuatu menjadi maskulin

atau feminim. Gender menurut Shelley E. Taylor dkk (2009) dalam

bukunya menyatakan gender merupakan aspek mendasar dan sangat

penting perannya dalam menentukan konsep diri seseorang.


Mengatasi hal tersebut penulis memberikan solusi yang berbentuk

preventive yaitu pencegahan, disini dapat dilakukan dengan bentuk

sosialisasi dari pemerintah pusat yang bekerjasama dengan pemerintahan

otonom dibawahnya. Pemerintah sendiri dipilih bukan tanpa alasan, ini

karena semata efektifitas. Jika masih bergantung dengan adanya relawan

atau organisasi yang serupa itu tidak akan berjalan secara maksimal

karena masalah ini begitu sensitif dan harus mempunyai banyak relasi

dengan petugas keamanan atau pihak berwajib seperti polisi untuk

pengawalannya. Jadi sosialisasi nanti akan diadakan pemerintah secara

berkala pada setiap daerah atau lembaga-lembaga dimana masyarakat

sering melaksanakan kegiatan bersama disuatu forum.


Kedua tentang Stereotip, analisis sebelumnya menemukan bahwa

kasus pelecehan seksual banyak terjadi karena stereotip kebanyakan

orang yang salah dalam mengintrepetasikan lawan jenisnya. Kebanyakan

dari stereotip orang adalah hasil pengalamannya setelah melihat dan

mendengarkan apa yang media sajikan, menurut kajian ilmiah disebut

dengan cultural stereotype. Masalah kedua ini yang menjadi pemicu

adalah media, media dengan pengaruhnya yang luar biasa membuat

seluruh manusia di muka bumi ini seperti tersihir dengannya padahal

tidak semua yang ditampilkan adalah fakta dan sesuai dengan kebutuhan
penikmatnya sendiri. Media kaitannya dengan pembentukan stereotip

yang negatif adalah bagaimana tentang tayangannya yang banyak

menampilkan sosok wanita yang murahan, itu terlihatkan dari busana

yang mereka kenakan yang sama sekali tidak meanampilkan wanita

sebagai sosok yang anggun melainkan menggairahkan, hal ini

berpengaruh sekali dengan penafsiran masing-masing orang. Untuk itu

Pemerintah harus mempertegas kembali salah satu lembaga dibawahnya

yaitu Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk bertindak tegas kepada

tayangan-tayangan di media elektronik. Standar publikasi media massa

juga harus lebih diperketat sesuai dengan visi misi mereka yang bergerak

dalam pemfilteran konten media.


Perkara stereotip tidak berhenti disitu, beralih pada sudut pandang

lain yang rekan penulis telah rumuskan pada analisisnya yang tertuang

didalam mind map kelompok mencoba untuk memberikan solusinya

terkait masalah yang ditimbulkan oleh stereotip ini. Modelling adalah

dengan cara memberikan contoh yang baik kepada masyarakat luas,

contoh realistisnya adalah dengan melihat kepala daerah yang

belakangan banyak dari kalangan perempuan, semua mata coba

diarahkan kepada hal tersebut untuk memberikan contoh dan wawasan

kepada semua bahwa kedudukan wanita dan pria tidak selalu

menomorduakan sosok wanita atau biasa disebut dengan Sub Ordinasi.

Selanjutnya adalah pemahaman, stereotip yang selama ini telah menjadi

maklum dibenak masyarakat umum dapat diluruskan kembali menjadi

stereotip yang adil antara wanita dan pria. Pemberian pemahaman ini bisa

dimulai dari pendidikan kelembagaan seperti sekolah dasar karena dalam


teori perkembangan anak pada usia ini sudah bisa mencerna hal-hal yang

bersifat umum.
Yang terakhir dari sumber masalah pelecehan seksual di trasportasi

adalah agresi yang menjurus pada arah seksual. Masalah ini adalah

kelanjutan dari masalah stereotip salah yang berkembang luas di

masyarakat. Wanita yang digambarkan berkarakteristik vulgar dan lemah

menjadi keyakinan tersendiri bagi sebagian kaum pria sehingga

menimbulkan kejadian amoral seperti yang terjadi pada kasus di

Sumatera Selatan tersebut. Solusi untuk kejadian ini dari pengamatan dan

analisis lanjutan penulis adalah dengan dua cara, pertama adalah dengan

standarisasi pendidikan yang mencoba meberikan pendidikan seks sejak

usia dini, pencanangan rencana ini sebenarnya sudah lama menjadi isu

hangat dalam beberapa tahun ini, namun selanjutnya tidak ada tindak

lanjut yang serius padahal untuk mengurangi masalah yang besar adalah

dengan memperbaiki hal-hal kecil yang terkait dengan masalah tersebut

lebih dahulu. Sektor pendidikan tidak berhenti disitu, pendidikan berbasis

agama juga sangat urgen kaitannya untuk membentuk pribadi yang baik

karena semua agama maupun kepercayaan yang manusia anut bahkan

tidak mengajarkan melakukan tindakan amoral seperti melecehkan lawan

jenisnya.
Faktor keamanan adalah bentuk yang paling inti, konstitusi dan

perundang-undangan yang tegas akan membuat individu yang

berkeinginan untuk bertindak jahat akan segan dan memilih

mengurungkan niatnya. Petugas keamanan dan pihak berwajib seperti

tentara dan polisi beserta bagian-bagiannya yang lebih spesifik juga harus

memiliki standar khusus untuk satuannya agar menjadi petugas


keamanan yang benar-benar melindungi masyarakat luas bukan malah

memberikan teladan yang buruk bagi siapa yang harusnya dia lindungi.

Vous aimerez peut-être aussi