Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
I. Pendahuluan
Struktur Kurikulum 2013, yang diberlakukan serentak, misalnya pada kelas VII dan
VIII jenjang SMP awal Tahun Pelajaran 2014/2015, masih memberikan ruang bagi pelajaran
Muatan Lokal secara eksplisit. Melalui muatan lokal inilah yang menjadi wadah bagi
pembinaan, pengembangan, dan pelestarian bahasa daerah melalui pendidikan formal.
Kesempatan menjadi sangat berarti bagi pelajaran bahasa daerah, sehingga perlu mendapar
perhatian serius, baik dari satuan pendidikan, tenaga pendidik, pemerintah daerah, maupun
oleh para pakar bahasa dan pakar budaya. Perhatian serius dari berbagai pihak tersebut
diharapkan akan terwujudnya proses pembelajaran bahasa daerah yang produktif, bermakna,
dan menyenangkan, sehingga pada gilirannya akan menjadi instrumen bagi transformasi
nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa daerah. Patut disadari bahwa penggalian dan
pewarisan kearifan lokal kepada para generasi muda melalui bahasa daerah perlu agar terjadi
berkesinambungan antargenerasi sepanjang masa. Pada sisi lain, ada kekhawatiran
terkikisnya eksistensi bahasa-bahasa daerah dalam interaksi sosial atau komunikasi lisan
manyarakat penutur atau pemilik bahasa tersebut.
Kehadiran kurikulum baru ini dengan struktur yang memberikan ruang bagi bahasa
daerah, tentu diperlukan adanya regulasi khusus untuk mempertahankan kelangsungan
pembelajaran bahasa-bahasa daerah dalam pendidikan formal. Dengan tetap mempertahankan
adanya materi bahasa daerah dalam pendidikan formal atau kurikulum, berarti pembinaan,
pengembangan, dan pelestarian bahasa daerah di Nusantara, umumnya dan bahasa-bahasa
daerah di Sulawesi Tenggara khususnya, diharapkan akan tetap berkelanjutan. Kebijakan
yang dapat diterapkan, misalnya dengan mereposisi mata pelajaran muatan lokal dalam
wadah kurikulum 2013. Reposisi muatan lokal ini dapat dikemas dalam mata pelajaran yang
berdiri sendiri, di samping Seni Budaya, sebagai sarana pewarisan dan pelestarian nilai-nilai
luhur dari berbagai bahasa daerah yang ada dalam kawasan Sulawesi Tenggara.
Bahasa daerah dalam sebuah bangsa merupakan salah satu kekayaan tak benda bagi
bangsa tersebut sehingga perlu dipelihara dan dilestarikan Sebaliknya, kepunahan sebuah
bahasa, berarti kerugian yang tak ternilai bagi peradaban bangsa, yang menjadi penutur
bahasa tersebut. Tentu dengan kesadaran akan hal itu, maka pendiri bangsa ini telah
menunjukkan visionernya yang jauh ke depan, sehingga para founder itu, menyematkan
dengan indahnya dalam Undang-Undang Dasar 1945 tentang betapa pentingnya pelestarian
bahasa daerah bagi bangsa Indonesia, Visioner pendiri Bangsa itu tertuang dalam pasal 36
UUD 45 dengan menegaskan bahwa bahasa daerah yang dipelihara oleh rakyatnya, maka
bahasa-bahasa itu dipelihara dan dihormati oleh negara.
. . Ada berbagai cara melestarikan bahasa daerah, salah satu di antaranya adalah
dilaksanakan melalui pendidikan, lihat (Pasmidi, 1993:1). Bergayut dengan pernyataan itu,
sejak sepuluh tahun terakhir, pembelajaran bahasa daerah memang telah hadir secara
eksplisist di ruang-ruang kelas. Kenyataan dengan hadirnya mata pelajaran muatan lokal,
yang mewadahi pembinaan, pengembangan, dan pelestarian bahasa daerah dalam ranah
pendidikan formal menjadi fakta sejarah akan kesadaran dan tanggung jawab bangsa ini bagi
eksistensi bahasa-bahasa daerah di negeri ini. Akan tetapi, upaya itu masih bersifat formalitas
tanpa dibarengi dengan keseriusan mencapai kualitas, sehingga hasilnya terasa tidak
signifikan.
Kelemahan mendasar dari implementasi pembelajaran bahasa daerah dalam KTSP,
adalah tidak adanya penelitian atau kajian tentang bagaimana pelaksanaan pembelajaran
bahasa daerah dalam KTSP. Menurut Pride & Holmes, seperti yang dikutip Sumarsono
(1993:1) bahwa kebijakan untuk mengajarkan bahasa tertentu di sekolah secara resmi,
idealnya diawali dengan penelitian sosiolnguistik. Penelitian sosiolinguitik perlu dilakukan
dan hasilnya akan bermanfaat untuk menentukan siapa yang menjadi sasaran pembelajaran,,
tujuannya apa, dan ragam bahasa mana yang akan diajarkan. Aspek-aspek tersebut tampaknya
menjadi penting diperhitungkan, untuk menjamin efektivitas pencapaian tujuan pembelajaran
yang bermakna dan berkualitas. Dengan bertolak dari pengalaman atas kelemahan
pembelajaran bahasa daerah dalam KTSP, maka penyiapan implementasi pembelajaran
bahasa-bahasa daerah dalam kurikulum 2013 ini perlu dilakukan dengan persiapan yang baik
dan matang. Di sinilah urgensinya pelibatan pakar linguistik, pakar kurikulum, pakar
pendidikan, dan praktisi atau guru saling yang bersinergis, terutama pada momen memasuki
era kurikulum 2013, yang serentak dilaksanakan pada semua Satuan pendidikan dan jenjang
pendidikan pada tahun pelajaran 2014/2015 ini.
Senyampang dengan terselenggaranya Kongres Bahasa Daerah Provinsi Sulawesi
Tenggara yang waktunya hampir bersamaan dengan penerapan kurikulum baru secara
serentak di seluruh tanah air, dipandang sangat strategis untuk melahirkan kebijakan
pemerintah daerah sebagai upaya mereposisi pembelajaran bahasa-bahasa daerah dalam
kurikulum 2013. Kebijakan yang dimaksud, dapat berupa upaya dilakukan penelitian atau
kajian mendalam sebelum melaksanakan atau memilih/menentukan bahasa daerah mana yang
akan dipilih atau diajarkan di sekolah. Misalnya penelitian sosiolinguistik, akan bermanfaat
untuk menakar prospektif pembelajaran bahasa daerah tertentu bagi suatu satuan pendidikan.
1. Kurikulum
Pembelajaran bahasa daerah dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara, seperti
Bahasa Tolaki pada sejumlah SMP Negeri di Kota Kendari tidak maksimal dan cenderung
bersifat formalitas sehingga seolah tanpa arah dan tujuan yang jelas. Dari aspek kurikulum,,
pembelajaran bahasa Tolaki sebenarnya tidak diperhitungkan dengan kesiapan bahan (materi)
dan sumber daya manusia (guru) yang mengampu mata pelajaran tersebut. Sekolah-sekolah
yang memilih Bahasa Tolaki sebagai implementasi Muatan Lokal rata-rata lemah pada
kesiapan kurikulum (Silabus, RPP, dan bahan ajar), sumber daya manusia (pengajar), dan
medologinya.
Bila ditelusuri dan direfleksi pembelajaran Bahasa Tolaki di SMP-SMP dalam
kawasan Kota Kendari selama lebih kurang sepuluh tahun pemberlakuan KTSP hampir tidak
member kontribusi yang bermakna bagi perkembangan Tolaki secara akademik, maupun
secara praktis. Secara administratif, ada jadwal mata pelajaran bahasa daerah, dilaksanakan
ulangan/ujian, dan ada nilai rapor bagi peserta didik. Namun, di balik pelaksanaan yang
formalitas tersebut, hampir tidak pernah ditinjau dan dieavaluasi, bagaimana efektivitas dan
kemanfaatannya. Guru-guru membuat silabus, menyusun RPP, dan administrasi lainnya hanya
beranalogi pada pembelajaran Bahasa Indonesia, tanpa berusaha memikirkan kekhasan bahasa
daerah yang menjadi objek pembelajarannnya. Secara implementatif di ruang-ruang kelas,
proses pembelajaran tampak lemah pada metodologinya, bahkan seperti kehilangan rohnya
karena interaksi pembelajarannya tidak menggunakan metode, model, dan teknik yang
bervariasi dan tanpa tujuan yang terukur. Misalnya apa target yang akan dikuasai siswa,
kompetensi apa yang harus dicapai pada satu semester, satu tahun, atau persyaratan untuk
mencapai kelulusan pada jenjang SMP.
Selanjutnya, persyaratan apa yang harus dimiliki oleh guru pengampu mata pelajaran
bahasa daerah (Bahasa Tolaki), juga tidak ada acuan atau standar minimal. Pengalaman yang
terjadi, guru yang mengajarkan Bahasa Tolaki, hanya dipersyaratkan bisa berbahasa Tolaki.
Oleh karena itu, tidak jarang, guru biologi atau guru matematika diberi tugas untuk
mengajarkan Bahasa Tolaki. Sementara itu, guru-guru tersebut juga tidak dibekali dengan
apapun sebagai modal untuk mengajarkan Bahasa Tolaki kepada para siswa. Kondisi
semacam ini, telah memposisikan mata pelajaran Bahasa Tolaki sebagai mata pelajaran yang
benar-benar dianaktirikan.
Situasi pembelajaran bahasa daerah (Bahasa Tolaki) seperti yang dipaparkan di atas,
diasumsikan tidak berbeda dengan pembelajaran bahasa-bahasa daerah lain di berbagai
kabupaten/kota Sulawesi Tenggara, yang memiliki berbagai bahasa daerah yang berbeda-beda
dan diajarkan di sekolah-sekolah. Untuk mereposisi muatan lokal maupun untuk
merevitalisasi pembelajaran bahasa-bahasa daerah di kawasan Sulawesi Tenggara, perlu
bertolak dari kenyataan kondisi pembelajaran yang telah berlangsung selama ini, sehingga
kehadiran kurikulum 2013 ini benar-benar menjadi instrument bagi titk tolak pembinaan,
pengembangan, dan pelestarian bahasa daerah me;lalui pendidikan formal.
Aspek-aspek yang terangkum dalam delapan poin di atas, tentu bersifat relatif, namun
perlu dipertimbangkan oleh setiap satuan pendidikan, guru, dan penulis modul atau bahan
ajar bagi pembelajaran bahasa daerah. Pembelajaran bahasa daerah, termasuk Bahasa Tolaki
perlu bertolak dari sebuah pemetaan kompetensi awal komunitas peserta didik sebagai subjek
pebelajar, sehingga guru dapat merancang strategi dan bahan ajar yang bagaimana yang
cocok digunakan. Pemetaan yang dimaksud adalah, guru perlu memahami latar belakang
secara umum tentang kemampuan rata-rata peserta didik dalam menggunakan bahasa daerah
yang akan dipelajarinya.
Komunitas yang berbahasa ibu (B1) bahasa daerah, biasanya penguasaan bahasa
daerah melalui pemerolehan bahasa. Proses pembelajaran bahasa daerah pada peserta didik
dengan mayoritas pada kelompok ini relatif tidak terlalu sulit, apabila dengan tujuan
pembelajaran bahasa daerah seperti termaktub dalam kurikulum selama ini. Sumarsono
(1993) menggambarkan bahwa peserta didik kelompok ini dalam belajar bahasa daerah
(misalnya Bahasa Tolaki) memiliki motivasi integrasi. Sementara bila komunitas peserta
didik dengan latar belakang tidak berbahasa ibu (B1) Bahasa Tolaki, berarti mereka
mempelajari bahasa daerah tersebut sebagai bahasa kedua. Peserta didik kelompok ini, dalam
mempelajari bahasa daerah itu, memiliki motivasi instrumental. Artinya, mereka mempelajari
bahasa daerah tersebut, tujuannya adalah memperoleh nilai (nilai rapor).
Dengan ilustrasi seperti di atas, ada kemungkinan dalam suatu satuan pendidikan,
pembelajaran bahasa daerah dengan situasi di mana peserta didiknya dominan menggunakan
bahasa daerah yang menjadi sasaran pembelajaran (misalnya Bahasa Tolaki). Dalam kasus
ini, memungkinkan peserta didik menguasai bahasa daerah tersebut melalui interaksi
langsung dalam lingkungannya. Penguasaan bahasa seperti ini biasa disebut melalui
pemerolehan bahasa, lihat ..... (......). Sebaliknya, komunitas di mana peserta didik
bersosialisasi di lingkungannya, jarang mendengar penggunaan bahasa daerah tersebut secara
langsung, maka peserta didik akan sulit memiliki keterampilan berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa daerah itu. Penguasa bahasa daerah yang menjadi sasaran lebih
dipengaruhi melalui proses pembelajaran.
Untuk kepentingan pembelajaran bahasa daerah melalui pendidikan formal, para guru
pengampu mata pelajaran mutan lokal (bahasa daerah) perlu memiliki pemahaman yang
memadai akan kondisi-kondisi seperti yang diuraikan di atas. Oleh karena itu, maka guru
yang diberi tugas mengajarkan bahasa daerah (misalnya Bahasa Tolaki), tidak hanya karena
dia penutur Bahasa Tolaki, tetapi perlu memiliki pengetahuan kebahasaan dan menguasai
metode pengajaran bahasa. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi sekolah (satuan
pendidikan) yang memberikan tugas kepada guru IPA atau matematika untuk mengajarkan
bahasa daerah karena guru tersebut merupakan penutur bahasa daerah tersebut (misalnya
Bahasa Tolaki, Bahasa Muna, Bahasa Ciacia, dan sebagainya).
*******************
DAFTAR RUJUKAN
Ellis, Rod. 1995. The Study of Second Language Acquisition. Oxford University Press.
Pasmidi, Made. 1993. Hambatan Hambatan dalam Pelaksanaan Pemberlajaran Bahasa Bali
di SMA. Masyarakat Linguistik Indonesia. Makalah. Jakarta. MLI
Sumarsono. 1993. Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa Daerah, Kasus dalam Bahasa Bali.
Makalah. Jakarta: MLI
Pada kasus pertama dalam paparan di atas, kelompok pertama menguasai (mampu
berbahasa) daerah, biasanya melalui proses pemerolehan bahasa daerah. Pada kelompok ini
biasanya guru lebih mudah mengajarkan bahasa daerah tersebut, karena peserta didik telah
memiliki kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan bahasa tersebut. Kelompok
peserta didik yang berada pada lingkungan berbahasa, di mana mayoritas masyarakatnya
berbahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, maka peserta didik kelompok ini umumnya
tidak dapat menguasai bahasa daerah tersebut melalui proses pemerolehan bahasa, lihat
( ...............)
Secara formal, sudah ada upaya sistematis yang dilakukan pemerintah untuk membina
dan melestarikan bahasa-bahasa daerah di negeri ini, melalui kebijakan dalam ranah
pendidikan. Sayangnya, kebijakan strategis tersebut tanpa gereget yang berarti. Ada beberapa
kelemahan yang menyebabkan kebijakan pembelajaran bahasa-bahasa daerah seperti dalam
kurikulum 2004 (baca: Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau KTSP) tidak berkembang
secara dinamis. Kelemahan tersebut antara lain tidak dilakukannya penelitian sosiolinguistik
tentang bagaimana muatan bahasa daerah yang diajarkan dalam KTSP, lihat Sumarsono ,
(1993:1), Pasmidi (1993) dan ..............
Setelah KTSP berlaku selama sepuluh tahun dan diadakan lagi penyempurnaan
dengan melahrkan kurikulukm baru (kurikulum 2013), maka KTSP telah berakhir. Meskipun
kurikulum baru ini dikenal luas sebagai kurikulum 2013, tetapi sesungguhnya masih diberi
label KTSP, (Permen Dikbud RI nomor 81a tahun 2013). Awal tahun pelajaran 2014/2015,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan kurikulum baru ini secara serentak
pada kelas 1, kelas 2, kelas 4, dan kelas 5 SD/MI, kelas 7 dan kelas 8 di SMP/MTs, serta
kelas 10 dan kelas 11 SMA/SMK. Dalam struktur kurikulum 2013 ini, masih ada peluang
bagi pelestarian dan pengembangan bahasa daerah karena masih tercantum muatan lokal,
sebagai salah satu mata pelajaran yang akan diajarkan. Peluang tersebut perlu dimanfaatkan
dengan sebaik-baiknya oleh setiap Satuan Pendidikan, di bawah koordinasi Dinas Pendidikan
provinsi untuk jenjang pendidikan menengah dan kabupaten/kota, untuk jenjang pendidikan
dasar agar pembelajaran bahasa daerah bisa lebih efektif dan tidak bernasib sama dengan
pembelajaran bahasa-bahasa daerah dalam kurikulum 2004 (KTSP).
Dengan kebijakan yang bertolak dari tujuan seperti yang dikemukakan di atas,
melahirkan motivasi yang kurang berkembang bagi pebelajar bahasa-bahasa daerah dalam
pendidikan formal. Pengalaman empirik dalam pembelajaran bahasa Tolaki selama KTSP
periode 2004 sampai 2014, proses pembelajarannya cenderung bersifar formalitas, bahkan
tanpa tujuan yang konkret. Pernyataan demikian sering muncul dalam setiap kegiatan
Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Indonesia SMP Kota Kendari, baik pada
MGMP di sekolah (Satuan Pendidikan) maupun MGMP pada lingkup Kota Kendari.
Implementasi muatan lokal jenjang SMP di Kota Kendari, sejak sepuluh tahun
terakhir, khusus bagi pembelajaran mata pelajaran bahasa daerah Tolaki, berlaku pada semua
jenjang pendidikan. Kebijakan itu sejalan dengan kebijakan nasional yang mengamanatkan
bahwa bahasa daerah yang diajarkan di sekolah adalah bahasa etnis setempat (sesuai dengan
penduduk asli) daerah tersebut). Jadi, meskipun komunitas Kota Kendari yang menjadi
pendududuknya terdiri atas berbagai suku bangsa, tetapi penduduk asli kota ini adalah Suku
Tolaki, maka bahasa daerah yang diajarkan kepada para peserta didik adalah Bahasa Tolaki.
Hal itu berlaku bagi peserta didik yang berbahasa ibu (B1) Bahasa Tolaki, maupun peserta
didik yang B1-nya bukan Bahasa Tolaki.
Dalam memasuki era baru kurikulum 2013, pembelajaran bahasa daerah perlu ditata
dan diterapkan dengan baik, dengan mereposisi Muatan Lokal, sehingga memberikan ruang
bagi guru untuk berkreasi menerapkan pembelajaran yang bermakna. Pembelajaran bahasa
daerah yang bermakna, dengan alokasi waktu yang terbatas diperlukan kreativitas guru agar
pembelajaran tidak membosankan dan kering. Dengan demikian, kehadiran mata pelajaran
muatan lokal, misalnya terealisasi dalam penerapan pembelajaran bahasa daerah, (bahasa
Tolaki, Bahasa Muna, Bahasa Cia-Cia, bahasa Moronene), bagi kawasan Sulawesi Tenggara
diharapkan akan terformulasi berbeda dengan model pembelajaran bahasa daerah pada
kurikulum sebelumnya. Seiring dengan perjalanan waktu dan dinamika kehidupan bangsa
yang kian dinamis dan penuh tantangan, pembelajaran bahasa daerah dalam kurikulum baru
ini, khususnya bahasa daerah sebaiknya menitikberatkan pada pragmatik dan komunikasi
dengan menemukan nilai-nilai budaya sebagai bagian dari kearifan lokal.
Reposisi Muatan Lokal mata pelajaran bahasa daerah dalam kurikulum 2013, perlu
memperhatikan beberapa prinsip, antara lain:
DAFTAR RUJUKAN
Pasmidi, Made. 1993. Hambatan Hambatan dalam Pelaksanaan Pemberlajaran Bahasa Bali
di SMA. Masyarakat Linguistik Indonesia. Makalah. Jakarta. MLI
Sumarsono. 1993. Pragmatik dalam Pengajaran Bahasa Daerah, Kasus dalam Bahasa Bali.
Makalah. Jakarta: MLI