Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PengobatanwarmAIHA
Pengobatanklasik untukAIHAtermasukkortikosteroid, splenektomidanobat
imunosupresifkonvensional. Selama beberapa tahun terakhir, terapibarutelah
tersediadantelah ada bukti keberhasilan. Terapi initerutama digunakanpada pasien yang
tidak bisa menjadi kandidat splenektomi, gagal meresponsplenektomi,
kambuhsetelahsplenektomidan pasien yangtidak dapat mempertahankankadar
hemoglobinstabiltanpadosistinggi kortikosteroid (Alberto et al., 2014). Rekomendasi
Blood Transfusion Guideline (2011),
1. Prednison direkomendasikan sebagai terapi pilihan utama untuk warm auto-imun
anemia hemolitik (AIHA) tipe klasik.
2. Splenektomi efektif pada pasien yang lebih tua dengan warm auto-imun hemolitik
anemia (AIHA) tipe klasik yang kambuh atau resisten terhadap prednison. Splenektomi
hanya diindikasikan pada pasien yang lebih tua karena risiko infeksi.
3. Rituximab dapat dipertimbangkan pada pasien yang resisten terhadap prednisone.
Terapi lini pertama
Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan pengobatan lini pertama untuk pasien dengan jenis
antibodi warm AIHA, meskipun penggunaannya hanya berdasarkan pengalaman
daripada bukti ilmiah. Sedikit informasi yang membahas tentang efektivitas
kortikosteroid dan tidak didukung oleh uji klinis. Steroid berperan menurunkan
produksi auto-Antibodi oleh sel B. Selain itu, steroid mengurangi kepadatan reseptor
Fc-gamma pada fagosit di Steroid spleen. Steroid menginduksi remisi parsial pada 60-
70% pasien dan remisi lengkap pada 10-15% pasien (Barcellini et al., 2013;
Zeerleder, 2011).
Kortikosteroid yang biasa digunakan adalah prednison. Prednison diberikan pada
dosis awal 1,0-1,5 mg/kg/hari selama 1-3 minggu sampai kadar hemoglobin dicapai
lebih dari 10 g/dL. Respon terjadi pada minggu kedua dan jika respon tidak ada atau
peningkatan minimal pada minggu ketiga, terapi ini dianggap tidak efektif. Setelah
stabilisasi hemoglobin, prednison harus secara bertahap dan perlahan diturunkan pada
10-15 mg per minggu untuk dosis harian 20-30 mg, maka dengan 5 mg setiap 1-2
minggu sampai dosis 15 mg kemudian 2,5 mg setiap dua minggu dengan tujuan
menghentikan obat (Barcellini et al., 2013).
Pasien AIHA harus dirawat selama minimal tiga atau empat bulan dengan dosis
rendah prednisone (10 mg/hari). Pasien yang menerima dosis rendah kortikosteroid
selama lebih dari enam bulan memiliki insiden lebih rendah kambuh dan durasi yang
lebih lama remisi daripada menghentikan obat dalam waktu enam bulan. Selain itu,
onset awal terapi steroid berkorelasi dengan probabilitas yang lebih rendah dari
kekambuhan. Perlu diingat bahwa pasien AIHA dengan terapi steroid berkepanjangan
harus diberikan bifosfonat, vitamin D, kalsium dan asam folat (Lechner et al., 2010;
Dussadee et al., 2010).
Pasien dengan hemolisis cepat dan anemia parah atau kasus yang kompleks
seperti sindrom Evans, memerlukan methylprednisolone intravena dengan dosis 100-
200 mg/hari selama 10-14 hari atau 250-1000 mg/hari selama 1-3 hari, meskipun
terapi kortikosteroid highdose untuk AIHA telah digambarkan sebagai case reports.
Terapi Megadose Methylprednisolone (MDMP) telah berhasil mengobati lebih dari
700 pasien dengan gangguan hematologi maupun non-hematologi. Terapi MDMP
terbukti tidak mengganggu pertumbuhan pasien, bahkan dengan paparan jangka
panjang. Bukti lain menyebutkan bahwa efek samping kortikosteroid seperti
hipertensi, obesitas dan penekanan pertumbuhan anak-anak tidak terlihat pada terapi
MDMP (Lechner et al., 2010).
Megadose Methylprednisolone (MDMP) telah digunakan untuk mengobati pasien
AIHA. Hasil tes Coombs menjadi negatif pada lebih dari 4 kasus peningkatan anemia
pada semua pasien dengan terapi jangka panjang MDMP. Perlu diperhatikan pada
terapi MDMP yakni pencegahan atrofi otot dan penggunaan saline tetes hidung untuk
pencegahan infeksi sistem pernapasan atas. Terapi MDMP selain terjadi penurunan
pembentukan antibodi juga dapat meningkatkan erythropoietin sehingga harus
dipertimbangkan adanya peningkatan anemia (Sinasi et al., 2013).
Terapi lini pertama dengan kortikosteroid diharapkan dapat memberikan respon
pada 70-85% pasien. Namun, hanya 1 dari 3 kasus tetap dalam remisi jangka panjang
setelah obat dihentikan, selanjutnya 50% memerlukan dosis pemeliharaan dan sekitar
20-30% perlu tambahan terapi lini kedua. Tidak diketahui berapa banyak pasien yang
sembuh dengan terapi steroid saja tetapi diperkirakan sebanyak <20% dari pasien
AIHA. Pasien yang tidak responsif terhadap terapi lini pertama harus menjalani
evaluasi diagnostik ulang untuk penyakit yang mendasari, seperti tumor ganas, kolitis
ulserativa, teratoma ovarium jinak atau IgM warm autoantibodi (Lechner et al., 2010).
Terapi lini kedua
Setelahkeputusanpengobatan lini kedua,ada beberapa pilihan terapi
meskipunsplenektomidanrituximabadalah satu-satunyapengobatanlini
keduadenganefficacy jangka pendek (Lechner et al., 2010).
Splenektomi
Splenektomi merupakan pengobatan lini kedua konvensional yang paling efektif
pada warm AIHA bagi pasien yang tidak responsif atau tidak toleran terhadap
kortikosteroid, pasien yang membutuhkan dosis pemeliharaan harian prednison > 10 mg
dan pasien sering kambuh. Namun, efficacy belum pernah dibandingkan dengan
pendekatan lini kedua lainnya dan tidak ada data yang meyakinkan tentang durasi remisi
setelah operasi (Lechner et al., 2010).
Kelemahan dari splenektomi adalah kurangnya prediktor yang dapat diandalkan
hasilnya, karena efektivitasnya tidak berhubungan dengan durasi penyakit, respon
terhadap steroid maupun tingkat sequestration spleen. Selain itu, splenektomi
berhubungan dengan komplikasi bedah (emboli paru, pendarahan intra-abdominal, abses
abdominal, hematoma dinding perut) meskipun intervensi laparoskopi dapat menurunkan
risiko bedah dibandingkan dengan operasi konvensional (0,5-1,6% vs 6%). komplikasi
yang paling ditakuti setelah splenektomi adalah sepsis karena paparan bakteri, dengan
risiko 3,3-5% dan tingkat kematian hingga 50%, bahkan setelah vaksinasi pra-operasi
terhadap pneumokokus, meningokokus dan hemofilius (Lechner et al., 2010).
Rituximab
Rituximab merupakan antibodi monoklonalterhadapantigenCD20 yang
diekspresikan padaselB. Rituximab terbukti efektifuntuk terapiAIHA. Rituximab(375
mg/m2mingguanselama rata-rata4minggu) efektif dalam mengobatiwarm
AIHAdanCAD, dengan tingkatresponmedianyang lebih tinggidalambentukwarm
AIHA.Rituximab telah terbukti efektif pada AIHA idiopatik dan sekunder, termasuk
yang berhubungan dengan autoimun, gangguan limfoproliferatif dan transplantasi
sumsum tulang. Monoterapi atau kombinasi dengan kortikosteroid, imunosupresan dan
interferon , memberikan waktu respon bervariasi (Barcellini et al., 2011; Pealver et al.,
2010).
Pengobatan ini efektif juga pada anak-anak dan sindrom Evans sekunder,
limfoproliferatif atau penyakit autoimun lainnya. Pengobatan rituximab ditoleransi
dengan baik dan tidak ada efek samping yang dilaporkan untuk sebagian besar pasien,
termasuk efek samping pemberian lewat infus. Dalam upaya untukmeminimalkanefek
sampingdanmengurangi biaya, dosis rendahrituximab(100
mgdosistetap/mingguanselama 4 minggu) dilaporkanefektifpada pasien
denganAIHAyang gagaluntuk merespon pengobatankonvensional, sebagai
monoterapiataudalam kombinasi denganalemtuzumab(Gomez et al., 2010).
Dosis rendahrituximabsebagaiterapilini pertama
ataukeduamampumenginduksitingkat responskeseluruhan89% (lengkaprespon67%),
dan68% kambuh. Obat iniharus digunakandi awalpengobatanAIHA agar memperoleh
angka kelangsungan hidup mencapai 36bulan. Terapi percobaanfaseIIImenunjukkan
sekitar 70% daripasien yang diobati denganglukokortikoiddanrituximabmendapat
remisiselama 36bulan, dibandingkandengan penggunaan steroid tunggal (Barcellini et
al., 2013; Birgens et al., 2013).
Obat imunosupresif
Sebelum pengenalan rituximab sebagai terapi AIHA, azathioprine (100-150
mg/hari) dan siklofosfamid (100 mg/hari) sering digunakan sebagai pengobatan lini
kedua. Siklosporin A telah berhasil digunakan pada pasien AIHA refraktori. Secara
khusus, terapi jangka panjang dengan siklosporin menginduksi remisi lengkap 3 sampai
4 pasien warm AIHA dengan hemolisis yang mengancam jiwa dan tidak responsif
terhadap pengobatan sebelumnya (Barros et al., 2010).
Siklosporin dalam kaitannya dengan prednison dan danazol, siklosporin
meningkatkan respons lengkap dan mengurangi kekambuhan pada 18 pasien warm
AIHA dibandingkan dengan 26 pasien yang hanya mendapat prednison dan danazol
(89% vs 58%). Remisi lengkap dilaporkan pada semua pasien dewasa (9 idiopatik dan 2
sekunder untuk lupus eritematosus sistemik). Obat imunosupresif terbukti efektif pada
refractory immune cytopenias(AIHA) pada anak-anak dengan sindrom limfoproliferatif
autoimun (Barros et al., 2010).
Pilihan lain
Danazol merupakan steroidanaboliksintetisdengan sifatandrogenikringan terbukti
berhasil digunakanpada 28pasienAIHAbersamaandenganatau setelah terapi steroid. Akan
tetapi, efektivitasnyaterbatas padakasusrefrakterataukambuh, di antaranyahanya 43%
yang mencapairemisi lengkap.Sebanyak 17pasien yang diobati
dengandanazolditambahprednison memberikanrespon yang baiksebagai terapilini
pertama(8 dari10pasien), sedangkan pengobatankurangefektif(3 dari7) pada pasien yang
kambuhataurefraktori.Sebaliknya, sebuah penelitian retrospektiftidak
mengamatimodifikasisubstansialdalamtingkat responmaupun durasi terapiprednisonpada
pasien yang diobatidengandanazol (Barros et al., 2010).
Imunoglobulin intravena (IVIG)
Imunoglobulin intravena (IVIG) sering digunakan sebagai terapi tunggal maupun
kombinasi dengan prednison. Imunoglobulin intravena (IVIG) sebagian besar digunakan
pada anak-anak karena terbukti memberikan efektivitas pada trombositopenia imun
primer dan efek samping yang relatif rendah dibandingkan pengobatan lainnya. Namun,
penggunaannya masih kontroversial. Respon yang baik berupa pemulihan tingkat
hemoglobin yang lebih cepat ketika prednisone dan IVIG dosis tinggi digabungkan.
Hasil ini diperoleh dari 5 pasien dengan warm AIHA berulang terkait CLL. Dosis tinggi
imunoglobulin tidak dianjurkan pada AIHA, kecuali di bawah kendali life-threatening
circumstances (Barros et al., 2010).
Last option treatments
Siklofosfamid dosis tinggi (50 mg/kg/hari selama 4 hari) diikuti oleh granulosit colony-
stimulating factor efektif mencapai remisi lengkap pada 5 dari 8 pasien dengan warm
AIHA. Alemtuzumab merupakan anti-CD52 antibodi monoklonal telah terbukti efektif
pada pasien dengan idiopatik AIHA refraktori dengan tingkat remisi lengkap secara
keseluruhan. Akan tetapi, alemtuzumab hanya digunakan padaAIHA idiopatik berat
yang tidak responsif semua terapi. Ofatumumab merupakan antibodi monoklonal yang
menargetkan epitope unik pada CD20 yang berbeda dari yang ditargetkan oleh
rituximab. Baru-baru ini telah berhasil digunakan dalam kasus CLL terkait warm AIHA
yang tahan terhadap rituximab (Nader et al., 2013).
Hematopoietic stem cell transplantation
Datamengenaitransplantasi sel indukhematopoietik(HSCT) pada warmAIHAterbatas
padakasustunggal atauseri kecil (sebagian besar padasindromEvans). HSCT memberikan
tingkatremisi lengkapsekitar60% HSCT alogenikdan50% HSCT autologus(Nader et al.,
2013).
Terapi suportif
Pasien AIHA membutuhkan transfusi sel darah merah (RBC) untuk
mempertahankan kadar hemoglobin secara klinis. Keputusan transfusi tidak hanya
tergantung pada tingkat hemoglobin, tetapi lebih pada status klinis dan komorbiditas
pasien (terutama jantung iskemik atau penyakit paru yang parah). Selain itu juga
bergantung pada onset penyakit, perkembangan anemia, adanya hemoglobinuria dan
hemoglobinemia atau manifestasi lain dari hemolisis parah. Transfusi darah harus
diberikan pada pasien dalam situasi klinis yang penting bahkan dalam situasi di mana
tidak ada unit kompatibel, karena warm autoantibodi sering panreaktif. Konsentrat ABO-
dan RhD- yang cocok terhadap sel darah merah dapat dengan aman diberikan pada kasus
yang mendesak (Nader et al., 2013).
Pada beberapa pasien, prosedur yang lebih kompleks, seperti warm autoadsorption
atau adsorpsi alogenik diperlukan untuk deteksi alloantibodies. Alloantibodies yang tidak
terdeteksi bisa menjadi penyebab peningkatan hemolisis akibat transfusi sehingga dapat
meningkatakan keparahan AIHA. Autoantibodi secara spesifik didefinisikan ke sistem
Rh dan berpengaruh terhadapt pemilihan darah untuk transfusi. Sehingga pada
administrasi sel darah merah yang mengandung antigen Rh dipastikan bahwa pasien
tidak memiliki risiko alloimmunization. Transfusi yang berlebihan harus dihindari karena
alasan hemodinamik (terutama pada pasien usia lanjut), terjadinya hemoglobinemia dan
hemoglobinuria. Oleh karena itu, jumlah darah untuk transfusi dibatasi dengan
pemberian sel darah merah yang perlahan-lahan, tidak melebihi 1 mL/kg/H (Nader et al.,
2013).
Pelaksanaan transfusi bisa sangat sulit pada pasien AIHA. Hal ini dikarenakan
adanya autoantibodi yang dapat mengganggu tipe darah dan mengganggu crossmatch pada
langkah terakhir pencampuran serum atau plasma pasien dengan sel darah merah donor.
Kebanyakan pasien dengan AIHA, autoantibodi akan bereaksi dengan sel donor apapun
sehingga crossmatch memberikan hasil negatif. Studi menunjukkan bahwa 15%-32% dari
pasien akan memiliki alloantibodies yang dapat menyebabkan reaksi transfusi. Terdapat 2
pengecualian pada (Lechner et al., 2010),
1. Pasien yang belum pernah ditransfusi atau ibu hamil jarang memiliki alloantibodies
2. Seorang pasien yang pernah ditransfusi di masa lalu memiliki respon antibodi tetapi
tidak memiliki reaksi hemolitik langsung.