Vous êtes sur la page 1sur 9

A.

PengobatanwarmAIHA
Pengobatanklasik untukAIHAtermasukkortikosteroid, splenektomidanobat
imunosupresifkonvensional. Selama beberapa tahun terakhir, terapibarutelah
tersediadantelah ada bukti keberhasilan. Terapi initerutama digunakanpada pasien yang
tidak bisa menjadi kandidat splenektomi, gagal meresponsplenektomi,
kambuhsetelahsplenektomidan pasien yangtidak dapat mempertahankankadar
hemoglobinstabiltanpadosistinggi kortikosteroid (Alberto et al., 2014). Rekomendasi
Blood Transfusion Guideline (2011),
1. Prednison direkomendasikan sebagai terapi pilihan utama untuk warm auto-imun
anemia hemolitik (AIHA) tipe klasik.
2. Splenektomi efektif pada pasien yang lebih tua dengan warm auto-imun hemolitik
anemia (AIHA) tipe klasik yang kambuh atau resisten terhadap prednison. Splenektomi
hanya diindikasikan pada pasien yang lebih tua karena risiko infeksi.
3. Rituximab dapat dipertimbangkan pada pasien yang resisten terhadap prednisone.
Terapi lini pertama
Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan pengobatan lini pertama untuk pasien dengan jenis
antibodi warm AIHA, meskipun penggunaannya hanya berdasarkan pengalaman
daripada bukti ilmiah. Sedikit informasi yang membahas tentang efektivitas
kortikosteroid dan tidak didukung oleh uji klinis. Steroid berperan menurunkan
produksi auto-Antibodi oleh sel B. Selain itu, steroid mengurangi kepadatan reseptor
Fc-gamma pada fagosit di Steroid spleen. Steroid menginduksi remisi parsial pada 60-
70% pasien dan remisi lengkap pada 10-15% pasien (Barcellini et al., 2013;
Zeerleder, 2011).
Kortikosteroid yang biasa digunakan adalah prednison. Prednison diberikan pada
dosis awal 1,0-1,5 mg/kg/hari selama 1-3 minggu sampai kadar hemoglobin dicapai
lebih dari 10 g/dL. Respon terjadi pada minggu kedua dan jika respon tidak ada atau
peningkatan minimal pada minggu ketiga, terapi ini dianggap tidak efektif. Setelah
stabilisasi hemoglobin, prednison harus secara bertahap dan perlahan diturunkan pada
10-15 mg per minggu untuk dosis harian 20-30 mg, maka dengan 5 mg setiap 1-2
minggu sampai dosis 15 mg kemudian 2,5 mg setiap dua minggu dengan tujuan
menghentikan obat (Barcellini et al., 2013).
Pasien AIHA harus dirawat selama minimal tiga atau empat bulan dengan dosis
rendah prednisone (10 mg/hari). Pasien yang menerima dosis rendah kortikosteroid
selama lebih dari enam bulan memiliki insiden lebih rendah kambuh dan durasi yang
lebih lama remisi daripada menghentikan obat dalam waktu enam bulan. Selain itu,
onset awal terapi steroid berkorelasi dengan probabilitas yang lebih rendah dari
kekambuhan. Perlu diingat bahwa pasien AIHA dengan terapi steroid berkepanjangan
harus diberikan bifosfonat, vitamin D, kalsium dan asam folat (Lechner et al., 2010;
Dussadee et al., 2010).
Pasien dengan hemolisis cepat dan anemia parah atau kasus yang kompleks
seperti sindrom Evans, memerlukan methylprednisolone intravena dengan dosis 100-
200 mg/hari selama 10-14 hari atau 250-1000 mg/hari selama 1-3 hari, meskipun
terapi kortikosteroid highdose untuk AIHA telah digambarkan sebagai case reports.
Terapi Megadose Methylprednisolone (MDMP) telah berhasil mengobati lebih dari
700 pasien dengan gangguan hematologi maupun non-hematologi. Terapi MDMP
terbukti tidak mengganggu pertumbuhan pasien, bahkan dengan paparan jangka
panjang. Bukti lain menyebutkan bahwa efek samping kortikosteroid seperti
hipertensi, obesitas dan penekanan pertumbuhan anak-anak tidak terlihat pada terapi
MDMP (Lechner et al., 2010).
Megadose Methylprednisolone (MDMP) telah digunakan untuk mengobati pasien
AIHA. Hasil tes Coombs menjadi negatif pada lebih dari 4 kasus peningkatan anemia
pada semua pasien dengan terapi jangka panjang MDMP. Perlu diperhatikan pada
terapi MDMP yakni pencegahan atrofi otot dan penggunaan saline tetes hidung untuk
pencegahan infeksi sistem pernapasan atas. Terapi MDMP selain terjadi penurunan
pembentukan antibodi juga dapat meningkatkan erythropoietin sehingga harus
dipertimbangkan adanya peningkatan anemia (Sinasi et al., 2013).
Terapi lini pertama dengan kortikosteroid diharapkan dapat memberikan respon
pada 70-85% pasien. Namun, hanya 1 dari 3 kasus tetap dalam remisi jangka panjang
setelah obat dihentikan, selanjutnya 50% memerlukan dosis pemeliharaan dan sekitar
20-30% perlu tambahan terapi lini kedua. Tidak diketahui berapa banyak pasien yang
sembuh dengan terapi steroid saja tetapi diperkirakan sebanyak <20% dari pasien
AIHA. Pasien yang tidak responsif terhadap terapi lini pertama harus menjalani
evaluasi diagnostik ulang untuk penyakit yang mendasari, seperti tumor ganas, kolitis
ulserativa, teratoma ovarium jinak atau IgM warm autoantibodi (Lechner et al., 2010).
Terapi lini kedua
Setelahkeputusanpengobatan lini kedua,ada beberapa pilihan terapi
meskipunsplenektomidanrituximabadalah satu-satunyapengobatanlini
keduadenganefficacy jangka pendek (Lechner et al., 2010).
Splenektomi
Splenektomi merupakan pengobatan lini kedua konvensional yang paling efektif
pada warm AIHA bagi pasien yang tidak responsif atau tidak toleran terhadap
kortikosteroid, pasien yang membutuhkan dosis pemeliharaan harian prednison > 10 mg
dan pasien sering kambuh. Namun, efficacy belum pernah dibandingkan dengan
pendekatan lini kedua lainnya dan tidak ada data yang meyakinkan tentang durasi remisi
setelah operasi (Lechner et al., 2010).
Kelemahan dari splenektomi adalah kurangnya prediktor yang dapat diandalkan
hasilnya, karena efektivitasnya tidak berhubungan dengan durasi penyakit, respon
terhadap steroid maupun tingkat sequestration spleen. Selain itu, splenektomi
berhubungan dengan komplikasi bedah (emboli paru, pendarahan intra-abdominal, abses
abdominal, hematoma dinding perut) meskipun intervensi laparoskopi dapat menurunkan
risiko bedah dibandingkan dengan operasi konvensional (0,5-1,6% vs 6%). komplikasi
yang paling ditakuti setelah splenektomi adalah sepsis karena paparan bakteri, dengan
risiko 3,3-5% dan tingkat kematian hingga 50%, bahkan setelah vaksinasi pra-operasi
terhadap pneumokokus, meningokokus dan hemofilius (Lechner et al., 2010).
Rituximab
Rituximab merupakan antibodi monoklonalterhadapantigenCD20 yang
diekspresikan padaselB. Rituximab terbukti efektifuntuk terapiAIHA. Rituximab(375
mg/m2mingguanselama rata-rata4minggu) efektif dalam mengobatiwarm
AIHAdanCAD, dengan tingkatresponmedianyang lebih tinggidalambentukwarm
AIHA.Rituximab telah terbukti efektif pada AIHA idiopatik dan sekunder, termasuk
yang berhubungan dengan autoimun, gangguan limfoproliferatif dan transplantasi
sumsum tulang. Monoterapi atau kombinasi dengan kortikosteroid, imunosupresan dan
interferon , memberikan waktu respon bervariasi (Barcellini et al., 2011; Pealver et al.,
2010).
Pengobatan ini efektif juga pada anak-anak dan sindrom Evans sekunder,
limfoproliferatif atau penyakit autoimun lainnya. Pengobatan rituximab ditoleransi
dengan baik dan tidak ada efek samping yang dilaporkan untuk sebagian besar pasien,
termasuk efek samping pemberian lewat infus. Dalam upaya untukmeminimalkanefek
sampingdanmengurangi biaya, dosis rendahrituximab(100
mgdosistetap/mingguanselama 4 minggu) dilaporkanefektifpada pasien
denganAIHAyang gagaluntuk merespon pengobatankonvensional, sebagai
monoterapiataudalam kombinasi denganalemtuzumab(Gomez et al., 2010).
Dosis rendahrituximabsebagaiterapilini pertama
ataukeduamampumenginduksitingkat responskeseluruhan89% (lengkaprespon67%),
dan68% kambuh. Obat iniharus digunakandi awalpengobatanAIHA agar memperoleh
angka kelangsungan hidup mencapai 36bulan. Terapi percobaanfaseIIImenunjukkan
sekitar 70% daripasien yang diobati denganglukokortikoiddanrituximabmendapat
remisiselama 36bulan, dibandingkandengan penggunaan steroid tunggal (Barcellini et
al., 2013; Birgens et al., 2013).
Obat imunosupresif
Sebelum pengenalan rituximab sebagai terapi AIHA, azathioprine (100-150
mg/hari) dan siklofosfamid (100 mg/hari) sering digunakan sebagai pengobatan lini
kedua. Siklosporin A telah berhasil digunakan pada pasien AIHA refraktori. Secara
khusus, terapi jangka panjang dengan siklosporin menginduksi remisi lengkap 3 sampai
4 pasien warm AIHA dengan hemolisis yang mengancam jiwa dan tidak responsif
terhadap pengobatan sebelumnya (Barros et al., 2010).
Siklosporin dalam kaitannya dengan prednison dan danazol, siklosporin
meningkatkan respons lengkap dan mengurangi kekambuhan pada 18 pasien warm
AIHA dibandingkan dengan 26 pasien yang hanya mendapat prednison dan danazol
(89% vs 58%). Remisi lengkap dilaporkan pada semua pasien dewasa (9 idiopatik dan 2
sekunder untuk lupus eritematosus sistemik). Obat imunosupresif terbukti efektif pada
refractory immune cytopenias(AIHA) pada anak-anak dengan sindrom limfoproliferatif
autoimun (Barros et al., 2010).

Pilihan lain
Danazol merupakan steroidanaboliksintetisdengan sifatandrogenikringan terbukti
berhasil digunakanpada 28pasienAIHAbersamaandenganatau setelah terapi steroid. Akan
tetapi, efektivitasnyaterbatas padakasusrefrakterataukambuh, di antaranyahanya 43%
yang mencapairemisi lengkap.Sebanyak 17pasien yang diobati
dengandanazolditambahprednison memberikanrespon yang baiksebagai terapilini
pertama(8 dari10pasien), sedangkan pengobatankurangefektif(3 dari7) pada pasien yang
kambuhataurefraktori.Sebaliknya, sebuah penelitian retrospektiftidak
mengamatimodifikasisubstansialdalamtingkat responmaupun durasi terapiprednisonpada
pasien yang diobatidengandanazol (Barros et al., 2010).
Imunoglobulin intravena (IVIG)
Imunoglobulin intravena (IVIG) sering digunakan sebagai terapi tunggal maupun
kombinasi dengan prednison. Imunoglobulin intravena (IVIG) sebagian besar digunakan
pada anak-anak karena terbukti memberikan efektivitas pada trombositopenia imun
primer dan efek samping yang relatif rendah dibandingkan pengobatan lainnya. Namun,
penggunaannya masih kontroversial. Respon yang baik berupa pemulihan tingkat
hemoglobin yang lebih cepat ketika prednisone dan IVIG dosis tinggi digabungkan.
Hasil ini diperoleh dari 5 pasien dengan warm AIHA berulang terkait CLL. Dosis tinggi
imunoglobulin tidak dianjurkan pada AIHA, kecuali di bawah kendali life-threatening
circumstances (Barros et al., 2010).
Last option treatments
Siklofosfamid dosis tinggi (50 mg/kg/hari selama 4 hari) diikuti oleh granulosit colony-
stimulating factor efektif mencapai remisi lengkap pada 5 dari 8 pasien dengan warm
AIHA. Alemtuzumab merupakan anti-CD52 antibodi monoklonal telah terbukti efektif
pada pasien dengan idiopatik AIHA refraktori dengan tingkat remisi lengkap secara
keseluruhan. Akan tetapi, alemtuzumab hanya digunakan padaAIHA idiopatik berat
yang tidak responsif semua terapi. Ofatumumab merupakan antibodi monoklonal yang
menargetkan epitope unik pada CD20 yang berbeda dari yang ditargetkan oleh
rituximab. Baru-baru ini telah berhasil digunakan dalam kasus CLL terkait warm AIHA
yang tahan terhadap rituximab (Nader et al., 2013).
Hematopoietic stem cell transplantation
Datamengenaitransplantasi sel indukhematopoietik(HSCT) pada warmAIHAterbatas
padakasustunggal atauseri kecil (sebagian besar padasindromEvans). HSCT memberikan
tingkatremisi lengkapsekitar60% HSCT alogenikdan50% HSCT autologus(Nader et al.,
2013).
Terapi suportif
Pasien AIHA membutuhkan transfusi sel darah merah (RBC) untuk
mempertahankan kadar hemoglobin secara klinis. Keputusan transfusi tidak hanya
tergantung pada tingkat hemoglobin, tetapi lebih pada status klinis dan komorbiditas
pasien (terutama jantung iskemik atau penyakit paru yang parah). Selain itu juga
bergantung pada onset penyakit, perkembangan anemia, adanya hemoglobinuria dan
hemoglobinemia atau manifestasi lain dari hemolisis parah. Transfusi darah harus
diberikan pada pasien dalam situasi klinis yang penting bahkan dalam situasi di mana
tidak ada unit kompatibel, karena warm autoantibodi sering panreaktif. Konsentrat ABO-
dan RhD- yang cocok terhadap sel darah merah dapat dengan aman diberikan pada kasus
yang mendesak (Nader et al., 2013).
Pada beberapa pasien, prosedur yang lebih kompleks, seperti warm autoadsorption
atau adsorpsi alogenik diperlukan untuk deteksi alloantibodies. Alloantibodies yang tidak
terdeteksi bisa menjadi penyebab peningkatan hemolisis akibat transfusi sehingga dapat
meningkatakan keparahan AIHA. Autoantibodi secara spesifik didefinisikan ke sistem
Rh dan berpengaruh terhadapt pemilihan darah untuk transfusi. Sehingga pada
administrasi sel darah merah yang mengandung antigen Rh dipastikan bahwa pasien
tidak memiliki risiko alloimmunization. Transfusi yang berlebihan harus dihindari karena
alasan hemodinamik (terutama pada pasien usia lanjut), terjadinya hemoglobinemia dan
hemoglobinuria. Oleh karena itu, jumlah darah untuk transfusi dibatasi dengan
pemberian sel darah merah yang perlahan-lahan, tidak melebihi 1 mL/kg/H (Nader et al.,
2013).

B. Terapi cold AIHA


Terapi CAD berdasarkan pada gejala anemia, ketergantungan transfusi, dan/atau
adanya gejala gangguan sirkulasi. Asimtomatik CAD ringan hanya memerlukan
perlindungan terhadap paparan suhu dingin dan transfusi sesekali di musim dingin. Terapi
imunosupresif sitotoksik konvensional, monoterapi dengan klorambusil atau siklofosfamid
telah menunjukkan beberapa efek menguntungkan. Splenektomi kurang efektif karena
clearance C3bopsonized eritrosit terjadi di hati (Swiecicki et al., 2013).
Ketersediaan rituximab dalam 10-15 tahun terakhir telah mengubah terapi CAD,
karena obat ini diarahkan terhadap klon sel-B patogen. Dosis standar efektif pada sekitar
60% kasus, dengan durasi respon satu tahun. Median waktu respon adalah 1-2 bulan.
Rituximab direkomendasikan sebagai pengobatan lini pertama pada CAD, meskipun
remisi lengkap dan berkelanjutan jarang terjadi. Kombinasi rituximab dan fludarabine
diberikan secara oral (40 mg/m2 pada hari 1-5) memberikan respon yang lebih baik.
Plasmaferesisbergunapada hemolitik krisisakutmeskipunefeknyabersifat sementara.
Mengenaipendekataneksperimental terbaru, perbaikananemiadiamati pada2pasiendengan
monoterapibortezomib, inhibitor26Sproteasome, eculizumab dan monoklonalanti-C5
antibodiuntukparoxysmalnocturnalhemoglobinuria.Akan tetapi,eksperimen iniperlu
dikonfirmasidalampercobaan prospektif (Swiecicki et al., 2013). Rekomendasi Blood
Transfusion Guideline (2011),
1. Jenis cold anemia hemolitik auto-imun (AIHA) resisten terhadap prednison.
2. Splenektomi telah terbukti tidak efektif untuk jenis cold anemia hemolitik auto-imun
(AIHA).
C. TRANSFUSI
Pada pelaksanaan transfusi darah pada pasien AIHA, produk darah harus kompatibel
untuk mengaktifkan alloantibodies pada serum pasien. Jika memungkinkan produk yang
dipilih harus negatif untuk antigen dan alloantibodies telah diidentifikasi pada skrining
antibodi. Selain itu, pengembangan antibodi baru atau tambahan harus dicegah. Oleh
karena itu dapat dipilih produk darah yang kompatibel dengan antigen penerima.
Persyaratan minimal adalah produk yang dipilih harus sesuai dengan Rhesus dan Kell
antigen. Dalam kasus pemilihan produk darah hemolisis parah harus mempertimbangkan
kekhususan auto-Ab. Ketika ditemukan kesulitan dalam memilih RBC yang tepat maka
alloantibodies transfusi lebih penting daripada auto-Ab. Jika tidak ada waktu untuk
menunggu hasil investigasi serologi maka harus diperhatikan untuk mencegah
pembentukan alloantibody dengan mencocokkan RBC antigen: Rhesus, Kell, Kidd, Duffy,
Ss pada pasien dan donor (Nader et al., 2013). Rekomendasi Blood Transfusion Guideline
(2011),
1. Suspek auto-imun hemolitikanemia(AIHA) harus dinyatakandengan permintaanuntuk
diagnosisdantransfusi.
2. Dalam kasusanemiahemolitikauto-imun (AIHA) pada fase akut,
diagnosismendesakseringdiindikasikan untukmenentukan jenisdan
spesifisitasantibodidanmengesampingkanalloantibodies.
3. Untukpasien baru, specificityautoantibodiharus diperiksakarenaseleksitipe dan
donoryang kompatibeluntuk transfusi.
4. Adanyaalloantibodiesharusdikesampingkan.
5. Pada kasusawalhemolitikanemiaauto-imun(AIHA), Hbharus diperiksa (setiap 4 jam),
terutama jikatidak ada responretikulositdanpada kasus krisisaplastik.
6. BatasHbkritis(<3 mmol/L) untuk transfusi, juga berlaku untukauto-
imunhemolitikanemia(AIHA), kecuali adagejalahipoksemia.
7. Analisisserologistidak menjadi kendalamenundatransfusi.
8. Kebijakan transfusi pada hemolitik anemia untuk auto-imun (AIHA) harus dibatasi.
Transfusi berkontribusi pada keadaan disseminated intravascular coagulation,
kegagalan ginjal dan organ. Pada fase akut, Hb harus dipertahankan antara 3 dan 4
mmol/L, dengan tidak lebih dari - 1 unit eritrosit per transfusi.
9. Pada fase akut, jumlah darah yang ditransfusikan harus dijaga sekecil mungkin dan
tidak pernah melebihi 1 unit (5 mL/kg pada anak-anak) serta di bawah pengawasan
konstan.
10. Transfusi eritrosit hanya boleh diberikan untuk mengobati hipoksemia.
11. Jika tidak ada gejala otak/hipoksemia dan gejala jantung, diperbolehkan untuk
menahan terapi jika Hb > 3 mmol/L.
12. Untuk jenis warm auto-imun hemolitik anemia (AIHA), kelangsungan hidup donor
eritrosit sangat pendek (kecuali ada autoantibodi spesifik dan transfusi kompatibel).
Untuk sindrom agglutinin cold kronis, disarankan untuk koreksi moderat anemia
kronis yang parah dengan cara transfusi. Donor eritrosit bertahan hidup lebih pendek
dari eritrosit autologus.
13. Plasmapheresis dan/atau eritrosit apharesis dapat dipertimbangkan untuk terapi
anemia hemolitik auto-imun (AIHA) yang mengancam nyawa, kombinasi dengan
imunoglobulin intravena.
14. Dalam kasus cold auto-imun hemolitik anemia berat (AIHA), ECs harus diberikan
melalui sistem pemanasan.
15. Exhaustion kaskade komplemen dapat terjadi dalam kasus auto-imun hemolitik
anemia (AIHA) dimediasi komplemen dikombinasikan dengan hemolisis
intravaskular. Administrasi 'segar frozen plasma' (FFP) akan dapat membuat hemolisis
lebih buruk.

Pelaksanaan transfusi bisa sangat sulit pada pasien AIHA. Hal ini dikarenakan
adanya autoantibodi yang dapat mengganggu tipe darah dan mengganggu crossmatch pada
langkah terakhir pencampuran serum atau plasma pasien dengan sel darah merah donor.
Kebanyakan pasien dengan AIHA, autoantibodi akan bereaksi dengan sel donor apapun
sehingga crossmatch memberikan hasil negatif. Studi menunjukkan bahwa 15%-32% dari
pasien akan memiliki alloantibodies yang dapat menyebabkan reaksi transfusi. Terdapat 2
pengecualian pada (Lechner et al., 2010),
1. Pasien yang belum pernah ditransfusi atau ibu hamil jarang memiliki alloantibodies
2. Seorang pasien yang pernah ditransfusi di masa lalu memiliki respon antibodi tetapi
tidak memiliki reaksi hemolitik langsung.

Teknik yang paling umum untuk mengidentifikasi alloantibodies adalah


autoadsorption yang melibatkan inkubasi sel darah merah dengan serum pasien untuk
menyerap autoantibodi tersebut. Setelah masa inkubasi, sel-sel pelet dan serum
dikumpulkan sebagai supernatan. serum yang teradsorpsi dapat diinkubasi dengan sampel
lain dari sel-sel pasien untuk adsorpsi kedua jika reaksi aglutinasi awal serum pasien
dengan sel reagen yang kuat. Setelah 1-3 adsorptions, serum yang terserap diuji dengan
panel sel darah merah untuk memeriksa "sisa" alloantibodies (Lechner et al., 2010).
Ketika seorang pasien pertama diduga memiliki AIHA, sampel darah harus
diberikan ke layanan transfusi untuk menjalani tes yang memadai. Banyak pusat akan
menguji darah tidak hanya untuk golongan darah ABO dan D tetapi juga tipe Rh ditambah
memeriksa status Kidd, Duffy dan Kell. Hal ini memungkinkan transfusi fenotip sel darah
merah yang cocok untuk mengurangi risiko pembentukan alloantibody. Klinisi sering
ragu-ragu untuk transfusi pasien dengan AIHA karena respon reaksi,. Namun pada pasien
dengan anemia berat, pasien lanjut usia atau penyakit jantung, transfusi dapat
menyelamatkan nyawa (Lechner et al., 2010).

Vous aimerez peut-être aussi

  • TBR Cover
    TBR Cover
    Document3 pages
    TBR Cover
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Penyakit Ginjal Pada Preeklampsia
    Penyakit Ginjal Pada Preeklampsia
    Document2 pages
    Penyakit Ginjal Pada Preeklampsia
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Presus Abses Peritonsil
    Presus Abses Peritonsil
    Document24 pages
    Presus Abses Peritonsil
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • HELLP Syndrome
    HELLP Syndrome
    Document18 pages
    HELLP Syndrome
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • HELLP Syndrome
    HELLP Syndrome
    Document18 pages
    HELLP Syndrome
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Presus THT
    Presus THT
    Document24 pages
    Presus THT
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Patogenesis CA Ovarium
    Patogenesis CA Ovarium
    Document5 pages
    Patogenesis CA Ovarium
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Preeklamsia
    Preeklamsia
    Document16 pages
    Preeklamsia
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Patogenesis CA Ovarium
    Patogenesis CA Ovarium
    Document5 pages
    Patogenesis CA Ovarium
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Referat Onkologi Zaqiyah y
    Referat Onkologi Zaqiyah y
    Document19 pages
    Referat Onkologi Zaqiyah y
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • HELLP Syndrome
    HELLP Syndrome
    Document18 pages
    HELLP Syndrome
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Laporan PKM
    Laporan PKM
    Document3 pages
    Laporan PKM
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Referat Onkologi Pusva Ns
    Referat Onkologi Pusva Ns
    Document11 pages
    Referat Onkologi Pusva Ns
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Hasil Dan Pembahasan Ketombe
    Hasil Dan Pembahasan Ketombe
    Document1 page
    Hasil Dan Pembahasan Ketombe
    Aghny Ratnasari
    Pas encore d'évaluation
  • Tumor Tiroid
    Tumor Tiroid
    Document32 pages
    Tumor Tiroid
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Presbes Hani
    Presbes Hani
    Document13 pages
    Presbes Hani
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Cover Anes
    Cover Anes
    Document1 page
    Cover Anes
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Optimasi Jantung
    Optimasi Jantung
    Document13 pages
    Optimasi Jantung
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Aiha Eva
    Aiha Eva
    Document10 pages
    Aiha Eva
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Di Anes
    Di Anes
    Document2 pages
    Di Anes
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • 02 - I. Pendahuluan
    02 - I. Pendahuluan
    Document3 pages
    02 - I. Pendahuluan
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • PBL 4 - Atin
    PBL 4 - Atin
    Document1 page
    PBL 4 - Atin
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Surat Lupa Fingerprint + TTD
    Surat Lupa Fingerprint + TTD
    Document1 page
    Surat Lupa Fingerprint + TTD
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • 5 Level Prevention
    5 Level Prevention
    Document3 pages
    5 Level Prevention
    Rizki
    Pas encore d'évaluation
  • Bab I
    Bab I
    Document6 pages
    Bab I
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Aiha Eva
    Aiha Eva
    Document10 pages
    Aiha Eva
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • LAMPIRAN 2 - Kuesioner Hipertensi
    LAMPIRAN 2 - Kuesioner Hipertensi
    Document3 pages
    LAMPIRAN 2 - Kuesioner Hipertensi
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Hasil Dan Pembahasakxaskdn Amilase Saliva
    Hasil Dan Pembahasakxaskdn Amilase Saliva
    Document3 pages
    Hasil Dan Pembahasakxaskdn Amilase Saliva
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Info 3 PBL 3
    Info 3 PBL 3
    Document2 pages
    Info 3 PBL 3
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation
  • Aiha Eva
    Aiha Eva
    Document9 pages
    Aiha Eva
    PusvaNurmalaSari
    Pas encore d'évaluation