Vous êtes sur la page 1sur 27

ANALISA KASUS

Pasien An. NS, perempuan,usia 5 tahun, datang ke instalasi gawat darurat


RS Abdul Azis, dengan keluhan utama bengkak pada seluruh tubuh. Pada awalnya
bengkak hanya terjadi di kelopak mata. Bengkak kemudian semakin bertambah
hingga ke wajah, tungkai, perut, dan genitalia pasien. Pasien juga mengeluhkan
BAK yang dirasa semakin berkurang sejak 1 hari SMRS, BAK juga berwarna
coklat keruh, nyeri BAK disangkal, nyeri pinggang disangkal.

Keluhan bengkak diatas disebut dengan edema. Edema merupakan


akumulasi yang berlebihan pada cairan di jaringan interseluler yang disebabkan
karena ekspansi volume cairan di interstisial. Cairan di ruang interstisial dan
intravaskular diregulasi oleh perbedaan hidrostatik dan perbedaan tekanan onkotik
di kedua ruang tersebut. Akumulasi cairan dapat terjadi jika kondisi patologis
lokal atau sistemik mengganggu keseimbangan yang ada, menyebabkan
peningkatan tekanan hidrostatik kapiler, peningkatan volume plasma, penurunan
tekanan onkotik plasma, peningkatan permaebilitas kapiler, atau obstruksi pada
aliran limfe. Secara umum edema dapat digolongkan menjadi edema terlokalisasi
dan edema generalisata. Pada kasus ini edema yang terjadi adalah edema
generalisata, sehingga penyebab edema terlokalisasi (seperti angioedema dan
limfedema) dapat disingkirkan. Untuk penyebab terjadinya edema generalisata,
ada beberapa sistem organ yang dapat mempengaruhi seperit kardiovaskular,
penyakit hepatobilier, malnutrisi berat, reaksi alergi, luka bakar yang berat, dan
penyakit organ ginjal.1

Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik yang menunjukkan bahwa keluhan


bengkak pasien disertai dengan penurunan jumlah urine, dan perubahan warna
urin menjadi coklat keruh. sehingga dapat dipikirkan penyebab edema pada pasien
ini akibat gangguan pada fungsi ginjal. Selain itu, Dari anamnesis juga didapatkan
bahwa pasien pernah mengalami demam 1 minggu yang lalu. Demam disertai
batuk berdahak dan sakit tenggorokan. Pasien juga mengaku muntah tiap kali
batuk. Hal ini dapat menjelaskan bahwa keluhan edema dan BAK yang dialami

27
pasien mungkin merupakan suatu sindrom nefritik akut pasca infeksi
streptokokus. Edema terjadi pada 85% pasien SNA pasca infeksi streptokokus,
biasanya terjadi mendadak dan pertama kali terjadi di daerah periorbital dan
selanjutnya dapat menjadi edema anasarka. Derajat berat ringannya edema yang
terjadi tergantung pada beberapa faktor yaitu luasnya kerusakan glomorelus yang
terjadi, asupan cairan, dan derajat hipoalbuminemia. Sindrom nefritik akut pasca
infeksi streptokokus dengan gejala klinis yang jelas termasuk penyakit dengan
insiden yang tidak terlalu tinggi, sekitar 1 : 10.000. Sindrom nefritik akut pasca
infeksi streptokokus tanpa gejala insidennya mencapai jumlah 4- 5 kali lebih
banyak. Umumnya menyerang semua usia, namun terutama usia 3- 7 tahun.2
Diagnosis sindroma nefritik akut merupakan suatu kumpulan gejala klinik
berupa proteinuria, hematuria, azotemia, red blood cast, oliguria dan hipertensi
(PHAROH) yang terjadi secara akut. Pada pasien ini, ditemukan seluruh gejala
sehingga diagnosis sementara (working diagnosis) SNA bagi pasien dapat
ditegakkan. Bila pada pemantauan selanjutnya ditemukan gejala dan tanda yang
menyokong diagnosis GNAPS (C3, ASO, dll), maka diagnosis menjadi
GNAPS. Hal ini penting diperhatikan, oleh karena ada pasien yang didiagnosis
sebagai GNAPS hanya berdasarkan gejala nefritik, ternyata merupakan penyakit
sistemik yang juga memperlihatkan gejala nefritik.3
Bila dijumpai full blown cases yaitu kasus dengan gejala nefritik yang
lengkap yaitu proteinuria, hematuria, edema, oliguria, dan hipertensi, maka
diagnosis GNAPS dapat ditegakkan, karena gejala tersebut merupakan gejala khas
(tipikal) untuk suatu GNAPS.3
Diagnosis banding terdekat sindrom nefritik akut pasca infeksi
streptokokus adalah penyebab lain dari sindrom nefritik akut yaitu penyakit-
penyakit parenkim ginjal baik primer maupun sekunder, seperti glomerulonefritis
akut non streptokokus, nefropati Ig A, sistemik lupus eritematosus, purpura
Henoch-Schoenlein, sindroma Good-Pasture, dan granulomatosis Wegener. Pada
Tabel 1 berikut diuraikan secara singkat gambaran histologis serta patogenesis
masing-masing diagnosa banding dari SNA pasca infeksi streptokokus.4,5

28
Tabel 1. Klasifikasi dan perbedaan beberapa etiologi glomerulonefritis6
Etiologi Histopatologi Patogenesis
Glomerulonefritis Streptokokus, Glomerulonefritis Kompleks
akut (post infeks bakteri lain proliferatif imun
difus
Nefropati Ig ISPA (viral), infeksi Glomerulonefritis Tidak diketahui
A (penyakit traktus GI, mesangioproliferatif
Berger,HSP) flu like syndrome

Lupus Glomerulonefritis Kompleks


erythematosus, cresentic imun
krioglobulinemia
campuran,
infeksi
endokarditis
subakut, infeksi
pirai
Rapidly progres- Sindroma Glomerulonefritis Antibodi anti
sive glomerulo- Goodpasture.s cresentic GBM
nefritis atau idiopati
Granulomatosis Glomerulonefritis Tidak diketahui
Wegener, cresentic
poliarteritis,
idiopati

Pada GNAPS yang khas harus ada periode laten yaitu periode antara
infeksi streptokokus dan timbulnya gejala klinik. Periode ini berkisar 1-3 minggu;
periode 1-2 minggu umumnya terjadi pada GNAPS yang didahului oleh ISPA,
sedangkan periode 3 minggu didahului oleh infeksi kulit/piodermi. Periode ini
jarang terjadi di bawah 1 minggu. Bila periode laten ini berlangsung kurang dari 1
minggu, maka harus dipikirkan kemungkinan penyakit lain, seperti eksaserbasi
dari glomerulonefritis kronik, lupus eritematosus sistemik, purpura Henoch-
Schenlein atau Benign recurrent haematuria.3

29
Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dengan gambaran klinis
kerusakan glomerulus menunjukkan bahwa proses imunologis memegang peranan
penting dalam patogenesis glomerulonefritis. Mekanisme dasar terjadinya
sindrom nefritik akut pasca infeksi streptokokus adalah adanya suatu proses
imunologis yang terjadi antara antibodi spesifik dengan antigen streptokokus.
Proses ini terjadi di dinding kapiler glomerulus dan mengakibatkan aktivasi sistem
komplemen. Selanjutnya sistem komplemen memproduksi aktivator komplemen
5a (C5a) dan mediator-mediator inflamasi lainnya. Sitokin dan faktor pemicu
imunitas seluler lainnya akan menimbulkan respon inflamasi dengan manifestasi
proliferasi sel dan edema glomerular.

Gambar 1. Patofisiologi GNAPS


Penurunan laju fltrasi glomerulus berhubungan dengan penurunan
koefsien ultrafltrasi glomerulus. Penurunan laju fltrasi glomerulus diikuti
penurunan ekskresi atau kenaikan reabsorbsi natrium sehingga terdapat

30
penimbunan natrium dengan air selanjutnya akan diikuti kenaikan volume plasma
dan volume cairan ekstraselular sehingga akan timbul gambaran klinis oliguria,
hipertensi, edema dan bendungan sirkulasi.

Pada pemeriksaan awal hari I perawatan tekanan darah pasien tergolong


hipertensi grade II. Batasan hipertensi menurut The Fourth Report on the
Diagnosis, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure in Children and
Adolescent adalah sebagai berikut :7

a. Hipertensi adalah nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih
dari persentil ke-95 berdasarkan jenis kelamin, usia, dan tinggi badan pada
pengukuran sebanyak 3 kali atau lebih.

b. Prehipertensi adalah nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik
antara persentil ke-90 dan 95. Pada kelompok ini harus diperhatikan secara
teliti adanya faktor risiko seperti obesitas. Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa kelompok ini memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk menjadi
hipertensi pada masa dewasa dibandingkan dengan anak yang normotensi.

c. Hipertensi emergensi adalah hipertensi berat disertai komplikasi yang


mengancam jiwa, seperti ensefalopati (kejang, stroke, defisit fokal), payah
jantung akut, edema paru, aneurisma aorta, atau gagal ginjal akut.

Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah

Tujuan pengobatan hipertensi pada anak adalah mengurangi risiko jangka


pendek maupun panjang terhadap penyakit kardiovaskular dan kerusakan organ

31
target. Upaya mengurangi tekanan darah saja tidak cukup untuk mencapai tujuan
ini. Selain menurunkan tekanan darah dan meredakan gejala klinis, juga harus
diperhatikan faktor-faktor lain seperti kerusakan organ target, faktor komorbid,
obesitas, hiperlipidemia, kebiasaan merokok, dan intoleransi glukosa. Pada
umumnya ahli nefrologi anak sepakat bahwa pengobatan hipertensi ditujukan
terhadap anak yang menunjukkan peningkatan tekanan darah di atas persentil ke-
99 yang menetap. Tujuan akhir pengobatan hipertensi adalah menurunkan tekanan
darah hingga di bawah persentil ke-95 berdasarkan usia dan tinggi badan anak.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengobatan yang dilakukan secara tepat
sejak awal pada anak yang menderita hipertensi ringan-sedang akan menurunkan
risiko terjadinya stroke dan penyakit jantung koroner di kemudian hari.7
Pengobatan hipertensi pada anak dibagi ke dalam 2 golongan besar, yaitu
nonfarmakologis dan farmakologis yang tergantung pada usia anak, tingkat
hipertensi dan respons terhadap pengobatan. Di bawah ini dicantumkan beberapa
keadaan hipertensi pada anak yang merupakan indikasi dimulainya pemberian
obat antihipertensi:
1. Hipertensi simtomatik
2. Kerusakan organ target, seperti retinopati, hipertrofi ventrikel kiri, dan
proteinuria
3. Hipertensi sekunder
4. Diabetes melitus
5. Hipertensi tingkat 1 yang tidak menunjukkan respons dengan perubahan gaya
hidup
6. Hipertensi tingkat 2.

Pemilihan obat yang pertama kali diberikan sangat tergantung dari


pengetahuan dan kebijakan dokter. Golongan diuretik dan -blocker merupakan
obat yang dianggap aman dan efektif untuk diberikan kepada anak. Golongan obat
lain yang perlu dipertimbangkan untuk diberikan kepada anak hipertensi bila ada
penyakit penyerta adalah penghambat ACE (angiotensin converting enzyme) pada
anak yang menderita diabetes melitus atau terdapat proteinuria, serta -adrenergic

32
atau penghambat calcium-channel pada anak-anak yang mengalami migrain.
Selain itu pemilihan obat antihipertensi juga tergantung dari penyebabnya,
misalnya pada glomerulonefritis akut pascastreptokokus pemberian diuretic
merupakan pilihan utama, karena hipertensi pada penyakit ini disebabkan oleh
retensi natrium dan air. Golongan penghambat ACE dan reseptor angiotensin
semakin banyak digunakan karena memiliki keuntungan mengurangi proteinuria.
Penggunaan obat penghambat ACE harus hati-hati pada anak yang mengalami
penurunan fungsi ginjal. Meskipun kaptopril saat ini telah digunakan secara luas
pada anak yang menderita hipertensi, tetapi saat ini banyak pula dokter yang
menggunakan obat penghambat ACE yang baru, yaitu enalapril. Obat ini memiliki
masa kerja yang panjang, sehingga dapat diberikan dengan interval yang lebih
panjang dibandingkan dengan kaptopril.7

Gambar 2. Alur Tatalaksana Hipertensi


Pada perawatan hari ke 3 tekanan darah pasien meningkat dan tergolong
kedalam Hipertensi krisis. Hipertensi krisis adalah suatu keadan yang
menunjukkan tekanan darah yang harus diturunkan dalam waktu satu jam, karena
pasien ini mengalami payah jantung. Pemberian nifedipine oral atau sublingual
kerja cepat yang sangat menbatu pada tahap awal pengobatan. Anak yang

33
menderita hipertensi krisis harus dirawat untuk memantau keadaan dan melihat
efek samping pengobatan. Tekanan darah harus diturunkan dengan target
sebanyak 20-30% dari MAP pasien. Hipertensi merupakan tanda kardinal ketiga
bagi SNA pasca infeksi streptokokus, hipertensi dilaporkan terjadi pada 50-90%
dari penderita yang dirawat dengan glomeluronefritis akut. Ledingham3
mengungkapkan hipotesis terjadinya hipertensi mungkin akibat dari dua atau tiga
faktor berikut yaitu, gangguan keseimbangan natrium, peranan sistem renin
angiotensinogen dan substansi renal medullary hypotensive factors, diduga
prostaglandin. Bendungan sirkulasi banyak terjadi pada penderita yang dirawat di
rumah sakit. Manifestasi klinis yang tampak dapat berupa dyspneu, orthopneu,
batuk dan edema paru.7
Pada pasien ditemukan adanya tanda-tanda gangguan sistem kardiovaskular
berupa takipneu, takikardi, suara jantung tambahan (gallop), orthopnea, palpitasi,
dan dispneu deffort. Gejala kardiovaskular pada pasien ini bisa merupakan efek
bendungan sirkulasi yang terjadi pada 20-70% kasus GNAPS. Hal ini dapat terjadi
akibat retensi Na dan air sehingga terjadi kondisi hipervolemia dengna komplikasi
terberat yang dapat muncul adalah edema paru. Edema paru merupakan gejala
yang paling sering terjadi akibat bendungan sirkulasi. Kelainan ini bisa bersifat
asimtomatik, artinya hanya terlihat secara radiologik. Gejala-gejala klinik adalah
batuk, sesak napas, sianosis. Pada pemeriksaan fisik terdengar ronki basah kasar
atau basah halus. Keadaan ini disebut acute pulmonary edema yang umumnya
terjadi dalam minggu pertama dan kadang-kadang bersifat fatal. Gambaran klinik
ini menyerupai bronkopnemonia sehingga penyakit utama ginjal tidak
diperhatikan. Oleh karena itu pada kasus-kasus demikian perlu anamnesis yang
teliti dan jangan lupa pemeriksaan urin. Frekuensi kelainan radiologik toraks
berkisar antara 62,5-85,5% dari kasus-kasus GNAPS. Kelainan ini biasanya
timbul dalam minggu pertama dan menghilang bersamaan dengan menghilangnya
gejala-gejala klinik lain. Kelainan radiologik toraks dapat berupa kardiomegali,
edema paru dan efusi pleura. Tingginya kelainan radiologik ini oleh karena
pemeriksaan radiologik dilakukan dengan posisi Postero Anterior (PA) dan Lateral
Dekubitus Kanan (LDK).3

34
Suatu penelitian multisenter di Indonesia menunjukkan efusi pleura 81,6%,
sedangkan Srinagar da Pondy Cherry mendapatkan masing-masing 0,3% dan
52%.1 Bentuk yang tersering adalah bendungan paru. Kardiomegali disertai
dengan efusi pleura sering disebut nephritic lung. Kelainan ini bisa berdiri sendiri
atau bersama-sama. Pada pengamatan 48 penderita GNAPS yang dirawat di
departemen Anak RSU. Wahidin Sudirohusodo dan RS. Pelamonia di Makassar
sejak April 1979 sampai Nopember 1983 didapatkan 56,4% kongesti paru, 48,7%
edema paru dan 43,6% efusi pleura. Kelainan radiologik paru yang ditemukan
pada GNAPS ini sering sukar dibedakan dari bronkopnemonia, pnemonia, atau
peradangan pleura, oleh karena adanya ronki basah dan edema paru. Menurut
beberapa penulis, perbaikan radiologik paru pada GNAPS biasanya lebih cepat
terjadi, yaitu dalam waktu 5-10 hari, sedangkan pada bronkopnemonia atau
pneumonia diperlukan waktu lebih lama, yaitu 2-3 minggu. Atas dasar inilah
kelainan radiologik paru dapat membantu menegakkan diagnosis GNAPS
walaupun tidak patognomonik. Kelainan radiologik paru disebabkan oleh kongesti
paru yang disebabkan oleh hipervolemia akibat absorpsi Na dan air.3
Di sisi lain, gejala kardiovaskular yang dialami pasien juga merupakan
tanda gagal jantung yang dialami pasien akibat hipertensi krisis yang dialami
pasien. Gagal jantung didefinisikan sebagai keadaan patologis dimana jantung
tidak mampu memompa darah cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik
tubuh.8,9 Gagal jantung pada bayi dan anak merupakan suatu sindrom klinis yang
ditandai oleh miokardium tidak mampu memompa darah ke seluruh tubuh untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh termasuk kebutuhan untuk
pertumbuhan.8,9 Adapun penyebab gagal jantung pada anak diuraikan pada tabel
berikut.

Etiologi Gagal Jantung Pada Masa Anak-Anak


Penyakit jantung kongenital
Regurgitasi katup atrioventrikular
Demam Rematik

35
Miokaditis virus
Endokarditis bakterial
Sebab-sebab sekunder
Hipertensi
Tirotoksikosis
Kardiomiopati
Anemia
Cor pulmonal
Tabel 3. Etiologi Gagal Jantung Pada Masa Anak-Anak
Ada empat parameter yang dapat digunakan untuk klasfikasi gagal jantung
yaitu:
1. Fungsi miokardium
2. Kapasitas fungsional; kemampuan untuk mempertahankan aktivitas harian dan
kapasitas latihan maksimal.
3. Outcome fungsional (mortalitas, kebutuhan untuk transplantasi)
4. Derajat aktivasi mekanisme kompensasi (contohnya respon neurohormonal)
Tabel 4. Klasifikasi Ross untuk gagal jantung pada bayi sesuai NYHA10
Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas fisik; aktivitas biasa tidak menimbulkan
kelelahan, dispnea, atau palpitasi.
Kelas II Ada pembatasan ringan dari aktivitas fisik : aktivitas biasa menimbulkan
kelelahan, dispnea, palpitasi, atau angina.
Kelas III Pembatasan pada aktivitas fisik : walaupun pasien nyaman saat istirahat,
sedikit melakukan aktivitas biasa saja dapat menimbulkan gejala.
Kelas IV Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas. Gejala gagal jantung
timbul saat istirahat

Klasifikasi untuk anak tidak mudah dibuat karena luasnya kelompok umur
dengan variasi angka normal untuk laju nafas dan laju jantung, rentang
kemampuan kapasitas latihan yang lebar (mulai dari kemampuan minum ASI
sampai kemampuan mengendarai sepeda), dan variasi etiologi yang berbeda pula.
Ross dkk tahun 1922 mempublikasikan sistem skor untuk mengklasifikasikan
gagal jantung secara klinis pada bayi (Tabel 6). Skor Ross ini disejajarkan dengan
klasifikasi New York Heart Association (NYHA) (Tabel 4) dapat memberikan

36
gambaran yang lebih rinci oleh karena peningkatan derajat beratnya gagal jantung
sesuai dengan peningkatan kadar norepinefrin plasma dan kadar ini akan menurun
setelah dilakukan koreksi ataupun setelah pemberian obat anti gagal jantung.
Tabel 5. Sistem skor Ross untuk gagal jantung pada bayi10
0 1 2
Volume sekali >115 75-115 <25
minum (cc)
Waktu persekali <40 menit <40 menit
minum (menit)
Laju nafas <50/menit 50-60/menit >60/menit
Pola nafas Normal Abnormal
Perfusi perifer Normal Menurun
S3 atau diastolik Tidak ada Ada
rumble
Jarak tepi hepar <2 cm 2-3 Cm >3 cm
dari batas kostae
TOTAL:
Tanpa gagal jantung : 0-2 poin
Gagal jantung ringan : 3-6 poin
Gagal jantung sedang : 7-9 poin
Gagal jantung berat : 10-12 poin

Untuk anak lebih dari 1 tahun sampai remaja, Reittmann dkk


menganjurkan menggunakan klasifikasi lain (Tabel 6). Dengan menggunakan skor
ini bila skor lebih dari 6 mempunyai korelasi yang bermakna terhadap
menurunnya aktivitas adenilat siklase.
Tabel 6. Sistem klinis gagal jantung pada anak10
Kriteria Skor
0 1 2
Riwayat Hanya Kepala dan badan Kepala dan
Diaporesis (berkeringat) dikepala saat beraktivitas badan saat
istirahat
Takipnea Jarang Kadang-kadang sering
Pemeriksaan Fisik

37
Pernapasan Normal retraksi Dispnea
Laju napas/ menit
1-6 th <35 35-45 >45
7-10 th <25 25-35 >35
11-14 th <18 18-28 >28
Laju Jantung/ menit
1-6 th <105 105-115 >115
7-10 th <90 90-100 >100
11-14 th <80 80-90 >90
Hepatomegali (tepi hepar < 2 cm 2-3 cm >3 cm
dari tepi kostae kanan)

Tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung pada anak yang lebih tua
sangat serupa dengan tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung pada orang
dewasa.8,11 Tanda-tanda ini meliputi kelelahan, tidak tahan kerja fisik, batuk,
anoreksia, dan nyeri abdomen.8 Kesukaran bernafas merupakan tanda yang biasa
dari dekompensasi ventrikel kiri pada anak akibat kongesti paru.8,11 Ini biasanya
tampak sebagai dispneu pada waktu pengerahan tenaga dan respon kesukaran
bernafas yang bertambah berat pada pengerahan tenaga yang berat. Mula-mula
penurunan kemampuan mungkin masih dalam kisaran variasi normal, tetapi
akhirnya, ketika gagal jantung bertambah berat, anak mungkin mendapat
kesukaran dengan tuntutan hidup sehari-hari, termasuk naik tangga di sekolah.11
Batuk pendek kronik, akibat kongesti mukosa bronkus dan ronki basal,
dapat juga ada pada beberapa anak. Ketika tekanan atrium kiri bertambah, anak
dapat menderita ortopnea, memerlukan peninggian kepala diatas beberapa bantal
pada malam hari.8,11 Kelelahan dan kelemahan merupakan manifestasi yang relatif
lambat.11
Pada pemeriksaan fisik, anak dengan gagal jantung ringan atau sedang
tampak tidak dalam keadaan distres, tetapi mereka yang menderita gagal jantung
berat mungkin dispneu pada waktu istirahat. Jika mulainya gagal jantung relatif
mendadak, anak mungkin tampak cemas tetapi perkembangan baik dan gizi baik;
mereka yang mengalami proses lebih kronik biasanya tidak tampak cemas tetapi
mungkin kurang gizi dan kurang energi.11

38
Seperti bayi, anak dengan gagal jantung biasanya takikardi karena naiknya
aktifitas simpatis dan takipneu karena bertambahnya air dalam paru-paru . Curah
jantung yang rendah dapat menyebabkan vasokonstriksi perifer, berakibat dingin,
pucat dan sianosis jari, dengan pengisian kapiler jelek.11
Kenaikan tekanan venosa sistemik dapat diukur dengan penilaian klinis
tekanan vena jugularis dan pembesaran hati. 8 Tekanan vena sistemik yang naik
mungkin dideteksi oleh pelebaran (dilatasi) vena-vena leher dengan pulsasi vena
dapat tampak di atas klavikula sementara penderita duduk. Hati mungkin
membesar pada palpasi atau perkusi, dan jika pembesaran relative akut, mungkin
tepinya lunak karena meregangnya kapsul hati.11
Anak-anak dapat juga menderita udem perifer. Mula-mula tanda-tandanya
mungkin tidak kentara, tetapi bila telah ada kenaikan berat badan 10%, muka
terutama kelopak mata, mulai tampak bengkak dan udem terjadi pada bagian
tubuh yang tergantung atau dapat anasarka. Udem yang sudah berjalan lama dapat
menimbulkan kemerahan dan indurasi kulit., biasanya diatas betis dan
pergelangan kaki. Eksudasi cairan ke dalam rongga-rongga tubuh dapat
ditemukan sebagai asites dan kadang-kadang hidrothoraks.11
Pada pemeriksaan jantung hampir selalu ada kardiomegali. Sering ada
irama gallop, tanda-tanda auskultasi lain khas untuk lesi jantung spesifik.8 Impuls
jantung mungkin tenang bila ada penyakit otot jantung primer (missal, miokarditis
atau kardiomiopati), tetapi biasanya hiperaktif bila gagal kongestif disebabkan
oleh beban volume berlebih dari pirau kiri ke kanan atau regurgitasi katup
atrioventrikula. Suara jantung ketiga yang terjadi dalam mid diastol mungkin
merupakan tanda normal pada anak tetapi sering bersama dengan bertambahnya
kekakuan ventrikel pada mereka yang dengan penyakit jantung. Pulsus alternans
ditandai irama teratur dengan pulsasi kuat dan lemah berselang-seling,
kadangkadang dapat dirasakan, tetapi lebih mudah dinilai sementara mengukur
tekanan darah sistemik atau pemantauan tekanan darah. Pulsus alternans diduga
disebabkan oleh perubahan pada volume ventrikel kiri, akibat pemulihan
miokardiumnya tidak sempurna pada denyut yang berselang-seling. Pulsus
paradoksus (turunnya tekanan darah pada inspirasi dan naik pada ekspirasi),

39
akibat irama tekanan intrapulmoner yang mencolok yang mempengaruhi
pengisian ventrikel (seperti pada tamponade pericardium), kadang-kadang
ditemukan pada anak yang lebih tua.11
Pada anak, sinar-x dada hampir selalu menunjukkan pembesaran jantung.
Gambaran aliran arteria pulmonalis normal terbalik (yaitu, aliran ke dasar paru-
paru bertambah dibandingkan dengan yang di apeks). Bila tekanan kapiler
melebihi 20-25 mmHg, udem pulmonum interstisial mungkin terjadi,
menyebabkan kekabutan seluruh lapangan paru-paru terutama pada gambaran
kupu-kupu sekitar hilus. Ini dapat menimbulkan garis Kerley, kepadatan linier
tajam pada septum interlobarus.8
Keberhasilan pengobatan gagal jantung pada anak didasarkan pada
pengertian mengenai sifat dan akibat fisiologis cacat jantung spesifik yang
menyebabkan kegagalan jantung, dan tersedianya cara-cara pengobatan. Untuk
mereka yang dengan penyakit struktural dan keadaan terkait atau keadaan yang
memperburuk yang dapat merupakan penyebab yang mempercepat gagal jantung
(misalnya demam, disritmia, dan anemia), pengenalan dan pengobatan segera
dapat mengahsilkan perbaikan yang dramatis. Jika ada lesi anatomik spesifik yang
dapat dipertanggungjawabkan untuk tindakan pembedahan paliatif atau
pembedahan koreksi, upaya farmakologik atau upaya lain yang memperbaiki
tanda-tanda dan gejala-gejala gagal jantung mungkin berlebih, masalah mekanik
sering memerlukan penyelesaian mekanik. Namun jika pembedahan tidak tersedia
atau tidak memadai, tersedia bermacam-macam cara umum dan farmakologis
untuk memperbaiki keadaan klinik penderita.8
Penatalaksanaan Umum:
1. Tirah baring, posisi setengah duduk.11
Pengurangan aktivitas fisik merupakan sandaran utama pengobatan gagal
jantung dewasa, namun sukar pada anak. Olahraga kompetitif, yang memerlukan
banyak tenaga atau isometrik harus dihindari, namun tingkat kepatuhan anak
dalam hal ini sangat rendah. Jika terjadi gagal jantung berat, aktivitas fisik harus
sangat dibatasi. Saat masa tirah baring seharian, sebaiknya menyibukkan mereka
dengan kegiatan ringan yang mereka sukai yang dapat dikerjakan diatas tempat

40
tidur (menghindari anak berteriak-teriak tidak terkendali). Sedasi kadang
diperlukan: luminal 2-3 mg/kgBB/dosis tiap 8 jam selama 1-2 hari.
2. Penggunaan oksigen.11
Penggunaan oksigen mungkin sangat membantu untuk penderita gagal
jantung dengan udem paru-paru, terutama jika terdapat pirau dari kanan ke kiri
yang mendasari dengan hipoksemia kronik. Diberikan oksigen 30-50% dengan
kelembaban tinggi supaya jalan nafas tidak kering dan memudahkan sekresi
saluran nafas keluar. Namun, oksigen tidak mempunyai peran pada pengobatan
gagal jantung kronik.
3. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit.
4. Pembatasan cairan dan garam. Dianjurkan pemberian cairan sekitar 70-80%
(2/3) dari kebutuhan.
Sebelum ada agen diuretik kuat, pembatasan diet natrium memainkan
peran penting dalam penatalaksanaan gagal jantung. Makanan rendah garam
hampir selalu tidak sedap, lebih baik untuk mempertahankan diet adekuat dengan
menambah dosis diuretik jika diperlukan. Sebaiknya tidak menyarankan untuk
membatasi konsumsi air kecuali pada gagal jantung yang parah.8,11
5. Diet makanan berkalori tinggi
Bayi yang sedang menderita gagal jantung kongestif banyak kekurangan
kalori karena kebutuhan metabolisme bertambah dan pemasukan kalori berkurang.
Oleh karena itu, perlu menambah kalori harian. Sebaiknya memakai makanan
berkalori tinggi, bukan makanan dengan volume yang besar karena anak ini
ususnya terganggu. Juga sebaiknya makanannya dalam bentuk yang agak cair
untuk membantu ginjal mempertahankan natrium dan keseimbangan cairan yang
cukup.8
6. Pemantauan hemodinamik yang ketat.
Pengamatan dan pencatatan secara teratur terhadap denyut jantung, napas,
nadi, tekanan darah, berat badan, hepar, desakan vena sentralis, kelainan paru,
derajat edema, sianosis, kesadaran dan keseimbangan asam basa.8
7. Hilangkan faktor yang memperberat (misalnya demam, anemia, infeksi) jika
ada.

41
Peningkatan temperatur, seperti yang terjadi saat seorang menderita
demam, akan sangat meningkatkan frekuensi denyut jantung, kadang-kadang dua
kali dari frekuensi denyut normal. Penyebab pengaruh ini kemungkinan karena
panas meningkatkan permeabilitas membran otot ion yang menghasilkan
peningkatan perangsangan sendiri. Anemia dapat memperburuk gagal jantung,
jika Hb < 7 gr % berikan transfusi PRC. Antibiotika sering diberikan sebagai
upaya pencegahan terhadap miokarditis/ endokarditis, mengingat tingginya
frekuensi ISPA (Bronkopneumoni) akibat udem paru pada bayi/ anak yg
mengalami gagal jantung kiri. Pemberian antibiotika tersebut boleh dihentikan
jika udem paru sudah teratasi. Selain itu, antibiotika profilaksis tersebut juga
diberikan jika akan dilakukan tindakan-tindakan khusus misalnya mencabut gigi
dan operasi. Jika seorang anak dengan gagal jantung atau kelainan jantung akan
dilakukan operasi, maka tiga hari sebelumnya diberikan antibiotika profilaksis dan
boleh dihentikan tiga hari setelah operasi.
8. Penatalaksanaan diit pada penderita yang disertai malnutrisi, memberikan
gambaran perbaikan pertumbuhan tanpa memperburuk gagal jantung bila
diberikan makanan pipa yang terus-menerus.8
Karena penyebab gagal jantung begitu bervariasi pada anak, maka sukar
untuk membuat generalisasi mengenai penatalaksanaan medikamentosa.
Walaupun demikian, dipegang beberapa prinsip umum. Secara farmakologis,
pengobatan adalah pendekatan tiga tingkat, yaitu:11
1. Memperbaiki kinerja pompa jantung
2. Mengendalikan retensi garam dan air yang berlebihan
3. Mengurangi beban kerja
Pendekatan pertama adalah memperbaiki kinerja pompa dengan
menggunakan digitalis, jika gagal jantung tetap tidak terkendali maka digunakan
diuretik (pegurangan prabeban) untuk mengendalikan retensi garam dan air yang
berlebihan. Jika kedua cara tersebut tidak efektif, biasanya dicoba
penguranganbeban kerja jantung dengan vasodilator sistemik (pengurangan beban
pasca). Jika pendekatan ini tidak efektif, upaya lebih lanjut memperbaiki kinerja

42
pompa jantung dapat dicoba dengan agen simpatomimetik atau agen inotropik
positif lain. Jika tidak ada dari cara-cara tersebut yang efektif, mungkin diperlukan
transplantasi jantung. Untuk menilai hasilnya harus ada pencatatan yang teliti dan
berulangkali terhadap denyut jantung, napas, nadi, tekanan darah, berat badan,
hepar, desakan vena sentralis, kelainan paru, derajat edema, sianosis, dan
kesadaran.11
Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan kelainan urinalisis berupa
proteinuri dengan hasil +++. Secara kualitatif, proteinuria pada SNA pasca
infeksi streptokokus berkisara antara negatif sampai +++. Bila terdapat proteinuria
+++ harus dipertimbangkan adanya gejala sindrom nefrotik atau hematuria
makroskopik. Secara kuantitatif proteinuria biasanya kurang dari 2 gram/m2
LPB/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu dapat melebihi 2 gram/m2 LPB/24 jam.
Hilangnya proteinuria tidak selalu bersamaan dengan hilangnya gejala-gejala
klinik, sebab lamanya proteinuria bervariasi antara beberapa minggu sampai
beberapa bulan sesudah gejala klinik menghilang. Sebagai batas 6 bulan, bila
lebih dari 6 bulan masih terdapat proteinuria disebut proteinuria menetap yang
menunjukkan kemungkinan suatu glomerulonefritis kronik yang memerlukan
biopsi ginjal untuk membuktikannya.3
Hematuri makrokospis terjadi sekitar 30-50% pada penderita SNA pasca
streptokokus. Manifestasi yang timbul urine dapat berwarna seperti cola, teh
ataupun keruh dan sering dengan oliguri. Sedangkan untuk hematuria
mikroskopik, kelainan ini hampir selalu ada, karena itu adanya eritrosit dalam urin
ini merupakan tanda yang paling penting untuk melacak lebih lanjut kemungkinan
suatu glomerulonefritis. Begitu pula dengan torak eritrosit yang dengan
pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85% kasus GNAPS. Adanya torak eritrosit ini
merupakan bantuan yang sangat penting pada kasus GNAPS yang tidak jelas,
sebab torak ini menunjukkan adanya suatu peradangan glomerulus (glomerulitis).
Meskipun demikian bentuk torak eritrosit ini dapat pula dijumpai pada penyakit
ginjal lain, seperti nekrosis tubular akut.3
Pada pemeriksaan urin, ditemukan juga hasil nitrit positif. Adanya nitrit
pada urin merupakan penunjuk yang sensitif akan adanya Infeksi saluran kemih

43
pada pasien. Bakteri yang terdapat pada saluran kemih akan mengubah nitrat
menjadi nitrit dengan bantuan enzim yang dimiliki oleh bakteri sehingga
keberadaan nitrit dalam urin merupakan tanda adanya infeksi bakteri dalam
saluran kemih. Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi
yang sering pada anak. ISK perlu mendapat perhatian para dokter maupun
orangtua karena berbagai alasan, antara lain ISK sering sebagai tanda adanya
kelainan pada ginjal dan saluran kemih yang serius seperti refluks vesiko-ureter
(RVU) atau uropati obstruktif. Manifestasi klinis ISK sangat bervariasi dan
tergantung pada umur, mulai dengan asimtomatik hingga gejala yang berat,
sehingga ISK sering tidak terdeteksi baik oleh tenaga medis maupun oleh
orangtua. Kesalahan dalam menegakkan diagnosis (underdiagnosis atau
overdiagnosis) akan sangat merugikan. Underdiagnosis dapat berakibat penyakit
berlanjut ke arah kerusakan ginjal karena tidak diterapi. Sebaliknya overdiagnosis
menyebabkan anak akan menjalani pemeriksaan dan pengobatan yang tidak perlu.
Bila diagnosis ISK sudah ditegakkan, perlu ditentukan lokasi dan beratnya invasi
ke jaringan, karena akan menentukan tata laksana dan morbiditas penyakit.12
Escherichia coli (E.coli) merupakan kuman penyebab tersering (60-80%)
pada ISK serangan pertama. Kuman lain penyebab ISK. Yang sering adalah
Proteus mirabilis, Klebsiella pneumonia, Klebsiella oksitoka, Proteus vulgaris,
Pseudomonas aeroginosa, Enterobakter aerogenes, dan Morganella morganii,
Stafilokokus, dan Enterokokus. Risiko ISK pada anak sebelum pubertas 3-5%
pada anak perempuan dan 1-2% pada anak laki. Pada anak dengan demam
berumur kurang dari 2 tahun, prevalensi ISK 3-5%.12
Gejala klinik ISK pada anak sangat bervariasi, ditentukan oleh intensitas
reaksi peradangan, letak infeksi (ISK atas dan ISK bawah), dan umur pasien.
Sebagian ISK pada anak merupakan ISK asimtomatik, umumnya ditemukan pada
anak umur sekolah, terutama anak perempuan dan biasanya ditemukan pada uji
tapis (screening programs). ISK asimtomatik umumnya tidak berlanjut menjadi
pielonefritis dan prognosis jangka panjang baik.
Pada umur lebih tinggi yaitu sampai 4 tahun, dapat terjadi demam yang
tinggi hingga menyebabkan kejang, muntah dan diare bahkan dapat timbul
dehidrasi. Pada anak besar gejala klinik umum biasanya berkurang dan lebih

44
ringan, mulai tampak gejala klinik lokal saluran kemih berupa polakisuria, disuria,
urgency, frequency, ngompol, sedangkan keluhan sakit perut, sakit pinggang, atau
pireksia lebih jarang ditemukan.12
Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium yang dipastikan dengan biakan urin. Pemeriksaan
urinalisis meliputi leukosituria, nitrit, leukosit esterase, protein, dan darah.
Leukosituria merupakan petunjuk kemungkinan adanya bakteriuria, tetapi tidak
dipakai sebagai patokan ada tidaknya ISK. Leukosituria biasanya ditemukan pada
anak dengan ISK (80-90%) pada setiap episode ISK simtomatik, tetapi tidak
adanya leukosituria tidak menyingkirkan ISK. Bakteriuria dapat juga terjadi tanpa
leukosituria. Leukosituria dengan biakan urin steril perlu dipertimbangkan pada
infeksi oleh kuman Proteus sp., Klamidia sp., dan Ureaplasma urealitikum.12
Pemeriksaan dengan stik urin dapat mendeteksi adanya leukosit esterase,
enzim yang terdapat di dalam lekosit neutrofil, yang menggambarkan banyaknya
leukosit dalam urin. Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap
bakteri dalam urin. Dalam keadaan normal, nitrit tidak terdapat dalam urin, tetapi
dapat ditemukan jika nitrat diubah menjadi nitrit oleh bakteri. Sebagian besar
kuman Gram negatif dan beberapa kuman Gram positif dapat mengubah nitrat
menjadi nitrit, sehingga jika uji nitrit positif berarti terdapat kuman dalam urin.
Urin dengan berat jenis yang tinggi menurunkan sensitivitas uji nitrit. Hematuria
kadang-kadang dapat menyertai infeksi saluran kemih, tetapi tidak dipakai sebagai
indikator diagnostik. Protein dan darah mempunyai sensitivitas dan spesifitas
yang rendah dalam diagnosis ISK.12
Tata laksana ISK didasarkan pada beberapa faktor seperti umur pasien,
lokasi infeksi,gejala klinis, dan ada tidaknya kelainan yang menyertai ISK. Secara
garis besar, tata laksana ISK terdiri atas: 1. Eradikasi infeksi akut, 2. Deteksi dan
tata laksana kelainan anatomi dan fungsional pada ginjal dan saluran kemih, dan
3. Deteksi dan mencegah infeksi berulang. Tujuan eradikasi infeksi akut adalah
mengatasi keadaan akut, mencegah terjadinya urosepsis dan kerusakan parenkhim
ginjal. Jika seorang anak dicurigai ISK, berikan antibiotik dengan kemungkinan
yang paling sesuai sambil menunggu hasil biakan urin, dan terapi selanjutnya

45
disesuaikan dengan hasil biakan urin. Pemilihan antibiotik harus didasarkan pada
pola resistensi kuman setempat atau lokal, dan bila tidak ada dapat digunakan
profil kepekaan kuman yang terdapat dalam literatur. Umumnya hasil pengobatan
sudah tampak dalam 48-72 jam pengobatan. Bila dalam waktu tersebut respon
klinik belum terlihat mungkin antibiotik yang diberikan tidak sesuai atau mungkin
yang dihadapi adalah ISK kompleks, sehingga antibiotik dapat diganti. Selain
pemberian antibiotik, dianjurkan untuk meningkatkan asupan cairan. Pada pasien
diberikan antibiotik berupa ampicillin 3 x 1 gram IV.12

Tabel 7. Pilihan Antimikroba Parenteral Pada Infeksi Saluran Kemih


Pada pemeriksaan faal ginjal sering digunakan ureum, kreatinin serum,
dan penjernihan kreatinin menentukan derajat faal Laju Filtrasi Glomerulus
(LFG). Kombinasi dari ketiga para meter ini sangat penting. Seperti diketahui,
ureum serum tidak tepat untuk memperkirakan faal LFG karena: (a) ureum tidak
hanya difiltrasi oleh glomerulus tetapi akan direbsorpsi juga oleh tubulus ginjal,
(b) konsentrasi ureum tergantung dari diet protein dan katabolisme protein.
Walaupun demikian penentuan ureum serum penting untuk menentukan derajat
katabolisme protein. Serum kreatinin lebih tepat dari ureum serum untuk
memperkirakan faal LFG karena konsentrasi serum kretinin semata-mata
tergantung dari masa otot-otot dan faal LFG. Masa otot-otot relatif konstan
sehingga serum kreatinin semata-mata tergantung dari faal LFG. Beberapa
kerugian dari nilai penjernihan kreatinin: (a) sering ditemukan kenaikan semu dari
pasien (b) sering terdapat kesalahan selama penampungan urin 24 jam. Pada
gangguan faal tubulus terutama ekskresi elektrolit. Pada pasien dengan oliguri
atau anuri tidak jarang ditemukan hiperkalemi.3

46
Pada pemeriksaan darah ditemukan anemia ringan normokorm dan
normositer, terjadi karena hemodilusidan retensi cairan. Di Indonesia 61%
menunjukkan Hb < 10 g/dL. Anemia akan menghilang dengan sendirinya setelah
efek hipervolemiknya menghilang atau sembabnya menghilang. Pada pasien berat
terutama RPGN sering dijumpai gangguan perdarahan yang mempunyai
hubungan dengan trombositopenia atau gangguan faal trombosit (trombopati).
LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah gejala klinik
menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat digunakan sebagai parameter
kesembuhan GNAPS, karena terdapat kasus GNAPS dengan LED tetap tinggi
walaupun gejala klinik sudah menghilang. Komplemen serum hampir selalu
menurun pada GNAPS, karena turut serta berperan dalam proses antigen-antibodi
sesudah terjadi infeksi streptokokus yang nefritogenik. Di antara sistem
komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3 (B1C globulin) yang paling sering
diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah. Beberapa penulis
melaporkan 80-92% kasus GNAPS dengan kadar C3 menurun. Umumnya kadar
C3 mulai menurun selama fase akut atau dalam minggu pertama perjalanan
penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8 minggu timbulnya gejala-gejala
penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar komplemen C3 ini masih rendah, maka hal
ini menunjukkan suatu proses kronik yang dapat dijumpai pada glomerulonefritis
membrano proliferatif atau nefritis lupus.3
Pada beberapa pasien mungkin terdapat penurunan protein serum terutama
albumin akibat retensi natrium dan ekspansi volume cairan ekstraseluler.
Hiperlipidemi ringan dan sementara, mekanismenya tidak diketahui.
Hiperlipidemi ini tidak mempunyai hubungan dengan derajat penurunan albumin
seperti pada sindrom nefrotik. sekunder. Infeksi streptokokus pada GNA
menyebabkan reaksi serologis terhadap produk-produk ekstraselular streptokokus,
sehingga timbul antibodi yang titernya dapat diukur, seperti antistreptolisin O
(ASO), antihialuronidase (AH ase) dan antideoksiribonuklease (AD Nase-B).
Titer ASO merupakan reaksi serologis yang paling sering diperiksa, karena mudah
dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS. Sedangkan kombinasi titer
ASO, AD Nase-B dan AH ase yang meninggi, hampir 100% menunjukkan adanya

47
infeksi streptokokus sebelumnya. Kenaikan titer ini dimulai pada hari ke-10
hingga 14 sesudah infeksi streptokokus dan mencapai puncaknya pada minggu ke-
3 hingga 5 dan mulai menurun pada bulan ke-2 hingga 6. Titer ASO jelas
meningkat pada GNAPS setelah infeksi saluran pernapasan oleh streptokokus.
Titer ASO bisa normal atau tidak meningkat akibat pengaruh pemberian
antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan dini titer ASO. Sebaliknya titer ASO
jarang meningkat setelah piodermi. Hal ini diduga karena adanya jaringan lemak
subkutan yang menghalangi pembentukan antibodi terhadap streptokokus
sehingga infeksi streptokokus melalui kulit hanya sekitar 50% kasus
menyebabkan titer ASO meningkat. Di pihak lain, titer AD Nase jelas meningkat
setelah infeksi melalui kulit.3
Penatalaksanaan yang direkomendasi pada penderita SNA post
streptokokus adalah terapi simtomatik yang berdasar pada derajat keparahan
penyakit secara klinis. Tujuan utama dari pengobatan adalah mengendalikan
hipertensi dan edema. Selama fase akut, penderita dianjurkan untuk tirah baring.
Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya timbul
dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut, tidak
dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan seperti
sebelum sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit. Dahulu
dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria
dan hematuria mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif, penderita
dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada komplikasi.
Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urin, maka dilakukan pengamatan
lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di tempat tidur
menyebabkan anak tidak dapat bermain dan jauh dari teman-temannya, sehingga
dapat memberikan beban psikologik.3
Rekomendasi pemberian diet 35 kal/kg berat badan perhari, pembatasan
diet protein hewani 0,5-0,7 gram/kg berat badan perhari, lemak tak jenuh, dan
rendah garam yaitu 2 gram natrium perhari. Asupan elektrolit pun harus dibatasi.
Natrium 20 meq perhari, rendah kalium yaitu kurang dari 70-90 meq perhari serta

48
kalsium 600-1000 mg perhari. Restriksi cairan secara ketat dengan pembatasan
cairan masuk 1 liter perhari, guna mengatasi hipertensi.3
Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering
dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan
tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain
memberikannya secara rutin dengan alasan biakan negatif belum dapat
menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi oleh karena telah
mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten yang
terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan
untuk eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis
selama 10 hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi
eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari.3
Pengobatan hipertensi dapat dengan menggunakan diuretik kuat, atau bila
hipertensi tetap tidak teratasi pilihan obat selanjutnya adalah golongan calcium
channel blocker, ACE inhibitor atau bahkan nitroprusid intravena bagi hipertensi
maligna. Pada beberapa kasus berat dengan kondisi hiperkalemi dan sindrom
uremia yang berat diindikasikan untuk hemodialisa.3
Terapi steroid intravena terutama diindikasikan untuk glomerulonefritis
tipe kresentik dengan luas lesi lebih dari 30% glomerulus total. Metil prednisolon
500 mg intravena perhari terbagi dalam 4 dosis selama 3-5 hari. Namun beberapa
referensi menyebutkan tidak diindikasikan untuk pemberian terapi steroid dalam
jangka panjang.3
Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut
yang berlangsung 1-2 minggu. Pada akhir minggu pertama atau kedua gejala-
gejala seperti edema, hematuria, hipertensi dan oliguria mulai menghilang,
sebaliknya gejala-gejala laboratorium menghilang dalam waktu 1-12 bulan.
Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan bahwa hematuria
mikroskopik terdapat pada rata-rata 99,3%, proteinuria 98,5%, dan
hipokomplemenemia 60,4%.1 Kadar C3 yang menurun (hipokomplemenemia)
menjadi normal kembali sesudah 2 bulan. Proteinuria dan hematuria dapat
menetap selama 6 bln1 tahun. Pada keadaan ini sebaiknya dilakukan biopsi

49
ginjal untuk melacak adanya proses penyakit ginjal kronik. Proteinuria dapat
menetap hingga 6 bulan, sedangkan hematuria mikroskopik dapat menetap hingga
1 tahun.3
Dengan kemungkinan adanya hematuria mikroskopik dan atau proteinuria
yang berlangsung lama, maka setiap penderita yang telah dipulangkan dianjurkan
untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama. Bila ternyata masih
terdapat hematuria mikroskopik dan atau proteinuria, pengamatan diteruskan
hingga 1 tahun atau sampai kelainan tersebut menghilang. Bila sesudah 1 tahun
masih dijumpai satu atau kedua kelainan tersebut, perlu dipertimbangkan biopsi
ginjal.3
Pada umumnya terdapat 4 kemungkinan perjalanan penyakit dari sindrom
nefritis akut pasca infeksi streptokokus, yaitu kematian selama masa akut dapat
disebabkan infeksi sekunder terutama infeksi paru (pneumonia), bendungan paru
akut, ensefalopati hipertensif, dan hiperkalemi. Angka kematian biasanya kurang
dari 5% berkat kemajuan terapi misalnya pemberian obat-obat antihipertensi yang
poten/kuat, hemodialisis/peritonealdialisis, dan transplantasi ginjal.3
Sebagian pasien glomerulonephritis akut (5-10%) memperlihatkan tipe
perjalanan penyakit yang cepat dan progresif disertai oliguri dan anuri, dapat
meninggal dalam waktu 2-3 bulan, yang disebut juga dengan sindrom Rapidly
Progressive Glomerulonephritis (RPGN). Tipe perjalanan penyakit ini terutama
mengenai pasien-pasien dewasa. Gejala klinis oliguri dan anuri yang timbul
sementara, tidak selalu menunjukan prognosis yang buruk. Pada umumnya
prognosis dapat diramalkan hanya berdasarkan kelainan-kelainan histopatologis
berupa proliferasi ekstra kapiler yang ekstensif meliputi lebih dari 75% glomeruli.
Kelainan laboratorium yang mencurigakan perjalanan penyakit yang progresif
seperti kenaikan circulating flbrinogen dan atau FDP urin, disamping oliguri dan
anuri yang berlangsung lama, selama beberapa minggu.3
Terjadi glomerulonefritis kronis, bila selama perjalanan penyakit
ditemukan satu atau lebih tanda klinis, atau proteinuri dengan atau tanpa hematuri
asimtomatik yang menetap selama bertahun-tahun akan berubah menjadi kronis,
dan akhirnya gagal ginjal kronis. Frekuensi perjalanan penyakit ini rendah, antara

50
5-10%. Sebagian dari pasien-pasien masih mempunyai kelainan-kelainan
histopatologis tanpa gejala klinis dan dapat hidup normal.3
Penyembuhan klinis disertai penyembuhan laboratorium biasanya
berangsur-angsur dan akhirnya terjadi penyembuhan sempurna. Bentuk perjalanan
penyakit ini paling sering ditemukan terutama pada pasien anak-anak (80-85%).
Gejala-gejala klinis seperti edema paru akut, hipertensi, edema dan oliguri, segera
hilang setelah terjadi diuresis, biasanya setelah beberapa hari/minggu. Sebagian
besar pasien akan sembuh, tetapi 5% di antaranya mengalami perjalanan penyakit
yang memburuk dengan cepat pembentukan kresen pada epitel glomerulus.
Diuresis akan menjadi normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit,
dengan menghilangnya sembab dan secara bertahap tekanan darah menjadi
normal kembali. Fungsi ginjal (ureum, kreatinin) membaik dalam 1 minggu dan
menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Komplemen serum menjadi normal
dalam waktu 6-8 minggu.Kelainan sedimen urin terutama hematuri mikroskopis
baru hilang setelah beberapa bulan, bahkan hingga beberapa tahun. Beberapa
penelitian lain menunjukkan adanya perubahan histologis penyakit ginjal yang
secara cepat terjadi pada orang dewasa. Selama komplemen C3 belum pulih dan
hematuria mikroskopis belum menghilang, pasien hendaknya diikuti secara seksama
oleh karena masih ada kemungkinan terjadinya pembentukan glomerulosklerosis
kresentik ekstra-kapiler dan gagal ginjal kronik.3

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Azis A.L. Renjatan Hipovolemi Pada Anak. Naskah Lengkap Continuing


Education Ilmu Kesehatan Anak XXXV Kapita Selekta Ilmu Kesehatan
Anak IV Hot Topics in Pediatrics. Divisi Pediatri Gawat Darurat Bagian
Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSU dr.
Soetomo Surabaya. 2005.

2. Albar H, Rauf S. The profile of acute glomerulonephritis among


Indonesian Children.Paediatrica Indonesiana. 2005;45: 26469.

3. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2012.


Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia

4. Vinen CS, Oliveira DBG. Acute glomerulonephritis. Postgraduated


Medical Journal 2003;79:206-13.

5. Messina LM, Pak LK, Tierney LM. Glomerulonephropathies. In: Tierney


LM, McPhee SJ, Papadakis MA, editors. Lange current medical diagnosis
& treatment. 43rd ed. Philadelphia: Lange Medical Books/McGraw Hill;
2004.p.882-90.

6. Iturbe BR, Mezzano S. Acute post infectious glomerulonephritis. Dalam :


Avner ED, Hormon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, penyunting. Pediatric
Nephrology, Sixth Completely Review, Updated and Enlarged Edition.
Berlin Heidelberg: Springer-Verlag; 2008; hlm. 74355.

7. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011.


Konsensus Tatalaksana Hipertensi pada Anak. Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia

52
8. Bernstein, Daniel. 2003. Heart Failure dalam Nelson Textbook of
Pediatrics 17th edition. USA: Elsevier Science (USA).

9. Antonius H.P. 2010. Pedoman Pelayanan Medis Kesehatan Anak edisi I.


Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

10. Supriyatno, Bambang. 2009. Management of Pediatric Heart Disease for


practitioner: From Early Detection to Intervention. Jakarta: Departemen
IKA FKUI-RSCM.

11. Fred, M, D. 1996. Gagal Jantung Kongestif dalam Kardiologi Anak


Nadas.Yogyakarta: Gajah Mada University press.

12. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak edisi I 2004. Badan Penerbit
IDAI. Jakarta. 2004. Halaman 136-138.

53

Vous aimerez peut-être aussi