Vous êtes sur la page 1sur 42

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit serebrovaskuler (CVA) meliputi semua gangguan pada area
dari otak dan secara sepintas atau permanen dipengaruhi oleh iskemik, oklusi
atau perdarahan dari satu atau lebih pembuluh darah serebral pada proses
patologis tersebut.

Stroke penyebab kecacatan nomor satu dan penyebab kematian nomor 3 di dunia.
Dua pertiga stroke terjadi di negara berkembang. Pada masyarakat barat, 80%
penderita mengalami stroke iskemik/infark dan 20% mengalami stroke
hemoragik, insiden stroke meningkat seiring pertambahan usia (Dewanto, 2009).
Menurut WHO, setiap tahun 15 juta orang seluruh dunia mengalami stroke.
Sekitar 5 juta menderita kelumpuhan permanen. Di kawasan Asia tenggara
terdapat 4,4 juta orang mengalami stroke (WHO, 2010).
Jumlah penderita terus meningkat setiap tahun, bukan hanya menyerang penduduk
usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda dan produktif. Angka
kejadian stroke meningkat dengan bertambahnya usia, semakin tinggi usia
seseorang semakin tinggi kemungkinan stroke (Yayasan Stroke Indonesia,
2006). Dan tidak sedikit bagi penderita stroke yang mengalami kekambuhan.
Kekambuhan pada penderita stroke dapat di sebabkan oleh banyak faktor, salah
satunya adalah kurangnya pengetahuan keluarga penderita tentang pola makan
bagi penderita stroke (Yayasan Stroke Indonesia, 2006).
Di Indonesia saat ini merupakan negara dengan jumlah penderita stroke terbesar
di Asia dan menempati urutan ketiga penyebab kematian setelah penyakit jantung
dan kanker (Yastroki, 2009) dikutip dari Winda Yuniarsih (2010). Orang
Indonesia yang mengalami serangan stroke diperkirakan sekitar 500 ribu setiap
tahunnya. Dari jumlah tersebut, sekitar 2,5% meninggal dunia, sementara sisanya
mengalami kecacatan dari ringan hingga berat (Gemari, 2009) dikutip dari Winda
yuniarsih, 2010.
Data dari Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (PERSI) tahun 2009 menunjukkan
penyebab kematian utama di Rumah Sakit akibat stroke sebesar 15%, artinya 1
dari 7 kematian disebabkan oleh stroke dengan tingkat kecacatan mencapai 65%
(Depkes RI, 2013).
Penyebab stroke adalah pecahnya pembuluh darah di otot dan atau terjadinya
trombosis dan emboli. Gumpalan darah akan masuk ke aliran darah sebagai akibat
dari penyakit lain atau karena adanya bagian otak yang cedera dan menutup atau
menyumbat arteri otak. Akibatnya fungsi otak berhenti dan terjadi penurunan
fungsi otak (Batticaca, 2008).
Stroke dibagi menjadi dua jenis, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik.
Stroke iskemik sebagian besar merupakan komplikasi dari penyakit vaskuler, yang
ditandai dengan gejala penurunan tekanan darah yang mendadak, takikardi, pucat
dan pernafasan yang tidak teratur. Sementara stroke hemoragik umunya
disebabkan oleh adanya perdarahan intrakranial dengan gejala peningkatan
tekanan darah sistole > 200mmHg pada hipertonik dan 180mmHg pada
normotonik, bradikardi, wajah keunguan, sianosis dan pernafasan mengorok
(Batticaca, 2008).
Kurangnya kesadaran menerapkan pola gaya hidup sehat juga dapat menyebabkan
meningkatnya stroke infark. Selain itu, meningkatnya usia harapan hidup,
kemajuan di bidang sosial ekonomi, serta perbaikan di bidang pangan yang tidak
diikuti dengan kesadaraan menerapkan gaya hidup sehat juga menjadi pemicunya
(Junaidi, 2011).
Keadaan seperti ini memerlukan penanganan dan perawatan yang bersifat
umum, khusus, rehabilitasi, serta rencana pemulangan klien. Mengetahui keadaan
tersebut, maka peran perawat bekerja sama dengan tim kesehatan lain sangat
dibutuhkan baik masa akut maupun sesudahnya. Usaha yang dapat dilaksanakan
mencakup pelayanan kesehatan secara menyeluruh, mulai dari promotif, preventif,
kuratif, sampai dengan rehabilitasi (Muttaqin, 2011). Pencegahan stroke infark
dapat dicegah antara lain diet rendah kolestrol, kontrol asupan gula dan garam,
hindari rokok, alkohol, dan obat terlarang, hindari obesitas, konsumsi obat
pencegah stroke dari bahan alami, kontrol tekanan darah, lakukan olahraga atau
aktivitas fisik dan yang paling penting hindari stress (Sutanto, 2010).

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu memahami dan melakukan asuhan keperawatan pada
pasien dengan gangguan neurobehavior (stroke/CVA) secara
komprehenshif meliputi aspek biopsikososial dan spiritual.
1.2.2 Tujuan khusus
Mahasiswa mampu memahami:
1. Konsep fisiologis aliran darah dalam otak
2. Definisi gangguan cerebrovaskular
3. Etiologi dan faktor resiko stroke
4. Konsep patifisiologi stroke
5. Manifestasi klinis stroke
6. Konsep penatalaksanaan stroke hemoragik dan iskemik
7. Konsep asuhan keperawatan pada stroke, yang meliputi pengkajian,
penentuan diagnosa prioritas serta rencana tindakan keperawatan yang
diberikan.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi Aliran Darah Otak

2.2 Definisi Stroke


Istilah stroke atau penyakit serebrovaskular mengacu kepada setiap gangguan
neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau berhentinya aliran
darah melalui sistem suplai arteri otak. Istilah stroke biasanya digunakan
secara spesifik untuk menjelaskan infark serebrum. Istilah yang masih lama
dan masih sering digunakan adalah cerebrovaskular accident (CVA) (Price,
2006).
Stroke atau cedera serebrovaskular (CVA) adalah kehilangan fungsi otak
yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak. Yang biasanya
diakibatkan oleh trombosis, embolisme, iskemia dan hemoragi (Smeltzer, 2002) .
Menurut Arif Muttaqin, stroke merupakan penyakit neurologis yang sering
dijumpai dan harus ditangani secara tepat. Stroke merupakan kelainan fungsi otak
yang timbul mendadak yang disebabkan karena terjadinya gangguan peredaran
darah otak yang bisa terjadi pada siapa saja (Muttaqin, 2008).
Ahli lain mengemukakan bahwa stroke adalah kehilangan fungsi otak
yang diakibatkan oleh terhentinya suplai darah ke bagian otak (Brunner dan
Suddarth, 2001).

2.3 Etiologi
Menurut Brunner dan Suddarth (2002) stroke biasanya diakibatkan dari salah satu
dari empat kejadian, yaitu:
1) Trombosis serebri (bekuan darah di dalam pembuluh darah otak atau leher).
Senada dengan Brunner dan Suddarth, Price dan Wilson (1995) mengemukakan
bahwa trombosis serebri merupakan penyebab stroke yang paling sering ditemui
yaitu pada 40 % dari semua kasus stroke yang telah dibuktikan oleh ahli patologi.
Arteriosklerosis serebral dan pelambatan sirkulasi serebral adalah penyebab utama
trombosis serebri. Secara umum, trombosis serebral tidak terjadi dengan tiba-tiba,
dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia atau parestesia pada setengah tubuh
dapat mendahului awitan paralisis berat pada beberapa jam atau hari (Brunner dan
Suddarth, 1995). Mancall (cit. Price dan Wilson, 1995) menambahkan bahwa
trombosis serebri merupakan penyakit orangtua. Usia yang paling sering terserang
oleh penyakit ini berkisar antara 60 sampai 69 tahun.
2) Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari
bagian tubuh yang lain).
Sedangkan pada embolisme serebral terjadi karena adanya abnormalitas patologik
pada jantung kiri. Seperti endokarditis infektif penyakit jantung rematik, dan
infark miokard serta infeksi pulmonal adalah tempat-tempat asal emboli. Embolus
biasanya menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-cabangnya, yang merusak
sirkulasi serebral.
3) Iskemia (penurunan aliran darah ke otak).
Iskemia serebral terutama karena konstriksi ateroma yang menyuplai darah ke
otak manifestasi paling umum adalah Transient Ischemic Attack (Brunner dan
Suddarth, 2001).
4) Hemoragik serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan
dalam jaringan otak atau ruang sekitar otak). Akibatnya kehilangan penghentian
suplai darah ke otak, yang menyebabkan kehilangan sementara atau permanen.
Hemoragi dapat terjadi diluar durameter (hemoragi ekstradural dan
epidural), dibawah durameter (hemoragi subdural), diruang subarakhnoid
(hemoragi subarakhnoid) atau didalam subtansi otak (hemoragi intraserebral)
(Smeltzer, 2002).

2.4 Klasifikasi
Berdasarkan etiologi, stroke dikelompokkan menjadi : (Batticaca, 2008)
1) Stroke iskemik (infark atau kematian jaringan). Serangan sering terjadi pada
usia 50 tahun atau lebih dan terjadi pada malam hingga pagi hari.
a) Trombosis pada pembuluh darah otak (thrombosis of cerebral vessels).
b) Emboli pada pembuluh darah otak (embolism of cerebral vessels).
2) Stroke hemoragik (perdarahan). Serangan sering terjadi pada usia 20-60 tahun
dan biasanya timbul setelah beraktifitas fisik atau karena psikologis (mental).
a) Perdarahan intra serebral (parenchymatous haemorrhage). Gejalanya :
Tidak jelas, kecuali nyeri kepala hebat karena hipertensi.
Serangan terjadi pada siang hari, saat beraktifitas, dan emosi tidak terkontrol.
Mual atau muntah pada permulaan serangan.
Hemiparesis atau hemiplegia terjadi sejak awal serangan.
Kesadaran menurun dengan cepat dan menjadi koma (65% terjadi kurang dari 30
menit - 2 jam; <2% terjadi setelah 2 jam 19 hari).
b) Perdarahan subarakhnoid (subarakhnoid haemorrhage). Gejalanya :
Nyeri kepala hebat dan mendadak.
Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi.
Ada gejala dan tanda meningeal.
Papiledema terjadi bila ada perdarahan subarakhnoid karena pecahnya aneurisma
pada arteri komunikans anterior atau arteri karotis interna.
Penggolongan berdasarkan perjalanan klinisnya dikelompokkan sebagai berikut :
Transient ischemic Attack ( TIA)
Gangguan neurologis setempat yang terjadi selama beberapa menit sampai
beberapa jam saja. Gejala yang timbul akan hilang dengan spontan dan smpurna
dalam waktu kurang dari 24 jam.
Stroke involusi
Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan neurologis terlihat
semakin berat dan bertambah buruk. Proses dapat berjalan 24 jam atau beberapa
hari.
Stroke komplit
Gangguan neurologi yang timbul sudah menetap atatu permanen. Sesuai dengan
istilahnya stroke komplit dapat diawali oleh serangan TIA berulang.

2.5 Faktor Resiko


Faktor risiko adalah suatu faktor atau kondisi tertentu yang membuat seseorang
rentan terhadap serangan stroke, umumnya dibagi menjadi :
1) Faktor Risiko Internal, yang tidak dapat dikontrol / diubah / dimodifikasi :
a) Umur, dimana kejadian stroke makin tinggi pada klien usia lanjut.
Padahal usia lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah, termasuk
pembuluh darah otak. Usia merupakan faktor risiko stroke, semakin tua usia
seseorang maka risiko terkena stroke pun semakin tinggi. Namun penderita stroke
saat ini tidak terbatas pada seseorang dengan usia lanjut, kaum usia produktif pun
perlu waspada terhadap ancaman stroke. Pada usia produktif, stroke dapat
menyerang terutama pada mereka yang gemar mngonsumsi makanan berlemak
dan pengguna narkoba ( walaupun belum memiliki angka yang pasti).
b) Jenis kelamin. Laki-laki lebih berisiko dibanding wanita.
c) Ras / suku bangsa
Bangsa Afrika/Negro, Jepang ,dan Cina lebih sering terkena stroke. Orang
yang berwatak keras terbiasa cepat atau terburu-buru, seperti orang Sumatra,
Sulawesi, dan Madura rentan terkena stroke.
d) Riwayat keluarga / keturunan
Seseorang dengan orang tua / saudara kandung yang pernah mengalami
stroke, maka yang bersangkutan berisiko terkena stroke.
2. Faktor Risiko Eksternal, yang dapat dikontrol / diubah / dimodifikasi :
a) Hipertensi
Hipertensi dapat disebabkan arterosklerosis pembuluh darah serebral,
sehingga pembuluh darah tersebut mengalami penebalan dan degenerasi yang
kemudian pecah/menimbulkan perdarahan. Hipertensi dapat mengakibatkan
pecahnya maupun menyempitnya pembuluh darah otak apabila pembuluh darah
otak pecah maka timbullah perdarahan otak, dan apabila pembuluh darah otak
menyempit maka aliran darah ke otak terganggu dan sel-sel otak akan mengalami
kematian.
b) Hipotensi
Penurunan tekanan darah yang tiba-tiba dapat menyebabkan berkurangnya
aliran darah ke otak yang kemudian menyebabkan pingsan atau tidak sadarkan
diri. Stroke bisa terjadi jika tekanan darah rendah sangat berat dan menahun. Hal
ini terjadi jika seseorang mengalami kehilangan darah dalam jumlah banyak
karena cidera atau pembedahan, serangan jantung, atau irama jantung yang
abnormal.
c) Diabetes Mellitus.
Diabetes mellitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak yang
berukuran besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak akan menyempitkan
diameter pembuluh darah tadi kemudian menganggu kelancaran aliran darah ke
otak, yang pada akhirnya akan menyebabkan infark sel-sel otak.
d) Penyakit kardiovaskuler
Penyakit jantung berpotensi untuk menimbulkan stroke dikemudian hari
seperti penyakit jantung rematik, penyakit jantung koroner dengan infark otot
jantung dan gangguan irama jantung. Faktor risiko ini pada umumnya akan
menimbulkan hambatan atau sumbatan aliran darah ke otak karena jantung
melepas gumpalan atau sel-sel atau jaringan yang telah mati ke aliran darah.
Misalnya embolisme serebral berasal dari jantung seperti penyakit arteri
koronaria, gagal jantung kongestif, MCI, hipertrofi ventrikel kiri. Pada fibrilasi
atrium menyebabkan penurunan CO, sehingga perfusi darah ke otak menurun,
maka otak akan kekurangan oksigen yang akhirnya dapat terjadi stroke.
e) Transient Ischemic Attack (TIA)
Transient Ischemic Attack dapat terjadi beberapa kali dalam 24 jam, atau
dapat berkali-kali dalam 1 minggu. Makin sering seseorang mengalami Transient
Ischemic Attack ini maka kemungkinan untuk mengalami stroke makin besar.
3) Faktor Risiko Tambahan
a) Kadar lemak darah tinggi
Kadar lemak ini termasuk kolesterol dan trigliserida. Meningginya kadar
kolesterol merupakan faktor penting terjadinya aterosklerosis (menebalnya
dinding pembuluh darah) dalam hal ini kolesterol darah yang berperan terutama
adalah Low Density Lipoprotein (LDL). Peningkatan kadar Low Density
Lipoprotein dan penurunan kadar HDL (High Density Lipoprotein) merupakan
faktor risiko terjadinya penyakit jantung koroner dan penyakit jantung seperti ini
merupakan faktor risiko stroke. Selain itu peningkatan kolesterol tubuh dapat
menyebabkan terbentuknya emboli lemak sehingga aliran darah lambat termasuk
ke otak, maka perfusi otak menurun.
b) Obesitas atau kegemukan.
c) Merokok
Pada perokok akan timbul plaque pada pembuluh darah oleh nikotin
sehingga pada kemungkinan penumpukan arterosklerosis dan kemudian berakibat
terhadap stroke. Merokok juga dapat meningkatkan konsentrasi fibrinogen yang
akan mempermudah terjadinya penebalan dinding pembuluh darah dan
peningkatan viskositas darah.
d) Alkoholik
Konsumsi alkohol secara berlebihan dapat menyebabkan hipertensi,
penurunan aliran darah ke otak dan ardiak aritmia serta kelainan motilitas
pembuluh darah sehingga terjadi emboli serebral.
e) Penggunaan obat tertentu dalam jangka waktu lama
Stroke juga bisa terjadi bila suatu peradangan atau infeksi menyebabkan
penyempitan pembuluh darah yang menuju ke otak. Obat-obatan (misalnya
kokain dan amfetamin) juga bisa mempersempit pembuluh darah di otak dan
menyebabkan stroke.
f) Faktor risiko lainnya adalah gangguan tidur obstruktif, kadar homosistein yang
tinggi, kontrasepsi hormonal, infeksi, dan penyakit jantung.
2.6 Patofisiologi
Dalam kehidupan sehari-hari otak membutuhkan suplai darah yang
konstan dimana dalam hal ini semua perubahan-perubahan terkanan perfusi dari
sistem sirkulasi sentral dipelihara oleh suatu fenomena autoregulasi. Hal ini
diperankan oleh kontraksi otot polos arteri dan arteriol sesuai dengan tekanan
luminalnya. Mekanisme secara terperinci (baik melalui distensi mekanik atau
reflek neurogenik) masih belum diketahui dengan jelas (Satyanegara, 1999). Hal
senada dikemukakan oleh Lewis dkk (2000) yang menyebutkan bahwa aliran
darah ke otak harus dipertahankan 750 sampai 1000 mL/menit atau 20 % cardiac
output untuk memastikan fungsi serebral yang optimal.
Menurut Hudak dan Gallo (1996) jika aliran darah ke setiap bagian otak
terhambat karena trombus atau embolus maka mulai terjadi kekurangan oksigen
ke jaringan otak. Kekurangan selama satu menit dapat mengarah pada gejala-
gejala yang dapat pulih seperti kehilangan kesadaran, kekurangan oksigen dalam
waktu yang lama dapat menyebabkan nekrosis mikroskopik neuron-neuron. Lewis
dkk (2000) menambahkan bahwa kematian atau infark seluler terjadi bila dalam
lima menit otak kekurangan oksigen.
Berkaitan dengan terhambatnya aliran darah ini, Price dan Wilson (1995)
mengemukakan bahwa bila aliran darah normal ke suatu bagian tertentu
berkurang maka setahap demi setahap dapat terbentuk sirkulasi kolateral.
Kebanyakan sirkulasi-sirkulasi kolateral antara aretri-arteri utama adalah melalui
sirkulus Willisi. Diduga anomali-anomali di daerah sirkulasi willisi ini dialami
hampir setengah populasi. Lewis et.all (2000) berpendapat bahwa anomali-
anomali ini meliputi keadaan berkelok-keloknya pembuluh darah, bergulung-
gulung, kekakuan dan adanya arterovenous malformations. Anomali-anomali ini
bisa menganggu aliran darah ke otak dan merupakan tempat-tempat yang sering
menjadi tempat perkembangan penyakit atherosklerosis.
Secara teoritis menurut Price dan Wilson (1995) saluran komunikasi kolateral
tersebut sanggup menyediakan darah yang memadai untuk mengaliri semua
bagian otak tetapi kenyataannya tidaklah demikian, kalau suatu pembuluh utama
seseorang tersumbat, maka mungkin tidak akan timbul gejala apa-apa atau timbul
gangguan neurologis yang bersifat sementara. Tetapi pada orang lain mungkin
penyumbatan pembuluh yang sama dapat menyebabkan gangguan fungsional
yang cukup parah. Perbedaan ini ada kaitannya dengan keadaan sirkulasi kolateral
masing-masing individu.
Penyebab penyumbatan berasal dari plak atherosklerosis yang
menyebabkan oklusi ditempat arteri serebral yang bertrombus sedangkan pada
emboli serebri disebabkan karena suatu embolus yang terlepas dari dinding-
dinding arteri yang sklerotik dan berulserasi atau gumpalan trombosit karena
fibrilasi atrium. Gumpalan kuman karena endokarditis bakterialis ketika embolus
yang mengikuti sirkulasi sampai pada sebuah arteri di serebri yang terlalu sempit
dilalui sehingga tersangkut kemudian berhenti di area ini dan membendung aliran
darah (Lewis dkk, 2000).
Terjadinya penyumbatan atau gangguan pembuluh darah in akan
menyebabkan suplai darah ke bagian tertentu dari otak berkurang atau terhenti
sama sekali dan lesi yang terjadi dinamakan infark iskemik dan infark hemoragik.
Adanya lesi pada hemisfer otak ini akan menimbulkan manifestasi defisist
neurologis (Brunner dan Suddarth, 2000).
Dua mekanisme mayor yang menyebabkan terjadinya stroke, yakni iskemia dan
hemoragi (perdarahan). Stroke iskemik penyumbang 80% dari seluruh kejadian
stroke, penurunan atau ketiadaan sirkulasi darah menghalangi penyaluran substrat
penting menuju neuron. Dampak dari iskemik sangat cepat karena berkaitan
dengan gangguan suplai glukosa, glukosa berperan penting sebagai substrat
penyedia energi. Perdarahan intraserebral non-trauma menempati prosentase 10%-
15% dari total kejadian stroke. Perdarahan intraserebral berasal dari pembuluh
dalam yang merembes dan menyebabkan injuri pada jaringan otak dengan cara
mengacaukan jalur penghubung serta menyebabkan injuri akibat peningkatan
tekanan lokal. Pada kasus lain, substansi biokimia yang bersifat merusak jaringan
dilepaskan dari berbagai sumber.
a) Injuri Iskemi Fokal
Sebuah thrombus atau emboli dapat menyumbat arteri serebral dan menyebabkan
iskemia sehingga memengaruhi teritori vaskuler yang berkaitan. Sulit
membedakan sebuah stroke yang disebabkan oleh lesi thrombus atau karena
emboli. Thrombosis pada vaskuler dapat menyebabkan emboli dari arteri ke arteri.
Injuri neuron pada tingkat sel disebabkan karena hipoksia atau anoksia.
Pada tingkat jaringan, perkembangan cedera iskemik dipengaruhi oleh banyak
faktor, yakni:
1. Tingkat onset dan durasi: Otak memiliki tolernasi yang lebih baik pada kejadian
iskemik dengan durasi yang pendek, atau juga dengan onset yang lambat.
2. Sirkulasi kolateral: dampak dari cedera iskemik dipengaruhi oleh keadaan
sirkulasi kolateral di daerah otak yang terkena. Sebuah sirkulasi kolateral yang
baik memberikan hasil yang lebih baik.
3. Kondisi sirkulasi sistemik yang baik: tekanan perfusi serebral yang konstan
bergantung pada adekuatnya tekanan darah sistemik. hipotensi sistemik yang
terjadi karena berbagai penyebab dapat mengakibatkan iskemia serebral luas.
4.Faktor hematologi: keadaan hiperkoagulasi meningkatkan perkembangan
trombus mikroskopis, memperburuk oklusi vaskular.
5. Suhu: peningkatan suhu tubuh berhubungan dengan cedera iskemik serebral
yang lebih berat.
6. Metabolisme glukosa: hipoglikemia atau hiperglikemia dapat memperburuk
infark.
b) Aliran darah serebral
Aliran darah otak (CBF) normal sekitar 5060 ml/100g/menit dan
bervariasi di berbagai bagian otak. Ketika terjadi iskemia, autoregulasi serebral
melakukan kompensasi dengan cara menurunkan CBF berupa vasodilatasi lokal,
membuka saluran kolateral, dan meningkatkan ekstraksi oksigen dan glukosa dari
darah. Namun, ketika CBF berkurang hingga di bawah 20 ml /100g/menit, terjadi
kerusakan listrik disertai menghilangnya aktivitas sinaptik, mekanisme ini terjadi
untuk menghemat persediaan energi. CBF kurang dari 10ml/100g/menit
menyebabkan kerusakan neuronal ireversibel.
c) Mekanisme cedera sel saraf
Pembentukan trombus mikroskopis sehingga menyebabkan kerusakan
mikrosirkulasi dalam arteriol dan kapiler serebral merupakan fenomena yang
kompleks. Pembentukan trombus mikroskopis dipicu oleh iskemia-menginduksi
aktivasi enzim vasoaktif destruktif (dilepaskan oleh endotel), aktivasi leukosit,
trombosit dan sel saraf lainnya. Selama proses aktivasi tersebut mekanisme
"plugging" oleh leukosit, eritrosit, platelet dan fibrin juga terjadi.
Pada tingkat molekuler, berkembangnya jejas hipkosik-iskemik sel saraf
dipengaruhi oleh "over reaction" dari neurotransmitter tertentu, terutama glutamat
dan aspartat. Proses ini disebut "excitotoxicity" dipicu karena semakin menipisnya
persediaan energi sel. Glutamat, yang biasanya disimpan di dalam terminal
sinaptik, dan tidak ditemukan di ruang ekstraselular karena adanya energi yang
menjaganya tetap didalam terminal sinaptik. Namun pada kondisi menipisnya
cadangan energi, glutamate berpindah ke ekstraseluler sehingga konsentrasinya
meningkat (dan aspartat), mengakibatkan terbukanya saluran kalsium yang
berhubungan dengan reseptor N-methyl-D-asapartate (NMDA) dan alpha-amino-
3-hidroksi-5-metil-4-isoxanole propionat (AMPA). Depolarisasi membran secara
terus-menerus menyebabkan masuknya kalsium, natrium, dan ion klorida dan
mengeluarkan ion kalium.
Masuknya kalsium ke intraseluler mengaktivasi serangkaian enzim perusak
seperti protease, lipase, dan endonuklease yang kemudian terjadi pelepasan sitokin
dan mediator lainnya, sehingga integritas sel rusak.
Respon inflamasi terhadap cedera jaringan dimulai oleh produksi
cepat banyak mediator inflamasi yang berbeda, tumor necrosis factor menjadi
salah satu agen utama. Leukosit perekrutan ke daerah iskemik terjadi sedini tiga
puluh menit setelah iskemia dan reperfusi. Selain berkontribusi untuk obstruksi
mekanik dari mikrosirkulasi, leukosit juga mengaktifkan zat vasoaktif seperti
radikal oksigen bebas, metabolit asam arakidonat (sitokin), dan asam nitrat. Efek
seluler mediator ini termasuk vasodilatasi, vasokonstriksi, peningkatan
permeabilitas, meningkatkan agregasi trombosit, peningkatan kepatuhan leukosit
ke dinding endotel, dan immunoregulation.
Sel endotel adalah salah satu jenis sel pertama untuk menanggapi
hipoksia. Tanggapan ini terjadi pada tingkat morfologi, biokimia dan imunologi,
menyebabkan berbagai efek fisiologis dan farmakologis. Morfologi, sel endotel
membengkak dan bentuk "mikrovili" pada permukaan luminal sel. Hal ini
menyebabkan pengurangan patensi luminal dari pembuluh kapiler. Teknik
plugging oleh eritrosit, leukosit, dan trombosit terjadi kemudian. Pada tingkat
biokimia, sel-sel endotel memediasi efek dari agen vasoaktif seperti peptida
endotelin, eikosanoid, dan relaksan otot polos (mungkin asam nitrat), yang
sebagian memodulasi tonus pembuluh darah dari mikrosirkulasi. Aktivasi molekul
adhesi endotel mempromosikan leukosit kepatuhan terhadap dinding endotel,
proses kunci dalam inisiasi proses inflamasi
d) Iskemik Penumbra (IP)
Dalam waktu satu jam dari iskemik hypoxic-, ada inti infark
dikelilingi oleh zona oligemic disebut penumbra iskemik (IP) di mana
autoregulasi tidak efektif. Periode waktu kritis selama ini volume jaringan otak
yang beresiko disebut sebagai "jendela kesempatan" karena defisit neurologis
yang diciptakan oleh iskemia dapat sebagian atau sepenuhnya terbalik dengan
reperfusi jaringan otak belum layak iskemik dalam jangka waktu kritis (2 sampai
4 jam).
Dalam waktu satu jam dari iskemik hypoxic-, ada inti infark
dikelilingi oleh zona oligemic disebut penumbra iskemik (IP) di mana
autoregulasi tidak efektif. Periode waktu kritis selama ini volume jaringan otak
yang beresiko disebut sebagai "jendela kesempatan" karena defisit neurologis
yang diciptakan oleh iskemia dapat sebagian atau sepenuhnya terbalik dengan
reperfusi jaringan otak belum layak iskemik dalam jangka waktu kritis (2 sampai
4 jam).
e) Kematian Neuronal
Kedua proses yang terluka neuron diketahui mati adalah koagulasi
nekrosis dan apoptosis.
Nekrosis koagulasi (CN) mengacu pada proses di mana sel-sel
individual mati di antara sel-sel tetangga yang hidup tanpa memunculkan respon
inflamasi. Jenis kematian sel dikaitkan dengan efek fisik, kimia, atau kerusakan
osmotik pada membran plasma. Hal ini berbeda dengan nekrosis likuifaksi, yang
terjadi ketika sel-sel mati, meninggalkan ruang diisi oleh "respon inflamasi" atau
nanah.
Dalam CN, sel awalnya membengkak kemudian menyusut dan
mengalami Piknosis - istilah yang digunakan untuk menggambarkan ditandai
kondensasi kromatin nuklir. Proses ini berkembang lebih dari 6 sampai 12 jam.
Dengan 24 jam chromatolysis luas terjadi mengakibatkan pan-nekrosis. Astrosit
membengkak dan fragmen, selubung mielin merosot. cedera seluler ireversibel
seperti yang ditunjukkan oleh sitoplasma dan menyusut inti eosinophilic terlihat
antara 8 sampai 12 jam setelah oklusi arteri (91). Morfologi sekarat sel dalam
koagulasi nekrosis berbeda dibandingkan dengan kematian sel karena apoptosis.
Apoptosis Istilah ini berasal dari studi tentang kehidupan tanaman
dimana pohon gugur merontokkan daunnya di musim gugur. Ini juga disebut
"kematian sel terprogram", karena daun diprogram untuk mati dalam menanggapi
kondisi musiman. Demikian pula, neuron otak yang "diprogram" untuk mati
dalam kondisi tertentu, seperti iskemia. Selama apoptosis, kerusakan nuklir terjadi
pertama. Integritas plasma dan membran mitokondria dipertahankan sampai akhir
dalam proses. Iskemia mengaktifkan laten "bunuh diri" protein dalam inti, yang
dimulai proses autolytic mengakibatkan kematian sel. Proses autolytic ini
dimediasi oleh pembelahan DNA.
Mekanisme apoptosis mulai dalam waktu 1 jam setelah cedera
iskemik sedangkan CN dimulai dengan 6 jam setelah oklusi arteri. Pengamatan ini
memiliki pengaruh penting terhadap arah masa depan penelitian. Cara dengan
mana apoptosis berkembang adalah fokus dari banyak penelitian, karena,
hipotetis, kematian neuronal dapat dicegah dengan memodifikasi proses
pembelahan DNA yang tampaknya bertanggung jawab untuk apoptosis.
f) Stroke Iskemik
Tiga mekanisme utama yang menyebabkan stroke iskemik adalah:
(a) trombosis, (2) emboli dan (3) iskemia global (hipotensi) stroke. Semua stroke
iskemik tidak rapi jatuh ke dalam kategori ini dan daftar entitas yang bertanggung
jawab untuk sindrom stroke yang tidak biasa sangat panjang. Namun, stroke
disebabkan oleh vasospasme (migrain, berikut SAH, hipertensi ensefalopati) dan
beberapa bentuk "arteritis" berdiri di antara penyebab yang lebih jarang dari
stroke.
g) Pembekuan darah
Aterosklerosis adalah fitur patologis yang paling umum dari
obstruksi vaskular yang mengakibatkan trombosis stroke.38 aterosklerotik plak
dapat mengalami perubahan patologis seperti ulserasi, trombosis, kalsifikasi, dan
intra-plak perdarahan. Kerentanan plak untuk mengganggu, fraktur atau
mengganggu atau memborok tergantung pada struktur plak, dan komposisi dan
konsistensi. Gangguan endotel yang dapat terjadi dalam pengaturan dari setiap
perubahan patologis memulai proses rumit yang mengaktifkan banyak enzim
vasoaktif destruktif. kepatuhan platelet dan agregasi untuk tindak dinding
pembuluh darah, membentuk nidi kecil trombosit dan fibrin. Leukosit yang hadir
di lokasi dalam waktu 1 jam dari tekanan ritmik yang menengahi response
inflamasi.
Selain aterosklerosis, kondisi patologis lainnya yang menyebabkan
oklusi trombotik dari kapal termasuk pembentukan bekuan karena negara
hiperkoagulasi, displasia fibromuskular, arteritis (sel raksasa dan Takayasu), dan
diseksi dari dinding pembuluh darah.
Berbeda dengan oklusi pembuluh aterosklerotik besar, infark
lacunar terjadi sebagai akibat dari oklusi arteri menembus jauh yang 100 ke 400
mm dengan diameter dan berasal untuk arteri serebral. The putamen dan pallidum,
diikuti oleh pons, thalamus, berekor inti, dan kapsul internal situs yang paling
sering terkena. Ukuran infark lacunar hanya sekitar 20 mm. Insiden infark lacunar
adalah 10% sampai 30% dari semua stroke tergantung pada ras dan sudah ada
sebelumnya hipertensi dan diabetes mellitus. Arteriol kecil, paling sering sebagai
akibat dari hipertensi kronis memperpanjang, menjadi berliku-liku dan
mengembangkan diseksi subintimal dan mikro-aneurisma rendering arteriol
rentan terhadap oklusi dari mikro-trombus. deposisi fibrin sehingga lipohialinosis
dianggap mekanisme patologis yang mendasari.
h) Emboli
Stroke emboli (ES) dapat hasil dari embolisasi arteri dalam
sirkulasi sentral dari berbagai sumber. Selain bekuan, fibrin, dan potongan plak
ateromatosa, bahan diketahui embolized ke sirkulasi sentral termasuk lemak,
udara, tumor atau metastasis, rumpun bakteri, dan benda asing. cabang superfisial
arteri serebral dan cerebellar adalah target yang paling sering emboli. Kebanyakan
pondok emboli dalam distribusi arteri serebri karena 80% dari darah yang dibawa
oleh arteri leher besar mengalir melalui arteries.43 serebri
Dua sumber yang paling umum dari emboli adalah: kiri sisi ruang
jantung dan arteri besar, (misalnya "arteri ke arteri" emboli yang dihasilkan dari
detasemen dari trombus dari arteri karotid internal di lokasi plakat ulserasi).
Hasil neurologis dari ES tidak hanya tergantung pada wilayah
vaskular tersumbat tetapi juga pada kemampuan embolus yang menyebabkan
vasospasme dengan bertindak sebagai iritan vaskular. vasospasme yang dapat
terjadi di segmen vaskular mana pondok-pondok embolus atau dapat melibatkan
seluruh pohon arteri. Vasospasme cenderung terjadi pada pasien yang lebih muda,
mungkin karena pembuluh lebih lentur dan kurang aterosklerosis.
Banyak stroke emboli menjadi "hemorrhagic" menyebabkan
hemoragik infark (HI). Hemoragik infark (digunakan di sini sinonim dengan
transformasi hemoragik dari infark iskemik) adalah infark iskemik di mana
perdarahan berkembang di dalam jaringan otak necrotizing. Patogenesis
transformasi hemoragik dari infark pucat adalah fenomena yang kompleks.
Dua penjelasan umum yang maju untuk menjelaskan patogenesis
HI di stroke emboli adalah: (1) transformasi hemoragik terjadi karena jaringan
iskemik sering reperfusi ketika lisis embolus spontan dan aliran darah
dikembalikan ke daerah yang sebelumnya iskemik. Obstruksi vaskular awal
kemungkinan akan terjadi pada bifurkasi dari sebuah kapal besar. oklusi dapat
menghambat salah satu atau kedua cabang, memproduksi iskemia jaringan distal.
pembuluh darah serta jaringan otak tersebut diberikan rapuh dan terluka. Ketika
occluding embolus baik lyses spontan atau istirahat terpisah dan bermigrasi distal,
CBF dikembalikan ke mikrosirkulasi "terluka atau iskemik". Hal ini dapat
mengakibatkan perdarahan atau "infark merah" di apa yang sebelumnya telah
medan berdarah. Daerah yang terus menjadi buruk perfusi disebut sebagai "pucat"
atau "infarct anemia." (2) transformasi Hemorrhagic juga diketahui terjadi dengan
oklusi terus-menerus dari arteri induk proksimal, menunjukkan bahwa
transformasi hemoragik tidak selalu terkait dengan migrasi bahan emboli. HI di
pinggiran infark di hadapan persisten oklusi arteri disebabkan oleh reperfusi dari
kapal leptomeningeal yang memberikan sirkulasi kolateral. Pada pasien dengan
ES, itu tidak biasa untuk melihat HI side-by-side dengan infark iskemik. Tiga
faktor utama yang terkait dengan "infark merah" atau hemoragik infark termasuk
ukuran infark, kekayaan sirkulasi kolateral, dan penggunaan antikoagulan dan
terapi intervensi dengan agen trombolitik. infark serebral besar terkait dengan
insiden yang lebih tinggi dari transformasi hemoragik. Hipertensi tidak dianggap
sebagai faktor risiko independen untuk transformasi hemoragik dari infark
iskemik.
h) Iskemik atau hipotensi stroke
Pengurangan besar dalam tekanan darah sistemik karena alasan
apapun bertanggung jawab untuk "Stroke hipotensi." Beberapa neuron lebih
rentan terhadap iskemia daripada yang lain. Ini termasuk lapisan sel piramidal dari
hippocampus dan lapisan sel Purkinje dari korteks serebelar. materi abu-abu otak
juga sangat rentan. Kelimpahan glutamat di neuron ini membuat mereka lebih
rentan terhadap iskemia global.
Iskemia global yang menyebabkan kerusakan terbesar untuk
daerah antara wilayah arteri serebral dan cerebellar besar yang dikenal sebagai
"zona batas" atau "DAS." The parietal-temporal-oksipital segitiga di
persimpangan anterior, tengah, dan posterior serebral arteri ini paling sering
terpengaruh. infark DAS di daerah ini menyebabkan sindrom klinis yang terdiri
dari kelumpuhan dan gangguan sensorik terutama yang melibatkan lengan; wajah
tidak terpengaruh dan pidato terhindar. infark DAS membentuk sekitar 10% dari
semua stroke iskemik dan hampir 40% dari ini terjadi pada pasien dengan stenosis
karotis atau oklusi.

2.7 Manifestasi Klinis


Menurut Brunner & Suddarth (2002) stroke menyebabkan berbagai defisit
neurologik, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana yang tersumbat),
ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral
(sekunder atau aksesori). Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik
sepenuhnya. Seorang dikatakan terkena stroke jika salah satu atau kombinasi
apapun dari gejala diatas berlangsung selama 24 jam atau lebih (Feigin, 2007).
1) Disfungsi Motorik
Stroke adalah menyakit neuron motor atas dan mengakibatkan kehilangan
kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Karena neuron motor atas melintas,
gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi tubuh dapat menunjukkan
kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak. Disfungsi
motor paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi
pada sisi otak yang berlawanan. Hemiparesis, atau kelemahan salah satu sisi
tubuh, adalah tanda yang lain.
Di awal tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul biasanya adalah paralisis
dan hilang atau menurunnya refleks tendon dalam. Apabila refleks tendon dalam
ini muncul kembali (biasanya dalam 48 jam), peningkatan tonus disertai dengan
spastisitas (peningkatan tonus otot abnormal) pada ekstremitas yang terkena dapat
dilihat.
2) Kehilangan kemampuan berkomunikasi
Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan komunikasi.
Stroke adalah penyebab afasia paling umum. Disfungsi bahasa dan komunikasi
dapat dimanifestasikan oleh hal berikut :
a) Disartria (kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit
dimengerti yang disebabkan oleh paralisis otot yang bertanggung jawab untuk
menghasilkan bicara.
b) Disfasia atau afasia (bicara detektif atau kehilangan bicara), yang terutama
ekspresif atau reseptif.
c) Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari
sebelumnya), seperti terlihat ketika pasien mengambil sisir dan berusaha untuk
menyisir.
3) Gangguan Persepsi
Persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Stroke
dapat mengakibatkan disfungsi persepsi visual, gangguan dalam hubungan visual-
spasial dan kehilangan sensori.
a) Disfungsi persepsi visual karena gangguan jarak sensori primer di antara mata
dan korteks visual. Homonimus hemianopsia (kehilangan setengah lapang
pandang) dapat terjadi karena stroke dan mungkin sementara atau permanen. Sisi
visual yang terkena berkaitan dengan sisi tubuh yang paralisis. Kepala pasien
berpaling dari sisi tubuh yang sakit dan cenderung mengabaikan bahwa tempat
dan ruang pada sisi tersebut; ini disebut amorfosintesis.
b) Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih
objek dalam area spasial) sering terlihat pada pasien dengan hemiplagia kiri.
Pasien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa bantuan karena
ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
c) Kehilangan sensori karena stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau
mungkin lebih berat, dengan kehilangan propriosepsi (kemampuan untuk
merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam
menginterpretasikan stimulasi visual, taktil, dan auditorius.
4) Kerusakan Fungsi kognitif dan Efek Psikologik
Bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas,
memori, atau fungsi intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak.
Disfungsi ini dapat ditunjukkan dalam kesulitan dalam pemahaman, kehilangan
memori jangka pendek dan panjang, penurunan lapang perhatian, perubahan
penilaian, kerusakan untuk berkosentrasi dan kurang motivasi, yang menyebabkan
pasien ini menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Selain
itu dapat terjadi. Defisit emosional seperti kehilangan kontrol diri, labilitas
emosional, penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stres, depresi,
menarik diri dan perasaan isolasi (Smeltzer. 2002).
5) Disfungsi Kandung Kemih
Setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontinensia urinarius sementara
karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan
ketidakmampuan untuk menggunakan urinal/bedpan karena kerusakan kontrol
motorik dan postural. Kadang setelah stroke kandung kemih menjadi atonik,
dengan kerusakan sensasi dalam respons terhadap pengisisan kandung kemih.
Kadang kontrol sfingter urinarius eksternal juga hilang atau berkurang.
Berbagai bagian otak dapat mengalami gangguan peredaran darah otak,
secara anatomi otak dibagi atas otak besar yang terdiri dari beberapa lobus, yaitu:
lobus frontalis, mengatur gerakan sadar, ciri kepribadian, perilaku sosial,
motivasi-inisiatif, dan berbicara. Lobus oksipita mengatur perhatian terhadap
rangsangan, menulis, menggambar, menghitung, merasakan, membentuk,
berpakaian. Lobus temporalis mengatur daya ingatan verbal, dan visual,
pendengaran, dan suasana hati. Lobus oksiput mengatur interprestasi penglihatan.
Otak kecil mengatur koordinasi, keseimbangan, gerakan mata, menelan, dan
gerakan lidah (Feigin, 2007).
Tanda dan gejala dari stroke dapat berupa defisit lapang pandang seperti
kehilangan setengah lapang penglihatan, Kehilangan penglihatan perifer, dan
diplopia. Defisit motor ik (seperti Hemiparesis, Hemiplegia, Ataksia, Disartria dan
Disfagia). Defisit sensori (seperti Parestesia). Defisit Verbal (seperti Afasia
eksprensif: tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami, Afasia reseptif:
tidak mampu memahami kata yang dibicarakan, Afasia global: kombinasi afasia
eksprensif dan reseptif).
Gejala klinis yang timbul juga tergantung dari jenis stroke.
1) Gejala klinis pada stoke hemoragik berupa :
a) defisit neurologis mendadak, didahului gejala prodromal yang terjadi pada saat
istirahat atau bangun pagi,
b) kadang tidak terjadi penurunan kesadaran,
c) terjadi terutama pada usia >50 tahun,
d) gejala neurologis yang timbul bergantung pada berat ringannya gangguan
pembuluh darah dan lokasinya.
2) Gejala klinis pada stroke akut berupa :
a) Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang timbul
mendadak,
b) gangguan sensibilitas pada salah satu anggota badan (gangguan hemisensorik),
c) perubahan mendadak pada status mental (konfusi, delirium, letargi, stupor atau
koma),
d) afasia (tidak lancar atau tidak dapat bicara),
e. disartria (tidak lancar atau tidak dapat bicara),
f) ataksia (tungkai atau anggota badan tidak tepat pada sasaran),
g) vertigo (mual dan muntah atau nyeri kepala).

2.7 Diagnosis Banding dan Perbedaan Bentuk Stroke


Kriteria Stroke Hemoragik Stroke Iskemik
Perbedaan Parenchymatous Subarachnoid Thrombosis of Embolism of
Haemorrhage Haemorrhage cerebral vessels cerebral vessels
Usia 45-60 th 20-40 th 50 th Tidak berpengaruh
Tanda awal Sakit kepala menetap Sakit kepala Serangan TIA Tidak sakit kepala
sementara (iskemik
sementara)
Wajah Hiperemi pada wajah Hiperemi pada Pucat Pucat
& konjungtiva wajah, tampak
blefarospasme
Saat timbulnya Mendadak, kadang Mendadak, Secara perlahan, Mendadak
penyakit pada saat merasa ada sering pada
melakukanaktifitas & tiupan di kepala malam hari atau
adanya tekanan menjelang pagi
mental
Gangguan Penurunan kesadaran Gangguan Kecepatan Sering pada awal
kesadaran mendadak kesadaran yang menurunnya kejadian atau
reversible sesuai dengan perubahan yang
memberatnya terjadi sesuai
defisit neurologis dengan beratnya
defisit neurologis
Sakit kepala Kadang-kadang Kadang-kadang Jarang Jarang
Motor exitation Kadang-kadang Kadang-kadang Jarang Jarang
Muntah 70-80% >50% Jarang 2-5% Kadang-kadang
(25-30%)
Pernafasan Ireguler, snooring Kadang Cheyne- Jarang terjadi Jarang terjadi
Stokes, gangguan pada gangguan pada
kemungkinan kasus proses kasus proses
bronchorrea hemisfer hemisfer
Nadi (pulse) Tegang, bradikardi Kecepatan nadi Mungkin cepat Bergantung pada
lebih sering daripada 80-100x/mnt dan halus etiologi penyakit
takikardia jantung
Jantung (heart) Batas jantung Patologi jantung Lebih sering Alat jantung,
mengalami dilatasi, jarang kardiosklerosis, endokarditis,
tekanan aorta tanda hipertonik aritmia kardiak
terdengar pada bunyi jantung
jantung II
Tekanan darah Hipertensi arteri Jarang Bervariasi Bervariasi
meningkat
(mungkin
menetap tak
berubah)
Paresis atau Hemiplegia dengan Bisa tidak ada. Hemiparesis lebih Hemiparesis,
plegia aktifitas berlebih, prominen pada kelemahan di
ekstremitas ekstensi abnormal salah satu salah satu
ekstremitas bisa ekstremitas lebih
mengarah ke tampak daripada
hemiplegia yang lainnya.
Kadang-kadang
mengarah ke
hemiplegia
Tanda patologi Kadang-kadang Kadang-kadang Unilateral Unilateral
bilateral, tampak lesi mengarah ke
pada salah satu sisi bilateral
cerebral
Rata-rata Cepat Cepat Secara perlahan Cepat
perkembangan
penyakit
Serangan Jarang 30% Jarang Jarang
Tanda awal Kadang-kadang Hampir selalu Jarang Jarang pada gejala
iritasi meningeal awal penyakit
Pergerakan mata Kadang-kadang Kadang-kadang Kadang-kadang Jarang
Cairan Berdarah atau Kadang-kadang Tidak berwarna Tidak berwarna
Serebrospinal xanthocromic dengan perdarahan dan jernih dan jernih
peningkatan tekanan
Fundus mata Kadang-kadang Jarang Perubahan Perbedaan
perdarahan dan perdarahan sklerotik perubahan
perubahan pembuluh pembuluh darah pembuluh darah
darah (atherosklerosis
dan vaskulitis)
Echo-EG Terdapat tanda Tidak terdapat Tidak terdapat Tidak terdapat
pergantian M-echo tanda pergantian tanda pergantian tanda pergantian
dan hematoma M-echo di M-echo atau M-echo atau
edema otak dan kemungkinan kemungkinan
hipertensi pergantian hingga pergantian hingga
intrakranial 2 mm keutuhan 2 mm keutuhan
hemisfer pada hari hemisfer pada hari
pertama serangan pertama serangan
stroke stroke

2.8 Pemeriksaan Diagnostik


Menurut Wiwit, 2010 bukanlah hal yang mudah menentukan seseorang terkena
stroke atau tidak. Dalam hal ini harus melewati berbegai prosedur sebelum
menyatakan seseorang terkena stroke. Langkah-langkah yang ditempuh antara lain
pemeriksaan darah, pemeriksaaan dengan alat pemindai, seperti MRI (magnetik
resonance imaging) atau CT Scan (computerized tomography scanning). Selain
itu, dibutuhan juga wawancara (anamnesa) dan pemeriksaan fisik dengan
seseorang yang diduga menderita stroke.
2.8.1 Anamnesa dan pemeriksaan fisik neurologis
Wawancara dilakukan untuk mendapatkan gambaran klinis
seseorang. Dengan berbicara langsung dengan pasien, akan dapat memperkirakan
tingat keparahan penyakit yang diderita pasien. Dalam wawancara ini, ada
beberapa hal yang perlu ditanyakan kepada penderita stroke antara lain : gejala
apa yang dialami dan berapa lama serangan telah terjadi, pernahkah penderita
mengalami gejala yang sama sebelumnya, adakah keluhan menderita penyakit
lain, dan obat apa yang sedang diminum dan sebagainya. Selain hal itu minta
klien menggerakkan beberapa organ tubuhnya, memukul lutut untuk mengecek
gerak refleks, dan sebagainya.
Pemeriksaan neurologi terdiri atas :
1) Tingkat kesadaran, dibagi menjadi 2 yaitu kualitatif dan kuantitatif
a) Kualitatif
Komposmentis (kesadaran yang normal)
Somnolen, adalah keadaan mengantuk. Kesadaran dapat oulih penuh bila
dirangsang. Biasa disebut juga letargi. Penderita mudah dibangunkan, mampu
memberi jawaban verbal dan menangkis rangsang nyeri.
Sopor (stupor), adalah kantuk yang mendalam. Masih dapat dibangunkan dengan
rangsang yang kuat, namun kesadarannya segera menurun kembali. Masih
mengikuti suruhan singkat, terlihat gerakan spontan. Dengan rangsang nyeri
penderita tidak dapat dibangunkan sempurna. Tidak diperoleh jawaban verbal dari
penderita tetapi gerak motorik untuk menangkis rangsang nyeri masih baik.
Koma ringan adalah tidak ada respon terhadap rangsang verbal. Reflek kornea,
pupil masih baik. Gerakan timbul sebagai respon dari rangsang nyeri tetapi tidak
terorganisasi. Penderita sama sekali tidak dapat dibangunkan.
Koma dalam atau komplit. Tidak ada jawaban sama sekali terhadap rangsang
nyeri yang bagaimanapun kuatnya.
b) Kuantitatif (glasgow coma scale)
Membuka Mata
Spontan 4
Terhadap bicara 3
Dengan rangsang 2
Tidak ada reaksi 1

Respon Verbal
Baik, tidak ada disorientasi 5
Kacau (confused- dapat bicara dalam 4
kalimat, namun ada disorientasi
waktu dan tempat)
Tidak tepat (dapat mengucapkan 3
kata-kata namun tidak berupa
kalimat)
Mengerang 2
Tidak ada jawaban 1

Respon Motorik
Menurut perintah 6
Mengetahui lokasi nyeri 5
Reaksi menghindar 4
Reaksi fleksi (dekortikasi) 3
Reaksi ekstensi (deserebrasi) 2
Tidak ada reaksi 1

2) Rangsang Selaput Otak


Rangsang selaput otak dapat memberikan beberapa gejala, diantaranya:
a) Kaku kuduk
Merupakan gejala yang sering dijumpai pada kelainan rangsang selaput otak. Cara
pemeriksaan:
Tempatkan tangan pemeriksa dibawah kepala pasien yang sedang berbaring
Kepala ditekukan (fleksi), usahakan dagu mencapai dada
Untuk mengurangi salah tafsir, penekukan kepala dilakukan saat klien ekspirasi
Kaku kuduk(+), jika kita dapatkan tahanan dan dagu tidak dapat mencapai dada
b) Tanda Lasegue, cara pemeriksaan:
Luruskan kedua tungkai pada pasien yang sedang berbaring
Satu tungkai diangkat lurus, dibengkokan (fleksi) pada persendian panggul
Tungkai yang lain harus selalu berada dalam keadaan ekstensi (lurus)
Tanda lasegue (+), jika timbul rasa sakit dan tahanan sebelum kita menacapai
sudut 70 derajat, normalnya kita dapat mencapai sudur 70 derajat tanpa rasa sakit
dan tahahan, kecuali pada usila diambil patokan 60 derajat.
c) Tanda kernig, cara pemeriksaan:
Fleksikan paha pada persendian panggul sampai sudut 90 derajat, dengan posisi
berbaring
Tungkai bawah diekstensikan pada persendian lutut
Biasanya kita dapat melakukan ekstensi ini sampai sudut 135 derjat antara tungkai
bawah dan tungkai atas
Tanda kernig (+), jika terdapat tahanan dan rasa nyeri sebelum mencapai sudut ini
d) Tanda Brudzinski I, cara pemeriksaan:
Tempatkan tangan dibawah kepala pasien yang sedang berbaring
Tangan yang lain sebaiknya ditempatkan didada pasien untuk mencegah
diangkatnya badan
Tekukan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada
Brudzinski I (+), jika mengakibatkan fleksi kedua tungkai. Sebelumnya kaji dulu
apakah ada kelumpuhan pada tungkai.
e) Tanda Brudzinski II, cara pemeriksaan:
Pada posisi berbaring, fleksikan satu tungkai pada persendian panggul
Tungkai yang lain berada dalam keadaan lurus (ekstensi)
Brudzinski II (+), jika tungkai yang satu ini ikut pula terfleksi. Sebelumnya kaji
dulu apakah ada kelumpuhan pada tungkai
3) Saraf otak
a) Saraf otak 1 (Nervus Olfaktorius)
Merupakan saraf sensorik yang fungsinya untuk mencium bau, menghidu. Cara
pemeriksaan:
Pemeriksaan lubang hidung, apakah ada sumbatan atau kelainan setempat, contoh:
ingusan, polip
Dengan satu lubang hidung pasien disuruh untuk menghidu zat yang tidak
merangsang, seperti: teh, kopi, tembakau
Periksa masing-masing hidung secara bergantian dengan menutup lubang hidung
yang lainnya.
b) Saraf otak II (Nervus optikus)
Jika pasien tidak mempunyai keluhan yang berhubungan dengan nervus II dan
pemeriksa juga tidak mencurigai adanya gangguan maka biasanya dilakukan
pemeriksaan nervus II (ketajaman penglihatan dan lapang pandang) secara kasar.
Jika ditemukan kelainan harus dilakukan pemeriksaan yang lebih teliti. Selain itu
dilakukan pemeriksaan oftalmoskopik sebagai pemeriksaan rutin neurologi. Cara
pemeriksaan:
Ketajaman penglihatan
Pasien disuruh mengenali benda yang letaknya jauh (misalnya jam dinnding dan
diminta menyatakan jam berapa) dan membaca huruf yang ada dibuku atau koran.
Bila ketajaman mata pasien sama dengan pemeriksa, maka hal ini dianggap
normal.
Lapangan pandang
Klien disuruh duduk atau berdiri berhadapan dengan pemeriksa dengan jarak kira-
kira 1 meter. Jika kita hendak memeriksa mata kanan, maka mata kiri penderita
harus ditutup sedangkan pemeriksa harus menutup mata kananya. Pasien tetap
melihat kemata kiri pemeriksa begitupun pemeriksa harus tetap melihat mata
kanan penderita. Gerakan tangan dari satu sisi, jika pasien sudah melihat gerakan
tangan pasien hendaknya memberi tanda. Hal ini dibandingkan dengan pemeriksa
apakah iapun telah melihatnya.
c) Saraf III, IV, VI (Nervus okulomotorus, troklearis, dan abdusen)
Ketiga saraf otak ini diperiksa bersama-sama, karena kesatuan fungsinya, yaitu
mengurus otot-otot ekstrinsik dan instrinsik bola mata
Saraf III : Mengatur kontraksi pupil dan mengatur lensa mata
Saraf IV : Kerjanya menyebabkan mata dapat melirik kearah bawah dan nasal
Saraf VI : Kerjanya menyebabkan lirik mata kearah temporal
Cara pemeriksaan dengan menggunakan senter, periksa pupil apakah miosis atau
midriasis lalu suruh pasien mengikuti gerakan cahaya yang digerakan pemeriksa
sesuai dengan arah fungsi masing-masing saraf.
d) Saraf V (Nervus Trigeminus)
Nervus Trigeminus terdiri dari 2 bagian yaitu: bagian motorik dan sensorik
Motorik (mengurus otot-otot mengunyah). Cara pemeriksaan:
Pasien disuruh merapatkan giginya sekuat mungkin dan kemudian kita raba M.
masseter dan M.temporalis
Pasien disuruh membuka mulut dan perhatikan apakah ada deviasi rahang bawah,
bila ada parease, maka rahang bawah akan berdeviasi kearah yang lumpuh
Nilai kekuatan otot saat menutup mulut dengan cara menyuruh pasien
mengginggit suatu benda, misal: tong spatel.
Sensorik (mengurus sensibilitas dari muka). Diperiksa denganmenyelidiki rasa
raba, rasa nyeri dan suhu daerah-daerah yang dipersarafinya (wajah). Cara
pemeriksaan :
Rasa raba
Sebagai perangsang dapat digunakan sepotong kapas, kertas atau kain dan
ujungnya diusahakan sekecil mungkin. Sentuhkan ke area wajah klien.
Bandingkan antara wajah kiri dan kanan.
Rasa nyeri
Dilakukan dengan menggunakan jarum atau peniti. Tusukan hendaknya cukup
keras sehingga betul-betul dirasakan rasa nyeri bukan rasa raba atau sentuh.
Tusukkan ke area wajah lalu tanyakan apakah klien merasakannya.
Rasa suhu
Ada 2 macam rasa suhu yaitu panas dan dingin. Dengan menggunakanbotol yang
berisi air dingin/es atau air panas. Dengan cara yang sama suruh pasien
menyebutkan apakah panas atau dingin.
e) Saraf VII (Nervus Fasialis)
Terutama merupakan saraf motorik, yang menginervasi otot-otot ekspresi wajah.
Cara pemeriksaan :
Fungsi Motorik
Suruh penderita mengangkat alis dan mengerutkan dahi, apakah hal ini dapat
dilakukan dan apakah asimetris/simetris.
Suruh penderita memejamkan mata. Dinilai dengan jalan mengangkat kelopak
mata dengan tangan pemeriksa sedangkan pasien disuruh tetap memejamkan
mata.Suruh pula pasien memejamkan mata satu persatu. Jika lumpuh berat,
penderita tidak mampi memejamkan mata.
Suruh penderita menyeringai, mengembungkan pipi.
Fungsi Pengecapan
Sebelumnya pasien disuruh untuk menutup kedua matanya
Suruh pasien untuk menjulurkan lidahnya
Letakkan zat seperti gula, garam dan kina di bagian 2/3 lidah bagian depan.
Suruhpenderita menyebutkan rasa yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1
untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin.
f) Nervus VIII (Nervus Akustikus)
Saraf ini terdiri atas 2 bagian, yaitu saraf koklearis mengurus pendengaran dan
saraf vestibularis mengurus keseimbangan.
Ketajaman Pendengaran
Suruh penderita mendengarkan suara bisikan pada jarak tertentu dan
membandingkannya dengan orang tuanya.
Perhatikan adanya perbedaan pendengaran antara telinga kiri dan kanan.
Jika ketajaman pendengaran kurang atau ada perbedaan antara kiri dan kanan
maka lakukan pemeriksaan Swabach, Rinne dan Weber.
Keseimbangan
Tes Romberg yang dipertajam.
Penderita berdiri dengan kaki kaki yang satu di depan yang lainnya.Tumit kaki
yang satu berada di depan jari kaki yang lainnya.
Tes melangkah ditempat
Penderita disuruh berjalan di tempat dengan mata tertutup, sebanyak 50 langkah
dengan kecepatan seperti berjalan biasa.Sebelumnya pasien diberitahu bahwa dia
harus berusahaagar tetap agar tetap ditempat selama tes ini. Tes ini dianggap
abnormal jika kedudukan akhir penderita beranjak lebih dari 1 meterdari tempat
semula atau badan berputar lebih dari derajat.
g) Saraf IX dan X (Nervus Glosofaringeus dan Vagus)
Kedua nervus ini diperiksa berbarengan karena berhubungan erat satu sama lain.
Cara pemeriksaan :
Penderita disuruh membuka mulut, suruh penderita menyebut aaaa perhatikan
palatum mole dan faring serata apakah uvula ada di tengah atau miring.
Waktu penderita membuka mulut kita rangsang (tekan) dinding faring atau
pangkal lidah dengan tong spatel. Rangsangan tersebut akan membangkitkan
reflek muntah.
h) Saraf XI (Nervus Aksesorius)
Cara pemeriksaan :
Tempetkan tangan kita diatas bahu penderita.
Kemudian penderita disuruh mengangkat bahunya dan kita tahan maka dapat kita
nilai kekuatan ototnya.
Bandingkan otot yang kanan dan kiri.
i) Saraf XII (Nervus Hipoglosus).
Cara pemeriksaan :
Suruh pasien membuka mulut dan menjulurkan lidahnya.
Penderita disuruh menekankan lidahnya pada pipinya. Kita nilai daya tekannya ini
dengan jalan menetapkan jari kita tapi pada pipi sebelah luar. Jika terjadi parese
lidah bagian kiri, lidah tidak dapat ditekankan ke pipi sebelah kanan tetapi ke
sebelah kiri dapat melakukannya.
4) Kekuatan otot
Tenaga otot dinyatakan dengan menggunakan angka 0-5 (0 berarti lumpuh sama
sekali dan 5 normal).
0 : Tidak didapatkan sedikitpun kontraksi otot, lumpuh total.
1 : Terdapat sedikit kontraksi otot, namun tidak didapatkan gerakan pada
persendian yang harus digerakkan oleh otot tersebut.
2 : Didapatkan gerakan, tetapi gerakan ini tidak mampu melawan gaya gravitasi.
3 : Dapat mengadakan gerakan melawan gaya berat.
4 : Disampin dapat melawan gaya berat ia dapat pula mengatasi sedikit tahanan
yang diberikan.
5 : Tidak ada kelumpuhan (normal).
2.8.2 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mendapatkan informasi faktor-faktor risiko
tersebut. Pemeriksaan laboratorium meliputi :
a) Pemeriksaan darah lengkap berupa jumlah sel darah merah dan putih,
trombosit, dam lain-lain. Hasil pemeriksaan ini akan memberikan informasi
kesehatan pasien, misalnya jika jumlah sel darah putih diatas normal, hal itu
mengindikasikan terjadinya penyalit atau infeksi yang sedang menyerang pasien.
b) Tes darah koagulasi, yang terdiri atas 4 tes, yaitu :
Prothrombin time
Partial thromboplastin time (PTT)
International normalized ratio (INR); dan
Agregasi trombosit
Tes ini digunakan untuk mengetahui seberapa cepat darah menggumpal dan
menyebabkan perdarahan atau pembekuan darah.
c) Tes kimia darah
Tes ini digunakan untuk melihat kadar gula darah, kolesterol, asam urat, dan lain-
lain yang merupakan pencetus stroke.
d) Tes lipid darah
Tes ini digunakan untuk mengetahui kadar kolesterol baik (HDL) dan kadar
kolesterol jahat (LDL), trigliserida, dan total kolesterol. Faktor kolesterol ini
dianggap sebagai faktor yang berperan penting dalam kasus stroke dan penyakit
jantung.
e) Tes darah dalam situasi tertentu.
Kasus stroke yang tidak diketahui penyebabkan memerlukan tes ini. Tes ini
terutama diperlukan pada penderita yang berusia muda atau anak-anak. Tes ini
meliputi homosistein darah, enzim kardiak, dan lopus koagulasi.
2.8.3 Pemeriksaan dengan pemandaian
Pemeriksaan ini dilakukan pada otak dan kepala, biasanya
menggunakan CT-scan dan MRI atau alat pemindai lain, seperti SPECT ( single
photon emission), cerebral angioplasty, USG (carotid ultrasound),
echocardiogram, dan EKG.
a) CT-Scan (Computer Tomography-Scan)
Pemeriksaan ini dilakukan oleh oleh dokter ahli radiologi. Biasanya
pemriksaan ini dilakukan atas perintah dokter saraf atau bedah saraf. Pada
dasarnya, CT scan menggunakan sinar X untuk mengambil gambar otak dan
kepala. Karena tulang lebih banyak menyerap sinar X, saat pemindaian biasanya
menggunakan warna putih. Sedangkan cairan otak menghasilkan warna hitam.
Pada kasus stroke iskemik, warna otak akan lebih banyak hitam, sedangkan pada
stroke hemoragik akan lebih banyak menghasilkan warna putih. Selain itu, untuk
mengetahui adanya trombosis, emboli serebral maupun adanya peningkatan
tekanan intrakranial. Peningkatan TIK dan cairan yang mengandung darah
menunjukkan adanya perdarahan subarakhnoid ataupun intrakranial. Pada
beberapa kasus trombosis disertai proses inflamasi.
b) MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Alat ini memberikan hasil lebih akurat dari pada CT-Scan karena mampu
mendeteksi berbagai berbagai kelainan otak dan pembuluh darah otak yang sangat
kecil dan tidak mungkin di jangkau oleh CT-Scan, seperti daerah spesifik yang
mengalami infark, perdarahan maupun Malformasi Arteriovena.
c) SPECT
Alat ini menggunakan isotop dengan sinar gamma, dari jenis sel radio
isotop xenon 133. Alat ini digunakan untuk mendeteksi wilayah otak yang tidak
terganggu dan dapat mendeteksi serangan (dalam waktu empat jam setelah
serangan).
d) PET-Scan
Alat ini digunakan untuk memantau gangguan fisiologi, seperti
metabolisme gula dalam otak. Alat yang satu ini tidak begitu popular karena
selain harganya yang cukup tinggi, alat ini membutuhkan waktu yang lama
sehingga membuat pasien mengeluh.
e) Cerebral Angiography
Alat yang biasanya digunakan sesudah pemeriksaan menggunakan CT-
Scan ini digunakan untuk mendeteksi abnormalitas di dalam pembuluh darah otak
(menyempit atau tersumbat, adanya aneurisma maupun AVM dan mengetahui
tingkat penyempitan dan penyumbatan).
f) Ultrasonografi
Carotid USG digunakan untuk meneliti penyumbatan pembuluh darah di
leher pasien yang sudah terkena serangan stroke ketika dilakukan pemindaian
awal. Penyempitan pembuluh darah akibat menumpuknya kolesterol,
penggumpalan darah, dan aliran darah bisa dideteksi dengan alat ini. USG
Doppler digunakan untuk mengidentifikasi masalah sistem arteri karotis (aliran
darah atau timbulnya plak) dan arteriosklerosis.
g) EKG (Electrocardiogram)
Alat ini digunakan untuk memantau denyut jantung. Alat ini juga bisa
memberikan gambaran irama denyut jantung yang bisa memicu serangan stroke,
juga bisa digunakan sebagai alat evaluasi stroke.
h) EEG (Electro Encephalogram)
Mengidentifikasi masalah pada gelombang otak dan memperlihatkan
daerah lesi yang spesifik.
i) Rontgen tengkorak/skull
Menggambarkan kalsifikasi karotis interna yang terdapat pada trombosis
serebral, kalifikasi parsial dinding aneurisma pada perdarahan subarakhnoid.

2.9 Komplikasi
Menurut Brunner&Suddarth (2002), komplikasi stroke meliputi:
Hipoksia Serebral
Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah
adekuat ke otak. Fungsi otak bergantung pada ketersediaan oksigen yang
dikirimkan ke jaringan. Pemberian oksigen suplemen dan mempertahankan
hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam
mempertahankan oksigenasi jaringan.
Aliran darah serebral
Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan
integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus
menjamin penurunan viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral.
Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk mencegah perubahan pada
aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.
Embolisme Serebral
Embolisme serebral dapat terjadi setelah stroke infark miokard atau
fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik. Embolisme akan
menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah
serebral. Disritmia dapat mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan
penghentikan trombus lokal. Selain itu, disritmia dapat menyebabkan embolus
serebral dan harus diperbaiki.
2.10 Penatalaksanaan
Terapi darurat memiliki tiga tujuan, yaitu:
1) Mencegah terjadinya cedera otak akut dengan memulihkan perfusi ke daerah
iskemik non infark.
2) Membaikkan cedera saraf sedapat munkin.
3) Mencegah cedera neurologik lebih lanjut dengan melindungi sel didaerah
iskemik dari kerusakan lebih lanjut (Smeltzer. 2002).
Pada stroke iskemik akut, mempertahankan fungsi jaringan adalah tujuan dari apa
yang disebut sebagai strategi Neuroprotektif. Terapinya dapat berupa hipotermia,
dan pemakaian obat neuroprotektif seperti antikoagulasi, trombolisis intravena,
trombolisis intra arteri. Selain itu terapi yang digunakan adalah terapi perfusi
dimana dilakukan induksi hipertensi untuk meningkatkan tekanan darah arteri
rata-rata sehingga perfusi otak dapat meningkat. Pengendalian edema dan terapi
medis umum juga dilakukan, serta terapi bedah untuk mencegah tekanan dan
distorsi pada jaringan yang masih sehat (Price, 2006)
Menurut Batticaca, 2008, penatalaksanaan medis pada stroke, meliputi :
1) Penatalaksanaan stroke Hemoragik
a) Saran operasi diikuti dengan pemeriksaan.
b) Masukkan klien ke unit perawatan saraf untuk dirawat di bagian bedah saraf.
c) Penatalaksanaan umum di bagian saraf
d) Penatalaksanaan khusus pada kasus :
subarachnoid hemorrhage dan intraventricular hemorrhage
kombinasi antara parenchymatous dan subarachnoid hemorrhage
parenchymatous hemorrhage
e) Neurologis
pengawasan tekanan darah .
Kontrol adanya edema yang dapat menyebabkan kematian jaringan otak
f) Terapi perdarahan dan perawatan pembuluh darah
Anti fibrinolitik untuk meningkatkan mikrosirkulasi dosis kecil.
- Aminocaproic acid 100-150 ml% dalam cairan isotonik 2x/hari selama 3-5 hari,
kemudian 1x/hari selama 1-3 hari.
- Antagonis untuk pencegahan permanen : Gordox dosis pertama 300.000 IU
kemudian 100.000 IU 4x/hari IV; Contrical dosis pertama 30.000 ATU 2x/hari
selama 5-10hari.
Natrii etamsylate 250mg x 4 hari IV sampai 10 hari.
Kalsium mengandung obat; Vicasolum, Ascorbicum.
Profilaksis vasospasme
- Calcium-channel antagonist (Nimotop 50ml (10mg/hari IV diberikan 2mg/jam
selama 10-14 hari)).
- Berikan dexametason 8-4-4-4mg IV ( pada kasus tanpa DM, perdarahan internal
dan hipertensi maligna) atau osmotik diuretik (Manitol 2x/hr 200ml IV diikuti
oleh 20mg Lasix minimal 10-15 hari kemudian).
Awasi peningkatan darah sistolik klien 5-20mmHg, koreksi gangguan irama
jantung, terapi penyakit jantung komorbid.
Cegah terjadinya komplikasi, lakukan perawatan respirasi, jantung, serta
penatalaksanaan cairan dan elektrolit. Monitor terjadinya peningkatan TIK akibat
edema jaringan otak.
2) Perawatan umum klien dengan serangan stroke akut.
a) Pemantauan keadaan umum klien (EKG, tekanan darah, nadi, saturasi O2,
frekuensi nafas, analisa gas darah).
b) Pengukuran suhu tiap 2 jam
Perawatan Pada Klien Stroke sesuai Beratnya Manifestasi Klinis
Klien yang dapat Klien sadar baik dgn Klien sadar/ somnolen Klien tidak sadar
merawat diri sendiri gangguan neurologis dengan disfungsi
fokal berat motorik berat
Prosedur perawatan Fungsikan tempat tidur dengan mtras hidromassage. Fiksasi tempat tidur
higiene secara teratur klien dengan kasus gangguan psikomotor. Lepaskan gigi palsu. Atur
posisi klien yang nyaman di tempat tidur. Pasang foley kateter.
Monitoring output urin. Pada kasus sistem sarf pusat, kompres kulit
dengan kompres hangat pada klen hipertermi di sekitar ketiak dan lipatan
paha.
Latihan nafas : gunakan spirometri secara Bersihkan saluran nafas Intubasi trakea, gunakan
intensif, ajarkan nafas dalam dan batuk efektif. atas dan mulut dengan ventilasi artifisial paru
Ubah posisi klien tiap 2 jam. menggunakan suction menggunakan regim
bila diperlukan hiperventilasi
Bersihkan setiap ada Bersihkan saluran nafas
penumpukan sputum atas dan mulut dengan
dan sekret suction 2-3x/hari
Balut kaki dengan Cegah trombosis vena yang dalam dan cegah tromboembolisme arteri
perban elstik pada kasus pulmonal. Berikan heparin dosis rendah (2500-3000IU setiap 6jam) di
tromboplebitis bawah pengawasan dokter. Berikan aspirin (1mg/kgBB/hr) sesuai advis
dokter. Balut kaki dengan elastik bandage.
Berikan linen bersih secara teratur untuk mencegah kulit klien lecet.
Jaga kulit klien tetap kering namun lembab, mandikan dengan sabun
berpH =7. Amati adanya ulkus setiap membantu klien BAB/BAK.
Persiapkan gerakan latihan untuk paralisis ekstremitas. Letakkan tangan
dalam posisi supinasi, atur kaki dan lutut. Lakukan latihan paralisis setiap
10-20x gerakan selama 3 jam untuk mencegah hipokinesis dan
kekakuan.Lakukan masase pada suhu normal.Letakkan bantal kecil
dibawah lutut klien. Letakkan cincin udara dibawah tendon, sakrum dan
tumit. Untuk mencegah luka tekan, ubah posisi tidur klien sesering
mungkin. Cegah ulkus kornea dengan memberikan salep mata/kasa
lembab.
Berikan jus buah, buah- Dua hari pertama berikan nutrisi secara parenteral. Beri makan dengan
buahan dan air kaldu, menggunakan NGT (1300-1400 kal/hari dalam 50-15-ml 4-5x/hari)
peroral pada hari segera setelah kondisi neurologis klien stabil. Lakukan lavage lambung
pertama, monitor pada klien dengan kasus paresis lambung. Tutup NGT setiap satu jam dan
adanya kesulitan buka kembali jika dilakukan dekompresi lambung. Ganti NGT sesuai
menelan. Bila tidak ada, protap dan pasang kembali bergantian pada lubang hidung lainnya.
lanjutkan dengan diit Bersihkan rektum dengan enema tiap 3 hari sekali.
penuh, cegah terjadinya
konstipasi.

Menurut Rendi, 2012 penatalaksanaan stroke infark antara lain:


1) Demam
Demam dapat mengeksaserbasi cedera otak iskemik dan harus
diobati secara agresif dengan antipiretik (asetaminofen) atau kompres dingin, jika
diperlukan. Penyebab deman tersering adalah pneumonia aspirasi, lakukan kultur
darah dan urine kemudian berikan antibiotik intravena secara empiris (sul
benisilin. sepalosporin. dll) dan terapi akhir sesuai hasil kultur.
2) Nutrisi
Pasien stroke memiliki risiko tinggi untuk aspirasi. Bila pasien
sadar penuh tes kemampuan menelan dapat dilakukan dengan memberikan satu
sendok air putih kepada pasien dengan posisi setengah duduk dan kepala fleksi
kedepan sampai dagu menyentuh dada, perhatikan pasien tersedak atau batuk dan
apakah suaranya berubah (negative). Bila tes menelan negative dan pasien dengan
kesadaran menurun, berikan makanan enteral melalui pipa nasoduodenal
ukuran kecil dalam 24 jam pertama setelah onset stroke.
3) Hidrasi intravena
Hipovolemia sering ditemukan dan harus dikoreksi dengan
kristaloid isotonis. Cairan hipotonis (misalnya dektrosa 5% dalam air, tarutan
NaCL 0,45%) dapat memperberat edema serebri dan harus dihindari.
4) Glukosa
Hiperglikemia dan hipoglikemia dapat menimbulkan eksaserbasi
iskemia. Walaupun relevansi klinis dari efek ini pada manusia belum jelas, tetapi
para ahli sepakat bahwa hiperglikemia (kadar glukosa darah sewaktu >200mg/dl)
harus dicegah. Skala luncur (sliding scale) setiap 6 jam selama 3-5 hari sejak
onset stroke.
5) Perawatan paru
Fisioterapi dada setiap 4 jam harus dilakukan untuk mencegah
atelaktsis paru pada pasien yang tidak bergerak.
6) Aktifitas
Pasien dengan stroke harus dimobilisasi dan harus dilakukan fisioterapi
sedini mungkin bila kondisi klinis neurologist dan hemodinamik stabil. Untuk
fisioterapi pasif pada pasien yang belum bergerak, perubahan posisi badan dan
ekstremitas setiap 2 jam untuk mencegah dekubitus, latihan gerakan sendi anggota
badan secara pasif 4 kali sehari untuk mencegah kontraktur. Splin tumit untuk
mempertahankan kaki dalam posisi dorsofleksi dan dapat juga mencegah
pemendekan tendon Achilles. Posisi kepala 30 derajat dari bidang horisontal
untuk menjamin aliran darah yang adekuat ke otak dan aliran balik vena ke
jantung, kecuali pada pasien hipotensi (posisi datar), pasien dengan muntah-
muntah (dekubitus lateral kiri), pasien dengan gangguan jalan nafas (posisi kepala
ekstensi). Bila kondisi memungkinkan, maka pasien harus diimobillisasi aktif ke
posisi tegak, duduk dan pindah kekursi sesuai toleransi hemodinamik dan
neurologist.
7) Neurorestorasi dini
Stimulasi sensorik, kognitif, memori, bahasa, emosi serta otak yang
terganggu. Depresi dan amnesia juga harus dikenali dan diobati sedini mungkin.
8) Profilaksis trombosis vena dalam
Stroke infark dengan imobilisasi lama yang tidak dalam pengobatan
heparin intravena harus diobati dengan heparin 5.000 unit atau fraksiparin
0,3 cc setiap 12 jam selama 5-10 hari untuk mencegah pembentukan thrombus
dalam vena profunda, karena insidennya sangat tinggi. terapi ini juga dapat
diberikan dengan pasien perdarahan intraserebral setelah 72 jam sejak onset.
9) Perawatan vesika
Kateter urine menetap (kateter foley), sebaiknya hanya dipakai hanya ada
pertimbangan khusus (kesadaran menurun, demensia, afasia global). Pada pasien
yang sadar dengan gangguan berkemih, keteterisasi intermiten secara sterit setiap
6 jam lebih disukai untuk mencegah kemungkinan infeksi, pembentukan batu, dan
gangguan sfingter vesika terutama pada pasien laki-laki yang mengalami retensi
urine atau pasien wanita dengan inkontinensia atau retensio urine. Latihan vesika
harus dilakukan bila pasien sudah sadar.

2.11 Pencegahan
Menurut Sutanto (2010), penyakit stroke sebenarnya bisa dicegah dengan
beberapa cara. Pertama, dengan menjalankan perilaku hidup sehat sejak dini.
Kedua, pengendalian faktor-faktor risiko secara optimal harus dijalankan. Ketiga,
melakukan pemeriksaan medis secara rutin dan berkala, di samping pasien harus
mengenali tanda-tanda awal stroke.
Selain itu ada beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan agar seseorang
terhindar dari stroke seperti:
1) Diet Rendah Kolesterol
Diet untuk mengurangi kadar kolesterol jahat dan meningkatkan kadar
kolesterol baik disebut diet rendah kolesterol lemak terbatas. Dikatakan rendah
kolesterol karena asupan kolesterol diharapkan tidak melebihi 300 mg per hari.
Sebenarnya kolesterol merupakan jenis lemak yang diperlukan tubuh untuk
pembuatan hormon anabolik seperti hormon steroid, vitamin D dan getah empedu.
Namun bagi orang yang metabolisme kolesterolnya sudah terganggu, asupan yang
berlebihan dapat meningkatkan kadarnya di dalam darah.
2) Kontrol Asupan Gula dan Garam
Jenis makanan yang juga harus dibatasi pengonsumsiannya adalah gula
dan garam. Konsumsi gula yang berlebihan setiap hari dapat meningkatkan kadar
trigliserida darah, yaitu jenis lemak lain, di samping tentunya berisiko
menimbulkan penyakit gula (diabetes). Kadar natrium yang tinggi dalam darah
dapat meningkatkan kekentalan (osmolaritas) darah yang pada gilirannya akan
menaikkan tekanan darah. Sebaliknya, kalium yang banyak terdapat dalam
sayuran dan buah akan membantu menurunkan tekanan darah.
Mempertahankan tekanan darah di bawah 140/90 mmHg dapat mengurangi
risiko stroke hingga 75-85 persen. Periksa tekanan darah secara teratur (minimal
sebulan sekali).
3) Hindari Obesitas
Untuk pencegahan penyakit stroke, hindari obesitas dan kolesterol tinggi.
Konsumsi banyak sayuran, buah-buahan, padi-padian, makanan berserat lainnya,
dan ikan. Kurangi mengkonsumsi daging, kebiasaan mengemil, serta hindari
makanan yang berkalori tinggi dan banyak mengandung lemak jenuh lainnya.
Makanan yang banyak mengandung kolesterol akan tertimbun dalam dinding
pembuluh darah dan menyebabkan aterosklerosis yang menjadi pemicu penyakit
jantung dan stroke.
4) Hindari rokok, Alkohol, dan Obat terlarang
Merokok menyebabkan elastisitas pembuluh darah berkurang sehingga
meningkatkan pengerasan pembuluh darah arteri dan meningkatkan faktor
pembekuan darah yang memicu penyakit jantung dan stroke. Merokok juga
dapat meningkatkan risiko tekanan darah tinggi dan cenderung untuk
membentuk gumpalan darah, dua faktor yang berkaitan erat dengan stroke.
Alkohol dapat menaikkan tekanan darah, memperlemah jantung, mengentalkan
darah, dan menyebabkan kejang arteri. Hindari juga penggunaan obat-obatan
terlarang seperti heroin, kokain, amfetamin, karena penggunaan narkoba
memiliki risiko terkena stroke beberapa kali lipat lebih tinggi dibandingkan yang
bukan pengguna narkoba.
5) Lakukan Olahraga dan Aktivitas Fisik
Olahraga dapat membantu mengurangi berat badan, mengendalikan kadar
kolesterol, dan menurunkan tekanan darah yang merupakan faktor risiko terkena
penyakit jantung dan stroke. Berolahraga secara teratur membuat jantung tetap
kuat dan meningkatkan jumlah enzim alami (superoksid dismutase, glutation
peroksidase, dan katalase) yang menjadi antioksidan endogen untuk mencegah
aterosklerosis. Olahraga yang dimaksud bagi penderita yang berisiko stroke
adalah tingkat kegiatan fisik yang sedang-sedang saja seperti berjalan, bersepeda,
berkebun, membersihkan rumah dan lainnya. Bila dilakukan secara teratur
akan memberikan manfaat lebih baik daripada melakukan olahraga yang berat
namun tidak kontinyu. Sebaiknya hindarkan olahraga atau kegiatan yang
memaksa dan berkepanjangan karena mengakibatkan beban berlebihan pada
tubuh terutama jantung. Beberapa olah tubuh diakui dapat membantu mobilitas
tubuh, merangsang peredaran darah, dan melepaskan otot-otot yang tegang dan
kaku yang terkait dengan stroke, misalnya yoga (Sustrani, 2006).
6) Menghindari stres
Kondisi mental yang tidak stabil tersebut memberikan dampak yang
beragam, selain itu dampak yang cukup serius adalah stroke. Stres memang
kondisi yang sulit dihindari. Namun jika dapat mengelola stres dengan baik maka
risiko terkena stroke dapat berkurang hingga 25 persen. Jika dapat mengenali
tanda-tanda awal stres maka mengelola stres bukan hal yang sulit dilakukan. Salah
satu cara mengelola stres adalah dengan metode relaksasi.
7) Miliki Jantung Sehat
Penyakit jantung, secara signifikan meningkatkan risiko stroke. Bahkan,
stroke disebut sebagai serangan otak karena adanya persamaan biologis antara
serangan jantung dan stroke. Faktor risiko penyakit jantung, seperti tekanan darah
tinggi, merokok, kolesterol tinggi, kurang olahraga, kadar gula darah tinggi, dan
berat badan lebih harus dikendalikan karena ini juga merupakan faktor risiko
stroke (Sustrani, 2006).

2.12 Penanganan dan Perawatan Stroke di Rumah


1) Berobat secara teratur ke dokter.
2) Jangan menghentikan atau mengubah dan menambah dosis obat tanpa petunjuk
dokter
3) Minta bantuan petugas kesehatan atau fisioterapis untuk memulihkan kondisi
tubuh yang lemah/lumpuh.
4) Perbaiki kondisi fisik dengan latihan teratur di rumah
5) Bantu kebutuhan klien
6) Motivasi klien agar tetap bersemangat dalam latihan fisik
7) Periksa tekanan darah secara teratur
8) Segera bawa klien ke dokter atau rumah sakit bila timbul tanda dan gejala
stroke berulang.

BAB 3
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian Keperawatan


Pengkajian merupakan pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan
untuk mengumpulkan informasi atau data tentang pasien agar dapat
mengidentifikasi, mengenali masalah-masalah, kebutuhan kesehatan, dan
keperawatan pasien baik mental, sosial dan lingkungan.
3.1.1 Anamnesa
Nama (sebagai identitas pasien), Status perkawinan (mungkin
berpengaruh terkait dengan beban hidup pasien yang sudah menikah), pendidikan
(mempengaruhi pasien dalam perilaku kesehatan), pekerjaan (tingkat pekerjaan
yang tinggi dapat mempengaruhi stroke karena stres atau beban hidup yang
tinggi), agama (sebagai keyakinan pasien), Umur (makin tua kejadian stroke
makin tinggi. Padahal usia lanjut terjadi proses kalsifikasi pembuluh darah,
termasuk pembuluh darah otak. Usia merupakan faktor risiko stroke. Semakin tua
usia seseorang maka risiko terkena stroke pun semakin tinggi. Namun penderita
stroke saat in tidak terbatas pada seseorang dengan usia lanjut, kaum usia
produktif pun perlu waspada terhadap ancaman stroke. Pada usia produktif, stroke
dapat menyerang terutama pada mereka yang gemar mengonsumsi makanan
berlemak dan pengguna narkoba (walaupun belom memiliki angka yang pasti)),
Jenis Kelamin (Laki-laki lebih beresiko disbanding wanita ), Rasa tau suku bangsa
(Bangsa Afrika/Negro, Jepang , dan Cina lebih sering terkena stroke. Orang yang
berwatak keras terbiasa cepat atau terburu-buru, seperti orang Sumatra, Sulawesi,
dan Madura rentan terkena stroke), tanggal dan jam masuk rumah sakit (perlu
mengetahui berapa lama serangan terjadi), nomor register (sebagai identitas
pasien), dan diagnosa medis, Identitas penanggung jawab (keluarga pasien):
nama, umur, jenis kelamin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat.

3.1.2 Keluhan Utama


Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
bantuan kesehatan adalah kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo,
tidak dapat berkomunikasi, dan penurunan tingkat kesadaran (Muttaqin, 2011).

3.1.3 Riwayat Kesehatan


1) Riwayat Kesehatan Sekarang
Serangan stroke infark mengakibatkan kehilangan berkomunikasi,
gangguan persepsi, kehilangan motorik, dan merasa kesulitan untuk melakukan
aktifitas karena kelemahan, kehilangan sensasi atatu paralisis (hemiplegia),
merasa mudah lelah, susah beristirahat (nyeri , kejang otot).
2) Riwayat Kesehatan Dahulu (Muttaqin, 2011).
Adanya riwayat hipertensi, riwayat stroke sebelumnya,
diabetes mellitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi
oral yang lama, penggunaan obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat
adiktif, dan kegemukan Pengkajian pemakaian obat-obat yang sering digunakan
klien, seperti pemakaian obat antihipertensi, antilipidemia, penghambat beta, dan
lainnya. Adanya riwayat merokok, penggunaan alkohol dan penggunaan obat
kontrasepsi oral. Pengkajian riwayat ini dapat mendukung pengkajian dari riwayat
pengkajian sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih lanjut dan
untuk memberikan tindakan selanjutnya.
3) Riwayat Kesehatan Keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi, diabetes
mellitus, atau adanya riwayat stroke dari generasi terdahulu.
3.1.4 Pemeriksaan fisik
1) B1 (Breathing)
Pada inspeksi, didapatkan klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan. Pada klien
dengan tingkat kesadaran komposmentis, pengkajian inspeksi pernafasannya
menunjukkan tidak ada kelainan.
Pada auskultasi terdengar bunyi nafas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan
peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun sering
didapatkan pada klien stroke dengan penurunan tingkat kesadaran atau koma.
Palpasi toraks didapatkan adanya taktil premitus seimbang kanan dan diri, dan
auskultasi tidak terdapat suara tambahan
2) B2 (Blood)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan adanya renjatan atau
syok hipovolemik yang sering terjadi pada klien stroke. Terjadinya peningkatan
tekanan darah dan dapat terjadi hipertensi massif (TD mencapai > 200 mmHg)
3) B3 (Brain)
Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologis, tergantung pada lokasi
pembuluh mana yang tersumbat, dan ukuran area yang perfusinya tidak adekuat.
Lesi otak yang rusak dapat membaik sepenuhnya. Pengkajian ini memeriksa
secara fokus dan lebih lengkap dibandingkan dengan pengkajian sistem lainnya.
Kualitas kesadaran klien merupakan parameter yang paling mendasar dan
parameter yang paling penting yang membutuhkan pengkajian. Tingkat
keterjagaan klien dan respon terhadap lingkungan adalah indikator yang paling
sensitif untuk disfungsi sistem persarafan.
Pada keadaan lanjut, tingkat kesadaran klien stroke biasanya berkisar pada
tingkat letargi, stupor, dan semikomatosa. Apabila klien sudah mengalami koma
maka penilaian GCS sangat penting untuk menilai tingkat kesadaran klien dan
bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian asuhan.
Pengkajian fungsi serebral meliputi kasus mental, fungsi intelektual, kemampuan
bahasa, lobus frontal, dan hemisfer.
Pengkajian saraf kranial
Pemerikasaan ini meliputi pemeriksaan saraf kranial I-XII
Saraf I: biasanya pada klien stroke tidak terdapat kelainan pada fungsi penciuman
Saraf II: disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer diantara
mata dan korteks visual. Gangguan hubungan visual-spasial sering terlihat pada
klien dengan hemiplegi kiri. Klien mungkin tidak dapat memakai pakaian tanpa
bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokkan pakaian ke bagian tubuh.
Saraf III, IV, VI: apabla terjadi paralisis, pada satu sisi otot-otot okularis
didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi yang sakit
Saraf V: pada beberapa keadaan stroke menyebabkan paralisis saraf trigeminus,
penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah, penyimpangan rahang
bawah ke sisi ipsilateral, serta kelumpuhan satu sisi otot pterigoideus internus dan
eksternus.
Saraf VII: persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot
wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat
Saraf VIII: tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf IX dan X: kemampuan menelan kurang baik dan sulit untuk membuka
mulutnya
Saraf XI: tidak terdapat atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
Saraf XII: lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, serta indra
pengecapan normal.
Pengkajian Sistem Motorik
Stroke merupakan penyakit saraf motorik atas (UMN) dan mengakibatkan
hilangnya kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Oleh karena UMN
bersilangan, maka gangguan kontrol motor volunter pada salah satu tubuh dapat
menunjukkan kerusakan pada UMN di sisi yang berlawanan dari otak.
Inspeksi umum: didapatkan hemiplegi karena lesi pada sisi otak yang berlawanan.
Selain itu juga didapatkan terjadinya hemiparesis atau kelemahan pada salah satu
sisi tubuh.
Fasikulasi didapatkan pada otot-otot ekstremitas
Meningkatnya tonus otot
Mengalami gangguan keseimbangan dan koordinasi karena adanya hemiparese
dan hemiplegi
Pengkajian Reflek
Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan reflek profunda dan pemeriksaan
reflek patologis. Pada gerakan involunter tidak ditemukan adanya tremor, tic, dan
distonia. Pada keadaan tertentu, klien biasanya mengalami kejang umum,
terutama pada anak dengan stroke disertai peningkatan tekanan suhu tubuh yang
tinggi. Kejang berhubungan sekunder dengan area fokal kortikal yang peka
Pengkajian Sistem Sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi. Pada persepsi terdapat ketidakmampuan untuk
menginterpretasikan sensasi. Disfungsi persepsi visual karena gangguan jaras
sensori primer antara mata dan korteks visual. Kehilangan sensori karena stroke
dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan
kehilangan propiosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian
tubuh) erta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan
auditorius.
4) B4 (Bladder)
Pada stroke klien akan mengalami inkontinensia urine sementara karena
konfusi, juga ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan, dan ketidak
mampuan untuk mengendalikan kandung kemih karena kerusakan kontrol motorik
dan postural. Terkadang kontrol sfingter urine eksternal menghilang atau
berkurang. Selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermitten dengan teknik
steril. Inkontinensia urin yang berlanjut menunjukkan kerusakan neurologis luas.
5) B5 (Bowel)
Adanya keluhan susah menelan, anoreksia, mual dan muntah pada fase
akut. Mual sampai muntah disebabkan oleh peningkatan produksi asam lambung
sehingga menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pada pola defekasi biasanya
terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus. Adanya inkontinensia yang
berlanjut akana menunjukkan kerusakan neurologis yang luas.
6) B6 (Bone)
Disfungsi motorik paling umum adalah hemiplegi karena lesi pada sisi
otak yang berlawanan. Pada kulit, jika klien kekurangan oksigen, kulit akan
tampak pucat kebiruan, dan apabila kekurangan cairan maka turgor kulit akan
buruk. Selain itu, perlu dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang
menonjol karena klien stroke mengalami masalah dalam mobilitas fisiknya. Selain
itu juga terdapat kesulitan untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan
sensori atau paralise, serta mudah lelah yang menyebabkan masalah pada pola
aktivitas dan istirahat.

3.1.5 Pemeriksaan diagnostik


Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan dalam membantu menegakkan Diagnosa
pasien stroke meliputi:
Angiografi Serebri: membantu menentukan penyebab dari stroke secara spesifik
seperti perdarahan arteriovena atau adanya ruptur dan untuk mencari sumber
perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler.
Lumbal pungsi: umumnya dilakukan pada stroke hemoragik.
CT scan: memperlihatkan secara spesifik letak edema, posisi hematoma, adanya
jaringan otak yang infark atau iskemia, serta posisinya secara pasti. Hasil
pemeriksaan biasanya didapatkan hiperdens lokal, kadang-kadang masuk ke
ventrikel, atau menyebar kepermukaan otak.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) : dengan menggunakan gelombang magnetik
untuk menentukan posisi serta besar/luas terjadinya perdarahan otak. Hasil
pemeriksaan biasanya didapatkan area yang mengalami lesi dan infark
USG Doppler : untuk mengidentifikasi adanya penyakit arteriovena (masalah
sistem karotis).
EEG: pemeriksaan ini bertujuan untuk melihat masalah yang timbul dan dampak
dari jaringan yang infark sehingga menurunnya impuls listrik dalam jaringan otak.
Pemeriksaan darah rutin.
Pemeriksaan kimia darah: pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula
darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun
kembali.
Pemeriksaan darah lengkap: untuk mencari kelainan pada darah itu sendiri.
(Muttaqin, 2011).

3.2 Diagnosa Keperawatan


Diagnosa adalah fase kedua proses keperawatan. Pada fase ini, perawat
menggunakan keterampilan berpikir kritis untuk menginterpretasi data pengkajian
dan mengidentifikasi kekuatan serta masalah pasien (Kozier, 2011). Berdasarkan
data pengkajian, Diagnosa keperawatan untuk pasien stroke infark meliputi hal
berikut :
Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan
intraserebri, oklusi otak, vasopasme, dan edema otak.
Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan dengan efek dari kerusakan pada
area bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral, dan
kelemahan secara umum.
Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan hemiparese/hemiplagia,
kelemahan neuromuskuler pada ekstremitas
Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan neuromuskuler,
menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan kontrol/koordinasi otot.
Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) yang berhubungan dengan imobilisasi,
asupan cairan yang tidak adekuat.
Gangguan eliminasi urine (inkontinensia urine) yang berhubungan dengan lesi
pada neuron motor atas.
Perubahan persepsi-sensori yang berhubungan dengan perubahan resepsi sensori,
integrasi (trauma neurologis atau defisit) yang ditandai dengan disorientasi
terhadap waktu, tempat, dan orang; perubahan dalam pola perilaku/respons
terhadap rangsangan, respons emosional berlebihan; konsentrasi buruk, perubahan
proses berpikir; perubahan dalam ketajaman sensori; ketidakmampuan untuk
menyebutkan posisi bagian tubuh (propriosepsi), ketidakmampuan
mengenali/mendekati makna terhadap objek (agnosia visual) (Doenges, 2000).
Resiko ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan yang berhubungan
dengan kelemahan otot dalam mengunyah makan dan menelan.
Risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan penurunan luas lapang pandang,
penurunan sensori rasa (panas, dingin), penurunan tingkat kesadaran.
Risiko tinggi gangguan integritas kulit yang berhubungan dengan tirah baring
yang lama.

3.3 Intervensi Keperawatan

1) Diagnosa Keperawatan : Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan


dengan perdarahan intraserebri, oklusi otak, vasopasme, dan edema otak
Tujuan : setelah dilakakan tindakan keperawatan selama 2x24 jam klien tidak
menunjukkan peningkatan TIK
Kriteria hasil : klien mengatakan tidak sakit kepala dan merasa nyaman, tidak ada
cedera yang terjadi terhadap klien, tanda-tanda vital dan GCS normal.
Intervensi:
a) Ubah posisi klien secara bertahap
Rasional : perubahan posisi secara drastis dapat memicu peningkatan TIK.
b) Atur posisi klien bedrest
Rasional : bertujuan mengiurangi kerja fisik, mengurangi beban kerja jantung.
c) Jaga suasana tetap tenang
Rasional : suasana tenang memberikan rasa nyaman pada klien dan mencegah
ketegangan
d) Kurangi cahaya ruangan
Rasional : cahaya merupakan salah satu rangsangan yang berisiko terhadap
peningkatan TIK
e) Hindari rangsangan oral
Rasional : rangsangan oral risiko terjadi peningkatan TIK
f) Awasi kecepatan tetesan infus
Rasional : mencegah risiko ketidakseimbangan cairan
g) Pasang pagar tempat tidur
Rasional : mencegah risiko jatuh dari tempat tidur
h) Kaji respon pupil
Rasional : perubahan pupil menunjukkan tekanan pada saraf okulomotorius dan
optikus
2) Diagnosa Keperawatan : Kerusakan komunikasi verbal yang berhubungan
dengan efek dari kerusakan pada area bicara pada hemisfer otak, kehilangan
kontrol tonus otot fasial atau oral, dan kelemahan secara umum.
Tujuan : setelah dilakakan tindakan keperawatan klien akan dapat berkomunikasi
secara efektif.
Kriteria hasil : klien memahami dan membutuhkan komunikasi, klien
menunjukkan pemahaman berkomunikasi dengan orang lain
Intervensi :
a) Lakukan terapi bicara
Rasional :
b) Kaji tipe / derajat disfungsi, seperti pasien tidak tampak memahami kata atau
mengalami kesulitan berbicara
Rasional : Membantu menentukan daerah dan derajat kerusakan serebral yang
terjadi dan kesulitanpasien dalam beberapa atau seluruh tahap komunikasi
c) Bedakan antara afasia dan dis-artria
Rasional : Intervensi yang dipilih tergantung pada tipe kerusakannya
d) Mintalah pasien untuk mengikuti perintah sederhana, ulangi dengan kata /
kalimat sederhana
Rasional : Melakukan penilaian terhadap adanya kerusakan sensorik
e) Bicaralah dengan nada normal, dan hindari percakapan yang cepat
Rasional : Pasien tidak perlu merusak pendengaran, dan meninggikan suara dapat
menimbulkan marah pasien / menyebabkan kepedihan
f) Bicaralah secara langsung dengan pasien, perlahan dan tenang
Rasional : Menurunkan kebingungan / ansietas selama proses komunikasi dan
berespons pada informasi yang lebih banyak pada satu waktu tertentu.

3) Diagnosa Keperawatan : Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan


hemiparese/hemiplegia, kelemahan neuromukuler pada ekstremitas.
Tujuan : setelah dilakakan tindakan keperawatan selama 2x24 jam klien mampu
melaksanakan aktivitas fisik seuai dengan kemampuannya.
Kriteria hasil : klien dapat ikut serta dalam program latihan, tidak terjadi
kontraktur sendi, meningkatnya kekuatan otot, klien menunjukkan tindakan untuk
meningkatkan mobilitas.
Intervensi :
a) Kaji mobilitas yang ada dan observasi terhadap peningkatan kerusakan. Kaji
secara teratur fungsi motorik.
Rasional : mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas.
b) Ubah posisi klien tiap 2 jam.
Rasional : menurunkan risiko terjadinya iskemia jaringan akibat sirkulasi darah
yang jelek pada daerah yang tertekan.
c) Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstremitas yang tidak
sakit.
Rasional : gerakan aktif memberikan massa, tonus dan kekuatan otot, serta
memperbaiki fungsi jantung dan pernapasan.
d) Ajarkan klien Melakukan gerakan pasif pada ekstremitas yang sakit.
Rasional : otot volunter akan kehilangan tonus dan kekuatannya bila tidak dilatih
untu digerakkan.
e) Pertahankan sendi 90o terhadap papan kaki.
Rasional : telapak kaki dalam posisi 900 dapat mencegah footdrop.
f) Inspeksi kulit bagia distal setiap hari. Pantau kulit dan membran mukosa
terhadap iritasi, kemerahan, atau lecet-lecet.
Rasional : deteksi dini adanya gangguan sirkulasi dan hilangnya sensasi risiko
tinggi kerusakan integritas kulit kemungkinan komplikasi imobilitasi.
g) Bantu klien melakukan latihan ROM, perawatan diri sesuai toleransi.
Rasional : untuk memelihara fleksibilitas sendi sesuai kemampuan.
h) Memelihara bentuk tulang belakang dengan cara :
Matras, bed board (tempat tidur dengan alas kayu atau kasur busa yang keras yang
tidak menimbulkan lekukan saat klien tidur).
Rasional : mempertahankan posisi tulang belakang tetap rata.
i) Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien.
Rasional : peningkatan kemampuan dalam mobilisasi ekstremitas dapat diingatkan
dengan latihan fisik dari tim fisioterapis.
BAB 4
Daftar Pustaka

Batticaca F. (2008). Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem


Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Brunner & Suddart (2002). Buku ajar keperawatan medikal-bedah. Ed.8 Vol.3.
Jakarta: EGC.
Dewanto, george Dkk (2009). Panduan praktis diagnosis & tatalaksana penyakit
saraf Jakarta: EGC.
Junaidi, iskandar (2011). Stroke, waspadai ancamannya. Yogayakarta: Andi
Offset.
Kozier, Barbara et al. (2011). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
proses, dan praktik. Ed. 7 Vol.1. Jakarta: EGC.
Hidayat, A. Aziz Alimul (2014). Metode penelitian keperawatan dan teknik
analisis data. Jakarta:Salemba Medika.
Muttaqin, A. (2008). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Muttaqin, Arif (2011). Buku ajar asuhan keperawatan klien dengan gangguan
sistem persarafan. Jakarta: Salemba medika.
Nurarif, amin huda Dan kusuma hardhi (2013). Aplikasi asuhan keperawatan
berdasarkan diagnosis medis & NANDA NIC-NOC Yogyakarta: Media action.
Pearce, Evelyn C (2011). Anatomi dan fisiologi untuk paramedik. Jakarta:
Gramedia.
Rendi M Clevo (2012). Asuhan keperawatan medical bedah dan penyakit dalam.
Yogyakarta: Nuha Medika.

Vous aimerez peut-être aussi