Vous êtes sur la page 1sur 22

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN BEDAH

DENGAN EDH (EPIDURAL HEMATOMA) + COS (CEDERA OTAK


SEDANG) DI RUANG GARDENA RSD dr. SOEBANDI JEMBER

Oleh:
Alifia Rizqi Pratama Darnoto, S.Kep
122311101025

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KIEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2016
A. ANATOMI MENINGEN OTAK
Selaput otak (meningen) terdiri atas tiga lapisan yaitu:
1) Durameter
Selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan
kuat, pada bagian tengkorak terdiri atas selaput (perios) tulang tengkorak dan
durameter tropia bagian dalam. Durameter mengandung rongga yang
mengalirkan darah dari vena otak, dan dinamakan sinus vena.
Persarafan ini terutama berasal dari cabang nervus trigeminus, tiga saraf
servikalis bagian atas, bagian servikal trunkus simpatikus dan nervus vagus.
Reseptor-reseptor nyeri dalam duramater diatas tentorium mengirimkan impuls
melalui n.trigeminus, dan suatu nyeri kepala dirujuk ke kulit dahi dan muka.
Impuls nyeri yang timbul dari bawah tentorium dalam fossa kranialis posterior
berjalan melalui tiga saraf servikalis bagian atas, dan nyeri kepala dirujuk ke
belakang kepala dan leher (Muttaqin, 2008).
Banyak arteri mensuplai duramater, yaitu; arteri karotis interna, arteri
maxillaries, arteri paringeal asenden, arteri occipitalis dan arteri vertebralis.
Dari segi klinis, yang paling penting adalah arteri meningea media, yang
umumnya mengalami kerusakan pada cedera kepala. Arteri meningea media
berasal dari arteri maxillaries dalam fossa temporalis, memasuki rongga
kranialis melalui foramen spinosum dan kemudian terletak antara lapisan
meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian terletak antara lapisan
meningeal dan endosteal duramater. Arteri ini kemudian berjalan ke depan dan
ke lateral dalam suatu sulkus pada permukaan atas squamosa bagian os
temporale. Cabang anterior (frontal) secara mendalam berada dalam sulkus
atau saluran angulus antero-inferior os parietale, perjalanannya secara kasar
berhubungan dengan garis gyrus presentralis otak di bawahnya. Cabang
posterior melengkung kearah belakang dan mensuplai bagian posterior
duramater. Vena -vena meningea terletak dalam lapisan endosteal duramater.
Vena meningea media mengikuti cabang-cabang arteri meningea media dan
mengalir kedalam pleksus venosus pterygoideus atau sinus sphenoparietalis.
Vena terletak di lateral arteri.
2) Arachnoidea
Arachnoidea yaitu selaput tipis yang membentuk sebuah balon yang berisi
cairan otak meliputi seluruh susunan saraf sentral, otak, dan medulla spinalis.
Arachnoidea berada dalam balon yang berisi cairan. Ruang sub arachnoid pada
bagian bawah serebelum merupakan ruangan yang agak besar disebut
sistermagna. Ruangan tersebut dapat dimasukkan jarum kedalam melalui
foramen magnum untuk mengambil cairan otak, atau disebut fungsi sub
oksipitalis.
Arachnoidea mater merupakan membran tidak permeable, halus, menutupi
otak dan terletak diantara pia mater di interna dan duramater di eksterna.
Arachnoidea mater dipisahkan dari duramater oleh suatu ruang potensial, ruang
subdural, terisi dengan suatu lapisan tipis cairan, dipisahkan dari piamater oleh
ruang subarachnoidea, yang terisi dengan cairan serebrospinal. Permukaan luar
dan dalam arachnoidea ditutupi oleh sel-sel mesothelial yang gepeng. Pada
daerah -aerah tertentu, arachnoidea terbenam kedalam sinus venosus untuk
membentuk villi arachnoidalis. Villi arachnoidalis bertindak sebagai tempat
cairan serebrospinal berdifusi kedalam aliran darah. Arachnoidea dihubungkan
ke piamater oleh untaian jaringan fibrosa halus yang menyilang ruang
subarachnoidea yang berisi cairan. Cairan serebrospinal dihasilkan oleh
pleksus choroideus dalam ventrikulus lateralis, ketiga dan keempat otak.
Cairan ini keluar dari ventrikulus memasuki subarachnoid, kemudian
bersirkulasi baik kearah atas diatas permukaan hemispherium serebri dan
kebawah disekeliling medulla spinalis. (Smeltzer & Bare, 2002)

3) Piameter
Merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak.
Piameter berhubungan dengan arachnoid melalui struktur jaringan ikat. Tepi
flak serebri membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior
yang mengeluarkan darah dari flak serebri tentorium memisahkan serebrum
dengan serebelum.
Piamater merupakan suatu membrane vaskuler yang ditutupi oleh sel-sel
mesothelial gepeng. Secara erat menyokong otak, menutupi gyri dan turun
kedalam sulki yang terdalam. Piamater meluas keluar pada saraf-saraf cranial
dan berfusi dengan epineurium. Arteri serebralis yang memasuki substansi otak
membawa sarung pia mater bersamanya. Piamater membentuk tela choroidea
dari atap ventrikulus otak ketiga dan keempat, dan berfusi dengan ependyma
untuk membentuk pleksus choroideus dalam ventrikulus lateralis, ketiga, dan
keempat otak. (Smeltzer & Bare, 2002)

B. FISIOLOGI MENINGEN
Otak dan medulla spinalis terbungkus dalam tiga sarung membranosa yang
konsentrik. Membran yang paling luar tebal, kuat dan fibrosa disebut duramater,
membrane tengah tipis dan halus serta diketahui sebagai arachnoidea mater, dan
membrane paling dalam halus dan bersifat vaskuler serta berhubungan erat
dengan permukaan otak dan medulla spinalis serta dikenal sebagai piamater.
Duramater mempunyai lapisan endosteal luar, yang bertindak sebagai
periosteum tulang-tulang kranium dan lapisan bagian dalam yaitu lapisan
meningeal yang berfungsi untuk melindungi jaringan saraf dibawahnya serta
saraf-saraf cranial dengan membentuk sarung yang menutupi setiap saraf kranial.
Sinus venosus terletak dalam duramater yang mengalirkan darah venosa dari otak
dan meningen ke vena jugularis interna dileher. Pemisah duramater berbentuk
sabit yang disebut falx serebri, yang terletak vertical antara hemispherium serebri
dan lembaran horizontal, yaitu tentorium serebelli, yang berproyeksi kedepan
diantara serebrum dan serebellum, yang berfungsi untuk membatasi gerakan
berlebihan otak dalam kranium. Arachnoidea mater merupakan membrane yang
lebih tipis dari duramater dan membentuk penutup yang longgar bagi otak.
Arachnoidea mater menjembatani sulkus-sulkus dan masuk kedalam yang dalam
antara hemispherium serebri. Ruang antara arachnoidea dengan piamater
diketahui sebagai ruang subarachnoidea dan terisi dengan cairan serebrospinal.
Cairan serebrospinal merupakan bahan pengapung otak serta melindungi jaringan
saraf dari benturan mekanis yang mengenai kepala (Muttaqin, 2008)

C. PENGERTIAN/DEFINISI
Menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala adalah cedera yang
terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak. Cedera otak adalah kejadian cedera
minor yang dapat menyebabkan kerusakan otak (Smeltzer & Bare, 2002). Trauma
kepala diklasifikasikan menjadi derajat berdasarkan nilai dari Glasgow Coma
Scale ( GCS ) yang terdiri dari:
a. Ringan
GCS = 13 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi
kurang dari 30 menit. Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur
cerebral, dan hematoma.
b. Sedang
GCS = 9 12, kehilangan kesadaran dan amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam, dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
GCS = 3 8, kehilangan kesadaran dan terjadi amnesia lebih dari 24 jam,
juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intracranial.
Epidural hematoma adalah hematoma yang terletak antara durameter dan
tulang, biasanya sumber perdarahannya adalah sobeknya arteri meningica media,
vena diploica, vena emmisaria, sinus venous duralis (Muttaqin, 2008). Epidural
hematoma adalah suatu perdarahan yang cepat terakumulasi diantara tulang
tengkorak dan durameter, biasanya disebabkan oleh pecahnya arteri meningea dan
media dan jika tidak di atasi akan membawa kematian (Dewanto, Suwono,
Riyanto & Turana, 2007)

Gambar 1. Epidural Hematoma, Subdural Hematoma, dan Intracerebral Hematoma

Gambar 2. Perbedaan Epidural Hematoma dan Subdural Hematoma


Gambar 3. Perbedaan Epidural Hematoma dan Subdural Hematoma

D. ETIOLOGI
Epidural hematoma utamanya disebabkan oleh pukulan atau tumbukan
langsung pada kalvarium yang menyebabkan terlepasnya perlekatan durameter
dari pemukaan dalam kalvarium yang disertai terputusnya atau robeknya
pembuluh darah baik disertai dengan atau tanpa adanya fraktur tulang cranium
(Purwirantono, 2002). Pada epidural hematoma yang terjadi ketika pecahnya
pembuluh darah, biasanya arteri, yang kemudian mengalir ke dalam ruang antara
duramater dan tengkorak.
E. MANIFESTASI KLINIK
Manifestasi epidural hematoma menurut Muttaqin (2008) antara lain:
1. Penurunan kesadaran disertai laterilasi (ada ketidaksamaan antara tanda-
tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh)
2. Hemiparese (jika salah satu sisi tangan atau kaki atau wajah menjadi
lemah namun tak sepenuhnya lumpuh)
3. Hemiplegia (jika satu tangan atau kaki, wajah menjadi lumpuh dan tidak
dapat bergerak)
4. Pupil anisokor
5. Reflex patologis satu sisi
6. Lucid interval (adanya fase sadar diantara 2 fase tidak sadar karena
bertambahnya volume darah)
7. Nyeri kepala yang hebat dan menetap tidak hilang dengan pemberian
analgesic.

F. PATOFISIOLOGI
Pada epidural hematoma, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan
dura meter. Perdarahan ini lebih sering terjadi di daerah temporal bila salah satu
cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila fraktur
tulang tengkorak di daerah bersangkutan. Hematoma dapat pula terjadi di daerah
frontal atau oksipital. Arteri meningea media yang masuk di dalam tengkorak
melalui foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan
dan os temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural,
desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang
kepala sehingga hematom bertambah besar. Hematoma yang membesar di daerah
temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak kearah bawah dan
dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di
bawah pinggiran tentorium. Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda
neurologik. Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria yang mengurus
formation retikularis di medulla oblongata menyebabkan hilangnya kesadaran. Di
tempat ini terdapat nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf
ini mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada lintasan
kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan
respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat cepat, dan tanda
babinski positif.
Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar.
Timbul tanda-tanda lanjut peningkatan tekanan intracranial antara lain kekakuan
deserebrasi dan gangguan tanda-tanda vital dan fungsi pernafasan. Karena
perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa terus keluar hingga
makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau terbentur mungkin
penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali. Dalam waktu beberapa jam,
penderita akan merasakan nyeri kepala yang progersif memberat, kemudian
kesadaran berangsur menurun. Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama
penderita sadar setelah terjadi kecelakaan di sebut interval lucid. Fenomena lucid
interval terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Kalau
pada subdural hematoma cedera primernya hamper selalu berat atau epidural
hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena pasien
langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar.
G. KOMPLIKASI
1. Peningkatan tekanan intrakranial, yaitu tekanan yang terjadi pada ruang
serebral akibat bertambahnya volume otak melebihi ambang toleransi
dalam ruang kranium. Hal ini dapat disebabkan karena edema serebri dan
perdarahan serebral.
2. Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun
tampilan intra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang
sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan
peningkatan tekanan intracranial
3. Kompresi batang otak sehingga mengakibatkan kematian
.
H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. CT Scan: tanpa/dengan kontras) mengidentifikasi adanya hemoragik,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan otak.
2. Angiografi serebral: menunjukkan kelainan sirkulasi serebral, seperti
pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma.
3. X-Ray: mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan
struktur garis (perdarahan/edema), fragmen tulang.
4. Analisa Gas Darah: medeteksi ventilasi atau masalah pernapasan
(oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
5. Elektrolit: untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial.

I. PENATALAKSANAAN
a. Perawatan sebelum ke Rumah Sakit
1) Stabilisasi terhadap kondisi yang mengancam jiwa dan lakukan terapi
suportif dengan mengontrol jalan nafas dan tekanan darah.
2) Berikan O2 dan monitor
3) Berikan cairan kristaloid untuk menjaga tekanan darah sistolik tidak
kurang dari 90 mmHg.
4) Pakai intubasi, berikan sedasi dan blok neuromuskuler

b. Perawatan di bagian Emergensi


1) Pasang oksigen (O2), monitor dan berikan cairan kristaloid untuk
mempertahankan tekanan sistolik diatas 90 mmHg.
2) Pakai intubasi, dengan menggunakan premedikasi lidokain dan obat-
obatan sedative misalnya etomidate serta blok neuromuskuler. Intubasi
digunakan sebagai fasilitas untuk oksigenasi, proteksi jalan nafas dan
hiperventilasi bila diperlukan.
3) Elevasikan kepala sekitar 30O setelah spinal dinyatakan aman atau
gunakan posis trendelenburg untuk mengurangi tekanan intra kranial
dan untuk menambah drainase vena.
4) Berikan manitol 0,25-1 gr/ kg iv. Bila tekanan darah sistolik turun
sampai 90 mmHg dengan gejala klinis yang berkelanjutan akibat
adanya peningkatan tekanan intra kranial.
5) Hiperventilasi untuk tekanan parsial CO2 (PCO2) sekitar 30 mmHg
apabila sudah ada herniasi atau adanya tanda-tanda peningkatan
tekanan intrakranial (ICP).
6) Berikan phenitoin untuk kejang-kejang pada awal post trauma, karena
phenitoin tidak akan bermanfaat lagi apabila diberikan pada kejang
dengan onset lama atau keadaan kejang yang berkembang dari
kelainan kejang sebelumnya.
Terapi obat-obatan:
1) Gunakan Etonamid sebagai sedasi untuk induksi cepat, untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik, dan menurunkan tekanan
intrakranial dan metabolisme otak. Pemakaian tiophental tidak dianjurkan,
karena dapat menurunkan tekanan darah sistolik. Manitol dapat digunakan
untuk mengurangi tekanan intrakranial dan memperbaiki sirkulasi darah.
Phenitoin digunakan sebagai obat propilaksis untuk kejang kejang pada
awal post trauma. Pada beberapa pasien diperlukan terapi cairan yang
cukup adekuat yaitu pada keadaan tekanan vena sentral (CVP) > 6 cmH 2O,
dapat digunakan norephinephrin untuk mempertahankan tekanan darah
sistoliknya diatas 90 mmHg.
2) Diuretik Osmotik
Misalnya Manitol : Dosis 0,25-1 gr/ kg BB iv.
Kontraindikasi pada penderita yang hipersensitiv, anuria, kongesti paru,
dehidrasi, perdarahan intrakranial yang progreasiv dan gagal jantung yang
progresiv.
Fungsi : Untuk mengurangi edema pada otak, peningkatan tekanan
intrakranial, dan mengurangi viskositas darah, memperbaiki sirkulasi
darah otak dan kebutuhan oksigen.
3) Antiepilepsi
Misalnya Phenitoin : Dosis 17 mg/ kgBB iv, tetesan tidak boleh
berlebihan dari 50 (Dilantin) mg/menit.
Kontraindikasi; pada penderita hipersensitif, pada penyakit dengan blok
sinoatrial, sinus bradikardi, dan sindrom Adam-Stokes.
Fungsi : Untuk mencegah terjadinya kejang pada awal post trauma
J. ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
a) Data yang perlu dikaji
1. Identitas Klien: usia (biasanya terjadi pada usia 20-60 tahun), jenis
kelamin (angka kejadian lebih banyak pada laki-laki yakni 63,1% dan
sisanya perempuan)
2. Riwayat kesehatan: keluhan utama (penurunan kesadaran, trias
peningkatan TIK), riwayat penyakit sekarang, riwayat kesehatan
terdahulu terdiri dari penyakit yang pernah dialami, alergi, imunisasi,
kebiasaan/pola hidup, obat-obatan yang digunakan, riwayat penyakit
keluarga
3. Genogram
4. Pengkajian Keperawatan (11 pola Gordon)
5. Pemeriksaan fisik
a) Keadaan umum, tanda vital
b) Pengkajian Fisik (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi):
- Kepala: terdapat jejas pada kepala akibat benturan
- Mata: terdapat jejas pada daerah mata, pupil anisokor,
penglihatan kabur, pada pasien dengan penurunan kesadaran
dapat terjadi tidak ada reflek cahaya
- Telinga: dapat terjadi keluarnya darah dari telinga
- Hidung: dapat terjadi keluarnya darah dari hidung
- Mulut: normal tidak terdapat kelainan
- Leher: normal tidak terdapat kelainan
- Dada: pada jantung dapat terjadi bradikardi
- Abdomen: normal tidak terdapat kelainan
- Urogenital: dapat terjadi inkontinensia urin
- Ekstremitas: dapat terjadi hemiparese atau hemiplegia
- Kulit dan kuku: CRT > 2dtk
Prinsip umum yang dapat dilakukan untuk mengkaji
permasalahan pada pasien yaitu dengan B6:
a. Breathing : Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan
gangguan irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola
napas, kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa
Cheyne Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor,
ronkhi, wheezing (kemungkinan karena aspirasi), cenderung
terjadi peningkatan produksi sputum pada jalan napas
b. Blood : Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan
darah bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan
meningkatkan transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung
yang akan mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat,
merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan
frekuensi jantung (bradikardia, takikardia yang diselingi
dengan bradikardia, disritmia).
c. Brain : Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk
manifestasi adanya gangguan otak akibat cidera kepala.
Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian,
vertigo, sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada
ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang
otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat
terjadi :
1) Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah
laku dan memori)
2) Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya,
diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia
3) Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi
pada mata.
4) Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
5) Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada
nervus vagusmenyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
6) Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah
jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan
menelan.
Pengkajian saraf kranial
a) Saraf I (Olfaktorius)
Pada klien epidural hematoma yang tidak mengalami kompresi
saraf ini tidak memiliki kelainan pada fungsi penciuman.
b) Saraf II (Optikus)
Gangguan lapang pandang disebabakan lesi pada bagian tertentu
dari lintasan visual. Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan
adanya papiledema. Tanda yang menyertai papailedema dapat
terjadi gangguan penglihatan termasuk pembesaran bintik buta dan
amaurosis fugaks (saat ketika penglihatan berkurang).
c) Saraf III, IV, dan VI (Okulomotoris, Troklearis dan Abdusen)
Adanya kelumpuhan unilateral atau bilateral dari saraf VI
memberikan manifestasi pada suatu tanda adanya glioblastoma
multiforms
d) Saraf V (Trigeminus)
Pada epidural hematoma yang tidak menekan saraf trigeminus,
tidak ada kelainan pada fungsi saraf ini. Pada neurolema yang
menekan saraf ini akan didapatkan adanya paralisis wajah
unilateral
e) Saraf VII (Fasialis)
Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah asimetris, dan otot
wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat
f) Saraf VIII (Abdusens)
Terdapat perubahan dalam pendengaran
g) Saraf IX dan X
Kemampuan menelan kurang baik dan terdapat kesulitan membuka
mulut
h) Saraf XI
Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
i) Saraf XII
Lidah simetris, terdapat deviasi pada satu sisi dan fasikulasi, indra
pengecapan normal
d. Bladder : Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia urin, ketidakmampuan menahan miksi.
e. Bowel : Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami perubahan
selera. Gangguan menelan (disfagia) dan terganggunya proses eliminasi
alvi.
f. Bone : Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,
paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur karena
imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau ketidakseimbangan
antara otot-otot antagonis yang terjadi karena rusak atau putusnya
hubungan antara pusat saraf di otak dengan refleks pada spinal selain itu
dapat pula terjadi penurunan tonus otot.
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan
gangguan suplai darah otak
b. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan difusi oksigen
terhambat
c. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penumpukan
sekret
d. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik
e. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kekuatan dan
tahanan otot
f. Resiko infeksi berhubungan dengan terpapar agen infeksius
g. Resiko injuri berhubungan dengan penurunan kesadaran
h. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penempelan
terlalu lama kulit pada tempat tidur
6. RENCANA KEPERAWATAN
No Diagnosa Tujuan dan Intervensi (NIC) Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil
(NOC)
1. Resiko NOC: Tissue NIC:
ketidakefektifan Perfusion: Circulatory Precaution
perfusi jaringan Cerebral 1. Kaji sirkulasi perifer secara 1. Mengetahui status sirkulasi perifer dan
serebral 1. Tidak ada tanda komprehensif (nadi perifer, adanya kondisi abnormal pada tubuh
berhubungan dengan peningkatan edema, CRT, warna, dan suhu 2. Mengetahui adanya perubahan akibat
gangguan suplai TIK gangguan sirkulasi perifer
ekstremitas)
darah otak 2. Klien mampu 3. Menghindari cedera untuk
bicara dengan 2. Kaji kondisi ekstremitas meminimalkan luka
jelas, meliputi kemerahan, nyeri, atau 4. Posisi trendelenberg akan
menunjukkan pembengkakan meningkatkan TIK sehingga
konsentrasi, 3. Hindarkan cedera pada area memperparah kondisi klien
perhatian dan dengan perfusi yang minimal 5. Mengurangi penekanan agar perfusi
orientasi baik 4. Hindarkan klien dari posisi tidak terganggu
3. Peningkatan 6. Obat-obatan untuk meningkatkan
trendelenberg yang
tingkat sattus perfusi
kesadaran meningkatkan TIK 7. Mengurangi kecemasan keluarga
(GCS 15, tidak 5. Hindarkan adanya penekanan
ada gerakan pada area cedera
involunter) 6. Pertahankan cairan dan obat-
4. TTV dalam obatan sesuai program
batas normal 7. Health education tentang
(TD: 120/80,
keadaan dan kondisi pasien
RR 16-
20x/mnt, Nadi kepada keluarga
80-100x/mnt,
Suhu 36,5- Monitoring TIK
37,5oC) 1. Pantau tanda dan gejala 1. Trias klasik meningkatan TIK yaitu
peningkatan TIK yaitu muntah, nyeri kepala, dan papil edema
mengkaji GCS klien, tanda-
tanda vital, respon pupil,
dancatat adanya
muntah, sakit kepala,
perubahan tersebunyi (mis;
letargi, gelisah, perubahan
mental
2. Hindarkan situasi atau 2. Fleksi / rotasi leher berlebihan,
manuever yang dapat stimulasi panas dingin, menahan nafas,
meningkatkan TIK (fleksi / mengejan, perubahan posisi yang
rotasi leher berlebihan, cepat, mengejan, batuk dapat
stimulasi panas dingin, meningkatkan tekanan intrakranial
menahan nafas, mengejan,
perubahan posisi yang cepat)
3. Monitor lingkungan yang dapat 3. Panas merupakan reflek dari
menstimulus peningkatan TIK hipotalamus.Peningkatan kebutuhan
4. Berikan lingkungan yang metabolisme dan O akan menunjang
tenang peningkatan TIK
5. Kolaborasi pemberian obat 4. Memberikan suasana yang tenang
sesuai indikasi seperti steroid dapat mengurangi respon psikologis
dexametason dan memberikan istirahat untuk
mempertahankan TIK yang rendah
5. Steroid untuk mengurangi inflamasi
dan mengurangi edema
2. Ketidakefektifan Respiratory Airway management
status : Ventilation 1. Monitor respirasi dan status 1. Untuk mengetahui status respirasi
pola nafas
1. Suara nafas O2 sebagai dasar untuk melakukan
berhubungan dengan yang bersih, 2. Pantau frekuensi, irama, tindakan keperawatan
tidak ada kedalaman pernafasan. 2. Distres pernapasan dan perubahan
difusi oksigen
sianosis dan 3. Berikan posisi yang nyaman pada tanda vital dapat terjadi
terhambat dyspneu yaitu semifowler sebagai akibat stres fisiologi dan
2. Irama nafas, 4. Anjurkan pasien untuk dapat menunjukkan terjadinya
frekuensi melakukan nafas dalam. syok sehubungan dengan hipoksia.
pernafasan 5. Kolaborasi dengan dokter 3. Meningkatkan inspirasi maksimal,
dalam rentang untuk pemberian terapi meningkatkan ekspansi paru
normal (16- oksigen. 4. Memaksimalkan oksigen pada
20x/menit) darah arteri dan membantu dalam
3. TTV dalam pencegahan hipoksia
batas normal 5. Memenuhi oksigen dalam tubuh.
(TD: 120/80, Respiratory monitoring
RR 16- 1. Monitor kecepatan, frekuensi, 1. Mengetahui kondisi pernapasan
20x/mnt, Nadi kedalaman dan kekuataan pasien
80-100x/mnt, ketika pasien bernapas 2. Mengetahui keadaaan paru dan
Suhu 36,5- 2. Monitor hasil pemeriksaan jantung pasien
37,5oC) rontgen dada 3. Mengetahui suara napas pasien
3. Monitor suara napas pasien 4. Mengetahui kondisi pasien untuk
4. Kaji dan pantau adanya menentukan intervensi selanjutnya
perubahan dalam pernapasan sesuai indikasi
5. Monitor sekret yang 5. Untuk memantau kondisi pasien
dikeluarkan oleh pasien (suara napas pasien) untuk
menentukan intervensi sesuai
indikasi
3. Nyeri akut NOC: Pain Management:
- Pain level 1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Mengetahui karakteristik nyeri untuk
berhubungan dengan
- Pain control secara komprehensif termasuk pemilihan intervensi
agen injuri fisik - Comfort level lokasi, karakteristik, durasi, 2. Mengetahui reaksi pasien terhadap
a. Mampu frekuensi, kualitas dan faktor nyeri yang dirasakan
mengontrol presipitasi 3. Guna memilih intervensi yang tepat
nyeri 2. Observasi reaksi non-verbal yang dapat digunakan
b. Melaporkan dari ketidaknyamanan 4. Mengurangi faktor yang dapat
bahwa nyeri 3. Gunakan teknik komunikasi memperparah nyeri pasien
berkurang terapeutik untuk mengetahui 5. Mengurangi nyeri tanpa obat-obatan
dengan pengalaman nyeri pasien 6. Mengurangi nyeri dengan obat jika
menggunakan 4. Kontrol lingkungan yang dapat non-farmakologi tidak mampu
manajemen mempengaruhi nyeri seperti mengurangi nyeri
nyeri suhu ruangan, pencahayaan,
c. Mampu dan kebisingan
mengenali nyeri 5. Ajarkan teknik non-farmakologi
(skala, untuk mengatasi nyeri
intensitas 6. Kolaborasi pemberian analgetik
frekuensi dan
tanda nyeri)
d. Menyatakan
rasa nyaman
setelah nyeri
berkurang
DAFTAR PUSTAKA

Brunner dan Suddarth. 2001. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.


Jakarta: EGC.

Bulechek et. al. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). Oxford:


Elsevier

Dewanto, G., Suwono W. J., Riyanto, B., & Turana, Y. 2007. Panduan
Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC

Moorhead et. al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC). Oxford:


Elsevier

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

NANDA. 2014. Nursing Diagnose: Definitions and classification 2015-2017.


Oxford: Wiley Blackwell

Purwirantono, T. 2002. Akurasi Beberapa Tanda dan Gejala Klinik dalam


Menegakkan Diagnosis Hematoma Epidural Pada Kasus Cedera Kepala.
Semarang: Universitas Diponegoro

Smeltzer dan Bare. 2002. Keperawatan Medical Bedah Bruner dan Sudarth.
Jakarta: EGC

Vous aimerez peut-être aussi