Vous êtes sur la page 1sur 20

ANTIRETROVIRAL / IRIS

Didik Hasmono (Dep. Farmasi Klinis)

Ekarina Ratna Himawati (Dep. Farmasi Komunitas)

Fakultas Farmasi Unair

Pengertian Antiretroviral (ARV)

Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi Human

Immunodeficiency Virus (HIV). Terapi dengan ARV adalah strategi yang secara

klinis paling berhasil hingga saat ini. Tujuan terapi dengan ARV adalah menekan

replikasi HIV secara maksimum, meningkatkan limfosit CD4 dan memperbaiki

kualitas hidup penderita yang pada gilirannya akan dapat menurunkan morbiditas

dan mortalitas. Karakteristik pasien akan mempengaruhi farmakokinetik obat.

Karakteristik mikroba meliputi mekanisme kerja, pola kepekaan, dan resistensi.

Farmakodinamik obat merupakan integrasi hubungan antara kepekaan mikroba

dengan farmakokinetik pasien (Depkes, 2006).

Tujuan Terapi ARV

Tujuan dari terapi ARV adalah (Depkes, 2006; Dong, 2000)

1. Mengurangi laju penularan HIV di masyarakat

2. Memulihkan dan/atau memelihara fungsi imunologis (stabilisasi/

peningkatan sel CD4)

3. Menurunkan komplikasi akibat HIV

4. Memperbaiki kualitas hidup

5. Menekan replikasi virus (VL) secara maksimal dan secara terus menerus

6. Menurunkan angka kesakitan dan kematian yang berhubungan dengan HIV


Manfaat Terapi ARV

Manfaat dari terapi ARV adalah sebagai berikut (Depkes, 2006):

1. Menurunkan morbiditas dan mortalitas

2. Pasien dengan ARV tetap produktif

3. Memulihkan sistem kekebalan tubuh

4. Mengurangi penularan karena viral load menjadi rendah atau tidak

terdeteksi.

5. Mengurangi biaya rawat inap

6. Mendorong ODHA (orang dengan HIV/AIDS) untuk meminta tes HIV

atau mengungkapkan status HIV-nya secara sukarela

Indikasi Memulai Terapi ARV pada ODHA Dewasa

Indikasi pemberian terapi ARV segera pada ODHA dengan diagnosa HIV adalah

(Depkes, 2006):

1. Secara klinis sebagai penyakit tahap lanjut dari infeksi HIV

2. Infeksi HIV stadium IV, tanpa memandang jumlah CD4

3. Infeksi HIV stadium III dengan jumlah CD4<350 sel/mm3

4. Infeksi stadium I atau II dengan jumlah CD4<200 sel/ mm3

Apabila tidak ada sarana pemeriksaan CD4, maka yang digunakan sebagai

indikator pemberian terapi pada infeksi HIV simptomatik adalah jumlah limfosit

total 1200/mm3 atau kurang (misalnya pada stadium II).

Rekomendasi memulai terapi antiretroviral penderita ODHA dewasa

menurut WHO dapat dilihat pada tabel 2.3


Tabel 2.3 Indikasi pemberian ARV pada ODHA dewasa (WHO, 2007)

Stadium Pemeriksaan Pemeriksaan CD4 dapat dilakukan


Klinis CD4 tidak dapat
WHO dilakukan
I Antiretroviral Mulai terapi bila CD4 < 200 sel/mm3
belum
direkomendasi
II Antiretroviral Mulai terapi bila CD4 < 200 sel/mm3
belum
direkomendasi
III Mulai terapi Pertimbangkan terapi antiretroviral bila CD4 < 350
antiretroviral sel/mm3 tetapi memulai terapi sebelum CD4 turun
< 200 sel/mm3.
Pada kehamilan atau tuberkulosa :
- Memulai antiretroviral pada infeksi HIV
stadium 3 dengan kehamilan dan CD4 < 350
sel/mm3.
- Memulai antiretroviral pada semua infeksi HIV
dengan CD4 < 350 sel/mm3 dan tuberkulosa
pulmoner atau infeksi bakteri berat.
IV Mulai terapi Terapi antiretroviral tanpa mempertimbangkan
antiretroviral jumlah CD4.

Penggolongan ARV (Depkes, 2006; Dong, 2000)

Tiga golongan utama ARV yaitu

a. Penghambat masuknya virus; enfuvirtid

b. Penghambat reverse transcriptase enzyme

(i). Analog nukleosida/nukleotida (NRTI/NtRTI) :

analog thymin:zidovudin (ZDV/AZT)dan stavudin (d4T)

analog cytosin : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC)

analog adenin : didanosine (ddI)

analog guanin : abacavir(ABC)

analog nukleotida analog adenosin monofosfat: tenofovir

(ii). Nonnukleosida (NNRTI) yaitu

nevirapin (NVP)
efavirenz (EFV)

(iii). Penghambat enzim protease (PI) ritonavir (RTV)

saquinavir (SQV)

indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV)

Mekanisme kerja ARV (Depkes, 2006; Dong, 2000)

Mekanisme kerja obat-obat antiretroviral (ARV) terhadap virus HIV dapat

dilihat pada gambar 2.5.

Gambar 2.5 Mekanisme kerja ARV (www.biology.arizona.edu/AIDS/html)


a. Penghambat masuknya virus kedalam sel.

Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit gp41 & gp120 selubung

glikoprotein virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya obat

penghambat fusi ini adalah enfuvirtid.

b. Reverse Transcriptase inhibitor (RT inhibitor)

(i). Analog Nukleosida (NRTI)

NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus

fosfat dan selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida


menghambat RT sehingga perubahan RNA menjadi DNA terhambat.

Selain itu NRTI juga menghentikan pemanjangan DNA.

(ii). Analog Nukleotida (NtRTI)

Mekanisme kerja NtRTI pada penghambatan replikasi HIV sama dengan

NRTI tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi.

(iii). Non nukleosida (NNRTI)

Bekerjanya tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan

langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan

nukleotida natural. Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat.

(iv). Protease inhibitor (PI)

Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease yang

mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir

pematangan virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak

mampu menginfeksi sel lain. PI adalah ARV yang potensial.

c. Regimen Terapi ARV pada ODHA Dewasa

Kombinasi obat antiretroviral untuk terapi HIV-AIDS lebih banyak digunakan.

Tujuan kombinasi ini antara lain adalah untuk menghindari adanya resistensi virus

karena terbentuknya mutan-mutan baru dan meminimalkan efek samping serta

toksisitas obat. Rekomendasi terapi awal minimal menggunakan 2 NRTI

dikombinasi dengan 1 atau 2 PI, atau dengan 1 NNRTIs. Kombinasi NRTI dan

NNRTIs dilaporkan dapat menekan virus HIV sekitar 60%-90% dengan toksisitas

& interaksi obat yang relatif kecil, dibandingkan dengan kombinasi NRTI dan PI

(Dong, 2000)
Regimen antiretroviral lini pertama terdiri dari dua NRTIs dan satu

NNRTIs untuk ODHA dewasa. Rekomendasi regimen lini pertama menurut WHO

dapat dilihat pada tabel 2.4.

Tabel 2.4 Regimen lini pertama ARV (WHO, 2007)

Recomendation Regimen
Prefered first-line regimens AZT + 3TC + NVP
Alternative first-line regimens AZT + 3TC + EFV
d4T + 3TC + (NVP or EFV)
Other options TDF/ABC + 3TC + (NVP or EFV)

Farmakokinetik Obat-Obat ARV

1. Zidovudin

Zidovudin termasuk golongan NRTI merupakan antiviral pertama yang

diterima FDA, efektif menekan progresifitas AIDS pada penyakit HIV

asimtomatis dan CD4 kurang dari 500 sel/mm3. Durasi Zidovudin monoterapi

menekan progresifitas AIDS kira-kira 12-24 bulan (Dong, 2000).

Analog timidin ini memerlukan fosforilasi intraseluler menjadi bentuk

aktifnya, Zidovudin-5N-Trifosfat (ZDV-TP). Adanya kemiripan struktur dengan

trifosfat timidin, menyebabkan copy DNA virus bergabung dengan ZDV-TP,

menghasilkan terminasi rantai DNA proviral atau antagonis Reverse

Transcriptase kompetitif berguna untuk memblok replikasi virus lebih lanjut.

Resistensi Zidovudin berhubungan dengan mutasi kodon 215 pada gen Reverse

Trancriptase, kodon 70, 41, 67 dan kodon 219. Sedikit resistensi silang terjadi

antara Zidovudin yang menginduksi mutasi dan resistensi NRTI lain (Dong,

2000).

Absorbsinya baik, tidak dipengaruhi oleh makanan, dengan

bioavailabilitas kira-kira 60%. Penetrasi Zidovudin pada cairan serebrospinal


baik, sehingga dapat digunakan untuk terapi HIV yang berhubungan dengan

dementia. Waktu paruh Zidovudin 3-4 jam, diberikan dengan dosis 200 mg 5-6

kali sehari. Beberapa studi menunjukkan Zidovudin 300 mg 2 kali sehari atau 200

mg 3 kali sehari menunjukkan efektivitas yang sama tetapi toksisitasnya lebih

rendah. Penyesuaian dosis perlu dilakukan pada gagal ginjal terminal. Dosis

Zidovudin yang lebih tinggi (1000-1200 mg sehari) diperlukan untuk manajemen

terapi HIV-dementia atau HIV yang berhubungan dengan thrombositopenia. Efek

samping Zidovudin selama 6 minggu pertama terapi berupa mual, muntah,

anoreksia, pusing, kembung, badan lemah, insomnia, bingung atau gejala seperti

flu. Efek samping tersebut dapat diatasi dengan melanjutkan terapi dalam dosis

terbagi (misalnya 200 mg 3 kali sehari sebagai ganti 300 mg 2 kali sehari).

Pemberian bersama makanan dapat mengurangi efek samping berupa mual-

muntah (Dong, 2000; Depkes, 2006).

Toksisitas hematologi neutropenia dan anemia tidak terlalu berat pada

dosis yang lebih rendah ( kurang dari 600 mg sehari), tetapi cenderung terjadi

pada infeksi HIV stadium lanjut atau pada pasien yang menerima terapi obat yang

menekan sumsum tulang. Anemia berat (Hb kurang dari 9 g/dl), biasanya terjadi

setelah 6-8 minggu terapi, dan memerlukan transfusi darah, eritropoietin,

pengurangan dosis atau mengganti obat yang menyebabkan penekanan sumsum

tulang. Pada keadaan ini terapi Zidovudin dapat dilanjutkan bila diberikan

granulocyte colony-stimulating factor (G-CSF) pada keadaan neutropenia (< 500

sel/mm3), ), tetapi penggantian dengan terapi antiretroviral alternatif ketika terjadi

anemia lebih mudah dan lebih efektif. Miopati terjadi pada 6-18% pasien setelah 6

bulan terapi dengan Zidovudin dan efek ini bersifat reversibel setelah terapi

dihentikan. Pada penelitian pasien HIV/AIDS dengan terapi Zidovudin didapatkan


efek samping berupa neuropathy perifer sekitar 2.5% pada pasien dengan jumlah

CD4 < 50 sel/mm3, sedangkan sekitar 6% ditemukan pada pasien HIV/AIDS

dengan CD4 > 50 sel/mm3. (Manosuthi, 2007). Peningkatan kreatinin kinase

(CPK) menandakan reaksi idiosinkrasi dengan gejala nyeri dan kelemahan otot.

Hepatitis dan hiperpigmentasi kuku dan kulit jarang terjadi. (Dong, 2000).

Selama terapi perlu dimonitor pemeriksaan darah lengkap (hematokrit,

leukosit) dan fungsi liver setiap 2-4 minggu selama 3 bulan, kemudian selama 3

bulan atau disesuaikan dengan gejala yang terjadi (Dong, 2000; Depkes, 2006).

2. Lamivudin

Lamivudin merupakan analog trifosfat sitosin, diterima tahun 1995 oleh FDA

sebagai NRTI keempat untuk infeksi HIV. Lamivudin juga digunakan untuk

terapi hepatitis B. Penggunaan Lamivudin tunggal untuk terapi tidak dianjurkan

karena cepat terjadi resistensi dari mutasi kodon M184V, sehingga Lamivudin

sering dikombinasi dengan 2 atau lebih antiviral dengan tujuan untuk regimen

penekanan viral menyeluruh, mencegah resistensi dan mencegah hilangnya

aktivitas antiretroviral (Dong, 2000).

Kombinasi Zidovudin dan Lamivudin dapat terus-menerus menurunkan 1 log

viral load dan meningkatkan CD4 60-80 sel/mm3 dalam 52 minggu pada pasien

HIV, dibandingkan dengan Zidovudin atau Lamivudin monoterapi,. Kombinasi

Zidovudin dan Lamivudin lebih superior dibandingkan Zidovudin monoterapi

atau kombinasi Zidovudin dan Zalcitabin yang dapat dilihat pada efek

peningkatan CD4 dan penurunan viral load. Kombinasi Zidovudin dan Lamivudin

tidak meningkatkan efek samping dan abnormalitas hasil laboratorium (Dong,


2000). Lamivudin dapat diberikan pada pasien HIV/AIDS dengan hepatitis B

(Depkes, 2006).

Lamivudin mempunyai bioavailabilitas oral 82% dan absorbsinya tidak

dipengaruhi makanan. Lamivudin mengalami fosforilasi intraseluler menjadi

Lamivudin Trifosfat (3TC-TP), mempunyai waktu paruh 10-15 jam sehingga

diberikan 2 kali sehari. Konsentrasi Lamivudin secara signifikan tercapai pada

cairan serebrospinal. Dosis Lamivudin yang direkomendasikan adalah 150 mg 2 x

sehari. Penurunan dosis perlu dilakukan pada pasien gagal ginjal karena 79%

Lamivudin dieliminasi dalam bentuk tidak berubah lewat urine. Efek sampingnya

berupa diare, pusing, neutropenia. Selama terapi perlu dimonitoring fungsi

hematologi pada pasien HIV/AIDS (Dong, 2000).

3. Nevirapin

Nevirapin merupakan golongan NNRTI pertama yang diterima FDA tahun

1996. Desember 1998 Nevirapin diterima FDA untuk terapi HIV pada anak.

Nevirapin merupakan analog dipiridodiazepinon yang mempunyai spesifikasi dan

memiliki potensi inhibitor terhadap enzim HIV-1 Reverse Transcriptase, juga

aktif melawan virus yang sensitif dan resisten terhadap Zidovudin (Dong, 2000).

Kombinasi Nevirapin dengan 2 NRTI pada pasien HIV dapat meningkatkan

imunologik pasien, mempertahankan aktivitas antiviral Nevirapin dan mencegah

resistensinya (Dong, 2000). Pada studi research dengan menggunakan kombinasi

Stavudin+Lamivudin+Nevirapin pada pasien HIV /AIDS infeksi opportunistik,

dengan CD4 < 50 sel/mm3 diperoleh hasil peningkatan CD4 > 50 sel/mm3 (antara

50-150 sel/mm3) dengan terapi selama 48 minggu pada pasien usia 37 tahun-46

tahun sekitar 90.5% dari jumlah 120 pasien (Manosuthi, 2007).


Nevirapin diabsorpsi dengan baik, bioavailabilitasnya 93% dan tidak

dipengaruhi makanan dan antasida. Nevirapin terikat protein 60%, penetrasi pada

cairan serebrospinal 50% dari konsentrasi plasma. Waktu paruh Nevirapin 22-84

jam (rata-rata 40 jam), sehingga pemberian dosis satu kali sehari sudah efektif.

Nevirapin dimetabolisme oleh isoenzim CYP3A4. Nevirapin bersifat induksi

enzim dan dapat menurunkan kadar obat lain dalam darah, termasuk menginduksi

metabolisme Nevirapin sendiri. Autoinduksi metabolik Nevirapin menyebabkan

peningkatan dua kali klirens Nevirapin sistemik setelah 1-2 minggu pada dosis

200-400 mg sehari. Autoinduksi juga memperpendek waktu paruh dari 45 jam

menjadi 25-30 jam. Oleh karena itu peningkatan dosis Nevirapin diperlukan untuk

meminimalkan terjadinya konsentrasi obat yang tinggi, mengurangi efek samping

terutama rash. Dosis Nevirapin 200 mg sehari selama 2 minggu pertama untuk

mengurangi terjadinya rash dan jika kemudian tidak ada rash, dosis ditingkatkan

menjadi 200 mg dua kali sehari (Dong, 2000). Pada studi research pasien AIDS

CD4 < 50 sel/mm3 menggunakan Nevirapin dosis 200mg sehari selama 2 minggu

kemudian ditingkatkan menjadi 200mg 2xsehari, terjadi efek samping skin rash

berupa urtikaria, angioedema, Stevens Johnson syndrome sekitar 9.2% (11 pasien

dari 120 pasien) dan hepatotoksis. Sedangkan pada pasien AIDS CD4 > 50

sel/mm3 ditemukan sekitar 14.3% dari (12 pasien dari 84 pasien) (Manosuthi,

2007).

Efek samping yang menyebabkan pembatasan dosis Nevirapin adalah eritema,

rash maculopapular yang terjadi pada 50% pasien serta hepatotoksis. Rash

tersebut biasanya terjadi pada beberapa minggu pertama terapi. Rash tersebut

dapat tidak tampak dengan terapi Nevirapin lanjut. Antihistamin dapat

mengurangi gejala rash tetapi Nevirapin harus dihentikan bila rash semakin parah
atau terjadi gejala dasar (demam). Sindrom Stevens-Johnson juga terjadi pada

0,5% pasien. Efek samping yang lain adalah pusing, sakit kepala, kelemahan

badan, mual, stomatitis ulserasi, nyeri perut, diare dan peningkatan enzim

transaminase (Dong, 2000).

Selama terapi dengan Nevirapin sebaiknya dilakukan pemeriksaan fungsi hati

tiap 2 minggu untuk 2 bulan pertama, dan selanjutnya tiap bulan untuk 3 bulan

berikutnya. Nevirapin tidak direkomendasikan pada pasien AIDS dengan infeksi

TB dan Hepatitis, karena efek sampingnya berupa hepatotoksis yang dapat

mngakibatkan semakin beratnya gangguan fungsi hati. Tetapi pada wanita hamil-

HIV/AIDS dengan infeksi TB pemberian Nevirapin direkomendasikan, dengan

tetap memonitor fungsi hati (Depkes, 2006; WHO, 2007).

4. Efavirenz

Efavirenz termasuk golongan NNRTI ketiga yang diterima FDA pada

September 1998 untuk terapi HIV-1 pada pasien dewasa dan anak. Penggunaan

optimal Efavirenz harus dikombinasi dengan minimal dua antiretroviral lain untuk

mencegah terjadinya resistensi. Efavirenz mempunyai kekhususan dibandingkan

NNRTI lain yaitu merupakan protease-sparing alternatif (Dong, 2000).

Efavirenz tidak berinteraksi dengan makanan, sehingga dapat diberikan

bersama atau tanpa makanan, tetapi jangan diberikan bersama makanan berlemak

tinggi untuk membatasi absorpsinya. Waktu paruh Efavirenz lebih dari 40 jam

sehingga diberikan sekali sehari. Efavirenz dimetabolisme secara hepatik oleh

isoenzim CYP3A4 dan merupakan inhibitor dan induksi enzim sitokrom P450.

Efek sampingnya berupa gangguan sistem saraf pusat terjadi pada 50%

pasien. Gejalanya adalah pusing, sakit kepala, insomnia, konsentrasi terganggu,


daya tangkap menurun, bingung, agitasi, pingsan, halusinasi, euforia, parestesia,

gugup dan mengantuk. Efek samping ini bersifat sementara dan dapat hilang

setelah 7-14 hari atau sekitar 1 bulan meskipun terapi efavirenz tetap dilanjutkan.

efek samping pada susunan saraf pusat dapat dikurangi dengan diminum sebelum

tidur (Dong, 2000; Depkes, 2006). Pasien dengan riwayat gangguan mental dan

psikologis tidak direkomendasikan menerima terapi Efavirenz. Efek samping

yang lain adalah mual, pusing dan rash, bila terjadi efek samping tersebut tidak

perlu dilakukan penghentian terapi Efavirenz. Efek samping Efavirenz trial fase II

yang dilaporkan terjadi pada 58% dari 54 pasien yaitu rash grade II (10,7%),

diare (6%), nyeri perut (9%), mual (6%), sakit kepala (5%), hematuria (8%) dan

peningkatan transaminase (5%). (Dong, 2000). Efavirenz dapat diberikan pada

pasien HIV/AIDS dengan infeksi opportunistik tuberculosis dan Hepatitis, karena

efek sampingnya tidak terjadi hepatotoksis. Efavirenz jangan diberikan pada

wanita hamil karena menyebabkan teratogenik (Depkes, 2006; WHO, 2007).

Efek Samping Umum ARV

Efek samping obat merupakan respon obat berlebihan, efek yang tidak

diinginkan pada sistem organ yang berbeda saat terapi, reaksi hipersensitifitas

atau alergi, reaksi idiosinkrasi atau interaksi obat yang menyebabkan peningkatan

atau penurunan respon obat (Barone, 2000).

Efek samping obat ARV merupakan salah satu penyebab morbiditas,

dirawatnya pasien dan mortalitas. Tabel 2.5 merupakan efek samping secara

umum obat-obat ARV (Depkes, 2006)


Tabel 2.5 Efek samping umum golongan antiretroviral (Depkes, 2006)

Golongan Efek Samping


NRTI Laktat Asidosis, hepatotoksis
NtRTI Toksisitas pada ginjal
NNRTI Hepatotoksis, rash
PI Gangguan metabolik ganda (insulin
resistensi, hiperlipidemia, lipodistropi),
hepatotoksisitas, gangguan tulang,
peningkatan perdarahan pada penderita
hemofilia.

Tingkat kegawatan (grade) efek samping obat ARV menurut WHO, dibagi

menjadi 4 yaitu (WHO, 2006):

GRADE 1: efek samping ringan, pasien masih beraktivitas, pengobatan untuk

efek samping tidak diperlukan atau bisa diberikan.

GRADE 2: efek samping ringan sampai sedang, pasien masih beraktivitas,

pengobatan untuk efek samping minimal diberikan.

GRADE 3: aktivitas pasien terbatas (membutuhkan bantuan orang lain),

pengobatan untuk efek samping harus diberikan, pasien

kemungkinan rawat inap.

GRADE 4: aktivitas pasien sangat terbatas (mutlak membutuhkan bantuan orang

lain), pengobatan untuk efek samping mutlak harus diberikan, pasien

harus rawat inap dan istirahat total.

Kriteria grade efek samping obat ARV dapat di baca pada tabel 2.6 dibawah ini

(WHO, 2006).
Tabel 2.6 Tingkat Kegawatan (Grade) Efek Samping Obat ARV
(WHO,2006)

Efek Samping Grade 1 Grade 2 Grade 3 Grade 4


Hematologi : 8.0 - 9.4 g/dl 7.0 7.9 g/dl 6.5 6.9 g/dl <6.5 g/dl atau
-Kadar atau 80 94 g/l atau 70 -79 g/l atau 65 69 g/l <6.5 g/l atau
Haemoglobin atau 4.93 atau 4.31 atau 4.03 <4.03 mmol/l
5.83 mmol/l 4.92 mmol/l 4.30 mmol/l
Transaminases :
-AST (SGOT) 1.25-2.5xULN >2.5-5.0xULN >5.0- >10.0xULN
10.0xULN
-ALT (SGPT) 1.25-2.5xULN >2.5-5.0xULN >5.0- >10.0xULN
10.0xULN
Gastro-intestinal
Nausea Ringan, dengan Sedang, Berat, dengan Hospitalization
intake sedang dengan intake intake required
berkurang <3 berkurang 3
Hari hari
Vomiting Ringan, dengan Sedang, Berat, Shock
frekwensi dengan vomiting hipotensi atau
vomiting 2- frekwensi semua Hospitalization
3x/hari atau vomiting 4-
makanan & required untuk
vomiting < 1 5x/hari atau
minuman diberikan infus
minggu vomiting 1 dalam 24 jam i.v
minggu atau hipotensi
orthostatik atau
pemberian
infus i.v
Diare Ringan, diare Sedang, diare Diare keluar Shock
3-4x/hari atau 5-7x/hari atau darah atau hipotensi, atau
diare < 1 diare 1 hipotensi Hospitalization
minggu minggu orthostatik atau required
diare > 7x/hari
atau pemberian
i.v
Rash Eritema, Rash Vesikulasi atau Stevens
Hipersensitif pruritis maculopapular ulcerasi Johnson,
eritema
multiforma,
dermatitis
exfoliatif

Interaksi Obat- obat ARV dengan Obat-obat Infeksi Opportunistik

Interaksi Obat-Obat ARV dengan Obat-Obat Anti Tuberculosis


Terapi tuberculosis pada pasien HIV/AIDS sesuai dengan rekomendasi dari WHO

2007 dapat dilihat pada tabel 2.7

Tabel 2.7 Lini pertama obat-obat anti tuberculosis/TB (WHO, 2007)


First Line anti-TB Mode of Potency Recommded dose
drugs action (mg/kg of body weight)
Isoniazid (H) Bactericidal High 5 10
Rifampicin (R) Bactericidal High 10 10
Pyrazinamide (Z) Bactericidal Low 25 25
Streptomycin (S) Bactericidal Low 15 15
Ethambutol (E) Bactericidal Low 15 30

Sedangkan terapi ARV pada pasien TB yang direkomendasikan WHO

2007 dapat dilihat pada tabel 2.8

Tabel 2.8 Rekomendasi terapi ARV pada pasien HIV/AIDS dengan


tuberculosis (WHO, 2007).

First or ART regimen ART options


Second Line
ART
First-Line 2NRTI + EFV Continue with 2NRTI + EFV
2 NRTI + NVP Change to EFV or
Change to triple NRTIS or
Continue with 2NRTI + NVP
Triple NRTI Continue triple NRTI
Second-Line 2NRTI + PI Change to or continue LPV/r-or SQV/r-
Containing regimen and adjust dose 0f RTV

Adanya pemberian obat anti TB dengan obat ARV secara bersama-sama

pada pasien HIV/AIDS, kemungkinan besar dapat menyebabkan interaksi antar

obat. Interaksi ART dengan obat anti TB terjadi pada pemberian Rifampisin.

Nevirapin & Efavirenz merupakan inducer CYP3A4. Pemberian Rifampisin

bersama dengan Nevirapin dapat menyebabkan penurunan kadar Nevirapin dalam

serum sekitar 20%-55%. Hal ini dikarenakan Rifampisin menginduksi

metabolisme Nevirapin pada cytochrome P450 yaitu pada CYP3A4. Adanya

overlap toksisitas yang sama berupa skin rash & hepatotoksis menyebabkan
toksisitas yang lebih besar dari pemakaian bersamaan kedua obat ini. Pemakaian

Efavirenz lebih direkomendasikan pada terapi ini karena toksisitasnya pada hati

tidak terjadi. Efavirenz yang digunakan secara bersamaan dengan Rifampisin

dapat terjadi interaksi yang menyebabkan penurunan kadar Efavirenz serum

sehingga menurunkan potensinya sebagai antiretroviral pada AIDS. Tetapi hal ini

dapat diatasi dengan peningkatan dosis Efavirenz dari 600mg sehari menjadi

800mg sehari. Efavirenz jangan diberikan pada ibu hamil yang terinfeksi

HIV/AIDS dengan TB pada trimester pertama kehamilan karena efek samping

teratogenik, pemberian Nevirapin direkomendasikan pada pada keadaan ini tetapi

dengan memonitoring secara ketat fungsi faal hati karena efek samping

hepatotoksis. Interaksi lain dari Rifampisin yang digunakan bersamaan dengan PI

dapat menyebabkan penurunan kadar PI serum > 90%, sehingga menyebabkan PI

menjadi tidak aktif sebagai antiretroviral. Interaksi Rifampisin dengan Zidovudin

terjadi karena peningkatan enzym glucoronosyltransferase, sehingga kadar

Zidovudin dalam plasma menurun sekitar 47%. Interaksi dengan Rifampisin juga

terjadi pada pemberian Ketokonazol pada pasien HIV/AIDS dengan IO TB dan

candidiasis, yang dapat mengakibatkan hepatotoksis yang berat. Sehingga

pemberian Rifampisin dengan Ketokonazol harus dihindari. Interaksi Rifampisin

dengan Klarithromycin pada pasien HIV/AIDS dengan IO TB dan MAC,

menyebabkan penurunan kadar Klarithromycin dalam serum (CDC, 2007; WHO,

2007; Piscitelli, 2001).

Interaksi Obat-Obat ARV dengan Obat-Obat Anti Candidiasis.

Terapi Candidiasis pada pasien AIDS yang direkomendasikan WHO

adalah menggunakan Nistatin, Flukonazol, Itrakonazol, Mikonazol, Amphotericin

dan Ketokonazol. Penggunaan bersamaan antara obat anti candidiasis dengan


ART dapat meningkatkan timbulnya interaksi antar obat. Interaksi obat-obat

candidiasis dengan ART terjadi pada Flukonazol , Itrakonazol maupun

Ketokonazol. Interaksi ini terjadi pada penghambatan CYP3A4 (Burnham, 2001;

Piscitelli, 2001).

Pemberian Flukonazol bersama dengan Zidovudin menyebabkan

peningkatan kadar Zidovudin dalam serum, yang dapat mengakibatkan

peningkatan efek samping atau toksisitas dari Zidovudin berupa gangguan pada

GI tract (mual, muntah, iritasi lambung) serta terjadi toksisitas hematologi

(neutropenia, anemia). Interaksi Intrakonazol dengan Didanosin menyebabkan

penurunan efek Itrakonazol. Sedangkan interaksi Intrakonazol dengan PI dapat

mngakibatkan peningkatan kadar PI dalam plasma sehingga terjadi toksisitas.

Interaksi antara Ketokonazol dengan Saquinavir menyebabkan peningkatan AUC

dari Saquinavir sekitar 150% dan terjadi peningkatan kadar Saquinavir dalam

CSF. (Burnham, 2001; Piscitelli, 2001 ).

Interaksi Obat-Obat ARV dengan Obat-Obat Profilaksis HIV/AIDS

Pengobatan Profilaksis HIV/AIDS menggunakan Kotrimoksazol

(Trimethoprim dan Sulfametoksazol). Trimethoprim menghambat sekresi

Zidovudin di tubulus ginjal dan menurunkan eliminasi Zidovudin sehingga

meningkatkan efek samping Zidovudin (Koda-Kimble, 2002). Kotrimoksazol

dapat meningkatkan kadar Lamivudin dalam plasma sekitar 44% dengan jalan

menghambat sekresinya pada tubulus ginjal sehingga terjadi penurunan eliminasi

Lamivudin (Piscitelli, 2001).


Alasan Mengganti dan Menghentikan ARV (Depkes, 2006; Depkes, 2004;

Dong, 2000):

1. Toksisitas

Toksisitas ini berhubungan dengan ketidakmampuan respon tubuh dalam

menahan efek samping obat, sehingga menimbulkan disfungsi organ yang cukup

berat. Toksisitas ARV ini tergantung dari kombinasi obat yang dipakai, dan dapat

dipantau secara klinis yaitu dari keluhan atau hasil pemeriksaan fisik pasien, dan

hasil laboratorium pasien.

Mengganti regimen akibat toksisitas obat dapat dilakukan dengan mengganti

satu atau lebih obat dari golongan yang sama dengan obat yang dicurigai

mengakibatkan toksisitas. Toksisitas regimen ARV lini pertama dan anjuran

penggantinya dapat dilihat pada tabel 2.9

Tabel 2.9 Toksisitas regimen ARV lini pertama dan anjuran penggantinya
(Depkes, 2004)

Regimen Toksisitas Obat Pengganti


Intoleransi GI yang Ganti AZT dengan d4T
persisten oleh karena
AZT atau toksisitas
hematologis yang berat
AZT/3TC/NVP Hepatotoksis berat oleh Ganti NVP dengan EFV
karena NVP (kalau hamil ganti dengan
NFV, LPV/r atau ABC)
Ruam kulit berat karena Ganti NVP dengan EFV
NVP (tetapi tidak
mengancam jiwa yaitu
tanpa pustula dan tidak
mengenai mukosa)
Ruam kulit berat yang Ganti NVP dengan PI
mengancam jiwa (Stevens-
Johnson syndrome) oleh
karena NVP
Intoleransi GI yang Ganti AZT dengan d4T
persisten oleh karena AZT
AZT/3TC/EFV atau toksisitas hematologis
yang berat
Toksisitas susunan saraf Ganti EFV dengan
pusat menetap oleh karena NVP
EFV
2. Kegagalan Terapi

Terapi yang gagal dalam hal ini adalah dengan menilai perkembangan

penyakit secara imunologis dengan penghitungan CD4, dan/atau secara virologist

dengan mengukur viral-load. Penilaian klinis perkembangan penyakit harus

dibedakan dengan sindrom pemulihan kekebalan (immuno reconstitution

inflammatory syndrome / IRIS), yaitu keadaan yang dapat muncul pada awal

pengobatan ARV. Sindrom ini ditandai oleh timbulnya infeksi oportunistik

beberapa minggu setelah ART dimulai sebagai suatu respon inflamasi terhadap

infeksi opportunistik yang semula subklinik. Keadaan tersebut terjadi terutama

pada pasien dengan gangguan kebalan tubuh yang telah lanjut. Kembalinya fungsi

imunologi dapat pula menimbulkan gejala atipik dari infeksi oportunistik.

Kriteria khusus untuk penggantian terapi menjadi rejimen yang baru secara

keseluruhan (masing-masing obat dalam kombinasi diganti dengan yang baru)

atau penghentian terapi penggantian, atau penghentian dilakukan bila :

1. ODHA pernah menerima rejimen yang sama sekali tidak efektif lagi,

misalnya monoterapi atau terapi dengan dua nukleosida (NRTI).

2. Viral load masih terdeteksi setelah 4-6 bulan terapi, atau bila viral load

menjadi terdeteksi kembali setelah beberapa bulan tidak terdeteksi. Pada

kegagalan terapi ini juga terjadi peningkatan viral load (VL) >0.5 log10 dari

VL sebelumnya.

3. Jumlah CD4 terus menerus turun setelah dites dua kali dengan interval

beberapa minggu, atau tidak adanya peningkatan CD4+ T limfosit 350

500 sel/mm3 selama 3 bulan terapi dengan ARV.


4. Infeksi oportunistik atau berat badan mulai menurun secara drastis. Hal ini

harus dibedakan dengan immune reconstitution syndrome / sindrom

pemulihan kembali kekebalan.

3. Resistensi ARV

Resistensi terapi dapat terjadi jika pengobatan ARV tidak dilaksanakan

dengan baik. HIV dapat mengalami mutasi gen atau mengubah struktur kimia

serta struktur genetiknya sehingga resisten terhadap ARV. Secara umum resistensi

obat ARV meningkat bila ARV diberikan sebagai obat tunggal.

IRIS

Vous aimerez peut-être aussi