Vous êtes sur la page 1sur 3

BIOGRAFI SISINGAMANGARAJA XII

Sisingamangaraja XII (lahir di Bakara, 18 Februari 1845)


adalah seorang raja di negeri Toba, Sumatera Utara, pejuang
yang berperang melawan Belanda, kemudian diangkat oleh
pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
sejak tanggal 9 November 1961.

Sisingamangaraja XII nama kecilnya adalah Patuan


Bosar, yang kemudian digelari dengan Ompu Pulo Batu. Ia juga
dikenal dengan Patuan Bosar Ompu Pulo Batu, naik tahta
menggantikan ayahnya Sisingamangaraja XI yang bernama
Ompu Sohahuaon, selain itu ia juga disebut juga sebagai raja
imam. Penobatan Sisingamangaraja XII sebagai maharaja di
negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy
(politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal
asing yang beroperasi di Hindia Belanda, dan yang tidak mau
menandatangani (perjanjian pendek) di Sumatera terutama
Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka
hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi
lain Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya
atas kerajaan tersebut. Politik yang berbeda ini mendorong
situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang
berkepanjangan hingga puluhan tahun.
Sisingamangaraja adalah keturunan seorang pejabat
yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat berkuasa
ketika itu, yang datang berkeliling Sumatera Utara untuk
menempatkan pejabat-pejabatnya. Dalam sepucuk surat
kepada Marsden bertahun 1820, Raffles menulis bahwa para
pemimpin Batak menjelaskan kepadanya mengenai
Sisingamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau
dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk
manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung.
Pada tahun 1877 para misionaris di Silindung dan
Bahal Batu meminta bantuan kepada pemerintah kolonial
Belanda dari ancaman diusir oleh Singamangaraja XII.
Kemudian pemerintah Belanda dan para penginjil sepakat
untuk tidak hanya menyerang markas Si Singamangaraja XII di
Bakara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba. Pada tahun
1878 pasukan Belanda sampai di Pearaja, tempat kediaman
penginjil Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian beserta
penginjil Nommensen dan Simoneit sebagai penerjemah
pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk menyusun
benteng pertahanan. Namun kehadiran tentara kolonial ini
telah memprovokasi Sisingamangaraja XII, yang kemudian
mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16 Februari 1878
dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai
dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878 datang Residen Boyle
bersama tambahan pasukan yang dipimpin oleh Kolonel Engels
sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada tanggal 1 Mei
1878, Bangkara pusat pemerintahan Si Singamangaraja
diserang pasukan kolonial dan pada 3 Mei 1878 seluruh
Bangkara dapat ditaklukkan namun Singamangaraja XII beserta
pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar
mengungsi. Sementara para raja yang tertinggal di Bakara
dipaksa Belanda untuk bersumpah setia dan kawasan tersebut
dinyatakan berada dalam kedaulatan pemerintah Hindia
Belanda. Walaupun Bakara telah ditaklukkan, Singamangaraja
XII terus melakukan perlawanan secara gerilya, namun sampai
akhir Desember 1878 beberapa kawasan seperti Butar, Lobu
Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga dapat
ditaklukkan oleh pasukan kolonial Belanda. Di antara tahun
1883-1884, Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi
pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh,
secara ofensif menyerang kedudukan Belanda antaranya Uluan
dan Balige pada tahun 1883 serta Tangga Batu pada tahun
1884.
Singamangaraja XII meninggal pada 17 Juni 1907
dalam sebuah pertempuran dengan Belanda di pinggir bukit
Aek Sibulbulen, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon,
di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi
yang sekarang. Sebuah peluru menembus dadanya, akibat
tembakan pasukan Belanda yang dipimpin Kapten Hans
Christoffel. Turut gugur waktu itu dua putranya Patuan Nagari
dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian. Sementara
keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung.
Sisingamangaraja XII sendiri kemudian dikebumikan Belanda
secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah
sebelumnya mayatnya diarak dan dipertontonkan kepada
masyarakat Toba. Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam
Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953,
yang dibangun oleh Pemerintah, Masyarakat dan keluarga.

Vous aimerez peut-être aussi