Vous êtes sur la page 1sur 7

Apresiasi Prosa Indonesia

Hakikat Apresiasi Prosa

Kata apresiasi secara harfiah berarti ‘penghargaan’ terhadap suatu objek,


hal, kejadian, atau pun peristiwa. Untuk dapat memberi penghargaan terhadap
sesuatu, tentunya kita harus mengenal sesuatu itu dengan baik dan dengan akrab
agar kita dapat bertindak dengan seadil-adilnya terhadap sesuatu itu, sebelum kita
dapat memberi pertimbangan bagaimana penghargaan yang akan diberikan
terhadap sesuam itu. Kalau yang dimaksud dengan sesuatu itu adalah karya sastra,
lebih tepat iagi karya sastra prosa, maka apreciasi itu berati memberi penghargaan
dengan sebaik-baiknya dan seohjektif mungkin terhadap karya sastra prosa itu.
Penghargaan yang seobjektif mungkin, artinya penghargaan itu dilakukan setelah
karya sastra itu kita baca, kita telaah unsur-unsur pembentuknya, dan kita
tafsirkan berdasarkan wawasan dan visi kita terhadap karya sastra itu.

Seperti sudah dibicarakan, prosa atau prosa fiksi adalah sebuah bentuk
karya sastra yang disajikan dalam bentuk bahasa yang tidak terikat oleh jumlah
kata dan unsur musikalitas. Bahasa yang tidak terikat itu digunakan untuk
menyampaikan tema atau pokok persoalan dengan sebuah amanat yang ingin
disampaikan berkenaan dengan tema tersebut. Oleh karena itu, dalam apresiasi
dengan tujuan tnembenkan penghargaan terhadap karya prosa itu, kita haruslah
bisa “membongkar” dan menerangjelaskan hal-hal yang berkenaan dengan ukuran
keindahan dan “kelebihan” karya prosa itu. Dengan demikian, penghargaan yang
diberikan dapat diharapkan bersifat tepat dan objcktif. Suatu apresiasi sastra,
menurut Maidar Arsjad dkk dilakukan melalui beberapa tahap kegiatan. Tahap-
tahap itu adalah.

1. Tahap penikmatan atau menyenangi. Tindakan operasionalnya pada tahap


ini adalah
misahiya membaca karya sastra (puisi maupun novel}, menghadiri acara
deklamasi, dan
sebagainya.
2. Tahap penghargaan. Tindakan operasionalnya, antara lain, melihat
kebaikan, nilai, atau
manfaat suatu karya sastra, dan merasakan pengaruh suatu karya ke dalam
jiwa, dan
sebagainya.
3. Tahap pemahaman. Tindakan opersionalnya adalah meneliti dan menganalisis
unsur
intrinsik dan unsur ektrinsik suatu karya: astra, serta berusaha menyimpulkannya.
4. Tahap penghayatan. Tindakan operasionalnya adalah rnenganalisis lebih
lanjut akan suatu
karya, mencari hakikat atau makna suatu karya beserta argumentasinya;
membuat tafsiran
dan menyusun pendapat berdasarkan analisis yang telah dibuat.
5. Tahap penerapan. Tindakan operasionalnya adalah mclahirkan ide baru,
mengamalkan
penemuan, atau mendayagunakan hasil operasi dalam mencapai material,
moral, dan
struktural untuk kepentingan sosial, politik, dan budaya.

Khasanah Prosa Indonesia

Kalau prosa kita artikan sebagai karangan dengan bahasa yang tidak
terikat sebagai dikotomi dari puisi yang disajikan dalam bahasa yang terikat
(dengan jumlah baris dan irama persajakan), maka semua karya sastra prosa dari
kesusasteraan lama dapat kita masukkan sebagai prosa Indonesia. Jadi, semua
dongeng, legcnua, hikayat, fabel, dan cerita rakyat seperti Dongeng Sang Kancil.
Hikayat Si Miskin, Hikayat Pendawa Lima, Hikayat Amir Hamzah, legenda
terjadinya Tangkuban Perahu, dan sebagainya adalah termasuk karya prosa
Indonesia. Di sini termasuk karya seperti Sejarah MejayiL Kisah Pelayaran
Abdullah ke Negari Mekah, dan lain sebagainya.
Karya prosa modem Indonesia dimulai dari buku-buku terbitan Balai
Pustaka seperti Si Jamin dan Si Johan, Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Saiah PiHhj
Sengsara Membawa Nikmat. dan sebagainya. Di luar Balai Pustaka sebenarnya ada
pula buku-buku cerita yang diterbitkan; tetapi karena bahasanya “kurang
tcrpelihara” maka sering tidak dianggap atau tidak dibicarakan sebagai karya
sastra Indonesia. Prosa-prosa produk zaman Balai Pustaka kebanyakan karya
mengangkat persoalan adat sebagai tema, dan belurn mengangkat masalah sosial
budaya. Oleh karena itu, konflik-konflik yang ierjadi hanyalah seputar
pertentangan golongan yang mempertahankan adat dengan golongan yang ingin
meninggalkan adat karena dianggap mengekang kebebasan dan kemajuan.

Zaman Balai Pustaka dilanjutkan oleh yang disebut Angkatan Pujangga


Baru. Prosa pada angkatan ini sudah tidak banyak lagi bertemakan adat atau
pertentangan adat melainkan sudah mengangkat juga persoalan sosial seperti
dalam roman Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana yang
mengangkat masalah emansipasi wanita; novel Belenggu karya Armyn pane yang
mengangkat masalah kehidupan sosial seorang dokter, istrinya, dan seorang pasien
wanita. Sutan Takdir meskipun disebut-sebut sebagai tokoh Pujangga Baru, namun
dia sebelumnya sudah menulis prosa jauh sebelum itu, dan karya-karyanya juga
banyak dihasilkan setelah itu. Prosanya yang lain adalah Tak Putus Dirundung
Malang, dan Grotta dan Azura yang ditulisnya pada tahun enani puluhan.

Zaman Jepang (1940-1945) adalah zaman susah akibat perang Asia Timur
Raya dan pendudukan tentara Jepang atas Indonesia. Pada masa ini karya sastra
kebanyakan berupa puisi yang bersifat simbolis karena tidak berani berterang-
terangan, takut akan ancaman kempetai Jepang. Prosa yang muncul hanyalah
berupa corat-caret, sketsa, dan kisah-kisah pendek dari pengarang Idrus. Itu pun
baru diumumkan setelah Jepang kalah perang. Judul-judul prosanya antara lain
“Corat-Caret di bawah Tanah”. “Kota harmoni”, Sanyo”, “Oh..oh”, dan “Aki”.
Kalau Chairil Anwar disebut sebagai pelopor Angkatan ’45 dalam bidang puisi,
maka Idrus adalah pelopor Angkatan ’45 dibidang prosa. Keduanya disebut
sebagai pelopor karena keduanya membuat pembaharuan dalam memberi corak
karya sastra mereka yang berbeda dengan karya angkatan sebelumnya.

Setelah Jepang pergi pada tahun 1945, dan negeri kita diamuk suasana
revolusi sejumlah karya prosa muncul. Pada 1948 terbit karya Idrus Dari Ave
Maria ke Jalan Lain ke Roman yakni kumpulan cerita pendek yang dimulai
dengan cerpen “Ave Maria” dan berakhir dengan cerpen “Jalan lain ke Roma”
Namun, didalam buku itu pun aoa naskah drama yang berjudul “Kejahatan
Membahas dendam”. Pengarang lain adalah Pramudya Ananta Tur yang dalam
prosa-prosanya banyak melukiskan kedahsyatan revolusi Indonesia. Karyanya
antara lain Keluarga Gerilya (novel), Mereka yang Dilumpuhkan (novel), Percikan
Revolusi/kumpulan (cerpen), Perburuan (novel), Subuh (novel), dan Di Tepi Kali
Bekasi (novel).
Novel lain yang muncul pada masa revolusi adalah Atheis karangan Achdiat
Karta Mihardja, Tidak Ada Esok dan Jalan Tak ada Ujung karangan Mochtar
Lubis.

Terlepas dari ide yang dikandung di dalamnya, H.B. Jassin menyatakan


bahwa “Surabaya” karya Idrus, Keluarga Gerilya karya Pramudya dan Jalan Tak
Ada Ujung karya Mochtar Lubis merupakan puncak kesusastraan angkatan ’45
sampai sakarang.
Revolusi berakhir pada akhir Desember 1949 dan Indonesia secara de facto
dan de yure menjadi negara merdeka. Namun, pada awal kemerdekaan ini kegiatan
sastra tampaknya lebih banyak pada karya puisi dan cerita pendek. Banyak
pengarang muncul bersama cerpennya yang dipublikasikan dalam buku kumpulan
cerita pendek. Mereka itu antara lain Subagio Sastrawardaya, N.H. Dini, S.M.
Ardan, Sukanto S.A., A.A. Navis, Trisnoyuwono, dan Nugroho Notosusanto.

Karya mereka yang bisa disebutkan di sini antara lain, adalah Terang Bulan
Terang di Kali (kumpulan cerpen) dan Nyai Dasima karya S.M. Ardan, Hitam
Putin (kumpulan cerpen) karya Mohamad Ali, Robohnya Surau Kami (kumpulan
cerpen) karya A.A. Navis, Kawat Berduri karya Trisno Yuwono. Pulang (novel)
karya Toha Mochtar, Hati yang Damai dan Dua Dunia karya N.H. Dini, dan Daun
Kering karya Trisno Sumardjo.

Scsudah huru-hara G 30S/PKI laluin 1965 khasanah prosa Indonesia tetap


didominasi oleh cerpen, meskipun karya novel juga tidak kurang, tetapi lebih
banyak pengarang dikenal knrcna karya ccrpennya. Walaupun dcmikian novel-
novel yang patut discbutkan scsudah huru-hara G 30 S/PKI itu, antara lain adalah
Harimau-Harimau dan Maut dan Cinta keduanya karya Mochtar Lubis, Jalan
Terbuka karya Ali Audah, Sepi Terasing karya Aoh K. Hadimadja; Tidak
Menyerah. Jentera Lepi, Kubah, dan Bawuk, keempatnya karya Umar Kliayam,
Burung-Burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya, Kalah dan Menang karya
Sutan takdir Alisyahbana, Telegram karya Putu V/ijaya, Pada Sebuah Kapal karya
N.H. Dini; Ziarah dan Merahnya Merah keduanya karya Iwan Simatupang;
Karmila karya Marga T; Wajah-Wajah Cinta karya La Rose; dan sejumlah novel
lainnya.
Seperti disebutkan di atas bahwa cerita pendek mendominasi prosa
Indonesia mutakhir, hal itu tampak dari banyak cerita pendek yang dipublikasikan
melalui berbagai majalah sastra maupun majalah umum, serta sejumlah buku
kumpulan karya sastra seperti yang diedit oleh para cerpenis seperti Gerson Poyk,
Umar Khayam, Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Budi Darma, dan Danarto.

Langkah-Langkah Apresiasi Prosa

Dalam berbagai buku sumber ada discbutkan langkah-langkah yang


dilakukan dalam melaksanakan apresiasi sastra secara umum dan apresiasi karya
sastra secara khusus. Yang disebut di bawah ini pada dasarnya tidak berbeda
dengan yang disebutkan dalam buku-buku sumber itu.
Pertama, membaca novel (cerpen, romai;) itu secara tenang dan seksama. Kalau
perlu bisa diiakukan dua tiga kali. Biasanya sebuah karya prosa yang baik akan
mengundang kita untuk membacanya berkali-kali karena kita memperoleh
kenikmatan dari pembacaan itu. Kediia, mencoba mencari jati diri melalui prosa
yang dibacanya.
Ketiga, mencoba menelaah apa tema cerita tersebut, dan mengetahui bagaimana
tema itu disajikan, menelaah plot, penokohan, setting/latar, dan berbagai unsur
instrinsik lainnya. Keempat mencoba menelaah amanat yang ingin disampaikan
oleh pengarang dengan novel (cerpen, roman) tersebut.

Kelima, mencoba menelaah penggunaan bahasa yang digunakan dalam karya


prosa tersebut melihat kekuatannya, dan mencari kekurangannya.
Keenam, mencoba menarik kesimpulan akan nilai karya prosa tersebut
berdasarkan telaah objektif terhadap temanya, plotnya, perwatakannya, latarnya,
dan sebagainya.

Teknik Pembelajaran Apresiasi Prosa

Pembelajaran apresiasi prosa dapat dilakukan sebagai berikut

Pertama, guru memilih sebuah novel atau cerita pendek yang sesuai dengan usia
murid, tingkat kelas, dan norma kehidupan. Mengingat waktu yang terbatas
barangkali cukup dipilih sebuah cerpen yang cukup pendek, Guru harus
membacanya dulu, mempelajari semua unsui-unsur instrinsik dan unsur ekstrinsik
yang dijalin dalam cerpen tersebut sebaik-baiknya. Juga mencoba mencari
informasi yang seluas-luasnya yang berhubungan dengan pengarang dan karya-
karya pengarang tersebut.

Kedua, menyuruh murid membaca cerita pendek tersebut dengan serius


(Andaikata cerita pendek tersebut cukup panjang, barangkali bisa juga sisv/a
disuruh membaca dulu di rumah schari sebelumnya) sctclah selesai guru
mengajukan pertanyaan, misalnya:

Bugaimana kesan Anda terhadap cerpen tersebut? hal-hal apa saja yang
anda peroleh setelah membaca prosa tersebut?.

Kalau tidak ada yang menjawab, guru mcmberi pertanyaan penegasan:


Menarikkah cerita tersebut? Jawaban siswa mungkin bermacam-macam (menarik,
tidak menarik, membosankan, tidak tahu, dsb). Dari jawaban ini guru mengajak
siswa untuk menelaahnya lebih jauh lagi.
Ketiga, guru membimbing siswa untuk menganalisis lebih jauh lagi mengenai
unsur-unsur cerita tersebut, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Kegiatan
ini dilakukan secara klasikal, dengan rnemanfaatkan interaksi guru-siswa, siswa-
guru,dan siswa-siswa secara maksimal. Urutan penganalisisan dan jenis
pertanyaan, pembimbingan dapat dilakukan sebagai berikut:

1. mengenai plot (alur) certia tersebut


2. mengenai tokoh-tokoh dengan wataknya masing-masing
3. mengenai sudut pandang atau pusat cerita teresebut
4. mengenai tema dan amanat dari cerita tersebut
5. mengenai penggunaan bahasa dan gaya bahasa yang dilakukan
6. mengenai unsur-unsur ektrinsik yang menunjang cerita tersebut

Keempat, setelah analisis selesai dilakukan, setiap siswa diminta menyusun


pendapatnya mengenai cerita tersebut lengkap dengan alasannya. Satu dua siswa
diminta membacakan pendapatnya di muka kelas.

Vous aimerez peut-être aussi