Vous êtes sur la page 1sur 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pendahuluan
Karbon monoksida (CO) adalah racun yang tertua dalam sejarah manusia. Efek
mematikan dari gas CO sudah diketahui sejak dahulu di masa Yunani dan Roma, saat gas
ini digunakan untuk eksekusi. Claude Bernard pada tahun 1857 menemukan efek beracun
karbon monoksida yang disebabkan oleh pelepasan ikatan oksigen dari hemoglobin
menjadi bentuk carboxyhaemoglobin. Warberg pada tahun 1926 memakai kultur jamur
yeast untuk menunjukkan asupan oksigen oleh jaringan dihambat oleh paparan karbon
monoksida dalam jumlah yang besar. Di Amerika Serikat terdapat 50.000 kunjungan ke
instalasi gawat darurat terkait 600 kematian akibat keracunan gas ini. Karbon monoksida
(CO) adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau yang dihasilkan dari proses
pembakaran yang tidak sempurna dari material yang berbahan dasar karbon seperti kayu,
batu bara, bahan bakar minyak dan zat-zat organik lainnya. Gas ini lebih ringan dari
udara sehingga mudah menyebar. Setiap korban kebakaran api harus dicurigai adanya
intoksikasi gas CO. Sekitar 50% kematian akibat luka bakar berhubungan dengan trauma
inhalasi dan hipoksia dini menjadi penyebab kematian lebih dari 50% kasus trauma
inhalasi. Intoksikasi gas CO merupakan akibat yang serius dari kasus inhalasi asap dan
diperkirakan lebih dari 80% penyebab kefatalan yang disebabkan oleh trauma inhalasi.
Setiap tahun di Inggris, terdapat 50 orang korban meninggal dan 200 orang cidera parah
akibat keracunan CO. Misdiagnosis tidak jarang terjadi karena gejala yang tidak khas dan
banyak manifestasi klinis yang timbul, sehingga diperlukan ketelitian yang tinggi dalam
menangani pasien dengan intoksikasi gas CO.
Banyak pembakaran yang menggunakan bahan bakar seperti alat pemanas dengan
menggunakan minyak tanah, gas, kayu dan arang yaitu kompor, pemanas air, alat
pembuangan hasil pembakaran dan lain-lain yang dapat menghasilkan karbon monoksida.
Pembuangan asap mobil mengandung 9% karbon monoksida. Pada daerah yang macet
tingkat bahayanya cukup tinggi terhadap kasus keracunan. Asap rokok juga mengandung
gas CO, pada orang dewasa yang tidak merokok biasanya terbentuk karboksi
haemoglobin tidak lebih dari 1 % tetapi pada perokok yang berat biasanya lebih tinggi
yaitu 5 10 %. Pada wanita hamil yang merokok, kemungkinan dapat membahayakan
janinnya. Asap rokok juga mengandung gas CO, pada orang dewasa yang tidak merokok
biasanya terbentuk karboksi haemoglobin tidak lebih dari 1 % tetapi pada perokok yang
berat biasanya lebih tinggi yaitu 5 10 %. Pada wanita hamil yang merokok,
kemungkinan dapat membahayakan janinnya.
Karbon monoksida tidak berwarna, tidak berbau, tidak merangsang selaput lendir
tetapi sangat berbahaya (beracun) maka gas CO dijuluki sebagai silent
killer(pembunuh diam-diam). Campuran 1 volume CO dengan 0,5 volume O2 atau
campuran 1 volume CO dengan 2,5 volume udara, bila bertemu api akan meledak.
CO dapat bersenyawa dengan logam atau non logam, misalnya dengan klorin akan
terbentuk karbonil klorida (COCl) yaitu fosgen, gas beracun yang pernah dipakai
dalam peperangan.
BAB II
KARBON MONOKSIDA

A. Definisi dan Etiologi


Gas CO dapat ditemukan pada hasil pembakaran yang tidak sempurna dari karbon
dan bahan-bahan organik yang mengandung karbon. Sumber terpenting adalah motor
yang menggunakan bensin sebagai bahan bakar (Spark Ignition), karena campuran bahan
yang terbakar mengandung bahan bakar lebih banyak daripada udara sehingga gas yang
dikelyarkan mengandung 3-7% CO. Sebaliknya motor diesel dengan compression
ignition mengeluarkan sangat sedikit CO, kecuali bila motor berfungsi tidak sempurna
sehingga banyak menggunakan asap hitam yang mengandung CO.

Penyebab Keracunan Gas CO


Api dan ledakan
Kerusakan gas pemanas air
Tungku atau cerobong asap yang tersumbat
Gas perapian
Ventilasi yang buruk pada penggunaan parafin dan gas pemanas
Pembakaran batu bara atau kayu akibat kesalahan penggunaan atau ventilasi yang buruk
Emisi mobil, mesin yang menyala dalam ruangan yang terkurung
Penggunaan mesin pembakaran seperti pemotong rumput, gergaji mesin pada area yang
terkurung tanpa ventilasi
Memasak atau memanaskan dengan menggunakan arang di dalam rumah tanpa ventilasi
Penggunaan Metil Klorida pada area yang terkurung

Sumber lain CO adalah gas arang batu yang mengandung kira-kira 5% CO, alat
pemanas berbahan bakar gas, lemari es gas, dan cerobong asap yang tidak berfungsi
dengan baik. Gas alam jarang sekali mengandung CO , tetapi pembakaran gas alam yang
tidak sempurna tetap akan menghasilkan CO. Pada kebakaran juga akan terbentuk CO.
Asap tembakau dalam orofaring menyebabkan konsentrasi yang diinhalasi menjadi kira-
kira 500 ppm. Pada alat pemanas air berbahan bakar gas , jelaga yang tidak dibersihkan
pada pipa air yang dibakar akan memudahkan terjadinya gas CO yang berlebihan.
Inhalasi emisi methylene chloride yang berasal dari cat jarang menyebabkan
keracunan. Pada hati, senyawa ini dikonversi menjadi karbonmonoksida.
Gas karbon monoksida juga diproduksi secara endogen dalam jumlah kecil
dari proses katabolisme heme. Bersama dengan nitrit oksida gas ini mempengaruhi
fungsi seluler dan bertindak seperti neurotransmiter.

Karakteristik
Karbon monoksida (CO) adalah suatu gas yang tidak berwarna, tidak berbau,
tidak berasa, mudah terbakar, tidak mengiritasi namun sangat beracun. Dari sifat-sifat
tersebut karbon monoksida dikenal sebagai silent killer. Untuk mengukur kadar CO
tersebut, digunakan Gas Analyzer dengan satuan persen volume. Satuan konsentrasi CO
di udara adalah ppm atau parts per million. Dimana 1 ppm setara dengan 10-4 %.

Menurut WHO, paparan CO dengan konsentrasi 100 mg/m3 (87,3 ppm), 60


mg/m3 (52,38 ppm), 30 mg/m3 (26,19 ppm), 10 mg/m3 (8,73 ppm) memiliki durasi
batas normal paparan secara berturut-turut hanya selama 15 menit, 10 menit, 1 jam dan
8 jam. Efek yang ditimbulkan dari paparan CO dengan konsentrasi dan durasi paparan
yang melebihi konsentrasi normal dapat menyebabkan gangguan pada kesehatan yaitu
gangguan pada sistem kardiologi, hematologi, neurologi dan respirologi.

Dalam tubuh manusia, afinitas hemoglobin untuk mengikat CO 200-250 kali


besarnya daripada afinitas hemoglobin untuk mengikat oksigen. CO mudah bereaksi
dengan hemoglobinmembentuk karboksihemoglobin (COHb). Selebihnya CO akan
mengikatkan diri dengan mioglobin dan beberapa protein heme ekstravaskular lain,
seperti cytochrome c oxidase, cytochrome P 450, oxygenase triptofan dan dopamin
hydroxylase. Akibatnya, pengangkutan oksigen dari paru-paru ke jaringan terganggu
sehingga jaringan tubuh mengalami hipoksia karena tidak mendapatkan oksigen untuk
melakukan oksidasi. Konsentrasi CO yang tinggi di dalam darah dalam waktu hitungan
menit dapat menyebabkan distres pernapasan dan kematian.

Batas pemaparan CO yang diperbolehkan oleh Occupational Safety and Health


Administration(OSHA) adalah 35 ppm untuk waktu 8 jam/hari kerja. Kadar yang
dianggap langsung berbahaya terhadapkehidupan atau kesehatan adalah 1500 ppm
(0,15%). Paparan dari 1000 ppm (0,1%) selama beberapa menit dapat menyebabkan
50% kejenuhan dari karboksihemoglobin (COHb) dan dapat Berakibat fatal.

Berikut adalah tabel mengenai efek pajanan gas CO:

Tabel 1. Efek Pajanan Gas CO

CO (ppm) COHb (%) Tanda dan gejala


10 2 Tidak ada gejala
70 10 Tidak ada efek yang berarti, kecuali sesak
napas saat aktivitas kuat, tidak nyaman di
d a h i , p e l e b a r a n pembuluh darah kulit
120 20 Sesak napas saat aktivitas sedang sakit
kepala sesekali dengan denyutan di pelipis
220 30 Sakit kepala,mudah marah, mudah lelah,
keremangan penglihatan
350520 4050 Sakit kepala, kebingungan, kolaps, pingsan
8001220 6070 Tidak sadar, kejang intermiten, gagal
napas, kematian jika paparan terus menerus
1950 80 Fatal

Namun jika orang yang telah menghirup CO dipindahkan ke udara yang bersih
dan berada dalam keadaan istirahat, maka kadar COHb semula akan berkurang 50%
dalam waktu 4,5 jam dan selanjutnya sisa COHb akan berkurang 810% setiap jamnya.
Sehingga dalam 68 jam darah tidak lagi mengandung cohb. Selain itu eritrosit tidak
mengalami kerusakan setelah Hb dilepaskan dari ikatan COHb.

Epidemiologi
Gas CO adalah penyebab utama dari kematian akibat keracunan di
Amerika Serikat dan lebih dari separo penyebab keracunan fatal lainnya di
seluruh dunia. Terhitung sekitar 40.000 kunjungan pasien pertahun di unit gawat
darurat di Amerika Serikat yang berhubungan dengan kasus intoksikasi gas
CO dengan angka kematian sekitar 500-600 pertahun yang terjadi pada 1990an.
Sekitar 25.000 kasus keracunan gas CO pertahun dilaporkan terjadi di Inggris. Dengan
angka kematian sekitar 50 orang pertahun dan 200 orang menderita cacat berat akibat
keracunan gas CO.
Di Singapura kasus intoksikasi gas CO termasuk jarang. Di Rumah sakit Tan
Tock Seng Singapura pernah dilaporkan 12 kasus intoksikasi gas CO dalam 4 tahun
(1999-2003). Di Indonesia belum didapatkan data berapa kasus keracunan gas CO
yang terjadi pertahun yang dilaporkan.
Kelompok Resiko Tinggi. (1) Kasus kematian akibat kebakaran gedung atau
bangunan disebabkan karena keracunan CO, oleh karena itu petugas pemadam
kebakaran merupakan yang beresiko tinggi mendapat keracunan CO. (2) Pengecat
yang menggunakan cat yang mengandung metilin klorida, asapnya mudah diserap
melalui paru-paru dan mudah masuk ke peredaran darah, metilin klorida ditukar
ke karbon monokisida di hati. (3) Perokok adalah salah satu kelompok yang beresiko
keracunan CO karena asap tembakau merupakan salah satu sumber CO dan
mengandung 4% CO. (5) Bayi, anak-anak dan mereka yang mengalami masalah
kardiovaskuler lebih mudah beresiko keracunan karbon monoksida, walaupun pada
kepekatan yang rendah.

B. Struktur Kimia, Farmakokinetik, Farmakodinamik dan Patofisiologi


CO hanya diserap melalui paru dan sebagian besar diikat oleh hemoglobin
secara reversibel, membentuk karboksi-hemoglobin. Selebihnya mengikat diri
dengan Mioglobin dan beberapa protein heme ekstravaskuler lain. CO bukan
merupakan racun yang kumulatif. Ikatan CO dengan Hb tidak tetap (reversibel) dan
setelah CO dilepaskan oleh Hb, sel darah merah tidak mengalami kerusakan. Bahaya
utama terhadap kesehatan adalah mengakibatkan gangguan pada darah. Batas
pemaparan karbon monoksida yang diperbolehkan oleh OSHA (Occupational Safety
and Health Administration) adalah 35 ppm untuk waktu 8 jam/hari kerja, sedangkan
yang diperbolehkan oleh ACGIH TLV-TWV adalah 25 ppm untuk waktu 8 jam.
Kadar yang dianggap langsung berbahaya terhadap kehidupan atau kesehatan adalah
1500 ppm (0,15%). Paparan dari 1000 pm (0,1%) selama beberapa menit dapat
menyebabkan 50% kejenuhan dari karboksi hemoglobin dan dapat berakibat fatal.
Karbon monoksida

Nama IUPAC
Karbon monoksida
Nama lain
Karbonat Oksida
Sifat
Rumus Molekul CO
Massa Molar 28,0101 g/mol
Penampilan Tak berwarna, gas tak berbau
3
0,789 g/cm
0
1,250 g/L pada 0 C, 1 atm
Densitas 0
1,145 g/L pada 25 C, 1 atm
(lebih ringan dari udara)
0
Titik lebur -205 C (68 K)
0
Titik didih -192 C (81 K)
0
Kelarutan dalam air 0,0026 g/100 ml (20 C)
-31
Momen Dipol 0,112 D (3,74 x 10 C-m)
Bahaya
Klasifikasi EU Sangat mudah terbakar
Titik nyala Gas mudah terbakar

Absorbsi atau ekskresi CO ditentukan oleh akdar CO dalam udara lingkungan


(ambient air), kadar COHb sebelum pemaparan (Kadar COHb inisial), lamanya
pemaparan dan ventilasi paru.
Gambar. Skema penyimpanan dan Transpor CO

Bila orang yang telah mengabsorbsi CO dipindahkan ke udara bersih dan


berada dalam keadaan istirahat, maka kadar COHb semula akan berkurang 50% dalam
waktu 4-5 jam. Dalam waktu 6-8 jam darahnya tidak mengandung COHb lagi.
Inhalasi O2 mempercepat ekskresi CO sehingga dalam waktu 30 menit kadar COHb
telah berkurang setengahnya dari kadar semula. Umumnya kadar COHb akan
berkurang 50% bila penderita CO akut dipindahkan ke udara bersih dan
selanjutnya sisa COHb akan berkurang 8-10% setiap jamnya. Hal ini penting untuk
dapat mengerti mengapa kadar COHb dalam darah korban rendah atau negatif pada
saat diperiksa, sedangkan korban menunjukkan gejala dan atau kelainan
histopatologis yang lazim ditemukan pada keracunan CO akut.
CO bereaksi dengan Fe dari porfirin dan karena itu CO bersaing dengan O2
dalam mengikat protein heme yaitu hemoglobin, mioglobin, sitokrom oksidase
(sitokrom a, a3) dan sitokrom p-450, peroksidase dan katalase.
Gambar. Skema umum rangkaian monooksigenasi sitokrom p450

Yang terpenting adalah reaksi CO dengan Hb dan sitokrom a3. Dengan


diikatnya Hb menjadi COHb, mengakibatkan Hb menjadi inaktif sehingga darah
berkurang kemampuannya untuk menganggkut O2. Selain itu, adanya COHb dalam
darah akan menghambat disosiasi Oxi-Hb. Dengan demikian jaringan akan mengalami
hipoksia. Reaksi CO dengan sitokrom a3 yang merupakan link yang penting dalam
sistem enzim pernapasan sel yang terdapat dalam mitikondria akan menghambat
pernapasan sel dan mengakibatkan hipoksia jaringan.
Hipoksia jaringan ini mempresipitasi sel endothelial dan platelet untuk
melepaskan nitrit oxide yang kemudian membentuk radikal bebas peroxynitrate. Lebih
jauh pada otak kejadian ini menyebabkan gangguan mitokondia, kebocoraan kapiler,
sekuestrasi leukosit dan apoptosis. Perubahan patologis lebih sering pada fase
pemulihan (reperfusi) saat peroksidasi lipid (degradasi unsaturated fatty acids) terjadi.
Kejadian ini kemudian menyebabkan dimielinisasi reversibel pada otak.
Perubahan ini dapat dilihat dengan jelas dengan menggunakan MRI (Magnetic
Resonance Imaging). Karbon monoksida memiliki predileksi untuk membentuk
daerah batas pemisah pada otak saat disana terjadi kekurangan suplai darah.
Ganglia basalis, dengan konsumsi oksigen yang tinggi adalah bagian yang paling
sering terkena. Daerah lain yang biasa terkena efek gas CO adalah bagian putih dari
otak, hipokampus dan serebelum.
Konsentrasi CO dalam udara lingkungan dan lamanya inhalasi menentukan
kecepatan timbulnya gejala-gejala atau bahkan kematian.
50 ppm (0,005%) adalah TLV (Threshold Limit Value, nilai ambang
batas) gas CO yaitu konsentrasi CO dalam udara lingkungan yang
dianggap aman pada inhalasi selama 8 jam setiap hari dan 5 hari setiap
minggu untuk jumlah tahun yang tidak terbatas.
Pada 200 ppm (0,02%), inhalasi 1-3 jam akan mengakibatkan
kadar COHb mencapai 15-20% saturasi dan gejala keracunan CO
mulai timbul.
Pada 1000 ppm (0,1%), inhalasi 3 jam dapat menyebabkan kematian,
sedangkan pada 3000 ppm (0,3%), inhalasi 2 jam sudah dapat
menyebabkan kematian.
Pada 10.000 ppm (1%) inhalasi 15 menit dapat menyebabkan
kehilangan kesadaran dengan COHb 50% saturasi, sedangkan inhalasi
20 menit menyebabkan kematian dengan COHb 80% saturasi.
Rumus Handerson dan Haggard berlaku bagi orang dalam keadaan
istirahat. Konsentrasi CO dalam udara dinyatakan dalam ppm dan lamanya inhalasi
dalam jam. Bila hasil perkalian (Waktu) dan (Konsentrasi) = 300, tidak ada gejala
yang muncul. Bila hasil perkalian adalah 900, telah timbul gejala sakit kepala
rasa lelah dan mual, sedangkan hasil 1500 menandakan bahaya dan dapat berakibat
fatal.
Selain konsentrasi CO dalam udara, lamanya inhalasi, ventilasi paru dan kadar
COHb sebelum terkena CO, terdapat faktor faktor lainyang turut mempengaruhi
toksisitas CO yakni aktivitas fisik, penyakit yang menyebabkan gangguan
oksigenasi jaringan seperti arteriosklerosis pembuluh darah otak dan jantung,
emfisema paru, asma bronchial, TB paru, dan penyakit hipermetabolik. Juga
adanya alkohol, barbiturate, morfin dan obat-obatan lain yang menyebabkan depresi
susunan saraf pusat.
Saat konsentrasi CO meningkat dengan signifikan, akan terjadi peningkatan
ventilasi juga akan menyebabkan peningkatan ambilan CO. Pada kasus ini,
mekanisme kontrol pusat pernapasan berusaha untuk meningkatkan PaO2 sebagai
respon untuk menurunnya pengantaran oksigen ke jaringan. Namun
mekanisme ini justru menyebabkan lingkaran setan yang meningkatkan respirasi
yang mengakibatkan ambilan CO menjadi lebih besar. Kondisi ini kemudian
menyebabkan hipoksia yang lebih parah.
Ada tiga mekanisme yang menyebabkan cedera pada trauma inhalasi, yaitu
kerusakan jaringan karena suhu yang sangat tinggi, iritasi paru-paru dan
asfiksia. Hipoksia jaringan terjadi karena sebab sekunder dari beberapa mekanisme.
Proses pembakaran menyerap banyak oksigen, dimana di dalam ruangan sempit
seseorang akan menghirup udara dengan konsentrasi oksigen yang rendah sekitar 10-
13%. Penurunan fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) akan menyebabkan hipoksia.
Keracunan karbon monoksida dapat menyebabkan turunnya kapasitas transportasi
oksigen dalam darah oleh hemoglobin dan penggunaan oksigen di tingkat seluler.
Karbon monoksida mempengaruhi berbagai organ di dalam tubuh, organ yang paling
terganggu adalah yang mengkonsumsi oksigen dalam jumlah besar, seperti otak dan
jantung. Hipoksia yang memanjang akibat peningkatan kadar CO dapat menyebabkan
aritmia atau gagal jantung dan berbagai macam sekuel neurologis. Beberapa literatur
menyatakan bahwa hipoksia ensefalopati yang terjadi akibat dari keracunan CO
adalah karena injuri reperfusi dimana peroksidasi lipid dan pembentukan radikal
bebas yang menyebabkan mortalitas dan morbiditas.
Gambar. Dehalogenisasi reduksi karbon tetraklorida menjadi radikal
bebas triklorometil yang menginisiasi peroksidasi lipid

Efek toksisitas utama adalah hasil dari hipoksia seluler yang disebabkan oleh
gangguan transportasi oksigen. CO mengikat hemoglobin secara reversibel, yang
menyebabkan anemia relatif karena CO mengikat hemoglobn 230-270 kali lebih kuat
daripada oksigen. Kadar HbCO 16% sudah dapat menimbulkan gejala klinis. CO yang
terikat hemoglobin menyebabkan ketersediaan oksigen untuk jaringan menurun.
Peningkatan konsentrasi CO menyebabkan oksigen tidak memiliki tempat di
hemoglobin kemudian membuat kurva disosiasi oksihemoglobin bergeser ke kiri
menghasilkan penurunan PaO2 di setiap level kadar saturasi hemoglobin dan ini
kemudian menyebabkan penurunan oksigen yang diantarkan ke jaringan.
Gambar. Efek dari CO pada kurva disosiasi oksihemoglobin. Kurva bergeser ke kiri yang berarti oksigen
terikat lebih kuat pada konsentrasi yang lebih rendah.
Gambar. Patofisiologi Keracunan CO
Ikatan antara CO dengan hemoglobin membuat perubahan alosterik pada
kompleks oksihemoglobin dan menggeser kurva disosiasi oksigen ke kiri. Pergeseran ini
menyebabkan peningkatan afinitas hemoglobin terhadap setiap oksigen yang terikat yang
kemudian menyebabkan penurunan desaturasi hemoglobin dan pelepasan oksigen di
perifer. Karena itu, hipoksia jaringan akibat keracunan CO lebih besar daripada yang
diharapkan pada penurunan PaO2 sederhana.

Gambar. Skema Patofisiologi Keracunan CO

Selain hemoglobin, protein yang mengandung heme lainnya juga terpengaruh


oleh CO. Terletak pada jaringan ekstravaskular, protein ini mengandung sekita 10%-15%
dari total CO yang terdapat di dalam tubuh. Di dalamnya termasuk adalah sitokrom
oksidase dan mioglobin. Penghambatan respirasi selular akibat pengikatan CO dengan
sitokrom oksidase dianggap memainkan peran penting terhadap kerusakan jaringan.
Bagaimanapun, faktanya protein heme memiliki afinitas delapan kali lebih tinggi
terhadap oksigen daripada CO menimbulkan keraguan terhadap hipotesis di atas. Ikatan
CO pada myoglobin tidak diragukan lagi menyebabkan penurunan persediaan oksigen di
otot. Pada miokardium, ini dapat menjadi bencana besar yang kemudian dapat berubah
menjadi aritmia dan gagal jantung. Lebih jauh lagi, iskemik cerebral yang diakibatkan
oleh penurunan fungsi jantung mungkin menjadi penyebab beberapa sekuel neurologic
dari intoksikasi CO.
CO mengikat myoglobin jantung lebih kuat daripada mengikat hemoglobin yang
menyebabkan depresi miokard dan hipotensi yang menyebabkan hipoksia jaringan.
Keadaan klinis sering tidak sesuai dengan kadar HbCO yang menyebabkan
kegagalanrespirasi di tingkat seluler. CO mengikat cytochromes c dan P450 yang
mempunyai daya ikat lebih lemah dari oksigen yang diduga menyebabkan defisit
neuropsikiatris. Beberapa penelitian mengindikasikan bila CO dapat menyebabkan
peroksidasi lipid otak dan perubahan inflamasi di otak yang dimediasi oleh lekosit.
Proses tersebut dapat dihambat dengan terapi hiperbarik oksigen. Pada intoksikasi berat,
pasien menunjukkan gangguan sistem saraf pusat termasuk demyelisasi substansia alba.
Hal ini menyebabkan edema dan dan nekrosis fokal. Penelitian terakhir menunjukkan
adanya pelepasan radikal bebas nitric oxide dari platelet dan lapisan endothelium
vaskuler pada keadaan keracunan CO pada konsentrasi 100 ppm yang dapat
menyebabkan vasodilatasi dan edema serebri. CO dieliminasi di paru-paru. Waktu paruh
dari CO pada temperatur ruangan adalah 3 - 4 jam. Seratus persen oksigen dapat
menurunkan waktu paruh menjadi 30-90 menit, sedangkan dengan hiperbarik oksigen
pada tekanan 2,5 atm dengan oksigen 100% dapat menurunkan waktu paruh samapai 15-
23 menit.

C. Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Presentasi klinis dari keracunan CO akut sangat bervariasi dapat ringan, sedang
dan berat, tetapi secara umum, keparahan dari gejala yang muncul berkorelasi dengan
level COHb seperti pada tabel di bawah. Walaupun begitu, dalam mendiagnosis, tidak
adanya gejala yang sepsifik membuat diagnosis menjadi sulit. Pada kasus keracunan
kronik biasanya berbahaya dan seringkali salah didiagnosis dengan flu, depresi,
keracunan makanan, atau gastroenteritis pada anak. Oleh sebab itu, perhatian khusus
terhadap riwayat pasien menjadi sangat penting. Jika tidak diketahui riwayat paparan
maka perlu mengenali gejala keracunan pada seluruh sistem tubuh.

Gambar. Spektrum dari tanda dan gejala yang muncul akibat paaparan CO
berdasarkan level dan durasi paparan.
Tabel. Presentase Gejala Akut Setelah Paparan CO
Fakta yang paling sering terekspos dimana terdapa kasus banyak orang yang
memiliki gejala dan paparan lingkungan yang sama. Yang lainnya mengatakan fakta
bahwa kejadian sakitnya hewan peliharaan terjadi bersamaan atau mendahului kejadian
sakit pemiliknya. Akibat dari ukurannyaa yang kecil dan metabolisme yang tinggi, hewan
peliharaan akan lebih menampakkan gejala dan gejala yang muncul juga lebih parah
daripada pemiliknya. Pada kasus pajanan seorang diri, riwayat pajanan untuk mengetahui
sumber dari CO dapat menunjukkan ke arah kemungkinan intoksikasi CO. Banyak kasus
ini yang terkait dengan pekerjaan.

Efek yang paling sering muncu dari keracunan CO adalah hipoksia jaringan. Efek
ini akan lebih signifikan pada daerah dengan aliran darah dan penggunaan oksigen yang
banyak. Atas alasan ini, tidak terlalu mengejutkan jika manifestasi pada sistem saraf dan
kardivaskular menjadi gejala yang biasa muncul karena saraf, jantung dan pembuluh
darah adalah jaringan yang memiliki resiko terbesar pada kasus intoksikasi CO.
Gejala yang biasa muncul adalah kelelahan, sakit kepala, pusing, kesulitan
berpikir, mual, dipsneu, kelemahan dan konfusi. Diare, nyeri perut, gangguan
penglihatan, dan nyeri dada lebih jarang ditemukan. Dari gejala-gejala ini, kita dapat
melihat kenapa diagnosis influenza karena virus sering dibuat khususnya pada saat ada
riwayat angggota keluarga yang lain yang memiliki keluhan yang sama. Perlu diketahui
kejadian keracuanan CO cenderung meningkat saat bulan-bulan musim dingin akibat
peningkatan penggunaan pemanas ruangan.
Kesalahan diagnosis sering terjadi karena beragamnya keluhan dan gejala pada
pasien. Gejala-gejala yang muncul sering mirip dengan gejala penyakit lain. Pada
anamnesa secara spesifik didapatkan riwayat paparan oleh gas CO. Gejala-gejala yang
muncul sering tidak sesuai dengan kadar HbCO dalam darah. Penderita trauma inhalasi
atau penderita luka bakar harus dicurigai kemungkinan terpapar dan keracunan gas CO.
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan takikardi, hipertensi atau hipotensi, hipertermia,
takipnea. Pada kulit biasanya didapatkan wama kulit yang merah seperti buah cherry, bisa
juga didapatkan lesi di kulit berupa eritema dan bula.
Gejala keracunan CO berkaitan dengan kadar COHb di dalam darah.
% Saturasi COHb Gejala-gejala
10 Tidak ada
10-20 Rasa berat pada kening, mungkin sakit kepala ringan, pelebaran
pembuluh darah subkutan, dipsneu, gangguan koordinasi,
20-30 Sakit kepala, berdenyut pada pelipis, emosional
30-40 Sakit kepala keras, lemah, pusing, penglihatan buram, mual,
muntah, kolaps.
40-50 Sama dengan yang tersebut di atas tetapi dengan kemungkinan
besar untuk kolaps atau sinkop. Pernapasan dan nadi bertambah
cepat, ataksia
50-60 Sinkop, pernapasan dan nadi bertambah cepat, koma dengan
kejang intermittent, pernapasan cheyne stokes.
60-70 Koma dengan kejang, depresi jantung dan pernapasan, mungkit
mati
70-80 Nadi lemah, pernapasan lambat, gagal pernapasan dan mati

Pada pemeriksaan fisik, seperti gejala dapat membantu untuk menegakkaan


diagnosis. Takikardia dan takipneu biasa muncul sebagai cara sistem respirasi dan
kardiovaskuler untuk mengkompensasi penurunan pengangkutan oksigen ke perifer.
Hipertensi ringan dapat muncul pada beberapa pasien, sedangkan pada pasien yang lain
dapat muncul hipotensi akibat hipoksia miokardium. Pada manusia yang sehat,
peningkatan aliran darah akibat kompensasi dilatasi arteri koroner cukup untuk
memenuhi kebutuhan jantung. Pada pasien dengan riwayat aterosklerosis mungkin tidak
bisa memenuhi kebutuhan jantung, dan pada pasien seperti ini aritmia dapat menjadi
catatan. Edema pulmoner juga dapat muncul pada pasien dengan keracunan CO. kelainan
kardiovaskuler ini bisa mulai muncul pada kadar CO 5% atau 45 ppm.
Penemuan neurologis yang biasa ditemukan adalah sakit kepala, mual, muntah,
pusing, letargi dan kelemahan. Pada bayi, mungkin muncul iritabilitas dan tidak mau
makan, pingsan, dan kejang. Pada kasus yang akut, abnormalitas yang biasa muncul
adalah cogwheel rigidity, opistotonus, dan flasiditas atau spastisitas.
Selain itu juga bisa didapatkan abnormalitas audiovestibular. Tinnitus dan tuli
sensorineural dapat ditemukan. Nistagmus dan ataaksia juga dapat muncul. Pada kasus
keracunan yang ekstrim dapat menyebabkan edema serebri. CT Scan dan MRI
menunjukkaan bagian putih lebih sensitif terhadap hipoksia serebral pada keracunan CO.
meskipun bagian abu-abu memiliki metabolisme oksigen yang lebih besar, bagian putih
memiliki limit toleransi suplai vaskuler yang terbatas akibat penurunan tekanan oksigen
dan ini meningkatkan kerantanan akan kerusakan selama terjadi hipoksia jaringan. Sekuel
yang terlambal, muncul pada lebih dari 45% pasien yang muncul secara perlahan dari
tiga hari sampai tiga minggu setelah paparan awal dan terapi pada keracunan akut.
Pembentukan dari sekuel yang terlambat dapat diprediksikan dengan munculnya
perubahan neurologis yang dilihat dengan CT Scan dalam waktu 24 jam setelah paparan.
hasilnya berupa gangguan neurologis berupa deteriorasi intelektual, gangguan memori,
dan perubahan kepribadian dengan manifestasi berupa peningkatan iritabilitas, agresivitas
dan kekerasan. Kejadian sekuel yang terlambat ini, biasa terjadi pada pasien dengan
penurunan level kesadaran saat terjadi paparan. Jika diberikan terapi yang tepat, saat
terapi awal, banyak dari sekuel ini dapat di cegah.
Warna merah (Cherry-red) pada kulit menjadi tanda sepesifik pada keracunan
CO, tetapi ini jarang ditemukan. Perdarahan retina, jarang ditemui, namun jika ada dapat
menguatkan diagnosis. Penemuan tanda inhalasi asap seperti rambut hidung yang
terbakar, mucus yang hangus, atau trauma pada mukosa hidung dapat menjadi perhatian.
Jika tanda ini ditemukan, kemungkinan pasien menderita keracunan CO yang berat.
Pada korban koma dapat ditemukan sianosis dan pucat, pernapasan cepat,
mungkin pernapasan cheyne-stokes menjelang kematian pernapasan menjadi lambat.
Nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah, pupil melebar, dan reaksi cahaya
menghilang, suhu badan di bawah normal, tetapi pada keadaan terminal mungkin malah
terjadi hipertermia.
Pada elektrokardiogram mungkin ditemukan gelombang T mendatar atau negatif,
tanda insufisiensi koroner, ekstrasistole, dan fibrilasi atrium. Pada pemeriksaan
laboratorium mungkin dijumpai leukositosis, hiperglikemia dengan glukosuria,
albuminuria dan peninggian SGOT, MDH dan SDH serum. Perubahan kadar
gammaglobulin juga pernah dilaporkan. Peningkatan kreatin fosfokinase mengikuti
nekrosis otot. Hipoksemia jaringan menyebabkan asidemia laktat. Keracunan kronik pada
ibu hamil dapat menyebabkan retardasi pertumbuhan, fetal distress, dan kematian. Bila
bisa bertahan, mungkin dapat terjadi gangguan perkembangan dan kerusakan otak.
Keracunan kronik dalam arti penimbunan CO di dalam tubuh tidak terjadi. Akan
tetapi pemaparan CO berulang-ulang yang menyebabkan hipoksia berulang-ulang pada
susunan saraf pusat akan menyebabkan kerusakan yang berangsur-angsur bertambah
berat. Gejala yang mungkin ditemukan adalah anastesia pada jari-jari tangan, daya ingat
berkurang, Romberg dan gangguan mental.
Diagnosis kematian akibat keracunan gas CO ditegakkan dengan bantuan hasil
pemeriksaan di TKP (tempat kejadian perkara) atau gambaran klinik saat korban baru
dirawat.

D. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Analisa kadar HbCO membutuhkan alat ukur spectrophotometric yang
khusus. Kadar HbCO yang meningkat menjadi signifikan terhadap paparan gas
tersebut. Sedangkan kadar yang rendah belum dapat menyingkirkan kemungkinan
terpapar, khususnya bila pasien telah mendapat terapi oksigen 100% sebelumnya
atau jarak paparan dengan pemeriksaan terlalu lama. Pada beberapa perokok,
terjadi peningkatan ringan kadar CO sampai 10%. Pemeriksaan gas darah arteri
juga diperlukan. Tingkat tekanan oksigen arteri (PaO2) harus tetap normal.
Walaupun begitu, PaO2 tidak akurat menggambarkan derajat keracunan CO atau
terjadinya hipoksia seluler. Saturasi oksigen hanya akurat bila diperiksa langsung,
tidak melaui PaO2 yang sering dilakukan dengan analisa gas darah. PaO2
menggambarkan oksigen terlarut dalam darah yang tidak terganggu oleh
hemoglobin yang mengikat CO.
Untuk penentuan COHb secara kualitatif dapat dikerjakan uji dilusi
alkali. Caranya adalah sebagai berikut :
Ambil 2 tabung reaksi, masukkan ke dalam tabung pertama 1-2 tetes darah
korban dan tabung kedua 1-2 tetes darah normal sebagai kontrol.
Encerkan masing-masing darah dengaan menambahkan 10 ml air
sehingga warna merah pada kedua tabung kurang lebih sama.
Tambahkan pada masing-masing tabung 5 tetes larutan NaOH 10-20%
lalu dikocok.
Darah normal segera berubah warna menjadi merah-hijau kecoklatan
karena segera terbentuk hematin alkali, sedangkan darah yang
mnegandung COHb tidak berubah warnanya selama beberapa waktu ,
tergantung pada konsentrasi COHb, karena COHb bersifat lebih resisten
terhadap pengaruh alkali.
COHb dengan kadar saturasi 20% member warna merah muda yang
bertahan selama beberapa detik dan setelah 1 menit baru berubah warna
menjadi coklat kehijauan.

Perlu diperhatikan bahwa darah yang dapat digunakan sebagai kontrol


dalam uji dilusi alkali ini haruslah darah dengan Hb yang normal. Jangan gunakan
darah fetus karena juga resisten terhadap alkali.
Selain dengan uji dilusi alkali seperti di atas, dapat juga dengan
menggunakan uji formalin (Eachlolz-Liebman) yakni dengan cara darah yang
akan diperiksa ditambahkan larutan formalin 40% sama banyaknya. Bila darah
mengandung COHb 25% saturasi maka akan terbentuk koagulat berwarna merah
yang mengendap pada dasar tabung reaksi. Semakin tinggi kadar COHb, semakin
merah warna koagulatnya, sedangkan pada darah normal akan terbentuk koagulat
yang berwarna cokelat.
Pemeriksaan adanya COHb dalam darah juga dapat melalui penentuan
secara spektroskopis. Pemeriksaan kuantitatif CO dapat dilakukan dengan cara
Getler-Freimuth, spektrofotometrik maupun kromatografi gas.
Cara Getler-Freimuth (Semi-kuantitatif) menggunakan prinsip sebagai
berikut :
Darah + Kalium ferisianida CO dibebaskan dari COHb

CO + PdCl2 +H2O Pd + CO2 + HCl

Paladium (Pd) ion akan diendapkan pada kertas saring berupa endapan
berwarna hitam. Dengan membandingkan intensitas warna hitam tersebut dengan
warna hitam yang diperoleh dari pemeriksaan terhdap darah dengan kadar COHb
yang telah diketahui., maka dapat ditentukan konsentrasi COHb secara semi-
kuantitatif.
Cara spektrofotometrik adalah cara terbaik untuk melakukan analisis CO
atas darah segar korban keracunan CO yang masih hidup, karena hanya dengan
cara ini dapat ditentukan rasio COHb : OxiHb. Darah mayat adalah darah yang
tidak segar, sehingga memberikan hasil yang tidak dapat dipercaya.
Cara kromatografi gas banyak dipakai untuk mengukur kadar CO dari
sampel darah mayat (darah tidak segar) dan cukup dapat dipercaya.

Gambar. Instrumen Kromatografi Gas

2) Pemeriksaan Pencitraan
X-foto thorax. Pemeriksaan x-foto thorax perlu dilakukan pada kasus-
kasus keracunan gas dan saat terapi oksigen hiperbarik diperlukan. Hasil
pemeriksaan xfoto thorax biasanya dalam batas normal. Adanya gambaran
ground-glass appearance, perkabutan parahiler, dan intra alveolar edema
menunjukkan prognosis yang lebih jelek.
CT scan. Pemeriksaan CT Scan kepala perlu dilakukan pada kasus
keracunan berat gas CO atau bila terdapat perubahan status mental yang tidak
pulih dengan cepat. Edema serebri dan lesi fokal dengan densitas rendah pada
basal ganglia bisa didapatkan dan halo tersebut dapat memprediksi adanya
komplikasi neurologis. Pemeriksaan MRI lebih akurat dibandingkan dengan CT
Scan untuk mendeteksi lesi fokal dan demyelinasi substansia alba dan MRI sering
digunakan untuk follow up pasien. Pemeriksaan CT Scan serial diperlukan jika
terjadi gangguan status mental yang menetap. Pernah dilaporkan hasil CT Scan
adanya hidrosefalus akut pada anak-anak yang menderita keracunan gas CO.

3) Pemeriksaan Lain-lain
Elektrokardiogram. Sinus takikardi adalah ketidaknormalan yang sering
didapatkan. Adanya aritmia mungkin disebabkan oleh hipoksia iskemia atau
infark. Bahkan pasien dengan kadar HbCO rendah dapat menyebabkan
kerusakkan yang serius pada pasien penderita penyakit kardiovaskuler.
Pulse oximetry. Cutaneus pulse tidak akurat untuk mengukur saturasi
hemoglobin yang dapat naik secara semu karena CO yang mengikat hemoglobin.
Cooximetry (darah arteri) menggunakan tehnik refraksi 4 panjang gelombang
dapat secara akurat mengukur kadar HbCO.

E. Komplikasi
Keracunan ringan karbon monoksida dapat meninggalkan sisa nyeri kepala pada
korban yang telah disembuhkan. Ini tidak perlu mendapatkan pengobatan khusus karena
akan hilang dengan sendirinya.
Penderita keracunan karbon monoksida yang sempat mengalami koma, bila
kemudian sembuh, mungkin akan menderita gejala sisa akibat kerusakan yang terjadi
pada sel-sel susunan saraf pusat, yang dapat berupa gejala disorientasi, amnesia
retrograde, parkinsonisme atau sindroma post-ensefalitis.

F. Penanganan dan Terapi


Penanganan pada kasus keracunan karbon monoksida diarahkan pada perbaikan
hipoksia jaringan dan menghilangkan karbon monoksida dari dalam tubuh. Pemberian
100% oksigen normobarik direkomendasikan pada banyak kasus, sedangkan terapi
oksigen hiperbarik digunakan untuk keracunan yang parah.
1) Perawatan Sebelum Tiba di Rumah Sakit
Memindahkan pasien dari paparan gas CO dan memberikan terapi oksigen
dengan masker nonrebreathing adalah hal yang penting. Intubasi diperlukan pada
pasien dengan penurunan kesadaran dan untuk proteksi jalan nafas. Kecurigaan
terhadap peningkatan kadar HbCO diperlukan pada semua pasien korban
kebakaran dan inhalasi asa. Pemeriksaan dini darah dapat memberikan korelasi
yang lebih akurat antara kadar HbCO dan status klinis pasien. Walaupun begitu
jangan tunda pemberian oksigen untuk melakukan pemeriksaan tersebut. Jika
mungkin perkirakan berapa lama pasien mengalami paparan gas CO. Keracunan
CO tidak hanya menjadi penyebab tersering kematian pasien sebelum sampai di
rumah sakit, tetapi juga menjadi penyebab utama dari kecacatan.

2) Perawatan Saat di Unit Gawat Darurat


Target terapi pada keracunan CO akut adalah mereduksi kadar COHb di
dalam darah ke level dasar dengan pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi
membantu setiap sistem yang terpengaruh akibat hipoksia.
Pemberian oksigen 100 % dilanjutkan sampai pasien tidak menunjukkan
gejala dan tanda keracunan dan kadar HbCO turun dibawah 10%. Pada pasien
yang mengalami gangguan jantung dan paru sebaiknya kadar HbCO dibawah 2%.
Lamanya durasi pemberian oksigen berdasarkan waktu-paruh HbCO dengan
pemberian oksigen 100% yaitu 30 - 90 menit. Pertimbangkan untuk segera
merujuk pasien ke unit terapi oksigen hiperbarik, jika kadar HbCO diatas 40 %
atau adanya gangguan kardiovaskuler dan neurologis. Apabila pasien tidak
membaik dalam waktu 4 jam setelah pemberian oksigen dengan tekanan
normobarik, sebaiknya dikirim ke unit hiperbarik. Edema serebri memerlukan
monitoring tekanan intra cranial dan tekanan darah yang ketat. Elevasi kepala,
pemberian manitol dan pemberian hiperventilasi sampai kadar PCO2 mencapai
28-30 mmHg dapat dilakukan bila tidak tersedia alat dan tenaga untuk memonitor
TIK. Pada umumnya asidosis akan membaik dengan pemberian terapi
oksigen.

3) Terapi Oksigen Hiperbarik


Terapi oksigen hiperbarik (HBO) masih menjadi kontroversi dalam
penatalaksanaan keracunan gas CO. Meningkatnya eliminasi HbCO jelas terjadi,
pada beberapa penelitian terbukti dapat mengurangi dan menunda defek
neurologis, edema serebri, perubahan patologis sistem saraf pusat. Secara teori
HBO bermanfaat untuk terapi keracunan CO karena oksigen bertekanan tinggi
dapat mengurangi dengan cepat kadar HbCO dalam darah, meningkatkan
transportasi oksigen intraseluler, mengurangi aktifitas-daya adhesi neutrofil dan
dapat mengurangi peroksidase lipid.

Gambar. Terapi Oksigen Hiperbarik


Saat ini, indikasi absolut terapi oksigen hiperbarik untuk kasus keracunan
gas CO masih dalam kontroversi. Alasan utama memakai terapi HBO adalah
untuk mencegah defisit neurologis yang tertunda. Suatu penelitian yang dilakukan
perkumpulan HBO di Amerika menunjukkan kriteria untuk HBO adalah pasien
koma, riwayat kehilangan kesadaran , gambaran iskemia pada EKG, defisit
neurologis fokal, test neuropsikiatri yang abnormal, kadar HbCO diatas 40%,
kehamilan dengan kadar HbCO >25%, dan gejala yang menetap setelah
pemberian oksigen normobarik.
Tabel. Indikasi Penggunaan Terapi Oksigen Hiperbarik

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keracunan karbon monoksida (CO) beberapa tahun ini menjadi penyebab
kematian terbanyak untuk keracunan di Amerika Serikat. Paparan sublethal sangat sulit
untuk dibedakan sehingga sering menyebabkan kesalahan dalam diagnosis pada kasus
keracunan CO akut. Sumber dasar dari gas ini berasal dari pembakaran internal dengan
bahan bakar fosil. Gas CO meracuni manusia dengan berikatan dengan hemoglobin yang
kemudian menyebabkan hipoksia jaringan. Diagnosis keracunan CO sangat sulit
ditegakkan akibat tanda dan gejala yang tidak spesifik. Keparahan dari paparan gas CO
dapat dinilai dengan kadar CO yang ditemukan di darah.

B. Saran
Edukasi masyarakat tentang bahaya dari karbon monoksida dengan penekanan
pada keamanan di rumah dan tempat kerja merupakan kunci untuk edukasi yang efektif.
Edukasi professional yang ditargetkan pada komunitas kerja juga diperlukan. Pemikiran
ini dapat direalisasikan dengan optimalisasi media saat resiko terjadinya keracunan gas
CO meningkat seperti saat terjadi kebakaran hutan ataupun musibah lain yang bisa
menyebabkan keracunan gas CO. Karena insiden yang tinggi dari keracunan yang
diakibatkan oleh gas, harus ada peraturan yang ketat untuk gas industry di lingkungan
masyarakat. Kerjasama antara dokter kesehatan masyarakat dan pemilik dari gedung, gas
dan industri pemanas ruangan merupakan prasyarat untuk strategi pencegahan yang
efektif. Kolaborasi ini memastikan keamanan yang merata di semua lini.
DAFTAR PUSTAKA

Benneto, L., Powter, L., & Neil, S. J. (2008). Accidental Carbon Monoxide Poisoning Presenting
Without a History of Exposure : A Case Report. Journal of Medical Case Report, UK , 1-4.
Blumenthal, I. (2001). Carbon Monoxide Poisoning. Journal of The Royal Society of Medicine,
UK , 270-272.
Brenner, J. C. (2004). Forensic Science. Florida, USA: CRC Press.
Budiyanto, A., Widiatmaka, W., Sudiono, S., Mun`im, W. A., Sidhi, Hertian, S., et al. (1997).
Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Ernst, A., & Zibrak, J. D. (1998). Carbon Monoxide Poisoning. The New England Journal of
Medicine , 1603-1608.
Eugene, N. B., & Margaret, C. (2003). A Multicomponent model of cartoxyhemoglobin and
carboxyhemoglobin responses to inhalation of carbon monoxide. J Appl Physiol95 , 1235-
1247.
Grant, M. J., & Clay, B. (2002). Accidental Carbon Monoxide Poisoning With Severe
Cardiorespiratory Compromise in 2 Children. American Journal of Critical Care , 128-131.
Handa, P., & Tai, D. (2005). Carbon Monoxide Poisoning: A Five-year Review at Tan Tock
Seng Hospital, Singapore. Ann Acad Med Singapore , 611-614.
Hodgson, E. (2004). A Textbook of Modern Toxicology, Third Edition. New Jersey, USA: John
Wiley & Sons, Inc Publication.
Ilano, A. L., & Raffin, A. T. (1990). Management Of Carbon Monoxide Poisoning. Chest,
California, USA , 165-169.
Kao, L. W., & Nanagas, K. A. (2004). Carbon Monoxide Poisoning. Emerg MedClin N Arn22 ,
985-1018.
Klaassen, C. D. (2008). Toxicology, The Basic Science of Poisons Seventh Edition. Kansas City,
USA: McGraw-Hill.
Lane, T. R., Williamson, W. J., & Brostoff, J. M. (2008). Carbon Monoxide Poisoning in a
Patient with Carbon Dioxide Retention: a Therapeutic Challenge. Cases Journal, UK , 1-4.
Molina, D. (2010). Handbook of Forensic Toxicology for Medical Examiners. Florida, USA:
CRC Press.
Sampurna, B., Samsu, Z., & Siswaja, T. D. (2008). Peranan Ilmu Forensik Dalam Penegakan
Hukum; Sebuah Pengantar. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Soekamto, T. H., & Perdanakusuma, D. (n.d.). Intoksikasi Karbon Monoksida. Departemen/SMF
Ilmu Bedah Plastik FK UNAIR .
Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (2000).
Teknik Autopsi Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Thom, R. S., Fisher, D., Xu, Y. A., Garner, S., & Ischiropoulos, H. (1999). Role of Nitric Oxide-
Derived Oxidants in Vascular Injury from Carbon Monoxide in The Rat. Am J of Physiol ,
984-990.
Weaver, L. K. (2009). Carbon Monoxide Poisoning. The New England Journal of Medicine, UK
, 1217-1225.
Wu, C. T., Huang, J. L., & Hsia, S. H. (2009). Acute Carbon Monoxide Poisoning with Severe
Cardiopulmonary Compromise : a Case Report. Case Jurnal, Taiwan , 1-4.

Vous aimerez peut-être aussi