Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Karbon monoksida (CO) adalah racun yang tertua dalam sejarah manusia. Efek
mematikan dari gas CO sudah diketahui sejak dahulu di masa Yunani dan Roma, saat gas
ini digunakan untuk eksekusi. Claude Bernard pada tahun 1857 menemukan efek beracun
karbon monoksida yang disebabkan oleh pelepasan ikatan oksigen dari hemoglobin
menjadi bentuk carboxyhaemoglobin. Warberg pada tahun 1926 memakai kultur jamur
yeast untuk menunjukkan asupan oksigen oleh jaringan dihambat oleh paparan karbon
monoksida dalam jumlah yang besar. Di Amerika Serikat terdapat 50.000 kunjungan ke
instalasi gawat darurat terkait 600 kematian akibat keracunan gas ini. Karbon monoksida
(CO) adalah gas yang tidak berwarna dan tidak berbau yang dihasilkan dari proses
pembakaran yang tidak sempurna dari material yang berbahan dasar karbon seperti kayu,
batu bara, bahan bakar minyak dan zat-zat organik lainnya. Gas ini lebih ringan dari
udara sehingga mudah menyebar. Setiap korban kebakaran api harus dicurigai adanya
intoksikasi gas CO. Sekitar 50% kematian akibat luka bakar berhubungan dengan trauma
inhalasi dan hipoksia dini menjadi penyebab kematian lebih dari 50% kasus trauma
inhalasi. Intoksikasi gas CO merupakan akibat yang serius dari kasus inhalasi asap dan
diperkirakan lebih dari 80% penyebab kefatalan yang disebabkan oleh trauma inhalasi.
Setiap tahun di Inggris, terdapat 50 orang korban meninggal dan 200 orang cidera parah
akibat keracunan CO. Misdiagnosis tidak jarang terjadi karena gejala yang tidak khas dan
banyak manifestasi klinis yang timbul, sehingga diperlukan ketelitian yang tinggi dalam
menangani pasien dengan intoksikasi gas CO.
Banyak pembakaran yang menggunakan bahan bakar seperti alat pemanas dengan
menggunakan minyak tanah, gas, kayu dan arang yaitu kompor, pemanas air, alat
pembuangan hasil pembakaran dan lain-lain yang dapat menghasilkan karbon monoksida.
Pembuangan asap mobil mengandung 9% karbon monoksida. Pada daerah yang macet
tingkat bahayanya cukup tinggi terhadap kasus keracunan. Asap rokok juga mengandung
gas CO, pada orang dewasa yang tidak merokok biasanya terbentuk karboksi
haemoglobin tidak lebih dari 1 % tetapi pada perokok yang berat biasanya lebih tinggi
yaitu 5 10 %. Pada wanita hamil yang merokok, kemungkinan dapat membahayakan
janinnya. Asap rokok juga mengandung gas CO, pada orang dewasa yang tidak merokok
biasanya terbentuk karboksi haemoglobin tidak lebih dari 1 % tetapi pada perokok yang
berat biasanya lebih tinggi yaitu 5 10 %. Pada wanita hamil yang merokok,
kemungkinan dapat membahayakan janinnya.
Karbon monoksida tidak berwarna, tidak berbau, tidak merangsang selaput lendir
tetapi sangat berbahaya (beracun) maka gas CO dijuluki sebagai silent
killer(pembunuh diam-diam). Campuran 1 volume CO dengan 0,5 volume O2 atau
campuran 1 volume CO dengan 2,5 volume udara, bila bertemu api akan meledak.
CO dapat bersenyawa dengan logam atau non logam, misalnya dengan klorin akan
terbentuk karbonil klorida (COCl) yaitu fosgen, gas beracun yang pernah dipakai
dalam peperangan.
BAB II
KARBON MONOKSIDA
Sumber lain CO adalah gas arang batu yang mengandung kira-kira 5% CO, alat
pemanas berbahan bakar gas, lemari es gas, dan cerobong asap yang tidak berfungsi
dengan baik. Gas alam jarang sekali mengandung CO , tetapi pembakaran gas alam yang
tidak sempurna tetap akan menghasilkan CO. Pada kebakaran juga akan terbentuk CO.
Asap tembakau dalam orofaring menyebabkan konsentrasi yang diinhalasi menjadi kira-
kira 500 ppm. Pada alat pemanas air berbahan bakar gas , jelaga yang tidak dibersihkan
pada pipa air yang dibakar akan memudahkan terjadinya gas CO yang berlebihan.
Inhalasi emisi methylene chloride yang berasal dari cat jarang menyebabkan
keracunan. Pada hati, senyawa ini dikonversi menjadi karbonmonoksida.
Gas karbon monoksida juga diproduksi secara endogen dalam jumlah kecil
dari proses katabolisme heme. Bersama dengan nitrit oksida gas ini mempengaruhi
fungsi seluler dan bertindak seperti neurotransmiter.
Karakteristik
Karbon monoksida (CO) adalah suatu gas yang tidak berwarna, tidak berbau,
tidak berasa, mudah terbakar, tidak mengiritasi namun sangat beracun. Dari sifat-sifat
tersebut karbon monoksida dikenal sebagai silent killer. Untuk mengukur kadar CO
tersebut, digunakan Gas Analyzer dengan satuan persen volume. Satuan konsentrasi CO
di udara adalah ppm atau parts per million. Dimana 1 ppm setara dengan 10-4 %.
Namun jika orang yang telah menghirup CO dipindahkan ke udara yang bersih
dan berada dalam keadaan istirahat, maka kadar COHb semula akan berkurang 50%
dalam waktu 4,5 jam dan selanjutnya sisa COHb akan berkurang 810% setiap jamnya.
Sehingga dalam 68 jam darah tidak lagi mengandung cohb. Selain itu eritrosit tidak
mengalami kerusakan setelah Hb dilepaskan dari ikatan COHb.
Epidemiologi
Gas CO adalah penyebab utama dari kematian akibat keracunan di
Amerika Serikat dan lebih dari separo penyebab keracunan fatal lainnya di
seluruh dunia. Terhitung sekitar 40.000 kunjungan pasien pertahun di unit gawat
darurat di Amerika Serikat yang berhubungan dengan kasus intoksikasi gas
CO dengan angka kematian sekitar 500-600 pertahun yang terjadi pada 1990an.
Sekitar 25.000 kasus keracunan gas CO pertahun dilaporkan terjadi di Inggris. Dengan
angka kematian sekitar 50 orang pertahun dan 200 orang menderita cacat berat akibat
keracunan gas CO.
Di Singapura kasus intoksikasi gas CO termasuk jarang. Di Rumah sakit Tan
Tock Seng Singapura pernah dilaporkan 12 kasus intoksikasi gas CO dalam 4 tahun
(1999-2003). Di Indonesia belum didapatkan data berapa kasus keracunan gas CO
yang terjadi pertahun yang dilaporkan.
Kelompok Resiko Tinggi. (1) Kasus kematian akibat kebakaran gedung atau
bangunan disebabkan karena keracunan CO, oleh karena itu petugas pemadam
kebakaran merupakan yang beresiko tinggi mendapat keracunan CO. (2) Pengecat
yang menggunakan cat yang mengandung metilin klorida, asapnya mudah diserap
melalui paru-paru dan mudah masuk ke peredaran darah, metilin klorida ditukar
ke karbon monokisida di hati. (3) Perokok adalah salah satu kelompok yang beresiko
keracunan CO karena asap tembakau merupakan salah satu sumber CO dan
mengandung 4% CO. (5) Bayi, anak-anak dan mereka yang mengalami masalah
kardiovaskuler lebih mudah beresiko keracunan karbon monoksida, walaupun pada
kepekatan yang rendah.
Nama IUPAC
Karbon monoksida
Nama lain
Karbonat Oksida
Sifat
Rumus Molekul CO
Massa Molar 28,0101 g/mol
Penampilan Tak berwarna, gas tak berbau
3
0,789 g/cm
0
1,250 g/L pada 0 C, 1 atm
Densitas 0
1,145 g/L pada 25 C, 1 atm
(lebih ringan dari udara)
0
Titik lebur -205 C (68 K)
0
Titik didih -192 C (81 K)
0
Kelarutan dalam air 0,0026 g/100 ml (20 C)
-31
Momen Dipol 0,112 D (3,74 x 10 C-m)
Bahaya
Klasifikasi EU Sangat mudah terbakar
Titik nyala Gas mudah terbakar
Efek toksisitas utama adalah hasil dari hipoksia seluler yang disebabkan oleh
gangguan transportasi oksigen. CO mengikat hemoglobin secara reversibel, yang
menyebabkan anemia relatif karena CO mengikat hemoglobn 230-270 kali lebih kuat
daripada oksigen. Kadar HbCO 16% sudah dapat menimbulkan gejala klinis. CO yang
terikat hemoglobin menyebabkan ketersediaan oksigen untuk jaringan menurun.
Peningkatan konsentrasi CO menyebabkan oksigen tidak memiliki tempat di
hemoglobin kemudian membuat kurva disosiasi oksihemoglobin bergeser ke kiri
menghasilkan penurunan PaO2 di setiap level kadar saturasi hemoglobin dan ini
kemudian menyebabkan penurunan oksigen yang diantarkan ke jaringan.
Gambar. Efek dari CO pada kurva disosiasi oksihemoglobin. Kurva bergeser ke kiri yang berarti oksigen
terikat lebih kuat pada konsentrasi yang lebih rendah.
Gambar. Patofisiologi Keracunan CO
Ikatan antara CO dengan hemoglobin membuat perubahan alosterik pada
kompleks oksihemoglobin dan menggeser kurva disosiasi oksigen ke kiri. Pergeseran ini
menyebabkan peningkatan afinitas hemoglobin terhadap setiap oksigen yang terikat yang
kemudian menyebabkan penurunan desaturasi hemoglobin dan pelepasan oksigen di
perifer. Karena itu, hipoksia jaringan akibat keracunan CO lebih besar daripada yang
diharapkan pada penurunan PaO2 sederhana.
Gambar. Spektrum dari tanda dan gejala yang muncul akibat paaparan CO
berdasarkan level dan durasi paparan.
Tabel. Presentase Gejala Akut Setelah Paparan CO
Fakta yang paling sering terekspos dimana terdapa kasus banyak orang yang
memiliki gejala dan paparan lingkungan yang sama. Yang lainnya mengatakan fakta
bahwa kejadian sakitnya hewan peliharaan terjadi bersamaan atau mendahului kejadian
sakit pemiliknya. Akibat dari ukurannyaa yang kecil dan metabolisme yang tinggi, hewan
peliharaan akan lebih menampakkan gejala dan gejala yang muncul juga lebih parah
daripada pemiliknya. Pada kasus pajanan seorang diri, riwayat pajanan untuk mengetahui
sumber dari CO dapat menunjukkan ke arah kemungkinan intoksikasi CO. Banyak kasus
ini yang terkait dengan pekerjaan.
Efek yang paling sering muncu dari keracunan CO adalah hipoksia jaringan. Efek
ini akan lebih signifikan pada daerah dengan aliran darah dan penggunaan oksigen yang
banyak. Atas alasan ini, tidak terlalu mengejutkan jika manifestasi pada sistem saraf dan
kardivaskular menjadi gejala yang biasa muncul karena saraf, jantung dan pembuluh
darah adalah jaringan yang memiliki resiko terbesar pada kasus intoksikasi CO.
Gejala yang biasa muncul adalah kelelahan, sakit kepala, pusing, kesulitan
berpikir, mual, dipsneu, kelemahan dan konfusi. Diare, nyeri perut, gangguan
penglihatan, dan nyeri dada lebih jarang ditemukan. Dari gejala-gejala ini, kita dapat
melihat kenapa diagnosis influenza karena virus sering dibuat khususnya pada saat ada
riwayat angggota keluarga yang lain yang memiliki keluhan yang sama. Perlu diketahui
kejadian keracuanan CO cenderung meningkat saat bulan-bulan musim dingin akibat
peningkatan penggunaan pemanas ruangan.
Kesalahan diagnosis sering terjadi karena beragamnya keluhan dan gejala pada
pasien. Gejala-gejala yang muncul sering mirip dengan gejala penyakit lain. Pada
anamnesa secara spesifik didapatkan riwayat paparan oleh gas CO. Gejala-gejala yang
muncul sering tidak sesuai dengan kadar HbCO dalam darah. Penderita trauma inhalasi
atau penderita luka bakar harus dicurigai kemungkinan terpapar dan keracunan gas CO.
Pada pemeriksaan tanda vital didapatkan takikardi, hipertensi atau hipotensi, hipertermia,
takipnea. Pada kulit biasanya didapatkan wama kulit yang merah seperti buah cherry, bisa
juga didapatkan lesi di kulit berupa eritema dan bula.
Gejala keracunan CO berkaitan dengan kadar COHb di dalam darah.
% Saturasi COHb Gejala-gejala
10 Tidak ada
10-20 Rasa berat pada kening, mungkin sakit kepala ringan, pelebaran
pembuluh darah subkutan, dipsneu, gangguan koordinasi,
20-30 Sakit kepala, berdenyut pada pelipis, emosional
30-40 Sakit kepala keras, lemah, pusing, penglihatan buram, mual,
muntah, kolaps.
40-50 Sama dengan yang tersebut di atas tetapi dengan kemungkinan
besar untuk kolaps atau sinkop. Pernapasan dan nadi bertambah
cepat, ataksia
50-60 Sinkop, pernapasan dan nadi bertambah cepat, koma dengan
kejang intermittent, pernapasan cheyne stokes.
60-70 Koma dengan kejang, depresi jantung dan pernapasan, mungkit
mati
70-80 Nadi lemah, pernapasan lambat, gagal pernapasan dan mati
D. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
Analisa kadar HbCO membutuhkan alat ukur spectrophotometric yang
khusus. Kadar HbCO yang meningkat menjadi signifikan terhadap paparan gas
tersebut. Sedangkan kadar yang rendah belum dapat menyingkirkan kemungkinan
terpapar, khususnya bila pasien telah mendapat terapi oksigen 100% sebelumnya
atau jarak paparan dengan pemeriksaan terlalu lama. Pada beberapa perokok,
terjadi peningkatan ringan kadar CO sampai 10%. Pemeriksaan gas darah arteri
juga diperlukan. Tingkat tekanan oksigen arteri (PaO2) harus tetap normal.
Walaupun begitu, PaO2 tidak akurat menggambarkan derajat keracunan CO atau
terjadinya hipoksia seluler. Saturasi oksigen hanya akurat bila diperiksa langsung,
tidak melaui PaO2 yang sering dilakukan dengan analisa gas darah. PaO2
menggambarkan oksigen terlarut dalam darah yang tidak terganggu oleh
hemoglobin yang mengikat CO.
Untuk penentuan COHb secara kualitatif dapat dikerjakan uji dilusi
alkali. Caranya adalah sebagai berikut :
Ambil 2 tabung reaksi, masukkan ke dalam tabung pertama 1-2 tetes darah
korban dan tabung kedua 1-2 tetes darah normal sebagai kontrol.
Encerkan masing-masing darah dengaan menambahkan 10 ml air
sehingga warna merah pada kedua tabung kurang lebih sama.
Tambahkan pada masing-masing tabung 5 tetes larutan NaOH 10-20%
lalu dikocok.
Darah normal segera berubah warna menjadi merah-hijau kecoklatan
karena segera terbentuk hematin alkali, sedangkan darah yang
mnegandung COHb tidak berubah warnanya selama beberapa waktu ,
tergantung pada konsentrasi COHb, karena COHb bersifat lebih resisten
terhadap pengaruh alkali.
COHb dengan kadar saturasi 20% member warna merah muda yang
bertahan selama beberapa detik dan setelah 1 menit baru berubah warna
menjadi coklat kehijauan.
Paladium (Pd) ion akan diendapkan pada kertas saring berupa endapan
berwarna hitam. Dengan membandingkan intensitas warna hitam tersebut dengan
warna hitam yang diperoleh dari pemeriksaan terhdap darah dengan kadar COHb
yang telah diketahui., maka dapat ditentukan konsentrasi COHb secara semi-
kuantitatif.
Cara spektrofotometrik adalah cara terbaik untuk melakukan analisis CO
atas darah segar korban keracunan CO yang masih hidup, karena hanya dengan
cara ini dapat ditentukan rasio COHb : OxiHb. Darah mayat adalah darah yang
tidak segar, sehingga memberikan hasil yang tidak dapat dipercaya.
Cara kromatografi gas banyak dipakai untuk mengukur kadar CO dari
sampel darah mayat (darah tidak segar) dan cukup dapat dipercaya.
2) Pemeriksaan Pencitraan
X-foto thorax. Pemeriksaan x-foto thorax perlu dilakukan pada kasus-
kasus keracunan gas dan saat terapi oksigen hiperbarik diperlukan. Hasil
pemeriksaan xfoto thorax biasanya dalam batas normal. Adanya gambaran
ground-glass appearance, perkabutan parahiler, dan intra alveolar edema
menunjukkan prognosis yang lebih jelek.
CT scan. Pemeriksaan CT Scan kepala perlu dilakukan pada kasus
keracunan berat gas CO atau bila terdapat perubahan status mental yang tidak
pulih dengan cepat. Edema serebri dan lesi fokal dengan densitas rendah pada
basal ganglia bisa didapatkan dan halo tersebut dapat memprediksi adanya
komplikasi neurologis. Pemeriksaan MRI lebih akurat dibandingkan dengan CT
Scan untuk mendeteksi lesi fokal dan demyelinasi substansia alba dan MRI sering
digunakan untuk follow up pasien. Pemeriksaan CT Scan serial diperlukan jika
terjadi gangguan status mental yang menetap. Pernah dilaporkan hasil CT Scan
adanya hidrosefalus akut pada anak-anak yang menderita keracunan gas CO.
3) Pemeriksaan Lain-lain
Elektrokardiogram. Sinus takikardi adalah ketidaknormalan yang sering
didapatkan. Adanya aritmia mungkin disebabkan oleh hipoksia iskemia atau
infark. Bahkan pasien dengan kadar HbCO rendah dapat menyebabkan
kerusakkan yang serius pada pasien penderita penyakit kardiovaskuler.
Pulse oximetry. Cutaneus pulse tidak akurat untuk mengukur saturasi
hemoglobin yang dapat naik secara semu karena CO yang mengikat hemoglobin.
Cooximetry (darah arteri) menggunakan tehnik refraksi 4 panjang gelombang
dapat secara akurat mengukur kadar HbCO.
E. Komplikasi
Keracunan ringan karbon monoksida dapat meninggalkan sisa nyeri kepala pada
korban yang telah disembuhkan. Ini tidak perlu mendapatkan pengobatan khusus karena
akan hilang dengan sendirinya.
Penderita keracunan karbon monoksida yang sempat mengalami koma, bila
kemudian sembuh, mungkin akan menderita gejala sisa akibat kerusakan yang terjadi
pada sel-sel susunan saraf pusat, yang dapat berupa gejala disorientasi, amnesia
retrograde, parkinsonisme atau sindroma post-ensefalitis.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keracunan karbon monoksida (CO) beberapa tahun ini menjadi penyebab
kematian terbanyak untuk keracunan di Amerika Serikat. Paparan sublethal sangat sulit
untuk dibedakan sehingga sering menyebabkan kesalahan dalam diagnosis pada kasus
keracunan CO akut. Sumber dasar dari gas ini berasal dari pembakaran internal dengan
bahan bakar fosil. Gas CO meracuni manusia dengan berikatan dengan hemoglobin yang
kemudian menyebabkan hipoksia jaringan. Diagnosis keracunan CO sangat sulit
ditegakkan akibat tanda dan gejala yang tidak spesifik. Keparahan dari paparan gas CO
dapat dinilai dengan kadar CO yang ditemukan di darah.
B. Saran
Edukasi masyarakat tentang bahaya dari karbon monoksida dengan penekanan
pada keamanan di rumah dan tempat kerja merupakan kunci untuk edukasi yang efektif.
Edukasi professional yang ditargetkan pada komunitas kerja juga diperlukan. Pemikiran
ini dapat direalisasikan dengan optimalisasi media saat resiko terjadinya keracunan gas
CO meningkat seperti saat terjadi kebakaran hutan ataupun musibah lain yang bisa
menyebabkan keracunan gas CO. Karena insiden yang tinggi dari keracunan yang
diakibatkan oleh gas, harus ada peraturan yang ketat untuk gas industry di lingkungan
masyarakat. Kerjasama antara dokter kesehatan masyarakat dan pemilik dari gedung, gas
dan industri pemanas ruangan merupakan prasyarat untuk strategi pencegahan yang
efektif. Kolaborasi ini memastikan keamanan yang merata di semua lini.
DAFTAR PUSTAKA
Benneto, L., Powter, L., & Neil, S. J. (2008). Accidental Carbon Monoxide Poisoning Presenting
Without a History of Exposure : A Case Report. Journal of Medical Case Report, UK , 1-4.
Blumenthal, I. (2001). Carbon Monoxide Poisoning. Journal of The Royal Society of Medicine,
UK , 270-272.
Brenner, J. C. (2004). Forensic Science. Florida, USA: CRC Press.
Budiyanto, A., Widiatmaka, W., Sudiono, S., Mun`im, W. A., Sidhi, Hertian, S., et al. (1997).
Ilmu Kedokteran Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Ernst, A., & Zibrak, J. D. (1998). Carbon Monoxide Poisoning. The New England Journal of
Medicine , 1603-1608.
Eugene, N. B., & Margaret, C. (2003). A Multicomponent model of cartoxyhemoglobin and
carboxyhemoglobin responses to inhalation of carbon monoxide. J Appl Physiol95 , 1235-
1247.
Grant, M. J., & Clay, B. (2002). Accidental Carbon Monoxide Poisoning With Severe
Cardiorespiratory Compromise in 2 Children. American Journal of Critical Care , 128-131.
Handa, P., & Tai, D. (2005). Carbon Monoxide Poisoning: A Five-year Review at Tan Tock
Seng Hospital, Singapore. Ann Acad Med Singapore , 611-614.
Hodgson, E. (2004). A Textbook of Modern Toxicology, Third Edition. New Jersey, USA: John
Wiley & Sons, Inc Publication.
Ilano, A. L., & Raffin, A. T. (1990). Management Of Carbon Monoxide Poisoning. Chest,
California, USA , 165-169.
Kao, L. W., & Nanagas, K. A. (2004). Carbon Monoxide Poisoning. Emerg MedClin N Arn22 ,
985-1018.
Klaassen, C. D. (2008). Toxicology, The Basic Science of Poisons Seventh Edition. Kansas City,
USA: McGraw-Hill.
Lane, T. R., Williamson, W. J., & Brostoff, J. M. (2008). Carbon Monoxide Poisoning in a
Patient with Carbon Dioxide Retention: a Therapeutic Challenge. Cases Journal, UK , 1-4.
Molina, D. (2010). Handbook of Forensic Toxicology for Medical Examiners. Florida, USA:
CRC Press.
Sampurna, B., Samsu, Z., & Siswaja, T. D. (2008). Peranan Ilmu Forensik Dalam Penegakan
Hukum; Sebuah Pengantar. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Soekamto, T. H., & Perdanakusuma, D. (n.d.). Intoksikasi Karbon Monoksida. Departemen/SMF
Ilmu Bedah Plastik FK UNAIR .
Staf Pengajar Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. (2000).
Teknik Autopsi Forensik. Jakarta: Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Thom, R. S., Fisher, D., Xu, Y. A., Garner, S., & Ischiropoulos, H. (1999). Role of Nitric Oxide-
Derived Oxidants in Vascular Injury from Carbon Monoxide in The Rat. Am J of Physiol ,
984-990.
Weaver, L. K. (2009). Carbon Monoxide Poisoning. The New England Journal of Medicine, UK
, 1217-1225.
Wu, C. T., Huang, J. L., & Hsia, S. H. (2009). Acute Carbon Monoxide Poisoning with Severe
Cardiopulmonary Compromise : a Case Report. Case Jurnal, Taiwan , 1-4.