Vous êtes sur la page 1sur 9

LAPORAN KASUS

TWIN TO TWIN TRANSFUSION SYNDROME

Dewi Wijayanti, Arrum Chyntia Yuliyanti

ABSTRAK

Twin to Twin Transfusion Syndrome (TTTS) adalah suatu keadaan terjadinya transfusi darah
intrauterin dari janin satu ke janin lainnya pada kehamilan multifetus. TTTS merupakan
komplikasi berat yang terjadi pada 10% kehamilan kembar monokorionik. Telah dilaporkan
sebuah kasus di rumah sakit dengan pasien seorang wanita berusia 25 tahun dengan
G1P0A0H0 37 minggu G/H-H/IU Letak kepala-letak sungsang dengan Preeklampsia berat
(PEB) dengan anemia hipokromik mikrositik derajat sedang. Pada kasus ini dilakukan SCTP
dan didapatkan Bayi pertama dan kedua berjenis kelamin perempuan. Skor APGAR Bayi
pertama dan kedua masing-masing 7-9. Bayi pertama lahir hidup dan menangis kuat,
sementara bayi kedua hanya merintih. Berat badan dan panjang badan bayi pertama 2200 gram
dan 46 cm, sementara berat badan bayi kedua 1500 gram dengan panjang badan 33 cm.
Lingkar kepala bayi pertama 43 cm dan bayi kedua 30 cm. Tidak didapatkan kecacatan dan
kelainan kongenital pada kedua bayi. Kedua bayi dirawat di NICU selama 1 hari.
Kata kunci : Twin-to-twin transfusion syndrome, TTTS, kehamilan multipel, Anemia

Abstract
Twin to Twin Transfusion Syndrome (TTTS) is a state of intrauterine blood transfusion from
one fetus to the other fetus in multiple pregnancy. TTTSisaseverecomplicationoccurring
in10%ofmonochorionictwinpregnancies.A case was reported in our hospital: a 25 years
old woman was diagnosed with 37 weeks G1P0A0 Gemelli /live-live / Intrauterine head-
breech presentation with severe preeclampsia and moderate microcytic hypochromic anemia.
The patient was terminated by C-Section. Both babies are female. The Apgar score of both
babies are 7-9. The first baby was born alive and cried, while the second baby just whined.
The first baby was born with BW of 2200 grams and BL of 46 cm, head circumference of 43
cm. The second baby was born with BW of 1500 grams and BL of 33 cm, head circumference
of 30 cm. Neither defects nor congenital abnormalities in both babies was found. Both babies
were treated at the NICU during one day.
Keywords: Twin-to-twin transfusion syndrome, TTTS, multiple pregnancy, Anemia

1
Pendahuluan
Kehamilan kembar atau kehamilan multifetus adalah suatu kehamilan dengan dua janin
atau lebih. Kehamilan multifetus terjadi 1% dari seluruh kehamilan. TTTS merupakan
komplikasi berat yang terjadi pada 10% kehamilan multifetus monokorionik dimana dari
gambaran sonografi terlihat ditemukan polihidroamnion pada satu kantong dan
oligohidroamnion pada kantong lainnya pada suatu kehamilan ganda monokorionik-
diamniotik.1 Angka kejadian Twin to twin transfusion syndrome (TTTS) berkisar antara 9-15%
dari seluruh kehamilan multifetus monokorionik dan menyebabkan kematian pada >17% dari
seluruh kehamilan multifetus. Bila tidak diberikan penanganan adekuat, > 80% janin dari
kehamilan tersebut akan mati intrauterin atau mati selama masa neonatus. Mengingat
banyaknya komplikasi dari kehamilan multifetus bagi ibu dan janin, maka penulis tertarik
untuk mengangkat laporan kasus dari seorang pasien yang memiliki kehamilan multifetus
dengan TTTS.2

Pada TTTS tipe berat biasanya terjadi pada awal trimester ke II, umur kehamilan 16-18
minggu. Perbedaan ukuran besar janin lebih dari 1,5 minggu kehamilan. Ukuran tali pusat juga
berbeda. Konsentrasi Hb biasanya sama pada kedua janin. Polihidroamnion terjadi pada fetus
resipien karena adanya volume overload dan peningkatan jumlah urin janin.
Oligohidroamnion terjadi pada fetus donor oleh karena hipovolemia dan penurunan jumlah
urin janin. Oligohidroamnion yang berat bisa menyebabkan terjadinya fenomena stuck-twin
dimana janin terfiksir pada dinding uterus. Pada TTTS tipe sedang, terjadi pada akhir trimester
ke II, umur kehamilan 24-30 minggu. Walaupun terdapat perbedaan ukuran besar janin lebih
dari 1,5 minggu kehamilan, polihidroamnion dan oligohidroamnion tidak terjadi. Fetus donor
menjadi anemia, hipovolemia dan pertumbuhan terhambat. Sedangkan fetus resipien
mengalami plethoric, hipovolemia, dan makrosomia. Kedua janin bisa berkembang menjadi
hidrops. Pada TTTS tipe ringan, terjadi secara perlahan pada trimester III. Polihidramnion dan
oligohdroamnion biasanya tidak terjadi. Konsentrasi Hb berbeda lebih dari 5 gr%. Ukuran
besar janin berbeda lebih dari 20%.1,3

Twin to twin transfusion syndrome juga dapat diklasifikasikan menjadi akut dan
kronik. Patofisiologi yang mendasar penyakit ini, gambaran klinis, morbiditas dan mortalitas
pada kedua tipe ini sangat berbeda. Angka kematian perinatal yang tinggi pada twin to twin
transfusion syndrome terutama disebabkan oleh tipe yang kronik. Pada tipe akut terjadi
transfusi darah secara akut/tiba-tiba dari satu janin ke janin yang lain, biasanya pada trimester
ke tiga atau selama persalinan dari kehamilan monokorionik yang tidak berkomplikasi,
menyebabkan hipovolemia pada fetus donor dan hipervolemia pada fetus resipien, dengan
berat badan lahir yang sama. Transfusi dari fetus pertama ke fetus kedua saat kelahiran
multifetus pertama. Namun demikian, bila tali pusat pertama terlambat dijepit, darah dari fetus
yang belum dilahirkan dapat ditransfusikan ke bayi pertama. Diagnosis biasa dibuat pada saat
postnatal. Tipe kronik biasanya terjadi pada kehamilan dini (umur kehamilan 12-26 minggu).
Kasus tipe ini merupakan yang paling bermasalah karena bayi imatur dan tidak dapat
dilahirkan, sehingga dalam pertumbuhan intrauterin dapat mengalami kelainan akibat dari
TTTS seperti hydrops. Tanpa terapi, sebagian besar bayi tidak dapat bertahan hidup atau
timbul kecacatan jika hidup. Walaupun arah transfusi darah menuju fetus resipien, tetapi
trombus dapat secara bebas berpindah arah melalui anstomosis pembuluh darah sehingga
dapat menyebabkan infark atau kematian pada kedua janin. Diagnosis prenatal TTTS dibuat
dengan menggunakan ultrasonografi. 4,5
Beberapa jenis terapi telah dilakukan dalam usaha memperbaiki hasil luaran kehamilan
kasus TTTS. Pendekatan ini meliputi terapi amniosentesis, septostomi, ablasi laser terhadap
anastomosis pembuluh darah, selektif feticide, dan terapi ibu dengan memakai digoksin.
Pilihan penanganan kasus dengan kematian satu janin adalah persalinan preterm elektif
terhadap janin yang hidup (dengan steroid untuk mematangkan paru) dengan segala risiko
prematuritas atau konservatif yang juga berisiko kematian janin dalam uterus dan kelainan
neurologis.6,7
Prognosis tergantung pada usia kehamilan pada saat kelahiran dan apakah iskemia otak
janin intrauterin terjadi. Semakin rendah usia kehamilan saat lahir, maka semakin besar risiko
lama sequele neurologis atau paru-paru.8

Laporan Kasus

Seorang wanita usia 25 tahun hamil 9 bulan rujukan dari Puskesmas Kopang dengan
G1P0A0H0 37 minggu G/H-H/ intra uterin letak kepala-letak sungsang dengan PEB, serta
membawa hasil USG dari dr.SpOG dengan bayi kembar. Pasien tidak mengeluh nyeri perut
menjalar sampai pinggang. Pasien menyangkal riwayat keluar air dan bloody slim (-). Pasien
merasakan gerakan janin yang sering. Pasien mengaku baru mengetahui bahwa sedang hamil
kembar. Keluhan pusing, mual, muntah, pandangan kabur disangkal oleh pasien. Pada saat
pemeriksaan usia kehamilan 25 minggu tekanan darah pasien 140/90 mmHg. Riwayat
penyakit jantung, ginjal, hipertensi, diabetes mellitus, ataupun asma disangkal. Riwayat
keluarga memiliki riwayat hipertensi, diabetes mellitus, asma, maupun penyakit berat lainnya
disangkal. Pasien memiliki keturunan kembar dari suaminya.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran compos
mentis, GCS E4V5M6, Tekanan darah 160/100 mmHg, nadi 80 x/menit, frekuensi napas 20
x/menit, suhu 36,6oC. Konjungtiva tampak anemis +/+, jantung dan paru dalam batas normal.
Pada abdomen tampak striae gravidarum (+). Tidak ada edema pada ekstremitas. Tinggi
fundus uterus didapatkan 40 cm. Pemeriksaan leopold 1 teraba kepala, bokong. Pemeriksaan
leopold 2 teraba punggung kanan, punggung kiri. Pemeriksaan leopold 3 teraba bokong,
kepala. Pemeriksaan leopold 4 didapatkan 4/5. Saat datang tidak terdapat his dengan DJJ kiri
12-12-12 (144 x/menit) dan DJJ kanan 13-12-13 (152 x/menit). Vaginal Touche tidak
dilakukan. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin 8,6 g/dl, hematokrit 26,5
%, RBC 3,67 x 106/L, MCV 72,3 Fl, MCH 23,5 pg, MCHC 32,5 g/dl, WBC 8,7 x 103/L,
PLT 313 x 103/L, HbsAg negatif, Glukosa darah sewaktu 94 mg/dl, Ureum 13,1 mg/dl, BUN
6,1 mg/dl, Kreatinin 0,64 mg/dl, proteinuria +2.

Diagnosis pada kasus ini adalah G1P0A0H0 37 minggu G/H-H/IU Letak kepala-letak
sungsang dengan Preeklampsia berat (PEB) dengan anemia hipokromik mikrositik derajat
sedang. Pada kasus ini direncanakan pemeriksaan hapusan darah tepi, pemeriksaan enzim
liver, pemeriksaan feses, urin lengkap dan produksi urin 24 jam.
Pada kasus ini diberikan terapi Ampisilin 2 gr IV, Tatalaksana aktif Preeklampsia berat,
ibu masuk rumah sakit, tirah baring miring ke kiri secara intermiten, Infus Dekstrose 5% 20
tpm, pemberian anti kejang dosis awal MgSO4 4 g IV bolus. Masukkan MgSO4 40% 10 cc ke
dalam spuit 20 cc, tambahkan akuades 10 cc. berikan perlahan selama 5-10 menit dan dosis
pemeliharaan MgSO4 2 g/jam IV 28 tpm. Setelah tindakan bayi lahir, pasien segera minum 1-2
gelas. Syarat pemberian MgSO4: Refleks patella normal, respirasi > 16 menit, produksi urine
dalam 4 jam sebelumnya > 100 cc ; 0,5 cc/kg BB/jam, siapkan ampul Kalsium Glukonas 10%
dalam 10 cc. Bila tidak ada keluhan subjektif, tekanan darah sesuai kriteria Preeklampsia
ringan dan diuresis 100 cc/jam maka pemberian MgSO4 dihentikan. Bila timbul gejala dan
tanda intoksikasi MgSO4, maka diberikan injeksi Kalsium Glukonas 10% 1 g dalam 10 cc IV
dalam 3 menit. Pada kasus ini direncanakan terminasi kehamilan perabdominal (SC) elektif.
Pasien dipasangkan dower catheter, dilakukan observasi tekanan darah ibu, nadi, suhu,
respirasi, diuresis, tanda-tanda intoksikasi MgSO4, His, keluhan subjektif ibu, DJJ, melakukan
Non Stress Test (NST) serta KIE pasien dan keluarga mengenai tindakan yang dilakukan
beserta komplikasinya.
Bayi lahir secara SCTP dengan indikasi gemelli dengan PEB. Bayi pertama dan kedua
berjenis kelamin perempuan. Skor APGAR Bayi pertama dan kedua masing-masing 7-9. Bayi
pertama lahir hidup dan menangis kuat, sementara bayi kedua hanya merintih. Berat badan
dan panjang badan bayi pertama 2200 gram dan 46 cm, sementara berat badan bayi kedua
1500 gram dengan panjang badan 33 cm. Lingkar kepala bayi pertama 43 cm dan bayi kedua
30 cm. Tidak didapatkan kecacatan dan kelainan kongenital pada kedua bayi. Kedua bayi
dirawat di NICU selama 1 hari.

Gambar 1. Foto bayi pertama dan kedua


Gambar 2. USG pasien saat usia kehamilan 37 minggu

Gambar 3. Plasenta monokorionik biamnion dengan anastomosis vaskular arteri-vena yang


menghubungkan kedua tali pusat.

Pembahasan
Pada pasien ini dirujuk dan membawa hasil USG-nya dengan G1P0A0H0 37 minggu
G/H-H/IU Letak kepala-letak sungsang dengan PEB dengan anemia hipokromik mikrositik
derajat sedang. Pasien mengaku memiliki riwayat kembar dari suaminya. Berdasarkan teori
didapatkan bahwa salah satu faktor risiko terjadinya kehamilan multifetus adalah herediter.
Pada kehamilan multifetus didapatkan berbagai macam komplikasi yang dapat mengancam
ibu ataupun bayinya. Salah satu komplikasi pada janin yang dapat terjadi pada kehamilan
multifetus adalah twin to twin transfusion syndrome dimana fetus yang satu mentransfusikan
darahnya ke fetus lainnya, sehingga bayi resipien transfusi akan menjadi lebih besar
dibandingkan bayi donor transfusi. Diagnosis postnatal TTTS dapat ditegakkan dengan salah
satu kriteria berikut:
a) Adanya perbedaan berat badan kedua janin yang > 500 g, atau perbedaan >20 % pada
janin preterm (untuk TTTS yang kronis).
b) Terdapat perbedaan kadar Hemoglobin dan Hematokrit dari kedua janin, janin donor
dapat mencapai 8 g% atau kurang, dan janin resipien bisa mencapai 27%.
c) Perbedaan ukuran pada organ-organ jantung, ginjal, hepar dan thymus.1,3,5

Salah satu penandanya adalah pada post partum didapatkan berbedaan berat badan 700
gram dari kedua bayi tersebut. Pada pasien ini didapatkan perbedaan berat badan bayi yang
signifikan yaitu pada bayi pendonor didapatkan berat badan lahir 1.500 gram dan bayi yang
mendapatkan donor berat badannya 2.200 gram.
Berdasarkan berat badan bayi yang berbeda secara signifikan, didapatkan pada kedua
bayi tersebut mengalami TTTS tipe sedang, yang pada bayi satu mengalami pertumbuhan
terhambat sedangkan bayi satunya berkembang baik. Walaupun terdapat perbedaan ukuran
besar janin lebih dari 1,5 minggu kehamilan, polihidroamnion dan oligohidroamnion tidak
terjadi. TTTS pada pasien ini terdeteksi saat post partum, dan berdasarkan hasil USG terakhir
tidak dapat mendiagnosis keadaan tersebut. Teori yang banyak dipakai adalah bahwa transfusi
darah dari donor kepada resipien terjadi melalui anastomosis vaskular plasenta. Koneksi
vaskuler antar multifetus terdiri dari 2 tipe, yaitu: tipe superfisial dan tipe profunda. Masing-
masing tipe mempunyai karakteristik aliran, pola resistensi tersendiri yang mempengaruhi
pertumbuhan multifetus monokorionik.1,3

Pada kasus ini juga terjadi komplikasi kehamilan multifetus pada ibu, yaitu
Preeklamsia berat (PEB) dan anemia sedang. Preeklampsi terjadi pada sekitar 6-31% wanita
hamil dengan kehamilan multifetus. Angka kejadian hipertensi dalam kehamilan dan
preeklampsi secara signifikan lebih tinggi pada wanita dengan kehamilan multifetus
dibandingkan dengan kehamilan tunggal. Selain itu angka komplikasi pada wanita dengan
kehamilan multifetus disertai hipertensi lebih tinggi daripada kehamilan tunggal. Wanita
dengan hipertensi dalam kehamilan multifetus memiliki risiko persalinan preterm <37 minggu
yang lebih tinggi (51.1% vs 5.9%; P <. 0001) dan <35 minggu (18.2% vs 1.6%; P <.0001) dan
juga memiliki risiko lebih tinggi bayi kecil masa kehamilan (14.8% vs 7. 0%; P =.04).
Kehamilan multifetus yang disertai hipertensi dalam kehamilan juga memiliki risiko lebih
tinggi untuk dilahirkan melalui section cesarean, berat bayi lahir rendah, perawatan NICU, dan
kematian perinatal dibandingkan dengan kehamilan tunggal dengan hipertensi dalam
kehamilan.8,9

Nilai hematokrit dan hemoglobin dan jumlah sel darah merah menurun, berhubungan
dengan peningkatan volume darah. Anemia mikrositik hipokrom seringkali muncul pada
kehamilan multifetus. Kebutuhan fetus terhadap besi (Fe) melebihi kemampuan maternal
untuk mensuplai Fe didapatkan pada trimester kedua. Anemia yang terjadi pada ibu hamil
trimester I dapat menyebabkan abortus, missed abortion, dan kelainan kongenital. Pada
trimester II dapat menyebabkan persalinan prematur, perdarahan antepartum, gangguan
pertumbuhan janin, asfiksia intrauterin sampai kematian, BBLR, mudah terkena infeksi, IQ
rendah. Anemia pada saat inpartu dapat menimbulkan gangguan his primer ataupun sekunder,
janin lahir dengan anemia, dan persalinan dengan tindakan oleh karena ibu cepat lelah.
Anemia saat post partum dapat menyebabkan atonia uteri, retensio plasenta, perlukaan sukar
sembuh, mudah terjadi febris puerpuralis, dan gangguan involusi uteri. 9 Oleh karena itu sangat
penting untuk mencari penyebab anemia pada pasien agar dapat diberikan terapi dengan tepat.
Selain itu pada 6 kali ANC pasien tidak pernah terdeteksi mengalami kehamilan multifetus.
Pada kasus ini kehamilan multifetus baru terdeteksi saat 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Seharusnya para tenaga kesehatan di pelayanan kesehatan dapat memaksimalkan ANC dan
mendiagnosis kehamilan multifetus lebih dini agar risiko komplikasi pada ibu dan atau janin
dapat dicegah dan diminimalkan.

Kesimpulan

Pada kasus ini didapatkan kedua janin dengan jenis kelamin yang sama (perempuan).
Pada kasus ini didapatkan perbedaan berat badan bayi yang signifikan yaitu pada bayi
pendonor didapatkan berat badan lahir 1.500 gram dan bayi yang mendapatkan donor berat
badannya 2.200 gram. Perbedaan berat badan lahir kedua janin adalah 700 gram dan tidak
didapatkan adanya Intra Uterine Growth Restriction (IUGR) menunjukkan bahwa TTTS baru
saja terjadi.
Daftar Pustaka

1. Tim Van Mieghem, Liesbeth Lewi, Lonardo Gucciardo, et al. The Fetal Heart in Twin-to-
Twin Transfusion Syndrome. International Journal of Pediatrics. 2010 July;2010 (1)
2. Jackson & Mele. Twin to Twin Transfusion Syndrome: What nurses need to know.
Womens health. 2009; 13(3):225-233
3. Fisk, Duncombe, et al. The basic and clinical science of twin-twin transfusion
syndrome. Placenta. 2009; 30(5), pp. 379390,
4. Rossi, C. (2009). Monochorionic twin pregnancies and Twin-Twin Transfusion Syndrome.
Current Medical Literature: Gynecology & Obstetrics, 14(3), 53-58.
5. Simpson LL. Twin-twin transfusion syndrome. Am J Obstet Gynecol. 2013 Jan;208(1):3-
18.
6. Dudenhausen, J. Management of multiple pregnancy. Donald School Journal of
Ultrasound in Obstetrics and Gynecology. 2009; 3(3), 45-49.

7. Sebire NJ et al. Early prediction of severe twin-to-twin transfusion syndrome. Hum


Reprod. 2000 Sep;15(9):2008-10.
8. Rizwan et al. Maternal morbidity and perinatal outcome with twin pregnancy. J Ayub Med
Coll Abbottabad. 2010 Apr-Jun; 22(2):105-7
9. Cunningham et al. Williams Obstetrics 24ed. New York: McGrawHill publisher.

Vous aimerez peut-être aussi