Académique Documents
Professionnel Documents
Culture Documents
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Kesehatan yang diampu
oleh Sitti Chotidjah, M.A., P.Si.
Oleh Kelompok 6:
DEPARTEMEN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena
atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul
Penyakit Asma tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah satu tugas
mata kuliah Psikologi Kesehatan yang diampu oleh Sitti Chotidjah, M.A., P.Si.
Makalah ini berisikan penjelasan tentang bagaimana Penyakit Asma. Di akhir
makalah ini, penulis memberikan kesimpulan terhadap apa yang sudah dijelaskan
di atas.
Dalam penulisan makalah ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Sitti Chotidjah, M.A., P.Si. selaku dosen pengampu mata Psikologi Kesehatan
yang telah banyak mamberikan bimbingan, nasehat dan arahan kepada
penulis.
2. Orangtua penulis yang banyak memberikan dukungan dan pengorbanan baik
secara moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis berharap para pembaca dapat memaklumi segala kekurangan
yang ada pada makalah ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari
berbagai pihak, khususnya pembaca, yang bersifat membangun agar penulis dapat
berkarya lebih baik lagi pada masa yang akan datang.
Bandung, 2017
Penulis
ii
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
i
kehilangan hari sekolah yang tinggi pada populasi di Asia, Amerika, dan
Eropa.
B. Rumusan Masalah
ii
BAB II
PEMBAHASAN
i
Jawa Tengah 4,3
DI Yogyakarta 6,9
Jawa Timur 5,1
Banten 3,8
Bali 6,2
Nusa Tenggara 5,1
Barat
Nusa Tenggara 7,3
Timur
Kalimantan 3,2
Barat
Kalimantan 5,7
Tengah
Kalimantan 6,4
Selatan
Kalimantan 4,1
Timur
Sulawesi Utara 4,7
Sulawesi Tengah 7,8
Sulawesi Selatan 6,7
Sulawesi 5,3
Tenggara
Gorontalo 5,4
Sulawesi Barat 5,8
Maluku 5,3
Maluku Utara 5,0
Papua Barat 3,6
Papua 5,8
Indonesia 4,5
karakteriktis prevalensi
<1 1,5
1- 4 3,8
5-14 3,9
15-24 5,6
25-34 5,7
35-44 5,6
45-54 3,4
55-64 2,8
65-74 2,9
75+ 2,6
ii
Laki-Laki 4,4
Perempuan 4,6
Tidak Sekolah 4,2
Tidak Tamat SD 4,4
Tamat SD 4,9
Tamat SMP 5,0
Tamat SMA 4,5
Tamat D1-D3/PT 3,8
Tidak Bekerja 4,8
Pegawai 4,3
Wiraswasta 4,4
Petani/Nelayan/B 4,9
uruh
Lainnya 5,3
Perkotaan 4,5
Perdesaan 4,5
Terbawah 5,8
Menengah bawah 4,7
Menengah 4,4
Menengah atas 4,3
Teratas 3,6
i
55% antara tahun 1979 dan 1998, dengan total lebih dari 5.400 orang per tahun
pada tahun 1998 (American Lung Association, 2001). Faktor lingkungan seperti
polusi hanya sebagian menjelaskan peningkatan prevalensi asma dan kematian.
Yang menarik adalah faktor psikososial yang dapat berkontribusi secara langsung
atau tidak langsung terhadap meningkatnya prevalensi dan kematian yang
berhubungan dengan asma (Wright et al., 1998). Sebuah konseptualisasi mengenai
asma memiliki komponen emosional dan psikososial itu tidak baru. Namun, dari
awal abad kedua puluh, asma dianggap sebagai penyakit prototipikal (Groddeck,
1928). Perkembangan psikoneuroimunologi dapat berkontribusi pada sintesis baru
dan penghargaan untuk bagaimana sistem biologis dan psikologis berinteraksi
untuk menghasilkan dan mempertahankan asma.
Asma itu mahal. Pada tahun 2000, perawatan asma di AS mencapai $ 12,7
miliar pada biaya langsung dan tidak langsung, termasuk biaya yang berkaitan
dengan kematian prematur dan waktu dari pekerjaan karena asma (lihat
http://www.lungusa.org/data/asthma/ ASTHMA1.pdf). Di Amerika Serikat, sekitar
3 juta hari kerja dan 10,1 juta hari sekolah hilang setiap tahun karena asma.
Menarik khusus untuk orang yang tertarik pada faktor psikososial yang
berhubungan dengan asma mungkin biaya yang berkaitan dengan kepatuhan dan
ketidakpatuhan terhadap rejimen perawatan diri (kami mengatasi faktor-faktor
psikososial terkait dengan kepatuhan pada bagian selanjutnya). Misalnya, orang-
orang yang patuh dengan rejimen pengobatan mereka mungkin menimbulkan
biaya langsung lebih dalam obat dan dijadwalkan rawat jalan. Sebaliknya, orang
yang kurang patuh dengan rejimen pengobatan mereka mungkin akan dikenakan
biaya tidak langsung untuk obat dan rawat jalan.
Bukti Dasar Teori Psikologi Terapan Untuk Mekanisme Yang Terlibat Dalam
Asma
ii
kondisi klasikal. Resistensi pernafasan telah mempunyai kondisi klasik pada
peserta tanpa asma. Misalnya, aritmatika mental, tugas yang dapat menimbulkan
peningkatan resistensi pernapasan. Rietveld, van beest, dan Everaerd (2000) pada
saat remaja terkena asma dengan plasebo, asam sitrat pada tingkat yang diinduksi
batuk, atau asam sitrat pada 50% dari tingkat batuk-merangsang. Tujuan dari
penelitian mereka adalah untuk menguji peran harapan: beberapa pasien dituntun
untuk percaya pada penelitian ini tentang asma. Sangat mungkin bahwa batuk
memiliki asosiasi dengan kehadiran asma; dan orang-orang dengan asma lebih
mungkin untuk label batuk sebagai indikasi asma daripada orang tanpa asma.
Proses kognitif pada asma akan mengandaikan bahwa persepsi, sikap, dan
keyakinan tentang asma dapat memengaruhi gejala, pemanfaatan medis, dan lain
sebagainya. Beberapa bidang penelitian menginformasikan pemahaman kita
tentang proses kognitif dan persepsi pada asma, termasuk penelitian tentang efek
sugesti pada fungsi paru, dan perbandingan yang dirasakan dengan ukuran
objektif dari fungsi paru.
Metode yang biasa untuk menguji efek sugesti pada fungsi paru adalah
untuk menciptakan sebuah harapan untuk bronkokonstriksi dengan mengatakan
pada pasien bahwa mereka akan menghirup zat yang menyebabkan
i
bronkokonstriksi, substansi yang sebenarnya adalah garam. Pemeriksaan
karakteristik peserta (keparahan asma, intrinsik dibandingkan penyakit ekstrinsik,
usia) berpotensi terkait dengan kemungkinan respon terhadap sugesti tidak
mengungkapkan pola yang jelas, meskipun hasil yang lebih samar-samar untuk
perbedaan gender yang dicatat, dengan dua dari tiga studi melaporkan perempuan
untuk menjadi lebih responsif terhadap saran daripada pria.
Penelitian lain telah melaporkan adanya asosiasi yang lebih kuat antara
sesak napas yang dirasakan dan fungsi paru-paru. Dalam menangani penderita
asma tidak bisa menunda dalam mencari pengobatan, karena pasien mengalami
kesadaran penurunan fungsi pernafasan dalam 24 sampai 48 jam sebelum
mendapatkan perawatan yang intensif.
ii
udara yang tersedia didaur ulang, dan persepsi mereka tentang dyspnea lebih
rendah dari peserta tanpa asma (Kikuchi et al., 1994).
Pemeriksaan yang tepat waktu dan akurat status pernapasan Anda adalah
manajemen diri yang tepat untuk penyakit asma, tetapi penelitian menunjukkan
banyak variabilitas diantara pasien yang memiliki kemampuan perseptual yang
mungkin memiliki konsekuensi yang mengancam jiwa.
Teori psikoanalisis
Aleksitimia
Salah satu interpretasi bahwa keluhan gejala asma mungkin lebih mudah
diakses untuk pasien dengan cara yang dapat diterima untuk berkomunikasi
distress daripada emosi di antara pasien yang dapat dicirikan sebagai aleksitimia.
Membantu pasien tersebut mengidentifikasi emosi, mengatasi gairah emosional,
dan diskriminasi reaksi emosional dari gejala asma dapat menyebabkan
pemanfaatan yang lebih tepat dari sumber daya medis.
i
B. Gaya Koping Represi-Defensif
ii
fleskibel bagi keluarga yang mempunyai anak dengan penyakit asma. Selain itu,
keluarga berperan meingkatkan rasa percaya diri dan kemandirian pada anak, serta
membantu anak dalam beradaptasi terhadap keterbatasannya.
Faktor Psikologis yang Berhubugan dengan Asma
Pengaruh stress dan emosi pada asma
a. Studi laboratorium
Sejumlah penelitian laboratorium lainnya telah dilakukan untuk meneliti
efek induksi emosi pada persepsi gejala (misalnya, sesak napas) dan ukuran
objektif dari fungsi paru-paru. tetapi sesak napas tidak dikaitkan dengan ukuran
objektif dari fungsi paru-paru. Induksi emosi negatif diikuti dengan latihan dapat
meningkatkan subjektifitas mengenai laporan gejala asma (misalnya, sesak
napas), Demikian pula, induksi stres dan emosi negatif menghasilkan peningkatan
sesak napas, tetapi tidak obstruksi saluran pernapasan, antara remaja dengan
asma; sensasi sesak napas lebih kuat selama Paradigma induksi stres daripada
selama induksi obstruksi saluran napas yang sebenarnya, melalui prosedur
provokasi bronkus.
Terdapat hasi penelitian lainnya dari Rietveld dan koleganya mengenai
peran stress dan emosi negatif terhadap gejala subjektif dan objektif asma. Studi
ini lebih memanfaatkan remaja. Contohnya, apabila regulasi emosi dan penyakit
kronis dari manajemen diri merupakan proses yang cenderung meningkatkan
pengalaman, kematangan, dan lain sebagainya. Hasil dari penelitian ini terlalu
menilai tinggi mengenai induksi emosi negatif terhadap laporan subjektif dari
gejala asma pada orang dewasa.
Secara fisiologis, apabila besar tanggapan hormonal stres berbeda pada
remaja dibandingkan orang dewasa, aktivasi relatif dari sumbu HPA dapat
mengakibatkan pelepasan kortisol dan anti-versus dari efek inflamasi pro-in,
dengan konsekuensi untuk saluran pernapasan.
b. Studi di lingkungan natural
Terdapat sebuah studi yang menunjukkan hasil yang kuat antara suasana
hati dan stres dengan fungsi paru-paru terhadap 20 orang dewasa yang dipantau
berdasarkan variabel Psiko-sosialnya dan mencapai pertunjukan maksimum sekali
i
sehari dalam 10 hari (Smyth, Soefer, Hurewitz, Kliment, & Stone, 1999). Suasana
hati dan stres menyumbang 17% dari varians dalam maksimum memperlihatkan
suasana hati yang positif dikaitkan dengan peningkatan maksimum suasana hati
negatif dan stres yang terkait memperlihatkan penurunan yang maksimum.
Steptoe dan Holmes (1985) meminta 14 pria (setengah dari mereka
memiliki asma) untuk memantau suasana hati dan PEFR empat kali sehari selama
24 hari. Enam dari tujuh peserta dengan asma, tetapi hanya tiga dari tujuh peserta
tanpa asma, menunjukkan hasil yang signifikan dalam asosiasi subjek antara
suasana hati dan PEFR. Kelelahan adalah keadaan satu-satunya mood yang
menunjukkan sebuah asosiasi untuk ketiga peserta tanpa asma. Untuk peserta
dengan asma, suasana hati yang berhubungan dengan asma bervariasi berdasarkan
perseorangan.
Ringkasan
Dalam kajian Rietveld, Everaerd, dan Creer (2000) menyatakan masih
belum jelas apakah stres diakibatkan obstruksi saluran pernapasan benar-benar
terjadi. kritik mereka tentang isu-isu metodologis dengan studi di daerah ini patut
dicatat. kesimpulan mereka didasarkan pada asumsi penelitian klasik mengenai
efeknya untuk lebih diamati.
Mari tunjukkan bahwa hubungan antara stres dan asma adalah
idiographic, sehingga hal itu, akan ditentukan secara individual dan dipengaruhi
oleh sesuatu yang belum diketahui sebelumnya, ditandai dengan melindungi
terhadap risiko hubungan antara stres dan asma. Sebuah pendekatan idiographic
juga konsisten dalam memaparkan hasil studi yang telah meneliti asosiasi antara
stres dan asma, berdasarkan pada individu demi individu. Tidak semua individu
menunjukkan sebuh asosiasi, karena emosi yang berbeda bisa jadi terkait dengan
perubahan fungsi paru-paru setiap individu (personal).
Gangguan panik terjadi pada pasien yang menderita asma pada tingkat
tinggi yang telah dilaporkan dalam survei, sebagai contoh survei komorbiditas
ii
nasiaonal (Kessler dkk, 1994) melaporkan pravelensi gangguan panik seumur
hidup menjadi 3,5%. Kecemasan mungkin memperburuk asma melalui pendingin
saluran udara, dan asma dapat meningkatkan kerentanan terhadap panik melalui
hiperkapnia, dan efek samping dari obat .
Seperti dengan kondisi medis lainnya, asma juga adalah dikaitkan dengan
pravalensi yang lebih besar dari gangguan mood daripada populasi lain. Dalam
sebuah studi menemukan bahwa orang yang memiliki penyakit asma akan
menurunkan penyakitya dibandingkan yang tidak memiliki penyakit asma.
Sebuah studi lain menemunkan bukti untuk genetik berkontribusi terhadap alergi
dan depresi ( M. Wamboldt dkk, 2000). Alergi sering terjadi dengan asma, yang
mengarahkan genetik terhadap antara asma dan depresi. Depresi merupakan fakrot
risiko yang penting untuk asma yang fatal (B. Miller, 1987). Berbeda dengan studi
lain menemukan peningkatangangguan kejiwaan pada pasien asma, penelitian
lain telah menemukan kecemasan dan gejala depresi terkait dengan gejala
pernapasan, tetapi tidak terdiagnosis asma (Janson, Bjornsson, Hetta, & Boman,
1994).
Status Fungsional
i
Sistem saraf otonom dan proses inflamasi dalam stress dan asma:
kemungkinan hubungan
ii
Ketaatan
Pertama, penerimaan udara yang kurang baik dapat menjadi akibat dari
gangguan kejiwaan dengan diikuti kesulitan konsentrasi karena mengganggu
gejala emosional sehingga tidak dapat digunakan dengan baik. Kedua, gejala asma
mungkin hampir sama dengan gejala gangguan kejiwaan tertentu yang
menyebabkan kebinggungan untuk mengetahui sumber dari gangguan. Ketiga,
kurangnya persepsi dan gangguan kejiwaan mungkin sesuatu yang dianggap
i
umum sebagai efek dari sensasi somatik. Asma yang terjadi sebagai penyerta dari
gangguan kejiwaan pada pasien harus dinilai terlebih dahulu salah satunya dengan
mengetahui status paru-paru pasien.
Panik-ketakutan
Hubungan Sosial
Hubungan sosial dapat menurunkan atau buffer efek stress pada penyakit,
atau menjadi sumber lain stress. Pasien dengan penyakit asma yang memiliki
hubungan psikososial yang tinggi membutuhkan dosis steroid yang rendah
dibandingkan dengan pa sien dengan psikososial yang rendah. Pada beberapa
pasien penyakit asma kehadiran dari orang lain yang dianggap penting mungkin
ii
dapat dihipotesiskan sebagai penurun rasa takut pada kognitif dan dapat
dihubungkan sebagai penyebab penurunan munculnya gejala
i
bahwa efek langsung relaksasi pada asma berbeda dari efek jangka lama (Lehrer
et al., 1994; Lehrer, Hochron, et al., 1997). Gellhorn ( 1958 ) berhipotesis bahwa
efek umum dari metode relaksasi akan menurunkan gairah simpatetik dan
penurunan regulasi yang konsekuen dari refleks homeostatik parsimpatetik.
Vazquez dan Buceta (1993a, 1993b, 1993c) meneliti efek dari program
edukasi mengenai asma, dengan intruksi relaksasi dan mandiri, mereka
menemukan bukti bahwa efek terapetik relaksasi saat serangan asma hanya terjadi
pada anak-anak dengan pemicu emosional. Partisipan tanpa pemicu emosional
menunjukkan perubahan yang lebih besar dari pengukuran ini tanpa instruksi
relaksasi. Jadi, pelatihan relaksasi hanya bisa menguntungkan bagi pasien asma
dengan simptom pemicu emosional.
Teknik Biofeedback
EMG Biofeedback
Peper dkk membuat strategi biofeedback yang berhubungan dengan fungsi
pulmonari dengan tekanan di otot di leher dan toraks. Teknik ini menggunakan
pernapasan diagfragma dengan pelan dan pertambahan volume tiap kalinya.
Tiap tahapannya, semua subjek secara signifikan mengurangi level tekanan EMG
mereka selama menambah volume pernapasan mereka secara bertahap. Namun,
setiap penelitian tidak menunjukkan efek yg signifikan dari metode ini.
Biofeedback Resistensi Pernafasan
Mass dkk (1991) berupaya untuk melatih subjek agar menuruni resistensi
pernafasan dengan menyediakan pengukuran biofeedback secara berkelanjutan
menggunakan metode ayunan paksa (forced oscillation). Dalam percobaan yang
tak dikendali, teknik feedback ini mengurangi resistensi pernapasan biasa setiap
sesinya. Mass mengambil kesimpulan bahwa tipe biofeedback ini tidak efektif
untuk perawatan terhadap asma brokulus pada orang dewasa.
Biofeedback Pernapasan Arithmia Sinus
Dalam biofeedback ini pasien memanfaatkan pernapasan perut untuk
menaikan kekuatan dari Pernapasan Arithmia Sinus dalam frekuensi pernapasan
mereka seperti biasa. beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak klinik di
ii
Rusia yang mendukung pelatihan biofeedback ini karena dianggap efektif untuk
mengurangi gangguan neurotic dan stress fisik lainnya.
Metode Regulasi diri lainnya
Yoga
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa yoga telah menunjukkan
peningkatan pemulihan bagi penderita simptom asma, diikuti dengan sikap yang
positif, perasaan sejahtera dan menurunnya simptom panik. Hal ini dikarenakan
metode pernapasan yang teratur disertai dengan gerakan yang mendukung untuk
melemaskan otot-otot dibagian tubuh tertentu dan melancarkan peredaran darah.
Hipnosis
Kohen (1995) menyatakan bahwa metode hipnosis mampu Intervensi
hipnosis mampu meningkatkan kualitas hidup penderita asma dan menutunkan
simptom asma, namun tidak pada fungsi pulmonari.
i
BAB III
A. Simpulan
Penulis sadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis meminta kritik dan sarannya
yang tentunya saran yang membangun. Dengan itulah, penulis bisa menyusun
makalah dengan lebih baik di waktu mendatang. Untuk para pembaca, sebaiknya
lebih menggali informasi mengenai Penyakit Asma.
ii
DAFTAR PUSTAKA