Vous êtes sur la page 1sur 24

PENYAKIT ASMA

MAKALAH

diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Kesehatan yang diampu
oleh Sitti Chotidjah, M.A., P.Si.

Oleh Kelompok 6:

Tegar Lazuardi NIM 1500019


Tryan Tutiarima NIM 1500988
Elvira Febriyanti NIM 1501920
Vera Amanda Sutrisno NIM 1502174
Kharisma Dewanty Aulia NIM 1504920

DEPARTEMEN PSIKOLOGI
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2017

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena
atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul
Penyakit Asma tepat pada waktunya. Makalah ini merupakan salah satu tugas
mata kuliah Psikologi Kesehatan yang diampu oleh Sitti Chotidjah, M.A., P.Si.
Makalah ini berisikan penjelasan tentang bagaimana Penyakit Asma. Di akhir
makalah ini, penulis memberikan kesimpulan terhadap apa yang sudah dijelaskan
di atas.
Dalam penulisan makalah ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Sitti Chotidjah, M.A., P.Si. selaku dosen pengampu mata Psikologi Kesehatan
yang telah banyak mamberikan bimbingan, nasehat dan arahan kepada
penulis.
2. Orangtua penulis yang banyak memberikan dukungan dan pengorbanan baik
secara moril maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, penulis berharap para pembaca dapat memaklumi segala kekurangan
yang ada pada makalah ini. Penulis juga mengharapkan kritik dan saran dari
berbagai pihak, khususnya pembaca, yang bersifat membangun agar penulis dapat
berkarya lebih baik lagi pada masa yang akan datang.
Bandung, 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit asma yang merupakan penyakit inflamasi kronik saluran


pernafasan yang ditandai dengan obstruksi aliran nafas yang dengan terapi
spesifik dapat secara total ataupun parsial diredakan gejalanya, adalah
penyakit yang menjadi masalah serius pada kesehatan masyarakat di berbagai
negara di seluruh dunia dengan kekerapan yang bervariasi di setiap negara
dan cenderung meningkat pada negara-negara berkembang. Gejala-gejala
asma yang timbul dapat berakibat pada terganggunnya kehidupan sehari-hari
sehingga seseorang tidak dapat beraktivitas dengan optimal.

Tujuan dasar penatalaksanaan dari asma mengusahakan agar asma menjadi


terkontrol yang ditandai dengan gejala yang tidak ada atau minimal, tidak ada
keterbatasan aktiviti, faal paru yang normal atau mendekati normal. Penyakit
asma dapat muncul pada semua usia terutama pada usia muda dan penyakit
ini tidak tergantung oleh tingkat sosioekonomi tertentu. Salah satu sepuluh
penyakit terbesar penyebab morbiditas dan mortalitas di Indonesia adalah
asma.

Data dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen kesehatan


Republik Indonesia tahun 1986 menunjukkan asma menduduki urutan kelima
dari sepuluh penyebab morbiditas bersama-sama dengan bronkritis kronik
dan emfisema. Data SKRT tahun 1992, asma, bronkritis kronik, dan
emfisema juga menjadi penyebab kematian keempat di Indonesia. Pravelensi
penyakit asma di seluruh Indonesia tahun 1995 yaitu tiga belas dari seribu
orang.

Banyak penelitian yang mendapatkan bahwa masih sering ditemukan


penderita asma yang masih mempunyai gejala seperti gangguan tidur,
kunjungan ke unit gawat darurat, gangguan aktivitas, dan pmakaian obat
pelega napas. Penelitian lain mendapatkan angka kehilangan hari kerja dan

i
kehilangan hari sekolah yang tinggi pada populasi di Asia, Amerika, dan
Eropa.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, penulis merumuskan


beberapa masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana Epidemologi dan Biaya kesehatan penyakit Asma ?


2. Bagaimana Gaya koping Refresi-Defensif?
3. Bagaimana komordibitas gangguan psikiatri?
4. Bagaimana Faktor Psikososial yang berhubungan dengan Treatmen Medis
dengan Hasil Medis?
5. Bagaimana Efek Langsung Perawatan Psikologis dari Pelatihan Relaksasi
Patofisiologi Asma?
C. Tujuan Penulisan

Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk memaparkan:

1. Mengetahui Epidemologi dan Biaya Kesehatan penyakit Asma,


2. Mengetahui Gaya koping Refresi-Defensif,
3. Mengetahui komordibitas gangguan psikiatri
4. Mengetahui Faktor Psikososial yang berhubungan dengan Treatmen
Medis dengan Hasil Medis
5. Mengetahui Efek Langsung Perawatan Psikologis dari Pelatihan
Relaksasi Patofisiologi Asma

ii
BAB II
PEMBAHASAN

A. Epidemiologi Dan Kesehatan Biaya Berhubungan Dengan Asma

Asma merupakan gangguan inflamasi kronis di jalan napas. Dasar penyakit


ini adalah hiperaktivitas bronkus dan obstruksi jalan napas. Gejala asma adalah
gangguan pernapasan (sesak), batuk produktif terutama pada malam hari atau
menjelang pagi, dan dada terasa tertekan. Gejala tersebut memburuk pada malam
hari, adanya alergen (seperti debu, asap rokok) atau saat sedang menderita sakit
seperti demam. Gejala hilang dengan atau tanpa pengobatan. Didefinisikan
sebagai asma jika pernah mengalami gejala sesak napas yang terjadi pada salah
satu atau lebih kondisi: terpapar udara dingin dan/atau debu dan/atau asap rokok
dan/atau stres dan/atau flu atau infeksi dan/atau kelelahan dan/atau alergi obat
dan/atau alergi makanan dengan disertai salah satu atau lebih gejala: mengi
dan/atau sesak napas berkurang atau menghilang dengan pengobatan dan/atau
sesak napas berkurang atau menghilang tanpa pengobatan dan/atau sesak napas
lebih berat dirasakan pada malam hari atau menjelang pagi dan jika pertama kali
merasakan sesak napas saat berumur <40 tahun (usia serangan terbanyak)
(Riskesdas, 2013).
Prevalensi Penyakit asma menurut provinsi, Indonesia 2013
Provinsi prevalensi
Aceh 4,0
Sumatera Utara 2,4
Sumatera Barat 2,7
Riau 2,0
Jambi 2,4
Sumatera Selatan 2,5
Bengkulu 2,0
Lampung 1,6
Bangka Belitung 4,3
Kepulauan Riau 3,7
DKI Jakarta 5,2
Jawa Barat 5,0

i
Jawa Tengah 4,3
DI Yogyakarta 6,9
Jawa Timur 5,1
Banten 3,8
Bali 6,2
Nusa Tenggara 5,1
Barat
Nusa Tenggara 7,3
Timur
Kalimantan 3,2
Barat
Kalimantan 5,7
Tengah
Kalimantan 6,4
Selatan
Kalimantan 4,1
Timur
Sulawesi Utara 4,7
Sulawesi Tengah 7,8
Sulawesi Selatan 6,7
Sulawesi 5,3
Tenggara
Gorontalo 5,4
Sulawesi Barat 5,8
Maluku 5,3
Maluku Utara 5,0
Papua Barat 3,6
Papua 5,8
Indonesia 4,5

Prevalensi Penyakit asma menurut karakteriktis, Indonesia 2013

karakteriktis prevalensi
<1 1,5
1- 4 3,8
5-14 3,9
15-24 5,6
25-34 5,7
35-44 5,6
45-54 3,4
55-64 2,8
65-74 2,9
75+ 2,6

ii
Laki-Laki 4,4
Perempuan 4,6
Tidak Sekolah 4,2
Tidak Tamat SD 4,4
Tamat SD 4,9
Tamat SMP 5,0
Tamat SMA 4,5
Tamat D1-D3/PT 3,8
Tidak Bekerja 4,8
Pegawai 4,3
Wiraswasta 4,4
Petani/Nelayan/B 4,9
uruh
Lainnya 5,3
Perkotaan 4,5
Perdesaan 4,5
Terbawah 5,8
Menengah bawah 4,7
Menengah 4,4
Menengah atas 4,3
Teratas 3,6

Sekitar 7,5% penduduk AS dilaporkan memiliki asma, atau sekitar 17 juta


orang (Centers for Disease Control, 2001). (Tingkat seumur hidup untuk asma
diperkirakan 10,5%.) Sekitar sepertiga dari orang dengan asma adalah anak-anak
di bawah usia 18. Asma telah dilaporkan lebih banyak penderita wanita 9,1% vs
5,1% daripada laki-laki. Penyebab perbedaan gender dalam asma yang dilaporkan
tidak diketahui; lebih besar massa tubuh (Camargo, Weiss, Zhang, Willett, &
Speizer, 1999) dan / atau penggunaan hormon eksogen (Troisi, Speizer, Willett,
Trichopoulos, & Rosner, 1995) dapat menyebabkan tingkat asma yang lebih tinggi
di kalangan wanita.

Prevalensi dan tingkat kematian terus meningkat dalam beberapa dekade


terakhir. Menurut National Health Interview Survey usia-spesifik tingkat
prevalensi c untuk asma dilaporkan meningkat 58,6% antara tahun 1982 dan
1996. Secara khusus, tingkat prevalensi meningkat 123,4% selama ini 14 tahun
(1982 - 1996) untuk orang dewasa muda berusia 18-44 tahun (American Lung
Association, 2001). Tingkat kematian karena asma pada lanjut usia meningkat

i
55% antara tahun 1979 dan 1998, dengan total lebih dari 5.400 orang per tahun
pada tahun 1998 (American Lung Association, 2001). Faktor lingkungan seperti
polusi hanya sebagian menjelaskan peningkatan prevalensi asma dan kematian.
Yang menarik adalah faktor psikososial yang dapat berkontribusi secara langsung
atau tidak langsung terhadap meningkatnya prevalensi dan kematian yang
berhubungan dengan asma (Wright et al., 1998). Sebuah konseptualisasi mengenai
asma memiliki komponen emosional dan psikososial itu tidak baru. Namun, dari
awal abad kedua puluh, asma dianggap sebagai penyakit prototipikal (Groddeck,
1928). Perkembangan psikoneuroimunologi dapat berkontribusi pada sintesis baru
dan penghargaan untuk bagaimana sistem biologis dan psikologis berinteraksi
untuk menghasilkan dan mempertahankan asma.

Asma itu mahal. Pada tahun 2000, perawatan asma di AS mencapai $ 12,7
miliar pada biaya langsung dan tidak langsung, termasuk biaya yang berkaitan
dengan kematian prematur dan waktu dari pekerjaan karena asma (lihat
http://www.lungusa.org/data/asthma/ ASTHMA1.pdf). Di Amerika Serikat, sekitar
3 juta hari kerja dan 10,1 juta hari sekolah hilang setiap tahun karena asma.
Menarik khusus untuk orang yang tertarik pada faktor psikososial yang
berhubungan dengan asma mungkin biaya yang berkaitan dengan kepatuhan dan
ketidakpatuhan terhadap rejimen perawatan diri (kami mengatasi faktor-faktor
psikososial terkait dengan kepatuhan pada bagian selanjutnya). Misalnya, orang-
orang yang patuh dengan rejimen pengobatan mereka mungkin menimbulkan
biaya langsung lebih dalam obat dan dijadwalkan rawat jalan. Sebaliknya, orang
yang kurang patuh dengan rejimen pengobatan mereka mungkin akan dikenakan
biaya tidak langsung untuk obat dan rawat jalan.

Bukti Dasar Teori Psikologi Terapan Untuk Mekanisme Yang Terlibat Dalam
Asma

Pengkondisian klasikal dan operan

Pengkondisian klasikal akan dilakukan kepada pasien asma ketika sudah


menyebabkan bronkokonstriksi berulang kali, sehingga menciptakan stimulus

ii
kondisi klasikal. Resistensi pernafasan telah mempunyai kondisi klasik pada
peserta tanpa asma. Misalnya, aritmatika mental, tugas yang dapat menimbulkan
peningkatan resistensi pernapasan. Rietveld, van beest, dan Everaerd (2000) pada
saat remaja terkena asma dengan plasebo, asam sitrat pada tingkat yang diinduksi
batuk, atau asam sitrat pada 50% dari tingkat batuk-merangsang. Tujuan dari
penelitian mereka adalah untuk menguji peran harapan: beberapa pasien dituntun
untuk percaya pada penelitian ini tentang asma. Sangat mungkin bahwa batuk
memiliki asosiasi dengan kehadiran asma; dan orang-orang dengan asma lebih
mungkin untuk label batuk sebagai indikasi asma daripada orang tanpa asma.

Berbeda dengan pengkondisian klasik, pengkondisian operan telah


mendapat sedikit perhatian sebagai potensiasi atau pemeliharaan mekanisme
untuk asma. Peran pengkondisian operan mungkin lebih menonjol dalam kondisi
medis. Perilaku pasien yang berhubungan dengan kondisi medis dijelaskan dapat
dibentuk oleh reaksi dan konsekuensi dalam lingkungan mereka daripada dengan
kondisi fisiologis baik ditandai untuk perawatan yang efektif, seperti asma.
Meskipun demikian, ada kemungkinan bahwa konsekuensi pada pasien, bentuk
lingkungan pasien, perilaku manajemen diri (misalnya, penggunaan obat),
demikian mengerahkan efek tidak langsung pada asma.

Proses kognitif dan perseptual

Proses kognitif pada asma akan mengandaikan bahwa persepsi, sikap, dan
keyakinan tentang asma dapat memengaruhi gejala, pemanfaatan medis, dan lain
sebagainya. Beberapa bidang penelitian menginformasikan pemahaman kita
tentang proses kognitif dan persepsi pada asma, termasuk penelitian tentang efek
sugesti pada fungsi paru, dan perbandingan yang dirasakan dengan ukuran
objektif dari fungsi paru.

Pengaruh sugesti pada Fungsi paru

Metode yang biasa untuk menguji efek sugesti pada fungsi paru adalah
untuk menciptakan sebuah harapan untuk bronkokonstriksi dengan mengatakan
pada pasien bahwa mereka akan menghirup zat yang menyebabkan

i
bronkokonstriksi, substansi yang sebenarnya adalah garam. Pemeriksaan
karakteristik peserta (keparahan asma, intrinsik dibandingkan penyakit ekstrinsik,
usia) berpotensi terkait dengan kemungkinan respon terhadap sugesti tidak
mengungkapkan pola yang jelas, meskipun hasil yang lebih samar-samar untuk
perbedaan gender yang dicatat, dengan dua dari tiga studi melaporkan perempuan
untuk menjadi lebih responsif terhadap saran daripada pria.

Para penulis menyarankan bahwa penggunaan ruang udara, dibandingkan


dengan penggunaan garam (yang memiliki efek bronkokonsttiksi sedikit) di
penelitian sebelumnya, dapat menjelaskan hasil yang berbeda. Sugesti
mengakibatkan perubahan udara yang dirasakan.

Perceived versus Objective Pulmonary Function

Manajemen diri sangat penting untuk perawatan asma yang optimal;


keterampilan manajemen diri termasuk kepatuhan dengan obat, yang biasanya
melibatkan menggunakan obat berdasarkan persepsi kebutuhan oleh pemantauan
diri atau kesadaran (misalnya, pretreatment sebelum latihan). Dari perspektif ini,
jelas bahwa pasien mempunyai persepsi merupakan dasar untuk kontrol asma
yang optimal.

Penelitian lain telah melaporkan adanya asosiasi yang lebih kuat antara
sesak napas yang dirasakan dan fungsi paru-paru. Dalam menangani penderita
asma tidak bisa menunda dalam mencari pengobatan, karena pasien mengalami
kesadaran penurunan fungsi pernafasan dalam 24 sampai 48 jam sebelum
mendapatkan perawatan yang intensif.

Pasien asma yang berat akan memiliki ketidakmampuan untuk melihat


perubahan udara yang akan mengancam kehidupan atau fatal. Sekelompok pasien
tanpa asma mengungkapkan bahwa pasien yang mengalami serangan fatal
memiliki respon pernapasan tumpul terhadap hipoksia yang dihasilkan oleh
rebreathing, sehingga secara bertahap meningkatkan karbon dioksida sebagai

ii
udara yang tersedia didaur ulang, dan persepsi mereka tentang dyspnea lebih
rendah dari peserta tanpa asma (Kikuchi et al., 1994).

Pemeriksaan yang tepat waktu dan akurat status pernapasan Anda adalah
manajemen diri yang tepat untuk penyakit asma, tetapi penelitian menunjukkan
banyak variabilitas diantara pasien yang memiliki kemampuan perseptual yang
mungkin memiliki konsekuensi yang mengancam jiwa.

Teori psikoanalisis

Dari perspektif psikoanalitik, asma telah mengemukakan bahwa emosi


ditekan dan ekspresi emosional, seperti ditekan menangis (Alexander, 1955).
Perspektif ini memandang asma sebagai penyakit psikosomatik, menunjukkan
hubungan kausal langsung antara faktor psikologis dan penyakit. Literatur
psychoanalytically-informasi yang berkaitan dengan asma sebagian besar terbatas
pada studi kasus dan bahan klinis lainnya (misalnya, Levitan, 1985). Dua bidang
penelitian empiris yaitu, penelitian tentang aleksitimia dan gaya koping represif-
defensif.

Aleksitimia

Beberapa dekade lalu, sekelompok peneliti mengembangkan ukuran


aleksitimia sebagai subskala dari MMPI (Kleiger & Kinsman, 1980) dan
digunakan dalam serangkaian studi pasien dengan asma. Mereka menemukan
bahwa pasien aleksitimia lebih mungkin untuk dirawat dirumah sakit dan
memiliki waktu yang panjang untuk tinggal daripada pasien non-aleksitimia
(Dirks, Robinson, & Dirks, 1981); perbedaan ini tidak disebabkan keparahan
asma yang mendasari.

Salah satu interpretasi bahwa keluhan gejala asma mungkin lebih mudah
diakses untuk pasien dengan cara yang dapat diterima untuk berkomunikasi
distress daripada emosi di antara pasien yang dapat dicirikan sebagai aleksitimia.
Membantu pasien tersebut mengidentifikasi emosi, mengatasi gairah emosional,
dan diskriminasi reaksi emosional dari gejala asma dapat menyebabkan
pemanfaatan yang lebih tepat dari sumber daya medis.

i
B. Gaya Koping Represi-Defensif

Gaya koping repsesi-defensif mempunyai keterkaitan dengan penyakit


asma dan penyakit medis lainnya. Yang ditandai rendahnya tingkat laporan diri
mengenai distress, tingginya level defensif dalam laporan diri, dan tingginya level
rangsangan serta reaksi fisiologi yang diukur secara objektif. Pada orang dewasa
yang mempunyai sistem kekebalan regulasi diri yang rendah akan berdampak
meningkatknya resiko infeksi saluran pernapasan, selain itu menurunnya fungsi
sistem saraf otonom ditandai dengan hypoarousal simpatik dan hyperarousal
parasimpatis.
Sedangkan untuk sampel dari anak-anak, gaya koping represif-defensif
tidak memunculkan karakteristik, karena tidak ada keterkaitan dengan reaksi
fisiologis stress. Koping represif-defensif ini berkaitan dengan konsep
psikoanalitik yang menjelaskan mengenai gejala awal, ekspresi, kursus, dan hasil.
Penelitian tentang koping represif-defensif di antara orang dewasa dibenarkan,
karena tipe ini lebih terpolarisasi pada orang deawasa dan mungkin kuat dalam
pengaruh pada perilaku manajemen diri dibadingkan kalangan anak-anak.
Teori sistem keluarga
Model sistem keluarga telah dieksplorasi dengan anak-anak dan remaja
penderita asma. Pada pandangan sistematik klasik, dinamika keluarga dapat
menciptakan dan memunculkan psikomatis yang nantinya menimbulkan gejala
asma. Hal ini disebabkan terjadinya disfungsional dinamika keluarga, dimana
pihak keluarga yang mempunyai anak dengan penyakit asma akan dihadapkan
dengan pengambilan keputusan secara berlarut dan berkali-kali, kekacauan
tanggapan, over-protektif, tidak luwes, dan persetujuan tanpa protes dengan
keinginan anak, yang mungkin mengarahkan sikap overprotective dan kesulitan
dengan resolusi konflik, seperti yang akan disarankan oleh teori sistem.
Peran keluarga dalam menanggapi atau menagani anak dengan penyakit
asma harus didukung dengan mekanisme koping, kerabat, dukungan sosial, dan
jaringan komunitas yang sangat diperlukan untuk memberikan dukungan yang

ii
fleskibel bagi keluarga yang mempunyai anak dengan penyakit asma. Selain itu,
keluarga berperan meingkatkan rasa percaya diri dan kemandirian pada anak, serta
membantu anak dalam beradaptasi terhadap keterbatasannya.
Faktor Psikologis yang Berhubugan dengan Asma
Pengaruh stress dan emosi pada asma
a. Studi laboratorium
Sejumlah penelitian laboratorium lainnya telah dilakukan untuk meneliti
efek induksi emosi pada persepsi gejala (misalnya, sesak napas) dan ukuran
objektif dari fungsi paru-paru. tetapi sesak napas tidak dikaitkan dengan ukuran
objektif dari fungsi paru-paru. Induksi emosi negatif diikuti dengan latihan dapat
meningkatkan subjektifitas mengenai laporan gejala asma (misalnya, sesak
napas), Demikian pula, induksi stres dan emosi negatif menghasilkan peningkatan
sesak napas, tetapi tidak obstruksi saluran pernapasan, antara remaja dengan
asma; sensasi sesak napas lebih kuat selama Paradigma induksi stres daripada
selama induksi obstruksi saluran napas yang sebenarnya, melalui prosedur
provokasi bronkus.
Terdapat hasi penelitian lainnya dari Rietveld dan koleganya mengenai
peran stress dan emosi negatif terhadap gejala subjektif dan objektif asma. Studi
ini lebih memanfaatkan remaja. Contohnya, apabila regulasi emosi dan penyakit
kronis dari manajemen diri merupakan proses yang cenderung meningkatkan
pengalaman, kematangan, dan lain sebagainya. Hasil dari penelitian ini terlalu
menilai tinggi mengenai induksi emosi negatif terhadap laporan subjektif dari
gejala asma pada orang dewasa.
Secara fisiologis, apabila besar tanggapan hormonal stres berbeda pada
remaja dibandingkan orang dewasa, aktivasi relatif dari sumbu HPA dapat
mengakibatkan pelepasan kortisol dan anti-versus dari efek inflamasi pro-in,
dengan konsekuensi untuk saluran pernapasan.
b. Studi di lingkungan natural
Terdapat sebuah studi yang menunjukkan hasil yang kuat antara suasana
hati dan stres dengan fungsi paru-paru terhadap 20 orang dewasa yang dipantau
berdasarkan variabel Psiko-sosialnya dan mencapai pertunjukan maksimum sekali

i
sehari dalam 10 hari (Smyth, Soefer, Hurewitz, Kliment, & Stone, 1999). Suasana
hati dan stres menyumbang 17% dari varians dalam maksimum memperlihatkan
suasana hati yang positif dikaitkan dengan peningkatan maksimum suasana hati
negatif dan stres yang terkait memperlihatkan penurunan yang maksimum.
Steptoe dan Holmes (1985) meminta 14 pria (setengah dari mereka
memiliki asma) untuk memantau suasana hati dan PEFR empat kali sehari selama
24 hari. Enam dari tujuh peserta dengan asma, tetapi hanya tiga dari tujuh peserta
tanpa asma, menunjukkan hasil yang signifikan dalam asosiasi subjek antara
suasana hati dan PEFR. Kelelahan adalah keadaan satu-satunya mood yang
menunjukkan sebuah asosiasi untuk ketiga peserta tanpa asma. Untuk peserta
dengan asma, suasana hati yang berhubungan dengan asma bervariasi berdasarkan
perseorangan.
Ringkasan
Dalam kajian Rietveld, Everaerd, dan Creer (2000) menyatakan masih
belum jelas apakah stres diakibatkan obstruksi saluran pernapasan benar-benar
terjadi. kritik mereka tentang isu-isu metodologis dengan studi di daerah ini patut
dicatat. kesimpulan mereka didasarkan pada asumsi penelitian klasik mengenai
efeknya untuk lebih diamati.
Mari tunjukkan bahwa hubungan antara stres dan asma adalah
idiographic, sehingga hal itu, akan ditentukan secara individual dan dipengaruhi
oleh sesuatu yang belum diketahui sebelumnya, ditandai dengan melindungi
terhadap risiko hubungan antara stres dan asma. Sebuah pendekatan idiographic
juga konsisten dalam memaparkan hasil studi yang telah meneliti asosiasi antara
stres dan asma, berdasarkan pada individu demi individu. Tidak semua individu
menunjukkan sebuh asosiasi, karena emosi yang berbeda bisa jadi terkait dengan
perubahan fungsi paru-paru setiap individu (personal).

C. Komordibidatas Gangguan Psikiatri: Pravalensi dan Efek


Gangguan Panik

Gangguan panik terjadi pada pasien yang menderita asma pada tingkat
tinggi yang telah dilaporkan dalam survei, sebagai contoh survei komorbiditas

ii
nasiaonal (Kessler dkk, 1994) melaporkan pravelensi gangguan panik seumur
hidup menjadi 3,5%. Kecemasan mungkin memperburuk asma melalui pendingin
saluran udara, dan asma dapat meningkatkan kerentanan terhadap panik melalui
hiperkapnia, dan efek samping dari obat .

Gangguan Suasana Hati

Seperti dengan kondisi medis lainnya, asma juga adalah dikaitkan dengan
pravalensi yang lebih besar dari gangguan mood daripada populasi lain. Dalam
sebuah studi menemukan bahwa orang yang memiliki penyakit asma akan
menurunkan penyakitya dibandingkan yang tidak memiliki penyakit asma.
Sebuah studi lain menemunkan bukti untuk genetik berkontribusi terhadap alergi
dan depresi ( M. Wamboldt dkk, 2000). Alergi sering terjadi dengan asma, yang
mengarahkan genetik terhadap antara asma dan depresi. Depresi merupakan fakrot
risiko yang penting untuk asma yang fatal (B. Miller, 1987). Berbeda dengan studi
lain menemukan peningkatangangguan kejiwaan pada pasien asma, penelitian
lain telah menemukan kecemasan dan gejala depresi terkait dengan gejala
pernapasan, tetapi tidak terdiagnosis asma (Janson, Bjornsson, Hetta, & Boman,
1994).

Status Fungsional

Studi berbasis populasi seperti hasil medis menunjukkan bahwa kondisi


individual, kejiwaan dan kondisi medis kronis yang berhubungan dengan miskin
status fungsional (Hays, Wells, Sherbourne, Rogers, & Spritzer, 1995). Asma
dikaitkan dengan kualitas hidup yang rendah (Quirk & Jones, 1990), adalah
penyebab utama ketiga yang hilang waktu dari pekerjaan, di belakang dua
kategori masalah punggung (Blanc, Jones, Besson, Katz, & Yellin, 1993); dan
umumnya, memiliki efek negatif pada status fungsional (Bousquet dkk, 1994;
Ried, Nau, & Grainger-Rousseau, 1999). Pasien asma dengan depresi atau
kecemasan memiliki fisik yang lebih buruk dibandingkan dengan pasien asma
yang tidak depresi atau mengalami kecemasan (Afari dkk, 2001).

i
Sistem saraf otonom dan proses inflamasi dalam stress dan asma:
kemungkinan hubungan

Sebagaimana dicatat, kesimpulan yang masuk akal mengenai efek dari


stres dan emosi pada asma adalah bahwa beberapa orang dengan asma
menunjukkan perubahan stres atau emosi terkait di fungsi paru. Kekebalan tubuh,
endokrin, dan sistem saraf otonom dapat berkontribusi untuk variabilitas napas
dan berinteraksi dalam cara kompleks untuk membantu menjelaskan perubahan
yang berhubungan dengan stres dalam fungsi saluran napas. Stres meningkatkan
kerentanan terhadap infeksi; pernapasan atas infeksi sering dikaitkan dengan asma
eksaserbasi. Stres dapat memengaruhi fungsi kekebalan tubuh, perubahan fungsi
kekebalan tubuh termasuk dalam tanggapan inflamasi, termasuk saluran napas
diinflamas, dan perbedaan individu dalam perubahan fungsi kekebalan tubuh
dalam merespons stres mungkin sebagian menjelaskan variabilitas idiographic
dalam respon terhadap stress.

Perawatan Medis untuk Asma

Rekomendasi pengobatan disesuaikan dengan tingkat keparahan,


sehingga langkah perawatan dan pengobatan di campurkan dan sesuai dengan
keparahan. Obat untuk mengobati asma biasanya terbagi menjadi dua: controller
dan pereda. Obat pengontrol diarahkan untuk anti inflamasi dan termasuk jangka
panjang inhalasi. Obat pereda melalui relaksasi otot-otot halus. Mild-Intermiten
asma dapat dikontrol melalui asneeded yang penggunaan obat pereda. Parah-
persistent asma memerlukan penggunaan konsisten obat peresa dan kedua obat
pengontrol di minum atau di hirup. Efek samping dari obat pereda yaitu
kegelisahan, denyut jantung yang cepat, gemetar, dan sakit kepala. Efek samping
yang lebih umum dari inhalasi obat pengontrol yautu suara serak dan sakit atau
mulut kering dan tenggorokan, sedangkan obat pengontrol yang diminum
menyebabkan peningkatan nafsu makan, gugup atau gelisah.

ii
Ketaatan

Kurangnya kepatuhan terhadap obat yang diresepkan diduga untuk


menjelaskan proporsi tidak bisa morbiditas, faktor-faktor psikososial terkait
dengan perawatan medis dan hasil 109 kematian, dan mendesak atau perawatan
medis muncul. Sebuah studi melaporkan bahwa 30% dari peserta mereka
mengambil 50% lebih dari obat yang di resepkan (F.Dekker, Dieleman, Kapstein,
& Mulder, 1993). Kepatuhan dengan obat pereda biasanya lebih baik daripada
dengan obat controller (Kelloway, Wyatt, DeMarco, & Adlis, 2000). Kepatuhan
dengan obat hanya salah satu komponen dari kepatuhan terhadap pengobatan.
Penelitian belum fokus pada komponen lain mengenai kepatuhan pengobatan,
seperti kepatuhan kepatuhan dengan penghindaran alergen dan pengendalian
lingkungan. Pasien yang menerima perawatan asma mereka dari dokter spesialis
daripa dokter umum dengan perawatan lebih konsisten dan sesuai pedoman
pengobatan (Legoretta dkk, 1998; Meng dkk, 1999; Vollmere dkk, 1997).

D. Faktor Psikososial yang berhubungan dengan Treatmen Medis


dengan Hasil Medis

Psychiatric Disorders (Gangguan Kejiwaan)

Gangguan kejiwaan menyebabkan pasien penderita asma sulit untuk


mengetahui status dari paru-parunya dan tindakan apa yang harus diberikan.
Penerimaan udara yang lebih sedikit menyebabkan sesak nafas. Mekanisme
mengenai penerimaan udara belum diketahui mempunyai pengaruh terhadap
gangguan jiwa. Ada beberapa kemungkinan penjelasan secara psikologis
mengenai persepsi dari geajala tersebut.

Pertama, penerimaan udara yang kurang baik dapat menjadi akibat dari
gangguan kejiwaan dengan diikuti kesulitan konsentrasi karena mengganggu
gejala emosional sehingga tidak dapat digunakan dengan baik. Kedua, gejala asma
mungkin hampir sama dengan gejala gangguan kejiwaan tertentu yang
menyebabkan kebinggungan untuk mengetahui sumber dari gangguan. Ketiga,
kurangnya persepsi dan gangguan kejiwaan mungkin sesuatu yang dianggap

i
umum sebagai efek dari sensasi somatik. Asma yang terjadi sebagai penyerta dari
gangguan kejiwaan pada pasien harus dinilai terlebih dahulu salah satunya dengan
mengetahui status paru-paru pasien.

Variabel Psikologi lainnya yang berhubungan dengan Perawatan Diri dan


Pemanfaatan Medis

Panik-ketakutan

Penelitian mengenai Panik-Ketakutan pada asma telah difokuskan secara


umum dan spesifik. Secara umum reaksi dari kecenderungan panik-takut dapat
diukur menggunakan subscale MMPI, dan kecenderungan panik-takut secara
spesifik dapat diukur menggunakan subscale Checklist Gejala Asma. Keparahan
objektif asma baik secara umum maupun spesifik dihubungkan dengan
pemanfaatan medis. Panik-ketakutan telah dihubungkan dengan rehospitalization.
Tingkat rehospitalization yang tinggi berhubungan dengan panik-ketakutan secara
umum dan sebaliknya tingkat yang rendah berhubungan dengan panik-ketakutan
secara spesifik.

Orang dengan asma dan panik-ketakutan yang spesifik diikutin dengan


bencana pada kognitif seperti ditemukannya pasien yang memenuhi kriteria
gangguan panik, hal tersebut membutuhkan intervensi kognitif. Orang dengan
asma dan panik-ketakutan secara umum tidak dapat mengetahui ancaman yang
akan didapatkan dan awal mula atau berakhirnya ancaman yang akan didapatkan.
Secara bersamaan beberapa asma dengan panik-ketakutan spesifik itu adaptik
sedangkan tingkat tinggi dari asma dengan panik-ketakutan secara umum itu tidak
adaptif dengan manajemen diri.

Hubungan Sosial

Hubungan sosial dapat menurunkan atau buffer efek stress pada penyakit,
atau menjadi sumber lain stress. Pasien dengan penyakit asma yang memiliki
hubungan psikososial yang tinggi membutuhkan dosis steroid yang rendah
dibandingkan dengan pa sien dengan psikososial yang rendah. Pada beberapa
pasien penyakit asma kehadiran dari orang lain yang dianggap penting mungkin

ii
dapat dihipotesiskan sebagai penurun rasa takut pada kognitif dan dapat
dihubungkan sebagai penyebab penurunan munculnya gejala

Intervensi Psikologi untuk Penyakit Asma

Edukasi mengenai Asma


Perawatan diri untuk penderita asma melibatkan beberapa perilaku yang
kompleks. Pasien harus dapat mengidentifikasi gejala asma pada dirinya.Menurut
NHLBHI yang di sponsori oleh Expert Panel Report merekomendasikan bahwa
setiap penderita asma harus mempunyai perencanaan aktivitas yang akan
dilakukan. Perencanaan aktivitas tersebut dapat mengingatkan pasien untuk
meminum obat dan berkonsultasi kepada dokter
Psikoterapi
Terapi yang dapat dilakukan adalah melalui kombinasi antara CBT
(Cognitive-Behavioral Therapy) dengan edukasi mengenai asma. Pengobatan ini
dimulai oleh Sommaruga dan rekannya dan saat ini sedang diteliti lebih lanjut
oleh NHLBI. Pengobatan tersebut meliputi edukasi pendidikan mengenai asma,
manajemen diri, manajemen kecemasan, instruksi ketika mendapat serangan
asma, paparan dan pemecahan asma, dan pencegahan agar asma tidak kambuh
lagi.
Pelatihan Ekspresi Emosional yang Tertulis
Pasien penderita asma terutama anak-anak lebih sering menampilkan emosi
yang negatif dibandingkan orang yang sehat. Data empirik pada suatu penelitian
menampilkan bahwa hal yang diinginkan oleh penderita asma adalah untuk
menjadi sehat.
Intervensi Psikososial lainnya
Castes melakukan intervensi kepada beberapa anak yang menderita asma
dengan memberikan program selama enam bulan Program tersebut meliputi terapi
cognitive stress management, workshop mengenai self esteem, dan relaksasi diri.
Hasilnya menunjukan bahwa dalam jangka waktu yang panjang, metode
manajemen stress dapat menecegah efek dari asma dan dapat mempengaruhi
mekanisme dari penyakit tersebut.
E. Efek Langsung Perawatan Psikologis dari Pelatihan Relaksasi
Patofisiologi Asma
Ada kemungkinan pelatihan relaksasi mempunyai pengaruh yang penting
hanya bagi penyandang asma secara emosional, atau pada penderita asma yg
belum menjalani pengobatan. Data dari penelitian laboratorium menunjukkan

i
bahwa efek langsung relaksasi pada asma berbeda dari efek jangka lama (Lehrer
et al., 1994; Lehrer, Hochron, et al., 1997). Gellhorn ( 1958 ) berhipotesis bahwa
efek umum dari metode relaksasi akan menurunkan gairah simpatetik dan
penurunan regulasi yang konsekuen dari refleks homeostatik parsimpatetik.
Vazquez dan Buceta (1993a, 1993b, 1993c) meneliti efek dari program
edukasi mengenai asma, dengan intruksi relaksasi dan mandiri, mereka
menemukan bukti bahwa efek terapetik relaksasi saat serangan asma hanya terjadi
pada anak-anak dengan pemicu emosional. Partisipan tanpa pemicu emosional
menunjukkan perubahan yang lebih besar dari pengukuran ini tanpa instruksi
relaksasi. Jadi, pelatihan relaksasi hanya bisa menguntungkan bagi pasien asma
dengan simptom pemicu emosional.
Teknik Biofeedback
EMG Biofeedback
Peper dkk membuat strategi biofeedback yang berhubungan dengan fungsi
pulmonari dengan tekanan di otot di leher dan toraks. Teknik ini menggunakan
pernapasan diagfragma dengan pelan dan pertambahan volume tiap kalinya.
Tiap tahapannya, semua subjek secara signifikan mengurangi level tekanan EMG
mereka selama menambah volume pernapasan mereka secara bertahap. Namun,
setiap penelitian tidak menunjukkan efek yg signifikan dari metode ini.
Biofeedback Resistensi Pernafasan
Mass dkk (1991) berupaya untuk melatih subjek agar menuruni resistensi
pernafasan dengan menyediakan pengukuran biofeedback secara berkelanjutan
menggunakan metode ayunan paksa (forced oscillation). Dalam percobaan yang
tak dikendali, teknik feedback ini mengurangi resistensi pernapasan biasa setiap
sesinya. Mass mengambil kesimpulan bahwa tipe biofeedback ini tidak efektif
untuk perawatan terhadap asma brokulus pada orang dewasa.
Biofeedback Pernapasan Arithmia Sinus
Dalam biofeedback ini pasien memanfaatkan pernapasan perut untuk
menaikan kekuatan dari Pernapasan Arithmia Sinus dalam frekuensi pernapasan
mereka seperti biasa. beberapa penelitian menunjukkan bahwa banyak klinik di

ii
Rusia yang mendukung pelatihan biofeedback ini karena dianggap efektif untuk
mengurangi gangguan neurotic dan stress fisik lainnya.
Metode Regulasi diri lainnya
Yoga
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa yoga telah menunjukkan
peningkatan pemulihan bagi penderita simptom asma, diikuti dengan sikap yang
positif, perasaan sejahtera dan menurunnya simptom panik. Hal ini dikarenakan
metode pernapasan yang teratur disertai dengan gerakan yang mendukung untuk
melemaskan otot-otot dibagian tubuh tertentu dan melancarkan peredaran darah.
Hipnosis
Kohen (1995) menyatakan bahwa metode hipnosis mampu Intervensi
hipnosis mampu meningkatkan kualitas hidup penderita asma dan menutunkan
simptom asma, namun tidak pada fungsi pulmonari.

i
BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Asma merupakan penyakit kronis yang berhubung dengan keadaan


lingkungan tidak sehat dan kematian, dan angka penderita asma kian bertambah
seiring berjalannya waktu.
Sebuah ringkasan mengenai penerapan teori psikologi terhadap peneelitian
asma telah membuktikan bahwa terdapat beberapa dukungan bagi peran classical
conditioning dari resistaensi pernapasan dan simptom asma, serta proses kognitif
yang melibatkan sugesti dan proses perseptual dalam asma.
Metode operant conditioning juga mampu berkontribusi untuk menurunkan
simptom asma, salah satunya adalah melalui sikap managemen diri pasien dari
lingkungannya.
Penelitian mengenai keterhubungan antara asma dengan stress atau
keterlibatan kondisi emosional lainnya, membuktikan bahwa keadaan asma bisa
terjadi karena stress atau emosi terasosiasikan dengan fungsi paru-paru untuk
beberapa orang pengidap asma, namun bisa berdampak beda pada setiap individu.
B. Saran

Penulis sadari bahwa makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan
jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis meminta kritik dan sarannya
yang tentunya saran yang membangun. Dengan itulah, penulis bisa menyusun
makalah dengan lebih baik di waktu mendatang. Untuk para pembaca, sebaiknya
lebih menggali informasi mengenai Penyakit Asma.

ii
DAFTAR PUSTAKA

Vous aimerez peut-être aussi