Vous êtes sur la page 1sur 45

Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

Indonesian Journal of Psychiatry and Mental Health

ISBN: 0000000
J P K J I , Vo l u m 1 ( 1 ) , Ag u s t u s 2 0 1 6
Volum 1, nomor 1
Agustus 2016
pp 1 - 35

Jurnal Psikiatri dan


Kesehatan Jiwa Indonesia
Indonesian Journal of Psychiatry and
Mental Health

Editorial: Disfungsi Kognitif pada Gangguan Depresi Mayor


Hubungan Antara Fungsi Eksekutif Dengan Performa Fungsi Orang Dengan Skizofrenia di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Ungkapan Stres untuk Gejala Cemas dan Depresi pada Pasien di Puskesmas Gambir
Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Triage Assestment System: Crisis Intervention (Tas-Ci)
Komorbiditas Fisik pada Gangguan Bipolar di R.S. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Forensic Risk Assessment pada Dua Buah Kasus Terkait Dengan Tindak Pembunuhan
Kompleksitas Skrining dan Diagnosis Gangguan Bipolar pada Anak dan Remaja
Psikoanalisis dan Kita, Merdeka Tidak Gampang

Diterbitkan oleh Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI)


Alamat sekretariat: Gedung Cimandiri One Lantai 4
Jl. Cimandiri No.7, RT.5, Cikini, Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota
Jakarta, Indonesia
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 i

s u s u n a n r e da k s i

Penanggung Jawab Peer Review

Ketua Pengurus Pusat PDSKJI dr. Albert Maramis, SpKJ(K) (Sie Publikasi PP PDSKJI)

dr. AAAA. Kusumawardhani, SpKJ (Seksi Skizofrenia)

Pemimpin Usaha DR. dr. Limas Sutanto, SpKJ(K) (Seksi Psikoterapi)

PP PDSKJI dr. Al Bachri Husin, SpKJ(K) (Seksi Psikiatri Adiksi)

dr. Hervita Diatri, SpKJ(K) (Seksi Psikiatri Komunitas)

Dewan Redaksi dr. Charles E. Damping, SpKJ(K) (Seksi Psikogeriatri)

Prof. dr. Sasanto W, SpKJ(K) dr. Gerald Mario Semen, SpKJ (Seksi Psikiatri Forensik)

dr. Jan Prasetyo, SpKJ(K) dr. Nalini Muhdi, SpKJ(K) (Seksi Psikiatri Wanita)

Prof. dr. Syamsul Hadi, SpKJ(K) dr. Ika Widyawati, SpKJ(K) (Seksi Psikiatri Anak dan
Remaja)
Prof. Dr. Marlina Mahajudi, SpKJ(K)
Prof. Dr. dr. Djayalangkara Tanra, SpKJ(K) (Seksi Psikiatri
Prof. DR. Dr. R. Irawati, SpKJ(K), MEpid. Biologi)

DR. dr. Nurmiati Amir, SpKJ(K) Prof. Dr. dr. HM Syamsulhadi, SpKJ(K) (Seksi CLP)

Dr. dr. Fidiansjah, SpKJ, MPH (Seksi Religi dan Spiritual)

Pemimpin Redaksi DR. dr. Elmeida Effendi, SpKJ(K) (Seksi Ansietas)

DR. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K) DR. dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, SpKJ (Seksi
Psikiatri Budaya)

Sekretaris
Mitra Bestari
dr. Khamelia Malik, SpK
DR. dr. Elmeida Effendi, SpKJ(K) (Medan)

DR. dr. Veranita Pandia, SpKJ(K), MKes (Bandung)

dr. Ronny Tri Wirasto, SpKJ (Yogya)

dr. Alifiati Fitrikasari, SpKJ (Semarang)

Prof. Dr. dr. Aris Sudiyanto, SpKJ(K) (Solo)

dr. Nalini Muhdi, SpKJ(K) (Surabaya)

dr. Natalia Widiasih, SpKJ(K), MPedKed (Jakarta)

dr. Wayan Westa, SpKJ(K) (Bali)

DR. dr. Sonny Lisal, SpKJ(K) (Makassar)


ii Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

da f ta r i s i

i Susunan Redaksi

ii Daftar Isi

iv Pedoman Bagi Penulis

Editorial

1 Nurmiati Amir Disfungsi Kognitif pada Gangguan Depresi Mayor

Laporan Penelitian

3 Nindita Pinastikasari Hubungan Antara Fungsi Eksekutif Dengan Performa

Khamelia Malik Fungsi Orang Dengan Skizofrenia di RSUPN Dr. Cipto

Heriani Mangunkusumo

Nurmiati Amir

Suryo Dharmono

8 Chrisna Mayangsari Ungkapan Stres untuk Gejala Cemas dan Depresi pada Pasien

Petrin Redayani di Puskesmas Gambir

Hervita Diatri

AAAA. Kusumawardhani

14 Taufik Ashal Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

Martina Wiwie Triage Assestment System: Crisis Intervention (Tas-Ci)

Petrin Redayani

Irmia Kusumadewi

Khamelia Malik

Fransiska Kaligis

21 Iriawan Rembak Tinambunan Komorbiditas Fisik pada Gangguan Bipolar di R.S. Dr. H.

Richard Budiman Marzoeki Mahdi Bogor

Nurmiati Amir

Profitasari Kusumaningrum
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 iii

Laporan Kasus

25 Natalia Widiasih Raharjanti Forensic Risk Assessment pada Dua Kasus yang Berkaitan

Adhitya Sigit Ramadianto Dengan Tindak Pembunuhan

Tinjauan Pustaka

30 Tjhin Wiguna Kompleksitas Skrining dan Diagnosis Gangguan Bipolar pada

Anak dan Remaja

Perspektif dalam Psikiatri

33 Limas Sutanto Psikoanalisis dan Kita, Merdeka Tidak Gampang

vii Indeks Penulis


iv Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

p e d o m a n b ag i p e n u l i s

RUANG LINGKUP ABSTRAK


Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia Naskah tinjauan pustaka, artikel penelitian,
memuat publikasi naskah ilmiah yang dapat laporan kasus, dan perspektif dalam psikiatri
memenuhi tujuan penerbitan jurnal ini, yaitu hendaknya disertai abstrak, ditulis pada halaman
menyebarkan teori, konsep, konsensus, petunjuk pertama dibawah nama dan institusi. Panjang
praktis untuk praktek psikiater Indonesia. Tulisan abstrak 250 kata dalam bahasa Inggris dan bahasa
hendaknya memberi informasi baru, menarik Indonesia.
minat dan dapat memperluas wawasan kesehatan
jiwa, serta memberi alternatif pemecahan masalah,
diagnosis, terapi, dan pencegahan. Jenis terbitan TABEL DAN GAMBAR
yang dimuat berupa tinjauan pustaka, laporan
penelitian dan laporan kasus (case report). Tabel harus singkat dan jelas, hendaknya judul
ditulis diatas dan catatan dibawahnya. Jelaskan
semua singkatan yang dipergunakan. Gambar
BENTUK NASKAH hendaknya jelas, lebih disukai bila telah siap cetak,
hendaknya judul gambar ditulis dibawahnya. Asal
Naskah disusun menggunakan bahasa Indonesia, rujukan tabel atau gambar dituliskan dibawahnya.
diketik spasi ganda dengan garis tepi minimum Tabel dan gambar hendaknya dibuat dengan
2,5 cm. Panjang naskah tidak melebihi 10 halaman program PowerPoint 95 atau 97, Free Hand versi 7
yang dicetak pada kertas A4 (21X30cm). Kirimkan atau 8, Photoshop 4 atau 5 (dengan menggunakan
2 (dua) kopi naskah beserta CD (Microsoft Word) format .jpeg). Pembiayaan cetak gambar berwarna
atau melalui e-mail. Naskah dikirimkan ke email: menjadi tanggung jawab penulis.
jurnalpsikiatriindonesia@gmail.com

DAFTAR PUSTAKA
JUDUL DAN NAMA PENGARANG
Rujukan didalam nas (teks) harus disusun menurut
Judul ditulis lengkap dan jelas, tanpa singkatan, angka sesuai dengan urutan penampilannya dalam
serta dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia. nas, dan ditulis menurut sistem Vancouver. untuk
Nama pengarang (atau pengarang-pengarang) singkatan nama majalah semua nama pengarang
ditulis lengkap disertai gelar akademiknya, bila kurang dari tujuh; bila tujuh atau lebih,
institusi tempat pengarang bekerja, dan alamat tuliskan hanya 3 pengarang pertama dan akhir.
pengarang serta nomor telpon, fax, atau e-mail Akhir data kepustakaan menjadi tanggung jawab
untuk memudahkan korespondensi. pengarang.
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 v

Contoh-contoh Penulisan Daftar Rujukan Menurut Gaya Vancouver

Di bawah ini diberikan contoh cara penulisan daftar Browell DA, Lennard TW. Immunologic status of
rujukan dalam berbagai bentuk yang sesuai dengan cancer patient and the effects of bloodtransfusion on
gaya Vancouver edisi tahun 19971: antitumor responses. Curr Opin Gen Surg 1993:325-
33.
A. ARTIKEL JURNAL BAKU (STANDARD JOURNAL
ARTICLE)
1.a. Pengarang 6 atau kurang: 8. Tipe artikel yang perlu disebutkan
Mandrelli F, Annino L, Rotoli B. The GIMEMA ALL Enzensberger W, Fisher PA. Metronome in Parkinsons
0813 trial: analysis of 10-year follow-up. Br J Haematol disease [letter]. Lancet 1996;347:1337.
1996;92:665-72.
Clement C, De Bock R. Hematological complications
1.b. Pengarang lebih dari 6: of hantavirus nephropathy (HVN)[abstract]. Kidney
Int 1992:42:1285.
Owens DK, Sanders GD, Harris RA, McDonald KM,
Heidenreich PA, Dembitzer AD, et al. Cost-Effectiveness
of Implantable Cardioverter Defibrillators Relative to
B. BUKU DAN MONOGRAF LAIN
Amiodarone for Prevention of Sudden Cardiac Death.
Ann Intern Med 1997;126:1-12. 1. Pengarang pribadi (personal author)
Armitage P, Berry G. Statistical Methods in Medical
Research. 2nd ed. Oxford (UK):Blackwell Science;1994.
2. Organisasi sebagai pengarang
The Cardiac Society of Australia and New Zealand.
Clinical exercise stress testing. Safety and performance 2. Organisasi sebagai pengarang
guidelines. Med J Aust 1996;164:282-4. Institute of Medicine (US). Looking at the future of the
Medicaid programs. Washington:The Institute;1992.
3. Pengarang tidak disebutkan
Cancer in South Africa [editorial]. S Afr Med J 3. Buku ajar dengan editor dan bab yang mempunyai
1994;84:15. pengarang tersendiri
Editor lebih dari 6
4. Volume dengan suplemen Hillman S. Iron Deficiencies and Other
Hypoproliverative Anemias. In: Fauci AS, Braunwald
Aulitzky WE, Despres D, Rudolf G, Aman C, Peschel
E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et
C, Huber C. Recombinant Interferon Beta in Chronic
al., editors. Harrisons Principle of Internal Medicine.
Myelogenous Leukemia. Semin Hematol 1993;30
14th ed. New York: McGraw-Hill; 1998. p.634-7
Suppl 3:14-6.
Editor sampai dengan 6
Lee GR. Iron Deficiency and Iron - Deficiency
5. Volume dengan bagian (part)
Anemia. In: Lee GR, Foerster J, Lukens J, Paraskevas
Ozben T, Nacitarhan S, Tuncer N. Plasma and urine F, Greer JP, Rodgers GM, editors. Wintrobes Clinical
sialic acid in non-insulin dependent diabetes mellitus. Hematology. 10th ed. Baltimore: Williams & Wilkins;
Ann Clin Biochem 1995;32(Pt 3):303-6. 1999. p. 979 - 1010.
Catatan: gaya Vancouver sebelumnya memakai titik
koma, bukan p sebelum nomor halaman.
6. No penerbitan majalah (issue) tanpa nomor volume
Turan I, Wredmark T, Fellander-Tsai L. Arthroscopic
ankle arthrodesis in rheumatoid arthritis. Clin Orthop 4. Prosiding pertemuan ilmiah
1995;(320):110-4
Kimura J, Shibasaki H, editors. Recent advances in
clinical neurophysiology.
7. Tidak ada nomor penerbitan majalah (issue) Proceedings of the 10th International Congress of
maupun nomor volume EMG and Clinical Neurophysiology:1995 Oct 15-19;
vi Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

Kyoto, Japan. Amsterdam:Elsevier; 1996. C. BAHAN PUBLIKASI LAIN


Yang tidak diterbitkan oleh penerbit resmi 1. Artikel surat kabar
Bakta IM. Aspek Imunologi anemia aplastik. Naskah Mullery S. Doctors must figth child labor.Asian
Lengkap Kongres Nasional Ke-VIII Perhimpunan Medical News September 1996; Sect. A:1 (col.1-3).
Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia; 11 - 13
Joesoef D. Mendambakan Utopia. Kompas 1998 Jan
Oktober 1997; Surabaya, Indonesia.
8;Sect. A:4(col.5).

5. Makalah dalam suatu pertemuan ilmiah


2. Artikel jurnal dalam format elektronik
Bengstsson S, Solheim BG, Enforcement of data
Morse SS. Factors in the emergence of infectious
protection, privacy and security in medical
diseases. Emerg Infect Dis [serial online] 1995 Jan-
informatics. In: Lun KC, Degoulet P, Piemme TE,
Mar [cited 1996 Jun 5];1(1):[24 secreens]. Available
Rienhoff O, editors. MEDINFO 92. Proceedings of
from: URL: http://www.cdc.gov/ncidod/EID/eid.htm.
the 7th World Congress on Medical Informatics; 1992
Sep 6-10;Geneva, Switzerland. Amsterdam: North-
Holland; 1992. p. 1561-5. 3. Monograf dalam format elektronik
CDI, clinical dermatology illustrated [monograph
6. Laporan teknis atau laporan ilmiah on CD-ROM]. Reeves JRT, Mailbach H. CMEA
Multimedia Group, producers. 2nd ed. Version 2.0
Smith P, Golladay K. Payment for durable medical
San Diego: CMEA; 1995.
equiptment billed during skilled nursing facility stays.
Final report. Dallas (TX): Dept. of Health and Human
Services (US). Office of Evaluation and Inspections; 4. File komputer
1994 Oct. Report No.: HHSI-GOEI69200860.WHO
ScientificGroup. Intestinal protozoan and helminthic Hemodynamics III. The ups and downs of
infection. Geneva: WorldHealth Organization; 1981. hemodynamics [computer program]. Version 2.2.
Technical Report Series No. 666. Orlando (FL): Compuiterized Educational Systems;
1993.

7. Disertasi dan tesis


D. BAHAN YANG AKAN DIPUBLIKASIKAN
Kaplan SJ. Post-hospital home health care: the elderly
access and utilization. [dissertation]. St Louis (MO): 1. In press
Washington Univ.; 1995. Leshner AI. Molecular mechanisms of coccaine
Sutarga IM. Faktor-faktor risiko terjadinya anemia ibu addiction. N Eng J Med. In press 1996
hamil di wilayah Puskesmas Abiansemal II Kecamatan
Abiansemal Kab, Dati II Badung, Bali [thesis].
Surabaya: Universitas Airlangga; 1994.
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 1

editorial

Disfungsi Kognitif pada Gangguan Depresi Mayor


Nurmiati Amir1
1
Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta. E-mail: nurmiati.a@gmail.com

Kata kunci: gangguan depresi mayor, disfungsi kognitif, antidepresan

PENDAHULUAN Neurotrophic Factor (BDNF) yang berperan dalam plastisitas


neuron, pertumbuhan sinaps, dan neurogenesis. Berkurangnya
Gangguan depresi mayor (GDM) merupakan penyakit kronik
jumlah BDNF dapat menyebabkan atrofi dan apoptosis neuron
dengan angka kekambuhan yang tinggi dan menjadi beban
di hipokampus dan korteks prefrontal. Kedua regio tersebut
ekonomi bagi penderita dan keluarga. Salah satu penyebab
berperan dalam fungsi kognitif sehingga disfungsi kognitif
beban ekonomi adalah karena adanya disabilitas untuk bekerja,
pada kasus depresi sering dikaitkan dengan berkurangnya
apalagi disabilitas tersebut biasanya terjadi pada kelompok
BDNF pada regio tersebut.7
usia kerja. Pada tahun 2020, GDM diperkirakan akan menjadi
penyakit dengan beban terbesar kedua secara global.1
Depresi meningkatkan risiko terjadinya disfungsi kognitif. DISFUNGSI KOGNITIF DAN FUNGSI PEKERJAAN
Sebaliknya, disfungsi kognitif juga berperan dalam kerentanan
Gejala depresi yang terjadi pada pasien dapat berbeda-beda.
seseorang untuk menderita depresi. Disfungsi kognitif
Sebagai contoh, depresi tipe melankolis akan mengalami defisit
memberikan dampak yang buruk terhadap luaran fungsi
memori serta fungsi eksekutif yang lebih berat dibandingkan
penderita, baik fungsi sosial maupun pekerjaan.
dengan yang bukan melankolis.8
Disfungsi kognitif dapat pula ditemui pada fase remisi atau
Beratnya gejala, durasi episode depresi, serta adanya
sebagai gejala sisa depresi. Sebagai gejala sisa, disfungsi kognitif
komorbiditas, berhubungan terbalik dengan fungsi kognitif.
menyebabkan rentannya seseorang mengalami kekambuhan.
Semakin banyak episode depresi, maka semakin lama durasi
Semakin sering kambuh, maka semakin buruk fungsi kognitif,
tidak terobatinya depresi. Semakin banyak komorbiditas,
fungsi sosial, perkerjaan, dan kualitas hidup penderita.2
maka semakin buruk fungsi kognitif. 9
Penderita depresi dapat mengalami defisi berbagai fungsi
Sebanyak 79% pasien dengan GDM melaporkan bahwa fungsi
kognitif, seperti atensi, pembelajaran verbal-nonverbal,
atau produktivitas pekerjaannya berkurang. Berkurangnya
memori jangka pendek, memori kerja, pengolahan visual
produktivitas kerja dikaitkan dengan disfungsi kognitif,
dan auditorik, fungsi eksekutif, pembelajaran, kecepatan
misalnya kesulitan konsentrasi, buruknya memori, kesulitan
pengolahan informasi, dan fungsi motorik.3
memahami percakapan, serta ketidakmampuan berpikir
jernih.10
ASPEK NEUROBIOLOGI DISFUNGSI KOGNITIF Disfungsi kognitif merupakan gejala residual yang sering
dikeluhkan oleh pasien dengan depresi yang sudah mengalami
Gangguan Struktur Otak
remisi gejala. Sebanyak 30%-50% pasien dengan depresi yang
Sirkuit frontal-striatal-talamus dan limbik-talamus-frontal sudah mengalami remisi gejala melaporkan bahwa gejala
memiliki peranan penting dalam patogenesis depresi. Selain residual kognitif yang dideritanya memengaruhi fungsinya.11
mengatur mood dan perilaku, sirkuit tersebut juga mengatur
kognitif.4
Hiperintensitas massa putih dan abnormalitas massa abu-abu PENILAIAN DISFUNGSI KOGNITIF PADA GDM
di dorsolateral prefrontal korteks (DLPFK), korteks singulat, Karena adanya ketidaksesuaian antara keluhan subjektif
korteks orbito-frontal, dan hipokampus sering dilaporkan dengan ukuran objektif dari disfungsi kognitif, skrining fungsi
pada kasus depresi. Gangguan pada regio otak itu dihubungkan kognitif secara klinis perlu dilakukan. Terdapat beberapa tes
dengan timbulnya disfungsi kognitif pada depresi.5 tunggal dan tes baterai yang dapat digunakan untuk menilai
Gangguan Fungsional Otak fungsi kognitif.12
Studi dengan neuroimaging fungsional yang dilakukan pada Terapi dapat memperbaiki gejala mood namun disfungsi
subjek dengan depresi menunjukkan adanya gangguan kognitif dapat tetap terdeteksi meskipun gejala mood sudah
fungsional di korteks prefrontal saat subjek melakukan remisi. Sebuah penelitian yang dilakukan selama tiga tahun
tugas-tugas kognitif apabila dibandingkan dengan kontrol. melaporkan bahwa pada fase akut sebanyak 94% subjek
Subjek dengan depresi yang melakukan pemeriksaan kognitif mengeluhkan adanya disfungsi kognitif dan keluhan ini
dengan tingkat kesulitan rendah memperlihatkan adanya menetap pada 44% subjek, meskipun gejala mood-nya sudah
hiperaktivitas di DLPFK.6 mengalami remisi selama terapi.13
Brain-Derived Neurotrophic factor (BDNF) Oleh karena itu, adanya disfungsi kognitif pada GDM perlu
Pada kasus depresi terjadi penurunan Brain-Derived dievaluasi, baik pada fase akut maupun remisi, agar dapat
2 Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

dilakukan tata laksana yang baik. Terapi yang komprehensif DAFTAR RUJUKAN
(farmakologi, psikoterapi, dan rehabilitasi kognitif) 1. Murray CJ, Lopez AD. Evidence-based health policy-lessons from
diperlukan agar disfungsi kognitif pada GDM dapat membaik the Global Burden of Disease Study. Science. 1996;274:740-3.
sehingga fungsi pekerjaan, sosial, dan kualitas hidup juga
2. Gotlib IH, Joormann J. Cognition and depression: current status
dapat membaik. and future directions. Annu Rev Clin Psychol. 2010;6:285312.
3. McIntyre RS, Cha DS, Soczynska JK, Woldeyohannes HO,
Gallaugher LA, Kudlow P, et al. Cognitive deficits and functional
MANFAAT ANTIDEPRESAN outcomes in major depressive disorder: determinants, substrates,
Sebagian besar antidepresan dikaitkan dengan beberapa and treatment interventions. Depress Anxiety. 2013;30:51527.
perbaikan kognitif pada uji neuropsikologi bila dibandingkan 4. Price JL, Drevets WC. Neurocircuitry of mood disorders.
dengan plasebo. Terhadap perbaikan pembelajaran verbal, Neuropsychopharmacology. 2010; 35:192216.
sertralin lebih superior bila dibandingkan dengan nortriptilin. 5. Kempton MJ. Structural neuroimaging studies in major depressive
Akan tetapi, sertralin tidak efektif untuk ranah kognitif disorder: meta-analysis and comparison with bipolar disorder.
lainnya.14 Arch Gen Psychiatry. 2011;68:675-680.
6. Holmes AJ, Pizzagalli DA. Spatio temporal dynamics of error
Sebuah penelitian lainnya yang dilakukan pada pasien dewasa
processing dysfunctions in major depressive disorder. Arc Gen
dengan depresi melaporkan bahwa duloksetin lebih efektif Psychiatry. 2008;65:17988.
bila dibandingkan dengan esitalopram dalam perbaikan
7. Frodi T, Schule C, Schmitt G, Born C, Baghai T, Zill P, et al.
memori kerja dan episodik. Perbaikan terjadi pada minggu
Association of the brain-derived neurotrophic factor Val66Mett
ke-24 (fase akut), 24 minggu setelah fase remisi (pulih), dan polymorphism with reduced hippocampal volumes in major
tetap berlanjut hingga pasien tidak lagi mendapat obat.15 depression. Arch Gen Psychiatry. 2007;64: 410-6.
Sebuah penelitian yang dilakukan selama delapan minggu 8. Withall A, Harris LM, Cumming SR. A longitudinal study of
terhadap pasien lansia dengan tujuan mengevaluasi luaran cognitive function in melancholic and non-melancholic subtypes
empat ranah kognitif, yaitu memori, pembelajaran verbal, of major depressive disorder. J Affect Disord. 2010;123:1507.
atensi selektif, dan fungsi eksekutif melaporkan bahwa terjadi 9. Hasselbalch BJ, Knorr U, Hasselbalch SG, Gade A, Kessing LV. The
perbaikan bermakna dari semua skor kognitif yang diuji pada cumulative load of depressive illness is associated with cognitive
pasien yang menerima duloksetin dibandingkan dengan function in the remitted state of unipolar depressive disorder. Eur
plasebo. Efek tersebut lebih terlihat pada pembelajaran verbal Psychiatry. 2013;28:349355.
dan mengingat.16 10. Buist-Bouwman MA, Ormel J, de Graaf R, de Jonge P, van Sonderen
E, Alonso J, et al. Mediators of the association between depression
Penelitian yang dilakukan pada lansia dengan GDM and role functioning. Acta Psychiatr Scand. 2008;188:4518.
menyatakan bahwa vortioksetin (multimodal antidepresan 11. Fava M, Graves LM, Benazzi F, Scalia MJ, Iosifescu DV, Alpert
yang bekerja sebagai serotonin reuptake inhibitor, agonis JE, et al. A cross-sectional study of the prevalence of cognitive
5-HT1A, serta antagonis 5-HT3 dan 5-HT7) dan duloksetin and physical symptoms during long-term treatment. J Clin
memberikan manfaat yang bermakna terhadap pembelajaran Psychiatry. 2006;67:17549.
verbal dan memori bila dibandingkan dengan plasebo. Hanya 12. Yatham LN, Torres IJ, Malhi GS, Frangou S, Glahn DC, Bearden
vortioksetin yang mempunyai efek bermakna pada kecepatan CE, et al. The International Society for Bipolar DisordersBattery
pengolahan informasi dan fungsi eksekutif. Vortioksetin juga for Assessment of Neurocognition (ISBD-BANC). Bipolar Disord.
bermanfaat untuk fungsi kognitif yang diukur secara objektif 2010;12:35163
dan subjektif. Manfaat klinis vortiosetin tidak saja sebagai 13. Conradi HJ, Ormel J, de Jonge P. Presence of individual (residual)
antidepresan, tetapi juga memiliki efek prokognitif. 17 symptoms during depressive episodes and periods of remission:a
3-year prospective study. Psychol Med. 2011;41:116574.
14. Constant EL, Adam S, Gillain B, Seron X, Bruyer R, Seghers A.
MANFAAT PSIKOTERAPI Effects of sertraline on depressive symptoms and attentional
and executive functions in major depression. Depress Anxiety.
Psikoterapi dapat membantu memperbaiki disfungsi kognitif
2005;21:7889.Herrera-Guzman I, Gudayol-Ferr E, Herrera-
pada pasien dengan depresi. Cognitive Behavior Therapy (CBT) Abarca JE, Herrera-Guzmn D, Montelongo-Pedraza P, Padrs
tidak hanya memperbaiki gejala depresi tetapi juga fungsi Blzquez F, et al. Major depressive disorder in recovery and
sosial dari pasien dengan depresi. Perbaikan tersebut diduga neuropsychological functioning: effects of selective serotonin
dimediasi oleh perbaikan fungsi kognitif. reuptake inhibitor and dual inhibitor depression treatments
on residual cognitive deficits in patients with major depressive
Sebuah penelitian dilakukan oleh Dunn et al18 selama dua
disorder in recovery. J Affect Disord. 2010;123:34150.
tahun di Layanan Primer dengan tujuan melihat manfaat
psikoedukasi dibandingkan dengan psikoedukasi yang 15. Raskin J, Wiltse CG, Siegal A, Sheikh J, Xu J, Dinkel JJ, et al.
Efficacy of duloxetine on cognition, depression, and pain in elderly
ditambah bersama CBT pada pasien GDM yang rekuren
patients with major depressive disorder: an 8-week, double-blind,
(empat episode). Hasil penelitian tersebut menunjukkan placebo-controlled trial. Am J Psychiatry. 2007;164:9009.
bahwa kelompok yang mendapat psikoedukasi ditambah
16. Stahl SM. Antidepressant. In: Stahls essential psychopharmacology:
dengan CBT memperlihatkan perbaikan pada disfungsi
Neuroscientific basis and practical application. 4th ed. 2013. p.365.
kognitif (ragu-ragu, kurang konsentrasi, berpikir lambat, dan
berpikir tidak jernih) secara bermakna.18 17. Dunn TW, Vittengl JR, Clark LA, Carmody T, Thase ME, Jarrett
RB. Change in psychosocial functioning and depressive symptoms
during acute-phase cognitive therapy for depression. Psychol
Med. 2011;25:110.
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 3

laporan penelitian

Hubungan antara Fungsi Eksekutif dengan Performa Fungsi Orang dengan Skizofrenia di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Nindita Pinastikasari1; Khamelia Malik2; Heriani2; Nurmiati Amir2; Surya Dharmono2
1
Rumah Sakit Jiwa Rajiman Wedioningrat, Jalan Ahmad Yani, Lawang, Malang, Jawa Timur. E-mail: nindita_78@yahoo.com
2
Departemen Psikiatri, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak
Latar Belakang: Menurut World Health Organization, populasi orang dengan skizofrenia (ODS) di dunia adalah 7 dari 1000 orang. Kelly (2002)
menyatakan bahwa 25% dari total 138 ODS mengalami gangguan fungsi eksekutif. Pada meta-analisis Green (1996) dinyatakan bahwa fungsi
eksekutif dapat memengaruhi performa fungsi. Telah ada penelitian Desmiarti (2010) yang meneliti hubungan antara defisit fungsi memori
verbal dengan performa fungsi ODS. Namun, belum ada penelitian yang meneliti hubungan antara fungsi eksekutif dengan performa fungsi
ODS di Indonesia.
Metode: Penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan potong lintang pada 160 ODS di Poliklinik Jiwa Dewasa RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Structured Clinical Interview For the DSM-IV Axis I Disorders,
Positive and Negative Symptoms Scale Excitement Components, Extrapyramidal Syndrome Rating Scale, tes kemampuan membaca, Trail Making
Test (TMT) A dan B, Personal and Social Performance Scale (PSP).
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan bermakna antara fungsi eksekutif (TMT B) dengan performa fungsi (PSP), yaitu p=0.014
dengan hasil analisis korelasi Spearman p=0.000 dan koefisien korelasi r=-0.345. Hasil analisis multivariat menunjukkan adanya hubungan
bermakna antara pendidikan (OR=0.294, p=0.016), gejala penyakit (OR=0.271 ,p=0.006), status pernikahan (OR=0.166, p=0.002), pekerjaan
(OR=0.079, p=0.000), jenis antipsikotika (OR=0.067, p=0.001) dengan performa fungsi (PSP).
Kesimpulan: Semakin tinggi skor TMT B (fungsi eksekutif), maka semakin rendah skor PSP (performa fungsi) ODS. Defisit fungsi eksekutif
(TMT B) berhubungan langsung dengan performa fungsi (PSP). Faktor yang juga berpengaruh pada performa fungsi (PSP) adalah pendidikan,
gejala penyakit, status pernikahan, pekerjaan, dan jenis antipsikotika. Instrumen TMT B dapat lebih spesifik menilai fungsi eksekutif pada
kelompok ODS sehingga dapat digunakan sebagai alat deteksi defisit fungsi kognitif di layanan psikiatri.
Kata kunci: Orang dengan skizofrenia, fungsi eksekutif, performa fungsi.

Relationship Between Executive Function and Functional Performance in Schizophrenic


Patients at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital
Nindita Pinastikasari1; Khamelia Malik2; Heriani2; Nurmiati Amir2; Surya Dharmono2
Abstract
Introduction: Based on World Health Organization, schizophrenic population in the world is 7 per 1000 people. Kelly (2002) said that 25% from
138 people with schizophrenia experienced executive function disorder. Green meta-analysis (1996) stated that executive function can influence
functional performance. There is a research conducted by Desmiarti (2010) that examined relationship between verbal memory function deficit and
functional performance in schizophrenic patients. However, there is no research that examines relationship between executive function and func-
tional performance in schizophrenic patients in Indonesia.
Method: This research was done by using cross-sectional design from 160 people with schizophrenia at Poliklinik Jiwa Dewasa RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo Jakarta. Instruments used in this research were Structured Clinical Interview For the DSM-IV Axis I Disorders, Positive and
Negative Symptoms Scale Excitement Components, Extrapyramidal Syndrome Rating Scale, reading ability test, Trail Making Test (TMT) A and B,
Personal and Social Performance Scale (PSP).
Result: There is a significant relationship in this research between executive function (TMT B) and functional performance (PSP) with p=0.014.
Spearman correlation analysis showed p=0.000 and correlation coefficient r=-0.345. There are significant relationships in this multivariate analysis
of research between education (OR=0.294, p=0.016), schizophrenic symptoms (OR=0.271, p=0.006), marital status (OR=0.166, p=0.002), job
(OR=0.079, p=0.000), antipsychotics (OR=0.067, p=0.001) and functional performance (PSP).
Conclusion: The higher TMT B score (executive function), the lower PSP score (functional performance) of people with schizophrenia. Executive
function deficit (TMT B) have a direct relation with functional performance (PSP). Other factors that have influence on functional performance
(PSP) are education, schizophrenic symptoms, marital status, job, and antipsychotics. TMT B instrument was more specific to assess executive func-
tion at schizophrenic group, therefore TMT B can be used as a detection tool of cognitive function deficit in psychiatric care.
Keyword: Schizophrenic people, executive function, functional performance.

PENDAHULUAN
sehari-hari karena berkaitan dengan keakuratan penerimaan
Orang dengan skizofrenia yang mengalami gangguan dan proses informasi.2,3 Palmer (1997) menemukan bahwa
pada proses pikir, persepsi dan mood afek dalam waktu terjadi gangguan fungsi kognitif pada ODS sebesar 75%
yang lama dapat mengalami kemunduran fungsi kognitif.1 dan komponen fungsi kognitif yang terganggu adalah
Defisit fungsi kognitif pada orang dengan skizofrenia atensi, memori, motorik, fungsi eksekutif, serta bahasa.4
menyebabkan terganggunya adaptasi dalam kehidupan Pada pemrosesan informasi dan emosi diperlukan kelima

Alamat Korespondensi: dr. Khamelia Malik, SpKJ; Staf Pengajar Departemen Medik Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran, Universitas
Indonesia, Jakarta Rumah Sakit Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta. E-mail: khamelia_malik@yahoo.com
4 Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

komponen kognisi tersebut untuk membentuk suatu perilaku performa fungsi, dan luaran fungsi.12 Performa fungsi atau
yang terintegrasi.2,3 Hatfield (1988) menyatakan bahwa 72% kompetensi adalah kemampuan seseorang menunjukkan
ODS mengalami isolasi sosial dan 64% tidak mampu merawat kemampuannya melalui performa dalam menyelesaikan
diri sendiri karena terganggunya performa fungsi personalnya. kapasitas fungsi atau tugas kehidupannya.12 Neurokognisif yang
diantaranya adalah fungsi eksekutif memiliki efek langsung
Performa fungsi terdiri dari empat aspek, yaitu perawatan diri,
pada performa fungsi seseorang didukung oleh kognisi sosial
aktivitas yang bermanfaat secara sosial, hubungan personal
yang berfungsi sebagai mediator antara neurokognisif, dalam
dan sosial, serta perilaku mengganggu dan agresif.5,6 Keempat
hal ini fungsi eksekutif, dengan performa fungsi.13 Pada
aspek performa fungsi tersebut membutuhkan fungsi kognitif
penelitian ini, yang digunakan untuk mengukur performa
yang adekuat. Defisit neurokognitif berhubungan dengan
luaran fungsi pada skizofrenia. Penilaian kognisi global fungsi adalah instrumen personal and social performance scale.
menunjukkan adanya hubungan yang kuat dengan aktivitas
sehari-hari sebesar 48%. Meta-analisis Green (1996) yang
mengkaji tentang prediksi neurokognitif khususnya fungsi METODOLOGI PENELITIAN
eksekutif terhadap luaran fungsi ODS dengan total sampel Desain penelitian kuantitatif ini menggunakan rancangan
sebanyak 1002 didapatkan nilai p<0,001 dan r=0.23.7 Hal penelitian potong lintang untuk melihat hubungan antara
tersebut mendasari penulis untuk meneliti lebih dalam fungsi eksekutif dengan performa fungsi orang dengan
tentang hubungan antara fungsi eksekutif dengan performa skizofrenia. Penelitian dilakukan di Poli Jiwa Dewasa RSUPN
fungsi ODS di Indonesia.8 Cipto Mangunkusumo (PJD RSCM) Jakarta sejak tanggal 1
September 2014 sampai dengan 14 April 2015. Sebanyak 160
subjek telah berpartisipasi dalam penelitian ini. Semua subjek
TINJAUAN TEORI merupakan penderita skizofrenia rawat jalan di PJD RSCM
Fungsi eksekutif adalah kemampuan fungsi intelektual dan dipilih dengan non probability sampling yang terbaik
manusia tertinggi dalam melaksanakan keputusan sesuai yaitu consecutive sampling serta memenuhi kriteria inklusi
masalah. Proses fungsi eksekutif antara lain: penelitian.
1. Perumusan tujuan, yaitu proses kompleks seseorang dalam
menentukan sesuatu yang diperlukannya dengan membuat HASIL PENELITIAN
konseptualisasi dan realisasi sesuai kebutuhan.9,10 Kapasitas
seseorang dalam merumuskan tujuan dipengaruhi oleh Karakteristik Demografi
niat, motivasi, dan kesadaran seseorang baik secara Hasil analisis univariat terhadap karakteristik demografik
psikologis maupun fisik, serta hubungan seseorang dengan pada tabel 1 menunjukkan adanya distribusi data tidak
sekitarnya.11 normal sehingga pada analisis usia digunakan median 36.5
2. Perencanaan, yaitu proses menentukan, mengorganisasi tahun dengan minimal usia 18 tahun dan maksimal 59 tahun.
(keterampilan, materi, dan sumber daya), membuat Mayoritas subjek adalah laki-laki (108 orang atau 67.5%),
pilihan, dan menyusun kerangka kerja untuk melaksanakan masa menjalani pendidikan 12 tahun dengan pendidikan
perencanaan.9,10,11 SD/SMP/SMA sederajat (121 orang atau 75.6%), tidak bekerja
3. Pelaksanaan aktivitas untuk mencapai tujuan berdasarkan (92% atau 57.5%) dan belum menikah (114 orang atau 71.3%).
perencanaan. Bentuk dari aktivitasnya adalah penerjemahan
niat atau perencanaan melalui suatu aktivitas yang Tabel 1. Karakteristik demografi subjek
produktif, melakukan sendiri tindakan awal, pengelolaan,
penggantian, dan penghentian serangkaian perilaku Variabel Data Median (SD) atau
Karakteristik Demografi Frekuensi (%)
kompleks secara teratur dengan cara yang terintegrasi.
Aktivitas ini berkaitan dengan motivasi, pengetahuan, atau Usia 36.5 (10.074)
Jenis Kelamin
kapasitas terhadap performa aktivitasnya.11 - Laki-Laki 108 (67.5%)
4. Performa efektif, yaitu kemampuan memonitor, mengoreksi, - Perempuan 52 (32.5%)
mengatur intensitas waktu, dan aspek kualitatif lain yang Pendidikan
diperlukan untuk melaksanakan perencanaan.9,10,11 - SD 11 (24.4%)
- SMP 16 (6.9%)
- SMA Sederajat 94 (58.8%)
- Perguruan Tinggi 39 (24.4%)
Salah satu alat tes untuk menilai fungsi eksekutif yaitu trail
making test part B. Tes ini dapat digunakan untuk menilai Pendidikan
- >12 Tahun 39 (24.4%)
pelaksanaan aktivitas seseorang dalam mencapai tujuan - 12 Tahun 121 (75.6%)
berdasarkan perencanaan. Pada tes ini dinilai niat verbal dan
Pekerjaan
perencanaan, serta tindakan seseorang dalam melakukan - Bekerja 63 (39.4)
kegiatan yang bertujuan atau pergerakan yang kompleks.11 - Sekolah 5 (3.1)
- Tidak Bekerja 92 (57.5)
Diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan bila terdapat hilangnya
Status Pernikahan
fungsi pekerjaan, kemandirian, dan sosial. Pengukuran fungsi - Menikah 29 (18.1)
pada ODS didasarkan pada perjalanan gangguan, terapi dan - Cerai 17 (10.6)
luaran rehabilitasi, serta faktor biososial. Disabilitas fungsi - Belum Menikah 114 (71.3)
dinilai berdasarkan tiga dimensi fungsi, yaitu kapasitas fungsi,
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 5

Tabel 2. Karakteristik penyakit subjek Tabel 4. Karakteristik terapi subjek

Karakteristik Penyakit Mean Median Min Max Karakteristik Penyakit Frekuensi (%)
(Variabel Data Numerik) (SD) (Variabel Data Kategorik)
Usia Awitan (Tahun) 25.34 23.00 (8.6) 10 52 Jenis Antipsikotika
- Tipik 18 (11.3%)
Durasi Penyakit (Tahun) 11.41 10.00 (8.1) 1 39
- Atipik 112 (70.0%)
Frekuensi Kekambuhan (Kali) 2.13 2.105 (2.1) 0 15 - Kombinasi (Tipik dan Atipik) 30 (18.8%)
DUP (Bulan) 14.11 12.00 (15.7) 0 72 Ekstra Piramidal Sindrom
- Tanpa EPS 116 (72.5%)
- Dengan EPS 44 (27.5%)
Tabel 3. Karakteristik penyakit subjek
Jenis Ekstra Piramidal Sindrom
Karakteristik Penyakit Frekuensi (%) - Tanpa EPS 116 (72.5%)
(Variabel Data Kategorik) - Tremor 24 (15%)
- Sialorhea 5 (3.1%)
Gejala Penyakit - Kombinasi Jenis EPS 15 (9.4%)
- Gejala Positif 45 (28.1%)
- Gejala Kombinasi 115 (71.9%) Penggunaan Trihexyphenidil
- Tanpa Trihexyphenidil 80 (50.0%)
Jenis Skizofrenia - Dengan Trihexyphenidil 80 (50.0%)
- Paranoid 144 (90.0%)
- Non Paranoid 16 (10.0%)
Tabel 5. Hubungan antara fungsi eksekutif (trail making test A dan B)
dengan performa fungsi (personal and social performance)
Karakteristik Penyakit Fungsi Eksekutif Performa Fungsi (Skor PSP) P
(TMT A dan B)
Hasil analisis karakteristik penyakit subjek disajikan pada Tidak Defisit Defisit
tabel 2. Median usia awitan 23 tahun dengan usia minimal TMT A
10 tahun dan maksimal 52 tahun. Median durasi penyakit 10 - Tidak Defisit 47 (44.3%) 59 (55.7%) 0.072
tahun, median frekuensi kekambuhan 2 kali, serta median - Defisit 16 (29.6%) 38 (70.4%)
DUP 12 bulan. TMT B
- Tidak Defisit 61 (96.8%) 82 (84.5%) 0.017*
Selain itu, gejala penyakit dikelompokkan menjadi dua, yaitu - Defisit 2 (3.2%) 15 (15.5%)
gejala positif dan gejala kombinasi (waham, halusinasi, gejala *p<0.05 dengan uji Fisher
lain, dan gejala negatif). Pada tabel 3 didapatkan mayoritas
gejala penyakit subjek adalah gejala kombinasi dengan jumlah
subjek sebanyak 115 (71.9%). Jenis skizofrenia dikelompokkan b. Korelasi antara Fungsi Eksekutif dengan Performa
menjadi dua, yaitu skizofrenia paranoid dan nonparanoid. Fungsi
Mayoritas subjek dalam penelitian ini adalah skizofrenia Hasil analisis bivariat yang disajikan pada tabel 6 menggunakan
paranoid sebanyak 144 orang (90.0%). uji korelasi Spearman untuk menguji hipotesis korelatif
variabel numerik dengan distribusi data tidak normal dan
didapatkan adanya korelasi bermakna (p=0.000) antara fungsi
Karakteristik Terapi eksekutif (TMT A dan B) dengan performa fungsi (PSP).
Korelasi dari kedua variabel ini memiliki kekuatan korelasi (r)
Karakteristik terapi subjek dalam tabel 4 menunjukkan
lemah dan arah yang negatif atau berlawanan arah (semakin
bahwa subjek dalam penelitian ini mayoritas mendapatkan
besar nilai satu variabel maka semakin kecil nilai variabel
jenis antipsikotika atipik sebesar 112 subjek (70.0%), tidak
lainnya). Semakin tinggi skor TMT A dan TMT B maka
mengalami gejala EPS sebesar 116 subjek (72.5%), dan jenis
semakin rendah skor performa fungsi subjek.
gejala EPS adalah tremor sebesar 24 subjek (15%). Jumlah
subjek yang menggunakan obat Trihexyphenidil sebanyak 80
Tabel 6. Korelasi fungsi eksekutif dengan performa fungsi
subjek (50%) dan yang tidak menggunakannya sebanyak 80
subjek (50%). Fungsi Eksekutif
TMT A TMT B
Performa Fungsi Correlation -0.283 -0.345
Hubungan antara Fungsi Eksekutif dengan Performa (PSP) Coefficient (r)
Fungsi P 0.000* 0.000*
a. Komparasi Antara Fungsi Eksekutif Dengan Performa *p<0.05 dengan uji Spearman
Fungsi
Analisis bivariat ini menggunakan uji Chi-Square untuk Analisis bivariat juga dilakukan untuk melihat hubungan
menguji hipotesis komparatif pada variabel data kategorik antara fungsi eksekutif (TMT A dan B) dengan keempat ranah
tidak berpasangan tabel 2x2 dari fungsi eksekutif dan performa fungsi (PSP). Tabel 7 menunjukkan adanya korelasi
performa fungsi yang disajikan pada tabel 5. Untuk data dengan ranah A (perawatan diri), ranah B (aktivitas yang
variabel yang tidak memenuhi syarat uji Chi-Square dilakukan berguna secara sosial), dan ranah C (hubungan personal dan
uji Fisher. Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan sosial). Akan tetapi, tidak ditunjukkan adanya korelasi antara
adanya hubungan bermakna antara fungsi eksekutif (TMT B) fungsi eksekutif dengan ranah D (perilaku mengganggu dan
dengan performa fungsi (PSP) yaitu p=0.014. agresif).
6 Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

Tabel 7. Korelasi fungsi eksekutif dengan empat ranah performa fungsi Tabel 8. Hasil analisis multivariat regresi logistik

Fungsi Eksekutif (TMT A dan B) Ranah Performa Fungsi (PSP) Variabel Step 7 Koefisien S.E Nilai OR CI 95%
p
A B C D Min Max
TMT A Correlation Coefficient (r) -0.328 -0.250 -0.284 -0.075 Pendidikan -1.224 .509 .016 .294 .108 .796

P 0.000* 0.001* 0.000* 0.347 Pekerjaan -2.541 .476 .000 .079 .031 .200

TMT B Correlation Coefficient (r) -0.381 -0.321 -0.344 -0.104 Status Pernikahan -1.796 .574 .002 .166 .054 .511

P 0.000* 0.000* 0.000* 0.191 Jenis Antipsikotika -2.709 .849 .001 .067 .013 .352
*p<0.05 dengan uji Spearman Gejala Penyakit -1.307 .478 .006 .271 .106 .690

Konstanta 4.198 .785 .000 66.534

c. Analisis Multivariat
Pada penelitian ini dilakukan analisis multivariat regresi
Korelasi antara fungsi eksekutif dengan ketiga ranah performa
logistik untuk melihat hubungan antara fungsi eksekutif
fungsi yang berhubungan adalah lemah dan berarah negatif.
dan performa fungsi dengan menyingkirkan faktor perancu.
Regresi logistik digunakan untuk melihat hubungan antara Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menyatakan
variabel independen dan dependen dalam skala kategorik. bahwa fungsi eksekutif ini merupakan proses kognitif yang
Analisis bivariat sudah dilakukan sebelumnya untuk berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan masing-
menentukan variabel yang memenuhi syarat sebagai variabel masing aspeknya berkaitan dengan ranah-ranah performa
pada analisis multivariat regresi logistik ini. fungsi. Adanya korelasi lemah antara fungsi eksekutif dan
performa fungsi pada penelitian ini mungkin terjadi karena
Variabel dengan nilai p<0.05 yang bisa dianalisis dalam regresi
fungsi eksekutif (TMT B) tidak berperan langsung terhadap
logistik adalah variabel pendidikan (p=0.004), pekerjaan
performa fungsi. Fungsi eksekutif harus berkombinasi dengan
(p=0.000), status pernikahan (p=0.003), gejala penyakit
faktor-faktor lain (karakteristik demografik, penyakit, dan
(p=0.001), jenis antipsikotika (p=0.033), durasi (p=0.000),
terapi) untuk dapat berkorelasi kuat dengan performa fungsi.
dan fungsi eksekutif TMT B (p=0.014). Variabel lain yang
juga dapat dianalisis dalam regresi logistik karena memenuhi Hasil analisis multivariat pada penelitian ini menunjukkan
syarat p<0.25 adalah ekstrapiramidal sindrom (p=0.228), usia bahwa pada awal analisis fungsi eksekutif (TMT A dan B),
(p=0.053), usia awitan (p=0.198), dan fungsi eksekutif TMT A pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, jenis antipsikotika,
(p=0.072). gejala penyakit memiliki hubungan bermakna dengan
performa fungsi. Namun, pada akhir tahap analisis ketujuh,
Analisis multivariat regresi logistik ini menggunakan cara
fungsi eksekutif tidak memiliki korelasi sekuat variabel
backward Likehood Ratio. Semua variabel yang memenuhi
pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, jenis antipsikotika,
syarat dimasukkan ke dalam analisis ini dan terjadi dalam
dan gejala penyakit terhadap performa fungsi.
tujuh tahap yang disajikan pada tabel 8. Hasil akhir yang
didapat adalah pendidikan, gejala penyakit, status pernikahan,
pekerjaan ,dan jenis antipsikotika. Kekuatan hubungan dari
KESIMPULAN
yang terbesar ke yang terkecil adalah pendidikan (OR=0.294,
p=0.016), gejala penyakit (OR=0.271, p=0.006), status Setelah dilakukan analisis bivariat, penelitian ini mendapatkan
pernikahan (OR=0.166, p=0.002), pekerjaan (OR=0.079, adanya hubungan bermakna antara defisit fungsi eksekutif
p=0.000), dan jenis antipsikotika (OR=0.067, p=0.001). dengan defisit performa fungsi ODS yang berobat jalan di
PJD RSCM. Korelasi antara defisit fungsi eksekutif (TMT A
dan B) dengan defisit performa fungsi (PSP) adalah lemah
PEMBAHASAN dengan arah yang negatif atau berlawanan arah sehingga dapat
dinyatakan bahwa semakin besar nilai fungsi eksekutif maka
Berdasarkan hasil analisis bivariat didapatkan adanya
semakin kecil performa fungsinya dan begitu pula sebaliknya.
hubungan bermakna antara fungsi eksekutif (TMT B) dengan
Ranah performa fungsi (PSP) yang berhubungan dengan
performa fungsi (PSP). Namun, kedua variabel ini memiliki
fungsi eksekutif (TMT A dan B) adalah perawatan diri,
korelasi yang lemah. Arah korelasi dari kedua variabel ini adalah
aktivitas yang berguna secara sosial, dan hubungan personal
negatif sehingga menunjukkan bahwa semakin rendah defisit
sosial.
performa fungsi ODS maka semakin tinggi hasil penilaian
fungsi eksekutifnya. Hal ini menunjukkan ketidakmampuan Hasil penelitian ini, setelah dilakukan analisis univariat
ODS untuk merumuskan tujuan, perencanaan, pelaksanaan menunjukkan bahwa proporsi ODS yang mengalami defisit
aktivitas untuk mencapai tujuan berdasarkan perencanaan, fungsi eksekutif (TMT A dan B) lebih sedikit dibandingkan
dan performa efektif. dengan ODS yang tidak mengalami defisit. Proporsi dari ODS
yang mengalami defisit performa fungsi dalam penelitian ini
Pada penelitian ini juga didapatkan adanya hubungan antara
lebih banyak daripada yang tidak mengalami defisit.
fungsi eksekutif (TMT A dan B) dengan tiga ranah performa
fungsi (PSP) yaitu ranah perawatan diri, aktivitas yang Pada analisis multivariat juga didapatkan adanya hubungan
berguna secara sosial, hubungan personal dan sosial. Namun, antara fungsi eksekutif dan performa fungsi dengan
tidak didapatkan adanya hubungan bermakna antara fungsi menyingkirkan faktor perancu. Namun, korelasi antara
eksekutif dengan ranah perilaku mengganggu dan agresif. keduanya lemah. Pada hasil analisis multivariat, variabel yang
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 7

lebih berhubungan dengan defisit performa fungsi adalah psikiatri.


pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, gejala penyakit,
Peneliti juga menyarankan perlunya diadakan penelitian
dan jenis antipsikotika. Kekuatan hubungan dari yang terbesar
lanjutan yang bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya
ke yang terkecil adalah pendidikan, gejala penyakit, status
pengaruh intervensi rehabilitasi kognitif terhadap perbaikan
pernikahan, pekerjaan, dan jenis antipsikotika.
defisit performa fungsi atau fungsi eksekutif ODS sehingga
Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa prediksi para tenaga profesional kesehatan jiwa dapat melakukan
probabilitas ODS akan mengalami defisit performa fungsi tatalaksana yang mencakup aspek biopsikososial.
jika ODS memiliki pendidikan SD/SMP/SMA sederajat
(masa pendidikan 12 tahun), gejala penyakit kombinasi
(gejala positif, negatif, dan gejala lainnya), belum menikah, DAFTAR PUSTAKA
tidak bekerja, dan/atau menggunakan antipsikotika tipik 1. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Comprehensive Textbook of
atau kombinasi (tipik dan atipik). Prediksi probabilitas ODS Psychiatry. 9th ed. Philadelphia (US): Lippincott Williams and
mengalami defisit fungsi dengan kelima faktor tersebut akan Wilkins; 2009.
lebih besar dibandingkan dengan yang tidak memiliki kelima 2. Hodges JR. Cognitive assessment for clinicians. New York (US):
faktor tersebut. Oxford University Press; 1995.
3. Ronawulan E. Tesis Penentuan Validasi dan Nilai Normal Uji
Walaupun terdapat hubungan bermakna antara fungsi Neurokognitif. Jakarta: Departemen Psikiatri FKUI-RSUPN Dr.
eksekutif dengan performa fungsi, defisit fungsi eksekutif tidak Cipto Mangunkusumo; 2004.
cukup kuat probabilitasnya untuk orang dengan skizofrenia 4. OCarroll R. Cognitive impairment in schizophrenia. Advances
mengalami defisit performa fungsi. Psychiatric Treatment. 2000.
5. Ardi D, Amir N, Budiman R, Ariawan I, Heriani. Penentuan
validitas dan reliabilitas personal and social performance scale.
SARAN Jurnal Cermin Dunia Kedokteran. 2012 Feb;39(2).
6. Surilena. Intervensi psikososial dalam manajemen skizofrenia.
Peneliti menyarankan pada penelitian lanjutan atau JIWA Majalah Psikiatri. 2005 Jul: 38(3).
pemeriksaan di layanan psikiatri untuk melakukan 7. Green MF, Kern RS, Braff DL, Mintz J. Neurocognitive deficits and
wawancara dalam menentukan usia awitan, bentuk awitan, functional outcome in schizophrenia: are we measuring the right
durasi penyakit, frekuensi kekambuhan, dan DUP dengan stuff . Schizophr Bull. 2000;26(1):119-36.
menggunakan instrumen bantuan wawancara parameter 8. Amir N. Makalah gangguan fungsi kognitif pada pasien
premorbid dan awitan (wawancara diagnosis untuk psikosis). skizofrenia dan uji neuropsikologiknya. Konfereni Nasional I
Skizofrenia; 2000 Oct 11; Jakarta.
Berdasarkan hasil penelitian, diperlukan adanya prosedur 9. Cumming JL, Trimble MR. Neuropsychiatry and Behavioral
operasional standar pada layanan psikiatri untuk melakukan Neurology: Memory and its disorders. Washington DC (US):
pemeriksaan fungsi kognitif dengan menggunakan instrumen American Psychiatric Press. 1995.
yang sudah tervalidasi di Indonesia. Selain itu, disarankan 10. Lezak MD. Neuropsychological Assessment. 2nd ed. New York
juga untuk menggunakan obat antipsikotika atipik di layanan (US): Oxford University Press; 1983.
8 Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

laporan penelitian

Ungkapan Stres untuk Gejala Cemas dan Depresi pada Pasien di Puskesmas Gambir
(Studi Kualitatif)
Chrisna Mayangsari1; Petrin Redayani2; Hervita Diatri2; AAAA. Kusumawardhani2
1
RSUD Bekasi, Jawa Barat. E-mail: mayangsarichrisna@yahoo.com
2
Departemen Psikiatri, RSUPN Dr. Cipto Manguskusumo, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta
Abstrak
Latar Belakang: Prevalensi gangguan cemas dan depresi di Jakarta Pusat sebesar 23.0% dan banyak yang mengalami kesenjangan pengobatan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran mendalam mengenai ungkapan stres terhadap gejala cemas dan depresi, serta perilaku
mencari pertolongan pada pasien yang berobat ke Puskesmas.
Metode: Penelitian ini bersifat kualitatif dengan wawancara mendalam pada responden setelah penapisan dengan SRQ. Penelitian dilakukan di
Puskesmas Gambir dari September 2013 sampai Juli 2014.
Hasil: Data berasal dari tiga responden initial somatizer dengan keluhan somatik multipel. Ungkapan berupa bahasa daerah, bahasa Indonesia,
bahasa asing, dan peribahasa. Responden memiliki stresor nyata dan meminta pertolongan ke fasilitas kesehatan, tetapi tidak pernah
mengungkapkan keluhan terkait perasaan. Namun, tenaga kesehatan tidak pernah menanyakan perasaan responden.
Diskusi: Keluhan somatik mungkin merupakan ungkapan stres yang lebih diterima secara sosial. Ungkapan dipengaruhi bahasa atau kebudayaan
seseorang. Pola mencari pertolongan dipengaruhi keluhan fisik sehingga tidak mengakses ke layanan jiwa.
Kata kunci: Cemas, depresi, kesenjangan pengobatan, ungkapan stres, budaya, perilaku mencari pertolongan

The Idioms of Distress Related to Anxiety and Depression Symptoms in Patients at Gambir
Public Health Centre, Jakarta (Qualitative Study)
Chrisna Mayangsari1; Petrin Redayani2; Hervita Diatri2; AAAA. Kusumawardhani2
Abstract
Background/Aim: The prevalence of anxiety and depression in Central Jakarta is 23.0% and they have treatment gap. This study aims to gain under-
standing of idiom of distress for anxiety and depressions symptoms. It also aims to knows help-seeking behavior of the patients in primary health care.
Method: This is a qualitative study by taking in-depth interview of respondents after screening using SRQ. The data were collected at Puskesmas
Gambir from September 2013 until July 2014.
Result: The data were from three initial somatizer respondents with multiple somatic complaints. The phrase was given in local language, Indonesian
language, foreign language, and proverbs. All respondents were known to have real stressors. They chose to ask for help at health facility, but they
never told their feelings. Besides, the health personnel never asked them.
Discussion: Somatic complaints may constitute the idiom that is socially more acceptable, influenced by personal language and culture. Help-seeking
behavior of the patients are based on their physical complaints, therefore there is no access to mental services.
Keyword: Anxiety, depression, treatment gap, idiom of distress, cultural, help-seeking behavior

PENDAHULUAN Sayangnya, banyak sekali orang yang mengalami cemas dan


depresi tidak mendapatkan terapi atau dikenal dengan istilah
Gangguan cemas dan depresi terjadi di seluruh dunia dan
kesenjangan pengobatan (treatment gap). Secara global,
menjadi global burden of disease.1,2 Penelitian yang dilakukan
treatment gap gangguan depresi sebesar 56.3% dan gangguan
di beberapa layanan kesehatan primer di empat belas negara
cemas sebesar 57.5%.7 Menurut perhitungan utilisasi layanan
menunjukkan 24% pengunjung merupakan pasien dengan
kesehatan jiwa di tingkat primer, sekunder, dan tersier,
diagnosis psikiatri.3,4 Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar
kesenjangan pengobatan diperkirakan lebih dari 90% atau
(Riskesdas) 2007, prevalensi gangguan mental emosional
hanya 10% orang yang mendapat layanan kesehatan jiwa di
(distress psikologis dan distress emosional) penduduk
Indonesia.8
Indonesia yang berusia 15 tahun sebesar 11.6% atau sekitar
19 juta orang.5,6 Angka prevalensi gangguan serupa untuk Faktor yang menyebabkan terjadinya treatment gap adalah
penduduk Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sebesar perilaku orang-orang dengan cemas dan depresi yang tidak
14.1% dan tertinggi di Jakarta Pusat sebesar 23.0%.5 Gangguan tepat dalam mencari pertolongan. Pada umumnya, mereka
tersebut menyebabkan hendaya pada kehidupan seseorang kurang memiliki pengetahuan tentang gangguan mental dan
yang memengaruhi fungsi pendidikan, sosial ekonomi, dan berpikir bahwa terapi tidak efektif serta merasa gangguan
keluarga, serta dapat meningkatkan angka mortalitas akibat tersebut akan hilang dengan sendirinya. Hal ini juga diperkuat
bunuh diri.7 dengan adanya stigma dalam masyarakat terhadap orang

Alamat Korespondensi: dr. Petrin Redayani, SpKJ(K), MPdKed; Staf Pengajar Departemen Medik Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia, Jakarta, Rumah Sakit Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta. E-mail: ptrn1010@yahoo.com
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 9

dengan gangguan psikiatri. Oleh karena itu, mereka berusaha menyebabkan misinterpretasi dalam penegakan diagnosis
untuk mengatasi atau menerima masalahnya tanpa bantuan oleh klinisi dan berdampak terhadap terjadinya treatment
orang lain. Di samping itu, faktor penghambat langsung gap.16
terhadap layanan kesehatan dan terapi adalah biaya dan akses
METODE
yang terbatas di banyak negara atau beberapa populasi.7
Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan wawancara
Terjadinya gangguan mental dapat dipahami melalui suatu
mendalam pada responden yang telah diketahui mengalami
model komprehensif multifaktorial. Faktor biologi, genetik,
gejala cemas dan depresi melalui penapisan dengan
psikologis, dan sosiokultural merupakan faktor-faktor
menggunakan instrumen Self-Reporting Questionnaire (SRQ).
penyebabnya.9,10 Keanekaragaman budaya sebagai bagian
Penelitian ini melibatkan tiga orang responden wanita, usia
dari faktor sosiokultural yang menganggap bahwa gangguan
paruh baya, sudah menikah dan memiliki anak, bekerja
akan hilang dengan sendirinya dapat memengaruhi tampilan
sebagai ibu rumah tangga, beragama Islam, serta berasal dari
klinis gangguan cemas dan depresi.11,12 Hal ini menyebabkan
suku Jawa dan Betawi. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas
ekspresi, interpretasi, dan respons sosial terkait gejala
Gambir dari bulan September 2013 sampai Juli 2014.
tersebut pada setiap individu juga bervariasi dan mungkin
menyebabkan seseorang tidak dapat mengekspresikan gejala
cemas dan depresi yang sebenarnya ingin disampaikan.1
HASIL
Pasien di negara berkembang atau non-Western dan status
Data penelitian diperoleh dari tiga orang responden
ekonomi lebih rendah lebih sering mengeluhkan gejala
yang ketiganya tergolong dalam initial somatizer dengan
somatik dan menyangkal gejala psikologisnya karena mereka
keluhan somatik multipel. Ungkapan yang diberikan berupa
kurang bersedia atau kurang mampu mengekspresikan stres
bahasa daerah, bahasa Indonesia, peribahasa, dan bahasa
emosionalnya bila dibandingkan dengan pasien di negara
asing (Belanda, Inggris). Ketiga responden juga diketahui
maju atau Western.13,14 Gejala somatik yang sering ditemukan
memiliki stresor biologis, psikologis, sosial-ekonomi, dan
di layanan kesehatan primer merupakan suatu alternatif
agama/ budaya. Seluruh responden memilih untuk meminta
ungkapan stres yang lebih sering terdapat pada budaya yang
pertolongan ke fasilitas kesehatan, tetapi tidak pernah
memberi stigma pada gangguan psikiatri sehingga pasien
mengungkapkan keluhan terkait perasaannya dan tenaga
mengungkapkan stresnya dengan gejala somatik.15 Hal ini
kesehatan tidak pernah menanyakan perasaan responden.

Tabel 1. Karakteristik responden penelitian wawancara mendalam

Inisial Responden AB UY A
Jenis kelamin Perempuan Perempuan49 Perempuan
Usia (tahun) 45 49 53
Suku Jawa Jawa Betawi
Agama Islam Islam Islam
Pendidikan terakhir Tamat SMP Tamat SMP Tidak tamat SD
Status pernikahan Menikah Menikah Menikah
Jumlah anak (orang) 2 2 1
Pekerjaan Ibu rumah tangga; mengasuh anak Ibu rumah tangga Ibu rumah tangga; buruh cuci; dagang
SRQ (jumlah gejala neurosis) 7 13 13

Tabel 2. Kutipan wawancara mendalam

Inisial Responden Kutipan


Alasan berobat ke Puskesmas Ya karena saya ada penyakitnye. Pada waktu itu saya keluhannya pusing terus ternyata darahnya normal, saya
kolesterol.
Keluhan utama Saya pusing terus menerus.
Persepsi responden Saya gak ngerti kalo itu namanya vertigo terus tanya ama Ibu Posyandu katanya itu penyakit vertigo.
mengenai sakitnya
Bahasa/ungkapan stres Vertigo. Pusing. Puyeng. Kliyeng. Cengeng. Kenceng. Manteng. Spaneng. Spaning. Nyesek. Engap. Ini hidup tak mau
matipun segan. Ngedrop.
Faktor penyebab sakit Posisi saya tidur. Mungkin kepikiran juga. Kalau buat bayar utangnya dia kan abis. Pengen punya tempat teduh.
Saya sempet ditinggalin ama dia selama 5 tahun dari posisi saya hamil yang kedua. Pernikahan saya gak disetujuin.
Hubungan keluhan dengan Bisa jadi ada hubungannye.
faktor penyebab sakit
Pernah/tidak menyampaikan Nggak nyampein kecuali kalo nanya kehidupan saya sehari-hari baru saya jawab. Nanyanya tapi gak yang detail-
ke petugas Puskesmas detail.
Tindakan untuk mengatasi Pasti ke Puskemas, minum Neuralgin, ke klinik, ke UGD. Istighfar terus-terusan. Saya takut dibilang ngaco ke dokter
sakitnya kejiwaan.
Komentar orang lain mengenai Sabar aja dan banyak Istighfar. Kalo lagi sakit ke dokter atau ke Puskesmas juga.
kondisi responden
10 Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

Gambar 1. Analisis responden pertama

Gambar 2. Analisis responden kedua


JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 11

Gambar 3. Analisis responden ketiga

DISKUSI Tabel 3. Idiom of distress untuk pusing

Keluhan somatik multipel merupakan suatu bentuk ungkapan Istilah/ungkapan Asal bahasa Arti/definisi17,18
stres yang terkait gejala cemas dan depresi yang lebih dapat Puyeng Dialek Melayu Kata sifat; menunjukkan sakit kepala
diterima secara sosial. Ungkapan stres ini juga dipengaruhi Jakarta atau pening
oleh bahasa atau kebudayaan seseorang. Pola perilaku mencari Kliyeng Disebut juga kliyengan; kata sifat; ti-
pertolongan yang dipengaruhi keluhan fisik menyebabkan dak baku; menunjukkan sakit kepala
atau pusing
pasien mencari pertolongan medis dan tidak pernah mencari
akses di layanan kesehatan jiwa. Cengeng Jawa Kata sifat; menunjuk pada kaku leher
atau tengkuk
Kenceng Indonesia Dalam Bahasa Indonesia disebut
kencang; merupakan istilah untuk
menunjukkan rasa nyeri seperti di-
tekan pada tension type headache
Manteng Tegang atau merentang

Spaneng Belanda Pikiran yang terlalu tegang


Spaning Tekanan, tegangan, desakan; biasanya
digunakan dalam istilah listrik
Ngebet Kata yang sepadan adalah nyeri
Kusut Indonesia Tersimpul jalin-menjalin tidak keruan
(rambut, benang); kacau, tidak tera-
tur; rumit, rusuh dan bingung (hati,
pikiran); kata yang sepadan adalah
bingung
Bingung Indonesia Hilang akal (tidak tahu apa yang
harus dilakukan); kurang mengerti,
kurang jelas; tidak tahu arah jalan
Tujuh keliling Indonesia Merupakan kiasan; pusing sekali, san-
gat pusing, sangat kebingungan
12 Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

Tabel 4. Idiom of distress untuk gejala depresi

Istilah/ungkapan Asal bahasa Arti/definisi17,18


Hidup tak mau Indonesia Peribahasa; menunjukkan perasaan; hidup yang merana karena terus menerus sakit
matipun segan
Drop Inggris Kata benda artinya penurunan, keadaan jatuh; kata kerja artinya turun, menjatuhkan, menurunkan
Malas Indonesia Tidak mau bekerja atau mengerjakan sesuatu; segan, tidak suka, tidak bernafsu
Kesel Indonesia Kesal; artinya mendongkol, sebal; kecewa (menyesal) bercampur jengkel; tidak suka lagi (jemu)

Tabel 5. Idiom of distress untuk gejala lainnya

Istilah/ungkapan Asal bahasa Arti/definisi17,18


Krepek-krepek Jawa Krepyek-krepyek; suara pada sendi ketika berjalan; gejala pada penyakit rematik
Seueul Sunda Rasa kembung dan perih di lambung
Nyesek Indonesia Menunjuk pada sesak napas
Engap Sunda Susah bernapas, terengah-engah, tersengal-sengal

Gambar 4. Persepsi dan perilaku pencarian pertolongan


JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 13

SIMPULAN 7. Kohn R, Saxena S, Levav I, Saraceno B. The treatment gap in


mental health care. Bulletin of the World Health Organization.
Responden tergolong initial somatizer yang mengungkapkan 2004; 82(11): 858-864.
keluhan somatik pada awal wawancara. Responden memiliki 8. Pusat Komunikasi Publik, Sekretariat Jenderal Kementrian
pemicu stress berupa biologis, psikologis, sosial-ekonomi, dan Kesehatan RI. Hargailah penderita gangguan jiwa [Internet].
agama atau budaya. Ungkapan stres berupa gejala somatik 2012. Diunduh pada hari Minggu, 2 Juni 2013 dari http://www.
mendorong perilaku mencari pertolongan ke fasilitas medis. depkes.go.id/index.php/berita/press-release/1669-hargailah-
penderita-gangguan-jiwa.html
Responden tidak menyampaikan gejala psikologisnya dan
9. Murray RM. Essential psychiatry. 4th ed. Cambridge University
petugas puskesmas juga tidak menanyakannya. Pengenalan
Press. 2008; 215.
gejala dan akses ke layanan kesehatan jiwa mengalami kesulitan
10.Ghaemi SN. The rise and fall of the biopsychosocial model. The
karena kurangnya pengetahuan dan terbatasnya biaya. British Journal of Psychiatry 2009; 195: 3-4.
11.Patel V. Cultural factors and internal epidemiology. British Medical
Bulletin. 2001; 57: 33-45.
DAFTAR PUSTAKA 12.Good B, Good MD, Grayman J, Lakoma M. Psychosocial needs
1. Kirmayer LJ. Cultural variations in the clinical presentation of assessment of communities affected by the conflict in the districts
depression and anxiety: Implications for diagnosis and treatment. of Pide, Bireuen and Aceh Utara. Local Idioms of Distress. 2006.
J Clin Psychiatry. 2001; 62(13): 22-28. 13.Kirmayer LJ. Overview culture, affect and somatization part 1.
2. Andrews G, Sanderson K, Slade T, Issakidis C. Why does the Transcultural Psychiatric Research Review. 1984; 21(4): 159-177.
burden of disease persist? Relating the burden of anxiety and 14.Fernandez RL, Diaz N. The cultural formulation: A method
depression to effectiveness of treatment. Bulletin of the World for assessing cultural factors affecting the clinical encounter.
Health Organization. 2000; 78(4): 446-454. Psychiatric Quarterly. 2002; 73(4): 271-295.
3. Bhugra D, Mastrogianni A. Globalisation and mental disorders 15.Simon GE, VonKorff M, Piccinelli M, Fullerton C, Ormel J. An
overview with relation to depression. The British Journal of international study of the relation between somatic symptoms and
Psychiatry. 2004; 184: 10-20. depression. The New England Journal of Medicine. 1999; 341(18):
4. Ormel J, VonKorff M, VanDenBrink W, Katon W, Brilman E, et 1329-1334.
al. Depression, anxiety, and social disability show synchrony of 16.Goldberg DP, Bridges K. Invited review somatic presentations
change in primary care patients. American Journal of Public of psychiatric illness in primary care setting. Journal of
Health. 1993; 83(3): 385-390. Psychosomatic Research. 1988; 32(2): 137-144.
5. Idaiani S, Suhardi, Kristanto AY. Analisis gejala gangguan mental 17.Sugono D. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa
emosional penduduk Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia. Departemen Pendidikan Nasional. 2008.
2009; 59(10): 473-479. 18.Google search. Pencarian Definisi atau Istilah pada tanggal 28 Mei
6. Gani A. Seminar MDGs dan kesehatan jiwa. Menu Dekon 2015.
Kesehatan Jiwa. Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Dirjen Bina
Upaya Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. 2010.
14 Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

laporan penelitian

Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Triage Assessment System:


Crisis Intervention (TAS-CI)
Taufik Ashal1; Martina Wiwie2; Petrin Redayani2; Irmia Kusumadewi2; Khamelia Malik2; Fransiska Kaligis2
1
Staf Pengajar Psikiatri FK Universtas Andalas, Jalan Perintis Kemerdekaan Jati Padang; RS. Dr. M. Djamil Padang
2
Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Abstrak
Latar Belakang: Krisis psikologis yang tidak terdeteksi dapat berkembang menjadi gangguan psikologis. Tidak tersedianya
instrumen yang sahih mengakibatkan petugas kesehatan tidak memiliki panduan untuk menentukan derajat keparahan krisis
psikologis. Akibatnya, intervensi diberikan tanpa panduan yang terstandarisasi. Instrumen Triage Assessment System; Crisis
Intervention (TAS-CI) dapat digunakan untuk menentukan derajat keparahan krisis psikologis dan bentuk intervensi yang tepat
bagi pasien. Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan instrumen TAS-CI versi bahasa Indonesia.
Metode: Instrumen TAS-CI diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris
(back-translation). TAS-CI versi bahasa Indonesia tersebut diujikan kepada subjek penelitian, yaitu tenaga medis Departemen
Psikiatri RSCM (n=50). Kemudian, dilakukan uji realibilitas konsistensi internal, realibilitas antarrater, validitas isi, dan validitas
konstruksi berdasarkan kasus yang ditayangkan melalui video.
Hasil: Hasil uji validitas isi memberikan nilai koefisien sebesar 0.991 yang menunjukkan bahwa butir-butir pertanyaan dalam
instrumen relevan dengan konsep derajat krisis psikologis. Uji validitas konstruksi membuktikan adanya korelasi antara butir-
butir pertanyaan setiap subdomain dan nilai total instrumen. Uji realibilitas konsistensi internal mendapatkan nilai koefisien
Cronbachs alpha 0.772-0.861 sehingga dapat disimpulkan bahwa reliabilitas konsistensi internal instrumen TAS-CI adalah baik.
Dari uji realibilitas antarrater membuktikan bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara penilaian residen senior dan junior
untuk kasus krisis psikologis ringan dan sedang. Namun, pada penilaian kasus krisis berat terdapat perbedaan yang bermakna.
Kesimpulan: Penelitian ini menghasilkan instrumen TAS-CI versi bahasa Indonesia yang sahih dan reliabel dalam menilai derajat
krisis psikologis. Namun, perlu berhati-hati dalam penggunaan instrumen untuk penilaian kasus krisis psikologis berat.
Kata Kunci: Krisis, TAS-CI, validitas, reliabilitas

Reliability and Validity of Triage Crisis Assessment System:


Crisis Intervention-Indonesian Version (TCA-CI-INA)
Taufik Ashal1; Martina Wiwie2; Petrin Redayani2; Irmia Kusumadewi2; Khamelia Malik2; Fransiska Kaligis2
Abstract
Introduction: Psychological crisis may cause various kinds of psychological disorders. To perform the appropriate interventions, it needs the
valid and reliable instrument for assess the severity of psychological crisis.
Method: This was a diagnostic study. Research subjects were dr. Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital medical staffs (n=50).
They run an assessing the crisis cases from vignette videos. The TCA CI INA was translated into Indonesian language and back-translated.
Result: The study found the Cronbach`s alpha score was 0,772-0,861, Inter-rater reliability test showed the similarity between nurses, senior
and junior doctors rating for light and mild video case crisis. Content validity test was 0,991 and construction validity showed the good cor-
relation between components of instrument to total score instruments (p<0,001).
Conclusion: The study revealed that the validity and reliability of TCA-CI-INA was good, but still needed a careful attention especially in
rating severe crisis case.
Key Words: Crisis, TAS-CI, validity, reliability

PENDAHULUAN
krisis psikologis yang terstandarisasi secara empiris masih
Penanganan krisis psikologis yang tidak adekuat berisiko kurang. Selain itu, ketersediaan instrumen psikometri yang
menimbulkan berbagai macam gangguan, yaitu masalah akurat juga masih terbatas. Tanpa adanya alat yang sahih dan
ingatan, kognitif, penyalahgunaan zat atau obat. Bahkan jika andal, penilaian derajat krisis psikologis menjadi berbeda-
dibiarkan berlarut-larut dapat terjadi gangguan psikiatri, beda, tidak terukur, bahkan mungkin tidak teridentifikasi.
seperti gangguan penyesuaian, depresi, ansietas, atau gangguan Selanjutnya keadaan ini dapat menyebabkan tata laksana yang
stress pasca trauma (PTSD).1,2,3 Dalam berbagai kepustakaan diberikan tidak adekuat.1,3,4
yang membahas mengenai penanganan krisis psikologis,
Instrumen Triage Assessment System; Crisis Intervention (TAS-
terdapat satu langkah awal yang penting, yaitu menilai derajat
CI) merupakan instrumen yang digunakan untuk menilai
krisis psikologis yang dihadapi pasien.
derajat krisis psikologis. Selain itu, instrumen ini juga dapat
Namun, cara yang digunakan untuk menentukan derajat krisis menentukan bentuk intervensi yang tepat untuk mengatasi
psikologis masih berbeda-beda antarklinisi. Perbedaan ini krisis psikologis pasien. Sayangnya, instrumen ini masih belum
diduga disebabkan oleh faktor subjektivitas atau latar belakang tersedia dalam versi bahasa Indonesia sehingga instrumen
masing-masing klinisi. Ketersediaan protokol pemeriksaan TAS-CI masih belum rutin digunakan di Indonesia. Oleh

Alamat Korespondensi: DR. dr. Martina Wiwie, SpKJ(K); Staf Pengajar Departemen Medik Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia, Jakarta, Rumah Sakit Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta. E-mail: martina_wiwie@yahoo.com
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 15

karena itu, penelitian ini melakukan penerjemahan instrumen TAS-CI mengevaluasi adanya krisis yang dialami pasien
TAS-CI ke dalam bahasa Indonesia setelah terlebih dahulu melalui checklist yang terdapat di dalam instrumen. Derajat
meminta izin kepada pemilik instrumen. Kemudian dilakukan krisis psikologis dinilai dari tiga domain, yaitu afektif, perilaku,
uji validitas dan reliabilitas instrumen TAS-CI versi bahasa dan kognitif.5 Derajat keparahan masing-masing domain
Indonesia untuk mengetahui kesahihan instrumen tersebut diinterpretasikan dalam 10 skala, sebagai berikut :
dalam menilai derajat krisis psikologis pasien di Indonesia.
Skala 1: tidak ada gangguan
TINJAUAN PUSTAKA Skala 2-3: gangguan minimal
Krisis psikologis merupakan kondisi terganggunya Skala 4-5: gangguan ringan
ekuilibrium psikologis seseorang akibat adanya pengalaman Skala 6-7: gangguan sedang
yang dinilai sebagai hasil kejadian berbahaya atau situasi
Skala 8-9: gangguan berat
bermakna. Pengalaman tersebut tidak dapat diatasi dengan
strategi koping yang selama ini dimiliki seseorang sehingga Skala 10: gangguan sangat berat
dapat berkembang menjadi krisis. Kejadian yang dapat Formulir TAS-CI terdiri dari tiga bagian. Halaman pertama
menimbulkan situasi krisis adalah kejadian yang mengancam berisi informasi demografis, observasi, dan penilaian triase.
hidup, seperti bencana alam, pelecehan seksual, kekerasan Pada halaman berikutnya terdapat Skala Keparahan. Urutan
fisik, peristiwa kriminal, perubahan tiba-tiba pada suatu pengisian formulir dimulai dari observasi, skala keparahan,
hubungan, kehilangan, penyakit medik, gangguan mental, penilaian triase, dan yang terakhir adalah informasi
serta pikiran untuk bunuh diri atau melakukan kekerasan demografis.5
pada orang lain. Seseorang yang berada dalam kondisi krisis
dapat terlihat inkoheren, kacau, agitasi, tak berpendirian, Kemudian, skor setiap skala dikombinasikan sehingga
diam, menunduk, menarik diri, atau apatis. Pada periode menghasilkan skor dalam rentang 3-30. Skor akhir inilah yang
tersebut, individu membutuhkan dan mencari pertolongan.1,3,4 dijadikan dasar untuk perlu tidaknya memanggil bantuan
segera, rawat inap, atau rawat jalan. Skor akhir dapat terbagi
Krisis psikologis yang tidak teridentifikasi dapat menjadi menjadi empat kategori, yaitu skor tunggal, belasan, dua
kasus yang tidak tertangani. Hal ini berisiko menimbulkan puluhan, dan skor tunggal skala tinggi.5
berbagai gangguan pada individu, yaitu masalah ingatan,
kognitif, penyalahgunaan zat atau obat. Bahkan masalah
psikiatri, seperti gangguan penyesuaian, depresi, ansietas, atau METODE PENELITIAN
gangguan stres pasca trauma (PTSD) pun dapat terjadi.1,4
Penelitian ini ditujukan untuk membuat TAS-CI versi bahasa
Penilaian triase psikiatri merujuk kepada proses pengambilan Indonesia serta menguji validitas dan realibilitasnya. Langkah-
keputusan segera dalam keadaan gawat darurat. Dalam hal ini, langkah yang dilakukan meliputi penerjemahan instrumen,
tenaga medis harus segera menentukan tindakan yang harus uji validitas, dan uji reliabilitas. Penelitian dilakukan di
dilakukan kepada pasien. Alternatif pilihan tindakan yang Departemen Psikiatri Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo
dapat diambil adalah sebagai berikut3: (RSCM) mulai Februari sampai Mei 2014. Populasi target
Perawatan emergensi pasien psikiatri di rumah sakit penelitian ini adalah para profesional kesehatan. Sementara itu,
populasi terjangkaunya adalah tenaga medis di Departemen
Fasilitas rawat jalan dengan pemberian terapi oleh klinisi
Psikiatri RSCM. Uji validitas dan reliabilitas antarrater
Grup terapi supportif atau agen pelayanan sosial dilakukan dengan mengikutsertakan seluruh residen dan
Tidak diperlukan rujukan pasien perawat di Departemen Psikiatri RSCM.
Melalui penilaian triase psikiatri, respon terhadap Jumlah sampel yang digunakan adalah 50 orang. Sampel
kegawatdaruratan psikiatri dapat segera diambil. Tenaga medis tersebut telah memenuhi tiga kriteria inklusi, yaitu merupakan
harus bertindak cepat dalam mengevaluasi reaksi klien dan tenaga medis Departemen Psikiatri RSCM, mengikuti
memulai tata laksana. Oleh karena itu, dibutuhkan prosedur pelatihan singkat tentang krisis dan instrumen TAS-CI, serta
penilaian yang valid dan reliabel. bersedia menjadi responden. Kriteria eksklusi penelitian ini
adalah sampel yang tidak mengisi lembaran penilaian dengan
TAS-CI merupakan instrumen yang digunakan untuk
lengkap.
menentukan derajat krisis psikologis pada pasien. Instrumen
ini pertama kali diperkenalkan pada tahun 2001 oleh Rick Pelaksanaan penelitian diawali dengan fase persiapan, yaitu
A. Myer, seorang profesor di Department of Counseling, mengirim email kepada Prof. Rick A. Myer dari Department
Psychology and Special Education, Duquesne University, of Counseling, Psychology and Special Education, Duquesne
Pittsburgh. Penggunaan instrumen ini tidak hanya terbatas University, Pittsburgh, selaku pemilik instrumen TAS-CI.
pada seorang dokter spesialis psikiatri saja. Tenaga medis yang Email tersebut merupakan permohonan izin untuk melakukan
telah menjalani pelatihan singkat dan mampu menghadapi adaptasi instrumen TAS-CI ke dalam bahasa Indonesia
pasien dalam kondisi krisis psikologis, juga diperbolehkan serta melakukan uji kesahihan terhadap instrumen tersebut.
untuk memakai instrumen ini. TAS-CI dapat memandu Selanjutnya, instrumen dan panduan manual penggunaannya
tenaga medis dalam mengambil keputusan dan memilih diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh dua
tingkat intervensi yang diperlukan. Selain itu, TAS-CI juga penerjemah. Hasil terjemahan didiskusikan oleh peneliti
dapat menilai kecakapan petugas dalam menangani krisis dengan bantuan pakar psikiatri sehingga dihasilkan satu versi
psikologis.5,6,7 terjemahan TAS-CI dalam bahasa Indonesia yang terbaik.
16 Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

Kemudian, TAS-CI versi bahasa Indonesia diterjemahkan dalam beberapa kelompok, yaitu kelompok perawat, kelompok
kembali ke dalam bahasa aslinya (bahasa Inggris) oleh dua residen psikiatri, dan kelompok dokter muda dengan
penerjemah lain yang belum pernah mengetahui instrumen ini menggunakan uji one way anova. Uji validitas konstruksi
sebelumnya. Hasil terjemahan kembali (back-translate) tersebut dilakukan dengan menghitung nilai koefisien korelasi setiap
dibandingkan dengan versi asli TAS-CI untuk melihat ada atau hasil penilaian subdomain instrumen dan hasil penilaian total
tidaknya perbedaan bermakna pada butir-butir instrumen. instrumen. Uji yang digunakan adalah uji korelasi Pearson
atau Spearman.
Pada fase pelaksanaan penelitian dilakukan uji validitas isi
melalui diskusi dan kesepakatan secara subjektif oleh tiga
pakar ilmu psikiatri. Tiap pakar melakukan penilaian terhadap
HASIL PENELITIAN
tiap butir pernyataan dan relevansinya dengan penentuan
derajat keparahan krisis psikologis. Penilaian oleh pakar Penelitian ini membutuhkan 50 sampel yang sebelumnya
dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan empat skala telah diberikan pelatihan mengenai krisis psikologis dan
poin Likert, yaitu nilai 1 (tidak relevan), 2 (agak relevan), 3 pengenalan instrumen TAS-CI. Namun, peserta yang
(cukup relevan), dan 4 (sangat relevan). Selanjutnya, dihitung menghadiri pelatihan tersebut hanya berjumlah 45 orang. Dua
koefisien reliabilitas isi menggunakan metode Martuza.8,9 orang dikeluarkan karena tidak mengisi lembar instrumen
secara lengkap sehingga terdapat 43 subjek yang awalnya
Hasil penilaian dimasukkan ke tabel 2x2 yang merupakan
diikutsertakan dalam penelitian. Kemudian, dilakukan
penilaian kesepakatan validitas uji instrumen oleh dua orang
pelatihan tambahan untuk mendapatkan jumlah sampel yang
pakar8.
diinginkan. Dalam pelatihan kedua, didapatkan tambahan
Pakar 1
sebelas partisipan yang memenuhi syarat untuk dijadikan
sampel penelitian sehingga pada penelitian ini didapatkan
Relevansi Relevansi total sampel sebanyak 54 partisipan.
Lemah (Poin Kuat (Poin
1 atau 2) 3 atau 4) Karakteristik Demografis Subjek Penelitian
Relevansi Lemah A B
(Poin 1 atau 2) Karakteristik demografis subjek penelitian, meliputi usia, jenis
Pakar 2
Relevansi Kuat C D
kelamin, dan pekerjaan dapat dilihat pada tabel 4.2.
(Poin 3 atau 4)

Tabel 4.2. Karakteristik Demografis Subjek Penelitian


Berdasarkan tabel 2x2, koefisien validitas isi untuk TAS-CI
Karakteristik Demografis Subjek Persentase
versi bahasa Indonesia adalah D/(A+B+C+D).
Pada penelitian ini digunakan pendapat oleh tiga pakar Jenis Kelamin
sehingga terdapat tiga kemungkinan kombinasi pasangan. Laki-laki 10 18.5
Koefisien validasi isi merupakan hasil nilai rata-rata koefisien Perempuan 44 81.5
validitas isi dari tiga kombinasi pasangan tersebut.8
Pekerjaan
Uji reliabilitas melibatkan 50 partisipan yang merupakan tenaga
medis Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa RSCM. Kemudian, Residen Psikiatri 39 72.2
partisipan diberi pelatihan mengenai model krisis, intervensi Perawat Psikiatri 9 16.7
krisis, pengenalan instrumen TAS-CI, dan cara penggunaan Dokter muda 6 11.1
instrumen TAS-CI sesuai dengan petunjuk pelatihan yang
diberikan oleh Rick A. Myer. Selanjutnya, partisipan diminta Mean Usia (tahun) 34.74
untuk menilai kasus yang telah dipersiapkan melalui video Median Usia (tahun) 35.00
case-vignette. Min-Max (tahun) 19-55
Kasus yang disajikan dalam video terdiri dari tiga tingkat
keparahan krisis psikologis, yaitu ringan, sedang, dan
berat. Video tersebut berdurasi sekitar lima menit dan Hasil Pemeriksaan Derajat Krisis Psikologis dengan
akan ditampilkan secara acak (random). Setelah partisipan Instrumen TAS-CI
selesai menilai satu kasus video, barulah ditayangkan video Rata-rata penilaian derajat krisis yang dilakukan subjek
berikutnya untuk dinilai. Cara yang sama dilakukan sampai penelitian untuk masing-masing kasus menunjukkan angka
selesai video ketiga. Selanjutnya, dilakukan pengumpulan data yang hampir sesuai dengan penilaian yang dilakukan oleh
dan pengolahan data. Data yang dikumpulkan akan ditabulasi pemilik instrumen. Pada kasus pertama didapatkan skor
serta diolah secara statistik. Analisis statistik pada penelitian rata-rata subdomain adalah 9.0-9.2 (SD: 1.1-1.4). Skor ini
ini menggunakan perangkat lunak SPSS (Statistical Package for diinterpretasikan sebagai kasus krisis berat. Sementara itu,
the Social Sciences) versi 20. pada kasus kedua didapatkan skor rata-rata subdomain
Uji reliabilitas konsistensi internal diukur secara statistik sebesar 3.1-3.6 (SD: 0.8-1.6) yang diinterpretasikan sebagai
dengan menghitung nilai koefisien Cronbachs alpha. Uji kasus krisis ringan, sedangkan pada kasus terakhir, skor
reliabilitas antarrater dilakukan dengan membandingkan rata-rata subdomain adalah 6.4-7.2 (SD: 1.5-1.8) yang sesuai
penilaian yang dilakukan subjek penelitian. Subjek dibagi ke dengan interpretasi kasus krisis sedang.
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 17

Tabel 4.3. Penilaian Derajat Keparahan Krisis Tabel 4.4. Reliabilitas Konsistensi Internal

Kasus Komponen Skor Mean Standar Penilaian Kasus Nilai Komponen Cronbachs

Penilaian Kompo Penilaian Deviasi Ahli Cronbachs Penilaian Alpha if item


Alpha deleted
nen Responden
Video 1 0.861 Afektif 0.849
Video Afektif 1-10 9.28 1.106 9
Perilaku 0.804
1 Perilaku 1-10 9.02 1.473 8
Kognitif 0.793
Kognitif 1-10 9.26 1.403 9
Video 2 0.772 Afektif 0.756
Total 3-30 27.56 3.613 26 Perilaku 0.763
Kognitif 0.709
Video Afektif 1-10 3.65 1.216 3
Video 3 0.827 Afektif 0.821
2 Perilaku 1-10 3.11 0.839 3
Perilaku 0.759
Kognitif 1-10 3.61 1.618 3
Kognitif 0.784
Total 3-30 10.35 2.693 9

Video Afektif 1-10 6.48 1.501 7 Nilai Cronbachs alpha if item deleted merupakan suatu
3 Perilaku 1-10 7.02 1.807 5 cara yang digunakan untuk menguji efek apabila variabel
Kognitif 1-10 6.83 1.830 6 subdomain dihilangkan. Efek yang mungkin muncul akibat
hilangnya subdomain adalah peningkatan atau penurunan
Total 3-30 20.33 4.135 18
konsistensi.
Instrumen TAS-CI versi bahasa Indonesia memiliki tiga
Reliabilitas Konsistensi Internal variabel subdomain, yaitu afektif, perilaku, dan kognitif.
Ketiga penilaian subdomain tersebut secara umum berperan
Pada uji reliabilitas konsistensi internal, kelompok responden dalam meningkatkan nilai Cronbachs alpha. Oleh karena itu,
menunjukkan nilai Cronbachs alpha 0.861 untuk kasus penghilangan ketiga subdomain tersebut akan menurunkan
pertama, 0.722 untuk kasus kedua, dan 0.827 untuk kasus nilai Cronbachs alpha. Meskipun demikian, nilai Cronbachs
ketiga. Nilai Cronbachs alpha yang semakin mendekati angka alpha tanpa subdomain tersebut masih berada diatas
1 menandakan bahwa instrumen tersebut semakin konsisten. 0.70. Dengan adanya peranan setiap subdomain untuk
Nilai Cronbach`s alpha 0.70 dianggap baik dan 0.90 meningkatkan nilai Cronbachs Alpha, maka tiap butir dalam
dianggap sangat baik. instrumen ini tetap dipertahankan.

Tabel 4.5. Analisis Reliabilitas Antarrater dengan Uji One Way Anova

Analisis post hoc


Kasus N Nilai p
Kelompok Rerata selisih Nilai p
Video 1 54 0.012 Perawat vs residen +3.871 0.010
Perawat vs dokter muda + 2.984 0.257
Residen vs dokter muda + 0.887 1.000

Video 2 54 0.445 Perawat vs residen + 0.730 1.000


Perawat vs dokter muda + 1.460 0.866
Residen vs dokter muda + 1.387 0.653

Video 3 54 0.131 Perawat vs residen + 1.058 1.000


Perawat vs dokter muda + 2.317 0.784
Residen vs dokter muda + 3.376 0.144

Reliabilitas Antarrater Pada penghitungan uji one way anova, didapatkan adanya
perbedaan bermakna dalam penilaian kasus pertama yang
Reliabilitas antarrater dilakukan dengan membandingkan
dilakukan kelompok perawat, residen psikiatri, dan dokter
hasil penilaian kelompok perawat, residen psikiatri, dan
muda (nilai p<0.05). Pada kasus kedua dan ketiga tidak ada
dokter muda terhadap ketiga kasus dari video yang sama.
perbedaan bermakna dari penilaian masing-masing kelompok
Korelasi penilaian ketiga kelompok tersebut dihitung secara
(nilai p>0.05). Pada analisis post-hoc untuk kasus pertama,
statistik menggunakan uji one way anova.
dapat dilihat terjadi perbedaan signifikan antara penilaian
18 Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

yang dilakukan perawat dan residen psikiatri (nilai p<0.05). Berdasarkan penghitungan di atas, didapatkan koefisien
Namun, tidak ditemukan perbedaan bermakna (nilai p validitas isi instrumen TAS-CI versi bahasa Indonesia adalah
>0.05) antara penilaian yang dilakukan oleh dokter muda dan 0.991. Nilai keofisien validitas isi yang semakin mendekati
perawat atau residen. angka 1 dianggap semakin baik. Oleh karena itu, koefisien
validitas isi dalam penelitian ini dianggap baik.
Selanjutnya, dilakukan analisis untuk membandingkan dua
kelompok menggunakan uji metode Bland altman. Pada uji Validitas Konstruksi
ini ditentukan kesesuaian penilaian antara residen senior
Dalam penelitian ini, validitas konstruksi dilakukan dengan
(minimal residen semester 5) dan residen junior (maksimal
menghitung nilai koefisien korelasi setiap subdomain
residen semester 4 ke bawah dan dokter muda). Kemudian,
instrumen terhadap penilaian total ketiga kasus. Uji korelasi
dihitung selisih dan rerata penilaian. Kasus pertama
yang digunakan adalah uji korelasi Spearman karena
menggunakan uji non parametrik karena distribusi data tidak
berdasarkan analisis homogenitas data, didapatkan bahwa
normal. Kasus kedua dan ketiga menggunakan uji one sample
data tidak terdistribusi secara normal. Setelah dilakukan
t test. Dari uji tersebut, didapatkan nilai p dan ditentukan limit
penghitungan nilai koefisien korelasi (r), didapatkan nilai
of agreement dengan rumus:
korelasi tertinggi adalah 0.840. Sementara itu, nilai koefisien
Minimal = rerata selisih (1.96 x simpang baku) korelasi terendah adalah 0.611 (lihat tabel 4.5).
Maximal = rerata selisih+(1.96 x simpang baku) Nilai koefisien relasi 0.6 - <0.8 menunjukkan adanya korelasi
kuat antara penilaian subdomain dan penilaian total. Sementara
itu, korelasi sangat kuat didapatkan apabila nilai koefisien relasi
Tabel 4.6. Analisis Reliabilitas Antarrater dengan Metode Bland Altman berada dalam rentang 0.8 1.00. Berdasarkan analisis statistik
Nilai Rerata Simpang Nilai Nilai yang dilakukan dalam penelitian ini, didapatkan adanya
Kasus N hubungan kuat dan sangat kuat antara penilaian masing-
P Selisih Baku Minimal Maximal
masing subdomain dan penilaian total. Korelasi tersebut
merupakan korelasi positif yang menunjukkan semakin tinggi
Video 1 20 0.039 -1.850 3.437 -8.586 4.886 nilai variabel A, maka semakin tinggi pula nilai variabel B.
Video 2 20 0.184 0.850 2.758 -4.556 6.266 Seluruh hasil uji korelasi memiliki nilai p sebesar 0.00. Nilai
Video 3 20 0.330 -0.800 3.577 -7.810 6.211 p<0.001 menunjukkan adanya korelasi bermakna antara
penilaian masing-masing subdomain dan penilaian total.

Dari analisis tersebut, didapatkan perbedaan bermakna antara Tabel 4.7. Hasil Analisis Korelasi Spearman
penilaian residen senior dan residen junior untuk kasus Skor Total
pertama (nilai p<0.05). Namun, tidak didapatkan perbedaan R P n
bermakna pada penilaian kasus kedua dan ketiga antara kedua
Video 1 Afektif 0.827 <0.001 54
kelompok.
Perilaku 0.840 <0.001 54
Validitas Isi Kognitif 0.834 <0.001 54
Validitas isi ditentukan dengan melakukan penilaian
secara kualitatif terhadap tiap butir pertanyaan instrumen Video 2 Afektif 0.718 <0.001 54
berdasarkan kecocokan dengan konsep derajat krisis psikologis. Perilaku 0.611 <0.001 54
Langkah ini dilakukan oleh tiga pakar psikiatri yang bertugas Kognitif 0.800 <0.001 54
di poliklinik penanggulangan pasca trauma Departemen Ilmu
Kesehatan Jiwa RSCM. Ketiga pakar tersebut memberikan
Video 3 Afektif 0.710 <0.001 54
penilaian terhadap tiap butir pernyataan dengan skala Likert,
Perilaku 0.821 <0.001 54
yaitu 4 (sangat relevan), 3 (cukup relevan), 2 (agak relevan),
dan 1 (tidak relevan). Kognitif 0.825 <0.001 54

Hasil penilaian dari setiap pakar dibagi menjadi dua


kelompok, yaitu relevansi lemah (nilai 1 atau 2) dan relevansi PEMBAHASAN
kuat (nilai 3 atau 4). Selanjutnya, kombinasi nilai relevansi
tersebut dimasukkan ke dalam tabel 2x2. Setiap tabel berisikan Penelitian ini menggunakan 54 partisipan yang berprofesi
kesepakatan dua pakar. Penelitian ini menggunakan tiga sebagai tenaga medis Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa
orang pakar sehingga kemungkinan akan timbul tiga macam RSCM. Partisipan ini berasal dari tiga kelompok, yaitu residen
kombinasi nilai relevansi, sebagai berikut: psikiatri (70.4%), perawat (18.5%), dan dokter muda (11.1%).
Jumlah responden berjenis kelamin perempuan adalah 81.5%
a. Kemungkinan 1: antara pakar 1 dan 2. Koefisien validitas dan laki-laki 18.5%. Rata-rata usia responden adalah 34.37
isi: 71/ (0+1+0+71)= 0.986 tahun dengan rentang usia 19-55 tahun.
b. Kemungkinan 2: antara pakar 2 dan 3. Koefisien validitas
isi=72/(0+0+0+72) = 1 Instrumen TAS-CI secara luas dapat digunakan oleh petugas
krisis hotline, dokter, paramedis, psikolog, guru konseling,
c. Kemungkinan 3: antara pakar 1 dan 3 Koefisien validitas polisi, pekerja sosial, dan sukarelawan. Pengguna instrumen
isi=71/(0+0+1+71)= 0.986 TAS-CI sebelumnya telah mendapat pelatihan singkat
Rata-rata nilai validitas isi = (0.986+1+0.986)/3 = 0.991 mengenai cara penggunaan instrumen.
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 19

Beberapa penelitian uji reliabilitas dan validitas instrumen dibandingkan penilaian ahli.30 Pazar juga menyimpulkan
TAS-CI yang dilakukan di Amerika Serikat juga menggunakan bahwa jenis pekerjaan tidak mempengaruhi reliabilitas
responden yang variatif. Janis Pond Pazar (2005) melakukan penilaian. Hal tersebut membuktikan bahwa seseorang
penelitian untuk menguji validitas dan reliabilitas Instrumen dari berbagai latar belakang pekerjaan yang telah mendapat
TAS-CI dengan menggunakan sampel yang terdiri dari pelatihan mengenai cara menggunakan instrumen TAS-
psikolog, pekerja sosial, pekerja krisis hotline, dan siswa CI mampu memakai instrumen dengan hasil yang reliabel.
yang telah lulus. Peneliti lain, Brownfield (2012) melakukan Demikian pula penelitian yang dilakukan oleh Brownfield
penelitian dengan menggunakan sampel guru konseling, guru (2012) menemukan tidak ada perbedaan bermakna antara
baru, dan konsultan ahli krisis.10 penilaian yang dilakukan oleh guru konseling, guru yang
baru ditraining, dan ahli.10,11 Watters (1997) membagi subyek
Uji reliabilitas konsistensi internal dilakukan dengan
penelitiannya ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok ahli
menghitung nilai Cronbachs alpha. Nilai Cronbachs alpha
yang sudah berpengalaman mengatasi krisis psikologis selama
instrumen TAS-CI versi Bahasa Indonesia adalah 0.861 untuk
10 tahun dan kelompok dengan pengalaman 1-5 tahun. Dalam
krisis berat, 0.772 untuk krisis ringan, dan 0.827 untuk krisis
penelitian tersebut, tidak ditemukan perbedaan bermakna
sedang. Hasil uji konsistensi internal pada penelitian ini cukup
antara penilaian yang dilakukan oleh kedua kelompok. Namun,
baik. Dari berbagai literatur, batasan nilai konsistensi internal
Watters menemukan perbedaan bermakna pada penilaian
yang dapat diterima (acceptable) adalah nilai Cronbachs alpha
yang dilakukan kelompok ahli dan responden yang tidak
di antara 0.7 dan 0.8. Jika nilai Cronbach alpha berada dalam
memiliki pengalaman dalam menilai krisis derajat sedang dan
rentang 0.8-0.9, maka dapat disimpulkan bahwa realibilitas
berat.5,10 Sementara itu, Blancett (2008) menemukan terdapat
instrumen adalah baik. Sementara itu, nilai di atas 0,9
perbedaan bermakna antara penilaian guru yang baru
menunjukkan reliabilitas yang sangat baik.31,32
mengikuti training krisis dengan ahli pada salah satu dari tiga
Nilai reabilitas dalam penelitian ini tidak jauh berbeda kasus video yang ditayangkan. Bahkan, Blancett menyatakan
dibandingkan penelitian sebelumnya. Pazar (2005) adanya perbedaan bermakna pada semua subskala penilaian.12
mendapatkan koefisien reliabilitas instrumen TAS-CI adalah
Uji validitas isi dilakukan oleh tiga pakar dalam bidang
0,885 untuk krisis ringan, 0,738 untuk krisis sedang, dan
psikiatri. Tiga pakar tersebut menilai tiap butir instrumen TAS-
0.690 untuk krisis berat. Penelitian lainnya yang dilakukan
CI. Selanjutnya, dihitung koefisien validitas isi dari penilaian
oleh Watters (1997) menyatakan instrumen TAS-CI sebagai
ketiga pakar menggunakan metode yang diperkenalkan oleh
instrumen yang valid dan reliabel. Dalam penelitian tersebut,
Martuza. Berdasarkan metode tersebut, didapatkan hasil
didapatkan koefisien reliabilitas 0.530.79 untuk krisis berat,
koefisien validitas isi sebesar 0.991. Nilai yang mendekati
0.630.86 untuk krisis sedang, dan 0.650.94 untuk krisis
angka satu ini menunjukkan bahwa instrumen TAS-CI versi
berat. Watters mendapatkan hasil yang bervariasi karena ia
bahasa Indonesia sahih dalam menilai derajat krisis psikologis.
mengelompokkan subjek penelitiannya berdasarkan pekerjaan
dan pengalaman.10,11 Pakar psikiatri cenderung memberikan penilaian sangat
relevan pada setiap butir instrumen TAS-CI versi bahasa
Uji reliabilitas antarrater menggunakan uji one way anova.
Indonesia. Terdapat satu butir yang dinilai cukup relevan oleh
Berdasarkan analisis statistik, didapatkan perbedaan bermakna
seorang pakar, yaitu pada butir pertanyaan nomor B2.1, yaitu
antara penilaian yang dilakukan perawat dan residen psikiatri
Kemampuan melakukan tugas untuk keperluan fungsi sehari-
untuk kasus pertama, sedangkan pada kasus kedua dan ketiga,
hari tidak terganggu dalam korelasinya dengan subdomain
tidak ditemukan adanya perbedaan penilaian yang bermakna
perilaku. Adanya perubahan perilaku memperlihatkan
antar masing-masing kelompok.
adanya gangguan psikiatri pada seseorang. Banyak instrumen
Kasus pertama merupakan contoh krisis dengan derajat yang digunakan untuk mengidentifikasi adanya perubahan
berat. Dalam penelitian ini, kelompok perawat memberikan perilaku, salah satunya Behavior and Symptom Identification
penilaian yang bervariasi sehingga penilaian yang dilakukan Scale (Basis 32). Pada instrumen tersebut, gangguan perilaku
perawat berada dalam rentang yang lebar. Oleh karena itu, dinilai berdasarkan lima skala, yaitu relasi, fungsi sehari-hari,
terjadi perbedaan yang signifikan dibandingkan penilaian perilaku impulsif, perilaku adiktif, serta psikosis. Instrumen
oleh residen psikiatri yang cenderung memiliki rentang nilai tersebut menilai gangguan perilaku berdasarkan berbagai
lebih sempit. Berdasarkan hasil tersebut, perawat dinilai masih skala, salah satunya adalah fungsi sehari-hari karena fungsi
kesulitan dalam menilai krisis derajat berat. sehari-hari merupakan hal yang perlu diperiksa untuk
menentukan gangguan perilaku.13
Kemudian, dilakukan analisis lebih lanjut menggunakan
metode Bland altman. Dalam analisis ini, kelompok perawat Uji validitas konstruksi dilakukan dengan menghitung
tidak diikutsertakan. Kelompok yang dibandingkan adalah koefisien korelasi setiap subdomain dan nilai total instrumen.
kelompok residen senior dan junior. Kedua kelompok tersebut Nilai koefisien korelasi (r) yang semakin mendekati 1
menunjukkan kesesuaian penilaian pada kasus kedua dan menandakan korelasi yang semakin baik. Dalam penelitian
ketiga. Namun, terdapat perbedaan bermakna pada pada ini, didapatkan nilai koefisien korelasi tertinggi 0.840 dan
kasus pertama. Dalam grafik Bland altman, secara umum hasil terendah 0.611. Secara keseluruhan, nilai koefisien korelasi
penilaian masih berada dalam limit of agreement. Namun, instrumen TAS-CI versi bahasa Indonesia termasuk dalam
terdapat satu partisipan dengan penilaian yang berbeda. kategori baik dan sangat baik.
Hal inilah yang memengaruhi kesesuaian hasil penilaian.
Interpretasi koefisien relasi adalah sebagai berikut :
Penelitian serupa yang dilakukan Pazar (2005) menyatakan
bahwa tidak ada perbedaan bermakna antara penilaian yang 0.0- <0.2 = korelasi sangat lemah
dilakukan kelompok psikolog, pekerja sosial, atau sukarelawan
20 Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

0.2-<0.4 = korelasi lemah DAFTAR PUSTAKA


0.4-<0.6 = korelasi sedang, 1. Flannery RB, Everly GS. Crisis intervention: a review. Int J
0.6-<0.8 = korelasi kuat Emerg Ment Health. 2000;2(2):121-5.
0.8-1.00 = korelasi yang sangat kuat. 2. Lewis S, Roberts AR. Crisis assessment tools: the good, the bad,
and the available. Oxford: Oxford University Press; 2001.p.17-
Pada penggunaan instrumen TAS-CI, pemilik instrumen
28.
melengkapinya dengan manual penggunaan dalam bahasa
Inggris. Pada proses uji validitas dan reliabilitas ini, manual 3. Duncan AE, Sartor CE, Scherrer JF, Grant D, Heath AC,
penggunaan instrumen turut ditranslasikan ke dalam bahasa Nelson EC, et al. The association between cannabis abuse and
Indonesia dan didiskusikan oleh para pakar psikiatri. Idealnya, dependence and childhood physical and sexual abuse: evidence
manual penggunaan instrumen ini ditranslasikan kembali from an offspring of twins design. Addiction. 2008;103(6):990
ke dalam bahasa Inggris. Sayangnya, hal ini masih belum 7.
dilaksanakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu, belum 4. Curie CA. A Guide to managing stress in crisis response
dilakukannya translasi balik manual penggunaan ke dalam professions. Rockville: Mental Health Services Administration;
bahasa Inggris merupakan keterbatasan dalam penelitian ini. 2005.
5. Myer RA. Assessment for crisis intervention a triage assessment
model. California: Brooks/Cole; 2001.
SIMPULAN DAN SARAN
6. Roberts AR. Crisis intervention handbook: assessment,
Melalui penelitian ini dihasilkan instrumen Triage Assessment treatmentand research. 3rd ed. New York: Oxford University
System: Crisis Intervention versi bahasa Indonesia yang sahih Press; 2005.
(valid) dan andal (reliable) dalam mengukur derajat krisis 7. Myer RA, Rice ND, Moulton P, James RK, Cogdal P, Allen S.
psikologis yang dialami oleh pasien. Kesahihan instrumen Triage assessment system training manual higher education
dibuktikan melalui uji validitas isi dengan hasil koefisien instructors manual. Pittsburgh; 2007.
validitas isi yang baik, yaitu 0.991. Selain itu, kesahihan
8. Gregory RJ. Psychological testing, history, principle, and
juga didukung dengan hasil uji validitas konstruksi yang
application. 5th ed. New York: Pearson Education Inc; 2007.
menunjukkan adanya korelasi kuat antara nilai subdomain
dan nilai total instrumen. 9. Gliem JA, Gliem RR. Calculating, interpreting, and reporting
cronbachs alpha reliability coefficient for likert-type scales;
Kehandalan instrumen ini terlihat dari uji reliabilitas midwest research to practice conference in adult, continuing,
konsistensi internal yang baik, yaitu nilai Cronbachs alpha and community education. Ohio: The Ohio State University;
0.861 untuk kasus krisis berat, 0.772 kasus krisis ringan, dan 2003; 82-7.
0.827 untuk kasus krisis sedang. Uji reliabilitas antarrater
10. Pazar JP. Relialibility of triage assestment system for crisis
menunjukkan adanya kesesuaian penilaian yang dilakukan
intervention. PhD [dissertation]. Memphis: University of
kelompok residen senior, residen junior, dan perawat untuk
Memphis; 2005.
kasus krisis derajat ringan dan sedang. Namun, terdapat
perbedaan bermakna dalam penilaian ketiga kelompok 11. Bownfield JN. The reliability and validity of the triage assessment
tersebut untuk kasus krisis berat. scale for students in learning environments: middle schools.
PhD [dissertation] Pittsburgh: Duquesne University; 2012.
Instrumen TAS-CI versi bahasa Indonesia dapat digunakan
12. Blancett J. A reliability study of the triage assessment system
petugas kesehatan, khususnya dokter untuk meningkatkan
for students in learning environments. PhD [dissertation].
kualitas pelayanan di rumah sakit atau pusat krisis. Sebelum
Memphis: University of Memphis; 2008.
menggunakan instrumen ini, petugas kesehatan harus
mendapatkan pengenalan dan pelatihan singkat mengenai cara 13. Blacker D. Psikiatric rating scale. In: Sadock BJ, Sadock VA,
menggunakan instrumen TAS-CI. Namun, perlu berhati-hati Ruiz P [editors]. Comprehensive textbook of psychiatry. 9th ed.
untuk penilaian kasus krisis berat. Masih diperlukan penelitian Philadelphia: Wolters Kluwer Lippincot Williams and Wilkins;
lanjutan mengenai uji diagnostik untuk menentukan cut off 2009.p.1032-8.
tindakan yang akan dilakukan setelah melakukan penilaian
krisis menggunakan TAS-CI versi bahasa Indonesia.
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 21

laporan penelitian

Komorbiditas Fisik pada Gangguan Bipolar di R.S. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor
Iriawan Rembak Tinambunan1, Richard Budiman2, Nurmiati Amir,2 Profitasari Kusumaningrum2
1
RSJ dr H. Marzoeki Mahdi, Jalan dr. Semeru 114, Bogor, Jawa Barat, Indonesia. E-mail: iriawan.tinambunan@gmail.com
2
Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Abstrak
Latar Belakang: Gangguan bipolar dikenal memiliki kaitan dengan berbagai komorbiditas klinis yang memengaruhi pekerjaan,
kehidupan berkeluarga, dan fungsi interpersonal. Dua pertiga pasien dengan gangguan bipolar memiliki komorbiditas yang
akan memperburuk luaran gangguan bipolar dan dapat menganggu penatalaksanaan terhadap penyakitnya. Belum ada
penelitian yang menggambarkan frekuensi komorbiditas fisik yang terjadi pada penderita bipolar di Indonesia. Rumah Sakit
Dr. H. Marzoeki Mahdi sebagai rumah sakit jiwa tertua di Indonesia juga belum memiliki data mengenai jenis dan frekuensi
komorbiditas fisik, mengingat bahwa rumah sakit ini juga menangani rawat inap umum di samping rawat inap psikiatri
Metode: Penelitian menggunakan rancangan potong lintang pada 100 orang dengan gangguan bipolar di Poliklinik Jiwa Dewasa
dan Bangsal Psikiatri R.S. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor. Penelitian ini menggunakan instrument Structured Clinical Interview
For the DSM-IV Axis I Disorders untuk menentukan gangguan bipolar dan kriteria diagnostik untuk masing-masing sepuluh
komorbiditas fisik.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan bermakna antara umur dengan terjadinya komorbiditas fisik, yaitu p=
0.001 (p di bawah 0.005). Pada analisis tambahan didapatkan adanya hubungan bermakna antara pemberian obat polifarmasi/
monoterapi dengan terjadinya komobiditas fisik terbanyak, yakni hipertensi (nilai p= 0.0001). Di antara sepuluh komorbiditas
fisik, migrain, hipertensi, dan dermatitis merupakan yang paling banyak terjadi.
Kesimpulan: Hipertensi, migrain, dan dermatitis merupakan tiga besar komorbiditas fisik di R.S. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor.
Terdapat hubungan bermakna antara umur dengan terjadinya komorbiditas fisik. Pemberian obat polifarmasi/monoterapi juga
bermakna dalam terjadinya hipertensi. Diperlukan kewaspadaan psikiater dalam mengawasi terjadinya komorbiditas fisik pada
gangguan bipolar di layanan psikiatri.
Kata Kunci: Orang dengan gangguan bipolar, komorbiditas fisik, kewaspadaan

Comorbidity between Bipolar Disorder and physical illnesses at Dr. H. Marzoeki Mahdi
Hospital Bogor, West Java, Indonesia
Iriawan Rembak Tinambunan1, Richard Budiman2, Nurmiati Amir,2 Profitasari Kusumaningrum2
Abstract
Introduction: Bipolar disorders are known to cause various clinical comorbidities that may affect work, family, and interpersonal function.
Two third of bipolar disorder have comorbidities that may worsen the outcome of bipolar itself and interfere its therapy. There has not been
sufficient study about physical comorbidities in bipolar patients in Indonesia. As the oldest psychiatric hospital in Indonesia that treats physical
and psychiatric inpatients, Dr. H. Marzoeki Mahdi hospital still lacks data concerning types and frequencies of physical comorbidities.
Method: This research used cross-sectional design from 100 people with bipolar disorder at Psychiatric Clinic and Psychiatric Ward at Dr.
H. Marzoeki Mahdi Bogor Hospital. This research also used the Structured Clinical Interview For the DSM-IV Axis I Disorders to ensure the
bipolar diagnosis and the criteria diagnostic for ten physical comorbidities from each of their field.
Result: There is a significant relationship in this research between age and physical comorbidities p=0.001 (p below 0.005). In the additional
analysis, there is a significant relationship in this research between polypharmacy/monotherapy and hypertension (p=0.0001). Migraine,
hypertension, and dermatitis are the top three physical comorbidities in this research.
Conclusion: Hypertension, migraine and dermatitis are the top three in our physical comorbidities in Dr. H. Marzoeki Mahdi Hospital. Age
has a significant relationship with physical comorbidities. Polipharmacy and monotherapy also has significancies in hypertension. Therefore,
psychiatrist must be aware the possibility of physical comorbidities in the psychiatric care.
Keywords : Bipolar people, physical comorbidities, awareness.

PENDAHULUAN Belum ada penelitian yang menggambarkan frekuensi


komorbiditas fisik yang terjadi pada penderita bipolar di
Gangguan bipolar memiliki kaitan dengan berbagai
Indonesia. Rumah Sakit Dr. H. Marzoeki Mahdi sebagai
komorbiditas klinis yang memengaruhi pekerjaan, kehidupan
rumah sakit jiwa tertua di Indonesia juga belum memiliki data
berkeluarga, dan fungsi interpersonal. Gangguan bipolar sering
mengenai jenis dan frekuensi komorbiditas fisik mengingat
berkomorbid dengan gangguan fisik dan bila tidak ditangani
bahwa rumah sakit ini juga menangani rawat inap umum di
akan membuat komplikasi pada penatalaksanaannya. Kondisi
samping rawat inap psikiatri.1,2,3
umum seperti obesitas, sindrom metabolik, penyalahgunaan
zat, dan gangguan cemas terbukti sering timbul bersama Oleh karena itu, peneliti merasa perlu melakukan penelitian
gangguan bipolar. Penyebab kematian paling besar untuk memberikan gambaran mengenai keadaan komorbid
berhubungan dengan penyebab kardiovaskular sehingga kasus fisik pada gangguan bipolar. Tujuan dari penelitian ini adalah
komorbiditas harus mendapat perhatian khusus. untuk memberikan gambaran frekuensi komorbiditas fisik

Alamat Korespondensi: dr. Richard Budiman, SpKJ; Staf Pengajar Departemen Medik Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran,
Universitas Indonesia, Jakarta, Rumah Sakit Pusat Rujukan Nasional Cipto Mangunkusumo Jakarta. E-mail: dietrich_budiman@hotmail.com
22 Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

pada gangguan bipolar serta mencari hubungan antara (descriptive cross sectional) dan potong lintang analitik
faktor-faktor pada pasien gangguan bipolar dengan terjadinya (analytic cross sectional) untuk mengetahui frekuensi dan
komorbiditas fisik.2,3 hubungan komorbiditas fisik (kondisi medik umum) dengan
pasien gangguan bipolar di bangsal dan poli psikiatri.
Tempat dan Waktu
TINJAUAN TEORI
Penelitian dilakukan di Bangsal Psikiatri dan Poli Psikiatri
Beyer et al (2005) dalam penelitiannya terhadap 1397 pasien
R.S. Dr. H. Marzoeki Mahdi, Bogor pada bulan Juli 2014 Mei
bipolar rawat jalan di departemen psikiatri di kota Zagreb
2015
(Kroasia) menghasilkan distribusi penyakit komorbid meliputi
penyakit kardiovaskular/hipertensi (10.7%), PPOK/Asma Sampel
(6.1%), diabetes (4.3%), HIV (2.8%), dan infeksi hepatitis C
Sampel yang digunakan adalah pasien yang didiagnosis
(1.9%). Data dari penelitian lain yang dilakukan oleh Moriera
gangguan bipolar sebanyak 100 subjek yang kontrol ke
et al (2011) pada 195 pasien rawat jalan mendapatkan hasil
Poli Rawat Jalan Psikiatri dan Rawat Inap Psikiatri R.S. Dr.
berupa migrain (31.8%), hipotiroidisme (24.1%), hipertensi
H Marzoeki Mahdi Bogor. Diperlukan 118 subjek untuk
(11.3%), trauma kapitis (10.3%), asma (9.7%), epilepsi (8.2%),
mendapatkan 100 subjek yang terbukti bipolar menurut
diabetes (5.1%), stroke (2.1%), dan hipertiroidisme (1%).4,5,6
SCID-I. Subjek-subjek ini juga sudah dilakukan penapisan
Secara garis besar, komorbiditas fisik yang terjadi pada bipolar untuk kriteria inklusi dan eksklusi.
dibagi menurut beberapa sistem dalam tubuh kita, yakni
Definisi Operasional
sistem kardiovaskular (contoh: hipertensi), serebrovaskular
(contoh: stroke), metabolik (contoh: diabetes melitus), saraf Dalam menentukan komorbiditas fisik, dilakukan penetapan
(contoh: migrain), respirasi (contoh : asma), infeksi (contoh: definisi operasional sesuai ilmu terkait. Misalnya, penentuan
hepatitis), endokrin (contoh: hipotiroidisme), kulit ( contoh : hipertensi dilakukan menurut JNC VII, sedangkan stroke
dermatitis), dan sistem lain (seperti artritis). menurut American Stroke Association.
SCID atau Structured Clinical Interview for DSM IV Disorder
merupakan salah satu standar baku emas diagnosis (gold
HASIL PENELITIAN
standard diagnosis). SCID terdiri dari dua bentuk, yaitu
SCID-I dan SCID-II. SCID-I adalah sebuah wawancara klinis Karakteristik Demografi
terstruktur yang digunakan untuk membuat diagnosis Aksis
Didapatkan 100 subjek penelitian sebagai berikut:
I berdasarkan DSM IV, sedangkan SCID-II digunakan untuk
membuat diagnosis Aksis II. Klinisi menggunakan seluruh
validitas kriteria yang tersedia untuk mencapai diagnosis Tabel 1. Karakteristik Responden Penelitian
yang paling akurat. Penggunaan wawancara terstruktur dapat Variabel N %
meningkatkan keakuratan diagnosis dibandingkan dengan Umur
menggunakan ketrampilan klinis saja. Reliabilitas data yang 18 - 25 Tahun 11 11.0
didapatkan menggunakan SCID lebih baik untuk gangguan
26 - 45 Tahun 67 67.0
mental berat (seperi gangguan bipolar) dibandingkan
> 45 Tahun 22 22.0
gangguan mental ringan. Validitasnya masih terbatas
walaupun SCID-I sering digunakan sebagai bahan baku emas Jenis kelamin
bagi instrumen-instrumen lain. Wawancara menggunakan Laki-laki 47 47.0
SCID-I menghabiskan waktu kurang lebih satu hingga tiga Perempuan 53 53.0
jam. SCID-I telah diadaptasi dalam versi bahasa Indonesia Status Pernikahan
oleh dr. AAAA Kusumawardhani, SpKJ(K), dr. Heriani, Menikah 31 31.1
SpKJ(K), dr. Nurmiati Amir, SpKJ(K), dr. Irmansyah, SpKJ,
Cerai/belum menikah 69 69.0
dan Herlina Handoko, serta telah digunakan pada penelitian
genetik di Departemen Psikiatri FKUI-RSCM. Pendidikan
SMP SMA 72 72.0
Pemilihan kriteria komorbiditas fisik mengacu pada jurnal
Sarjana 28 28.0
internet dan konsensus bidang terkait (neurologi, penyakit
Pekerjaan
dalam, kulit dan kelamin, dan sebagainya). Penentuan
komorbiditas fisik dilakukan dengan penunjang laboratorium Pegawai 24 24.0
dan wawancara terhadap pasien dan keluarganya. Semua hal Non-pegawai 76 76.0
ini dibuat tabel dan diringkas untuk kepentingan pengolahan
data. Riwayat komorbiditas fisik juga dilakukan melalui
penelusuran rekam medik lama pasien. Jumlah subjek perempuan yang didapat adalah sebanyak
53.0%, sedangkan laki-laki sebanyak 47.0%. Kategori umur
paling banyak ada pada rentang usia 26-45 tahun (67.0%).
METODE PENELITIAN Pada status pernikahan terlihat persentase subjek yang cerai/
belum menikah lebih banyak, yaitu sebesar 69.0%. Tingkat
Desain Penelitian
pendidikan terbanyak pada subjek penelitian ini adalah SMA
Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang deskriptif (72.0%). Pekerjaan paling banyak adalah non pegawai (76.0%).
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 23

Pada penelitian ini juga didapatkan tipe 1 bipolar sebanyak


81.0% dan tipe 2 sebanyak 19.0%. Sebesar 56.0% subjek Tabel 4. Analisis Hubungan Migrain terhadap Terapi Kombinasi
memiliki riwayat satu episode bipolar sebelumnya dan (Polifarmasi) dan Monoterapi
sebanyak 44.0% lainnya memiliki riwayat lebih dari satu
Polifarmasi Monoterapi Nilai p
episode bipolar sebelumnya. Pada golongan obat, didapatkan
bahwa sebanyak 40.0% subjek hanya mengonsumsi mood Migrain
stabilizer, sedangkan yang menggunakan obat kombinasi lebih
Ya 24 (66.7) 12 (33.3) 0.121
banyak yaitu 55.0%.
Tidak 31 (48.4) 33 51.6)
Gambaran Jenis Komorbiditas Fisik pada Gangguan Chi-square test
Bipolar
Didapatkan hasil dari sepuluh komorbiditas fisik sebagai
berikut. Didapatkan nilai p=0.121 (di atas 0.05) yang menandakan
tidak ada perbedaan bermakna. Hal ini menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan antara polifarmasi/monoterapi terhadap
Tabel 2. Komorbiditas Fisik pada Gangguan Bipolar adanya migrain pada penelitian ini.
Variabel n (%)
Penyakit yang diderita
PEMBAHASAN
Hipertensi 25 25.0
Stroke 7 7.0 Jenis komorbiditas fisik yang paling banyak diderita pada
gangguan bipolar adalah migrain (36.0%), diikuti oleh
Diabetes Melitus 9 9.0
hipertensi (25.0%). Hal ini sesuai dengan penelitian Moriera et
Migrain 36 36.0
al (2011) yang menyimpulkan bahwa migrain dan hipertensi
Asma 5 5.0 termasuk dalam tiga besar komorbiditas fisik bersama
Hipotiroid 3 3.0 hipotiroid. Perbedaannya dibandingkan dengan penelitian
Hipertiroid 1 1.0 ini adalah subjek gangguan bipolar yang menderita hipotiroid
Dermatitis Atopik 11 11.0 hanya sebesar 1% dan tidak masuk tiga besar komorbiditas
Hiperbilirubinemia 1 1.0
fisik seperti halnya dalam penelitian Moriera.
Atritis 5 5.0 Beyer et al (2005) dalam penelitiannya mengatakan
komorbiditas penyakit paling banyak adalah kardiovaskular/
hipertensi (10.7%). Migrain (36%) serta hipertensi (25%)
Jenis penyakit fisik yang paling banyak diderita oleh pasien
terjadi dalam jumlah cukup besar pada penelitian ini,
dengan gangguan bipolar adalah migrain (36.0%) diikuti oleh
dan keduanya merupakan komorbiditas fisik bidang
hipertensi (25.0%), dan dermatitis (11.0%).
kardiovaskular. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa
Hubungan Komorbiditas Fisik dengan Berbagai Faktor terdapat hubungan bermakna secara statistik terhadap faktor
Gangguan Bipolar umur subjek dengan terjadinya komorbiditas fisik.
Didapatkan hubungan bermakna pada faktor umur terhadap Penelitian ini menunjukkan bahwa pada gangguan bipolar
terjadinya komorbid fisik. tipe I terjadi komorbiditas hipertensi cukup banyak,
yakni 80% dari seluruh responden gangguan bipolar yang
mengalami hipertensi. Hal ini bertentangan dengan teori
Tabel 3. Hubungan Komorbiditas Fisik terhadap Faktor Umur
yang mengatakan bahwa pada hipertensi terjadi peningkatan
Komorbiditas (+) Komordibitas (-) Nilai p kortisol sehingga akan lebih banyak pada penderita gangguan
Umur bipolar II. Perbedaan ini disebabkan karena responden yang
18-25 tahun 3 (27.3) 8 (72.7) diambil tidak didasari pada fase hipertensi, dan banyak
26-45 tahun 38 (56.7) 29 (43.3) 0.001 sampel didapatkan dari riwayat hipertensi yang sudah
mendapatkan antihipertensi. Pada penelitian ini didapatkan
> 45 tahun 21 (95.5) 1 (4.5)
subjek sebanyak 83.3% bipolar tipe I dan 16.7% subjek bipolar
Fishers Exact test tipe II mengalami migrain. Hal ini berbeda dengan beberapa

jurnal yang menemukan bahwa migrain banyak terjadi
Didapatkan nilai p=0.001 (di bawah 0.05) yang menandakan pada gangguan bipolar II. Beberapa penelitian epidemiologi
adanya perbedaan bermakna. Hal ini menggambarkan bahwa menunjukkan terjadi hubungan antara migrain dan depresi.
ada hubungan bermakan antara kelompok umur dengan Sebuah studi di Detroit, Amerika Serikat mengatakan terjadi
komorbiditas fisik. Akan tetapi, tidak didapat hubungan prevalensi seumur hidup pada depresi mayor sebanyak tiga
bermakna secara statistik pada faktor jenis kelamin, status kali lebih besar dibandingkan pasien tanpa migrain (27%
pernikahan, status pendidikan, maupun pekerjaan. Pada dibandingkan 9%). Gangguan bipolar I dan II juga timbul
analisis tambahan dilakukan analisis statistik pada migrain lebih sering di antara pasien dengan migrain, yakni 5% pada
dan hipertensi (dua komorbid fisik paling banyak) terhadap bipolar I dan 4% pada bipolar II.
pemberian obat kombinasi (polifarmasi) dan monoterapi.
24 Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA


Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa komorbiditas 1. Parker BG. Comorbidities in bipolar disorder: models and management.
fisik yang terjadi pada pasien gangguan bipolar di Poli Psikiatri MJA. 2010;193(4):18.
dan Bangsal Psikiatri R.S. Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor 2. Sagman D, Tohen M. Comorbidity in bipolar disorder [internet].
adalah migrain, hipertensi, serta dermatitis. Didapatkan juga Psychiatric Times. 2009 Mar 23. Diakses dari: http://www.
hubungan bermakna antara faktor umur penderita gangguan psychiatrictimes.com/bipolar-disorder/comorbidity-bipolar-disorder
bipolar dengan terjadinya komorbiditas fisik. Pada analisis
3. McElroy SL, Altshuler LL, Suppes T, Keck PEJ, Frye MA, Denicoff et al.
tambahan juga didapatkan hubungan bermakna secara statistik
Axis I psychiatric comorbidity and its relationship to historical illness
antara pemberian obat monoterapi/polifarmasi dengan
variables in 288 patients with bipolar disorder. American Journal of
terjadinya hipertensi.
Psychiatry. 2001 Mar;158(3):420-6.
4. Andreasen NC. Brave New Brain: conquering mental illness in the era of
SARAN the genome. Oxford (UK);New York (US): Oxford University Press; 2002.
Bab 9, Mood Disorders; p.215-245.
Psikiater yang mengobati dan memberikan obat gangguan
5. Vieta E. Managing Bipolar Disorder in Clinical Practice. 2nd ed. Newy
bipolar dalam jangka waktu lama perlu memiliki kewaspadaan
York (US): Springer; 2009. 2009
yang cukup tinggi mengingat besarnya jumlah komorbiditas
fisik yang terjadi pada penelitian ini. Perlu dilakukan 6. Oreski I, Jakovljevic M, Aukst-Margetic B, Orlic ZC, Vuksan-Cusa B..
pemeriksaan laboratorium dan wawancara secara rutin untuk Comorbidity and multimorbidity in patients with schizophrenia and
mengantisipasi timbulnya komorbiditas fisik pada penderita bipolar disorder: similarities and differencies. Psyhiatria Danubina. 2012
gangguan bipolar. Mar;24(1):80-5.
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 25

laporan kasus

Forensic Risk Assessment pada Dua Buah Kasus Terkait Dengan Tindakan Pembunuhan
Natalia Widiasih Raharjanti,1 Adhitya Sigit Ramadianto1
1
Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Cipto Mangunkusumo
Abstrak
Laporan kasus ini memberikan ilustrasi kasus yang menunjukkan adanya kegagalan dalam sistem penegakan hukum dan
kesehatan jiwa di Indonesia dalam mendeteksi risiko keberbahayaan individu dan dalam menanggulangi risiko individu yang
dinilai berisiko tinggi. Forensic risk assessment atau penilaian risiko keberbahayaan adalah sebuah proses analisis karakteristik
seorang individu untuk menentukan probabilitas individu tersebut melakukan perilaku berbahaya. Saat ini belum ada instrumen
penilaian risiko yang sahih, andal, dan akurat untuk digunakan secara spesifik pada populasi Indonesia. Pengembangan forensic
risk assessment di Indonesia harus segera dilakukan dengan memperhatikan aspek klinis, legal, dan etika untuk mencapai tujuan
akhir menurunkan risiko keberbahayaan dan mengurangi dampak negatif perilaku berbahaya.

Forensic Risk Assessment in Two Murder Related Cases


Natalia Widiasih Raharjanti,1 Adhitya Sigit Ramadianto1
Abstract

This case report presented two psychiatric cases that illustrate the shortcomings of Indonesian legal and mental health systems in detecting
the risk of dangerousness in individuals and in responding to high-risk individuals. Forensic risk assessment is a process to determine an
individuals probability of committing dangerous act through analysis of his/her characteristics. Currently there is no risk assessment
instrument that is valid, reliable, and accurate for use specifically in Indonesian population. The development of forensic risk assessment in
the country is urgently needed, but it needs to carefully consider the clinical, legal, and ethical aspects in order to achieve the ultimate goal of
reducing the risk and mitigating the impact of dangerous acts.

Keywords: forensic risk assessment, forensic psychiatry, risk assessment instrument

LATAR BELAKANG setelah 3 tahun. Selama di penjara, ia tidak mendapatkan


tatalaksana psikiatrik apapun.
Penilaian risiko keberbahayaan atau forensic risk assessment
adalah sebuah upaya untuk mengevaluasi kemungkinan Setelah dibebaskan bersyarat, ia sempat menjalani pemeriksaan
seseorang melakukan perilaku berbahaya.1,2 Forensic risk oleh konsultan psikiatri forensik. Pada saat itu ia dalam
assessment umumnya dilakukan terhadap tersangka tindak keadaan wajib lapor tetapi tidak menolak regimen pengobatan
pidana yang dikirim ke layanan psikiatri forensik untuk dan tetap mempekerjakan ART meski telah disarankan
pembuatan visum et repertum psikiatrikum (VeRP). Walaupun untuk tidak memiliki ART. Saat wajib lapor, diketahui ia
demikian, penilaian risiko keberbahayaan dapat dilakukan kembali melakukan tindak kekerasan fisik dan psikologis
dalam berbagai setting pelayanan kesehatan jiwa: rawat terhadap asisten rumah tangga tersebut. Namun ketika hasil
inap, rawat jalan, dan komunitas. Karena itu, pengetahuan pemeriksaan ini disampaikan ke pihak berwenang, tidak ada
dan keterampilan dasar mengenai penilaian risiko sudah tindakan yang diambil karena tidak ada aduan dari korban
sepatutnya dimiliki oleh seluruh dokter spesialis kedokteran kekerasan itu sendiri.
jiwa serta tenaga kesehatan lainnya.
Pada pemeriksaan psikiatrik, didapatkan bahwa ia memiliki
riwayat gangguan perilaku pada masa kanak dan saat ini
ILUSTRASI KASUS ditegakkan diagnosis gangguan kepribadian antisosial. Ia
sepenuhnya menyangkal bahwa dirinya mengalami gangguan
Kasus 1
psikologis, namun didapatkan adanya self-esteem yang rendah.
Ny. X, seorang ibu rumah tangga berusia 50 tahun, tiga kali Perilaku agresif selama ini ditujukan kepada orang yang
melakukan pembunuhan terhadap asisten rumah tangga berada di bawah pengaruh atau posisinya. Kecerdasan berada
(ART) yang bekerja di rumahnya. Pada pembunuhan di atas rata-rata, serta ditemukan obsesi terkait kebersihan dan
pertama, ia tidak dipidanakan karena dinyatakan kerapihan.
mengalami gangguan kejiwaan dan dianggap tidak mampu
Kasus 2
mempertanggungjawabkan tindakannya. Ny. X tidak
mendapatkan terapi psikiatrik yang adekuat hingga 4 tahun RAr, 24 tahun; IH, 24 tahun; dan RA, 16 tahun, ditahan karena
kemudian ia kembali melakukan pembunuhan. Ia kembali diduga melakukan pembunuhan terhadap seorang teman
dinyatakan tidak mampu bertanggungjawab karena gangguan perempuan mereka. Pembunuhan ini diliput secara intensif
jiwa yang ia alami dan dikirim untuk perawatan di rumah oleh media massa karena cara pembunuhannya dianggap sangat
sakit jiwa. Dalam perawatan, ia menolak tatalaksana dan sadis. Pada pemeriksaan psikiatrik, tidak didapatkan gangguan
hanya menjalani perawatan selama 1 tahun tanpa tatalaksana psikologis yang bermakna yang menganggu kecakapan mereka
adekuat. Sekitar 12 tahun kemudian, ia membunuh ART yang bertiga untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.
ketiga. Ia dijatuhi pidana kurungan 6 tahun namun dibebaskan Namun dari penilaian risiko keberbahayaan pada ketiganya,

Alamat Korespondensi: dr. Natalia Widiasih Raharjanti, SpKJ(K), MPdKed; Divisi Psikiatri Forensik, Departemen Ilmu Kesehatan Jiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RS Cipto Mangunkusumo. E-mail: widiasih_1973@yahoo.com
26 Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

didapatkan beberapa faktor risiko yang menandakan mereka penelitian observasional untuk mendeteksi karakteristik yang
berpotensi mengulangi perilaku kekerasannya tersebut. RA terdapat pada populasi pelaku keberbahayaan dan bermakna
yang diduga sebagai otak dari pembunuhan tersebut dan secara statistik. Kedua, metode teoritis menggunakan
akan dituntut hukuman maksimal yaitu pidana kurungan 10 kerangka teori perilaku manusia untuk merumuskan faktor-
tahun. Bagaimana kemungkinan selanjutnya pasca ketiganya faktor yang dapat mendorong atau menghambat seseorang
dikembalikan ke masyarakat pasca menjalani hukuman melakukan keberbahayaan. Sebagai contoh, melalui sudut
pidananya bila mereka tidak mendapatkan terapi psikiatrik? pandang psikodinamik dapat dikatakan bahwa salah satu
faktor risiko keberbahayaan adalah attachment yang tidak
sehat. Terakhir, metode klinis menekankan penentuan
DISKUSI KASUS determinan keberbahayaan yang dapat dilakukan intervensi
untuk menurunkan risiko keberbahayaan.2
Kasus pertama menggambarkan kegagalan sistem penegakan
hukum dan kesehatan jiwa untuk mendeteksi individu yang Penilaian risiko yang baik tidak hanya menentukan
berisiko tinggi melakukan tindakan berbahaya dan melawan probabilitas seseorang melakukan perilaku tertentu, tetapi
hukum, serta gagal untuk menanggulangi risiko tersebut juga mampu menggambarkan derajat keparahan (severity)
ketika individu yang berisiko tinggi berhasil dideteksi. Pada tindakan yang mungkin dilakukan, kesegeraan seseorang
kasus kedua, apabila individu tersebut benar dijatuhi pidana akan melakukan tindakan tersebut (imminency), dan
kurungan 10 tahun, maka ia akan dibebaskan pada usia 26 keberulangannya (frequency).3 Dengan penilaian mencakup
tahun. Apabila memperhatikan kasus pertama, maka kasus seluruh aspek tersebut, maka diharapkan tujuan akhir forensic
kedua akan memunculkan pertanyaan bagaimana sistem risk assessment untuk menurunkan risiko keberbahayaan
penegakan hukum dan kesehatan jiwa dapat memastikan dapat dicapai dengan intervensi yang spesifik dan terarah.
bahwa ia tidak berisiko mengulangi perilaku kekerasan pada
Metode Penilaian Risiko Keberbahayaan
saat dibebaskan dari penjara, terutama apabila mereka tidak
mendapatkan tatalaksana psikiatrik yang memadai selama Pada awalnya, psikiater melakukan penilaian risiko
menjalani hukuman penjara. keberbahayaan tanpa alat bantu apapun, hanya bergantung
pada pengetahuan, pengalaman, dan persepsi yang ia miliki
Walaupun kerap tidak disadari, penilaian risiko
mengenai pasien tersebut. Seiring dengan tumbuhnya
keberbahayaan sebenarnya adalah bagian yang melekat
penelitian di bidang forensic risk assessment, dan untuk
pada praktik kedokteran jiwa1: dalam tatalaksana pasien,
menghasilkan penilaian risiko keberbahayaan yang sahih,
psikiater mempertimbangkan risiko yang mungkin terjadi
andal, serta etis, maka dibuatlah berbagai instrumen
apabila pasien diberikan atau tidak diberikan psikofarmaka.
untuk membantu psikiater menganalisis determinan
Penilaian risiko keberbahayaan juga dilakukan saat psikiater
keberbahayaan.1,2 Instrumen-instrumen yang berkembang
mempertimbangkan untuk mengambil keputusan rawat paksa
pun memiliki pendekatan yang berbeda untuk menentukan
pada seorang pasien.
probabilitas keberbahayaan seseorang. Hingga saat ini
Dalam konteks tulisan ini, forensic risk assessment adalah sudah terdapat ratusan instrumen forensic risk assessment
proses penentuan tingkat probabilitas seseorang akan untuk berbagai perilaku berbahaya, populasi, dan setting
melakukan tindakan yang membahayakan diri sendiri, penilaian.1,6-8
membahayakan orang lain, dan/atau melawan hukum, baik
Sebagai hasil dari perkembangan bidang ilmu forensic risk
untuk pertama kalinya ataupun berulang (residivisme).2
assessment, penilaian risiko keberbahayaan umumnya
Hasil dari forensic risk assessment dapat menjadi dasar untuk
digolongkan ke dalam tiga kelompok besar: unstructured
melakukan intervensi tertentu demi menurunkan probabilitas
clinical judgment, structured professional judgment, dan
tersebut atau meminimalisir dampaknya.3
actuarial assessment.2
Dasar Penilaian Risiko Keberbahayaan
Unstructured clinical judgment (UCJ) adalah metode
Pada prinsipnya, forensic risk assessment dilakukan dengan forensic risk assessment yang sepenuhnya bergantung pada
cara mengumpulkan data determinan terkait keberbahayaan pengetahuan dan keterampilan klinis pemeriksa tanpa
seseorang dan menganalisis data tersebut untuk menghasilkan dibantu instrumen terstruktur. Jenis data yang dikumpulkan
sebuah kesimpulan terkait tingkat keberbahayaannya.4,5 sepenuhnya tergantung pada psikiater pemeriksa dan tidak
Determinan tingkat keberbahayaan dapat dikelompokkan terstandar dari satu pemeriksa ke pemeriksa lain. Karena
menjadi faktor risiko yang meningkatkan probabilitas itu, UCJ sangat rentan menghasilkan kesimpulan yang tidak
keberbahayaan dan faktor protektif yang menurunkan sahih dan andal karena dipengaruhi oleh subjektivitas dan
probabilitas keberbahayaan seseorang.2,4 Determinan tersebut bias pemeriksa.9 Walau demikian, harus diakui bahwa UCJ
dapat bersifat statis (tidak dapat dimodifikasi, contoh: usia, memiliki kelebihan berupa fleksibilitas untuk menyesuaikan
jenis kelamin, riwayat melakukan kekerasan), dinamis-stabil penilaian bagi tiap individu dan tidak memerlukan banyak
(dapat dimodifikasi tetapi cenderung menetap, contoh: status biaya ataupun persiapan.2,3
perkawinan, lingkungan tempat tinggal), dan dinamis-akut
Forensic risk assessment dengan metode aktuarial menggunakan
(dapat dimodifikasi dan relatif mudah berubah, contoh:
instrumen untuk memberikan hasil kuantitatif mengenai
tingkat stres, kepatuhan berobat).2
tingkat probabilitas keberbahayaan seseorang menggunakan
Determinan keberbahayaan dapat ditentukan dengan analisis statistik.2 Tiap determinan diberikan bobot tertentu
beberapa metode yang pada praktiknya saling terkait: empiris, dan tingkat keberbahayaan seseorang ditentukan dengan
teoritis, dan klinis. Pertama, metode empiris menggunakan cara membandingkan skor keseluruhan dari instrumen
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 27

tersebut dengan probabilitas keberbahayaan dari populasi asal menimbulkan dilema etik yang harus dicermati. Berbeda
instrumen tersebut. Dengan demikian, maka metode aktuarial dengan tindakan atau pemeriksaan medis lain, dalam
bersifat transparan karena determinan yang dipertimbangkan forensic risk assessment yang menjadi prioritas utama
sudah jelas dan objektif karena penentuan probabilitas bukanlah kepentingan pasien, melainkan keselamatan dan
keberbahayaan dilakukan dengan metode statistik tanpa keamanan publik.3,11 Di lain sisi, forensic risk assessment
intervensi dari penilai.2 Hasil kuantitatif dari metode aktuarial dapat menjadi ancaman bagi hak pasien atas kerahasaiaan
juga kerap dianggap sebagai sebuah kelebihan karena menjadi medik (confidentiality) dan hak-hak sipil (civil liberties)
sangat berguna untuk kepentingan hukum.2 pasien. Dilema etik ini harus selalu dipertimbangkan oleh
dokter spesialis kedokteran jiwa yang melakukan forensic
Akan tetapi, ketergantungan metode aktuarial pada
risk assessment dan menentukan rekomendasi intervensi
perhitungan statistik juga menjadi sebuah kelemahan.
berdasarkan hasil penilaian risiko tersebut.
Masalah keandalan metode aktuarial dapat terjadi akibat
penggunaan perhitungan dari sebuah populasi ke tingkat Pertama, apabila forensic risk assessment dianggap sebagai
individu, penggunaan instrumen aktuarial pada populasi yang tindakan medis, maka sudah sepatutnya pasien mendapatkan
berbeda dengan populasi asal instrumen, serta tidak adanya penjelasan dan dimintakan informed consent sebagaimana
ruang untuk mempertimbangkan determinan keberbahayaan dilakukan sebelum tindakan medis lainnya, terutama karena
yang bersifat spesifik untuk tiap kasus (case-by-case basis).3,9 forensic risk assessment menimbulkan risiko yang nyata
Kekurangan lain dari metode aktuarial adalah penekanan bagi pasien.3 Walaupun penilaian risiko tanpa persetujuan
pada faktor risiko yang bersifat statis sehingga hasilnya kurang partisipasi dari pasien dapat dibenarkan apabila dilakukan
dapat dijadikan panduan untuk menentukan intervensi yang sesuai hukum yang berlaku, pemeriksa sebaiknya tetap
sesuai.10 memberikan penjelasan mengenai tujuan dan konsekuensi
dari penilaian risiko yang dilakukan terhadap pasien.3
Structured professional judgment (SPJ) menggunakan daftar
determinan yang ditentukan secara empiris dari penelitian Kedua, psikiater yang melakukan forensic risk assessment
sebelumnya, namun berbeda dengan metode aktuarial, SPJ mungkin harus melanggar prinsip kerahasiaan medik saat
tidak menggunakan metode statistik dalam penentuan tingkat menyampaikan hasil penilaian pada pihak yang berwenang.
probabilitas keberbahayaan seseorang.2 Instrumen dengan Selain itu, rahasia medik yang dibuka mungkin menyebabkan
metode SPJ dapat dianggap sebagai pedoman umum agar hilangnya hak-hak sipil pasien karena ia harus menjalani rawat
proses penilaian lebih sahih, konsisten antarpemeriksa yang paksa atau tindakan lainnya tanpa informed consent dari pasien
berbeda, dan terfokus. Di saat yang sama, SPJ tetap memberi tersebut. Tindakan membuka rahasia medik dalam konteks
ruang untuk pertimbangan individual dari tiap kasus penilaian risiko dan konsekuensi dari tindakan tersebut
dalam mengambil kesimpulan. Pertimbangan individual umumnya sudah dimaklumi dan bahkan direkomendasikan
yang dimaksud dapat berupa faktor risiko selain yang ada oleh organisasi profesi demi mencegah kerugian yang dapat
dalam instrumen atau modifikasi pembobotan faktor risiko dicegah (preventable harm), namun harus didasari oleh
terhadap kesimpulan tingkat risiko.2 Analisis determinan besarnya risiko keberbahayaan pasien tersebut.3
keberbahayaan dilakukan secara naratif dan kesimpulan hanya
Dilema etik ketiga berhubungan dengan akurasi forensic risk
berupa kategori besar seperti risiko rendah, sedang, dan tinggi.
assessment dan kemungkinan hasil positif palsu. Seperti uji
Karena itu, SPJ dapat dianggap memperbaiki kelemahan yang
diagnostik lainnya, tiap instrumen penilaian risiko memiliki
ada dalam metode aktuarial.3
nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediktif positif (NP+),
Walaupun tidak memberikan hasil kuantitatif dan tidak dan nilai prediktif negatif (NP-). Instrumen yang lazim
menggunakan metode statistik, penelitian menunjukkan digunakan memiliki nilai sensitivitas dan spesifisitas yang
bahwa kesahihan dan keandalan SPJ setara dengan metode baik dan tidak dipengaruhi prevalensi keberbahayaan yang
aktuarial.7,8 Kelebihan lain dari SPJ adalah adanya pertimbangan diprediksi.7,8 Akan tetapi prevalensi keberbahayaan (contoh:
mengenai derajat keparahan, kesegeraan, dan keberulangan kekerasan fisik, kekerasan seksual) yang relatif sangat rendah
perilaku berbahaya yang dinilai. Penekanan pada faktor risiko dapat mempengaruhi NP+ dan NP- suatu instrumen. Ketika
dinamis juga mampu mengarahkan intervensi yang tepat bagi memprediksi suatu luaran dengan prevalensi sangat rendah,
pasien.10 Kelemahan dari SPJ adalah prosesnya berpotensi nilai NP+ menjadi rendah juga sehingga meningkatkan risiko
menjadi kurang objektif karena dipengaruhi oleh subjektivitas terjadinya positif palsu. Tabel 1 mengilustrasikan risiko positif
penilai dan penggunaannya tidak semudah metode aktuarial palsu dengan membandingkan nilai NP+ suatu instrumen
karena perlu pelatihan khusus dan waktu yang lebih panjang. dengan sensitivitas dan spesifisitas 90% pada prevalensi yang
berbeda.
Dengan memperhatikan karakteristik tiap metode penilaian
risiko, maka dapat dikatakan bahwa berbagai metode tersebut Positif palsu memang berpotensi terjadi pada uji diagnostik
berada pada sebuah kontinuum dengan UCJ di satu sisi dan apapun, namun pada konteks forensic risk assessment, positif
instrumen aktuarial di sisi lain. Instrumen dengan metode palsu menimbulkan suatu masalah etika karena konsekuensi
SPJ berada sepanjang spektrum tersebut karena penilaiannya yang terjadi apabila seseorang dinyatakan memiliki risiko
terstruktur seperti metode aktuarial namun memperbolehkan tinggi melakukan perilaku berbahaya. Seperti diilustrasikan
adanya pertimbangan klinis (clinical override) dalam dalam Tabel 1 Skenario 2, pada prevalensi rendah maka lebih
menentukan tingkat keberbahayaan.5 banyak didapatkan positif palsu dibadingkan dengan positif
sejati. Psikiater, tenaga kesehatan jiwa lainnya, dan seluruh
Penilaian Risiko Keberbahayaan dalam Perspektif Etika
pihak yang terlibat dalam penilaian risiko keberbahayaan
Forensic risk assessment sebagai tindakan medik dapat perlu menjawab pertanyaan apakah merampas hak-hak sipil
28 Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

sekian banyak orang yang sebenarnya tidak membahayakan penilaian risiko dilakukan dengan metode yang sahih dan
(positif palsu) sepadan untuk mencegah sebuah tindak andal. Perampasan hak tersebut semakin sulit mendapatkan
keberbahayaan (positif sejati).1,3,5 justifikasi apabila metode yang digunakan untuk menilai
risiko ternyata tidak akurat dan sangat berpotensi merampas
hak orang-orang yang sebenarnya tidak berisiko melakukan
Tabel 1. Ilustrasi Nilai Prediktif Positif tindakan berbahaya.3

Skenario 1 dengan n = 1000 dan prevalensi 25% Keempat, tanpa instrumen penilaian risiko maka psikiater
Hasil standar baku
dan tenaga kesehatan jiwa lainnya tidak dapat memenuhi
Hasil tes kewajibannya untuk menginformasikan pihak berwenang
Positif Negatif
mengenai pasien berpotensi melakukan perilaku berbahaya.
Positif 225 75 Berkaca dari kasus Tarasoff di Amerika Serikat, psikiater
Negatif 25 675 dapat diminta pertanggungjawaban apabila pasien mereka
NP+ = 225/300 = 0,75 melakukan tindakan berbahaya dan kemudian terbukti bahwa
Skenario 2 dengan n = 1000 dan prevalensi 5% sebelumnya tidak dilakukan penilaian risiko atas pasien
Hasil standar baku
tersebut. Adanya instrumen penilaian risiko dapat menjadi
Hasil tes bukti konkrit bahwa forensic risk assessment telah dilakukan.1,2
Positif Negatif
Positif 45 95 Memperhatikan masalah-masalah tersebut, maka sudah
Negatif 5 855
selayaknya tenaga kesehatan jiwa Indonesia mengembangkan
instrumen FRA yang sahih, andal, dan akurat untuk digunakan
NP+ = 45/140 = 0,32
pada populasi Indonesia. Kestabilan akurasi instrumen
FRA saat digunakan pada populasi yang berbeda memang
masih menjadi kelemahan.2,3,9 Sebuah penelitian di Republik
Pengembangan Penilaian Risiko Keberbahayaan di
Rakyat Tiongkok (RRT) mengenai penggunaan instrumen
Indonesia
penilaian risiko di negara tersebut menunjukkan keandalan
Karena dinilai bermanfaat bagi dokter, pasien, dan masyarakat yang cukup baik namun kesahihannya rendah. Salah satu
umum, berbagai instrumen forensic risk assessment sudah kemungkinan penyebab rendahnya kesahihan instrumen FRA
banyak digunakan di berbagai negara maju dan mulai di RRT adalah karena instrumen yang digunakan berasal dari
dipraktekkan di negara berkembang.7,12 Publikasi mengenai populasi dengan karakteristik yang sangat berbeda sehingga
forensic risk assessment, baik dalam bentuk laporan penelitian tidak mampu menggambarkan determinan yang spesifik
ataupun systematic review dan meta-analisis, dapat dikatakan untuk populasi di RRT.12
tersedia melimpah.6,7
Selain sekedar mengejar ketertinggalan dalam bidang forensic
Sebagaimana digambarkan dalam ilustrasi kasus, di Indonesia risk assessment, psikiater dan tenaga kesehatan jiwa di
sudah terdapat kebutuhan akan layanan forensic risk assessment Indonesia juga harus mengikuti perkembangan dan perubahan
yang profesional serta instrumen penilaian risiko yang sahih paradigma yang senantiasa terjadi dalam bidang ini. Salah
dan andal. Mengingat keterbatasan jumlah dan distribusi satu kritik terhadap paradigma forensic risk assessment saat ini
dokter spesialis kedokteran jiwa di Indonesia, seluruh adalah terlalu terfokus pada faktor risiko psikososial saja dan
psikiater mungkin akan diminta untuk melakukan penilaian belum mempertimbangkan faktor genetik dan neurobiologi,
risiko karena dapat digunakan dalam berbagai konteks dan padahal kemajuan penelitian neurosains telah menunjukkan
setting layanan.1 Tanpa adanya instrumen, maka psikiater adanya hubungan antara faktor neurobiologi dengan risiko
terpaksa bergantung pada metode UCJ dengan berbagai perilaku berbahaya.14 Instrumen penilaian risiko di masa
kelemahannya.1,2,8 depan harus mampu menggambarkan faktor neurobiologi,
faktor psikososial, dan interaksi antara keduanya.15 Namun
Kondisi tersebut dapat menimbulkan serangkaian masalah
harus diakui bahwa masih dibutuhkan banyak penelitian
atau dilema. Pertama, akurasi forensic risk assessment di
sebelum faktor neurobiologi dapat diintegrasikan ke dalam
Indonesia menjadi sangat rendah karena berdasarkan berbagai
forensic risk assessment yang sahih, andal, akurat, dan etis.16
penelitian, termasuk sebuah systematic review of reviews,
metode UCJ memiliki kesahihan dan keandalan di bawah Pengembangan instrumen penilaian risiko bukan tujuan
metode aktuarial dan SPJ.8,5,13 Dengan akurasi penilaian risiko akhir dari forensic risk assessment karena penilaian risiko
keberbahayaan yang rendah, maka tujuan akhir dari forensic hanyalah satu dari sekian banyak komponen manajemen
risk assessment untuk mencegah preventable harm tidak dapat risiko.5 Pengembangan forensic risk assessment sepatutnya
dicapai. Kedua, penggunaan UCJ dinilai sudah tidak layak diiringi oleh pengembangan sistem intervensi multidisiplin
lagi, mengingat pesatnya perkembangan instrumen aktuarial yang optimal, termasuk dasar hukumnya, untuk menurunkan
dan SPJ di berbagai belahan dunia. Sebagai tindakan medis, probabilitas keberbahayaan dan memitigasi dampak negatif
forensic risk assessment sepatutnya dilaksanakan sebagai akibat tindakan berbahaya tersebut.11,17 Tanpa adanya sistem
evidence-based practice berdasarkan bukti yang mutakhir.9 yang mampu menindaklanjuti hasil penilaian risiko secara
optimal, maka forensic risk assessment tidak akan membawa
Ketiga, ketiadaan instrumen penilaian risiko yang sahih
manfaat selain menyematkan label berbahaya pada pasien-
dan andal memperbesar dilema etik yang dihadapi dalam
pasien tertentu. Selain itu, melakukan pemeriksaan yang tidak
forensic risk assessment. Hilangnya hak sipil pasien dan
akan atau tidak dapat ditindaklanjuti dapat menjadi masalah
dilanggarnya kerahasiaan medik hanya dapat dibenarkan jika
etika tersendiri.
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 29

Selain itu, sesuai dengan paradigma praktik kedokteran 5. Monahan J, Skeem JL. The evolution of violence risk assessment.
berbasis bukti (evidence-based medicine), penelitian mengenai CNS Spectr. 2014;19(5):41924.
instrumen penilaian risiko harus terus berkembang agar tidak 6. Singh JP. Five opportunities for innovation in violence risk
hanya menunjukkan akurasi dari tiap instrumen, namun juga assessment research. J Threat Assess Manag. 2014;1(3):17984.
membuktikan bahwa intervensi terhadap faktor risiko yang 7. Fazel S, Singh JP, Doll H, Grann M. Use of risk assessment
dinilai oleh instrumen mampu menurunkan tingkat risiko instruments to predict violence and antisocial behaviour in 73
keberbahayaan seseorang.5 samples involving 24 827 people: systematic review and meta-
analysis. BMJ. 2012;345:e4692.
8. Singh JP, Fazel S. Forensic risk assessment: a metareview. Crim
KESIMPULAN Justice Behav. 2010;37(9):96588.
9. Nadelhoffer T, Bibas S, Grafton S, Kiehl KA, Mansfiel A, Sinnott-
Kemajuan bidang forensic risk assessment di Indonesia
Armstrong W, et al. Neuroprediction, violence, and the law:
sangat dibutuhkan untuk menjawab kebutuhan pasien dan
setting the stage. Neuroethics. 2012;5(1):6799.
masyarakat. Untuk menunjang kemajuan tersebut, dibutuhkan
10. Douglas KS, Skeem JL. Violence risk assessment: getting
pengembangan instrumen penilaian risiko yang sahih, andal,
specific about being dynamic. Psychol, Public Policy, Law.
dan akurat untuk digunakan pada populasi masyarakat
2005;11(3):34783.
Indonesia. Ketiadaan instrumen penilaian risiko, seperti
11. Brundtland GH. Violence prevention: a public health approach.
kondisi saat ini, berpotensi merugikan pasien dan masyarakat
JAMA. 2002;288(13):1580.
serta menempatkan tenaga kesehatan dalam posisi yang
dilematis dari sudut pandang etika. 12. Zhou J, Witt K, Xiang Y, Zhu X, Wang X, Fazel S. Violence risk
assessment in psychiatric patients in China: a systematic review.
Aust New Zeal J Psychiatry. 2016;50(1):3345.
DAFTAR PUSTAKA 13. Lidz CW, Mulvey EP, Gardner W. The accuracy of predictions of
violence to others. JAMA. 1993;269:100711.
1. Mossman D. Understanding risk assessment instruments. In: 14. Siever LJ. Neurobiology of aggression and violence. Am J
Simon RI, Gold LH. Textbook of forensic psychiatry. 2nd ed. Psychiatry. 2008;165(4):42942.
American Psychiatric Publishing, 2010.
15. van der Gronde T, Kempes M, van El C, Rinne T, Pieters T.
2. Brown J, Singh JP. Forensic risk assessment: a beginners guide. Neurobiological correlates in forensic assessment: a systematic
Arch Forensic Psychol. 2014;1(1):4959. review. PLoS One. 2014;9(10):e110672.
3. Roychowdhury A, Adshead G. Violence risk assessment 16. Rothstein MA. Science and society: applications of behavioural
as a medical intervention: ethical tensions. Psychiatr Bull. genetics: outpacing the science? Nat Rev Genet [Internet].
2014;38:7582. 2005;6:7938.
4. Kraemer HC, Kazdin AE, Offord DR, Kessler RC, Jensen PS, 17. Higgins N, Watts D, Bindman J, Slade M, Thornicroft G.
Kupfer DJ. Coming to terms with the terms of risk. Arch Gen Assessing violence risk in general adult psychiatry. Psychiatr Bull.
Psychiatry. 1997;54:33743. 2005;29:1313.
30 Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

t i n jaua n p u s ta k a

Kompleksitas Skrining dan Diagnosis Gangguan Bipolar pada Anak dan Remaja
Dr. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K)1
1
Divisi Psikiatri Anak dan Remaja, Departemen Ilmu Kedokteran Jiwa FKUI - RSCM, Jakarta. E-mail: twiga00@yahoo.com
Abstrak
Gangguan bipolar pada anak dan remaja merupakan suatu gangguan mood dengan gambaran klinis yang bervariasi, baik dari aspek gejala
maupun durasi perubahan mood itu sendiri. Variasi ini lebih luas jika dibandingkan dengan individu dewasa. Sampai saat ini, belum ada
kriteria diagnosis yang spesifik untuk gangguan bipolar pada anak dan remaja sehingga masih digunakan kriteria diagnosis gangguan bipolar
untuk individu dewasa. Karena anak dan remaja masih dalam masa perkembangan, seringkali penegakkan diagnosis tersebut menjadi sulit
dan cenderung mengalami misdiagnosis, baik itu berupa under- atau overdiagnosis. Dengan demikian, perlu adanya konsensus untuk skrining
maupun penegakkan diagnosis gangguan bipolar pada anak dan remaja. The Juvenile Bipolar Research Foundation (JBRF) sejak dua dekade
yang lalu telah berupaya untuk mengembangkan kuesioner skrining dan upaya diagnosis yang lebih akurat untuk kondisi ini. Saat ini, mereka
menganjurkan untuk menggunakan the Child Bipolar Questionnaire (CBQ) dan Jeanne/Jeffrey Questionnaire for Children (self-report
questionnaire) sebagai alat skrining yang dilaporkan cukup akurat. Untuk klinisi, dapat digunakan Child Bipolar Screening Interview (CBSI)
sebagai pedoman wawancara dalam penegakkan diagnosis gangguan bipolar pada anak dan remaja, terutama dalam aspek penelitian agar
keseragaman dan akurasi diagnosis dapat dicapai dengan lebih tepat. Namun, sayangnya, semua alat ukur tersebut masih belum tersedia dalam
bahasa Indonesia. Makalah ini bertujuan untuk menggambarkan kompleksitas terkait skrining dan diagnosis gangguan bipolar pada anak dan
remaja, serta mendiskusikan beberapa alat ukur yang sudah ada saat ini.
Kata kunci: gangguan bipolar, anak dan remaja, skrining, diagnosis

The Complexity of Screening and Diagnosis in Pediatric Bipolar Disorder


Dr. dr. Tjhin Wiguna, SpKJ(K)1
Abstract
Pediatric bipolar disorder is a multifaceted disorder that shows a wide range of mood as the symptoms. Compared to adult bipolar disorder, pediatric
cases are much more complex due to their developmental stages. Currently, there are no specificic diagnostic criteria tools available for pediatric
bipolar disorder. The diagnosis is based on the standardized diagnostic criteria for adult bipolar disorder, therefore misdiagnosis might happen more
often as children are still developing. As a result, consensus for diagnostic and screening for pediatric bipolar disorder have to be made. In the past two
decades, the Juvenile Bipolar Research Foundation (JBRF) has done a lot of studies related to screening and diagnostic guideline for pediatric bipolar
disorder. They explained that the Child Bipolar Questionnaire (CBQ) dan Jeanne/Jeffrey Questionnaire for Children (self-report questionnaire) could
be used as a screening questionnaire with good reliability and validity. In addition, they also suggested clinician to use the Child Bipolar Screening
Interview (CBSI) as a standardized guideline interview for diagnosing pediatric bipolar disorder particularly for research. Unfortunately, all of the
instruments are not translated or validated in Indonesian language. This paper discusses the complexity of screening and diagnosing pediatric bipolar
disorder; secondly, this paper is also intended to increase the awareness of using standardized tools for screening and diagnosing pediatric bipolar
disorder particularly in Indonesian language amongst clinicians.
Keywords: pediatric bipolar disorder, child and adolescent, screening, diagnosis

PENDAHULUAN
bipolar pada anak dan remaja sehingga diagnosis pada
Skrining merupakan proses untuk mengidentifikasi suatu umumnya ditegakkan dengan mengacu pada kriteria
penyakit dengan menggunakan berbagai uji yang dapat diagnosis gangguan bipolar untuk orang dewasa.1-3 Sebagai
diterapkan secara tepat dalam suatu populasi sehingga dengan contoh, dalam suatu penelitian dilaporkan bahwa selama
cepat dapat mengelompokkan individu yang mengalami periode 1995 2005 diagnosis gangguan bipolar pada anak
penyakit dan individu lainnya yang sehat. Skrining bukan dan remaja meningkat 40 kali lipat. Hal ini disebabkan oleh
bertujuan untuk menegakkan diagnosis, namun bermanfaat belum adanya kriteria diagnosis yang pasti pada saat itu
untuk melakukan deteksi dini dalam populasi atau dalam sehingga para klinisi menegakan diagnosis tersebut sesuai
populasi yang rentan untuk mengalami suatu penyakit atau dengan pemahamannya masing-masing.3 Sejak tahun 2000,
kondisi tertentu (population at risk). Hasil skrining positif ketika diagnosis gangguan bipolar pada anak mulai mengacu
pada seseorang merupakan indikasi untuk dilakukannya pada kriteria diagnosis gangguan bipolar pada dewasa, rasio
penelusuran lebih lanjut terhadap masalah tersebut sampai prevalensi gangguan bipolar pada anak dan remaja tampaknya
didapatkan diagnosis yang tepat sehingga tatalaksana dapat tidak ada peningkatan yang signifikan dan dilaporkan sama
diberikan sejak dini untuk menghindari keterlambatan dalam dengan rasio prevalensi pada kelompok usia dewasa.4
pengobatan serta mengurangi disabilitas yang mungkin
Dilain pihak, awitan dini gangguan bipolar yang terjadi pada
terjadi.
anak dan remaja merupakan penanda yang buruk terhadap
Diagnosis klinis gangguan bipolar pada anak dan remaja perjalanan penyakit tersebut. Awitan dini dikaitkan dengan
merupakan hal yang kompleks sehingga menimbulkan peningkatan risiko bunuh diri, perilaku kekerasan dan labilitas
berbagai kondisi seperti kesalahan atau keterlambatan mood yang lebih tinggi5-9, serta mempunyai komorbiditas
diagnosis. Kondisi ini terjadi karena sampai saat ini belum gangguan jiwa lain yang lebih banyak seperti gangguan
ada konsensus yang pasti mengenai gejala klinis gangguan psikotik, gangguan pemusatan perhatian/hiperaktivitas
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 31

(GPPH), gangguan perilaku menentang, gangguan cemas, tersebut.15 Dalam DSM V saat ini terdapat satu diagnosis baru
gangguan obsesif, kompulsif serta gangguan tingkah laku.5,10 yang disebut sebagai Disruptive Mood Dysregulation Disorder
Disamping itu, onset gangguan bipolar pada usia anak dan (DMDD) yang menggambarkan anak dan remaja dengan
remaja juga menunjukkan angka yang lebih besar pada derajat iritabilitas kronik atau perubahan mood ekstrem dan cepat
kekambuhan dan layanan rawat inap. (rapid cycling) sehingga memberikan alternatif penegakkan
diagnosis lain selain gangguan bipolar NOS tersebut.16
Oleh karena itu, skrining terhadap gejala klinis gangguan
bipolar pada anak dan remaja penting dilakukan agar
gejala awal dapat dideteksi secara dini dan diagnosis pasti
PENGGUNAAN KUESIONER UNTUK SKRINING
dapat ditegakkan dengan tepat. Dengan begitu, diharapkan
GANGGUAN BIPOLAR PADA ANAK DAN REMAJA
tatalaksana diberikan pada saat yang lebih awal dan kualitas
hidup anak dapat dipertahankan seoptimal mungkin. Sebagaimana dijelaskan diatas, gangguan bipolar pada
anak merupakan gangguan dengan gejala yang kompleks
dan beragam sehingga skrining dan diagnosis memerlukan
BERBAGAI ISU TERKAIT DENGAN KOMPLEKSITAS penelusuran yang lebih mendalam dengan mempertimbangkan
SKRINING DAN DIAGNOSIS GANGGUAN BIPOLAR usia perkembangan anak dan remaja tersebut. Kuesioner yang
PADA ANAK DAN REMAJA digunakan saat ini untuk skrining gangguan bipolar pada anak
dan remaja adalah The Child Bipolar Questionnaire (CBQ)
Identifikasi gejala klinis gangguan bipolar pada anak dan
yang terdiri dari 65 butir pernyataan dan 10 subskala. Butir-
remaja merupakan tantangan yang besar karena gejala
butir pernyataan tersebut diambil dari kriteria yang ada dalam
klinisnya seringkali bertumpang tindih dengan gejala
DSM untuk gejala manik, depresi, dan gejala komorbiditas
gangguan psikis lain yang umum dijumpai pada anak dan
lainnya untuk gangguan bipolar, seperti gejala cemas,
remaja, misalnya GPPH, gangguan depresi, gangguan perilaku
gangguan tidur, dan gangguan tingkah laku. Kuesioner CBQ ini
menentang, gangguan tingkah laku, gangguan spektrum
dikembangkan oleh the Juvenile Bipolar Research Foundation
autisme, gangguan cemas, dsb.5,11,12 Tanda perkembangan
(JBRF) dan digunakan sejak tahun 2003. CBQ dalam bahasa
normal seorang anak dan remaja juga seringkali disalahartikan
Inggris tersebut dilaporkan mempunyai uji reliabilitas yang
sebagai suatu bentuk psikopatologi sehingga diinterpretasikan
baik dan dapat diisi baik oleh orangtua, pengasuh, maupun
sebagai bagian dari sindrom gangguan bipolar, misalnya
klinisi yang melakukan pemeriksaan terhadap anak dan
iritabilitas mood yang mungkin dijumpai saat memasuki usia
remaja tersebut. Dengan berjalannya waktu, dikembangkan
pubertas dipersepsikan sebagai episode manik atau depresi.
instrumen diagnosis gangguan bipolar pada anak dan remaja
Oleh karena itu, konsensus dalam menegakkan diagnosis yang terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian yang diisi oleh
gangguan bipolar pada anak dan remaja sangat penting orangtua/pengasuh (sama dengan CBQ), bagian yang diisi
untuk diadakan. Namun, sampai saat ini konsensus tersebut oleh klinisi (Child Bipolar Screening Interview/CBSI), dan
masih belum ada dan hanya mengacu pada konsensus untuk bagian yang diisi oleh anak/remaja itu sendiri (Jeanne/Jeffrey
individu dewasa.1,3 Dalam Diagnostic and Statistical Manual Questionnaire for Children).17,18
for Mental Disorder IV dan V (DSM IV dan V), dijelaskan
CBSI dikembangkan karena adanya kebutuhan untuk
bahwa gangguan bipolar merupakan suatu gangguan yang
mendapatkan kriteria diagnosis alternatif di samping yang
bersifat episodik. Episode manik pada gejala gangguan bipolar
ada dalam DSM-IV, terutama untuk diaplikasikan dalam
merupakan episode kunci untuk penegakkan diagnosis.
riset terkait gangguan bipolar pada anak dan remaja. CBSI
Episode tersebut digambarkan sebagai episode yang ditandai
merupakan suatu panduan wawancara yang dapat digunakan
oleh elevasi mood atau mood iritabel yang menetap untuk satu
oleh seorang klinisi maupun peneliti. Instrumen ini didesain
periode waktu tertentu (7 hari untuk gangguan bipolar I dan
untuk mendapatkan informasi yang lebih detail mengenai
4 hari untuk gangguan bipolar II). Selain itu, gejala lainnya
gejala gangguan mood yang dialami anak serta gejala
adalah perilaku manik lainnya seperti perilaku impulsif,
penyerta lain yang berkaitan dengan perubahan mood. Gejala
hiperaktif, dan sebagainya.13,14
dilaporkan oleh orangtua melalui pengisian CBQ dengan nilai
Kondisi ini seringkali tidak sesuai dengan gambaran klinis tinggi atau dari anak sendiri melalui hasil pengisian Jeanne/
gangguan bipolar pada anak dan remaja. Pada anak dan remaja Jeffrey Questionnaire for Children dengan nilai yang tinggi
dengan gangguan bipolar, episode elevasi mood atau mood pula. CBSI tidak memasukkan kriteria durasi episode maupun
iritabel tersebut berlangsung sangat pendek dan berakhir tipe spesifik dari episode mood tersebut untuk menentukan
dalam hitungan jam sehingga sulit untuk memenuhi kriteria diagnosis gangguan bipolar pada anak dan remaja, namun
episode seperti yang dimaksudkan dalam DSM tersebut. lebih menitikberatkan pada tipe dan kualitas mood, frekuensi,
Selain itu, perubahan mood yang dijumpai juga dapat bersifat dan periode dari gejala mood serta kelompok gejala yang
ekstrem, dari mulai elevasi mood sampai mood yang sangat kemudian akan membentuk siklus dan timbul dalam berbagai
depresi. Perubahan tersebut terjadi dalam periode waktu yang situasi. Tidak hanya itu, instrumen CSBI juga menekankan
sangat singkat dan kadangkala disertai pula dengan gejala pada kondisi lain yang menyertai gangguan bipolar pada
psikotik. Oleh karena itu, pada tahun 2001, ditambahkan anak dan remaja. Instrumen ini dapat membantu para klinisi
satu kriteria diagnosis dalam DSM yaitu gangguan bipolar dalam menegakkan diagnosis gangguan bipolar pada anak
NOS (not otherwise specified) sehingga dapat digunakan dan remaja secara lebih akurat dan tepat. Selain itu, melalui
untuk menentukan diagnosis gangguan bipolar pada anak CBSI dapat ditelusuri berbagai komorbiditas yang berpotensi
dan remaja yang tidak memenuhi kriteria diagnosis gangguan menyertai gangguan bipolar pada anak dan remaja walaupun
bipolar yang ada, terutama dalam kaitan perlu adanya episode belum memenuhi kriteria yang ada di DSM IV-TR atau DSM
32 Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

V. Disamping itu, CBSI juga dapat dilakukan oleh klinisi 4. Angst J. The emerging epidemiology of hypomania and bipolar II
nonpsikiater sehingga gangguan tersebut dapat dideteksi lebih disorder. J Affect Disord. 1998; 50:143151.
dini dan rujukan ke layanan yang lebih kompeten dapat lebih 5. Demeter CA, Townsend LD, Wilson M, Findling RL. Current
cepat dilakukan.17 research in child and adolescent bipolar disorder. Dialogues Clin
Neurosci. 2008; 10:215228
Versi lain dari CBQ adalah kuesioner yang dapat dilengkapi
6. Roybal DJ, Singh MK, Cosgrove VE,et al. Biological evidence for
oleh anak dan remaja itu sendiri (Jeanne/Jeffrey Questionnaire
a neuro- developmental model of pediatric bipolar disorder. Isr J
for Children, self-report questionnaire) dan berlaku sebagai Psychiatry Relat Sci. 2012; 49:2843
kuesioner skrining. Pengembangan kuesioner ini diadakan
7. Papolos D, Hennen J, Cockerham MS. Factors associated with
berdasarkan model Martinez dan Richters pada tahun 1993
parent-reported suicide threats by children and adolescents with
saat mereka mengembangkan suatu program komunitas community diagnosed bipolar disorder. J Affect Disord. 2005;
terkait dengan kekerasan pada remaja. Kuesioner ini memuat 86:26775
banyak gejala subjektif dari gangguan bipolar, gangguan
8. Goldstein TR, Birmaher B, Axelson D,et al. History of suicide
depresi mayor, dan gangguan psikotik yang mungkin terlewat attempts in pediatric bipolar disorder: factors associated with
dari observasi orangtua. Setiap butir dari kuesioner ini increased risk. Bipolar Disord. 2005; 7:52535
menggambarkan gejala klinis dan perilaku yang dipersepsi
9. Wittchen HU, Frohlich C, Behrendt S, et al. Cannabis use and
oleh Jeanne (untuk anak laki-laki) atau Jeannie (untuk anak cannabis use disorders and their relationship to mental disorders:
perempuan). Uniknya, kuesioner ini juga disertai dengan a 10-year prospective-longitudinal community study in
gambar-gambar yang membantu anak untuk memahami adolescents. Drug Alcohol Depend. 2007; 88 (Suppl. 1):S60S70
setiap gejala dan perilaku yang ada pada gangguan bipolar 10. Kupfer DJ. The increasing medical burden in bipolar disorder.
tanpa menggunakan kata-kata sehingga dapat digunakan JAMA. 2005; 293:252830
untuk anak berusia di bawah 12 tahun.17
11. Dunner DL. Clinical consequences of under-recognized bipolar
spectrum disorder. Bipolar Disord. 2003; 5:45663
12. Marchand WR, Wirth L, Simon C. Delayed diagnosis of pediatric
KESIMPULAN
bipolar disorder in a community mental health setting. J Psychiatr
Gangguan bipolar pada anak dan remaja merupakan suatu Pract. 2006;12:128133
gangguan yang kompleks sehingga skrining dan penegakan 13. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 4th ed.
diagnosis masih merupakan suatu tantangan sampai saat Text Revision (DSM-IV-TR). American Psychiatric Association,
ini. Beberapa alat bantu sudah dikembangkan, seperti Copyright 2000, Psychiatry Online.com Online. ISBN 0-89042-
CBQ, Jeanne/ Jeffrey Questionnaire for Children, self-report 334-2, Hardcover ISBN 0-89042-024-6.
questionnaire dan CBSI, namun instrumen-instrumen tersebut 14. Diagnostic and statistical manual of mental disorders. 5th ed.
masih belum divalidasi dalam bahasa Indonesia. Oleh karena American Psychiatric Association, Copyright 2000, Psychiatry
itu, penerjemahan dan validasi dalam bahasa Indonesia perlu Online.com Online.
segara dilakukan sehingga dapat membantu dalam skrining 15. National Institute of Mental Health research roundtable on
maupun diagnosis gangguan bipolar pada anak dan remaja prepubertal bipolar disorder J Am Acad Child Adolesc Psychiatry.
secara tepat dan akurat. 2001; 40:87178
16. Sala R, Axelson D, Birmaher B. Phenomenology, longitudinal
course, and outcome of children and adolescents with bipolar
REFERENSI spectrum disorders. Child Adolesc Psychiatr Clin N Am. 2009;
18:27389
1. Carlson GA, Glovinsky I. The concept of bipolar disorder in
17. Juvenile Bipolar Research Foundation. The diagnostic instruments
children: a history of the bipolar controversy. Child Adolesc
[internet]. [cited 2017 August 1]. Available from: http://www.jbrf.
Psychiatr Clin N Am. 2009; 18:257271; vii
org/resources-for-professionals/the-diagnostic-instruments/.
2. Freeman AJ, Youngstrom EA, Michalak E, et al. Quality of life in
18. Geller B, Zimerman B, Williams M, Bolhofner K, Craney JL,
pediatric bipolar disorder. Pediatrics. 2009; 123:e446e452.
Delbello MP, et al. Diagnostic characteristics of 93 cases of a
3. Moreno C, Laje G, Blanco C, et al. National trends in the outpatient prepubertal and early adolescent bipolar disorder phenotype
diagnosis and treatment of bipolar disorder in youth. Arch Gen by gender, puberty and comorbid attention deficit hyperactivity
Psychiatry. 2007; 64:10321039 disorder. J Child Adolesc Psychopharmacol. 2000;10(3):157-64.
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 33

p e r s p e k t i f da l a m p s i k i at r i

Psikoanalisis dan Kita


Merdeka Tidak Gampang
Limas Sutanto1
1
Psikiater Konsultan Psikoterapi, Pengajar Psikiatri Dinamik Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, Malang
E-mail: limas.sutanto@gmail.com
Abstrak
Psikoanalis kelahiran Frankfurt, Erich Fromm, membedakan kemerdekaan dari (lengkapnya, keterbebasan dari belenggu
penjajahan fisik), dan kemerdekaan untuk (paripurnanya, kemerdekaan untuk mewujudnyatakan secara spontan pribadi-
berintegrasi-penuh ke dalam tindakan-tindakan kreatif). Pada konteks Indonesia hari kini, kemerdekaan yang mengandung
unsur kreatif itu perlu sungguh diwujudnyatakan dalam keterhubungan, kerja sama, solidaritas, dan persatuan di antara
anggota-anggota bangsa yang majemuk dan berbeda satu sama lain. Perwujudan kebebasan yang seperti itu memang melahirkan
ansietas, karena itulah banyak orang menghindarinya, mereka lari dari kemerdekaan, dan menebar efek-efek yang sesungguhnya
anti-kebebasan, yaitu otoritarianisme, destructiveness, dan konformitas. Ketiga efek tersebut agaknya telah menebari kehidupan
bangsa ini di sepanjang sejarahnya. Sesungguhnya, mengejawantahkan kemerdekaan bermaknakan menghadapi dan mengatasi
ansietas itu. Para pemimpin perlu meneladankan hal itu.

Psychoanalysis and Us
Freedom is not Easy
Limas Sutanto1
Abstract
The Frankfurt-born psychoanalyst, Erich Fromm, distinguishes two types of freedom, i.e. freedom from and freedom to. The
freedom from refers to emancipation from restrictions such as colonization, but the freedom to has a deeper meaning than that,
since its essential meaning is spontaneous employing of the totally integrated personality in creative acts. In the context of nowadays
Indonesia, that kind of creative-containing freedom should be realized in cooperation, solidarity, connectedness, togetherness, and unity
among diverse members of the pluralist nation. Such realization of the creative elements of freedom will normally result in anxiety,
thus many people would like to escape from freedom in order to avoid the anxiety. Such escape from freedom results in the growing of
authoritarianism, destructiveness, and conformity, which have been scattering along the history of our nation. Realizing our freedom
means facing and overcoming anxiety related to the consummation of its creative elements. Indonesian contemporary leaders should be
exemplars of persons transcending that anxiety.

PENGANTAR ANTARA MERDEKA DARI DAN MERDEKA UNTUK


Jurnal ini terbit pertama di bulan Kemerdekaan Republik Berpikir dan berbuat merdeka itu tidak gampang, bahkan
Indonesia. Mungkin cukup beralasan apabila dalam edisi ia menimbulkan ansietas. Tidak mengherankan jika ada
perdana, ditampilkan pula sebuah tulisan yang berisi banyak orang yang menolak untuk merdeka. Tak aneh pula
semacam renungan tentang kehidupan bangsa di masa kini, apabila efek-efek kemerdekaan dapat begitu mencemaskan
yang ditinjau dengan perspektif psikoanalitik. bagi hamparan orang, dan karenanya insan-insan itu
menjelma menjadi pribadi-pribadi yang justru berbuat
Barangkali tulisan pendek tentang kontekstualisasi dan
merusak manusia merdeka dan buah-buah kemerdekaan.
pengharikinian kemerdekaan ini bermaksud memenuhi hal
Psikoanalis kelahiran Frankfurt, Erich Fromm, menegaskan
itu. Di samping buat kembali mempertebal kecintaan pada
betapa kecemasan hamparan manusia terhadap konsekuensi-
bangsa dan negara yang sedang berulang tahun, juga untuk
konsekuensi kemerdekaan mendorong mereka untuk
menegaskan betapa psikiatri, khususnya psikoanalisis
mewujudkan beberapa keadaan yang sebenarnya anti-
dalam psikiatri dalam World Psychiatric Association pun
kemerdekaan, tetapi dilakukan seolah demi meminimalkan
terdapat Section on Psychoanalysis in Psychiatry atau Seksi
efek-efek buruk kemerdekaan. Fromm mencatat tiga kondisi
Psikoanalisis dalam Psikiatri adalah peduli tidak hanya
yang sejatinya melawan kemerdekaan itu: otoritarianisme,
pada kehidupan kejiwaan individual, tetapi juga terhadap
destructiveness, dan konformitas1. Setidaknya kita boleh
kehidupan psikis masyarakat dan bangsa. Dengan demikian
merenungkan bahwa dalam perjalanan kehidupan kita
kita boleh melihat bahwa psikiatri dan psikoanalisis dalam
sebagai bangsa, corak-corak otoritarianisme pernah meresap
psikiatri dekat dengan persoalan-persoalan masyarakat, dan
secara mendalam, dan di tengah suasana seperti itu, sebagian
merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan bangsa
besar dari kita pun memilih untuk mewujudkan konformitas,
dalam lingkup yang luas.
dengan menjadi patuh dan menerima keadaan itu sebagai
kebaikan.
34 Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

Setidaknya pada setiap bulan Agustus kita mengelu- tentu mudah menjalar menjadi pengejaran dan pembinasaan
elukan kebebasan. Tetapi kebebasan yang mana? Fromm oleh kelompok yang satu terhadap kelompok yang lain.
membedakan freedom from atau kemerdekaan dari Keadaan yang menyulut perpecahan dalam bangsa ini secara
(lengkapnya, kemerdekaan dari belenggu lama, semisal hakiki adalah penentangan terhadap Kemerdekaan Republik
penjajahan dan perbudakan fisik, sebagaimana pernah Indonesia.
digambarkan dalam eksistensialisme Sartre), dan freedom
Keterhubungan, kebersamaan, dan solidaritas pun acap
to atau kemerdekaan untuk (paripurnanya, kemerdekaan
kali menuntut pemaknaan yang kian abstrak, mendasar,
untuk mewujudnyatakan secara spontan pribadi-
dan mendalam. Dalam pengartian seperti itu, kemerdekaan
berintegrasi-penuh ke dalam tindakan-tindakan kreatif)2.
adalah penggunaan uang rakyat yang dihimpun oleh
Unsur kreatif dalam kebebasan hanya terdapat dalam
negara dalam bentuk penerimaan pajak, benar-benar untuk
freedom to, dan tidak ada dalam freedom from. Kekuatan
kesejahteraan semua anggota bangsa, dan dengan demikian
kreatif dalam kemerdekaan untuk, justru sungguh
menciptakan keadilan yang menyatupadukan. Dalam konteks
terealisasi dalam penciptaan keterhubungan, kerja sama,
kebebasan yang kreatif, uang rakyat tidak dipakai buat
persahabatan, persatuan, dan kebersamaan antarmanusia, di
menebalkan kantong kelompok-kelompok, tak pula untuk
tengah keadaan hidup setiap individu manusia yang bebas,
menguntungkan beberapa pihak belaka. Tetapi sekurang-
merdeka, dalam rangkuman masyarakat yang anggota-
kurangnya hingga hari kini, bangsa ini tampak belum berhasil
anggotanya beragam atau berbeda satu sama lain. Sepertinya
memberikan makna yang lebih abstrak, sekaligus mendasar
kebebasan yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta pada
dan mendalam, terhadap Kemerdekaan yang mereka sebut-
17 Agustus 1945 adalah kemerdekaan dari (penjajahan);
sebut di sepanjang hidup dan mereka teriakkan ulang pada
dan kemudian kedua pemimpin bersama tokoh-tokoh
akhir pertemuan khalayak. Kegagalan yang paling telak
bangsa lainnya memperjuangkan kemerdekaan untuk
pada perspektif ini mewujud dalam korupsi. Di hari-hari
(menciptakan kebersamaan di antara unsur-unsur bangsa
ketika Komisi Pemberantasan Korupsi sedemikian garang,
Indonesia yang serbaneka) sebuah tugas sulit yang
galak, dan sigap menangkap tangan pelaku korupsi pun,
pelaksanaannya banyak ditebari kecemasan.
sepertinya warga bangsa ini tetap giat berkorupsi. Efek jahat
korupsi yang sudah sering dibicarakan adalah pemiskinan
warga terpinggir yang tidak memiliki peluang untuk ikut
MAKNA KONTEKSTUAL PEKIK MERDEKA!
berkorupsi; tetapi seyogianya tidak dilupakan, betapa akibat
Terdapatnya elemen kreatif dalam kebebasan itu menjamin yang lebih telak dari korupsi, terhadap bangsa Indonesia,
kebaikan kebebasan itu sendiri. Unsur kreatif itu adalah keterkoyakan, perpecahan, dan ketercabikan dirinya.
menempatkan kemerdekaan atau kebebasan dalam ikatan
Dalam zaman sekarang yang ditandai secara tandas oleh
tak terpisahkan dari keterhubungan, persatuan, kerja
gaya hidup konsumtif dengan gawai melekat di tangan
sama, persahabatan, kebersamaan, solidaritas antarorang,
dan komputer di bawa ke mana-mana, kemerdekaan yang
keadaan bahu-membahu, perilaku ringan sama dijinjing,
berpretensi kreatif sungguh mendapatkan tantangan. Kini
berat sama dipikul. Dan sesungguhnya tatkala setiap warga
banyak warga seperti hampir menjadi autistik alias hidup
bangsa berani berteriak, Merdeka!, ia seperti berada di
dalam dunianya sendiri, bagaikan terlepas dari orang-
depan cermin besar terang benderang yang menelanjangi
orang lain dan lingkungannya yang nyata. Tidak jarang
dirinya di hadapan fakta sejauh mana dia sungguh berandil
didapati sebuah keluarga Indonesia di kota, yang terdiri dari
mewujudnyatakan keterhubungan, persahabatan, dan
ibu, ayah, dan tiga orang anak, misalnya, datang bersama-
solidaritas antarwarga, antarsuku, antara ras yang satu dan
sama ke restoran untuk makan bersama, tetapi kemudian
ras yang lain, serta antara pribadi-pribadi yang berbeda
pemandangan yang kita dapati sungguh absurd, kelima
agama.
insan itu masing-masing menunduk, kadang senyum-
Tentulah cermin besar itu tidak senantiasa memantulkan senyum sendiri, matanya memandangi layar gawai yang ada
gambar yang koheren dengan pekik Merdeka! yang lantang di genggaman masing-masing. Bukankah ini sebuah wujud
diteriakkan seseorang. Setidaknya, justru pada ulang tahun mikro dari keterpecahbelahan yang parah? Di layar televisi
ketujuh puluh satu Proklamasi Kemerdekaan Republik pun dapat disaksikan beberapa legislator yang sibuk dengan
Indonesia, kita dapat menyaksikan kenyataan-kenyataan telepon genggam masing-masing, dan dengan demikian
di tengah bangsa, yang mewakili destruksi terhadap mereka tidak terhubung satu sama lain. Paus Fransiskus
keterhubungan, kebersamaan, persatuan, dan solidaritas meneropong efek autistik zaman gawai dan komputer ini,
antara sesama warga bangsa Indonesia. dengan mengutarakan menggejalanya hidup yang lari dari
realitas dan keterhubungan antarinsan, yang ia sebut sebagai
Pada tingkat yang paling kasat mata, kita menyaksikan masih
eskapisme modern3. Melalui hidup autistik dalam resapan
gampangnya kelompok-kelompok membakar rumah milik
komputer dan gawai, sesungguhnya individu menghindar
warga bersuku beda dan tempat ibadah dari orang-orang
beragama lain. Penyerangan dan pembakaran seperti itu dari ansietas, rasa sakit, dan penderitaan yang secara sah
JPKJI, Vol. 1, No. 1, Agustus 2016 35

dapat teralami di tengah perjuangannya untuk menjamin, hari kini niscaya memberikan teladan.
meneruskan, merawat, dan menumbuhkembangkan
persatuan, keterhubungan, kebersamaan, dan solidaritas
antarmanusia. REFERENSI
1. Fromm, E. Escape from freedom. New York: Open Road
Menjadi merdeka bukanlah gampang, terutama jika
Integrated Media; 1994. Chapter V, Mechanisms of Escape; P.
merdeka dimaknai tidak saja sebagai bebas dari perbudakan 254-384.
fisik oleh kaum penjajah, tetapi sebagai panggilan untuk 2. Fromm, E. Escape from freedom. New York: Open Road
memperjuangkan keterhubungan, kebersamaan, persatuan, Integrated Media; 1994. Chapter IV, The Two Aspects of Freedom
dan solidaritas antara semua warga bangsa, bahkan antara for Modern Man; P. 195-253.
seluruh manusia. Perjuangan itu pasti meresapkan kecemasan, 3. Harian Kompas. Paus: Tinggalkan kenyamanan. Jakarta: PT
dan keberanian warga bangsa untuk mentransendensi Kompas Media Nusantara; 1 Agustus 2016. P. 9.
ansietas itulah yang menjamin kemerdekaan. Para pemimpin
vii Jurnal Psikiatri dan Kesehatan Jiwa Indonesia

indeks penulis

A M
AAAA. JPKJI 2016; 1 (1): 8-13 Martina Wiwie JPKJI 2016; 1 (1): 14-20

Kusumawardhani

Adhitya Sigit JPKJI 2016; 1 (1): 25-9 N


Ramadianto Natalia Widiasih JPKJI 2016; 1 (1): 25-9

Raharjanti

C Nindita Pinastikasari JPKJI 2016; 1 (1): 3-7

Chrisna Mayangsari JPKJI 2016; 1 (1): 8-13 Nurmiati Amir JPKJI 2016; 1 (1): 1-2

JPKJI 2016; 1 (1): 3-7

F JPKJI 2016; 1 (1): 21-4

Fransiska Kaligis JPKJI 2016; 1 (1): 14-20

P
H Petrin Redayani JPKJI 2016; 1 (1): 8-13

Heriani JPKJI 2016; 1 (1): 3-7 JPKJI 2016; 1 (1): 14-20

Hervita Diatri JPKJI 2016; 1 (1): 8-13 Profitasari JPKJI 2016; 1 (1): 21-4

Kusumaningrum

I
Iriawan Rembak JPKJI 2016; 1 (1): 21-4 R
Tinambunan Richard Budiman JPKJI 2016; 1 (1): 21-4

Irmia Kusumadewi JPKJI 2016; 1 (1): 14-20

S
K Suryo Dharmono JPKJI 2016; 1 (1): 3-7

Khamelia Malik JPKJI 2016; 1 (1): 3-7

JPKJI 2016; 1 (1): 14-20 T


Taufik Ashal JPKJI 2016; 1 (1): 14-20

L Tjhin Wiguna JPKJI 2016; 1 (1): 30-2

Limas Sutanto JPKJI 2016; 1 (1): 33-4

Vous aimerez peut-être aussi